Anda di halaman 1dari 38

KEBIJAKAN KRIMINALISASI DELIK

PENGANCAMAN PADA KEKUASAAN


UMUM DAN KETERTIBAN UMUM
Oleh
Dr. Mudzakkir, S.H., M.H
Dosen pada Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Power point ini disampaikan pada Seminar Nasional
dengan tema
"ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA:
ANALISIS TERHADAP SEJUMLAH KEBIJAKAN
KRIMINALISASI KONTROVERSIAL DALAM RKUHP"
yang diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII)
bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)

YOGYAKARTA 7 DESEMBER 2019


Kesatu: POKOK PEMBAHASAN
• Permasalahannya bagaimana sikap DPR RI periode sekarang, apakah akan mengikuti
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) periode sebelumnya atau akan menambah daftar
masalah baru? Jika akan mengikuti DIM sebelumnya permasalahannya akan
memfokus pada DIM yang kemudian disebut sebagai masalah yang krusial saja yang
memerlukan pembahasan dengan DPR RI sekarang. Tetapi jika DPR RI memberikan
masukan DIM baru tetapi yang telah disepakati dengan DPR RI sebeumnya atau DIM
baru yang belum pernaha masuk ke dalam DIM sebelumnya, maka pembahasan DPR
RI akan menambah waktu yang lebih panjang lagi.
• Seminar Nasional hari ini membahas tentang perumusan norma hukum pidana dalam
RUU KUHP, tentuk tidak beranjak dari DIM dari DPR RI periode 2014-2019 atau DPR
RI periode 2019-2024, tetapi muri kajian dari perspektif akademik atau ilmu
pengetahuan hukum pidana dan bersifat independen demi perumusan norma hukum
pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik atau ilmiah ilmu
hukum pidana.
POKOK BAHASAN
• Namun demikian begitu luas permasalahan norma hukum pidana dalam RUU KUHP,
panitia seminar sudah menetapkan tema tentang Seminar Nasional yaitu “Arah
Kebijakan Hukum Pidana Indonesia: Analisis terhadap Sejumlah Kebijakan
kriminalisasi Kontroversial dalam RKUHP" yang berarti pembahsan dalam makalah
ini juga difokuskan pada kebijakan kriminalisasi yang kontroversial dalam RUU
KUHP dibidang Delik Pengancaman pada Kekuasaan Umum dan Ketertiban Umum.
• Pembahasan difokuskan kepada dua sudut kajian yaitu kajian kebijakan kriminalisasi
atau politik hukum pidanaya dan kebijakan perumusan norma hukum pidana dan
sistem pengancaman sanksi pidananya. Namun demikian, kebijakan kriminalisasi
dan kebijakan perumusan norma hukum pidana dan ancaman sanksi pidananya
tersebut terkait erat dengan kebijakan kodifikasi yang dianut dalam RUU KUHP 2019.
Oleh sebab itu, pembahasan materi dalam nakah ini dimulai dari pembahasan
kebijakan kodifikasi RUU KUHP.
Kedua: KEBIJAKAN KODIFIKASI HUKUM
PIDANA KE DALAM RUU KUHP 2019
HUKUM PIDANA KONDISI SEKARANG:
1. Membentuk sistem hukum pidana sendiri di luar jangkauan
ketentuan umum hukum pidana (Buku I KUHP) yang mengakibatlan
