Delik-delik Populer 1
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk penggunaan secara komersil dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah)
2 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
Dr. ERDIANTO EFFENDI, S.H., M.Hum
DELIK-DELIK POPULER
DI TENGAH MASYARAKAT
Penafsiran Kontekstual Kejahatan dalam KUHP
dan Pengaturannya dalam Rancangan KUHP
Delik-delik Populer 3
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
DELIK-DELIK POPULER
DI TENGAH MASYARAKAT
Penulis:
Dr. Erdianto Effendi, S.H., M.Hum
Editor:
Zulkarnaini, S.Sos, M.Si
Sampul:
Syamsul Witra
Layout:
Arnain'99
Cetakan I:
Juli 2019
Penerbit
TAMAN KARYA
Anggota IKAPI
Perum Puri Alam Permai C/12 Pekanbaru
E-mail: arnain.99@gmail.com
ISBN 978-623-7075-47-9
4 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
PRAKATA PENULIS
Delik-delik Populer 5
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Riau (di universitas lain mungkin dengan nama mata kuliah berbeda)
dan interaksi penulis saat diminta pendapat untuk memberikan ke-
terangan sebagai ahli hukum pidana di tahap penyidikan maupun
pada persidangan di pengadilan.
Meskipun sudah banyak para ahli yang menuliskan buku serupa,
buku ini berbeda dari segi pembahasannya yang berkaitan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang paling sering muncul dalam praktik. Buku
ini juga berbeda dalam hal sistematika. Dalam buku-buku yang sudah
ada, pembahasan delik-delik dilakukan menurut sistematika KUHP
dan membahas semua delik yang ada, sedangkan dalam buku ini
sekedar membahas delik-delik yang paling sering ditanyakan oleh
masyarakat dan oleh mahasiswa di kelas. Dengan demikian, buku ini
memang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dan masyarakat awam
karena dijelaskan dengan bahasa yang sederhana, tetapi penting pula
untuk dibaca para penegak hukum karena di sini diuraikan pula pan-
dangan penulis terhadap berbagai perdebatan tentang delik-delik
tersebut.
Alhamdulillah segala puji bagi Allah atas selesainya buku ini
yang disusun di sela-sela tugas lainnya. Atas selesainya naskah buku
ini, saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tinggi-
nya kepada semua pihak yang turut membantu dan berperan dalam
membantu saya menulis buku ini. Pertama dan utama ungkapan sujud
bakti penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis khususnya
Ayahanda Effendi Bakar (Alm) yang dengan segala keterbatasan
telah bersusah payah membesarkan penulis dengan segala kasih
sayangnya, dan Ibunda Hj Nurdiah yang sepeninggal Ayahanda tetap
teguh mengantarkan penulis kepada jenjang pendidian setinggi-tinggi-
nya.
Terkhusus ucapan terimakasih kepada istri penulis, Adinda
Islamiyah, S.Ag,, M.Pd, yang telah menjatuhkan pilihan untuk men-
jadikan penulis pendamping hidup sejak belum menjadi apa-apa
hanya karena sebuah keyakinan, selalu mendorong dan memotivasi
penulis untuk menjadi yang terbaik, menghibur di kala duka, meng-
ingatkan di kala bahagia, serta kedua buah hati tercinta Ahdina
6 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
Adisyabila Rizkika dan M Adib Abdan Syakur, pelipur segala lara,
pelepas letih yang menekan di tengah zaman yang makin tidak mudah.
Engkau berdua adalah harapan Papa dan Mama.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada para guru
yang telah mengajar penulis sejak di bangku Sekolah Dasar Negeri
No.9/V di Pelabuhan Dagang, SMP Negeri Pelabuhan Dagang, SMA
Negeri 5 Jambi, S1 di FH UNJA, S2 di UNSRI dan S3 baik di
Undip maupun di Unpad, terkhusus kepada Ayahanda Prof. H.
Rozali Abdulah, SH, dan Bapak Dr. Fauzi Syam, SH, MH, (yang
bukan sekedar pembimbing, tetapi menjadi guru menulis yang cerdas),
Almarhum Prof. Dr. H. Loebby Loqman, SH, MH, Almarhum H.
Gustam Idris, SH., M.Hum., Prof. Dr. H. Romli Atmasasmita,
SH, LL.M, Bunda Prof. Dr. Komariah E Sapadjaja, SH, dan
Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, SH, MH., para guru yang
telah berkenan membimbing saya, serta kepada semua ahli hukum
yang telah terlebih dahulu ada dan melahirkan karya dan pemikiran
dalam bentuk buku dan karya ilmiah lainnya baik yang masih hidup
maupun yang sudah tiada.
Ucapan terimakasih secara khusus pula untuk para senior dan
kolega ahli hukum pidana yang sering menjadi tempat bertanya
tentang teori hukum. Beliau-beliau tersebut diantaranya: Prof. Dr.
Eddy OS Hiariej, Dr. H. Chairul Huda, SH, MH., Dr. Muzakkir,
SH, MH., Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum., Dr. Azmi Syahputra,
SH, MH., dan Dr. Rocky Marbun, SH, MH. Ucapan yang sama
penulis sampaikan kepada Sdr. Dr. Hengki Firmanda, SH, M.Si.,
L.LM., Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau atas sarannya untuk
penulisan sistematika dan Sdr. Saidil Adri, SH., staf Laboratorium
Fakultas Hukum Unri yang telah membantu pengetikan naskah Pasal
dalam WvS yang berbahasa Belanda.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada penerbit yang
telah bersedia dan sangat antusias menerbitkan buku ini. Begitupun
kepada para pihak-pihak yang turut berjasa lainnya, tanpa mengurangi
rasa hormat karena tidak disebutkan namanya satu persatu, penulis
mengucapkan ribuan terimakasih.
Delik-delik Populer 7
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Sebagai sebuah karya ilmiah yang mungkin belum sempurna
sangat diharapkan kesediaan para pembaca untuk menyampaikan
kritik dan saran demi perbaikan di masa mendatang.
Erdianto Effendi
8 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Hukum Pidana Indonesia yang Legalistik ................ 13
B. Masalah Hukum dalam Praktik dan Penafsiran Hukum 17
Delik-delik Populer 9
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
C. Penjabaran Unsur-unsur Delik Penipuan.................. 53
D. Penipuan yang Berhubungan dengan Hutang Piutang .. 57
E. Pengaturan Delik Penipuan dalam RUU KUHP ....... 59
10 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
BAB X DELIK PENGHINAAN (BELEEDIGING)
A. Pengaturan dan Jenis Delik Penghinaan dalam KUHP ... 111
B. Penjabaran Unsur-unsur Delik Penghinaan .............. 117
C. Penghinaan, Fitnah dan Penghinaan Ringan ............. 118
D. Pengaturan Delik Penghinaan dalam RUU KUHP .... 123
Delik-delik Populer 11
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
BAB XVII DELIK PEMBUNUHAN/KEJAHATAN TERHADAP
NYAWA(MISDRIJVEN TEGEN HET LEVEN GERICHT)
A. Pengaturan Delik Pembunuhan dalam KUHP .......... 171
B. Penjabaran Unsur-unsur Delik Pembunuhan dalam KUHP 176
C. Pengaturan Delik Pembunuhan dalam RUU KUHP ... 180
12 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
Bab I
PENDAHULUAN
Delik-delik Populer 13
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
d. Sedangkan asas yang bersumber dari ayat 2 adalah member-
lakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
Mengapa harus sedemikian ketat dan kakunya penerapan pidana
itu adalah karena pidana bersifat merampas hak asasi manusia. Ka-
rena itu, penjatuhan pidana berupa perampasan hak asasi manusia
harus dilakukan secara sangat hati-hati. Hukum pidana merupakan
suatu sanksi istimewa yang dapat membatasi kemerdekaan manusia
(menjatuhkan hukuman penjara dan hukuman kurungan) bahkan meng-
habiskan hidup manusia (hukuman mati). Hukum pidana memuat sanksi
atas pelanggaran kaidah hukum yang jauh lebih keras, dan berakibat
lebih luas daripada kerasnya dan akibat sanksi yang termuat dalam
hukum-hukum lain, seperti hukum perdata, hukum administrasi dan
lain sebagainya. Penjatuhan pidana dilakukan kepada mereka yang
benar-benar dianggap melakukan kejahatan sebagaimana dikemuka-
kan oleh Immanuel Kant sebagai teori Katagorische Imperatief,
bahwa pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan, seseorang di-
pidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan.1
Sebagai negara yang merupakan bekas jajahan Belanda, Indo-
nesia menganut paham negara hukum rechtstaat khususnya dalam
hukum pidana. Karena itu wajarlah jika hukum pidana merupakan
implementasi aliran positivistik. Menurut John Austin, hukum merupakan
perintah penguasa yang berdaulat, dan Hans Kelsen menyatakan bahwa
hukum adalah kehendak dari negara.2 Karena itu, menurut Kelsen
penegakan hukum mengandung arti :
a) Hukum ditegakkan demi kepastian hukum;
b) Hukum dijadikan sumber utama bagi hakim dalam memutus
perkara;
c) Hukum tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalam pelak-
sanaannya;
d) Hukum itu bersifat dogmatik.
Asas legalitas diperkenalkan dalam lapangan hukum pidana
adalah untuk menghindari kesewenang-wenangan atau ketidakpastian
1
Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara
Pidana, Bandung : Alumni, 2005, hlm.73.
2
HR. Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah),
Bandung : Refika Aditama, 2010, hlm.12.
14 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
dalam penerapan hukum pidana. Menurut Schaffmeister dan kawan-
kawan, berlakunya asas legalitas bertujuan agar undang-undang pidana
melindungi rakyat dari pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari
pemerintah. Ini yang dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang
pidana.3
Menurut latar belakang sejarah pemberlakuan asas legalitas,
penerapan hukum pidana berdasarkan kebiasaan atau penafsiran
hakim belaka, cenderung menimbulkan ketidakpastian hukum. Pidana
terhadap orang tertentu dengan kasus yang sama bisa saja berbeda
dan sebaliknya. Dengan kata lain, hukum pidana digunakan ber-
dasarkan kepentingan penguasa. Guna mengatasi ketidakpastian itu-
lah, Becaria di Italia (1764) mengusulkan agar hukum pidana harus
tertulis: supaya hak asasi manusia dapat dijamin dan dapat menge-
tahui tindakan yang terlarang dan yang diharuskan.
Pada awal abad ke-19, Anselm von Feuerbach memperkenalkan
prinsip yang hari ini paling dikenal dalam hukum pidana, yaitu NULLUM
DELICTUM NULLA POENA SINE PRAEVIA LEGE POENALI
yang artinya tiada delik, tiada pidana tanpa terlebih dahulu diadakan
ketentuan hukum pidana.4 Perkembangan dan sejarah terbentuknya
asas legalitas di Eropa Kontinental memiliki perbedaan yang nyata
dengan penerapan asas legalitas di negara dengan sistem hukum Common
Law. Asas legalitas merupakan asas yang berlaku secara ketat dalam
negara-negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental karena memang
memiliki sejarah yang berbeda dengan penerapan dan pemberlakuan
asas legalitas di negara dengan sistem hukum Common Law (Anglo
Saxon).5
Di Inggris sebagai negara terdepan yang menganut sistem hukum
Common Law pada masa lalu unifikasi hukum dilaksanakan dan di-
selesaikan oleh Bench dan Bar dari pengadilan. Bench dan Bar ini
3
Deni Setyo Bagus Yuherwan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana, Malang :
Setara Press, 2014. hlm.6.
4
SR Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta :
Alumni Ahaem, Petehaem, 1986, hlm.74.
5
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung : Mandar Maju, 2000,
hlm.26-27.
Delik-delik Populer 15
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
sangat dihormati oleh rakyat Inggris oleh karena mereka mampu me-
wakili perasaan keadilan masyarakat sekalipun Benc dan Bar tersebut
merupakan pegawai Pemerintah. Ditambah lagi dengan adanya sistem
juri dan aturan mengenai “stare decisis”, perkara-perkara yang di-
hadapi pengadilan dapat diselesaikan tanpa mengabaikan pendapat
dan perasaan keadilan masyarakat Inggris.6
Selama periode Revolusi Industri, para hakim dan penasehat
hukum telah berhasil mempertahankan kewibawaan hukum terhadap
kekuasaan Raja Stuart. Hukum yang merupakan penjabaran “habeas
corpus”, “certiorari”, dan “mandamus” tetap tidak memihak dan hukum
yang dibentuk pengadilan justru mengandung kekuatan-kekuatan
sosial politik yang menghendaki perubahan dari masyarakat agraris
ke masyarakat industri. Dengan demikian, di Inggris pada masa revo-
lusi, lembaga-lembaga hukum tetap berada pada tangan pengadilan
yang berwibawa.7
Sebaliknya di negara-negara Eropa Kontinental, pengadilan
tidak mampu menciptakan/membentuk unifikasi hukum. Hal ini di-
sebabkan karena di negara-negara Eropa Kontinental timbul perten-
tangan antara kekuatan kaum agama dan para ahli pikir (filosof) di
satu daerah, di lain pihak. Keadaan sedemikian merupakan ciri ka-
rakteristik negara-negara Eropa Kontinental pada abad pertengahan.8
Dari uraian-uraian di atas, maka dapat dijelaskan mengapa
hukum pidana terkesan sangat legalistik. Legalistik diperlukan agar
jangan sampai hukum pidana diterapkan secara sembarangan yang
berakibat pada terampasnya hak asasi manusia yang sebenarnya tidak
bersalah. Kelemahan dari asas legalitas adalah dari aspek perlindu-
ngan korban. Seakan-akan pelaku tertentu yang secara sosial dan
nyata sudah dipandang bersalah dan jahat oleh masyarakat tidak da-
pat dihukum karena “tidak terpenuhinya” unsur-unsur suatu delik,
sehingga seolah mengabaikan hak asasi korban. Asas legalitas sesu-
ngguhnya dimaksudkan sekedar untuk membuat negara tidak secara
6
Ibid
7
Ibid
8
Ibid
16 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
sembarangan menggunakan hukum pidana terhadap sembarangan
orang.
Jika dikaitkan dengan tujuan hukum pidana untuk melindungi
masyarakat dari kemungkinan menjadi korban, persolan baru muncul
kembali manakala terdapat pula perdebatan tentang patut atau patut-
nya suatu perbuatan ditetapkan sebagai tindak pidana. Suatu per-
buatan dianggap tercela, sebaliknya di sebagian kelompok yang lain
dianggap tidak tercela. Penentuan ketercelaan suatu perbuatan untuk
dapat menjadi dasar dikriminalisasikannya suatu perbuatan sangat
bergantung kepada subjektifitas nilai yang dianut oleh masyarakat.
Delik-delik Populer 17
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
nurut bahasa umum sehari-hari. Dalam praktik, penafsiran secara
gramatikal melibatkan para ahli bahasa, (ii) penafsiran sistematis
atau logis, yaitu penafsiran dengan cara menghubungkan perundang-
undangan yang satu dengan keseluruhan sistem hukum, (iii) penaf-
siran historis yaitu metode penafsiran menurut terjadinya dengan
cara meneliti sejarah terjadinya, (iv) penafsiran teleologis atau so-
siologis yaitu metode penafsiran dengan memahami tujuan dibentuk-
nya undang-undang, dalam hal ini lebih diperhatikan tujuan pem-
bentukan undang-undang daripada bunyi kata-kata saja, (v) penaf-
siran komparatif, yaitu dengan cara memperbandingkan, (vi) penaf-
siran antisipatif atau futuristis yaitu dengan cara melihat perundang-
undangan yang belum berlaku, (vii) penafsiran restriktif, yaitu me-
tode penafsiran dengan cara mempersempit pengertian, serta (viii)
penafsiran ekstensif, yaitu dengan memperluas arti dari suatu kata
dalam undang-undang.11
Ilmuwan hukum juga melakukan penemuan hukum. Hanya ber-
beda dengan hakim dimana hasil penemuan itu adalah hukum, pene-
muan hukum oleh ilmuwan hukum bukanlah hukum melainkan ilmu
atau doktrin. Jika doktrin diikuti dan diambil alih oleh hakim dalam
putusannya, ia akan menjadi hukum. Jadi, sekali lagi pelru ditekankan
bahwa doktrin bukanlah hukum melainkan sumber hukum.12
Dalam hukum pidana, buku-buku hukum pidana yang ditulis
oleh ahli-ahli hukum pidana Indonesia seperti Wirjono Prodjodikoro,
R. Soesilo, Soenarto Soerodibroto, SR. Sianturi, Lamintang, Dading,
Satochid Kertanegara, RH Soegandhi, Andi Hamzah, Adami Chazawi,
dan mungkin masih banyak lagi yang lainnya yang menguraikan serta
menjelaskan berbagai unsur delik dalam KUHP yang dijadikan ruju-
kan dalam proses penegakan hukum, mulai dari proses penyidikan
hingga berbagai putusan pengadilan. Pendapat dan komentar yang
ditulis dalam buku-buku tersebut dilakukan dengan menggunakan
berbagai metode penafsiran khususnya penafsiran sistematis dengan
menghubungan bunyi pasal dalam KUHP dengan ketentuan perundang-
11
Ibid, hlm.77-82.
12
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rifai, Penemuan
Hukum, dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, hlm.31.
18 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
undangan lain, baik dengan menelusuri putusan hakim sebelumnya
(yurisprudensi), perundang-undangan terkait, doktrin dan asas hukum.
Mengikuti metode para penulis buku terdahulu, dalam buku ini
penulis juga melakukan metode penafsiran futuristis dengan turut
serta memasukkan bunyi naskah Rancangan Undang-undang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, serta dalam beberapa pasal memper-
bandingkannya dengan rumusan delik serupa dalam bidang hukum
lain khususnya dalam hukum Islam, dimana agama Islam adalah aga-
ma mayoritas yang dianut di Indonesia.
Menjadikan perundang-undangan dan pendapat para ahli hukum
dalam menafsirkan hukum sejalan dengan metode penelitian hukum
yang menempatkan data dalam penelitian hukum, yaitu data sekunder
yang lazim disebut dengan bahan hukum ke dalam beberapa tingkatan
berdasarkan kekuatan mengikatnya. Bahan hukum dikelompokkan
berdasarkan kekuatan mengikatnya ke dalam tiga tingkatan, yaitu :
- Bahan hukum primer, yaitu hukum yang mengikat terdiri per-
undang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi se-
perti hukum adat, yurisprudensi, traktat, dll;
- Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan me-
ngenai bahan hukum primer, yaitu Rancangan Undang-undang,
hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterus-
nya;
- Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekun-
der seperti kamus, ensiklopedi, dan seterusnya.13
Saat melakukan penelitian hukum dalam hal ini penelitian hukum
yang bersifat normatif, para ilmuwan hukum sesungguhnya juga te-
ngah melakukan penafsiran hukum, khususnya dengan metode penaf-
siran sistematis dan penafsiran teleologis atau sosiologi. Dilihat dari
pengelompokannya, beberapa bentuk penelitian hukum normatif itu
antara lain :
- Penelitian terhadap asas-asas hukum
- Penelitian terhadap sistematik hukum
13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.13.
Delik-delik Populer 19
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
- Penelitian terhadap taraf singkronisasi vertikal dan horizontal
- Penelitian perbandingan hukum
- Penelitian sejarah hukum.14
Dari kelima model penelitian hukum normatif yang dilakukan
para ilmuwan hukum, sesungguhnya para ilmuwan hukum pun tengah
melakukan apa yang disebut sebagai penafsiran dan penemuan hukum.
Dalam praktik penerapan hukum, khususnya pada persidangan di
Mahkamah Konstitusi, para ilmuwan hukum dihadirkan oleh para
pihak. Para ilmuwan tersebut menyampaikan pandangan dan pen-
dapatnya dalam persoalan hukum yang sedang dibahas dalam bentuk
karya tulis ilmiah yang untuk sampai pada sebuah karya tulis ilmiah,
para ilmuwan diwajibkan memenuhi kriteria dan mematuhi kaedah
penulisan ilmiah yang berlaku di perguruan tinggi. Para ilmuwan hukum
hadir di persidangan dalam kapasitas sebagai alat bukti keterangan
ahli.15
Menurut Eddy OS Hieraiej, dalam hukum pembuktian modern,
keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang berlaku secara
universal selain testimoni, dokumen, dan bukti fisik (real/physical
evidence). Kualifikasi ahli adalah seorang ilmuwan, teknisi, atau
orang yang memiliki pengetahuan khusus mengenai topik yang mem-
butuhkan kesaksian ahli. Keahlian tersebut dapat diperoleh baik dari
lima hal, yaitu : (i) pengetahuan, (ii) keterampilan, (iii) pengalaman,
(iv) pelatihan, dan (v) pendidikannya. Keahlian seseorang melekat
pada individu dan bukan pada lembaga atau institusi tempat ia bekerja.16
14
Ibid
15
Pentingnya kehadiran ahli hukum pada proses peradilan, telah penulis uraikan dalam
artikel berjudul “Granting of Legal Experts as a Invention of Law Model Through
Legal Research on The Criminal Justice System, “ Unram Law Review, Vol 3 No 1
(2019), Fakultas Hukum Universitas Mataram.
16
Eddy OS Hiariej, “Keterangan Ahli sebagai Alat Bukti“, Opini, Kompas, 24 April 2016
20 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
Bab II
DELIK-DELIK POPULER
DI TENGAH MASYARAKAT
1
Andi Zainal Abidin, Tanggapan Terhadap Buku I Bab I sampai Dengan Bab II
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, makalah dalam Jurnal Legislasi
Delik-delik Populer 21
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Terjemahan atas istilah strafbar feit ke dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan dengan berbagai istilah misalnya tindak pidana, delik,
peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan pidana,
dan sebagainya.
Dalam buku ini, istilah yang akan digunakan adalah istilah delik.
Adapun alasan penggunaannya adalah :
- Istilah delik lebih netral karena berasal dari bahasa aslinya
sehingga tidak ada perdebatan tentang artinya.
- Dalam kurikulum Fakultas Hukum di Universitas Riau tempat
penulis mengajar, nama mata kuliah yang ditawarkan adalah
Delik-delik dalam KUHP.
Dalam pembuktian atas terjadinya tindak pidana sehingga dapat
dibebankan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku, perbuatan yang
dilakukan harus memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam tindak
pidana. Pemahaman tentang unsur-unsur dalam suatu tindak pidana
sangat penting karena jika satu saja unsur yang dituduhkan tidak da-
pat dibuktikan akan berakibat bagi dibebaskannya terdakwa dari
tuntutan pidana. Secara umum dapat dibedakan unsur tindak pidana
ke dalam dua hal, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur
subjektif adalah unsur yang berkaitan dengan diri pelaku seperti
apakah benar ianya orang yang melakukan, apakah ia dapat diminta
pertanggungjawaban pidana atau tidak. Unsur objektif menentukan
apakah benar peristiwa yang digambarkan dilakukannya telah ter-
penuhi seluruhnya.
Menurut Loebby Loqman, terdapat tiga kemungkinan dalam
perumusan tindak pidana : pertama, tindak pidana dirumuskan baik
nama maupun unsur-unsurnya; kedua, adalah tindak pidana yang
hanya dirumuskan unsurnya saja, dan ketiga, tindak pidana menyebut-
kan namanya saja tanpa menyebutkan unsur-unsurnya. Bagi tindak
pidana yang tidak menyebutkan unsur-unsurnya atau tidak menyebut
namanya, maka nama serta unsurnya dapat diketahui melalui doktrin.2
22 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
Menurut Andi Hamzah, untuk dapat dipidana, suatu perbuatan
harus memenuhi delik (delictselementen). Unsur delik yang bukan
bagian inti adalah melawan hukum dan tercela atau disesalkan (ver-
wijtbaarheid). Jika terdakwa atau penasihat hukum dapat mem-
buktikan, bahwa tidak adanya unsur melawan hukum (ada dasar pem-
benar) atau unsur tercela atau disesalkan atau verwijtbaarheid (ada
alasan pemaaf), maka putusan akan berupa bebas dari segala tuntutan
hukum (onslag van alle rechtvervolging).3
3
Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu di dalam KUHP, Jakarta : Sinar Grafika, 2015,
hlm. 3.
4
Di Palembang, Belanda menyusun hukum Islam dalam bentuk Simbur Tjahaya, yang
merupakan hukum yang berlaku di Kesultanan Palembang Darussalam
Delik-delik Populer 23
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
diadakan peraturan yang baru dan sepanjang tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Ketentuan tersebut dipertegas dengan Peraturan
Presiden Nomor 2 Tahun 1945. Penetapan KUHP Hindia Belanda
dalam sistem hukum Indonesia dilakukan dengan UU No. 1 Tahun
1946 jo UU No. 73 Tahun 1958. Undang-undang ini selain menyatakan
berlakunya KUHP Hindia Belanda bagi Negara Indonesia juga me-
rubah serta menyesuaikan seperlunya dari KUHP Hindia Belanda
menjadi KUHP Indonesia misalnya perubahan dari Raja/Ratu/Gu-
bernur Jenderal menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Hindia Be-
landa menjadi Indonesia dan seterusnya secara mutatis mutandis.
Selengkapnya undang-undang yang merubah WvS Hindia Belanda
tersebut adalah :
1. UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
(merubah nama WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan
beberapa pasal dan krimininalisasi delik pemalsuan uang
dan kabar bohong).
2. UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (me-
nambah jenis pidana pokok berupa pidana tutupan).
3. UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian
Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi (menambah ke-
jahatan praktek dokter).
4. UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya
UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana (me-
nambah kejahatan terhadap bendera RI).
5. UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP (mem-
perberat ancaman pidana Pasal 359, 360, dan memperingan
ancaman pidana Pasal 188).
6. UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan
dalam KUHP (merubah vijf en twintig gulden dalam beberapa
pasal menjadi dua ratus lima puluh rupiah).
7. UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah
Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan
Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus
1945 (hukuman denda dibaca dalam mata uang rupiah dan
dilipatkan lima belas kali).
24 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
8. UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan atau Penodaan Agama (penambahan Pasal 156a).
9. UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian (mem-
perberat ancaman pidana bagi perjudian (Pasal 303 ayat (1)
dan Pasal 542) dan memasukkannya Pasal 542 menjadi jenis
kejahatan (Pasal 303 bis)).
10. UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan
Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan
Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan
Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Pe-
nerbangan (memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana
menurut tempat (Pasal 3 dan 4), penambahan Pasal 95a, 95b,
dan 95c serta menambah Bab XXIX A tentang Kejahatan
Penerbangan).
11. UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Ke-
amanan Negara (menambah kejahatan terhadap keamanan negara
Pasal 107 a-f).5
Berlakunya KUHP Hindia Belanda tersebut dimaksudkan untuk
tempo sementara, karena itu sejak tahun 1962 telah diusahakan pem-
baharuan hukum pidana nasional yang hingga kini belum selesai disah-
kan oleh lembaga negara yang berwenang. Usaha pembaharuan KUHP
secara menyeluruh/total dimulai dengan adanya rekomendasi hasil
Seminar Hukum Nasional I, tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang
menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat
mungkin diselesaikan.6
Untuk mengikuti perkembangan ilmu hukum pidana dan praktik
empiris kejahatan di tengah masyarakat, maka Rancangan KUHP
memperkenalkan adanya kejahatan-kejahatan baru. Adapun delik-
delik baru dalam konsep antara lain sebagai berikut :7
1) Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara seperti penyebaran
ajaran komunisme, mengganti Pancasila, dan sabotase ter-
hadap negara/militer.
