Anda di halaman 1dari 129

ISSN: 2337 795X

I NYOMAN NURJAYA
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Atau Kepentingan Pembangunan? Telaah Kritis Terhadap
UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
I KETUT MERTHA
Pemberdayaan Desa Pekraman Dalam Penanggulangan Banjir Di Kota Denpasar Suatu Kajian Teoritis
I PUTU GELGEL
Kontribusi Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional Di Tengah Dinamika Perubahan Sosial
I MADE SUWITRA
Konflik Penguasaan Tanah Di Bali
I NYOMAN ALIT PUSPADMA
Perpanjangan Hak Guna Bangunan Bagi Perseroan Terbatas Ditinjau dari Prinsip Kepastian Hukum
I NYOMAN PUTU BUDIARTHA
Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah Perspektif Hukum Investasi Berwawasan Lingkungan Untuk
Kemakmuran
MOH. MUHIBBIN
Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah Timbul Aanslibbing oleh Masayrakat di Pesisir Pantai Utara Laut Jawa

i. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. i-i

Susunan Redaksi Jurnal Hukum - Prasada


Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Warmadewa

Penanggungjawab :

Dr.I Made Suwitra, S.H.,M.H (Ketua Prodi MIH Unwar)

Dewan Editor :

1. Dr. I Nyoman Putu Budiartha, S.H.,M.H.

(KETUA)

2. I Ketut Kasta Arya Wijaya, S.H.,M.H


3. I Ketut Selamet, S.E.,M.Si

(SEKRETARIS)
(BENDAHARA)

ANGGOTA :

1.
2.
3.
4.
5.

Dr. Simon Nahak, S.H.,M.H


Dr. I Nyoman Sukandia, S.H.,M.H
Dr. IB.Putu Kumara Adi Adnyana, S.H.,M.H
Dr. I Putu Bagiaartha, S.H.,M.H
Dr. I Nyoman Alit Puspadma, S.H.,M.Kn.

Tata Usaha :

1. Ni Ketut Yeni, S.E


2. Ni Nyoman Astiti Asih, S.H.,M.H
Sekretariat :
Program Pascasarjana Universitas Warmadewa Denpasar
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Jl. Terompong No.24 Tanjung Bungkak Denpasar (80235) Gedung G, Tlp.(0361)223858
Fax.235073, Hp. 081338658407
Kontak E-Mail :

1. madesuwitra@yahoo.co.id
2. nyomanputubudiartha@yahoo.co.id

ISSN: 2337-795X
(International Standard Serial Number)

Daftar Isi iii


DAFTAR ISI
SUSUNAN REDAKSI....................................................................

DAFTAR ISI ................................................................................

ii

PENGANTAR REDAKSI ...............................................................

iii

I NYOMAN NURJAYA
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Atau Kepentingan
Pembangunan? Telaah Kritis Terhadap UU No. 2 Tahun 2012 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ...

1-21

I KETUT MERTHA
Pemberdayaan Desa Pakraman Dalam Penanggulangan Banjir Di Kota
Denpasar Suatu Kajian Teoritis .......................................................

22-30

I PUTU GELGEL
Kontribusi Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional Di
Tengah Dinamika Perubahan Sosial .................................................

31-44

I MADE SUWITRA
Konflik Penguasaan Tanah Di Bali ..................................................

45-57

I NYOMAN ALIT PUSPADMA


Perpanjangan Hak Guna Bangunan Bagi Perseroan Terbatas Ditinjau
dari Prinsip Kepastian Hukum ........................................................

58-72

I NYOMAN PUTU BUDIARTHA


Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah Perspektif Hukum Investasi
Berwawasan Lingkungan Untuk Kemakmuran .................................

73-92

MOH. MUHIBBIN
Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah Timbul Aanslibbing oleh
Masyarakat di Pesisir Pantai Utara Laut Jawa ..................................

93-121

UCAPAN TERIMA KASIH ...........................................................