terjadinya 2 (dua) sistem perumusan norma hukum pidana nasional
hukum pidana, yaitu sistem norma hukum pidana nasional dalam
KUHP dan dalam undang-undang di luar KUHP.
2. Membentuk 2 (dua) sistem pemidanaan yaitu sistem pemidanaan
dalam KUHP dan sistem pemidanaan dalam undang-undang di luar
KUHP.
3. Harmonisasi norma hukum pidana mengalami kesulitan, karena
banyaknya norma hukum pidana yang mengatur yang berakibat
terjadinya pengandaan norma hukum pidana.
4. Sistem perumusan ancaman menjadi tidak sistematik dan tidak
mencerminkan bahwa ancaman pidana yang dimuat dalam undang-undang
atau pasal-pasal dapat menjadi tolok ukur atau para meter keadilan dalam
menjatuhkan pidana.
5. Dalam penegakan hukum pidana dihadapkan kepada problem yaitu pilihan
norma hukum pidana (karena terdapat lebih dari satu norma) dan norma
hukum pidana yang mana yang dipilih (sangat berat, berat dan biasa atau
ringan).
6. Hak dasar bagi tersangka/terdakwa/terpidana cenderung dilanggar, karena
tidak ada kepastian hukum mengenai norma hukum pidana mana yang
dilanggar. Hal ini akan berimbas kepada kepada proses penegakan
hukummdan ancaman pidananya.
7. Adanya lembaga penegak hukum yang diberi wewenang penyelidikan,
peyidikan, dan penuntutan serta pembentukan pengadilan yang masing-
masing memiliki wewenang dalam memproses perkara pelanggaran hukum
pidana yang berbeda-beda, pada hal norma hukum pidana materiil yang
KEBIJAKAN KODIFIKASI MENYELURUH
1. Memasukkan semua tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP
yang populer disebut sebagai hukum pidana khusus dan RUU bidang hukum pidana materiil
ke dalam dalam rumusan delik dalam Buku Kedua.
2. Melakukan sistematisasi ulang dengan cara mengelompokkan ke dalam bab, bagian dan
paragraf (regroupping) agar terstruktur dalam bingkai sistem hukum pidana nasional.
3. Sistematisasi dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Setiap bab, bagian atau paragraf selalu memuat delik umum yang menjadi dasar pengaturan delik-
delik dalam bab, bagian atau paragraf. Rumusan delik umum tersebut selanjutnya menjadi delik
'genus' untuk delik-delik lain yang bersifat "species" yang memuat unsur yang meringankan
ancaman pidana dan unsur yang memberatkan ancaman pidana atau delik yang dikualifisir.
b. Ancaman pidana pada delik "genus" menjadi standar atau patokan atau ukuran keadilan dalam
memberi ancaman pidana pada delik-delik lain pada bab, bagian atau paragraf yang bersangkutan.
Dengan adanya standar tersebut, maka dapat dirumuskan ancaman pidana dalam delik-delik
"species" baik yang meringankan maupun yang memberatkan. Mngenai unsur-unsur yang
memberatkan atau yang meringankan dalam pengancaman pidana dapat dilihat dalam ketentuan
umum Buku Kesatu, yaitu dalam Pasal 54 dan 58 serta Pasal 70.
KUHP DAN KETENTUAN PASAL 103
KUHP
BUKU I