5
Ahmad Bahiej, Hand Out Mata Kuliah Hukum Pidana, dalam http://www.scribd.com/
doc/28138586/Hand-Out-Mata-Kuliah-Hukum-Pidana-Dosen terakhir kali dikunjungi
tanggal 14 Januari 2010, jam.11.08 WIB sebagaimana dikutip Erdianto Effendi, Hukum
Pidana Indonesia, Suatu Pengantar, Bandung : Refika Aditama, 2011.
6
Ibid, hlm.57.
7
Ibid, hlm.232
Delik-delik Populer 25
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
2) Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum seperti santet, pe-
nyadapan, delik yang berhubungan dengan senjata api, amu-
nisi atau peledak, dan penyiaran berita bohong.
3) Tindak Pidana terhadap Penyelenggaraan Peradilan yang
merupakan bab baru dan biasanya dikenal dengan istilah con-
tempt of court (penghinaan terhadap pengadilan), seperti ko-
ngkalikong penasehat hukum dengan lawan yang merugikan
klien, menyerang integritas atau tidak memihak dari suatu
proses sidang pengadilan, dan sebagainya.
4) Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama
seperti perusakan bangunan untuk ibadah, penghasutan untuk
meniadakan kepercayaan untuk beragama, dan penghinaan
terhadap Tuhan, Rasul, Kitab, dan ajarannya.
5) Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum bagi
Orang, Barang, dan Lingkungan Hidup seperti terorisme, ge-
nocide (pembunuhan massal), dan pencemaran lingkungan.
6) Tindak Pidana Kesusilaan seperti menyebarkan/memper-
tunjukkan rekaman yang melanggar kesusilaan, persetubuhan
laki-laki dan perempuan di luar nikah yang mengganggu pe-
rasaan kesusilaan masyarakat, laki-laki yang menyetubuhi
perempuan dengan persetujuannya tetapi karena tipu muslihat
atau janji akan dinikahi, kumpul kebo, incest (persetubuhan
anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping
sampai derajat ketiga), bergelandangan di jalan atau tempat
umum dengan tujuan melacurkan diri serta perluasan pe-
rumusan delik perkosaan.
7) Tindak Pidana Pemudahan seperti pencucian uang (money
laundering) atau pencucian uang hasil kejahatan khususnya
narkotika, ekonomi, dan korupsi.
Selain delik-delik baru tersebut, dalam delik-delik lama yang
sudah ada dalam KUHP yang saat ini berlaku tetap dipertahankan.
Karena itu, meskipun Rancangan KUHP buatan ahli-ahli hukum pi-
dana Indonesia itu sudah akan diundangkan menurut sistem Hukum
Indonesia, pembahasan tentang delik-delik umum yang populer ter-
jadi di tengah masyarakat relatif tidak berubah. Dengan demikian,
meskipun nantinya Rancangan KUHP telah disahkan, pembahasan
dalam buku ini tetap penting diketahui karena yang dibahas dalam
26 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
buku ini adalah terbatas kepada delik-delik yang populer yang banyak
terjadi di tengah masyarakat, yang prinsip pokoknya tidak berubah
antara KUHP dengan Rancangan KUHP. Pembahasan delik-delik
populer ini juga dilakukan dengan melihat bagaimana perspektif Ran-
cangan KUHP terhadap delik-delik populer itu.
Delik-delik populer itu antara lain :
- Pencurian
- Penggelapan
- Penipuan
- Perampasan
- Pemerasan
- Pengancaman
- Pemalsuan
- Penghinaan
- Pembunuhan
- Perjudian
- Penganiayaan
- Penadahan
- Perkosaan
- Perzinaan
- Pencabulan
- Pengrusakan
Perbuatan-perbuatan tersebut sesungguhnya dapat digolongkan
sebagai rechtdelicten, dimana sejatinya memang merupakan per-
buatan yang demikian tercelanya dalam sistem sosial. Oleh karena
itu, ia menjadi populer karena penggunaan sanksi pidana bagi pe-
langgaran delik-delik tersebut sangat diharapkan oleh masyarakat
guna untuk menegakkan sistem sosial yang hidup di tengah masyarakat.
Secara empirik, sesunggguhnya masih banyak perbuatan lainnya yang
tercela menurut masyarakat, baik berdasarkan agama maupun adat
istiadat setempat, namun tidak ada padanannya dengan KUHP.
Delik-delik Populer 27
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
28 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
Bab III
DELIK PEMALSUAN
(VALSCNHEID IN GESCHRIFTEN)
Delik-delik Populer 29
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
kejahatan pemalsuan yang terjadi dengan pemalsuan surat. Salah
satu sebabnya adalah karena surat-surat yang dimaksud dalam KUHP
jauh lebih luas artinya daripada meterai, merek dan uang kertas, di
samping perbuatan memalsunya juga lebih sulit.
Pemalsuan dapat dikatakan murni merupakan kejahatan yang
ada dalam sistem hukum modern. Dalam hukum adat yang tidak
berbasiskan surat menyurat, tentu saja tidak akan terjadi pemalsuan
surat. Walaupun pada masa kerajaan-kerajaan dahulu sudah pula
dikenal surat menyurat, namun penggunaannya masih digunakan dalam
kalangan terbatas, sehingga dapat dijamin keaslian surat yang dibuat
pada masa itu. Kejahatan pemalsuan surat muncul sebagai akibat
pengaruh perkembangan zaman yang menjadikan surat sebagai alat
yang penting untuk berhubungan dan berkomunikasi.
Proses administrasi pemerintahan dijalankan dengan surat me-
nyurat, bahkan dalam bisnis dan perdagangan surat memiliki peranan
yang sangat penting. Dalam hukum acara pidana berdasarkan KUHAP
ditegaskan asas bahwa semua tindakan penegak hukum harus dilaku-
kan dengan dasar surat perintah sesuai dengan prinsip due process
of law. Aneka perjanjian dalam dunia bisnis dilakukan dengan surat.
Dalam Al Qur’an bahkan ditegaskan pula bahwa menuliskan per-
janjian diperintahkan sebagaimana dalam Surat Al Baqarah ayat 282-
283 :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya,
maka hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang ber-
hutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah dia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan jangan-
lah dia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya)
atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah
walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah de-
ngan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan
30 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apa-
bila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis
hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu mem-
bayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (me-
nimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali
jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di
antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu
tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.
Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal
itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah ke-
pada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mem-
percayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia ber-
takwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para
saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya dia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 282-283).
Surat-surat juga penting karena ia merupakan alat bukti yang
kuat dalam hukum, khususnya hukum perdata dimana alat bukti surat
memiliki kekuatan yang lebih kuat daripada alat bukti lain termasuk
saksi atau sumpah.
Secara normatif, kejahatan pemalsuan diatur dalam Bab XII
Pasal 263 KUHP yaitu :
(1) “Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat
yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pem-
bebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti suatu
hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain
memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak
palsu, diancam bila pemakaian tersebut dapat menimbulkan
Delik-delik Populer 31
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara pa-
ling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan se-
ngaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah
asli, bila pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.“
Kalimat di atas adalah terjemahan dari Pasal 263 WvS yang
aslinya berbunyi :
(1) Hij, die een geschrift waaruit eenig recht, eenige verbintenis
of enoige bevrijding vatr schuld kan ontstaan, of dat
bestemd is om tot bewijs van eenig feit te dienen, valschelijk
opomaakt of vervalsch, met het oogmerk om het als echt
en onvervalscht te gebruiken of door anderen te doen
gebruieken, wordt, indien uit dat gebruik eenig nadeel kan
ontstaan, als schuldig aan vatschheid in geschrif, gestraft
met gevangeaisstraf van ten hoogste zes jaren
(2) Met dezelfde straf wordt gestraft hi, die opzettelijk gebruik maakt
van het valsche of vervalschte geschrift als ware het echt en
onvervalscht, indien uit dat gebruik eenig nadeel kan ontstaan.”
Varian atau model pemalsuan surat sesungguhnya cukup banyak
antara lain :
Pasal 264
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun, bila dilakukan terhadap:
1. akta-akta otentik; (KUHPerd. 1868 dst.)
2. surat utang atau sertifikat utang dari suatu negara atau
bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
3. surat sero atau utang atau sertifikat sero atau utang dari
suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;
4. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat
yang diterangkan dalam nomor 2 dan 3, atau tanda bukti
yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5. surat kredit atau surat dagang yang disediakan untuk di-
edarkan.
(2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan se-
ngaja memakai surat tersebut dalam ayat (1), yang isinya tidak
asli atau yang dipalsukan seolah olah benar dan tidak di-
palsukan, bila pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
32 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
Pasal 266
(1) Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke
dalam suatu akta otentik mengenai suatu hal yang kebenaran-
nya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk me-
makai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah
keterangan itu sesuai dengan kebenarannya, diancam, bila
pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan se-
ngaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai de-
ngan kebenarannya, bila pemakaian tersebut dapat menimbul-
kan kerugian.
Pasal 267
(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat kete-
rangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan
atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.
(2) Bila keterangan itu diberikan dengan maksud untuk memasuk-
kan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau supaya ia di-
tahan di situ, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan
tahun enam bulan.
(3) Barangsiapa dengan sengaja memakai surat keterangan palsu
itu seolah olah isinya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan
pidana yang sama.
Pasal 268
(1) Barangsiapa membuat surat keterangan dokter yang palsu atau
memalsukan surat keterangan dokter tentang ada atau tidak
adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud untuk
menyesatkan penguasa umum atau penanggung, diancam de-
ngan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Barangsiapa dengan maksud yang sama memakai surat
keterangan yang tidak benar atau yang palsu, seolah-olah surat
itu benar dan tidak palsu, diancam dengan pidana yang sama.
Pasal 269
(1) Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsukan
surat keterangan tanda kelakuan baik, kecakapan, kemiskinan,
kecacatan atau keadaan lain, dengan maksud untuk memakai
atau menyuruh orang lain memakai surat itu supaya diterima
Delik-delik Populer 33
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
bekerja atau supaya menimbulkan kemurahan hati dan per-
tolongan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan.
(2) Barangsiapa dengan sengaja inemakai surat keterangan yang
palsu atau yang dipalsukan tersebut dalam ayat (1), seolah-
olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, diancam dengan pi-
dana yang sama.
Pasal 270
(1) Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsukan
pas jalan atau surat penggantinya, kartu keamanan, surat
perintah jalan atau surat yang diberikan menurut ketentuan
undang-undang tentang pemberian izin kepada orang asing
untuk masuk ke dan menetap di Indonesia, atau barangsiapa
menyuruh memberikan surat serupa itu atas nama palsu atau
nama kecil yang palsu atau dengan menunjuk pada keadaan
palsu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang
lain memakai surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan
atau seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
(2) Barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak
benar atau yang dipalsukan seperti tersebut dalam ayat (1),
seolah-olah surat itu benar dan tidak dipalsukan atau seolah-
olah isinya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana
yang sama.
Pasal 271
(1) Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsukan
surat pengantar bagi kerbau atau sapi, atau menyuruh mem-
berikan surat serupa itu atas nama palsu atau dengan menunjuk
pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai atau me-
nyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah isinya sesuai
dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan.
(2) Barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang palsu atau
yang dipalsukan tersebut dalam ayat (1), seolah-olah surat
itu asli dan tidak dipalsukan atau seolah-olah isinya sesuai dengan
kebenaran, diancam dengan pidana yang sama (KUHP 263).
Pasal 274
(1) Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsukan
surat keterangan seorang pejabat selaku penguasa yang sah,
34 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
tentang hak milik atau hak lainnya atas suatu barang, dengan
maksud untuk memudahkan penjualan atau penggadaiannya
atau untuk menyesatkan pejabat kehakiman atau kepolisian
tentang asalnya, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua tahun.
(2) Barangsiapa dengan maksud seperti tersebut di atas memakai
surat keterangan itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan,
diancam dengan pidana yang sama.
Pasal 275
Barangsiapa menyimpan bahan atau benda yang diketahuinya akan
digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan seperti tersebut
dalam pasal 264 nomor 2-5, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
Delik-delik Populer 35
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
surat itu. Memalsu tanda tangan masuk pengertian me-
malsu surat dalam pasal ini.1 Menurut Chazawi bahwa mem-
buat surat palsu ini dapat berupa : (1) Membuat suatu surat
yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau berten-
tangan dengan kebenaran. Membuat surat palsu yang demikian
disebut dengan pemalsuan intelektual.(2) Membuat sebuah
surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain
si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini
disebut dengan pemalsuan materiil. Palsunya surat atau tidak
benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat.2
c. Yang dapat menerbitkan suatu hak, sesuatu perjanjian (kewa-
jiban) atau sesuatu pembebasan hutang, atau yang boleh di-
pergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, surat
tersebut jika digunakan dapat menimbulkan akibat hukum
berupa menerbitkan suatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban)
atau sesuatu pembebasan hutang.
d. dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain
surat surat itu seolah olah surat itu asli dan tidak dipalsukan,
dengan maksud adalah sama dengan niat atau berniat. Adapun
niat terletak dalam sikap batin (mens rea) para pelaku. Meski-
pun apa yang ada di dalam hati atau sikap bathin seseorang
subjek hukum tidak dapat diidentifikasi dengan segera, bagai-
mana sikap bathin seseorang dapat dilihat dari perbuatan
permulaan. Niat disebut juga sebagai unsur subjektif dalam
diri si pelaku atau dengan maksud (met het orgnierk) disebut
juga dolus atau kesengajaan. Dalam kasus pemalsuan, me-
nurut Soerodibroto,3 kesengajaan untuk menimbulkan kerugian
tidak disyaratkan, akan tetapi hanya kesengajaan untuk me-
makai atau suruh pakai surat yang palsu atau dipalsukan se-
bagaimana terdapat dalam Yurisprudensi Hoge Raad tanggal
27 Desember 1886. Menurut Chazawi untuk terpenuhi unsur
ini harus dipenuhi hal-hal yaitu: si pembuat menghendaki untuk
memakai surat palsu atau yang dipalsu, si pembuat menge-
tahui bahwa surat itu sebagian atau seluruhnya isinya palsu
1
R Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Politea, Bogor, 1996)
2
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan. Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2001, hlm. 100.
3
Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996,
hlm.156
36 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
atau dipalsu, bahkan harus mengerti pula pada bagian yang
mana isinya yang palsu atau dipalsu tersebut, si pembuat
mengetahui atau menyadari bahwa dengan pemakaian surat
tersebut dapat menimbulkan kerugian, serta si pembuat me-
makai surat itu disadarinya seperti menggunakan surat asli
atau menggunakan surat yang tidak dipalsu.
e. Maka kalau menggunakannya dapat mendatangkan sesuatu
kerugian, yaitu dapat mendatangkan kerugian, tidak mesti telah
timbul kerugian akibat dari perbuatan tersebut. Suatu surat
yang dipalsukan namun pemalsuannnya tidak menyebabkan
berubah akibat hukum dari pemalsuan tersebut tidak dapat
menyebabkan pelakunya dihukum karena melanggar Pasal
263. Surat demikian memang benar palsu, tetapi tidak akan
menimbulkan akibat hukum apa-apa, contohnya surat yang
dirobah gaya tulisannya, ditambah dengan gelar kesarjanaan
yang memang benar ia adalah seorang dengan gelar kesar-
janaan demikian, namun dalam suatu surat yang telah dibuat
tidak ada gelar kesarjanaannya, maka penambaan sendiri
gelar kesarjanaan demikian tidak menyebabkan terpenuhinya
unsur Pasal 263.
Delik-delik Populer 37
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
sikap bathin seseorang dapat dilihat dari perbuatan permu-
laan. Niat disebut juga sebagai unsur subjektif dalam diri si
pelaku atau dengan maksud (met het orgnierk) disebut juga
dolus atau kesengajaan. Dalam kasus pemalsuan, menurut
Soerodibroto4 kesengajaan untuk menimbulkan kerugian tidak
disyaratkan, akan tetapi hanya kesengajaan untuk memakai
atau suruh pakai surat yang palsu atau dipalsukan sebagaimana
terdapat dalam Yurisprudensi Hoge Raad tanggal 27 De-
sember 1886. Menurut Chazawi untuk terpenuhi unsur ini
harus dipenuhi hal-hal yaitu : si pembuat menghendaki untuk
memakai surat palsu atau yang dipalsu, si pembuat menge-
tahui bahwa surat itu sebagian atau seluruhnya isinya palsu
atau dipalsu, bahkan harus mengerti pula pada bagian yang
mana isinya yang palsu atau dipalsu tersebut, si pembuat me-
ngetahui atau menyadari bahwa dengan pemakaian surat
tersebut dapat menimbulkan kerugian, serta si pembuat me-
makai surat itu disadarinya seperti menggunakan surat asli
atau menggunakan surat yang tidak dipalsu.
c. Kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu
kerugian, yaitu dapat mendatangkan kerugian, tidak mesti telah
timbul kerugian akibat dari perbuatan tersebut.
KUHP secara limitatif membatasi surat yang dapat menjadi
objek dalam Pasal 263 yaitu terbatas pada surat dapat menimbulkan
suatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan
sebagai bukti suatu hal. Dengan demikian surat-surat yang dimaksud
dalam Pasal 263 adalah surat yang berhubungan dengan administrasi
pemerintahan dan surat yang berhubungan dengan administrasi per-
niagaan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Surat-surat biasa
seperti surat cinta atau surat pribadi tentu saja tidak masuk dalam
pengertian ini.
Namun demikian, bukan tidak mungkin suatu surat pribadi akan
dapat menimbulkan hak pula, karena kerugian yang dimaksud dalam
Pasal 263 tidak pula harus bersifat kerugian materil. Misalnya se-
orang wanita membuat surat cinta palsu yang seolah-olah pernah
dikirimkan seorang pejabat negara yang mana karena surat cinta
4
Ibid
38 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
palsu tersebut pejabat negara dirugikan secara immateril yang dapat
mengganggu hubungan perkawinan pejabat negara yang bersangkutan.
Dengan demikian, walaupun secara prinsip yang tegas disebutkan
bahwa surat yang dimaksud dalam Pasal 263 harus merupakan surat
yang dapat menjadi alat bukti, pengertian ini kemudian diperluas
oleh Pasal 263 itu sendiri dengan surat yang diperuntukkan sebagai
bukti suatu hal. Klausul “surat yang diperuntukkan sebagai bukti suatu
hal”, demikian luasnya. Dalam lapangan hukum administrasi negara,
surat yang berupa nota pejabat saja dapat pula dianggap sebagai bukti,
termasuk dalam perkara pidana, coret-coretan seseorang di selembar
kertas saja dapat pula dijadikan alat bukti.
Pemahaman ini juga didasarkan adanya pengaturan Pasal 264
yang mengatur pemalsuan terhadap akta otentik. Jika surat yang di-
maksud dalam Pasal 263 tidak termasuk surat-surat pribadi, maka
sudah tentu tidak perlu ada Pasal 264.
Adapun pengertian akta otentik dituangkan dalam pasal 1868
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatakan bahwa:
“Akta otentik adalah akta yang (dibuat) dalam bentuk yang di-
tentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai
umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya.”
Bentuknya sesuai undang-undang antara lain akta notaris se-
bagai pejabat publik yang memang ditugaskan untuk mencatatkan
berbagai akta perjanjian, akta perkawinan, akta kelahiran dan lain-
lain sudah ditentukan format dan isinya oleh undang-undang. Namun
ada juga akta-akta yang bersifat perjanjian antara kedua belah pihak
yang isinya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai
dengan azas kebebasan berkontrak.
Syarat lain untuk disebut akta otentik adalah dibuat “Pejabat
Umum Yang Berwenang” termasuk pejabat tata usaha negara menurut
kaedah hukum administrasi negara. Syarat berikutnya adalah bahwa
surat tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Dalam
hal diperlukan sebagai alat bukti di Pengadilan misalnya, akta-akta
otentik tersebut merupakan bukti yang tidak dapat disangkal lagi.
Kecuali pihak lawan atau pengajukan bukti lain yang menyatakan
sebaliknya. Jadi kalau seseorang menyatakan bahwa akta kelahiran
Delik-delik Populer 39
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
seorang anak palsu misalnya, maka si penyangkal harus membukti-
kan dengan melampirkan berbagai bukti-bukti lain yang mendukung
tuduhan tentang ketidakbenaran akta kelahiran tersebut.
Satochid Kertanegara menyatakan, bahwa salah satu tujuan di-
aturnya pasal pemalsuan adalah guna memberikan perlindungan hukum
terhadap kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran isi surat-surat
tersebut (publica fides) pada surat.5 Dengan demikian, maka yang
menjadi korban dalam tindak pidana pemalsuan, tidak harus orang
yang secara langsung dirugikan, karena surat-surat berhubungan de-
ngan kepercayaan publik, maka yang dapat menjadi korban dalam
delik pemalsuan adalah orang banyak atau publik.
5
Adami Chazawi, Op.cit. hlm,135
40 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
masyarakat atas adanya surat. Surat harus dipandang sedemikian
rupa sebagai dokumen yang dapat dipercaya yang jika ada pemal-
suannya, maka tindakan tersebut telah menimbulkan kerugian bagi
banyak orang.
Dalam pengertian ini, juga sering dihadapi dalam praktik bahwa
pemalsuan yang tidak mengubah suatu keadaan hukum juga tidak
dapat dianggap sebagai tindak pidana pemalsuan. Contohnya adalah
pemalsuan berupa kesalahan penulisan nama dalam suatu ijazah,
baik disengaja maupun karena kekeliruan. Belum dapat disebut
sebagai tindak pidana pemalsuan jika perubahan tersebut tidak
menimbulkan akibat yang berbeda bagi si pemilik ijazah. Maksudnya
jika nama yang tertera di ijazah adalah nama yang asli, orangnya itu
juga, bukan orang lain. Misalnya nama pemilik ijazah adalah Rudi
Hartono, lalu ditambah sendiri dengan nama Rudi Hartono Arifin.
Dalam hal ini unsur palsunya sesungguhnya sudah terpenuhi, yaitu
berubahnya isi ijazah dengan ditambahkannya nama Arifin, tetapi
itu tidak menjadikan ijazah itu seolah-olah menjadi milik orang lain,
maka dalam kasus seperti itu belum sempurna sebagai tindak pidana
pemalsuan. Lain halnya jika nama yang dirubah berbeda sama sekali
dimana ada nama orang lain yang berlainan dengan si pemilik ijazah
yang sebenarnya, atau dapat juga termasuk pemalsuan jika nama
yang dituliskan berisifat fiktif, maka hal itu juga sempurna sebagai
pemalsuan.
Yang sering juga terjadi dalam ranah praktik adalah adanya
anggapan bahwa jika surat-surat telah diperiksa dalam perkara per-
data dan perkara tersebut telah diputus serta memiliki kekuatan hu-
kum mengikat, maka dengan sendirinya surat itu dianggap sah dan
tidak palsu, adalah anggapan yang keliru. Dalam hal adanya dugaan
surat sebagai palsu, tetap harus dapat diperiksa untuk menguji asli
atau palsunya surat. Dalam hukum acara perdata yang diperiksa
adalah kebenaran formal belaka, terbatas apakah ada surat atau tidak
yang menjadi alat bukti. Tentang apakah bukti surat tersebut sah
atau tidak sah merupakan kompetensi hukum administrasi negara,
sedangkan jika ada indikasi surat tersebut palsu, maka tetap harus
Delik-delik Populer 41
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
diperiksa di lapangan hukum pidana. Termasuk dalam pemalsuan
tanda tangan adalah membubuhkan tanda tangan di atas nama orang
lain, atau menempel foto yang lain selain yang berhak.
Apakah terhadap semua delik pemalsuan harus dilakukan uji
forensik tentang keaslian dokumen berupa tulisan atau yang paling
umum adalah pemalsuan tanda tangan? Sebagaimana pembagian
perbuatan dalam delik pemalsuan yaitu membuat surat palsu dan
memalsu surat, maka dapat ditegaskan bahwa dalam hal perbuatan
yang dituduhkan adalah memalsu surat, maka pengujian di labora-
torium forensik mutlak diperlukan, sedangkan dalam membuat surat
palsu, atau pemalsuan intelektual, tidak diperlukan uji laboratorium,
karena untuk membuktikan apakah surat itu asli atau palsu bukan
dengan memlihat tanda tangan, tetapi lebih kepada peristiwanya.
Dalam pemalsuan intelektual, orang yang membuat surat memang
berwenang membuat surat dan sudah pasti pula tanda tangannya asli.
Yang palsu adalah apa yang dibunyikan dalam surat. Karena itu untuk
membuktikannya cukup dengan memeriksa alat-alat bukti mulai dari
keterangan saksi, keterangan ahli dan surat itu sendiri.
Pertanyaan yang sering mengemuka adalah tentang daluarsa.
Daluarsa dalam delik pemalsuan sama dengan daluarsa delik lainnya.
Yang bersifat khusus adalah bahwa dalam pemalsuan, perhitungan
daluarsa adalah sehari sesudah surat itu digunakan berdasarkan ke-
tentuan Pasal 79 yaitu bahan mengenai pemalsuan atau perusakan
mata uang, tenggang daluarsa mulai berlaku pada hari sesudah barang
yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan.
Dalam hal delik menggunakan surat palsu, sering juga muncul
anggapan bahwa harus dibuktikan dahulu bahwa surat itu palsu, baru-
lah dapat diproses hukum delik menggunakan surat palsu. Para ahli
tidak ada perdebatan tentang ini bahwa pemeriksaan delik mengguna-
kan surat palsu dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan ten-
tang dugaan membuat surat palsu. Dengan adanya pemeriksaan delik
penggunaan surat palsu, maka dalam pemeriksaan itulah nanti di-
buktikan pula apakah surat itu palsu atau tidak, walaupun untuk mem-
buat surat palsu tidak lagi dapat dihukum karena sudah daluarsa.
Jadi, dalam hal ini berbeda antara pembuktian surat palsu dengan
42 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
pengenaan pertanggungjawaban pidana. Yang tidak lagi dapat di-
lakukan dengan daluarsa adalah pengenaan pertanggungjawaban
pidana, bukan pembuktian. Pembuktian dapat dilakukan sekaligus
dengan pembuktian penggunaan surat palsu.
Menurut Chazawi, untuk terpenuhi unsur ini harus dipenuhi hal-
hal yaitu : si pembuat menghendaki untuk memakai surat palsu atau
yang dipalsu, si pembuat mengetahui bahwa surat itu sebagian atau
seluruhnya isinya palsu atau dipalsu, bahkan harus mengerti pula
pada bagian yang mana isinya yang palsu atau dipalsu tersebut. Si
pembuat mengetahui atau menyadari bahwa dengan pemakaian surat
tersebut dapat menimbulkan kerugian, serta si pembuat meemakai
surat itu disadarinya seperti menggunakan surat asli atau mengguna-
kan surat yang tidak dipalsu. Jadi, jika orang tidak tersebut benar-
benar tidak mengetahui bahwa surat yang ia gunakan adalah palsu,
maka ia tidak dapat dianggap memenuhi unsur dengan sengaja.