BIODATA PENULIS ....................................................................
PEDOMAN PENULISAN ...............................................................

122-122
123-123
124-124

JURNAL HUKUM PRASADA Semesteran ini diterbitkan oleh Program Studi Magister
(S-2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa sebagai media
komunikasi dan pengembangan ilmu. Jurnal terbit setiap bulan September dan Maret.
Redaksi menerima naskah artikel laporan penelitian, dan artikel konseptual resensi
buku sepanjang relevan dengan misi redaksi (daya selingkung agraria dan investasi).
Naskah yang dikirim minimal 15 halaman maksimal 20 halaman diketik 1,5 spasi
dilengkapi abstrak bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta biodata penulis.
Redaksi berhak mengubah naskah sepanjang tidak mempengaruhi substansi
tulisannya.

iii. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. iii-iv


PENGANTAR REDAKSI
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sanghyang Widhi Wasa
karena berkat-Nyalah Jurnal Hukum - Prasada Program Studi Magister Ilmu
Hukum Pascasarjana Universitas Warmadewa Edisi Perdana dapat diterbitkan
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
Penerbitan Jurnal Hukum - Prasada, Program Studi Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Warmadewa Edisi Perdana ini memuat 7 (tujuh) artikel
berbagai bidang ilmu hukum dengan gaya selingkung Hukum Agraria dan
Investasi.
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum atau kepentingan
Pembangunan? Telaah Kritis terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
Tulisan I Nyoman Nurjaya. Artikel ini mencoba untuk memberi pemahaman
secara komprehensif mengenai ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber
daya agraria dengan merujuk pada UUD Tahun 1945, dan mencoba
mengidentifikasi, mengkritisi karakter perundang-undangan yang mengatur
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, khususnya Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, serta implikasi yuridis, ekonomi dan sosial-budaya
masyarakat yang dapat ditimbulkan dari keberadaan instrumen hukum yang
dimaksud.
Dari perspektif Sosiologi hukum I Ketut Mertha menulis tentang
Pemberdayaan Desa Pakraman Dalam Penanggulangan Bencana Banjir di Kota
Denpasar Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum. Tulisan ini menguraikan
menegai alasan-alasan pentingnya pemberdayaan Desa Pakraman dalam
penanggulangan banjir yang meliputi alasan teoritis, yuridis dan sosiologis.
Kontribusi Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Nasional di Tengah
Dinamika Perubahan Sosial ditulis I Putu Gelgel. Artikel ini menguraikan
mengenai keterbukaan menyebabkan terjadinya dinamika sosial budaya dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Dinamika kehidupan sosial budaya
ini
sepatutnya diikuti dengan perubahan-perubahan dalam bidang hukum.
pembangunan hukum nasional hendaknya disesuaikan dengan dinamika
kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Apakah Hukum Adat dapat memberikan
kontribusi dalam pembangunan Hukum nasional di tengah dinamika perubahan
sosial.
Konflik Penguasaan Tanah di Bali tulisan I Made Suwitra mengurai
mengenai konversi penguasaan tanah menurut UUPA yang awalnya tunduk pada
hukum adat di samping dapat menjamin kepastian hukum dalam pemilikan
tanah, juga berimplikasi menimbulkan konflik. Kemudian, Perpanjangan Hak
Guna Bangunan Bagi Perseroan Terbatas Ditinjau Dari Prinsip Kepastian Hukum
oleh I Nyoman Alit Puspadma yang memaparkan tentang pentingnya penegasan
pengaturan perpanjangan HGB bagi Perseroan Terbatas dan memaknai
ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA dalam rangka menciptakan iklim investasi
yang berlandaskan prinsip kepastian hukum. Melalui tulisan I Nyoman Putu
Budiartha, Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah Perspektif Hukum Investasi
Berwawasan Lingkungan Untuk Kemakmuran juga dipaparkan bahwa kepastian
hukum pemanfaatan tanah untuk penanaman modal dilakukan melalui