BUKU II

BUKU III

PSL 103

”Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini


juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh
ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan
pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”
KEDUDUKAN PASAL 103 KUHP
BUKU I

BUKU II

BUKU III

INTERPRETASI PSL 103

1. INTEPRETASI SECARA LUAS ATAU TERBUKA → BOLEH,


ASAL MENGACU KEPADA BUKU I KUHP
2. INTERPRETASI SECARA SEMPIT ATAU TERTUTUP → TIDAK
BOLEH, KECUALI MENGACU KEPADA BUKU I KUHP DAN BERLAKU
SEBAGAI PENGECUALIAN
INTERPRETASI TERBUKA /
MEMBOLEHKAN
Ketentuan pidana di luar KUHP:
1. Tunduk kepada Ketentuan Umum Hukum Pidana dalam Buku I
KUHP
2. Mengatur materi hukum pidana:
1. Hukum pidana umum:
a. Hukum pidana umum (biasa)
b. Hukum pidana administrasi

2. Hukum pidana khusus


INTERPRETASI TERBUKA /
MEMBOLEHKAN
HUKUM
PIDANA
HK PIDANA
UMUM
HK PIDANA
BUKU I ADMINISTRASI
KUHP
TINDAK
HK PIDANA
PIDANA
KHUSUS
TERTENTU

PENJELASAN:
1. Tindak pidana umum yang termasuk hukum pidana sebagai bentuk perluasan dari tindak pidana daalam Buku II KUHP
dan tindak pidana di bidang hukum administrasi sebagai bentuk perluasan dari Buku III KUHP.
2. Tindak pidana tertentu merupakan perbuatan yang dilarang sebagai tindak pidana yang dimuat dalam undang-undang
tertentu di luar KUHP yang memiliki sifat kekhususan karena subjeknya dan perbuatannya.
INTERPRETASI SEMPIT/TERTUTUP
YANG TIDAK MEMBOLEHKAN
Tidak membolehkan adanya ketentuan pidana di
luar KUHP, KECUALI:
• Tunduk kepada Ketentuan Umum Hukum Pidana dalam Buku I KUHP
• Mengatur materi hukum pidana:
1. Hukum pidana umum (biasa/normal) dalam bidang hukum administrasi
2. Hukum pidana khusus untuk mengatasi keadaan darurat (tidak normal atau luar biasa)
• Cacatatan Prof Mardjono: Terdapat 243 Undang-undang yang memuat ketentuan
ketentuan pidana (administrasi pidana).
INTERPRETASI SEMPIT/TERTUTUP
YANG TIDAK MEMBOLEHKAN
HK PIDANA HK PIDANA
UMUM ADMINISTRASI
BUKU I
KUHP UNTUK
MENGATASI
HK PIDANA
KHUSUS SITUASI
DARURAT

PENJELASAN:
1. HUKUM PIDANA UMUM (BIASA/NORMA) DALAM BIDANG HUKUM ADMINISTRASI
TUNDUK KEPADA BUKU I
2. HUKUM PIDANA KHUSUS BERLAKU DALAM SITUASI DARURAT (LUAR BIASA) DAN TIDAK
BISA DIATASI DENGAN HUKUM PIDANA UMUM/BIASA (NORMAL)
3. BOLEH MENGATUR KAEDAH PENYIMPANGANNYA DARI BUKU I, SEBAGAI BENTUK
PENGECUALIAN (MENGATASI SITUASI DARURAT)
4. BERLAKUNYA DIBATASI, SETELAH KEMBALI NORMAL, BERLAKU HUKUM PIDANA
UMUM/BIASA (NORMAL).
KEBIJAKAN DALAM LEGISLASI (SD 2010)
1. Ketentuan Pasal 103 KUHP ditafsir secara luas dan bersifat terbuka yang
acapkali diartikan sebagai bentuk kebolehan atau ‘perintah’ (?) adanya
undang-undang yang memuat hukum pidana dalam undang-undang di luar
KUHP.
2. Terdapat ketentuan pidana dalam undang-undang yang tidak menundukkan
diri kepada atau melakukan penyimpangan yang terlalu jauh dari Ketentuan
Umum Hukum Pidana dalam Buku I KUHP.
3. Karena berlaku secara terus menerus, legislasi hukum pidana melalui
undang-undang di luar KUHP telah ‘meninggalkan’ ketentuan umum hukum
pidana dalam Buku I KUHP dan mengatur sendiri sehingga disadari atau
tidak telah membentuk ‘sistem hukum pidana di luar KUHP’. Jadi ada dua
sistem hukum pidana (dan pemidanaan), yi sistem hukum pida dalam KUHP
dan di luar KUHP.
4. Meskipun sudah ada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang bagian ketentuan pidana
ditulis: “Ketentuan Pidana ( jika diperlukan)” (Lampiran bagian
Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, Batang ubuh,
Ketentuan Umum, huruf C). Frase “(jika diperlukan)” tersebut dimaknai secara
terbuka/luas, yaitu pembentuk undang-undang memandang perlu adanya
sanksi pidana dalam undang-undang yang dibentuknya sehingga keadaan
sekarang tampak terjadi pengaturan sanksi pidana yang tidak perlu lagi dan
cenderung berlebihan.
5. Keadaan hukum pidana di luar KUHP menjadi tidak tersistematisasi sebagai
hukum pidana nasional yang baik yang berpotensi terjadinya pelanggaran hak
dasar manusia (lihat makalah).
APA YANG HARUS DILAKUKAN DEGAN RUU
KUHP?
1. Melakukan kebijakan kodifikasi atau rekodifikasi secara menyeluruh.
2. Pasal 187 RUU KUHP (Pasal 103 KUHP) ditafsirkan secara sempit atau
terbatas (tertutup, bukan terbuka) yi berlaku untuk ketentuan pidana
dalam hukum administrasi yang diancamkan secara selektif dan
berlaku untuk situasi dalam keadaan darurat yang berlaku sementara
(dibatasi waktu berlakunya).
3. Jika ada bentuk kejahatan baru yang tidak mungkin dijangkau oleh
norma hukum pidana dalam kodifikasi, ditempuh dengan cara
melakukan amandemen KUHP.
APA YANG HARUS DILAKUKAN
DENGAN RUU KUHP?
HUKUM
BUKU I PIDANA
KHUSUS