Memang tidak mudah menentukan apakah si pengguna surat
palsu mengetahui bahwa surat itu asli atau palsu. Saat diperiksa pe-
nyidik, walaupun mereka mengetahui sangat mungkin mereka mengaku
tidak mengetahui. Dengan demikian, untuk menentukan apakah pelaku
mengetahui atau tidak adalah dengan memeriksa saksi yang menge-
tahui bahwa sudah ada orang baik orang lain atau saksi sendiri mem-
beritahu kepada pelaku tentang palsunya surat. Maka tempus delicti
penggunaan surat palsu baru dapat dipersalahkan kepada pelaku ada-
lah sesudah ada yang memberitahunya tentang palsunya surat. Jika
tidak dapat dibuktikan ada yang telah memberitahunya, maka orang
tidak dapat dianggap sebagai pengguna surat palsu.
Terhadap apa yang dimaksud dengan akta otentik, di muka sudah
dijelaskan apa yang dimaksud dengan akte otentik, namun seringkali
akta otentik dipahami terbatas pada surat-surat yang dibuat di lapa-
ngan hukum perdata. Surat-surat resmi pemerintah tidak dianggap
sebagai akta otentik. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa semua
surat yang dikeluarkan secara resmi adalah akta otentik. Sejalan de-
ngan apa yang disampaikan Satochid Kertanegara di atas, akta otentik
dibuat dengan asumsi tingkat keabsahan yang tinggi. Jika surat resmi
Delik-delik Populer 43
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
begitu saja ternyata dipalsu, maka unsur pencelaannya menjadi lebih
tinggi. Jika surat pemerintah dibuat dengan cara dan prosedur yang
salah dimana isinya salah, dan kesalahan itu disengaja maka per-
buatan tersebut adalah perbuatan memasukkan keterangan palsu dalam
akta otentik, dan atas perbuatan itu juga dapat dikenakan sanksi
administrasi dimana pejabat yang membuat dapat diberhentikan atau
diberikan tindakan administrasi lainnya.
Terkait dengan foto copy surat, para penegak hukum sering
merujuk pada bunyi ketentuan Pasal 1888 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta
aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta
ihtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya sekedar salinan salinan
serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa
dapat diperntahkan mempertunjukkannya.
Dengan merujuk bunyi Pasal tersebut, banyak ditafsirkan bahwa
foto copy surat tidak dapat dijadikan alat bukti sehingga jika surat
yang dipalsu berbentuk foto copy, kasus yang dilaporkan tidak dapat
diproses. Penulis berpendapat berbeda dalam memahami ketentuan
Pasal 1888 KUHPerdata di atas. Pasal tersebut mengatur bahwa jika
ada dua surat satu asli dan satu foto copy, maka foto copy dapat di-
akui sepanjang sesuai dengan yang aslinya.
Bagaimana dengan suatu surat yang hanya ada foto copynya
saja, sementara yang asli tidak ada lagi, dan foto copy surat itu lah
yang jadi dasar kepemilikan suatu barang, tanah umpamanya. Dalam
hal ini penulis berpendapat bahwa suatu foto copy semacam itu tetap
dapat dijadikan sebagai alat bukti. Jika ada pihak lain yang juga
memiliki surat yang ternyata asli, bukan foto copy, maka berlakulah
ketentuan Pasal 1888 KUHPerdata dimana yang asli yang berlaku.
Jika kedua-duanya foto copy, maka keadaan hukumnya sama dengan
jika keduanya asli (bukan foto copy). Jika keduanya dianggap “asli”
dan kedua belah pihak merasa dan mengakui keduanya “asli”, maka
pengadilanlah yang memutuskan berdasarkan alat-alat bukti tentang
mana yang benar-benar asli dan mana yang seolah-olah asli atau palsu.
Tidak boleh ada dua surat untuk satu objek yang sama.
44 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
Pertanyaan lain yang juga sering muncul berkaitan dengan delik
pemlasuan adalah masalah penundaan pemeriksaan perkara pidana
apabila di saat yang bersamaan kasus yang sama sedang diperiksa
juga dalam perkara perdata. Dalil yang digunakan Pasal 1 Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 yang intinya menyatakan: “Apa-
bila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu
hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum an-
tara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat di-
pertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pe-
meriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak
perdata itu”.
Dalam perkara pemalsuan, yang terjadi seharusnya justru se-
baliknya. Suatu perkara perdata yang memeriksa tentang keabsahan
sesuatu hak yang mendasaran kepada bukti surat-surat dapat saja
ternyata merupakan surat palsu atau surat yang dipalsu. Justru dengan
adanya Peraturan Mahkamah Agung tadi, dapat berlaku penerapan
hukum secara argumentatum a contrario bahwa pemeriksaan dalam
perkara perdatalah yang seharusnya menunggu sampai adanya pu-
tusan dalam perkara pidana yang memeriksa keaslian surat. Jika
tidak ditunda bisa jadi di suatu saat setelah perkara perdata diputus
dan memiliki kekuatan hukum tetap, baru diputus tentang palsunya
surat dalam peradilan pidana, tentu akan berdampak pula kepada
keabsahan alat bukti yang tadinya diajukan dalam perkara perdata.
Meskipun setelah ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
diajukan peninjauan kembali, tentu saja kejadian ini mengabaikan
kepastian hukum dan asas peradilan cepat dan sederhana.
Delik-delik Populer 45
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan utang,
atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal, dengan
maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang lain me-
nggunakan seolah olah isinya benar dan tidak palsu, jika pe-
nggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian; atau
b. menggunakan surat yang isinya tidak benar atau dipalsu, se-
olah-olah benar atau tidak palsu, jika penggunaan surat ter-
sebut dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 453
Dipidana karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling
lama 9 (sembilan) tahun, setiap orang yang:
a. membuat secara tidak benar atau memalsu:
1. akta otentik;
2. surat utang atau sertifikat utang dari suatu negara atau
bagiannya atau dari suatu lembaga umum;
3. saham, surat utang, sertifikat saham, sertifikat utang dari
suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau persekutuan;
4. talon, tanda bukti dividen atau tanda bukti bunga salah
satu surat sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan
angka 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai peng-
ganti surat surat tersebut;
5. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan guna
diedarkan;
6. surat keterangan mengenai hak atas tanah; atau
7. surat-surat berharga lainnya.
b. menggunakan surat-surat sebagaimana dimaksud pada huruf
a, yang isinya tidak benar atau dipalsu, jika penggunaan surat
tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Dari rumusan Pasal 452 dan Pasal 453 RUU KUHP terlihat
bahwa hampir tidak ada perbedaan rumusan dalam RUU KUHP de-
ngan rumusan KUHP sekarang. Penambahan ada pada Pasal 453
yaitu tentang surat keterangan mengenai hak atas tanah. Seiring dengan
perkembangan zaman yang makin maju yang membutuhkan surat-
surat dalam keseharian, maka tentu saja makin banyak lagi surat-surat
yang dipalsukan.
46 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
Bab IV
PENIPUAN
(BEDROG)
Delik-delik Populer 47
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
- Penipuan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan (Pasal
379a) yaitu Barangsiapa menjadikan pembelian barang-barang
sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, dengan maksud
untuk memastikan penguasaan terhadap barang-barang itu
untuk diri sendiri maupun untuk orang lain tanpa membayar
lunas
- Penipuan intelektual (Pasal 380) yaitu barangsiapa menaruh
suatu nama atau tanda palsu, memalsukan nama atau tanda
yang asli pada atau di dalam suatu karya kesusastraan, ke-
ilmuan, kesenian atau kerajinan, dengan maksud supaya orang
mengira bahwa itu benar-benar karya orang yang nama atau
tandanya ditaruh pada atau di dalamnya tadi; barangsiapa
dengan sengaja menjual, menawarkan, menyerahkan, mempu-
nyai persediaan untuk dijual atau memasukkan ke Indonesia,
karya kesusastraan, keilmuan, kesenian atau kerajinan, yang
di dalam atau padanya telah ditaruh nama atau tanda yang
palsu, atau yang nama atau tandanya yang asli telah dipalsu-
kan, seakan-akan itu benar-benar karya orang yang nama atau
tandanya telah ditaruh secara palsu tadi.
- Penipuan yang berkaitan dengan asuransi (Pasal 381) yaitu
Barangsiapa dengan jalan tipu-muslihat menyesatkan pena-
nggung asuransi mengenai keadaan-keadaan yang berhubu-
ngan dengan pertanggungan sehingga penanggung itu menye-
tujui perjanjian, yang tentu tidak akan disetujuinya atau sekurang-
kurangnya tidak akan disetujuinya dengan syarat-syarat de-
mikian, bila sekiranya diketahuinya keadaan yang sebenarnya.
- Penipuan yang menyebabkan kebakaran (Pasal 382) yaitu
barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum serta merugikan pe-
nanggung asuransi atau pemegang surat bodemerij yang sah,
menimbulkan kebakaran atau ledakan pada suatu barang yang
dipertanggungkan terhadap bahaya kebakaran, atau meng-
aramkan, mendamparkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tak dapat dipakai, kapal yang dipertanggungkan,
atau yang muatannya maupun upah yang akan diterima untuk
pengangkutan muatannya dipertanggungkan, ataupun yang
atasnya telah diterima uang bodemerij, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
- Penipuan dalam perdagangan (Pasal 382 bis) yaitu bara-
48 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
ngsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas
hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang
lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak
umum atau seorang tertentu, diancam karena persaingan curang,
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan
atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah,
bila perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren-
konkurennya atau konkuren-konkuren orang lain itu.
- Penipuan dalam jual beli (Pasal 383) yaitu seorang penjual
yang berbuat curang terhadap pembeli: karena ia dengan se-
ngaja menyerahkan barang yang lain daripada yang ditunjuk
untuk dibeli; mengenai jenis, keadaan atau jumlah barang yang
diserahkan dengan menggunakan tipu-muslihat.
Delik-delik Populer 49
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
adanya unsur kebohongan, tipu daya dan rangkaian kebohongan.
Korban terperdaya oleh kelihaian pelaku berbohong atau merekayasa
suatu keadaan atau menutupi suatu fakta yang sebenarnya yang sean-
dainya diketahui oleh korban penyerahan barang tidak akan terjadi.
Jika penyerahan barang terjadi akan tetapi dilakukan atas dasar
kesepakatan bersama dimana tidak ada yang ditutup-tutupi sehingga
terjadi penyerahan barang, itu tidak termasuk penipuan. Demikian
juga jika saat penyerahan barang, pihak yang dituduh sebagai pelaku
telah menjelaskan segala akibat yang timbul dimana kedua belah pihak
bersedia menanggung kerugian, maka itu tidak dapat disebut penipuan.
Demikian pula perjanjian bisnis yang berakibat kerugian yang tidak
dapat diperkirakan sebelumnya adalah murni resiko bisnis yang tidak
dapat dikatakan penipuan.
Tidak dapat juga disebut penipuan jika orang yang mengaku
sebagai korban tidak patut menjadi korban. Misalnya seorang insinyur
merasa tidak bisa membedakan mana mobil dan mana sepeda motor,
maka sudah jelaslah itu bukan penipuan. Yang dapat menjadi korban
penipuan adalah orang yang memang secara normal wajar tidak me-
ngetahui tipu muslihat dari pelaku.
Dilihat dari berpindahnya barang penipuan berbeda dengan
pencurian dimana pelaku bersifat pasif, yakni hanya menerima. Yang
memindahkan barang dari penguasaan pemilik kepada penipu adalah
pemilik barang itu sendiri. Korban dengan kesadaran penuh me-
nyerahkan barang karena ada sesuatu yang ditutup-tutupi melalui
berbagai modus seperti nama atau martabat palsu, rangkaian ke-
bohongan, tipu muslihat. Syarat mutlak untuk adanya penipuan adalah
adanya modus ini. Jika modus ini ditiadakan, maka penipuan dianggap
belum terjadi.
Demikian juga kebohongan saja tidak menyebabkan dikatakan
ada penipuan, jika kebohongan sekedar kebohongan tentang jadwal
kedatangan, kebohongan tentang suatu penyakit, kebohongan tentang
berita (hoax), apabila tidak menyebabkan seseorang menyerahkan
barang kepunyaannya atau yang ada dalam penguasaannya, tidak
dapat dikatakan sebagai penipuan. Kebohongan yang menyebabkan
50 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
keonaran, dipidana dengan pasal tindak pidana yang lain. Keboho-
ngan dalam Pasal 378 adalah kebohongan yang menyebabkan ter-
ciptanya keadaan yaitu diserahkannya barang.
Keadaan objektif dalam penipuan tidak terbatas pada diserah-
kannya barang saja, akan tetapi termasuk pula jika menimbulkan
akibat hukum lain seperti timbulnya piutang bagi pelaku atau hapus-
nya hutang pelaku, seakan-akan korban menjadi berhutang kepada
pelaku atau punya piutang kepada pelaku. Dengan konstruksi hukum
demikian lah, maka pemberian cek kosong termasuk sebagai salah
satu bentuk penipuan, karena memberikan cek seolah-olah ada isinya
yang dapat dicairkan sebagai pembayaran hutang pelaku. Pemberian
cek bersifat perbuatan seakan-akan menghapuskan hutang pelaku
kepada korban, padahal pelaku tahu bahwa saldonya tidak mencukupi.
Tentang apakah memberikan cek kosong merupakan delik pe-
nipuan atau tidak, boleh dikatakan tidak ada perdebatan dalam praktik.
Beberapa Putusan Hakim antara lain Putusan Mahkamah Agung No.
93K/Kr/1969 tertanggal 11 Maret 1970, Putusan Mahkamah Agung
No. 39K/Pid/1984 tertanggal 13 September 1984, Putusan Mahkamah
Agung No. 325K/Pid/1985 yang pada pokoknya menyatakan bahwa
sengketa perdata tidak dapat dipidanakan. Demikian juga Putusan
Mahkamah Agung No. 133 K/Kr/1973, tanggal 15 November 1975
yang berbunyi “Seseorang yang menyerahkan cek, padahal ia me-
ngetahui bahwa cek itu tidak ada dananya, perbuatannya merupakan
tipu muslihat sebagai termaksud dalam pasal 378 K.U.H.P.”
Namun demikian, penegak hukum perlu berhati-hati dalam me-
nerapkan pasal 378 dalam kasus cek kosong. Penuis berpendapat
bahwa tidak selamanya pemberian cek kosong dapat dikualifikasi
sebagai penipuan. Suatu tindak pidana penipuan dengan memberikan
cek kosong dianggap selesai atau sempurna sebagai tindak pidana
adalah pada saat cek hendak dicairkan dan ternyata tidak dapat di-
cairkan karena secara umum suatu tindak pidana penipuan dianggap
selesai saat barang sudah diserahkan, bukan pada saat perbuatan
tipu muslihat, rangkaian kebohongan dan martabat dan keadaan palsu
terjadi. Dalam tindak pidana penipuan terjadi hubungan kausalitas
Delik-delik Populer 51
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
antara pelaku dengan korban. Perbuatan tidak menjadi sempurna
jika korban tidak terpengaruh atau mengetahui ada kebohongan se-
hingga tidak menyerahkan barang.
Dalam hal pemberian cek kosong, jika telah ada pemberitahuan
dari Pelaku agar jangan mencairkan cek yang sudah ditulis, maka
dalam hal ini belum terjadi penipuan. Demikian juga jika ada iktikad
baik dengan cara membayarkan angsuran atau segera membuat per-
nyataan kesanggupan melunasi dan mengakui hutang segera sesudah
pemberi cek menyadari dan mengetahui bahwa cek yang ia berikan
tidak dapat dicairkan menunjukkan adanya iktikad baik dari pemberi
cek, sehingga dapat menghapuskan sifat melawan hukum dari pem-
berian cek karena dalam hukum pidana, seseorang dapat dipidana
adalah apabila ada niat jahat yang patut dicela.
Dilihat dari jenis deliknya, delik penipuan termasuk delik formal
dimana perbuatan dianggap telah sempurna tanpa timbulnya akibat.
Jika melihat keseluruhan konstruksi pasal 378 penulis berpendapat
bahwa penipuan sesungguhnya dapat menjadi delik materil, karena
ada syarat berpindahnya barang. Jika barang tidak berpindah, walau-
pun ada perbuatan membujuk rayu, berbohong atau tipu muslihat,
tidak dapat disebut sebagai penipuan. Kalaupun mau diterapkan suatu
tindak pidana, maka lebih tepat dikualifikasi sebagai percobaan me-
lakukan penipuan.
Masalah yang banyak terjadi dalam ranah praktik adalah di-
mana korban penipuan tidak mendapatkan haknya kembali jika per-
kara ini diselesaikan melalui peradilan pidana. Padahal dalam pi-
kiran korban penipuan, dipidananya pelaku tidaklah penting. Yang
penting adalah pengembalian hak korban. Sedangkan soal pengem-
balian hak korban diselesaikan secara perdata. Di masa yang akan
datang perlu dipikirkan bahwa penyelesaian dalam perkara pidana
dan perkara perdata pada kasus penipuan sebaiknya digabungkan.
Putusan berupa pemidanaan badan juga dapat disertakan dengan
perintah mengembalikan kerugian oleh pelaku kepada korban.
Untuk menentukan apakah dalam suatu perkara yang berawal
dari adanya perjanjian kontraktual antara para pihak dengan pihak
52 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
lain masih merupakan peristiwa hukum perdata atau perbuatan pidana
adalah terletak pada unsur dengan sengaja yang dapat dilihat dari
ada atau tidaknya iktikad baik. Menurut Yahman,1 batas pembeda
antara wanprestasi dengan tindak pidana penipuan adalah terletak
pada niat dan tempus delicti nya. Jika sebelum (ante factum) per-
janjian atau kontrak dibuat telah terdapat niat jahat untuk menipu
dengan modus berupa nama palsu, martabat palsu atau rangkaian
kebohongan atau tipu muslihat. Sedangkan jika niat untuk melakukan
sesuatu yang berlawanan dengan hukum sesudah kontrak berakhir
(post factum), maka hal tersebut bukanlah penipuan, tetapi merupakan
wanprestasi.
Selain itu, untuk menentukan suatu peristiwa merupakan peni-
puan atau sekedar ingkar janji (wanprestasi) juga dapat diperhitung-
kan kapasitas pelapor, apakah si pelapor merupakan orang yang patut
ditipu oleh si Terlapor? Jika status dan kedudukan Pelapor adalah
orang yang sama sekali awam dan sangat mungkin ditipu oleh Ter-
lapor, maka unsur penipuan dapat dianggap telah terpenuhi, namun
jika Pelapor adalah orang yang kapasitas intelektual dan penga-
lamannya sederajat dengan Terlapor, maka adanya kemungkian Pelapor
menjadi korban patut dipertanyakan. Artinya, sudah sewajarnya Pe-
lapor dapat memperkirakan untung dan rugi sebelum mereka meng-
adakan perjanjian kerjasama, jika ternyata terjadi kerugian, kerugian
tersebut sesungguhnya telah dapat diperkirakan sebelumnya.
1
Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan, Jakarta : Prenada
Media Group, Jakarta, tahun 2014, hlm. 258
Delik-delik Populer 53
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
dalam pasal 44 yaitu mereka yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum karena terganggu jiwanya, Pasal 45 yaitu
mereka yang dianggap belum cukup umur, Pasal 48 dan 49
tentang daya paksa dan Pasal 50 dan 51 tentang perintah undang-
undang dan atau jabatan
b. Dengan maksud yaitu dengan niat yang akibat dari perbuatan-
nya telah diketahuinya dan memang diinginkan sebagaimana
yang diniatkan. Menurut Memorie van Toelichting kesenga-
jaan/willen en weten (kehendak & kesadaran), yaitu bahwa
seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja harus
menghendaki perbuatannya dan menyadari/mengerti akan aki-
bat dari perbuatannya itu
c. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yaitu membuat
bertambahnya nilai kekayaan bagi diri sendiri atau orang lain
sebagai akibat dari perbuatan.
d. Dengan melawan hukum artinya perbuatan melanggar pera-
turan perundang-undangan. Dalam ilmu tentang kaedah2 kaedah
dibedakan ke dalam kaedah verbod (larangan), gebod (pe-
rintah) dan mogen (kebolehan). Dalam hukum pidana baik
larangan maupun perintah dapat diformulasikan sebagai tin-
dak pidana. Tindak pidana yang dirumuskan sebagai larangan
adalah delik comisi dan tindak pidana yang dirumuskan se-
bagai perintah untuk melakukan sesuatu disebut delik omisi3
Jika tetap dilakukan suatu perbuatan yang dilarang atau
diperintahkan oleh undang-undang, maka perbuatan tersebut
dapat disebut sebagai perbuatan melawan hukum yaitu per-
buatan melanggar norma-norma sebagaimana yang diatur
dalam hukum baik secara materil yaitu mendasarkan pada
kepatutan yang berlaku dalam masyarakat maupun melawan
hukum formil berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. 4(Melawan hukum” (Wederrechtelijk)
dalam hukum pidana dibedakan menjadi:
1. Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
2
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Penerbit, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1993
3
Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982, hlm.9.
4
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil dalam Hukum
Pidana Indonesia, Bandung : Alumni, 2007).
54 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
2. Wederrechtelijk Materiil, yaitu sesuatu perbuatan “mungkin”
wederrechtelijk, walaupun tidak dengan tegas dilarang
dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang
e. Menggunakan nama palsu atau keadaan palsu, ada dua penger-
tian nama palsu. Pertama, diartikan sebagai suatu nama bukan
namanya sendiri melainkan nama orang lain. Kedua, suatu
nama yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya atau tidak
ada pemiliknya,dalam hal ini kita harus berpegang pada nama
yang dikenal oleh masyarakat luas di sini tidak menggunakan
nama palsu, akan tetapi menggunakan martabat / kedudukan
palsu. Menggunakan martabat/kedudukan palsu (valsche
hoedanigheid) : Ada beberapa istilah yang sering digunakan
sebagai terjemahan dari perkataan valsche hoedanigheid itu,
ialah: keadaan palsu, martabat palsu, sifat palsu, dan kedudukan
palsu. Adapun yang dimaksud dengan kedudukan palsu itu
adalah suatu kedudukan yang disebut/digunakan seseorang,
kedudukan mana menciptakan/mempunyai hak-hak tertentu,
padahal sesungguhnya ia tidak mempunyai hak tertentu itu.
Sudah cukup ada kedudukan palsu misalnya seseorang me-
ngaku seorang pewaris, yang dengan demikian menerima
bagian tertentu dari boedel waris, atau sebagai seorang wali,
ayah atau ibu, kuasa, dan lain sebagainya. Hoge Raad dalam
suatu arrestnya (27-3-1893) menyatakan bahwa “perbuatan
menggunakan kedudukan palsu adalah bersikap secara menipu
terhadap orang ketiga, misalnya sebagai seorang kuasa, se-
orang agen, seorang wali, seorang kurator ataupun yang di-
maksud untuk memperoleh kepercayaan sebagai seorang pe-
dagang atau seorang pejabat”.
f. Menggunakan tipu muslihat (listige kunstgreoen) dan ra-
ngkaian kebohongan (zamenweefsel van verdichtsels): Kedua
cara menggerakkan orang lain ini sama-sama bersifat menipu
atau isinya tidak benar atau palsu, namun dapat me-nimbulkan
kepercayaan/kesan bagi orang lain bahwa semua itu seolah-
olah benar adanya. Namun ada perbedaan, yaitu: pada tipu
muslihat berupa perbuatan, sedangkan pada rangkaian kebo-
hongan berupa ucapan/perkataan
g. Rangkaian kata-kata yang bohong dan atau fiktif yang tidak
sesuai dengan kenyataannya, baik dengan mengatakan yang
tidak sebenarnya, tidak menyatakan yang sebenarnya atau
Delik-delik Populer 55
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
tidak menyatakan apa-apa namun menimbulkan pengertian
yang berbeda bagi orang lain daripada apa yang sebenarnya
h. Mengerakkan orang lain (Bewegen) yaitu menggerakkan. Se-
lain diterjemahkan dengan menggerakkan, ada juga sebagian
ahli dengan menggunakan istilah membujuk atau menggerak-
kan hati. KUHP sendiri tidak memberikan keterangan apapun
tentang istilah bewegen itu. Menggerakkan dapat didefinisi-
kan sebagai perbuatan mempengaruhi atau menanamkan
pengaruh pada orang lain. Objek yang dipengaruhi adalah
kehendak seseorang. Perbuatan menggerakkan adalah berupa
perbuatan yang abstrak, dan akan terlihat bentuknya secara
konkret bila dihubungkan dengan cara melakukannya. Cara
melakukannya inilah sesungguhnya yang lebih berbentuk, yang
bisa dilakukan dengan perbuatan-perbuatan yang benar dan
dengan perbuatan yang tidak benar. Dengan perbuatan yang
benar, misalnya dalam pasal 55 (1) KUHP membujuk atau
menganjurkan untuk melakukan tindak pidana dengan cara:
memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan
kekuasaan dan lain sebagainya. Sedangkan di dalam peni-
puan, menggerakkan adalah dengan cara-cara yang di dalam-
nya mengandung ketidakbenaran, palsu dan bersifat mem-
bohongi atau menipu. Mengapa menggerakkan pada penipuan
ini harus dengan cara-cara yang palsu dan bersifat mem-
bohongi atau tidak benar? Karena kalau menggerakkan di-
lakukan dengan cara yang sesungguhnya, cara yang benar dan
tidak palsu, maka tidak mungkin kehendak orang lain (korban)
akan menjadi terpengaruh, yang pada akhirnya ia menyerahkan
benda, memberi hutang maupun menghapuskan piutang.
Tujuan yang ingin dicapai petindak dalam penipuan hanya
mungkin bisa dicapai dengan melalui perbuatan menggerak-
kan yang menggunakan cara-cara yang tidak benar demikian.
i. Untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya: Pengertian
barang dalam penipuan mempunyai arti yang sama dengan
barang dalam pencurian dan penggelapan, yakni sebagai
barang atau benda yang berwujud dan bergerak. Pada pen-
curian, pemerasan, pengancaman, dan kejahatan terhadap
harta benda lainnya, di mana secara tegas disebutnya unsur
milik orang lain bagi benda objek kejahatan, berbeda dengan
penipuan di mana tidak menyebutkan secara tegas adanya
56 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
unsur yang demikian. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa
pada penipuan benda yang diserahkan dapat terjadi terhadap
benda miliknya sendiri asalkan di dalam hal ini terkandung
maksud pelaku untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain. Pendapat ini didasarkan pada, bahwa dalam penipuan
menguntungkan diri tidak perlu menjadi kenyataan, karena
dalam hal ini hanya unsur maksudnya saja yang ditujukan un-
tuk menambah kekayaan .
j. Atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang:
Perkataan hutang di sini tidak sama artinya dengan hutang
piutang, melainkan diartikan sebagai suatu perjanjian atau
perikatan. Hoge Raad dalam suatu arrestnya (30-1-1928)
menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan hutang adalah
suatu perikatan, misalnya menyetor sejumlah uang jaminan”.
Oleh karena itulah memberi hutang tidak dapat diartikan
sebagai memberi pinjaman uang belaka, melainkan diberi
pengertian yang lebih luas sebagai membuat suatu perikatan
hukum yang membawa akibat timbulnya kewajiban bagi orang
lain untuk menyerahkan/membayar sejumlah uang tertentu.