Pengantar Redaksi iv

penerbitan sertifikat HGU, HGB atau HP yang pelaksanaannya harus


terintegrasikan dengan penatagunaan tanah melalui pengaturan zona/wilayah
kegiatan investasi pada setiap rencana tata ruang wilayah (RTRW) dalam rangka
kebijakan pertanahan nasional bagi pelaksanaan investasi yang berwawasan
lingkungan untuk kemakmuran.
Selanjutnya, Pola Penguasaan Tanah Timbul Aanslibbing oleh Masyarakat
di Pesisir Pantai Utara Pulau Jawa yang ditulis Moh. Muhibbin. artikel ini
menguraikan mengenai pola penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul oleh
masyarakat didasarkan pada budaya masyarakat setempat yang memiliki
mekanisme pengaturan lokal dalam masyarakat (inner order mechanism/self
regulation) yang secara nyata berlaku dan berfungsi sebagai sarana untuk
mengatur perolehan penguasaan tanah timbul di pesisir pantai utara Laut Jawa.
Demikian pengantar dalam penerbitan edisi perdana Tahun 2013 jurnal
hukum Prasada, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas
Warmadewa Denpasar, semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan bagi
dunia pendidikan khususnya pendidikan hukum di Indonesia.
Selamat membaca.
Redaksi,

1. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21

Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Atau Kepentingan


Pembangunan? Telaah Kritis Terhadap UU No. 2 Tahun 2012
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum 1
I Nyoman Nurjaya2

Abstract
The Law (UU No. 2, Year 2012), on Land Procurement for development
for public Interest: whether regulating land acquisition for development
purposes, or the law governing the deletion / revocation of land rights of the
people. First, if the title of the legislation concerns the acquisition of land for
development, the actual substance is in the realm of private law, not in the realm
of public law as stipulated in UU No. 2, Year 2012; Second, the priority target of
this law enforcement is more on the ground where the personal or individual
property rights is in urban areas, industrial areas, and rural areas, especially the
communal land rights of indigenous people in coastal areas and small islands,
forests, plantation, mineral mining, oil and gas , and others. The substance of
legislation governing the possession and use of agricultural resources, should
reflect the character: 1) orientation is not on exploitation (use-oriented), but for
the sake of conservation (resources-oriented) that ensures the preservation and
sustainability of agrarian resources for the benefit of inter-intra generations; 2)
the chracteristic of management is comprehensive, holistic and integrated as the
agrarian resources is an integral ecology (ecological-system) that becomes the
source of human life, and 3) regulating the mechanism of inter-sectoral
coordination and integration in agrarian resource management, and 4)
embracing the ideology of community-based agrarian resources management.
Keywords: Land Acquisition, Public Interest, Development Interest
Abstrak
Pemberlakuan UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum: apakah mengatur mengenai
pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, atau undang-undang yang
mengatur penghapusan/pencabutan hak atas tanah rakyat? Pertama, kalau judul
undang-undang mengenai pengadaan tanah untuk pembangunan, maka
sesungguhnya substansinya berada di ranah hukum privat, bukan di ranah
hukum publik seperti yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012; Kedua, sasaran
prioritas dari pemberlakuan undang-undang ini lebih pada keberadaan tanah hak
1

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan


Umum Pasca Berlakunya UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Airlangga pada
tanggal 27 September 2012 di Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

2
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono No.169, Malang
(nurjayai@yahoo.com).