BUKU II

BUKU II
Aman-
demen KEADAAN
DARURAT

PSL 103 KUHP atau 187 RUU KUHP

Ditafsirkan secara sempit, terbatas atau tertutup (bukan terbuka) ,Yaitu:


1. Berlaku untuk hukum administrasi
2. Berlaku untuk hukum pidana khusus yang diperlukan untuk mengatasi keadaan
darurat yang tidak bisa diatasi dengan hukum pidana dalam keadaan normal.
3. Jika ada kejahatan baru yang tidak bisa dijangkau oleh Buku II , maka dilakukan
kebijakan amandemen KUHP sesuai dengan Bab, Bagian atau paragraf yang
memuat delik genus yang sejenis.
PEMBENTUKAN HUKUM PIDANA DI LUAR KUHP
DILAKUKAN SEBAGAI PENCUALIAN YAITU

HK PIDANA HK PIDANA
UMUM ADMINISTRASI
BUKU I
KUHP UNTUK
HK PIDANA MENGATASI
KHUSUS SITUASI
DARURAT
PEMBERLAKUAN BUKU I RUU KUHP
1. Kedudukan Buku I RUU KUHP sebagai ketentuan hukum pidana yang urgen
dalam pembentukan sistem hukum pidana nasional di masa datang.
2. Untuk mengatasi problem hukum pidana sekarang maka perlu kebijakan
menyatukan dan mengintegrasikan ke dalam sistem hukum pidana nasional.
3. Pemberlakukan Buku I RUU KUHP yang telah disahkan menjadi alternatif
mengurangi atau mencegah penyimpangan hukum pidana dan penegakan
hukum pidana .
4. Jadi berpikir induksi, yaiu hukum pidana yang tersebar dalam undang-
undang di luar KUHP ditundukkan kepada Ketentuan Umum Hukum Pidana
dalam Buku I RUU KUHP
PEMBERLAKUAN BUKU I RUU KUHP 2019
HUKUM
BUKU I PIDANA
KHUSUS

BUKU II

BUKU II
Aman-
demen KEADAAN
DARURAT

PSL 103 KUHP atau 187 RUU KUHP

Ditafsirkan secara sempit, terbatas atau tertutup (bukan terbuka)