Misalnya dalam suatu jual beli, timbul suatu kewajiban pem-
beli untuk membayar/menyerahkan sejumlah uang tertentu
yakni harga benda itu kepada penjual. Demikian juga dengan
istilah utang dalam kalimat menghapuskan piutang mempunyai
arti suatu perikatan. Menghapuskan piutang mempunyai
pengertian yang lebih luas dari sekedar membebaskan kewa-
jiban dalam hal membayar hutang atau pinjaman uang belaka.
Menghapuskan piutang adalah menghapuskan segala macam
perikatan hukum yang sudah ada, di mana karenanya me-
nghilangkan kewajiban hukum penipu untuk menyerahkan
sejumlah uang tertentu pada korban atau orang lain.
Delik-delik Populer 57
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
tidak bisa dibawa ke ranah pidana. Dasar hukumnya diatur dalam
Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, berbunyi:
“Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana
penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmam-
puan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang
piutang.”
Selain itu, beberapa putusan pengadilan (Mahkamah Agung)
yang berkekuatan hukum tetap (Yurisprudensi) juga sudah menegaskan
hal yang sama, antara lain:
1. Putusan MA Nomor Register : 93K/Kr/1969, tertanggal 11
Maret 1970 menyatakan: ”Sengketa Hutang-piutang adalah
merupakan sengketa perdata.”
2. Putusan MA Nomor Register : 39K/Pid/1984, tertanggal 13
September 1984 menyatakan: ”Hubungan hukum antara
terdakwa dan saksi merupakan hubungan perdata yaitu hu-
bungan jual beli, sehingga tidak dapat ditafsirkan sebagai
perbuatan tindak pidana penipuan.”
3. Putusan MA Nomor Register : 325K/Pid/1985, tertanggal 8
Oktober 1986 menyatakan: ”Sengketa Perdata Tidak dapat
dipidanakan.”
Selain penipuan menurut Pasal 378, penipuan yang sering
terjadi di tengah masyarakat adalah penipuan menurut Pasal 379 a.
Penipuan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, yaitu barangsiapa
menjadikan pembelian barang-barang sebagai mata pencaharian atau
kebiasaan, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap
barang-barang itu untuk diri sendiri maupun untuk orang lain tanpa
membayar lunas.
Di tengah masyarakat sering dijumpai adanya orang yang me-
miliki kebiasaan berhutang dengan niat tidak membayar atau dengan
cara membayar sebagian saja. Penegak hukum sering menerapkan
Pasal 379a jika korban lebih dari satu, sehingga unsur sebagai mata
pencaharian menjadi terpenuhi. Namun penulis berpendapat unsur
keadaan pelaku bersifat alternatif, jadi tidak harus sebagai mata
pencaharian, tetapi juga jika pelaku menjadikan perbuatan itu sebagai
kebiasaan, yaitu meminjam atau berutang barang yang kemudian tidak
58 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
dibayar. Perbuatan kebiasaan seperti itu sungguh patut dicela, yang
jika dilakukan berulang-ulang patut ditegakkan kepadanya hukum pidana.
Delik-delik Populer 59
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), maka pembuat tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 619, dipidana karena pe-
nipuan ringan, dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan
atau pidana denda paling banyak Kategori II.
Bagian Kedua
Perbuatan Curang
Pasal 623
Setiap orang yang melakukan perbuatan dengan cara curang yang
dapat mengakibatkan orang lain menderita kerugian ekonomi,
melalui pengakuan palsu atau dengan tidak memberitahukan
keadaan yang sebenarnya, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.
Pasal 624
Setiap orang yang memperoleh secara curang suatu jasa untuk
diri sendiri atau orang lain dari pihak ketiga tanpa membayar
penuh penggunaan jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori II.
Pasal 625
Setiap orang yang menjadikan sebagai mata pencaharian atau
kebiasaan membeli barang dengan maksud untuk menguasai
barang tersebut bagi diri sendiri atau orang lain tanpa melunasi
pembayaran, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
60 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
Bab V
DELIK PENGGELAPAN
(VERDUISTERING)
Delik-delik Populer 61
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
B. Perbedaan Penggelapan dengan Penipuan dan Pencurian
Seperti pencurian dan penipuan, penggelapan juga merupakan
kejahatan terhadap harta benda. Ketiga jenis kejahatan hampir sama
khususnya antara penipuan dengan penggelapan. Dalam laporan
masyarakat kepada polisi, jenis dua tindak pidana ini digabungkan,
bahkan dalam dakwaan seringkali jaksa penuntut umum menggabung-
kan dua jenis tindak pidana ini. Selain memang ada kemiripan antara
kedua jenis tindak pidana ini, penipuan dan penggelapan berasal dari
satu peristiwa yang sama. Padahal sesungguhnya terdapat perbedaan
yang hakiki antara keduanya. Perbedaan itu adalah terkait tempus
delicti kapan niat jahat muncul, apakah setelah barang ada dalam
kekuasaan pelaku atau sebelum berada dalam kekuasaan pelaku. Jika
niat jahat muncul sebelum barang diserahkan oleh korban, maka itu
adalah penipuan, sedangkan jika niat jahat muncul setelah barang
ada pada pelaku yang didapatkannya dengan cara yang sah, maka itu
adalah penggelapan.
Adapun perbedaan penggelapan dengan pencurian adalah
terletak pada proses berpindahnya barang. Jika proses berpindahnya
barang dilakukan tidak dengan melanggar hukum, bisa jadi itu pe-
nggelapan, akan tetapi jika proses berpindahnya barang terjadi secara
melawan hukum, maka itu adalah pencurian atau bisa juga delik lain
seperti perampasan. Yang membedakan antara perampasan dengan
pencurian adalah jika dalam pencurian berpindahnya barang dilaku-
kan oleh pelaku sedangkan jika berpindahnya barang dilakukan oleh
korban maka itu disebut perampasan. Tujuan dari semua kejahatan
terhadap harta benda adalah niat untuk memiliki.
Jadi untuk menilai apakah ada penggelapan atau tidak adalah
apakah ada unsur melawan hukum dalam proses pindahnya barang.
Jika proses berpindahnya barang dilakukan dengan cara yang
bertentangan dengan hukum, maka sudah pasti itu bukan penggelapan
tetapi pencurian.
Masalah praktik dalam penerapan pasal penggelapan adalah
hampir sama dengan masalah praktikal dalam penipuan. Seringkali
susah dibedakan antara perbuatan melawan hukum dalam hukum
62 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
perdata berupa wanprestasi dalam perjanjian dengan penggelapan.
Ada juga anggapan bahwa kalau dianggap sebagai wanprestasi, maka
itu murni perdata dan tidak lagi bisa diproses dengan hukum pidana
atau ada juga anggapan bahwa segala sesuatu yang berawal dari
perjanjian tidak bisa dibawa ke ranah pidana.
Pelanggaran hukum atas perjanjian yang dibuat para pihak
disebut wanprestasi. Adapun wanprestasi berasal dari istilah aslinya
dalam bahasa Belanda “wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya
prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak
tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan
dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-
undang. R. Subekti, mengemukakan bahwa “wanprestasi” itu asalah
kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:
- Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak
sebagai mana yang diperjanjikan,
- Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat, dan
- Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak
dapat dilakukan.
- Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukan-
nya.1
Berdasarkan pengertian wanprestasi tersebut dibandingkan
dengan unsur tindak pidana penggelapan, maka dapat dikatakan bahwa
suatu perbuatan wanprestasi belum tentu merupakan suatu penggela-
pan, tetapi dalam suatu tindak pidana penggelapan sangat mungkin
sekaligus terjadi juga wanprestasi. Adanya wanprestasi adalah satu
syarat untuk terpenuhinynya unsur tindak pidana penggelapan yaitu
unsur melawan hukum yang mana perbuatan wanprestasi adalah per-
buatan melawan hukum.
Jika point 1 sampai 3 yang terjadi, maka itu masih termasuk
wanprestasi, tetapi jika tidak memenuhi sama sekali, seperti pada
point 4, maka disitu lah unsur harus dilihat niat jahat pelaku. Baru dapat
disebut penggelapan adalah jika ia secara sengaja tidak ingin meme-
nuhi kewajibannya. Jika ia tidak memenuhi prestasinya sama sekali
1
R.Subekti, Hukum Perjanjian, Cet.ke-II, Jakarta: Pembimbing Masa, 1970, hlm 50.
Delik-delik Populer 63
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
disebabkan oleh hal yang berada di luar kemampuannya, maka ia
tidak dapat dipidana. Orang tidak dapat dibebankan pertanggung-
jawaban pidana manakala ia tidak mampu untuk melaksanakan ke-
wajibannya, misalnya karena usahnya bangkrut, ia jatuh sakit yang
bersifat permanen atau alasan-alasan lain di luar dirinya.
Tidak dapat juga disebut penggelapan walaupun ia sengaja tidak
memenuhi kewajibannya jika ia punya alasan yang sah dan dapat
dibenarkan menurut hukum. Misalnya jika ia belum mau mengembali-
kan milik orang lain yang ada padanya karena masih ada sangkut
paut hutang piutang, maka pasal pengeglapan belum dapat diterapkan
dalam kasus ini. Jika ada keberatan dari pihak yang memiliki piutang
atau pemilik barang yang sebenarnya, jika ada sangkut paut hutang
piutang, dapat terlebih dahulu diselesaikan melalui jalur perdata.
Masalah praktik lain adalah berkenaan dengan adanya niat baik.
Jika pelaku sudah berusaha mengembalikan kerugian yang dialami
korban, biasanya dianggap unsur memiliki hapus sehingga tidak dapat
dikatakan sebagai penggelapan lagi. Penulis berpendapat berbeda
dengan pendapat yang berkembang di kalangan penegak hukum ini.
Harus lah dilihat niat secara keseluruhan. Jika ia sekedar membayar
sedikit demi untuk menghapuskan unsur memiliki, sementara ia punya
kemampuan lebih, maka ia patut dipersalahkan. Oleh karena itu
dalam dugaan penggelapan harus dilihat secara kasuistis, tidak bisa
digeneralisir. Bisa saja sesungguhnya ia mampu memenuhi kewaji-
bannya melebihi apa yang sudah dilakukan, tetapi ia beriktikad buruk,
sengaja tidak memenuhi kewajibannya, maka pasal 372 dalam kasus
seperti itu dapat diterapkan meskipun berawal dari perjanjian.
Kemudian berkaitan dengan hutang piutang. Pada bab terdahulu
tegas dikatakan bahwa soal hutang piutang adalah murni soal hukum
perdata. Apakah mutlak seperti itu, penulis berpendapat berbeda.
Jika hutang piutang belum terpenuhi sebelum jatuh tempo, benar hal
itu adalah perkara perdata, dan itu tergolong wanprestasi. Akan tetapi
dengan telah berakhirnya masa perjanjian, maka dengan sendirinya
perjanjian sudah berakhir dan batal. Bilamana ia tetap bersikeras
tidak mengembalikan padahal tidak ada alasan yang sah yang di-
64 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
terima logika hukum untuk membuatnya tidak mengembalikan pin-
jaman, maka pelaku telah dapat dipersalahkan menurut Pasal 372.
Unsur terpenting dalam adanya tindak pidana penggelapan ada-
lah unsur “memiliki”. Penggelapan tersebut di pandang sudah sempurna
jika tindakan kepemilikan itu sudah terjadi. Menurut SR Sianturi2
penggelapan dipandang sudah sempurna jika tindakan pemilikan itu
sudah terjadi. Demikian juga pendapat R. Soesilo3 menyatakan: “me-
miliki” = menurut arrest Hoge Raad 16 Oktober 1905 dan 26 Maret
1906 ialah pemegang barang yang menguasai atau bertindak sebagai
pemilik barang itu berlawanan dengan hukum yang mengikat padanya,
sebagai pemegang barang itu. Dipandang sebagai “memiliki” misal-
nya: menjual, memakan, membuang, menggadaikan, membelanjakan
uang dsb.”, sehingga dapat diartikan bahwa dalam penggelapan harus
telah terjadi adanya kepemilikan atas barang yang digelapkan ter-
sebut, jika belum terjadi kepemilikan atas barang tersebut maka
penggelapan belum terjadi, karena unsur memiliki tidak terpenuhi.
Inti dari penggelapan adalah adanya penyelewenangan atau penga-
buran kepemilikan barang. Di sini lah dapat dilihat pemenuhan unsur
niat untuk memiliki. Dari keseluruhan unsur penggelapan, unsur me-
miliki adalah unsur yang terpenting.
Unsur lain yang penting dalam tindak pidana penggelapan adalah
unsur dengan sengaja. Jika tidak dapat dibuktikan seseorang dengan
sengaja memiliki, maka belum dapat dikatakan ada penggelapan.
Demikian pula berkaitan dengan niat jahat. Ini lah yang membedakan
antara penggelapan dengan wanprestasi. Wanprestasi diatur dalam
hukum perdata, dimana tidak dinilai adanya mensrea sedangkan
dalam hukum pidana, yang dinilai adalah niat jahat atau mens rea.
Harus dlihat apakah ada benar-benar kesengajaan untuk tidak melu-
nasi kewajibannya. Jika ada kesengajaan untuk tidak melunasi kewa-
jiban, maka unsur dengan sengaja memiliki sudah terpenuhi, tetapi
ketidakmampuan melunasi kewajiban yang disebabkan keadaan di
2
SR Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta : Penerbit Alumni
AHM-PTHM, 1983, hlm. 626
3
R. Soesilo, hlm. 258
Delik-delik Populer 65
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
luar perhitungan seperti karena resiko bisnis tidak menyebabkan unsur
dengan sengaja memiliki terpenuhi.
Baru lah dapat disebut ada unsur dengan sengaja memiliki jika
orang tersebut memang beriktikad buruk tidak ingin melunasi kewa-
jibannya padahal sebenarnya ia mampu melunasi kewajibannya atau
ia sengaja berbohong seakan-akan ia tidak memiliki kemampuan
melunasi, padahal dapat dibuktikan bahwa ia sesungguhnya mampu
melunasi kewajibannya, maka unsur dengan sengaja memiliki telah
terpenuhi.
66 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
padanya sesuak hatinya termasuk merusaknyan atau mem-
buangnya. Kehendak bebas dari pemilik adalah meliputi bukan
saja kehendak yang bersifat manfaat tetapi juga meliputi ke-
hendak untuk perbuatan negatif.
e. Sesuatu barang, yaitu pada umumnya benda yang berwujud
sebagaimana benda sebagai objek pencurian
f. yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang
lain, Walaupun di dalam benda yang dikuasai ada hak bagi si
pemegang, akan tetapi jika atas benda tersebut ada pula hak
orang lain, maka unsur ini telah terpenuhi.
g. Tetapi yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan,
yaitu penguasaan sebelumnya atas dasar perbuatan yang tidak
melanggar hukum.
Varian dari delik penggelapan dalam KUHP adalah Pasal 374
yaitu penggelapan dalam jabatan. Penggelapan dalam jabatan hanya
menambah unsur adanya jabatan, baik negeri maupun swasta yang
mana jabatan itu menyebabkan ia menjadi pemegang barang yang bukan
miliknya. Dalam praktik yang sering menjadi perdebatan adalah ter-
kait dengan kapan seseorang disebut memegang jabatan. KUHP se-
sungguhnya sudah jelas yaitu jika ia menerima gaji atau upah atau
tunjangan yang disebabkan oleh jabatannya itu. Bendahara organisasi
misalnya yang tidak digaji dalam jabatannya sebagai bendahara,
jika ia melakukan penyelewengan maka itu bukan penggelapan dalam
jabatan, tetapi cukup penggelapan biasa.
Delik-delik Populer 67
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
mata pencaharian atau nafkah yang nilainya tidak lebih dari Rp
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) maka pembuat tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 613, dipidana karena
penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.
Pasal 615
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615
dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang ter-
sebut karena ada hubungan kerja, karena profesinya, atau karena
mendapat upah untuk penguasaan barang tersebut, maka pembuat
tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 616
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 613
dilakukan oleh orang yang menerima barang dari orang lain
yang karena terpaksa menyerahkan barang padanya untuk
disim-pan atau oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana
surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan terhadap
barang yang dikuasainya, maka pembuat tindak pidana
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 617
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 608
berlaku juga bagi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Bab ini.
Pasal 618
(1) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
613, Pasal 615, atau Pasal 616, dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa pengumuman putusan hakim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 ayat (1) huruf c dan pencabutan hak satu atau
lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam menjalankan profesinya, maka pembuat
tindak pidana dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan
hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.
68 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
Bab VI
DELIK PENCURIAN
(DIEFSTAL)
Delik-delik Populer 69
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
5. pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan keja-
hatan, atau untuk dapat mengambil barang yang hendak
dicuri itu, dilakukan dengan merusak, memotong atau me-
manjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah
palsu atau pakaian jabatan palsu. (KUHP 99 dst., 364 dst.)
(2) Bila pencurian tersebut dalam nomor 3 disertai dengan salah
satu hal dalam nomor 4 dan 5, maka perbuatan itu diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (KUHP
35, 366, 486,)
Pasal 364 yaitu :
“Perbuatan yang diterangkan dalam pasal:362 dan pasal 363
nomor 4', demikian juga perbuatan yang diterangkan dalam pasal
363 nomor 5', bila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang
dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam
karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga
bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 365 :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun
pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan keke-
rasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud
untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian itu, atau
bila tertangkap tangan, untuk memungkinkan diri sendiri atau
peserta lainnya untuk melarikan diri, atau untuk tetap me-
nguasai barang yang dicuri. (KUHP 89, 335.)
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
1. bila perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah
rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di-
jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang
berjalan; (KUHP 89, 363.)
2. bila perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu; (KUHP 363-1 sub 4'.)
3. bila yang bersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan
dengan merusak atau memanjat ataa dengan memakai anak
kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;
(KUHP 99 dst., 363.)
4. bila perbuatan mengakibatkan luka berat. (KUHP 90.)
70 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
(1) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang ber-
salah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun. (KUHP 35, 89, 366.)
(2) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama
dua puluh tahun, bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat
atau kematian dan dflakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan
dalam nomor 1 dan 3. (KUHP 366, 368, 486.)
Pasal 366
Dalam hal pemidanaan karena salah satu perbuatan tersebut
dalam pasal 362, 363, dan 365 dapat dijatuhkan pencabutan
hak-hak tersebut dalam pasal 35 nomor 1- 4.
Pasal 367
(1) Bila pelaku atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam
bab ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan
dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta
kekayaan, maka terhadap pelaku atau pembantu itu tidak boleh
diadakan tuntutan pidana.
(2) Bila dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang
atau terpisah harta kekayaan, atau bila dia adalah keluarga
sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun garis
menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu dapat
diadakan penuntutan hanya bila ada pengaduan dari yang
terkena kejahatan.
(3) Bila menurut lembaga matrialkal, kekuasaan ayah dilakukan
oleh orang lain daripada ayah kandung (sendiri), maka ketentuan
ayat di atas berlaku juga bagi orang itu.
Kalimat di atas adalah terjemahan dari Pasal 362 WvS yang
aslinya berbunyi:
Art 362
Hij die eenig goed dat geheel of ten deele aan een ander
toebehoort, wegneemt, met het oogmerk om het zich weder-
rechtelijk toe te eigenen, wordt, als schuldig aan diefstal,
gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste vijf jaren of
geld boete van tea hoog-ste zestig gulden.
Art 363
(1) Met gevangenisstraf van ten hoogste zeven jaren wordt
Delik-delik Populer 71
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
gestraft:
1. diefstal van vee;
2. diefstal bij gelegenheid van brand ontploffing, waters-
nood. aard-of zeebeving, vulkanische uitbarsting.
schipbreuk, strandiag, spoorwegongeval, oproer, mui-
terij of oorlogsnood;
3. diefstal bil nacht in eene woning of op een besloten erf
waarop eenc wouing staat, door iemand die zich aldaar
buiten weten of tegen den wil van dea rechthebbeade
bevindt;
4. diefstal door twee of seer vereenigde personen;
5. diefstal warbij de schuldige zich den toegang tot de
plaats des misdrijfs heeft verschaft of het weg te nemen
goed onder zijn bercik heeft gebracht door middel vaa
braak, verbreking of inklimming. van vaische sleutels,
var een valsche order of van een valsch kostuum.
(2) Indien de in no. 3 omschreven diefstal vergezeld gaat van
eene der in no.4 en 5 vermelde omstandigheden. wordt
gevatrgenisstraf van ten hoogste negen jaren opgelegd.
Art. 364
De feiten omschreven in artikel 362 en astikel 363 no. 4,
zoomede die omschreven in artikel 363 no.5, mits deze niet
gepleegd zijn in eene woning of op een besloten erf waarop
eene woning staat, worden, indean de waarde van het
oatvreemde niet meer bedraagt dan vijf en twintig gulden,
als lichte diefstal. gestraft met gevaogenisstraf van ten
hoogste drie maanden of geldboete van ten hoogste zestig
gulden.
Art. 365
1. Met gevangenisstraf van ten hoogste negen jaren wordt
gestraft diefsal. voorafgegaan. vergezeld of gevolgd van
geweld of bedreiging met geweld tegen Personen, gepleegd
met het oogmerk om dien diefstal voor te bereiden of
gemakkelijk te maken. of om, bij betrapping op heeter daad,
aan zich zelven of andere deelnemers aan het misdrijf, hetzij
de vlucht mogelijk te maken, hetzij het bezit van het
gestolene te verzekeren.
2. Gevangeuisstraf van ten hoogste twaalf jaren wordt
opgelegd: :
72 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
1. Indien het feit wordt gepleegd hetzij bij nacht in eene
woning of op een besloten erf waarop eene woning
staat; hetzij op den openbaren weg; hetzij in een
spoortrein of tram die in beweging is;
2. indien het feit wordt gepleegd door twee of meer
vereenigde personen;
3. indien de schuldige zich den toegang tot de plaats des
mis drijfs heeft verschafte door middel van braak of
inklimming, van valsche sleutels, van een valsche order
of een valsch kostuum;
4. indien het feit zwaar lichamelijk letsel ten gevolge heeft.
3. Gevangenisstraf van ten hoogste vijftien jaren wordt
op gelegd, indien het feit den dood ten govelge heeft.
4. De doodstraf of levenslange gevangeaisstraf of tijdelijke
van ten hoogste twintig jaren wordt opgelegd, indien
het feir zwaar lichamelijk letsel of den dood ten gevolge
heeft, door twee of meer vereenigde personen wordt
gepleegd en daarenboven van een der in no. 1 en 3
vermelde omstandigheden vergezeld gaat.
Art 366
Bij veroordeeling wegens eene der in de artikelen 362, 363
en 365 omschreven feiten kan ontzetting van de in artikel
35 no. 1- 4 vermelde rechten worden uitgesproken.
Art 367
(1) Indien de dader van of medeplichtige aan een der in dezen
titel omschreven misdrijven de niet van tafel en bed of van
goederen gescheiden echtgenoot is van hem tegen wien het
misdrijf is gepleegd, is rie strafvervolging tegen dien dader
of dien medeplichtige uitgesloten.
(2) Indien hij zijn van tafel en bed of van goederen gescheiden
echtgeanoot is of zija bloed of aanverwant, hetzij in de
rechte linie, hetzij in den tweeden graad der zijlinie, heeft
de vervolging. voor zoover hem betreft, alleen plaats op
eene tegen hern gerichte klachte van dengene tegen wien
het misdrijf is gepleegd.
(3) lndien krachtens matriarchale instellingen de vaderlijke
macht door een ander dan den vader wordt uitgeoefend, is
de bapaling van het voorgaande lid mede op dezen van
toepassing.
Delik-delik Populer 73
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
B. Perbedaan Pencurian dengan Penggelapan dan Penipuan
Pencurian adalah kejahatan yang sangat populer. Bentuk dasar
perbuatan mengambil hak orang lain adalah pencurian. Dalam Al
Qur’an bahkan ditegaskan pula bahwa,”Dan janganlah sebahagian
kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
Padahal kamu mengetahui.” (QS.al-Baqarah: 188). Islam sangat
mengecam pencurian yaitu perbuatan mengambil harta orang lain
dengan jalan batil yang disebut sebagai sariqah. Sariqah adalah
cara tidak sah dalam mengambil harta orang lain yang termasuk salah
satu tindak pidana hudud yang jenis, jumlah dan ukuran hukumnya
ditentukan dalam syarak.1
Pencurian dalam KUHP diletakkan sebagai delik pertama
dalam golongan delik terhadap harta benda. Bentuk dasar perbuatan
jahat memiliki kekayaan dengan cara yang tidak halal adalah pen-
curian. Di tengah masyarakat terdapat perbedaan istiah antara pen-
curian dengan perampokan. Pencurian dilakukan dengan diam-diam,
sedangkan perampokan dilakukan dengan cara terbuka.
Dalam KUHP tidak dibedakan antara pencurian dengan pe-
rampokan. Baik dengan sepengetahuan atau tanpa sepengetahuan
pemilik, keduanya adalah pencurian. Hanya saja KUHP membedakan
beberapa jenis pencurian antara lain pencurian biasa, pencurian de-
ngan kekerasan dan pencurian dengan pemberatan. Pencurian dengan
kekerasan ini lah yang di tengah masyarakat lazim disebut sebagai
perampokan.
Pemahaman ini agaknya didasarkan pada pemahaman tentang
pengaturan pencurian dalam Islam. Menurut pada fukaha untuk di-
sebut pencurian harta itu haruslah :
1. Harta yang diambil secara sembunyi/diam-diam (tanpa sepe-
ngetahuan pemilik dan pemilik barang tidak rela barangnya
1
Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2016.,
hlm.156.
74 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
diambil). Menurut Abdul Qadir ‘Audah, (a) pencuri itu harus
mengambil barang dari tempat pemeliharaannya, (b) barang
yang dicuri lepas dari penguasaan pemiliknya, (c) barang
yang dicuri berada dalam kekuasaan pencuri).
2. Ia ambil dengan maksud jahat. Pencurian itu dilakukan dengan
sengaja oleh pencuri.
3. Barang yang dicuri benar-benar milik sah dari orang yang
hartanya dicuri.
4. Barang yang dicuri telah diambil kepemilikannya dari si
empunya yang sebenarnya.
5. Barang yang dicuri itu telah berada dalam penguasaan si pencuri.
6. Barang tersebut harus mencapai nilai nisab pencurian. Harta
yang dicuri itu juga harus lah bernilai harta menurut syara’,
maka pencurian mayat, babi, atau minuman keras tidak di-
kenakan hukuman pencurian.2
Dalam KUHP, benda yang dicuri tidak harus seluruhnya milik
orang lain, dan tidak menyoal apakah dengan sepengetahuan atau tanpa
sepengetahuan pemiliknya.
Perbedaan antara pencurian dengan penggelapan terletak dari
bagaimana pelaku menguasai barang. Jika barang dikuasai dengan
jalan melawan hukum, maka itu adalah pencurian. Dalam penggela-
pan tidak ada sifat melawan hukum saat penyerahan barang, penye-
rahan barang dilakukan dengan sah menurut hukum. Jika penyerahan
barang dilakukan secara sukarela namun karena ada tipu muslihat,
rangkaian kata bohong, maka itu adalah penipuan.
Satu contoh kasus adalah seseorang pejabat dalam suatu peru-
sahaan mengambil uang kas dari laci kasir, adalah delik pencurian
karena tidak ada kewenangan seorang pejabat perusahaan boleh me-
ngambil uang di laci meja kasir. Jika dilakukan, maka si pejabat telah
melakukan perbuatan melawan hukum sehingga perbuatannya adalah
mencuri, bukan menggelapkan. Jika si kasir yang membawa pulang
uang dari laci, maka itu baru disebut penggelapan. Itu pun dengan
catatan pula apa maksud ia membawa pulang uang itu. Jika semata-
mata untuk mengamankan, dan besoknya dibawa lagi dan dimasukkan
dalam laci kasir dengan jumlah yang tidak berkurang, maka itu bukan
2
Ibid, hlm.156.
Delik-delik Populer 75
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
penggelapan. Jika uang itu dibelanjakan untuk kepentingan lain, tetapi
segera sesudah itu atau setidaknya saat diperlukan, ia dapat mengem-
balikan, maka itu juga belum masuk sebagai penggelapan. Baru ada
penggelapan jika ia mennggunakan untuk kepentingan lain dan ia
tidak dapat mengembalikan serta mempertanggungjawabkan kemana
ia belanjakan, maka itu masuk penggelapan. Jika ia belanjakan dan
yang dibelanjakan adalah untuk kepentingan operasional perusahaan
yang dapat dipertanggungjawabkan, maka itu juga bukan penggelapan.
Contoh kasus yang lain adalah seorang manager yang melihat
diambilnya aset perusahaan oleh temannya adalah perbantuan melaku-
kan pencuria, bukan penggelapan. Perbuatan temannya mengambil
aset perusahaan dengan sepengetahuannya adalah mencuri. Dalam
pencurian tidak disyaratkan pengetahuan pemilik barang. Dengan
diketahui atau tanpa diketahui, perbuatan mengambil barang dengan
melawan hukum dengan maksud untuk memiliki adalah pencurian.
Teman manager adalah mencuri, dan manager tidak dapat danggap
delik penggelapan karena ia tidak boleh mengambil aset perusahaan,
meskipun selain menjadi manager ia juga menjadi pemegang saham
karena pemegang saham sekalipun tidak boleh mengambil aset peru-
sahaan yang sudah dari kekayaan pribadinya.
Berbeda halnya jika perusahaan tidak berbadan hukum dimana
harta pribadi pemilik perusahaan adalah harta perusahaan juga dan
sebaliknya dimana tidak ada pemisahan kekayaaan pribadi dengan
kekayaan perusahaan, maka apabila ia mengambil aset perusahaan,
maka ia mengambil miliknya sendiri. Perbuatan mengambil dalam
pencurian harus milik orang lain, setidaknya ada sebagian hak orang
lain. Tidak disebut pencurian jika pencurian atas barang milik sen-
diri, termasuk mencuri milik suami atau istri tidak dapat dipidana.
Unsur terpenting dalam pencurian adalah unsur memiliki.
Pengambilan barang tetapi tidak dengan maksud untuk memiliki, tidak
dapat disebut pencurian. Bagaimana menentukan ia berniat memiliki
atau tidak dapat dilihat dari perbuatan-perbuatan misalnya menyem-
bunyikan barang yang ia ambil, menyimpannya di tempat yang aman
atau mengaburkan siapa yang menjadi pemilik sebenarnya.
Jadi sepanjang penguasaan atas suatu benda tidak dengan maksud
76 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
memiliki, meskipun perbuatan mengambilnya bersifat melawan
hukum, perbuatan itu belum sempurna sebagai delik pencurian. Contoh
adalah seorang debt collector yang merampas dengan paksa suatu
benda yang jadi jaminan kredit. Perbuatan merampas dengan paksa
adalah melawan hukum, akan tetapi jika tujuan merampas adalah
untuk membawa benda yang jadi jaminan berada di pihak yang sah
menurut hukum, maka delik pencurian belum lah sempurna. Perbuatan
debt collector adalah termasuk tindak pidana lain yaitu perampasan
menurut Pasal 368 dimana dalam pemerasan tidak dipersyaratkan
adanya niat untuk memiliki. Perbuatan pokok perbuatan memaksa untuk
menyerahkan barang adalah delik pemerasan.
Pentingnya niat untuk memiliki sebagai unsur tindak pidana
pencurian membuat tidak ada istilah kelalaian dalam pencurian.
Pencurian adaah delik kesengajaan. Jika seseorang tidak sengaja
terbawa barang orang lain ke rumahnya lalu begitu mneyadari bahwa
barang itu bukan miliknya lalu ia berusaha menghubungi atau mencar
tahu siapa pemilik barang yang sesungguhnya adaah contoh ketiadaan
niat untuk memiliki.
Dalam suatu kasus pengambilan sepeda motor kredit yang tidak
membayar angsuran kreditnya setelah jatuh tempo, pengadilan tingkat
pertama menjatuhkan putusan lepas pelaku karena dipandang sebagai
perbuatan perdata, namun di tingkat kasasi hakim menjatuhkan
putusan bersalah karena mencuri dengan dasar pertimbangan, pelaku
mengambil sepeda motor secara melawan hukum, yaitu dengan me-
rusak pintu rumah debitur. Putusan semacam itu di masa yang akan
datang dapat dikaji lagi secara ilmiah.
Perbuatan mengambil tertentu tidak bisa disebut pencurian ma-
nakala tidak ada sifat melawan hukum dalam mengambil itu, misalnya
mengambil barang bukti oleh penyidik yang didaasarkan hukum
menurut prosedur tertentu atau seorang mengambil barang atas dasar
kesepakatan dalam suatu komunitas masyarakat diberikan kewena-
ngan, maka di situ juga tidak ada sifat melawan hukumnya. Misalnya
dalam pembangunan suatu fasilitas umum, masyarakat setempat
diwajibkan membayar iuran sejumlah tertentu. Maka petugas yang
Delik-delik Populer 77
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
datang mengambil iuran tidak dapat disebut pencurian meskipun yang
menyerahkan uang ada rasa terpaksa.
78 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
(als mogelijkheid-bewustjzijn). Ketiga, Kesengajaan bersyarat
(dolus eventualis). Kesengajaan bersyarat disini diartikan
sebagai perbuatan yan dilakukan dengan sengaja dan ia me-
ngetahui, yang mengarah kepada suatu kesadaran bahwa akibat
yang dilarang kemungkinan besar terjadi. Suatu kemungkinan
besar atau sebagai suatu kemungkinan yang tidak dapat
diabaikan itu diterima dengan begitu saja, atau “dolus eventualis”.
Prof. Sudarto menyebutnya dengan teori apa boleh buat.
Sebab disini keadaan batin si pelaku mengalami dua hal,
yaitu : (i) akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia
benci atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat tersebut,
(ii) akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun
apabila akibat atau keadaan itu harus diterima. Jadi berarti
bahwa ia sadar akan risiko yang harus diterimanya. Maka
disinipun terdapat suatu pertimbangan yang menimbulkan
kesadaran yang sifatnya lebih dari sekedar suatu kemungkinan
biasa saja. Sebab sengaja dalam dolus eventualis ini juga me-
ngandung unsur-unsur mengetahui dan menghendaki, wa-
laupun sifatnya sangat samar sekali. Atau dapat dikatakan
hampir tidak terlihat sama sekali.3
f. Untuk dimiliki yaitu niat dari pelaku untuk memiliki yaitu
untuk memindahkan penguasaan atas suatu benda dari pihak
lain kepada pelaku sehingga ia dapat menerima manfaat dari
kepemilikan itu.
g. Secara melawan Hukum adalah yaitu perbuatan melanggar
peraturan perundang-undangan. Dalam hal pencurian bisa
saja ada perbuatan pengambil yang bukan meruakan perbuatan
melawan hukum misalnya istri yang mengambil barang milik
suaminya, atau seorang etugas yang menyita sesuatu barang
dari pelaku tindak pidana, maka perbuatan tersebut adalah
merupakan penyitaan berdasarkan hukum, sehingga mengambil
benda tersebut tidak bersifat melawan hukum.
Delik-delik Populer 79
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Pasal 602
Setiap orang yang mengambil suatu barang yang sebagian
atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk
memiliki barang tersebut secara melawan hukum, dipidana
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 603
Setiap orang yang mencuri benda suci keagamaan atau benda
yang dipakai untuk kepentingan keagamaan atau benda
purbakala, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 604
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 7 (tujuh) tahun, setiap orang yang mencuri:
a. ternak atau barang yang merupakan sumber mata
penca-harian atau sumber nafkah utama seseorang;
b. pada waktu ada kebakaran, ledakan, bencana alam, kapal
karam, kapal terdampar, kecelakaan pesawat udara,
kecelakaan kereta api, kecelakaan lalu lintas jalan, huru
hara, pemberontakan, atau kesengsaraan perang;
c. pada waktu malam dalam suatu rumah atau dalam
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan
oleh orang yang adanya di situ tidak diketahui atau tidak
dikehendaki oleh yang berhak; atau
d. yang untuk masuk ke tempat melakukan tindak pidana atau
untuk dapat sampai pada barang yang akan diambil,
dilakukan dengan membongkar, memecah, memanjat,
mema-kai anak kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian
jabatan palsu.
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku juga terhadap pencurian yang dilakukan oleh 2 (dua)
orang atau lebih secara bersama sama.
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c disertai dengan salah satu cara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d dan ayat (2), maka pembuat tindak pidana
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 9 (sembilan) tahun.
80 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
Pasal 605
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 602
dan Pasal 604 ayat (1) huruf d dan ayat (2), dilakukan tidak
dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada
rumah-nya, dan harga barang yang dicurinya tidak lebih dari
Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), maka pembuat tindak
pidana dipidana karena pencurian ringan, dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Kategori II.
Pasal 606
(1) Setiap orang yang melakukan pencurian yang didahului,
disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman keke-
rasan terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan
atau mempermudah pencurian atau dalam hal tertangkap
tangan, untuk memungkinkan pembuat tindak pidana melarikan
diri atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun jika perbuatan tersebut
dilakukan:
a. pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan
tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, di dalam kendaraan
angkutan umum yang sedang berjalan;
b. untuk masuk ke tempat melakukan tindak pidana dilakukan
dengan membongkar, memanjat, menggunakan anak kunci
palsu, menggunakan perintah palsu, atau memakai pakai-an
jabatan palsu; atau
c. mengakibatkan luka berat.
(3) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ber-
laku juga terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih secara
bersama sama.
(4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) mengakibatkan matinya orang, maka pembuat
tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
(5) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Delik-delik Populer 81
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
mengakibatkan luka berat atau matinya orang dan disertai
pula oleh salah satu hal sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a dan huruf b dan dilakukan oleh 2 (dua) orang atau
lebih secara bersama sama, maka pembuat tindak pidana
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun.
Pasal 607
Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
602, Pasal 603, Pasal 604, atau Pasal 606, dapat dijatuhi
pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,
dan/atau huruf d.
Pasal 608
(1) Jika pembuat atau pembantu tindak pidana dari salah satu
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini adalah
suami atau istri dari orang yang terkena tindak pidana, pada-
hal telah menentukan penguasaan bersama atas harta bawaan,
hadiah, dan warisan masing-masing, maka pembuat atau
pembantu tindak pidana tidak mungkin diadakan penuntutan
pidana.
(2) Jika pembuat atau pembantu tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah suami atau istri dari orang
yang terkena tindak pidana, padahal suami atau istri tersebut
menguasai sendiri harta bendanya, atau pembuat atau pem-
bantu tindak pidana tersebut adalah keluarga sedarah atau
semenda baik dalam garis lurus maupun dalam garis menyam-
ping sampai derajat kedua, maka pembuat atau pembantu
tindak pidana tersebut hanya dapat dituntut atas pengaduan
dari orang yang terkena tindak pidana.
(3) Dalam masyarakat sistem keibuan pengaduan dapat juga di-
lakukan oleh orang lain yang menjalankan kekuasaan bapak.
82 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
Bab VII
DELIK PEMERASAN DAN PENGANCAMAN
(AFPERSING EN AFDREIGING)
Delik-delik Populer 83
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Pasal 370
Ketentuan pasal 367 berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang
diterangkan dalam bab ini.
Pasal 371
Dalam hal pemidanaan karena salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam bab ini, dapat dijatuhkan pencabutan hak
tersebut dalam pasal 35 nomor 1– 4.
Art 368
(1) Hij die, met het oogmerk om zich of een ander wederrechtelijk
te bevoordeelen, door geweld of bedreiging met geweld
iemand dwingt hetzij tot de afgifte van eenig goed, dat geheel
of ten deele aan dezen of aan eene derde toebehoort, hetzij tot
het aagaan van eene schuld of het tenietdoen vaa eene inschuld,
wordt, als schuldig aan afpersing, gestraft met gevangenisstraf
van ten hoogste negen jaren.
(2) De bepalingen van het tweede, derde en vierde lid van artikel
365 zijn op dit misdrijf van toepassing.
Art 369
(1) Hij die, met het oogmerk om zich of een ander wederrechtelijk
te, bevoordeelen, door bedreiging met smaad, smaadschrift
of openbaring van een geheim iemand dwingt, hetzij tot de
afgifte van eenig goed dat geheel of ten deele aan dezen of
aan een derde toebehoort, hetzij tot het aangaan van eene
schuld of het tenietdoen van eene inschuld, wordt als schuldig
aan afdreiging, gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste
vier jaren.
(2) Dit misdrijf wordt niet vervolgd dan op klachte van hem
tegen wien het gepleegd is.
Art 370
De bepaling van artikel 367 is op de in dezen titel omschreven
misdrijven van toepassing.
Art 371
Bij veroordeeling wegens een der in dezen titel omschreven
misdrijven, kan ontzetting van de in artikel 35 no. 1-4
vermelde rechten worden uitgesproken.
84 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
B. Perbedaan Pemerasan dan Pengancaman dengan Pencurian
atau Penipuan
Yang menjadi objek dalam tindak pidana ini adalah barang.
Pemerasan termasuk dalam kejahatan terhadap harta benda se-
bagaiman pencurian, penipuan, penggelapan dan lain-lain. Seperti
kejahatan terhadap barang atau harta benda lainnya, delik ini termasuk
delik formal dimana yang tercela adalah perbuatan mengambil yaitu
berpindahnya barang dari korban kepada pelaku. Yang berbeda dalam
kejahatan terhadap benda yang satu dengan yang lain adalah proses
berpindahnya barang. Kalau dalam pencurian barang diambil oleh
pelaku, dalam penggelapan diserahkan kepada pelaku dengan cara
yang sah menurut hukum, tetapi setelah ada di tangan pelaku berubah
seakan-akan menjadi milik pelaku, dalam penipuan, justru korban
lah yang menyerahkan barang karena adanya tipu muslihat atau
rangkaian kebohongan.
Dalam pemerasan, seperti penipuan, korban juga lah yang me-
nyerahkan barang. Bedanya adalah dalam penipuan korban me-
nyerahkan secara sukarela karena tertip, sedangkan dalam pemera-
san, korban menyerahkan dalam keadaan terpaksa karena ketakutan
akan terancam keselamatannya. Dalam pemerasan, cara perolehan
barang oleh pelaku adalah dengan melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang dengan ancaman atau kekerasan itu membuat korban
terpaksa menyerahkan barang miliknya. Terpaksa adalah keadaan
objektif dimana korban tidak punya pilihan selain menyerahkan barang
yang jika tidak diserahkan akan berdampak kepada keselamatannya.
Sedangkan perbedaan pemerasan dengan pengancaman adalah
berkaitan dengan modus atau sarananya. Pada pemerasan sarana yang
digunakan adalah kekerasan, atau ancaman kekerasan, sehingga
dalam istilah sehari-hari pemerasan disamakan dengan penodongan.
Sedangkan dalam pengancaman, sarana yang digunakan bukan ke-
kerasan atau ancaman kekerasan, tetapi ancaman yang bersifat psikis
akan menyiarkan sesuatu yang korban tidak ingin orang lain me-
ngetahui.
Delik-delik Populer 85
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
C. Penjabaran unsur-unsur Pasal 368 dan Pasal 369
Unsur-unsur Pasal 368 yaitu :
- Barangsiapa, yaitu manusia yang dapat bertanggungjawab di
depan hukum pidana yaitu mereka yang cakap atau dapat ber-
tindak menurut hukum atau setiap pendukung hak dan kewaji-
ban atau disebut juga dengan istilah subjek hukum yang di
dalam hukum pidana adalah tiap orang yang cakap berbuat
hukum, tidak termasuk dalam golongan sebagaimana diatur
dalam pasal 44 yaitu mereka yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum karena terganggu jiwanya, Pasal 45 yaitu
mereka yang dianggap belum cukup umur, Pasal 48 dan 49
tentang daya paksa dan Pasal 50 dan 51 tentang perintah
undang-undang dan atau jabatan.
- Dengan maksud, yaitu dengan niat yang akibat dari perbuatan-
nya telah diketahuinya dan memang diinginkan sebagaimana
yang diniatkan. Menurut Memorie van Toelichting kesengajaan/
willen enweten (kehendak & kesadaran), yaitu bahwa sese-
orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja harus meng-
hendaki perbuatannya dan menyadari/mengerti akan akibat
dari perbuatannya itu.
- Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain membuat
bertambahnya nilai kekayaan bagi diri sendiri atau orang lain
sebagai akibat dari perbuatan.
- Secara melawan hukum, yaitu perbuatan melanggar peraturan
perundang-undangan.
- Memaksa seseorang , yaitu membuat seseorang dalam keadaan
terpaksa di luar kehendaknya sendiri untuk melakukan sesuatu
yang tidak ia kehendaki
- Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, yaitu adalah
menggunakan tenaga yang tidak sedikit dengan anggota badan,
ancaman kekerasan yaitu ancaman berupa kata-kata atau
tindakan yang berbentuk ancaman.
- Atau supaya memberi hutang maupun mengahpuskan piutang:
Perkataan hutang di sini tidak sama artinya dengan hutang
piutang, melainkan diartikan sebagai suatu perjanjian atau
perikatan. Hoge Raad dalam suatu arrestnya (30-1-1928) me-
nyatakan bahwa “yang dimaksud dengan hutang adalah suatu
perikatan, misalnya menyetor sejumlah uang jaminan”. Oleh
86 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
karena itulah memberi hutang tidak dapat diartikan sebagai
memberi pinjaman uang belaka, melainkan diberi pengertian
yang lebih luas sebagai membuat suatu perikatan hukum yang
membawa akibat timbulnya kewajiban bagi orang lain untuk
menyerahkan/membayar sejumlah uang tertentu. Misalnya
dalam suatu jual beli, timbul suatu kewajiban pembeli untuk
membayar/menyerahkan sejumlah uang tertentu yakni harga
benda itu kepada penjual. Demikian juga dengan istilah utang
dalam kalimat menghapuskan piutang mempunyai arti suatu
perikatan. Menghapuskan piutang mempunyai pengertian yang
lebih luas dari sekedar membebaskan kewajiban dalam hal
membayar hutang atau pinjaman uang belaka. Menghapuskan
piutang adalah menghapuskan segala macam perikatan hukum
yang sudah ada, di mana karenanya menghilangkan kewajiban
hukum penipu untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu pada
korban atau orang lain
- Barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang itu atau orang lain, Pengertian barang dalam
pemerasan mempunyai arti yang sama dengan barang dalam
pencurian, penipuan dan penggelapan, yakni sebagai barang
atau benda yang berwujud dan bergerak. Pada pencurian,
pemerasan, pengancaman, dan pemerasan secara tegas
disebutkan unsur milik orang lain bagi benda objek kejahatan.
- atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang yaitu
membuat utang adalah membuat suatu perikatan, yang
menyebabkan orang lain untuk membayar suatu jumlah uang;
atau menghapuskan piutang, artinya meniadakan perikatan
yang sudah ada antara pelaku dengan orang yang digerakkan.
Unsur Pasal 369 adalah sama dengan unsur Pasal 369. Yang
membedakannya hanya lah pada unsur modusnya dimana dalam Pasal
369 ancaman pencemaran, baik dengan lisan maupun tulisan, atau
dengan ancaman akan membuka rahasia. Apa yang dimaksud dengan
pencemaran, pengertiannya dikembalikan kepada pengertian pence-
maran dalam Pasal 310 KUHP yaitu perbuatan yang sifatnya sama
dengan penghinaan atau penistaan yaitu perbuatan menuduhkan se-
seorang melakukan sesuatu perbuatan yang tidak baik yang dengan
tuduhan itu menyebabkan jatuhnya kehormatan orang itu.
Delik-delik Populer 87
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
D. Pengaturan Delik Pemerasan dan Pengancaman dalam RUU KUHP
Dalam Rancangan KUHP, Kejahatan Pidana Pemerasan dan
Pengancaman tetap dipertahankan dengan menempatkannya dalam
BAB XXVI TINDAK PIDANA PEMERASAN DAN PENGANCAMAN
Pasal 609 yaitu :
Pasal 609
(1) Dipidana karena pemerasan, dengan pidana penjara paling
lama 9 (sembilan) tahun, setiap orang yang secara melawan
hukum dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk :
a. memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya
milik orang tersebut atau milik orang lain; atau
b. membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 606
ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku juga bagi tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 610
(1) Dipidana karena pengancaman, dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori
IV, setiap orang yang secara melawan hukum dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dengan an-
caman penistaan lisan atau tertulis atau dengan ancaman akan
membuka rahasia, memaksa orang supaya :
a. memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya
milik orang tersebut atau milik orang lain; atau
b. membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dituntut atas pengaduan dari orang yang terkena tindak
pidana.
Pasal 611
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 608
berlaku juga bagi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 609 dan Pasal 610.
Pasal 612
Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini,
dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 67 ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf d.
88 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
Bab VIII
DELIK PENGRUSAKAN, MENGHANCURKAN,
ATAU MERUSAKKAN BARANG
(VERNIELING OF BESCHADIGING VAN GOEDEREN)
Delik-delik Populer 89
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Pasal 408
Barangsiapa dengan sengaja dan secara melawan hukum me-
nghancurkan, merusak atau membuat tak dapat dipakai bangunan-
bangunan kereta api, trem, telegraf, telepon atau listrik, atau
bangunan bangunan untuk membendung air, membagi air atau
menyalurkan air, saluran gas, saluran air atau saluran yang
digunakan untuk keperluan umum, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun. (KUHP 101 bis, 191 dst.,
411 dst.)
Pasal 409
Barangsiapa yang karena kesalahannya (kealpaannya) me-
nyebabkan bangunan-bangunan tersebut dalam pasal di atas
dihancurkan, dirusakkan atau dibuat tak dapat dipakai, diancam
dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana
denda paling banyak seribu lima ratus rupiah.
Pasal 410
Barangsiapa dengan sengaja dan secara melawan hukum
menghancurkan atau membuat tak dapat dipakai suatu gedung
atau kapal yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal 411
Ketentuan pasal 367 berlaku bagi kejahatan yang diterangkan
dalam bab ini.
Pasal 412
Bila salah satu kejahatan yang diterangkan dalam bab ini
dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, maka
pidananya dapat ditambah sepertiga, kecuali dalam hal yang
tersebut dalam pasal 407 ayat (1). (KUHP 170.)
Kalimat di atas adalah terjemahan dari Pasal 406 WvS yang
aslinya berbunyi:
Art 406
(1) Hij die opzettelijk en wederrechtelijk eenig goed dat geheel
of ten deele aan een ander toebehoort, vernielt, beschadigt,
onbruikbaar maakt of wegmaakt, wordt gestraft met geva-
ngenisstraf van ten hoogste twee jaren en acht maanden of
geldboete van ten hoogste driehonderd gulden.
(2) Gelijke straf wordt toegepast op hem die opzettelijk en
wederrechtelijk een dier dat geheel of ten deele aan een
90 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
ander toebehoort, doodt, beschadigt, onbruikbaar niaakt of
wegmaakt.
Art 407
(1) De in artikel 406 omschreven feiten worden. indien de
waarde van het veroorzaakte nadeel niet meer bedraagt
dan vijf en twintig gulden, gestraft met gevangenisstraf
van ten hoogste drie maanden of geldboete van ten hoogste
zestig gulden.
(2) Indien de in artikel 406, tweede lid, omschreven feiten
gepleegd zijn door toediening van voor het leven of de
gezondheid schadelijke stoffen, of indien het dier behoort
tot die genoemd in artikel l0l, blijft de bepaling van het
voorgaande lid buiten toepassing.
Art 408
Hij die opzettelijk en wederrechtelijk spoorwegtramweg,
telegraaf, telefoon of electriciteitswerken, werken dienende
tot waterkeering, waterverdeeling of waterloozing, gas of
waterleiding of riolen, voor zoover deze werken, leidingen
of riolen ten algemeenen nutte gebezigd worden, vernielt.
beschadigt of onbruikbaar maakt, wordt gestraft met
gevangenisstraf van ten hoogste vier jaren.
Art 409
Hij aan wiens schuld te wijten is dat eenig in het vorig artikel
bedoeld werk vernield, beschadigd of onbruikbaar geniaakt
wordt, wordt gestraft met hechtenis van ten hoogste eene
maand of geldboete van ten hoogste honderd gulden.
Art 410
Hij die opzettelijk en wederrechtelijk eenig gebouw of
vaartuig dat geheel of ten deele aan een ander toebehoort,
vernielt of onbruikbaar maakt, wordt gestraft met gevangenisstraf
van ten hoogste vijf jaren.
Art 411
De bepaling van artikel 367 is op de in dezen titel omschreven
misdrijven van toepassing.
Art 412
Indien buiten het geval van artikel 407, eerste lid, een der
in dezen titel omuschreven misdrijven door twee of meer
vereenigde personen gepleegd wordt, kan de straf met een
derde worden verhoogd.
Delik-delik Populer 91
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Dalam praktik, terhadap laporan masyarakat tentang peng-
rusakan, penegak hukum seringkali menggunakan Pasal 170 KUHP
baik secara tunggal maupun digandengkan dengan Pasal 406. Padahal
pengrusakan dalam Pasal 406 berbeda dengan pengrusakan dalam
Pasal 170. Yang menjadi objek dalam Pasal 170 adalah terutama
orang dan juga barang yang tidak dipersyaratkan siapa yang menjadi
pemilik barang. Penerapan pasal 170 pada umumnya ditujukan ter-
hadap perkara pengrusakan barang yang merupakan fasilitas umum,
seperti bangunan pemerintah atau bangunan milik swasta yang
merupakan fasilitas umum seperti kantor-kantor pemerintah, terminal,
tempat ibadah dan lain sejenisnya.
Sedangkan subjek hukum yang dimaksud oleh Pasal 170 adalah
orang-orang secara bersama di muka umum. Pasal 170 adalah pasal
yang menjadikan faslitas umum sebagai objeknya. Walaupun dalam
bunyi pasal tidak tegas disebutkan bahwa barang yang dimaksud
adalah barang fasilitas umum, dengan melakukan penafsiran secara
sistematis yaitu dengan meneliti di bab berapa pasal 170 diatur terlihat
bahwa perlindungan yang diberikan oleh hukum pidana menurut
KUHP atas pengertian barang diletakkan dalam Bab V tentang
Kejahatan terhadap ketertiban Umum. Perlindungan atas harta benda
individu diatur dalam bab-bab berikutnya khususnya Bab XXVII yang
berjudul Menghancurkan atau Merusakkan Barang. Jadi barang dalam
Pasal 406 adalah barang milik individu.