Yaitu:
1. Berlaku untuk hukum administrasi
2. Berlaku untuk hukum pidana khusus yang diperlukan untuk mengatasi
keadaan darurat yang tidak bisa diatasi dengan hukum pidana umum.
HARAPAN TERHADAP RUU KUHP
• KUHP ini hendak dijadikan sumber utama dan satu-satunya
hukum pidana nasional Indonesia yang memuat ketentuan
umum hukum pidana (asas-asas hukum pidana) dan memuat
semua tindak pidana. Oleh sebab itu, diperlukan kecermatan
dalam merumuskan asas-asas umum hukum pidana yang
dimuat dalam Buku Kesatu dan tindak pidana dalam Buku
Kedua yang mampu merespon gelagat perkembangan
kejahatan hingga 50 tahun yang akan datang.
KEBIJAKAN KODIFIKASI HUKUM PIDANA
KE DALAM RUU KUHP
Kebijakan mempertahankan kodifikasi sebagaimana diuraikan pada bagian
sebelumnya dapat diformulasikan sebagai berikut:
a. Legislative review terhadap KUHP yang dilakukan pada awal kemerdekaan,
melalui Undang-undang Nomor 1 Tgahun 1946;
b. Penghapusan, perubahan rumusan, dan amandemen KUHP dilakukan secara
berkelanjutan dan amandemen yang terbanyak melalui Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan terhadap Pesawat Terbang yaitu Pasal
479a sampai dengan Pasal 479r;
c. Pengambil-alihan norma hukum pidana dalam KUHP menjadi norma hukum
pidana dalam Undang-undang di luar KUHP yang memuat norma hukum
pidana sehingga menjadi delik khusus atau kemudian disebut sebagai
hukum pidana khusus;
d. Undang-undang di luar KUHP yang memuat hukum pidana umum dan hukum
pidana di bidang hukum administrasi atau dikenal dengan hukum pidana
administrasi;
e. Pilihan kebijakan perumusan norma hukum pidana dalam RUU KUHP:
1. Kodifikasi menyeluruh dengan sistem tertutup, kecuali
hukum pidana administrasi;
2. Kodifikasi dengan terbuka terbatas/limitasi; dan
3. Kodifikasi dengan terbuka dan tidak terbatas.
f. Pilihan Kodifikasi menyeluruh dengan sistem tertutup,
kecuali hukum pidana administrasi pilihan kebijakan
yang paling tepat untuk sistem hukum pidana
Indonesia di masa yang akan datang.
KEBIJAKAN KRIMINALISASI?
1. Kebijakan kriminalisasi asalnya perbuatan yang semula boleh menjadi dilarang
dalam hukum pidana dan dikenakan sanksi pidana (biasanya secara deduksi hasil dari
filsafat hukum, politik hukum, dan filsafat hukum pidana dan politik hukum pidana).
2. Kebijakan kodifikasi dan rekodifikasi praktis menyampingkan kebijakan
kriminalisasi karena norma hukum pidana yang dimasukan ke dalam RUU KUHP
bersumber dari norma hukum pidana yang sudah ada dalam:
a. KUHP dari Buku II dan Buku III
b. Undang-undang yang memuat norma hukum pidana yang dikualifikasi sebagai “kejahatan”.
3. Kebijakan Kriminalisasi → praktif hanya beberapa tindak pidana saja yang benar-
benar baru dan jika ada tindak pidana lain hasil kebijakan kriminalisasi berupa
pengembangan tindak pidana yang telah ada sebelumnya.
4. Kebijakan kodifikasi atau rekodifikasi akan melahirkan kebijakan lain dalam
pembaruan hukum pidana Indonesia yaitu .......(lihat berikutnya)
Ketiga: KEBIJAKAN RESTRUKTURISASI, RESISTEMATISASI,
REFORMULASI DAN PERUMUSAN ANCAMAN PIDANA DAN
SISTEM PEMIDAAN DALAM RUU KUHP