Pembedaan bukan sekedar pada apa yang menjadi objek karena
jika objek semata yang dilihat, fasilitas umum seperti bangunan-bangunan
kereta api, trem, telegraf, telepon atau listrik, atau bangunan bangunan
untuk membendung air, membagi air atau menyalurkan air, saluran
gas, saluran air atau saluran yang digunakan untuk keperluan umum,
diatur dalam Pasal 408 dan Pasal 409. Jadi penerapan Pasal 170 juga
harus melihat subjek dan bagaimana cara perbuatan dilakukan.
Pasal 170 adalah :
“Barangsiapa secara terang-terangan dan secara bersama-
sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan. Yang bersalah diancam:
92 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, bila ia
dengan sengaja menghancurkan barang atau bila kekerasan
yang digunakan itu mengakibatkan luka-luka;
2. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, bila
kekerasan itu mengakibatkan luka berat;
3. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, bila
kekerasan itu mengakibatkan kematian”.
Pasal 170 dengan Pasal 406 jelas berbeda pula dalam hal mo-
dus yang ditentukan sebagai unsur Pasal. Dalam Pasal 170 yang di-
persyaratkan adalah perbuatan menghancurkan. Perbuatan meng-
hancurkan harus menimbulkan akibat berupa hancur, sedangkan akibat
yang dilarang dalam Pasal 406 jauh lebih luas. Yang dilarang dalam
Pasal 406 tidak terbatas pada hancurnya barang, tetapi termasuk pula
rusak, hilang, serta membikin tidak dapat dipakai.
Delik-delik Populer 93
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
perbuatan tersebut terjadi bahkan mungkin membenci perbuatan
itu tetapi ia tidak mengurungkan.
c. Menghancurkan, secara gramatikal artinya membuat hancur,
merusak sama sekali. Merusak, artinya membuat tidak sem-
purna lagi barang, dan tidak dapat diperbaiki lagi untuk men-
jadi seperti aslinya. Membikin tidak dapat dipakai, secara
gramatikal artinya membuat sesuatu barang tidak dapat
difungsikan sebagaimana mestinya, Menghilangkan barang,
secara gramatikal artinya membuat barang menjadi hilang
karena tidak diketahui lagi dimana letaknya atau berubah zatnya
misalnya dengan cara dibakar, dibuang ke laut dan sebagai-
nya.
d. Barang, yaitu segala sesuatu yang berwujud termasuk pula
binatang , misalnya uang, baju, kalung dsb. Dalam pengertian
barang masuk pula “daya listrik” dan “gas”, meskipun tidak
berwujud, akan tetapi dialirkan di kawat atau pipa. Barang
ini tidak perlu mempunyai harga ekonomis.1
e. Sesuatu atau sebagian milik orang lain, artinya sesuatu
benda yang ada dalam penguasaan seseorang berdasarkan
kepemilikan berdasarkan hak milik, seperti tanah, atau ber-
dasarkan asas beziting sesuatu yang berada dalam pengua-
saannya sepanjang tidak ada pihak lain yang menggugat
kepemilikan atas sesuatu benda itu. Walaupun di dalam benda
yang dikuasai ada hak bagi si pemegang, akan tetapi jika
atas benda tersebut ada pula hak orang lain, maka unsur ini
telah terpenuhi.
Sedangkan unsur-unsur Pasal 170 adalah :
a. Barangsiapa adalah siapa saja atau setiap orang yang dapat
bertindak menurut hukum atau setiap pendukung hak dan
kewajiban atau disebut juga dengan istilah subjek hukum yang
di dalam hukum pidana adalah tiap orang yang cakap berbuat
hukum, tidak termasuk dalam golongan sebagaimana diatur
dalam pasal 44 yaitu mereka yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum karena terganggu jiwanya, Pasal 45 yaitu
mereka yang dianggap belum cukup umur, Pasal 48 dan 49
tentang daya paksa dan Pasal 50 dan 51 tentang perintah
undang-undang dan atau jabatan.
1
R Soesilo, Op.Cit. hlm.250.
94 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
b. Secara terang-terangan berarti tidak secara tersembunyi, jadi
tidak perlu di muka umum, cukup apabila tidak diperlukan apa
ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya. (Yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung No. 10 K/Kr/1975 tanggal 17-3-
1976)2. Dan meskipun perbuatan penggunaan kekerasan tidak
dilihat oleh orang lain, akan tetapi jika dilakukan di suatu
tempat yang dapat dilihat oleh orang lain, maka unsur “openlijk”
atau secara terang-terangan telah dinyatakan terbukti).
c. Secara bersama-sama artinya oleh sedikit-dikitnya dua orang
atau lebih. Orang yang hanya mengikuti dan tidak benar-benar
turut melakukan kekerasan tidak dapat dikenakan pasal ini.
d. Melakukan kekerasan, melakukan suatu perbuatan yang me-
lawan hukum dengan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89 bahwa yang dimaksud dengan kekerasan adalah
membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi, atau
mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil
secara tidak syah.
e. Orang, adalah siapa saja. Pengertian orang dalam hal ini
adalah sebagai orang sebagai objek hukum yaitu tiap warga
negara yang dilindungi oleh hukum pidana, jadi tidak dipan-
dang apakah orang tersebut cakap atau tidak melakukan per-
buatan hukum. Artinya lagi, perbuatan melawan hukum ter-
hadap setap orang warga negara yang menjadi objek perlin-
dungan hukum pidana suatu negara termasuk seandainya orang
tersebut mengalami gangguan jiwa tidak dikecualikan dari
pengertian orang dalam pasal ini.
f. Barang, adalah segala sesuatu yang menjadi objek hukum
pidana yang wajib dilindungi. Pengertian barang sebagaimana
rumusan unsur barang dalam Psal 362 adalah segala sesuatu
yang berwujud termasuk pula binatang (manusia tidak masuk),
misalnya uang, baju, kalung dsb. Dalam pengertian barang
masuk pula “daya listrik” dan “gas”, meskipun tidak berwujud,
akan tetapi dialirkan di kawat atau pipa.3
Dalam penyelesaian perkara pidana atas objek yang ada di atas
tanah sengketa terdapat dua pandangan yang saling bertolak belakang.
Pandangan pertama menyatakan bahwa harus terang dulu perkara
2
Soenarto Soerodibroto, Op.Cit. hlm.105
3
R. Soesilo, Op.Cit, hal.250.
Delik-delik Populer 95
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
perdatanya, baru dilanjutkan perkara pidananya, pandangan kedua
menyatakan bahwa perkara pidana tetap dapat dilanjutkan jika perkara
pidananya terang benderang dan dapat dibuktikan secara materil.
Menghadapi kesulitan tersebut, terdapat dua pandangan yang
bertolak belakang, yaitu pertama menyatakan bahwa perkara tidak
dapat diteruskan karena harus ada kepastian terlebih dahulu tentang
kepemilikan tanah tersebut. Pendapat yang kedua menganggap tidak
harus menunggu, karena perkaranya terpisah. Kedua pendapat me-
ngandung kelebihan serta kelemahan sekaligus.
Terhadap pandangan pertama, terjamin kepastian hukum, tetapi
seandainya dalam perkara perdata nantinya telah diputuskan siapa
yang berhak atas tanah sengketa, apakah proses hukum pidana dapat
diteruskan padahal hukum pidana tidak boleh berlaku surut? Kemu-
ngkinan tersebut dapat ditepis jika dalam amar putusan perkara
perdata disebutkan perbuatan tergugat sebagai perbuatan melawan
hukum. Terhadap kemungkinan kedua, penyelesaian secara pidana
terlebih dahulu mengandung kelemahan jika seandainya pengadilan
perdata memenangkan pihak yang menjadi pelapor? Apakah dengan
sendirinya penyidikan perkara harus dihentikan?
Kamal Firdaus,4 advokat senior asal Yogyakarta, termasuk yang
berpandangan yang kedua. Pendapat tersebut didasarkan pemikiran
akan adanya kemungkinan disalahgunakannya sengketa tanah bagi
pihak yang sebenarnya tidak berhak untuk merugikan pihak yang
sebenarnya memang berhak. Dalam praktik, seringkali terjadi bahwa
klaim salah satu pihak atas tanah didasarkan pada surat tanah yang
sebenarnya palsu. Oleh karena itu, jika ada dugaan alas haknya palsu,
maka penyidik sebaiknya membuktikan terlebih dahulu kepalsuan
atau keaslian dari surat yang dijadikan dasar atau alas hak bagi pihak
yang juga mengaku pemilik tanah. Jika satu objek tanah ditemukan 2
surat, maka sudah tentu ada yang asli dan ada yang palsu.
4
Wawancara dengan Kamal Firdaus, advokat senior tinggal di Yogyakarta, tanggal 24
Mei 2012 sebagaimana dimuat dalam artikel penulis yang berjudul “Penyelesaian Tindak
Pidana Yang Terjadi di Atas Tanah Sengketa,” yang dimuat Jurnal Ilmu Hukum
Universitas Riau, Volume 3 No. 1, September 2012
96 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
Dalam pandangan penulis, sebaiknya penyelesaian perkara pi-
dana tetap harus dilanjutkan, namun penyelesaian perkara perdata
juga harus dilakukan dalam waktu yang bersamaan, sepanjang penyidik
telah yakin dengan alat-alat bukti yang dikumpulkan mendukung siapa
sebenarnya yang menjadi pemilik tanah. Apalagi dalam hal pencurian
dann pengrusakan menurut Pasal 406, objek yang dijadikan tindak
pidana adalah barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang
lain. Berdasarkan unsur ini, tidak mesti ada kepastian terlebih dahulu
tentang siapa yang menjadi pemilik sebenarnya dari suatu barang
tersebut. Jika terdapat keraguan saja tentang pemilik barang, atau
ada pihak lain yang juga mengklaim barang, maka seharusnya lah
pelaku menyadari untuk tidak mengambil barang tersebut. Sikap
penyidik untuk dapat meneruskan perkara ini dapat didasarkan kepada
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 1213/K/Pid/1984
dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 71K/KR/1975 serta Putusan
Mahkamah Agung RI No. 393/K/Pid.2005.
Jika pelaku tetap mengambil barang yang diragukan kepemili-
kannya, pelaku dapat dipersalahkan tidak memperhitungkan akibat
yang akan terjadi jika ia tetap melakukan perbuatan. Ia dapat diper-
salahkan karena sikap batinya yang mengabaikan kemungkinan barang
milik orang lain. Meskipun tidak secara tegas dinyatakan bahwa
Hukum Pidana Positif Indonesia menganut asas tiada pidana tanpa
kesalahan, penggunaan asas ini tidak dapat dibantah lagi adanya.
Lebih-lebih lagi setelah diperkuat dengan UU No. 14 Tahun 1970
yang menyatakan bahwa “Tiada seorang juapun dapat dipidana ke-
cuali apabila Pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
Undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang
dianggap dapat bertanggungjawab telah bersalah atas perbuatan yang
dituduhkan atas dirinya”.
Dari unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain, sama dengan
pencurian, maka dalam pengrusakan walaupun masih ada sengketa
tentang kepemilikan suatu benda, penulis berpendapat bahwa penegak
hukum seharusnya tidak perlu menunggu adanya putusan perdata
tentang siapa yang menjadi pemilik yang sesungguhnya. Jika ada
anggapan bahwa penegak hukum seharusnya menunggu untuk mem-
Delik-delik Populer 97
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
proses sampai ada putusan perdata tentang siapa pemilik, maka
anggapan itu bisa dibalik dimana para pihak itu lah yang seharusnya
menunggu dengan sabar sampai ada putusan baru kemudian me-
lakukan perbuatan mengambil atau menghancurkan barang yang
menjadi objek sengketa itu.
Adapun alasan penegak hukum melakukan penundaan adalah
Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 yang intinya
menyatakan : “Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan
hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu
hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara
pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan
Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau
tidak adanya hak perdata itu.”
Perma No 1 Tahun 1956 dimaksud telah diperjelas dengan
adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1980 Tentang
Pasal 16 UU No. 14 Tahun 1970 dan “Prejudicieel Geschil” dimana
telah meminta perhatian “Bahwa andaikan Hakim hendak mem-
pergunakan lembaga hukum ini, Hakim Pidana ini tidak terikat pada
putusan Hakim Perdata yang bersangkutan seperti dinyatakan dalam
Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 1956”.
Selain itu berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung
No. 413 K/Kr/1980, tanggal 26 Agustus 1980, memuat kaidah hukum
bahwa Hakim berdasarkan atas Peraturan Mahkamah Agung No.1
tahun 1956, “Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak
terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara
perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata”.
Dengan demikian, hakim pidana tidak terikat dengan adanya
putusan dalam perkara perdata, justru penulis berpendapat bahwa
hakim perdata seharusnya terikat dengan putusan pidana jika ada
putusan yang menentukan surat yang diperiksa dalam perkara perdata
adalah palsu.
Dalam hal pencurian atau pengrusakan terjadi di atas tanah
yang masih bersengketa berlaku prinsip pemisahan horisontal juga
dapat dilihat dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
98 Delik-delik Populer
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
di Tengah Masyarakat
tentang Pokok-pokok Agraria yang mengatur tentang Hak Sewa Untuk
Bangunan, yang menentukan bahwa seseorang atau suatu Badan
hukum dapat mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan
bangunan dengan membayar kepada pemilik tanahnya sejumlah uang
sebagai sewanya. Kondisi ini akan menyebabkan kepemilikan ba-
ngunan dan tanahnya berada dalam subyek yang berbeda. Kepemilikan
hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tana-
man yang ada di atasnya. Dengan demikian perbuatan hukum me-
ngenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi pula bangunan dan
tanaman yang ada di atasnya. Dalam konteks ini pembebanan hak
atas tanah dengan hak tanggungan tidak serta merta meliputi pula
bangunan dan atau benda-benda lain yang ada di atasnya, kecuali
dinyatakan secara tegas.
Dengan ketentuan itu dapat ditegaskan bahwa apa yang ada di
atas tanah baik tanaman atau bangunan atau apapun juga tidak selalu
harus identik dengan pemilik tanah. Jadi walaupun masih ada per-
debatan tentang siapa pemilik tanah, jika terhadap benda yang ada
di atasnya sudah jelas siapa pemiliknya, maka tidak lagi ada alasan
untuk menunda proses hukum.
Dalam suatu kasus pengrusakan di atas tanah yang berbatasan
dimana di atas tanah tersebut berdiri satu bangunan permanen yang
melintasi batas kedua bidang tanah. Masing-masing pemilik tanah
memang berhak atas bangunan di atasnya dan itu dinyatakan dalam
akta jual beli. Pemilik tanah yang satu menghancurkan bangunan yang
ada di atas tanahnya yang menyebabkan rusaknya bangunan yang
ada di atas tanah sebelahnya. Penulis berpendapat dalam kasus ini
pelaku dapat dipersalahkan karena seharusnya ia dapat memperhitung-
kan bahwa tindakan menghancurkan bangunan di atas tanahnya akan
berakibat rusaknya bangunan di atas tanah tetangganya.
Dalam kasus lain, di atas tanah yang sudah jelas dasar kepe-
milikannya, baik berupa surat dasar kepemilikan maupun batas-batas
atau tanda-tanda fisik yang menjadi penanda kepemilikannya atas
tanah tersebut, lalu ada orang lain melakukan suatu perbuatan me-
nanam atau membuat bangunan tanpa izin pemilik tanah yang sah,
Delik-delik Populer 99
di Tengah Masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
jika pemilik yang sah tadi melakukan tindakan menghancurkan
tanaman atau bangunan tersebut, penulis berpendapat ia tidak dapat
dipidana karena ia melakukan perbuatan di atas tanahnya sendiri,
apalagi jika sebelumnya ia sudah memberitahu pihak yang menanam
atau mendirikan bangunan untuk mengosongkan tanaman atau
bangunan. Perbuatannya tersebut seharusnya tidak perlu dipidana
karena perbuatan pihak pertama menanam atau mendirikan bangunan
tanpa izin pemilik yang sah adalah perbuatan melawan hukum yang
dapat dipidana menggunakan PRP Tahun 1960. Prinsip pemisahan
horisontal menurut UU Pokok Agraria seharusnya dipahami sebagai
keadaan hukum yang dapat diakui jika pemakaian tanah tersebut tidak
bersifat melawan hukum yaitu dengan sepengetahuan dan seizin
pemilik yang sah atas tanah. Adalah tidak adil jika hukum harus
mempersalahkan orang yang melakukan perbuatan yang dianggap
salah sebagai reaksi atas perbuatan yang lebih dahulu jelas merupakan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
di Tengah Masyarakat
Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), maka pembuat tindak
pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku, jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
653 huruf b dilakukan dengan memasukkan bahan bahan yang
membahayakan nyawa atau merusak kesehatan atau jika hewan
tersebut termasuk ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
208.
Bagian Kedua
Penghancuran dan Perusakan Bangunan
Pasal 655
Setiap orang yang secara melawan hukum menghancurkan,
merusak, atau membuat tidak dapat dipakai lagi bangunan
untuk sarana dan prasarana pelayanan umum, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori IV.
Pasal 656
Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan
bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 655 hancur,
rusak, atau tidak dapat dipakai lagi, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling
banyak Kategori II.
Pasal 657
Setiap orang yang secara melawan hukum menghancurkan
atau merusak gedung, kapal, atau kendaraan darat yang
sebagian atau seluruh-nya milik orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori IV.
Pasal 658
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 608 berlaku
juga bagi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
653 sampai dengan Pasal 657.
Bagian Ketiga
Perusakan dan Pencarian Tanpa Izin Benda Cagar Budaya
Pasal 659
Setiap orang yang merusak benda cagar budaya dan situs
serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, meng-
di Tengah Masyarakat
Bab IX
DELIK PENYEROBOTAN DAN
PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH
di Tengah Masyarakat
een ander daarop rechthebbende of mederechthebbende is’
verpandt of verhuurt:
(5) hij die. oet gelijk oogmerk, een reeds verpaad stuk grond,
waarop eenig Inlandsch gebruiksrecht wordt uitgeoefend,
verkoopt of verruitt zonder de wederpartij met die verpanding
in kennis te stellen:
(6) hij die, met gelijk oogmerk, een stuk grond, waarop eenig
Inlandsch gebruiksrecht wordt uitgeoefend, verhuurt voor
een tijdsverloop waarvoor hij weet dat dit reeds aan een ander
is verhuurd.
Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 PRP Tahun 1960 tentang La-
rangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya
yaitu :
i. barangsiapa yang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau
kuasanya yang sah
ii. barangsiapa yang mengganggu di dalam mengggunakan suatu
bidang tanah
iii. barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjur-
kan dengan lisan maupun tulisan untuk memakai tanah tanpa
izin dari yang berhak atau kuasanya yang sah, atau meng-
ganggu yang berhak atau kuasanya dalam menggunakan suatu
bidang tanah, dan
iv. barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun untuk me-
makai tanah tanpa izin dari yang berhak atau kuasanya yang
sah, atau mengganggu pihak yang berhak atau kuasanya dalam
menggunakan suatu bidang tanah.
B. Penjabaran Unsur-unsur
Penjabaran unsur-unsur Pasal 385 yaitu :
a. unsur barangsiapa; siapa saja atau setiap orang yang dapat
bertindak menurut hukum atau setiap pendukung hak dan ke-
wajiban atau disebut juga dengan istilah subjek hukum yang
di dalam hukum pidana adalah tiap orang yang cakap berbuat
hukum, tidak termasuk dalam golongan sebagaimana diatur
dalam pasal 44 yaitu mereka yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum karena terganggu jiwanya, Pasal 45 yaitu
mereka yang dianggap belum cukup umur, Pasal 48 dan 49
di Tengah Masyarakat
Dari pengaturan Pasal 385 dan penjabaran unsur-unsurnya di
atas, maka dapat dilihat bahwa unsur yang utama adalah menyerahkan,
menukarkan, membebani dengan credietverband, yang berarti bahwa
tanah yang dikuasai secara melawan hukum itu harus berpindah tangan
kepada pihak lain dan pelaku ataupun orang lain mendapatkan keun-
tungan dari perbuatan memindahkan hak atas tanah tersebut. Karena
yang menikmati keuntungan bisa orang lain juga, maka menghibahkan
tanah orang lain oleh orang yang tidak berhak termasuk pengertian
Pasal 385 ini. Walaupun pelaku tidak mendapatkan keuntungan, ada
orang lain yang menikmati keuntungan itu. Dengan demikian, maka
delik menurut Pasal 385 hampir sama dengan delik penggelapan,
namun bedanya adalah dimana di Pasal 385 benda yang menjadi objek
adalah tanah, sedangkan dalam penggelapan objeknya adalah barang
bergerak.
Di tengah masyarakat, jika ada orang lain menduduki tanah
miliknya dilaporkan sebagai penyerobotan lahan dengan menggunakan
Pasal 385. Anggapan itu keliru karena syarat terpenuhinya unsur
Pasal 385 adalah berpindahnya hak atas tanah. Sedangkan jika ia
menduduki saja tanpa memindahtangankan kepada pihak lain, lebih
tepat digunakan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 PRP Tahun1960
tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau
Kuasanya.
Yang sering terjadi di tengah masyarakat adalah pendudukan
lahan oleh seseorang karena memiliki alas hak yang menurut keyaki-
nannya sah. Sementara di pihak lain ada juga orang lain memiliki alas
hak atas tanah yang sama. Orang yang mempunyai alas hak tetapi
tidak menguasai lahan tersebut yang biasanya melaporkan kasus ini
sebagai penyerobotan. Dalam kasus seperti ini, penulis berpendapat
bahwa sepanjang para pihak tidak ada unsur pemalsuan surat atau
menggunakan surat palsu, kedua belah pihak khususnya pihak yang
menguasai tanah seharusnya tidak dapat dipidana. Ini murni merupa-
kan persoalan sengketa hak milik tanah di lapangan hukum perdata.
Dalam hal seperti ini lah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun
1956 yang intinya menyatakan: “Apabila pemeriksaan perkara pidana
di Tengah Masyarakat
tanah tempat orang menggunakan hak tersebut sudah dijamin-
kan;
(5) menjaminkan atau menyewakan sebidang tanah tempat orang
menggunakan hak atas tanah tersebut, padahal orang lain
berhak atau turut berhak atas tanah tersebut;
(6) menyewakan sebidang tanah tempat orang menggunakan hak
atas tanah tersebut untuk jangka waktu tertentu, padahal tanah
tersebut telah dijaminkan kepada orang lain; atau
(7) menyewakan sebidang tanah tempat orang menggunakan hak
atas tanah tersebut untuk jangka waktu tertentu, padahal tanah
tersebut juga telah disewakan kepada orang lain.
Sama halnya dengan KUHP sekarang, perbuatan menduduki
lahan milik orang lain tidak diatur dalam RUU KUHP. RUU juga
mengkriminalisasi perbuatan menguasai jika dipindahtangankan
kepada pihak lain, sepanjang ia kuasai tanpa memindahkan tidak
merupakan delik yang diatur dalam RUU KUHP. Dengan demikian,
seandainya nanti RUU KUHP disahkan emnjadi Undang-undang,
maka Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 PRP Tahun1960 tentang
Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya
tetap berlaku dan dapat digunakan.
di Tengah Masyarakat
Bab X
DELIK PENGHINAAN
(BELEEDIGING)
di Tengah Masyarakat
seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya
yang sah.
Pasal 317
(1) Barangsiapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau
pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis
maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehor-
matan atau nama baik orang itu terserang, diancam karena
melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 nomor l’-3' dapat
dijatuhkan.
Pasal 318
(1) Barangsiapa dengan suatu perbuatan sengaja menyebabkan
seseorang secara palsu disangka melakukan suatu tindak
pidana, diancam karena menimbulkan persangkaan palsu,
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 nomor 1'-3' dapat
dijatuhkan.
Pasal 319
Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini dituntut
hanya atas pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu,
kecuali dalam hal tersebut pasal 316.
Pasal 320
(1) Barangsiapa terhadap seseorang yang sudah meninggal me-
lakukan perbuatan yang sekiranya orang itu masih hidup akan
merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Kejahatan ini dituntut hanya atas pengaduan dari salah se-
orang keluarga sedarah maupun semenda dalam garis tums
atau menyimpang sampai derajat kedua dari orang yang sudah
meninggal itu, atau atas pengaduan suami (istri)nya.
(3) Bila karena lembaga matriarkal kekuasaan ayah dilakukan
oleh orang lain daripada ayah, maka kejahatan itu juga dapat
dituntut atas pengaduan orang itu. (KUHP 91, 310, 319, 488.)
Pasal 321
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempel-
kan di muka umum tulisan atau gambar yang isinya menghina
atau bagi orang yang sudah meninggal mencemarkan namanya,
di Tengah Masyarakat
Art 312
Het bewijs der waarheid van het te laste gelegde feit wordt
alleen toegelaten in de volgende gevallen:
1. wanneer de rechter het onderzoek naar de waarheid noodig
acht ter beoordeeling van den beklaagde dat hij in het
algemeen belang of tot noodzakelijke verdediging gehandeld
heeft;
2. wanneer aan een ambtenaar een feit begaan in de uitoefening
zijner bediening wordt te laste gelegd.
Art 313
Het in artikel 312 bedoeld bewijs is niet teogelaten, indien het
te laste gelegde feit niet dan op klachte kan worden vervolgd
en geene klachte kan worden vervolgd en geene klachte kan
worden vervolgd en geene klachte is gedaan.
Art 314
(1) Indien de beleedigde aan het te laste gelegdc feit bijr
rechterlijk gewijsde onherroepelijk is schuldig verklaard,
is veroordeeling wegens laster ultgesloten.
(2) Indien hij van het te laste gelegde feit bij rechtelijk gewijsde
onherroepelijk is vrijgesproken, wordt dat gewijsde als
volkomen bewijs der onwaarheid vaa het feit aangemerkt.
(3) Indien tegen den beleediging wegens het hem te laste
gelegde feit eene strafvervolging is aangevangen, wordt
de ver volging wegens laster geschorst totdat bij gewijsde
onherroepelijk over het te laste gelegde feit is beslist.
Art 315
Elke opzettelijke beleediging die niet het karakter van smaad
of van smaadschrift draagt, iemand hetzij in het openbaar
mondeling of bij geschrifte, hetzij in zijne tegenwoordig heid
mondeling of door feitelijkheden, hetzij door een toegezonden
of aangeboden geschrift, aangedaan, wordt, als eenvoudige
beleediging, gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste vier
maanden en twee weken of geldboete van ten hoogste driehonderd
gulden.
Art 316
De in de voorgaande artikelen van dezen titel bepaalde straffen
kunnen met een derde worden verhoogd, indien de beleediging
wordt aangedaan aan een ambtenaar gedurende of ter zake
van de rechtmatige uitoefening zijner bediening.
di Tengah Masyarakat
aanslaat, wordt gestraft met gevangenisstraf van ten
hoogste een maand en twee weken of geldboete vaa ten
hoogste driehonderd gulden.
(2) lndien de schuldige het misdrijf in zijn beroep begaat en
er, tijdens het plegen van het misdrijf, nog geen twee jaren
zijn verloopen, sedert eene vroegere veroordeeling van den
schuldige wegens gelijk misdrijf onherroepelijk is geworden,
kan hii van de uitoefening van dat beroep worden ontzet.
(3) Dit misdrijf wordt niet vervolgd, dan op klachte van de in
artikel 319 en het tweede en derde lid van artikel 320 aange
wezen personen.
di Tengah Masyarakat
Penghinaan adalah istilah yang sama dengan istilah penistaan
atau pencemaran nama baik. Dalam hal ini, Pasal 310 melarang me-
nuduhkan sesuatu kepada seseorang di depan umum karena meskipun
perbuatan tersebut memang salah, Undang-undang dalam hal ini
KUHP memberikan perlindungan atas aib seseorang untuk tidak
diketahui umum walaupun hal itu benar-benar terjadi. Dalam ang-
gapan masyarakat umum, sering kali dianggap boleh menyiarkan suatu
aib seseorang jika perbuatan itu memang terjadi. Prinsip dalam
KUHP, adalah melindungi orang dari aib dirinya, yang akan mem-
buatnya malu dan jatuh kehormatannya jika itu diketahui umum.
Prinsip perlindungan orang dari suatu tuduhan sejalan dengan
ajaran Islam. Dalam Islam menuduh seseorang dengan bohong
khususnya tuduhan zina adalah kejahatan besar. Al Quran menegaskan
larangan melakukan hal ini :
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-
baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang
saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh
kali deraan, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
selama-lamanya. Dan mereka itu lah orang-orang yang fasik.”
Setiap muslim diharapkan agar memelihara kehormatan dan
keluhuran saudaranya sesama Muslim dan tidak menelanjangi ataupun
membuka rahasia yang akan mencemarkan Muslim lain, maka kalau
ada seorang yang menuduh seorag Muslim berzina, namun tidak dapat
membuktikannya dengan mengemukakan empat orang saksi yang
(juga) telah melihat kejahatan itu tengah dilakukan pada saat dan
tempat yang sama, maka si penuduh akan dihukum cambuk delapan
puluh kali, dianggap sebagai orang fasik, dan kesaksiannya tidak
akan diterima lagi kapanpun mengajukan persaksian.2
Jika ada kewajiban untuk membuktikan dan tuduhan itu tidak
terbukti, maka hal tersebut merupakan pelanggaran Pasal 311 yaitu
fitnah. Sedangkan penghinaan yang tidak bersifat menuduhkan, hanya
melontarkan kata-kata yang tidak senonoh atau mengidentikkan
korban dengan sesuatu yang bersufat hina, tidak bisa dipidana dengan
2
Topo Santoso, Op.cit. hlm.164.
di Tengah Masyarakat
Dengan demikian, pemberitaan dalam media massa oleh yang
berhak yaitu awak media dapat dikualifikasi sebagai membela kepen-
tingan umum, apalagi pemberitaan kasus-kasus korupsi senyatanya
telah meningkatkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia. Bahkan kepentingan umum dapat diperluas tidak sebatas
kepentingan umum saja, tetapi termasuk pula konteks hubungan
privaat yang memiliki hubungan dengan banyak orang. Hal ini sejalan
dengan Putusan MA No. 22/PK/Pid.Sus/2011 dimana Prita Mulyasari
diputus tidak terbukti melakukan tindak pidana penghinaan karena
dianggap semata-mata sebagai perbuatan untuk memberikan peringatan
kepada publik agar tidak merasakan apa yang menjadi komplain
dari dirinya. Demikian pula dalam Putusan MA No. 519 K/Pid/2011
dimana MA menyatakan bahwa tindakan mengirimkan surat yang
dianggap penghinaan dalam pengelolaan keuangan di suatu institusi
privat tidak bisa dianggap penghinaan karena berhubungan dengan
pelayanan yang lebih baik demi kepentingan publik.
Dalam perspektif moral dalam agama (Islam), penghinaan memang
merupakan perbatan dosa dan tercela seumpama memakan bangkai
saudaranya, akan tetapi dikecualikan dalam keadaan tertentu seperti
untuk mencegah bahaya yang disebabkan keburukan seseorang atau
untuk membuktikan dalam suatu perkara.
Adapun penghinaan melalui sarana elektronik diatur dalam
Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
ITE yaitu Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistri-
busikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diakses-
nya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang me-
miliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Dalam hal kejahatan atau delik yang diatur dalam Undang-
undang yang bersifat khusus menunjuk suatu jenis kejahatan, maka
kejahatan yang dimaksud harus dimaknai sebagai kejahatan atau delik
yang dirumuskan dalam KUHP. Misalnya ada pengaturan perbuatan
pemalsuan dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, maka
pengertian pemalsuan harus dikembalikan kepada rumusan pemalsuan
menurut Pasal 263 dalam KUHP, demikian juga penghinaan dalam
di Tengah Masyarakat
penegak hukum adalah suatu tindakan yang tepat dan tidak melawan
hukum. Yang melawan hukum dan dilarang Undang-undang adalah
mengumumkannya kepada orang lain yang sebenarnya tidak ada ke-
pentingan, maksud mengumumkan semata-mata untuk membuat malu
korban.
di Tengah Masyarakat
tiga), jika yang dihina atau difitnah adalah seorang pegawai negeri
yang sedang menjalankan tugasnya yang sah.
Bagian Keempat
Pengaduan Fitnah
Pasal 542
(1) Setiap orang yang mengajukan pengaduan atau pemberitahuan
palsu secara tertulis atau menyuruh orang lain menuliskan
kepada pejabat yang berwenang tentang seseorang sehingga
kehormatan atau nama baik orang tersebut diserang, dipidana
karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling sedikit Kategori III dan paling banyak
Kategori IV.
(2) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak se-
bagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf a dan/
atau huruf b.
Pasal 543
Pembuat tindak pidana penghinaan, fitnah, dan penghinaan ringan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 537 sampai dengan Pasal
540, dan Pasal 542, tidak dituntut, jika tidak ada pengaduan dari
orang yang berhak mengadu, kecuali dalam hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 541.
Bagian Kelima
Persangkaan Palsu
Pasal 544
Setiap orang yang dengan suatu perbuatan menimbulkan persa-
ngkaan secara palsu terhadap seseorang bahwa orang tersebut
melakukan suatu tindak pidana, dipidana karena menimbulkan
persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Bagian Keenam
Pencemaran Orang Mati
Pasal 545
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan terhadap orang yang
sudah mati, yang apabila orang tersebut masih hidup perbuatan
tersebut akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori II .
di Tengah Masyarakat
Bab XI
DELIK PENGANCAMAN UNTUK MELAKUKAN
ATAU TIDAK MELAKUKAN PERBUATAN
di Tengah Masyarakat
tanggungjawabkan seperti keadaan terpaksa, atau membela
diri. Filosofi pertangungjawaban berkaitan dengan kebebasan
individu secara sadar untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu perbuatan, yang jika dapat dibuktikan bahwa ia dapat
menyadari hakikat kesalahan suatu perbuatan padahal ia masih
punya pilihan untuk tidak melakukan perbuatan itu, maka
dapat diminta pertanggungjawabannya dan dianggap bersalah.
b. Secara melawan hukum” dalam pasal 335 Ayat (1) ke 1
KUHPidana adalah melawan hukum yaitu perbuatan melanggar
peraturan perundang-undangan.
c. Memaksa orang lain supaya melakukan” dalam pasal 335
Ayat (1) ke 1 KUHPidana adalah membuat seseorang dalam
keadaan terpaksa di luar kehendaknya sendiri untuk melakukan
sesuatu yang tidak ia kehendaki. Memaksa di sini sama dengan
memaksa dalam Pasal 368.
d. Memaksa orang lain supaya tidak melakukan” dalam pasal
335 Ayat (1) ke 1 KUHPidana adalah membuat orang lain
tidak melakukan sesuatu yang berbeda dengan kehendaknya.
e. Memaksa orang lain supaya membiarkan sesuatu dilakukan”
dalam pasal 335 Ayat (1) ke 1 KUHPidana adalah membuat
seseorang yang di luar kehendaknya tidak bisa mencegah ter-
jadinya sesuatu.
f. Dengan memakai kekerasan” dalam pasal 335 Ayat (1) ke
1 KUHPidana adalah menggunakan tenaga yang tidak sedikit
dengan anggota badan.
g. Dengan memakai ancaman kekerasan” dalam pasal 335
Ayat (1) ke 1 KUHPidana adalah ancaman berupa kata-kata
atau tindakan yang berbentuk ancaman.
Pasal 335 ini merupakan pasal bersyarat dimana harus ada dua
peristiwa yang terjadi yaitu yaitu kekerasan atau ancama kekerasan,
dan kedua ada orang perbuat atau tidak berbuat atau membiarkan
yang mana perbuatan kedua harus dipandang satu rangkain sebab
akibat dengan peritiwa pertama. Jika tidak kekerasan atau ancaman
kekerasan, maka Pasal 335 belum terpenuhi, begitu pula sebaliknya,
jika ada kekerasan atau ancaman kekerasan tetapi hal itu tidak
membuat korban menurut keinginan pelaku, maka Pasal 335 juga
belum terpenuhi. Pasal 335 terbatas hanya adanya kekkerasan atau
ancaman kekerasan yang bersifat kongkret. Jika orang diam saja,
di Tengah Masyarakat
kan bahaya bagi keamanan umum terhadap orang atau
barang;
c. mengancam dengan perkosaan atau dengan perbuatan yang
melanggar kesusilaan;
d. mengancam dengan suatu tindak pidana terhadap nyawa
orang; atau
e. mengancam dengan penganiayaan berat atau dengan pem-
bakaran.
(2) Jika ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaku-kan
secara tertulis dan dengan syarat tertentu, maka pembuat tin-
dak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
di Tengah Masyarakat
Bab XII
DELIK PERZINAHAN
(OVERSPEL)
di Tengah Masyarakat
a. Seorang pria yang telah kawin yaitu pria yang secara sah
menurut hukum telah kawin, mereka yang hanya kawin yang
tidak tercatat menjadi perdebatan dalam praktik untuk dapat
dikualifikasi sebagai subjek hukum Pasal 284.
b. Seorang wanita yang telah kawin yaitu wanita yang secara
sah menurut hukum telah kawin, mereka yang hanya kawin
yang tidak tercatat menjadi perdebatan dalam praktik untuk
dapat dikualifikasi sebagai subjek hukum Pasal 284.
c. Melakukan Mukah, mukah di sini tidak sama dengan perzinaan
dalam masyarakt maupun dalam agama. Mukah di sini terbatas
pada hubungan antara orang yang dilarang menurut hukum.
d. Diketahuinya, bahwa pelaku mengetahui bahwa bagi mereka
berlaku hukum yang melarangnya untuk melakukan persetu-
buhan dengan pihak lain.
e. Pria atau wanita yang turut serta, walaupun yang turut serta
itu tidak terikat perkawinan tetapi jika ia bersetubuh dengan orang
yang ia ketahui telah menikah, maka kepadanya dapat diper-
salahkan.
Pengertian perzinaan dalam KUHP berbeda jauh dengan pe-
ngertian perzinaan dalam masyarakat khususnya dalam hukum Islam.
Idealnya, norma-norma tentang apa saja perbuatan yang dapat di-
pidana yang diatur dalam undang-undang adalah perbuatan yang
memiliki ketercelaan menurut masyarakat setempat. Kaedah hukum
yang berlaku seharusnya berlandaskan pada asas-asas yang dianut
dan asas-asas yang dianut merupakan penjabaran lebih lanjut dari
nilai-nilai yang dianut.1
Namun karena hukum pidana yang saat ini berlaku merupakan
warisan Hindia Belanda yang diadopsi dari hukum pidana Negeri
Belanda, sudahlah tentu kaedah atau norma yang berlaku berlandaskan
pada asas dan nilai yang dianut oleh masyarakat Belanda yang indi-
vidual. Penghormatan yang lebih diutamakan dalam masyarakat Barat
pada umumnya, dan Belanda khususnya adalah terhadap individu.
Ini berbeda dengan masyarakat Indonesia yang bersifat komunal yang
senantiasa berusaha menyerasikan kepentingan individu, masyarakat
dan golongan.2
1
Erdianto Effendi, Op.Cit. hlm.57.
2
Ibid
3
Rajo Bujang, et.all. Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat,
Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kuala Tungkal, 2003, hlm. 80.
di Tengah Masyarakat
Dalam Al Qur’an bahkan ditegaskan bahwa, Dan janganlah
kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS Al Isra ayat 32).
Penerapan pasal 284 tentang delik perzinaan menurut KUHP
yang mendefinisikan perkawinan menurut hukum tertulis akan ber-
benturan dengan penerapan Pasal lain dalam KUHP yaitu Pasal 279
ayat (1) yaitu „barangsiapa mengadakan perkawinan padahal ia
mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang
telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu” dan “barangsiapa
mengadakan perkawinan padahal ia mengetahui bahwa perkawinan-
perkawinan pihak lain menjadi penghalang yang sah untuk itu.”
Sedangkan Pasal 279 ayat (2) yaitu “Bila yang melakukan perbuatan
seperti tersebut dalam ayat (1) nomor 1' menyembunyikan kepada
pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang
sah untuk kawin lagi, maka ia diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.
Pernikahan atau perkawinan yang dilakukan tanpa izin istri yang
sah adalah dalam hal Undang-undang yang berlaku baginya memper-
syaratkan bahwa untuk menikah lagi harus ada izin istri yang sah,
jika dalam ketentuan Undang-undang atau hukum yang berlaku baginya
mewajibkan adanya izin istri, sedangkan ia melaksanakan pernikaha
tanpa izin istrinya, maka perbuatan tersebut tergolong sebagai per-
buatan melakukan pernikahan atau perkawinan menurut Pasal 279
KUHPidana.
Menikah lagi yang dimaksud dalam Pasal 279 KUHPIdana
adalah pernikahan yang sah menurut hukum negara atau pernikahan
dalam hukum agama saja. Jika dilakukan pendekatan yang legalistik,
maka yang dimaksud dengan pernikahan adalah pernikahan yang sah
menurut hukum negara, sehingga pernikahan yang tidak dilakukan
dengan prosedur menurut hukum yang berlaku, meskipun dianggap
sah menurut agama atau adat dianggap tidak pernah ada. Namun jika
tafsir dengan dengan pendekatan sosiological jursprudence, maka
pernikahan yang secara agama adalah pernikahan juga.
Dalam berbagai putusan terdapat dua pandangan yang berbeda.
di Tengah Masyarakat
C. Pengaturan Delik Perzinaan dalam RUU KUHP
Pengaturan perzinaan dalam RUU KUHP sangat berbeda dengan
KUHP. Dapat dikatakan ini lah pembeda yang paling utama antara
KUHP dengan RUU KUHP. RUU KUHP berusaha menyesuaikan
konsep zinah menurut adat dan agama dengan hukum pidana positif.
Berikut adalah pasal-pasal tentang zina dalam RUU KUHP :
Bagian Keempat
Zina dan Perbuatan Cabul
Pasal 483
(1) Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun:
a. laki laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
b. perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;
c. laki laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui
bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perka-
winan;
d. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melaku-
kan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa
laki laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
e. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat
dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau
pihak ketiga yang tercemar.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 28.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di si-
dang pengadilan belum dimulai.
Pasal 484
Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan anak-anak,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Kategori IV dan paling banyak Kategori VI.
di Tengah Masyarakat
Bab XIII
DELIK PERKOSAAN
(VERKRACHTING)
di Tengah Masyarakat
tidak terpenuhi. Banyak kasus yang naik ke pengadilan dibebaskan
karena unsur ini tidak terpenuhi.
Menurut P.AF. Lamintang,1 Undang-undang tidak menjelaskan
tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan “kekerasan”, bah-
kan di dalam yurisprudensipun tidak dijumpai adanya sesuatu putusan
kasasi yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk memberikan arti
yang setepat-tepatnya bagi kata “kekerasan” tersebut. Namun menurut
Simons, yang dimaksudkan dengan kekerasan atau geweld itu ialah
‘elke uitoefening van lichamelijke kracht van niet al te geringe
betekenis’, yang artinya: “setiap penggunaan tenaga badan yang tidak
terlalu tidak berarti’ atau ‘het aanwenden van lichamelijk kracht van
niet al te geringe intensiteit’, yang artinya ‘setiap pemakaian tenaga
badan yang tidak terlalu ringan’. Apa yang dimaksudkan dengan “an-
caman kekerasan” itupun, undang-undang ternyata telah tidak mem-
berikan penjelasannya. Menurut arrest Hoge Raad tanggal 5 Januari
1914 (NJ.1915 hal.1116), mengenai “ancaman kekerasan” tersebut
disyaratkan sebagai berikut :a) bahwa ancaman itu harus diucapkan
dalam suatu keadaan yang demikian rupa, hingga dapat menimbulkan
kesan pada orang yang diancam, bahwa yang diancamkan itu benar-
benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya ; b) bahwa maksud
pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti itu.
Lebih lanjut R. Soesilo2, menyatkan bahwa berdasarkan fungsi-
nya, maka kekerasan dalam pengertian Pasal 285 KUHP dapatlah
definisikan sebagai suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang
ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan
dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan
mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara
fisik. Dalam keadaan tidak berdaya itulah, orang yang menerima
kekerasan terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat
terhadap dirinya (walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau
melakukan perbuatan sesuai atau sama dengan kehendak orang yang
menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri.
1
PAF Lamintang, Delik-Delik Khusus: Tindak Pidana-Tindak Pidana Melanggar
Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-norma Kepatutan, Bandung : Mandar Maju,
1990, hlm.110-111
2
R. Soesilo, Op.Cit.hlm 65.
di Tengah Masyarakat
menolak baik disebabkan oleh sakit, keadaan terikat atau hal lainnya
sehingga ia tidak dapat menentukan kehendaknya sendiri. Tidak
berdaya di sini bukanlah akibat dari perbuatan si pelaku melainkan
suatu kondisi yang sudah terjadi.
Meskipun secara umum, para ahli menyepakati bahwa yang
dimaksud dengan tidak berdaya adalah keadaan dimana seorang pe-
rempuan tidak dapat melakukan apapun untuk melakukan perlawanan
yang disebabkan oleh keadaan yang membuatnya tidak berdaya se-
perti dalam keadaan terikat atau dalam keadaan sakit yang membuat-
nya tidak bisa melawan atau memilih untuk melakukan apapun. Dalam
pekembangan hukum dewasa ini, cacat mental terkualifikasi pula
sebagai keadaan tidak berdaya tersebut. Bebebrapa Putusan Penga-
dilan yang mendefinisikan cacat mental sebagai unsur tidak berdaya
antara lain Putusan Pengadilan Negeri Cirebon No. 240/Pid.B/2012/
sebagaimana dikuatkan dengan Putusan No. 736 K/PID/2013 6 Maret
2013, Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor 188/Pid.B/
2017/PN Rap tanggal 3 Mei 2017 dan Putusan Pengadilan Negeri
Bale Bandung No. 377/Pid.B/2011/PN BB.
di Tengah Masyarakat
subjek hukum dalam delik perkosaan tidak terbatas kepada laki-
laki saja dimana diartikan pula sebagai perkosaan memasukkan suatu
benda yang bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus pe-
rempuan. Hal ini dapat saja dilakukan seorang sesama perempuan.
Dalam hal objek perkosaan baik, KUHP maupun RUU sama-
sama tidak mengatur laki-laki sebagai objek perkosaan. Keduanya
tetap menenempatkan perempuan sebagai objek perkosaan. Hal ini
dapat dipahami bahwa perempaun tidak harus mempunyai kemam-
puan untuk dapat disetubuhi, dalam keadaan apapun perempuan tetap
dapat disetubuhi oleh laki-laki. Karena itu tidak berlebihan jika Undang-
undang mengatur perlindungan terhadap perempuan secara lebih luas.
di Tengah Masyarakat
Bab XIV
DELIK PENCABULAN
di Tengah Masyarakat
orang itu belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun.
(2) Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang
terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini
lamanya masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
(KUHP 89, 285, 298.)
Pasal 294
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya,
anak tirinya, anak angkatnya, anak yang di bawah pengawasannya
yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa
yang diserahkan kepadanya untuk dipelihara, dididik atau
dijaga, ataupun dengan pembantunya atau bawahannya yang
belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun. (KUHP 91.)
(2) Diancam dengan pidana yang sama:
1. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang
yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya;
(KUHP 92.)
2. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh
di penjara, di tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan,
rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga
sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dimasukkan di situ. (KUHPerd. 287; KUHP 35, 292, 295,
298.)
Pasal 295
(1) Diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa
dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukan-
nya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak
angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum
dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeli-
haraannya, pendidikannya atau penjagaannya diserahkan
kepadanya, ataupun oleh pembantunya atau bawahannya
yang belum cukup umur, dengan orang lain; (KUHP 91.)
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang-
siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan
perbuatan cabul, di luar yang tersebut dalam nomor 1' di
di Tengah Masyarakat
orang lain atau orang yang ketiga, yang penting pelaku pertama
adalah orang yang memaksa,
h. Perbuatan cabul, yaitu perbuatan yang pada umumnya diarti-
kan sebagai perbuatan tidak senonoh yang berhubungan de-
ngan alat kelamin.
Perdebatan dalam praktik adalah tentang definisi perbuatan
cabul. R. Soesilo1, yang dimaksudkan dengan “perbuatan cabul” ialah
segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau per-
buatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin,
misalnya: cium-cium, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba
buah dada dan sebagainya.
Pengertian perbuatan cabul amat luas dan nilai kecabulan dalam
setiap masyarakat berbeda antara satu daerah dengan daerah lain.
Pada umumnya mencolek pantat dianggap sebagai perbuatan cabul,
namun bisa juga mencolek lengan dianggap sebagai pelecehan yang
bersifat cabul. Penulis menyarankan agar penilaian tentang kecabulan
sebaiknya dimintakan kepada pendapat umum masyarakat setempat.
Inti dari Pasal 289 yang ingin dilindungi adalah hak perempuan untuk
tidak diperlakukan secara tidak senonoh, walaupu dalam delik pen-
cabulan, objek delik tidak terbatas pada perempuan, bisa juga laki-
laki menjadi objek pencabulan, khususnya anak-anak laki-laki.
di Tengah Masyarakat
Pasal 494
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan anak
kandungnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
(2) Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul atau persetubu-
han dengan anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah
pengawasannya yang dipercayakan padanya untuk diasuh,
dididik atau dijaga, atau dengan pembantu rumah tangganya
atau dengan bawahannya, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun.
(3) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun:
a. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan bawa-
hannya atau dengan orang yang dipercayakan atau di-
serahkan padanya untuk dijaga; atau
b. dokter, guru, pegawai, pengurus, atau petugas pada lem-
baga pemasyarakatan, lembaga negara tempat latihan
karya, rumah pendidikan, rumah yatim dan/atau piatu,
rumah sakit jiwa, atau panti sosial yang melakukan per-
buatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke lembaga,
rumah, atau panti tersebut.
Pasal 495
(1) Setiap orang yang menghubungkan atau memudahkan orang
lain melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 494 ayat (1) dan ayat (2), di-
pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Setiap orang yang di luar hal hal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menghubungkan atau memudahkan orang lain berbuat
cabul atau persetubuhan dengan orang yang diketahui atau
patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan
belum kawin, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), dilakukan sebagai pekerjaan atau kebiasaan, maka
pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 496
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
di Tengah Masyarakat
Bab XV
DELIK MELARIKAN
WANITA YANG BELUM DEWASA
(SCHAKING)
di Tengah Masyarakat
wasa. Pengertian belum dewasa tidak sama dengan pengertian
anak,
d. Tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya, kehendak orang
tua atau wali menjadi syarat dalam Pasal ini karena si wanita
dianggap belum dewasa.
e. Tetapi dengan persetujuannya, unsur persetujuan didapat dari
si wanita, karena jika tanpa persetujuan, melainkan dengan
tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan masuk
menjadi Pasal 332 ayat 1 ke 2.
f. dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap
wanita itu, dengan maksud sama dengan pengertian dengan
maksud untuk tindak pidana lainnya, yaitu sama dengan pe-
ngertian dengan sengaja tetapi kesengajaan mutlak. Maksud
itu adalah memastikan penguasaan yaitu bahwa si wanita
berada dalam kekuasaan si pria.
g. baik di dalam maupun di luar perkawinan, perkawinan atau
di luar perkawinan, tidak menghapuskan pidananya sepanjang
si wanita dikuasai oleh si pria yang membawa lari.
Perdebatan dalam praktik adalah tentang batas usia dewasa.
Terdapat anggapan bahwa belum dewasa disamakan dengan penger-
tian anak yaitu jika si wanita belum berusia 18 tahun menurut UU
Perlindungan Anak. Pendapat lainnya menyatakan bahwa belum
dewasa tidak sama dengan pengertian anak. Jadi usia yang dilindungi
dalam Pasal 332 ini adalah rentang usia di atas 18 tahun akan tetapi
belum mencapai usia 21 tahun. Jika si wanita telah mencapai usia
21 tahun yang menjadi batasan dewasa menurut Hukum Perdata,
maka unsur Pasal 332 menjadi tidak terpenuhi. Pendapat itu misalnya
dikemukana oleh R Soesilo yang menyatakan belum dewasa tidak
sama dengan anak dalam KUHP. Dalam KUHP, anak adaah di bawah
16 tahun. Sedangkan Pasal 332 menentukan klausul belum dewasa
sehingga Soesilo memahami belum dewasa tidak sama dengan anak.
Dewasa menurut hukum perdata adalah di atas 21 tahun, sehingga
rentang usia antara 16 sampai 21 adalah usia yang dimaksud dalam
Pasal 332 ini.
Salah satu pendapat yang menyamakan arti belum dewasa dengan
pengertian anak adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 45/K Pid/
di Tengah Masyarakat
(2) Setiap orang yang membawa pergi perempuan dengan tipu
muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud
untuk memastikan penguasaan terhadap perempuan tersebut,
baik di dalam maupun di luar perkawinan, dipidana karena
melarikan perempuan, dengan pidana penjara paling lama 9
(sembilan) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori
IV.
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) hanya dapat dilakukan atas pengaduan:
a. perempuan itu sendiri atau orang lain yang harus memberi
izin bila dia akan kawin, jika perempuan tersebut belum
dewasa;
b. perempuan itu sendiri atau suaminya, jika perempuan
tersebut sudah dewasa.
(4) Jika yang membawa lari mengawini perempuan yang dibawa
pergi dan perkawinan tersebut dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan,
maka pembuat tindak pidana tidak dapat dijatuhi pidana se-
belum perkawinan tersebut dinyatakan batal.