1. KEBIJAKAN RESTRUKTURISASI: yaitu membangun struktur hukum pidana


kembali yang disesuaikan dengan norma hukum pidana dalam RUU KUHP, norma
hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP, dan praktek penegakan hukum
pidana melalui Yurisprodensi;
2. KEBIIJAKAN RESISTEMATISASI; yakni kebijakan menyusun kembali sistem
perumusan norma hukum pidana dalam KUHP yang diisitematisir kembali dengan
norma hukum pidana dari undang-undang tersebar di luar KUHP sehingga menjadi
satu kesatuan sistem norma hukum pidana yang terikat dengan asas-asas hukum
pidana dan nilai hukum pidana serta norma hukum pidana yang sesuai dengan
susunan genus dan species deliknya;
3. KEBIJAKAN REFORMULASI; yaitu kebijakan resistematisasi membawa
konsekuensi untuk melakukan reformulasi norma pidana dan ancaman sanksi
pidana agar menyatu dalam satu kesatuan dalam sistematisasainya yaitu
menyatukan nilai hukum pidana, asas hukum pidana dan norma hukum pidana
termasuk juga sistem perumusan anacaman pidana; dan
4. KEBIJAKAN PERUMUSAN ANCAMAN PIDANA DAN PERUMUSAN SISTEM
PEMIDAAN dalam RUU KUHP (Hukum Pidana Kodifikasi) sebagai konsekuensi
logik dari dirumuskan kembali ketentuan umum hukum pidana nasional dalam
Buku I KUHP sebagai landasan dasar perumusan nilai hukum pidana, asas hukum
pidana dan norma hukum pidana serta sistem perumusan ancaman sanksi pidana
dalam pasal-pasal dalam satu Bab atau bagian yang terikat dengan dengan norma
hukum pidana sebagai genus delik dan species delik serta sub genus serta sub
speciesnya.
Keempat: KEBIJAKAN KRIMINALISASI
PERBUATAN DI BIDANG PENGANCAMAN PADA
KEKUASAAN UMUM DAN LEMBAGA NEGARA
1. Kebijakan kriminalisasi dalam Bab tindak pidana pengancaman pada Kekuasaan
Umum tidak ada, dan tidak ada delik baru sama sekali.
2. Norma hukum pidana dalam bidang pengancaman pada kekuasaan umum dan
Lembaga Negara bersumber dari Buku II dan Buku III KUHP sebagian diantaranya
dari norma hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP.
3. Norma hukum pidana yang kontroversial dipertahankannya delik penghinaan
terhadap kekuasaan dan lembaga negara.
TINDAK PIDANA PENGANCAMAN PADA
KEKUASAAN UMUM DAN LEMBAGA NEGARA
1. Tindak pidana Penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara
(Pasal 253 dan Pasal 254);
2. Tindak pidana penyebarluasan tindak pidana Pasal 253 dan Pasal 254;
3. Tindak pidana Pemaksaan terhadap pejabat (Pasal 355, 356, 357 dan 358);
4. Tindak pidana pengabaian terhadap perintah pejabat yang berwenang (Pasal
359, 360, 361);
5. Tindak pidana menggunakan hak yang telah dicabut oleh pengadilan (Pasal
363);
6. Tindak pidana tidak datang menghadap saat dipanggil pejabat balai harta
peninggalan (Pasal 363);
7. Tindak pidana penolakan memberikan pertolongan (Pasal 364);
8. Tindak pidana pengabaian terhadap wajib bela negara (Pasal 365);
9. Tindak pidana perusakan maklumat negara (Pasal 366);
10. Tindak pidana laporan atau pengaduan palsu (Pasal 367)
11. Tindak pidana penggunaan kepangkatan gelar dan tanda kekersan (Pasal
368, 369)
12. Tindak pidana perusakan bukti surat untuk kepentingan jabatan umum
(Pasal 370, 371, 372, 373)
13. Tindak pidana penganjuran disersi, pemberontakan dan pembangkangan
tentara nasional Indonesia (Pasal 374, 375).
14. Tindak pidana penyalahgunaan surat pengangkutan ternak (Pasal 376)
15. Tindak pidana irigasi (Pasal 377)
16. Tindak pidana penggandaan surat resmi negara tanpa izin (Pasal 378)
PASAL KONTROVERSIAL

1. Penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga


negara (Pasal 253 dan Pasal 254);
2. Tindak pidana laporan atau pengaduan palsu (Pasal
367)
Kesatu: KEBIJAKAN KRIMINALISASI TINDAK
PIDANA TERHADAP KETERTIBAN UMUM
1. Perumusan tindak pidana dalam BAB V tentang TINDAK PIDANA TERHADAP
KETERTIBAN UMUM pada umumnya lebih ditujukan kepada kodifikasi dan
rekodifikasi yang diikuti dengan kebijakan reformulasi norma hukum pidana yang
semula berada dalam undang-undang di luar KUHP kemudian dimasukan sebagai
sjuatu tindak pidana dalam RUU KUHP dan dimasukan dalam Bab tentang
Ketertiban Umum.
2. Ada beberapa tindak pidana yang seolah-olah sebagai produk kriminalisasi, tetapi
berdasarkan kajian norma hukum pidananya, sesungghnya hanya merupakan hasil
kebijakan reformulasi dari tindak pidana yang dimuat dalam Buku III KUHP dan
tindak pidana yang dimuat dalam undang-undang tertentu di luar KUHP.
TINDAK PIDANA THD KETERTIBAN UMUM
1. Tindak pidana Penodaan terhadap Bendera Negara, Lambang Negara, dan Lagu
Kebangsaan (Pasal 234, 235, 236, 237, 238 dan 239).

2. Tindak pidana Penghinaan terhadap emerintah (Pasal 240 dan 241)


3. Tindak pidana Penghinaan terhadap Golongan Penduduk (Pasal 242 dan 243)
4. Tindak pidana atas dasar diskriminasi (Pasal 244 dan 245)
5. Tindak pidana Penghasutan untuk Melawan Penguasa Umum (Pasal 246, 247, 248)

6. Tindak pidana Penawaran untuk Melakukan Tindak Pidana (Pasal 249, 250, 251, 252)
7. Tindak pidana Tidak Melaporkan adanya Permufakatan Jahat (Pasal 253)

8. Tindak pidana Tidak Memberitahukan kepada Pejabat yang berwewenang adanya


orang yang berencana melakukan tindak pidana (Pasal 254 dan 255)