Dilihat dari bunyi Pasal 573 di atas, dapat dilihat bahwa batasa
belum dewasa dalam RUU adalah di bawah 18 tahun. Artinya Putusan
Mahkamah Agung Nomor 45/K Pid/2014 telah melakukan penafsiran
secara futuristik, yaitu mendefinisikan usia dewasa menurut Pasal
332 berbeda dengan pengertian dewasa menurut hukum perdata.
di Tengah Masyarakat
Bab XVI
DELIK PERJUDIAN
(HAZARDSPEL)
di Tengah Masyarakat
B. Penjabaran Unsur-unsur Delik Perjudian
Berdasarkan rumusan Pasal 303 dan Pasal 303 bis maka dapat
dijabarkan unsur-unsur perjudian yaitu :
a. barang siapa, sama dengan pengertian barangsiapa pada semua
tindak pidana yang diatur dalam KUHP.
b. tanpa mendapat izin, menentukan bahwa perjudian boleh
dilakukan jika ada izin dari penguasa. Yang dilarang dengan
Pasa 303 adalah perjudian tanpa izin.
c. dengan sengaja, sama dengan pengertian dengan sengaja untuk
tindak pidana yang lain.
d. menawarkan atau memberikan kesempatan, dapat diaryikan
sebagai mengajak orang lain atau memberi kesempatan yaitu
membuat keadaan yang membuat orang dapat bermain judi.
e. untuk permainan judi, yaitu permainan yang didefinisikan dala
ketentuan Pasal 303 ayat (3).
f. menjadikannya sebagai mata pencaharian, mata pencaharian
secara umum dapa diartikan sebagai pekerjaan yang dapat
menghasilkan uang.
g. turut serta dalam suatu perusahaan perjudian, berari menjadi
bagian baik sebagai pemegang saham maupun pengurus peru-
sahaan itu.
h. turut serta pada permainan judi sebagai mata pencaharian.
Sedangkan unsur Pasal 303 bis adalah :
a. Barangsiapa, sama dengan pengertian barang siapa pada se-
mua tindak pidana menurut KUHP.
b. Menggunakan kesempatan main judi yang diadakan dengan
melanggar ketentuan pasal 303, yaitu menggunakan keem-
patan, yaitu waktu dan keadaan suatu perjudian yang dilarang
sebagaiman diatur dalam Pasal 303.
c. Ikut serta main judi, artinya bersama-sama melibatkan diri
dalam permainan judi, menonton saja tidak dapat dianggap
sebagai ikut serta.
d. Di jalan umum, yaitu jalan yang mengacu kepada pengertian
jalan menurut Undang-undang tentang jalan.
e. Di pinggir jalan umum, artinya tidak di tempat yang menjadi
bagian dari jalan, tetapi di pinggir jalan.
f. Tempat yang dapat dikunjungi umum, bukan tempat tertentu
yang tertutup yang tidak dapat dikunjungi oleh umum, hanya
di Tengah Masyarakat
sama, maka dapat dianggap hanya sebagai permainan atau hiburan.
Sebaliknya, jika lebih kecil peluang untuk mendapatkan hadiah antar
sesama pemain dibandingkan satu dua orang saja pemain yang
beruntung, maka hal tersebut dapat dikualifikasi sebagai perjudian.
Kupon undian tidak dapat diangap sebagai judi karena selain ada
izin dari penguasa, kupon tersebut hanya bersifat sekunder dimana
orang mendapat kupon undian hanyalah akibat ia membeli suatu
barang tertentu. Tujuan utama adaah membeli barang, bukan membeli
kupon. Jika membeli kupon adalah perbuatan yang berdiri sendiri
tanpa ada perbuatan pendahuluan seperti kupon SDSB pada masa
lalu atau kupon toto gelap, maka di sistu lah perbuatan pelaku dapat
dipersalahkan.
Perlu juga dijelaskan mengapa perlombaan olahraga keteram-
pilan tidak bisa dianggap judi walaupun dalam setiap pertandingan
selalu saja ada faktor keberuntungan untuk memenangkan pertandi-
ngan. Dalam hal ini apat dibedakan suatu perlombaan dengan per-
judian. Dalam perlombaan faktor keberuntungan sebagai penentu
kemenangan bukanlah faktor yang dominan, melainkan faktor pen-
dukung saja. Faktor yang paling penentukan adalah faktor keteram-
pilan pemain yang disebabkan bakat alam, ketekunan berlatih dan
pengalaman. Seementara dalam perjudian, bukan faktor latihan yang
lenih menentukan tetapi faktor untung-untungan yang lebih dominan.
Boleh dikatakan tidak ada kaitan antara usaha dengan hasil yang
akan diperoleh. Pada suatu gelandang permainan anak-anak ada per-
mainan basket yang yang menimbulkan hadiah yang ditentukan berapa
banyak si anak mampu menghasilkan bola yang masuk keranjang.
Pada permainan itu, terlihat korelasi yang nyata antara usaha dengan
hasil. Sedangkan dalam permainan lotre, keberhasilan sama sekali
tidak ditentukan usaha sama sekali, melainkan murni bersifat untung-
untungan. Tinggal lagi apakah permainan lotre itu berhadiah yang
serius atau tidak. Jika hadiahnya serius dan bernilai bukan sekedar
hadiah hiburan, maka itu dapat dikualifikasi sebagai judi.
Jika mengacu kepada pendapat R. Soesilo menyebutkan bahwa
permainan judi disebut juga “hazardspel”. Yang biasa disebut sebagai
“hazardspel” ialah misalnya main dadu, main selikuran, main jemeh,
di Tengah Masyarakat
b. Perjudian di tempat-tempat keramaian, antara lain terdiri dari
perjudian dengan:
1. Lempar paser atau bulu ayam pada papan atau sasaran
yang tidak bergerak
2. Lempar Gelang
3. Lempar Uang (Coin)
4. Kim
5. Pancingan
6. Menembak sasaran yang tidak berputar
7. Lempar bola
8. Adu ayam
9. Adu sapi
10. Adu kerbau
11. Adu domba/kambing
12. Pacu kuda
13. Karapan sapi
14. Pacu anjing
15. Hailai
16. Mayong/Macak
17. Erek-erek
c. Perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain, antara
lain perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan
1. Adu ayam
2. Adu sapi
3. Adu kerbau
4. Pacu kuda
5. Karapan sapi
6. Adu domba/kambing
d. Tidak termasuk dalam pengertian penjelasan Pasal 1 huruf c
termaksud di atas, apabila kebiasaan yang bersangkutan ber-
kaitan dengan upacara keagamaan, dan sepanjang hal itu tidak
merupakan perjudian.
di Tengah Masyarakat
Bab XVII
DELIK PEMBUNUHAN/
KEJAHATAN TERHADAP NYAWA
(MISDRIJVEN TEGEN HET LEVEN GERICHT)
di Tengah Masyarakat
(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan wanita itu meninggal, ia
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(KUHP 35, 37-1 sub 2', 299, 349 dst., 487, 534 dst.)
Pasal 348
(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita dengan persetujuan wanita itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan.
(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan wanita itu meninggal, ia
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (KUHP
35, 37-1 sub 2', 299, 349 dst., 487, 534 dst.)
Pasal 349
Bila seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan tersebut dalam pasal 346, ataupun melakukan atau
membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal-
pasal itu dapat ditambah denpn sepertiga dan dapat dicabut
haknya untuk menjalankan pekerjaannya dalam mana kejahatan
itu dilakukan. (KUHP 35-1 sub 6', 55 dst., 350.)
Pasal 350
Dalam hal pemidanaan karena pembunuhan, karena pembunuhan
berencana, atau karena salah satu kejahatan tersebut dalam pasal
344, 347, dan 348, dapat dijatuhkan pencabutan hak-hak tersebut
dalam pasal 35 nomor 1'- 5'. (KUHP 338 dst.)
Kalimat di atas adalah terjemahan dari Pasal 338 WvS yang
aslinya berbunyi:
Art 338
Hll die opzettelijk een ander van het leven berooft, wordt, als
schuldig aan doodslag, gestraft met gevangenisstraf van ten
hoogste vijftien jaren.
Art 339
Doodslag gevolgd, vergezeld of voorafgegaan van een strafbaar
feit en gepleegd met het oogmerk oo de uitvoering van dat feit
voor te bereiden of gemakkelijk te maken, of om, bij betrapping
op heeter daad, aan zich zelven of andere deelnemers aan dat
feit hetzij straffeloosheid, hetzij het bezit van het weederrech-
telijk verkregene te verzekeren, wordt gestraft met levenslange
gevangenisstraf of tijdelijke van ten hoogste twintig jaren.
di Tengah Masyarakat
(2) Indien het feit den dood van de vrouw ten gevolge heeft
wordt hij gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste
vijftien jaren.
Art 348
(1) Hij dic opzettelijk de afdrijving of den dood der vrucht
van eene vrouw met hare toestemming veroorzaakt, wordt
gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste vijf jaren en
zes maanden.
(2) Indien het feit den dood van de vrouw ten gevolge heeft,
wordt hij gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste zeven
jaren.
Art 349
Indien een geneeskundige, vroedvrouw of artsenijbereider
medeplichtig is aan het misdrijf in artikd 346, of schuldig of
medeplichtig aan een der misdrijven in de artikelen 347 en
348 omschreven, kunnen den in die artikelen bepaalde straffen
met een derde worden verhoogd, en kaa hij van de uitoefening
van het beroep waarin hij het misdrijf begaat worden ontzet.
Art 350
Bij veroordeeling wegens doodslag, wegens moord of wegens
een der in de artikelen 344, 347 en 348 omschreven misdrijven,
kan ontzetting van de in artikel 35 No.1-5 ver melde rechten
worden uitgesproken.
Jika dilihat dari pengaturan delik pembuhan dalam KUHP di
atas, maka delik pembunuhan dapat dibedakan dalam beberapa jenis
yaitu :
a. Pembunuhan Biasa (Pasal 338)
b. Pembunuhan dengan Pemberatan (Pasal 339)
c. Pembunuhan Berencana (Pasal 340)
d. Pembunuhan terhadap bayi yang baru dilahirkan (Pasal 341
dan Pasal 342)
e. Pembunuhan atas permintaan sungguh-sungguh dari orang itu
sendiri (Pasal 344)
f. Membujuk atau menolong orang lain untuk bunuh diri (Pasal
345)
g. Menggugurkan atau mematikan kandungannya (Pasal 346)
h. Menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita
tanpa persetujuan wanita itu (Pasal 347 dan Pasal 348)
di Tengah Masyarakat
perbuatan apa saja tidak ditentukan dalam undang undang
akan tetapi cukup perbuatan tersebut menjadi penyebab hi-
langnya nyawa orang lain. Karena itu dalam delik pembunu-
han, hal penting yang harus dibuktikan adalah apa yang menjadi
penyebab kematian. Tidak dikatakan pembunuhan jika yang
menjadi penyebab kematian adalah sakit, atau kecelakaan tunggal.
Dalam Pasal 340 tentang pembunuhan berencana ditambahkan
adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu, artinya perbuatan
tersebut sudah diniatkan dan sudah dipertimbangkan dengan tenang
dimana ada tenggang waktu yang cukup untuk berfikir untuk menyadari
akibat dari perbuatannya dalam suasana kejiwaan yang memungkinkan
untuk berfikir bukan keadaan perasaan amarah dan emosi yang timbul
tiba-tiba disebabkan oleh keadaan yang tiba- tiba di luar perhitungan.
Umum terjadi dalam praktik untuk menentukan berencana atau tidak
adalah jika ada jeda waktu yang cukup untuk berpikir.
Yang sering menjadi perdebatan dalam delik pembunuhan
adalah tentang apa dan siapa yang menyebabkan terjadinya kematian.
Untuk menentukan sebab kematian diperlukan keterangan ahli
kedokteran kehakiman. Perdebatan lainnya adalah berkaitan dengan
pembelaan diri yang dikualifikasi sebagai pembunuhan. Dalam suatu
perkelahian antara dua orang, jika ada salah seorang membalas
serangan lawan yang berakibat matinya lawan dapat dikualifikasi
pembunuhan jika ia tidak dalam posisi terdesak yang jika itu tidak
dilakukannya dapat menyebabkan keselamatan dirinya. Jika lawannya
sudah jatuh dan ia tetap berada dalam posisi berdiri lalu tiba-tiba
ia mengambil kayu atau senjata yang ada di sekitarnya, maka per-
buatan serupa itu dapat dikualifkasi sebagai perbuatan membunuh.
Pembelaan terpaksa atau noodweer sebagaimana diatur dalam
Pasal 49 ayat (1) yaitu “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan
untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan
seketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang
lain, terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sediri maupun
orang lain, tidak dipidana.“1
1
Eddy Hieariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2014, hlm. 149)
di Tengah Masyarakat
pelaku seharusnya dapat berpikir bahwa apa yang dilakukannya dapat
menyebabkan banyak orang yang mati, atau seorang yang membawa
senjata api menembakkan tanpa ada keperluan secara membabi buta
ke arah keramaian, dapat dikualifikasi sebagai pembunuhan, bukan
kelalaian yang menyebabkan kematian.
Juga menjadi perdebatan adalah tentang motif untuk membunuh.
Meskipun dalam hampir semua delik pembunuhan polisi mencari
motif pembunuhan, secara normatf tidak ada unsur motif, jadi unsur
motif tidak perlu dibuktikan. Motif hanya penting ditemukan untuk
proses pembuktian untuk menimbulkan keyakinan hakim apakah ada
cukup alasan pelaku membunuh korbannya dan logis kah jika kepada
pelaku dipersalahkan sebagai pembunuh korban.
Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan dibedakan ke dalam
tiga bentuk yaitu :
1. Pembunuhan dengan sengaja (amd), yaitu perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk membunuh orang
lain dengan menggunakan alat yang dipandang layak untuk
membunuh.
2. Pembunuhan tidak disengaja (khata) yaitu perbuatan yang
dilakukan seseorang dengan tidak ada unsur kesengajaan yang
mengakibatkan orang meninggal dunia. Sebagai contoh me-
lakukan penebangan pohon yang kemudian pohon yang di-
tebang itu tiba-tiba tumbang dan menimpa orang yang lewat
lalu meninggal dunia.
3. Pembunuhan semi sengaja, yaitu perbuatan yang sengaja
dilakukan seseorang kepada orang lain dengan tujuan men-
didik. Sebagai contoh guru memukulkan penggaris kepada
kaki seorang muridnya, tiba-tiba murid yang dipukul itu meni-
nggal dunia. Maka perbuatan guru tersebut disebut sebagai
pembunuhan semi sengaja (syibu al amdi).2
Dari konsep delik pembunuhan dalam Islam di atas sesunguhnya
tidak berbeda dengan konsep delik pembunuhan menurut KUHP. KUHP
meng kualifikasi delik pembunuhan yang disebut dalam Islam sebagai
pembunhan dengan sengaja dalam Pasal 338 sampai Pasal 340. Se-
2
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2012. hlm.24.
di Tengah Masyarakat
gaimana dimaksud pada ayat (1) dipandang sebagai melaku-
kan pembunuhan.
Pasal 583
Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan
orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati
atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut
tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun.
Pasal 584
Dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 575 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pasal 585
Setiap orang yang mendorong, membantu, atau memberi sarana
kepada orang lain untuk bunuh diri dan orang tersebut benar benar
mati karena bunuh diri, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Bagian Kedua
Pengguguran Kandungan
Pasal 586
(1) Seorang perempuan yang menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain menggugurkan atau
mematikan kandungan tersebut, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori IV.
(2) Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang perempuan tanpa persetujuannya, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun.
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) mengakibatkan matinya perempuan tersebut, maka pembuat
tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 587
(1) Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang perempuan dengan persetujuannya, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori IV.
di Tengah Masyarakat
Bab XVIII
DELIK KELALALAIAN YANG
MENYEBABKAN MATI ATAU LUKA
(VEROORZEKEN VAN DEN DOOD OF VAN
IICHAMELIJKLETSEL DOOR SCHULD)
di Tengah Masyarakat
Dalam hukum pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban”
itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan.
Dalam bahasa Latin ajaran kesalahan ini dikenal dengan sebutan
mens rea. Suatu perbuatan tidak mengakibatkan seorang bersalah
kecuali jika pikiran orang itu jahat. Doktrin mens rea itu dilandaskan
pada maxim actus nonfacit reum nisi mens sit rea, yang berarti “suatu
perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pi-
kiran orang itu jahat.”1
Menurut pandangan tradisional, disamping syarat-syarat ob-
yektif melakukan perbuatan pidana, harus dipenuhi pula syarat-syarat
subyektif atau syarat-syarat mental untuk dapat dipertanggungjawab-
kan dan dijatuhkan pidana kepadanya. Syarat subyektif ini disebut
“kesalahan”. Menurut sislem hukum kontinental syarat-syaral sub-
yektif ini dibagi dua, yaitu bentuk kesalahan (kesengajaan dan keal-
paan) dan mampu bertanggung jawab. Dalam sistem hukum common
Law syarat-syarat ini disatukan dalam mensrea. Orang bertanggung
jawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Orang yang tidak men-
jadi penyebab dari suatu akibat tidak bertanggungjawab juga.
Tetapi untuk bertanggung jawab, tidaklah cukup orang menjadi
penyebab, perlu juga orang menjadi penyebab bebas. Kebebasan
adalah syarat mutlak untuk tanggung jawab. Bagi kesadaran moral
kita suatu penyebab harus bersifat bebas untuk dapat dianggap ber-
tanggungjawab. Itu berarti bahwa hanya manusia sebagai makhluk
rasional bisa bertanggungjawab dan ia bertanggungjawab sejauh ia
bebas. Terhadap tuduhan melakukan kealpaan (nalatigheid), seperti
yang disebut dalam pasal 359 KUHP, yang juga diterjemahkan sebagai
kurang hati-hati.
Kelalaian atau kealpaan adalah akibat yang timbul karena sese-
orang alpa, sembrono, teledor, lalai, berbuat kurang hati-hati atau
kurang penduga-duga. Menurut Memorie van Toelichting, kealpaan
adalah tindakan umum dan adanya keadaan yang sedemikian mem-
bahayakan keamanan orang atau barang atau mendatangkan kerugian
1
Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Makalah dalam Jurnal Hukum
lus Quia Isutum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, No. J1 Vol.6 1999
2
Eddy OS Hieariej, Op.Cit. hlm.149
3
Ibid
di Tengah Masyarakat
sudah mengemudikan kendaraannya dengan benar, sudah mematuhi
kecepatan maksimal, penumpang tidak melebihi kapasitas, sudah
pakai sabuk pengaman, rem dalam keadaan bagus, tiba-tiba ada
seseorang menabrak dan orang yang menabrak itu mati, maka kepada
pengendara semestinya tidak dapat dipersalahkan karena kelalaian.
Contoh lain adalah seorang nakhoda yang biasa melalui gelom-
bang laut yang merupakan jalur yang setiap hari ia lewati. Hampir
setiap hari ia melewati gelombang yang beresiko itu dan selalu selamat.
Pada satu ketika, ia tidak dapat lagi mengendalikan kapal mengatasi
gelombang yang berakibat kapal tenggelam. Nakhoda patut diper-
salahkan karena tidak hati-hati, walaupun di hari-hari sebelumnya
ia juga bersikap seperti itu tidak menyebabkan masalah, itu adalah
keberuntungan saja.
di Tengah Masyarakat
Bab XIX
DELIK PENGANIAYAAN
(MISHANDELING)
di Tengah Masyarakat
Pasal 358
Mereka yang dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau
perkelahian di mana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab
masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, di-
ancam:
1. dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan,
bila akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-
luka berat; (KUHP 90.)
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun, bila akibatnya
ada yang mati.
Kalimat di atas adalah terjemahan dari Pasal 351 WvS yang
aslinya berbunyi:
Art 351
A. Mishandeling wordt gestraft met gevangetisstraf van ten
hoogste twee jaren en acht maanden of geldboete van ten
hoogste driehonderd gulden.
B. Indien het feit zwaar lichamelijk letsel ten gevolge heeft
wordt de schuldige gestraft met gevangenisstraf vaa ten
hoogste vijf jaren.
C. indien het feit den dood ten gevolge heeft, wordt hij gestraft
met gevangenisstraf van ten hoogste zeven jaren.
D. Met mishandeling wordt gelilkgesteld opzettelijke bena
deeling der gezoudheid.
E. Poging tot dit misdrijf is niet strafbaar.
Art 352
(1) Buiten de gevallen van de artikelen 353 en 356 wordt mis-
handeling welke geene ziekte o[ verhindering in de ui-
toefening van ambts of beroepsbezigheden ten gevolge
heeft, als lichte mishandeling, gestraft met gevangenissttraf
van ten hoogste drie maanden of geldboete van ten hoogste
driehonderd gulden. Deze straf kan met een derde worden
verhoogd ten aanzien van dea schuldige, die het misdrijf
begaat tegen een bij hem in dienstbetrekkiag zijnd dan wel
aan hem ondergeschikt persoon.
(2) Poging tot dit misdriif is niet strafbaar.
Art 353
(1) mishandeling gep-leegd met voorbedachaten rade wordt
gestraft met gevangenisstraf va te hoogste vier jare.
di Tengah Masyarakat
1. met gevangenisstraf van ten hoogste twee jaren en acht
maanden, indien de aanval of vechterij alleen zwaar lichamelijk
letsel ten gevolge heeft:
2. met gevangenisstraf van ten hoogste vier jaren, indien de
aanval of vechterij iemands dood ten gevoige heeft.
Dilihat dari pasal-pasal tentang penganiayaan tersebut, maka
delik penganiayaan dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis yaitu:
a. Penganiayaan biasa
b. Penganiayaan berat
c. Penganiayaan ringan
d. Penganiayaan berencana
e. Penganiayaan berat berencana
f. Penganiayaan yang menyebabkan kematian.
di Tengah Masyarakat
dijatuhi pidana untuk korban satu sama lainnya. Putusan Mahkamah
Agung Nomor. 758 K/Pid/2013 Menyatakan Terdakwa Dewi Murya
Agung Als Dewi Persik telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana Penganiayaan dan Menjatuhkan
pidana terhadap Terdakwa Dewi Murya Agung Als Dewi Persik
dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan. Putusan tersebut
membatalkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 1170/PID.B/
2011/PN.JKT.TIM tanggal 14 Maret 2012 yang menyatakan
Terdakwa DEWI MURYA AGUNG als DEWI PERSIK tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
PENGANIAYAAN BIASA sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut
Umum, Membebaskan Terdakwa dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Tersebut, namun Menyatakan Terdakwa DEWI MURYA AGUNG
als DEWI PERSIK terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana PENGANIAYAAN RINGAN. Di sisi yang
lain Pengadilan Negeri Jakarta Timur, telah menjatuhkan vonis terkait
kasus pertikaian fisik antara Julia Peres dengan DEWI PERSIK
dengan menjatuhkan vonis bersalah atas tindak pidana penganiayaan
ringan dan dijerat dengan pasal pasal 351 ayat 1 KUHP. Tuntutan
terhadap keduanya adalah masing-masing sebagai pelaku dan tidak
dikualifikasi sebagai ne bis in idem.
di Tengah Masyarakat
Ketentuan dalam RUU hampir sama saja dengan pengaturan
dalam KUHP, namun ditambahkan dengan objek yang secara khusus
dilindungi yaitu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi
bawahannya, terhadap ibu, bapak, istri, suami, atau anaknya; atau
terhadap pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah.
di Tengah Masyarakat
Bab XX
DELIK PEMUDAHAN DALAM
TINDAK PIDANA/PENADAHAN
(BEGUNSTIGING)
di Tengah Masyarakat
meyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau
sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.
Perbuatan tersebut dikriminalisasi sebagai bentuk perlindungan
negara melalui hukum pidana atas suatu kejahatan atas benda yang
diperoleh dari hasil tindak pidana. Tindak pidana terhadap harta
benda tidak akan terjadi jika tidak ada yang menerima benda yang
diperoleh dari hasil melakukan suatu tindak pidana dengan cara mem-
beli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk
menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, meng-
gadaikan, mengangkut, meyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda.
Kejahatan penadahan adalah muara dari kejahatan lainnya. Untuk
mencegah terjadinya kejahatan terhadap harta benda, maka muara dari
kejahatan tersebut juga harus dilarang dengan menggunakan hukum
pidana.
Adapun unsur-unsur delik penadahan dapat dijabarkan sebagai
berikut :
a. Barang siapa, yaitu manusia yang dapat bertanggungjawab
di depan hukum pidana yaitu mereka yang cakap atau dapat
bertindak menurut hukum atau setiap pendukung hak dan
kewajiban atau disebut juga dengan istilah subjek hukum yang
di dalam hukum pidana adalah tiap orang yang cakap berbuat
hukum, tidak termasuk dalam golongan sebagaimana diatur
dalam pasal 44 yaitu mereka yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum karena terganggu jiwanya, Pasal 45 yaitu
mereka yang dianggap belum cukup umur, Pasal 48 dan 49
tentang daya paksa dan Pasal 50 dan 51 tentang perintah
undang-undang dan atau jabatan .
b. Membeli adalah perbuatan menerima barang dengan cara
membayarkan dengan alat tukar pada umumnya berupa uang.
c. Menyewa adalah perbuatan meminjam benda atau barang
dengan membayar upah atas peminjaman tersebut.
d. Menukar adalah menerima sesuatu barang dengan cara
menukarkannya dengan barang yang lain.
e. Menerima gadai adalah menerima suatu barang sebagaim
jaminan pinjaman uang kepada si pemberi gadai.
f. Menerima hadiah yaitu menerima sesuatu barang tanpa
di Tengah Masyarakat
itu sesungguhnya telah diantisipasi oleh KUHP dengan mencantumkan
unsur sepatutnya harus diduga sebagai unsur yang bersifat alternatif
dengan unsur diketahui. Dengan adanya unsur “sepatutnya diduga”,
orang yang mengaku tidak mengetahui dapat diabaikan oleh penegak
hukum sepanjang berdasarkan kepatutan umum atau ada saksi yang
menerangkan bahwa tersangka atau orang yang dituduh telah diberi-
tahu.
Ajaran mens rea menuntut setiap orang mengetahui atau menyadari
ketidakwajaran atas suatu keadaan dalam hal ini jika harga barang
yang dijual terlalu rendah maka sepatutnya ia curiga bahwa barang
tersebut diperoleh dengan cara yang tidak lazim dan wajar karena jika
barang diperoleh dengan cara yang wajar maka harganya seharusnya
wajar sesuai harga pasar.
Formula delik penadahan hari ini telah diikuti pula oleh delik
pencucian uang dimana dituntut pengetatuan atau persangkaan bagi
pelaku pasif dalam delik pencucian uang bahwa ia patut menduga
ketidakwajaran uang atau barang yang ia terima. Tiap orang yang
cakap berbuat hukum dituntut selektif, curiga dan berhati-hati ter-
hadap apa yang ia terima baik melalui penjualan, penggadaian,
hibah, pemberian kepadanya dapat dipersalahkan jika mengabaikan
prinsip kehati-hatian dalam menerima berbagai barang atau segala
sesuatu yang patut diduga sebagai hasil tindak pidana.
di Tengah Masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
di Tengah Masyarakat
Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-norma
Kepatutan, Bandung: Mandar Maju, 1990
Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan
dalam Perkara Pidana, Bandung: Alumni, 2005
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah
Hukum, Penerbit, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor:
Politea, 1996
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Pembimbing Masa, 1970
Rajo Bujang, et.all. Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten Tanjung
Jabung Barat, Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat,
Kuala Tungkal, 2003
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar
Maju, 2000
Satochid Kertanegara, Kumpulan Kuliah, Jakarta: Balai Lektur
Mahasiswa
Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif,
Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
SR Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Jakarta: Alumni Ahaem, 1986
—————, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta:
Penerbit Alumni AHM-PTHM, 1983
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Suatu Pengantar,
Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014
Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2016
di Tengah Masyarakat
BIODATA PENULIS
di Tengah Masyarakat