9. Tindak pidana Memasuki Rumah dan Pekarangan Orang lain (Pasal 256)
10. Tindak pidana Penyadapan (Pasal 257, 258)

11. Tindak pidana Memaksa Masuk Kantor Pemerintah (Pasal 259)

12. Tindak pidana Turut Serta dalam Perkumpulan yang bertujuan melakukan tindak pidana (Pasal
260)

13. Tindak pidana melakukan kekeasan terhadap orang atau barang bersma-sama di Muka Umum
(Pasal 261)

14. Tindak pidana Penyiaran Berita Bohong (Pasal 262, 263)

15. Tindak pidana Ganguan terhadap Ketentraman Lingkungan dan Rapat Umum(Pasal 264, 265,
266)

16. Tindak pidana Gangguan terhadap Pemakaman dan Jjenazah (Pasal 267, 268, 269, 270)

17. Tindak pidana Pengguaan Ijazah atau Gelar Akademik Palsu (Pasal 271)

18. Tindak pidana Gadai Tanpa Izin (Pasal 272)

19. Tindak pidana Penyelenggaraan Pawai, Pesata, atau Keramaian (Pasal 273, 274)

20. Tindak pidana Menjalankan Pekerjaan Tanpa Izin atau Melampaaui Wewenang (Pasal 275)

21. Tindak pidana Pemberian atau Penerimaan Barang kepada dan dari Narapidana (Pasal 277)

22. Tindak pidana Gangguan terhadap Tanah, Benih, Tanaman dan Pekarangan (Pasal 278, 279, 280)
PASAL YANG KONTROVERSIAL 1
1. Penghinaan terhadap bendera negara, lambang negara, dan
lagu kebangsaan yang semula diatur dalam undang-undang di
laur KUHP setelah dimasukan susunan bahasa hukum pidana
tidak tepat hrs reformulasi agar koneksi dengan norma hukum
pidana lain.
2. Penghinaan terhadap Pemerintah telah ditambah unsur baru,
yaitu terjadi akibat kerusuhan.
3. Masuknya tindak pidana terkait dengan diskriminasi yang
berasal dari tindak pidana di laur KUHP tentang penghapusan
diskriminasi.
PASAL YANG KONTROVERSIAL 2
4. Tindak pidana penggunaan kekuatan gaib (santet) yg
sudah diubah menjadi delik formil.
5. Tindak pidana penyadapan atau perekaman, (ingat
kasus “papa minta saham”).
6. Penyiaran berita bohong yang berasal dari Pasal 14
dan 15 UU 1 Tahun 1946, (ingat kasus “Ratna
Sarumpaet”).
7. Tindak pidana gangguan unggas dan hewan ternak
yang masuk pekarang atau tanah orang lain.
KONKLUSI DAN SOLUSI
1. Norma hukum pidana dalam RUU KUHP masih belum menyatu sebagai rumusan
hukum pidana dalam suatu kodifikasi hukum yang terintegrasi ke dalam nilai
hukum, asas-asas hukum, norma hukum dan yang diwujudkan dalam teks hukum
yang dirumuskan dalam pasal-psal RUU KUHP. Oleh sebab itu, masih perlu
dilakukan review terutama terkait dengan kebijakan kriminalisasi atau politik
hukum pidana dan perumusan norma hukum pidana agar jelas perbuatan
inti/pokok yang dilarang dalam norma hukum pidana tersebut dan ancaman sanksi
pidana yang tersusun secara sitematik dan jangan disahkan dulu sebagai undang-
undang.
2. Presiden dan DPR RI harus memiliki ketegasan mengenai kebijakan perumusan
norma hukum pidana dalam RUU KUHP dalam bentuk kodifikasi tertutup, dengan
pengecualian hukum pidana dalam hukum administrasi dan hanya dikenakan
sanksi pidana adminstrasi dalam hukum administrasi.
3. Presiden dan DPR RI harus memiliki ketegasan bahwa norma hukum pidana nasional
yang termasuk sebagai atau tindak pidana/kejahatan
(independent/autonomous/suigeneris/ generic crimes) hanya ada dalam atau dimuat
dalam KUHP (sekarang RUU KUHP) dengan melakukan amandemen sesuai dengan BAB,
Bagian, Paragraf yang sejenis atau yang sesuai dengan norma hukum pidana yang
menjadi dasar (genus delict) pelarangan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dalam
KUHP agar terintegrasi ke dalam sistem hukum pidana nasional terkodifikasi (KUHP).
4. Mengamanatkan kepada Fakultas Hukum UII dan Fakultas Hukum UMY serta para ahli
hukum pidana yang ditunjuk (dari peserta seminar) untuk melanjutkan kajian dari
materi Seminar Nasional ini menjadi Tim Perumus dan Tim Pengusul kepada Presiden
dan DPR RI sebagai rumusan norma hukum pidana hasil seminar dalam rumusan yang
lebih mudah dimengerti oleh masyarakat dan memberi jaminan perlindungan hukum
terhadap masyarakat dalam penegakan hukum pidana dan keadilan dalam hukum
pidana yang berbasis ilmu pengetahuan hukum pidana.

Semoga bermanfaat, amin.


TERIMA KASIH ATAS PERHATIANNYA

WASSALAAMU’ALAIKUM
WAROHMATULLAHI
WABAROKATUHU

Anda mungkin juga menyukai