I Nyoman Nurjaya. Pengadaan 2


milik perorangan atau individual di daerah perkotaan, kawasan industri, dan
perdesaan, terutama tanah hak komunal masyarakat hukum adat di kawasan
pesisir pantai dan pulau-pulau kecil, kawasan hutan, kawasan perkebunan,
kawasan pertambangan
mineral, minyak dan gas bumi, dll. Substansi
perundang-undangan yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber
daya agraria, semestinya mencerminkan karakter: 1)orientasi pemanfaatan
bukan pada eksploitasi (use-oriented), tetapi untuk kepentingan konservasi
(resources-oriented) yang menjamin kelestarian dan keberlanjutan sumber daya
agrarian bagi kepentingan inter-antar generasi; 2) pengelolaan bercorak
komprehensif, holistik dan terintegrasi karena sumber daya agrarian merupakan
satu kesatuan ekologi (ecological-system) yang menjadi sumber kehidupan
manusia; 3) mengatur mekanisme koordinasi dan keterpaduan antar sektor
dalam pengelolaan sumber daya agraria; dan 4) menganut ideologi penguasaan
dan pengelolaan sumber daya yang berbasis masyarakat (community based
agrarian resources management).
Kata Kunci: Pengadaan Tanah, Kepentingan Umum, Kepentingan Pembangunan

I.

PENDAHULUAN
Indonesia dikenal di seluruh dunia sebagai negara yang memiliki sumber

daya agraria3 yang melimpah. Kekayaan sumber daya agraria dari persepsi
pemerintah adalah modal utama untuk menyelenggarakan pembangunan
nasional. Karena itu, atas nama pembangunan nasional (in the name of national

development) penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria diorientasikan


untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi (economic-growth development)
dalam rangka meningkatkan pendapatan dan devisa negara ( state revenue).
Implikasi yang muncul kemudian adalah sumber daya agraria cenderung
dieksploitasi sekadar untuk memenuhi capaian target pertumbuhan ekonomi
dengan mengabaikan dimensi process pembangunan nasional, sehingga melalui
canangan politik pengurasan (political of exploitation) secara perlahan tetapi

3
Yang dimaksud sumber daya agraria dalam pengertian luas, dengan merujuk pada UU No.
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, adalah sumber daya alam
sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan,
dalam pengertian sempit, sumber daya agraria yang dimaksud hanya sebatas tanah sebagai
permukaan bumi. Indonesia memiliki kekayaan sumber daya agrarian berupa sumber daya alam
hayati maupun nonhayati yang melimpah; sumber daya agraria yang terbarukan ( renewable)
maupun yang tak terbarukan (nonrenewable); yang berwujud modal alam ( natural resource stock)
seperti daerah aliran sungai, danau, kawasan lindung, pesisir, kawasan rawa dan gambut, dll.
maupun berwujud komoditi (natural resource commodity) seperti kayu, rotan, mineral tambang,
minyak dan gas bumi, ikan, dll. yang terdapat merata hampir di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

3. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21


pasti menimbulkan kerusakan dan degradasi kuantitas maupun kualitas sumber
daya agraria di negeri ini.
Praktik pengurasan yang berlangsung lebih dari empat dasa warsa terakhir
ini pada gilirannya selain menimbulkan dampak negatif berupa degradasi sumber
daya agraria (ecological degradation), juga menimbulkan implikasi ekonomi
berupa semakin terbatasnya atau bahkan punahnya sumber-sumber kehidupan
ekonomi masyarakat (economical loss) di daerah. Selain itu, juga menimbulkan
implikasi sosial dan budaya berwujud kerusakan tatanan kehidupan sosial dan
budaya masyarakat di daerah (social and cultural destruction), semakin
merebaknya sengketa penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria
(conflict over natural resource access and tenure), dan pada gilirannya kemudian
memunculkan kemiskinan rakyat di daerah.
Implikasi ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya seperti disebutkan di atas
sesungguhnya adalah ongkos pembangunan ( cost of development) yang mahal
harus dibayar dan selama ini tidak pernah diperhitungkan sebagai hasil
pelaksanaan pembangunan nasional, karena yang dihitung sebagai hasil
pembangunan

hanya

sebatas

angka-angka

pertumbuhan

ekonomi

dari

pembangunan. Apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai sebagai target


pembangunan secara nyata telah meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat seperti diamanatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau
sebaliknya semakin menambah angka korban-korban pembangunan (victims of

development) selama lebih dari empat dasawarsa terakhir ini?4


Makalah bersahaja ini mencoba untuk memberi pemahaman secara
komprehensif mengenai

ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya

agraria dengan merujuk pada UUD Tahun 1945, dan mencoba mengidentifikasi
dan mengkritisi karakter perundang-undangan yang mengatur penguasaan dan

4
John Bodley, Victims of Progress, Mayfield Publishing Company, California, 1982; Nancy L.
Peluso, Rich Forest, Poor People, Resource Control and Resistance in Java , University of California
Press, Berkeley; Mark Poffenberger, Keepers of The Forest, Land Management Alternatives in
Southeast Asia, Ateneo de Manila University Press, The Philippines, 1990; Mark Poffenberger,
Community and Forest Management in Southeast Asia, WG-CIFM, Berkeley, USA, 1999; Robert
Reppeto and Malcolm Gillis, Public Policies and the Misuse of Forest Resources, Cambridge
University Press, New York, 1988; Owen J. Lynch and Kirk Talbott, Balancing Act, CommunityBased Forest Management and National Law in Asia and The Pacific, World Resources Institute,
USA, 1995.

I Nyoman Nurjaya. Pengadaan 4


pemanfaatan sumber daya agraria, khususnya UU No. 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, serta implikasi
yuridis, ekonomi, dan sosial-budaya masyarakat yang dapat ditimbulkan dari
keberadaan instrumen hukum yang dimaksud.
II.

IDEOLOGI PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA


AGRARIA
Landasan konstitusional untuk membentuk peraturan perundang-undangan

yang mencerminkan prinsip keadilan, demokrasi, dan berkelanjutan sumber daya


agraria adalah Alinea IV Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menyatakan: ........ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta menciptakan perdamaian
dunia yang abadi .....dst. Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya
agraria untuk kesejahteraan dan kemamuran rakyat selanjutnya diformulasi
dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan: Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Jabaran lebih lanjut dari ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber
daya agraria seperti dimaksud di atas dituangkan dalam Ketetapan MPR RI No.
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam;
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2004 2009; dan UU No. 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025. Dalam
konsideran Menimbang Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara eksplisit dinyatakan:
........peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan
bertentangan; oleh karena itu pengelolaan sumber daya agraria dan sumber
daya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan

5. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21


dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan
peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik.
Prinsip-prinsip yang harus diakomodasi dalam peraturan perundangundangan mengenai pengelolaan sumber daya agraria adalah sebagai berikut:5
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. Menghormati supremasi

hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman

dalam unifikasi hukum;


d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya
manusia Indonesia;
e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi
partisipasi masyarakat;
f.

Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,


pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya
agraria/sumber daya alam;

g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik


untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap
memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;
h. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan
kondisi sosial budaya setempat;
i.

Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan


antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam;

j.

Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan


keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;

k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat,


daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat
dan individu;

5
Pasal 4 Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam.

I Nyoman Nurjaya. Pengadaan 6


l.

Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat


nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat,
berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya
alam.
Dengan demikian, jika dikemas ringkas maka prinsip-prinsip yang dimaksud

di atas pada dasarnya meliputi tiga prinsip dasar, yaitu keadilan, demokrasi, dan
keberlanjutan sumber daya agraria, dengan penjelasan seperti berikut:
(a)

Prinsip Keadilan merujuk pada kebijakan pengelolaan sumber daya agraria


harus direncanakan, dilaksanakan, dimonitoring, dan dievaluasi secara
berkesinambungan untuk memenuhi keadilan inter-antar generasi, keadilan
gender, termasuk keadilan dalam alokasi dan distribusi sumber daya
agraria;

(b)

Prinsip Demokrasi mengacu pada kebijakan pengelolaan sumber daya


agraria yang mendesentralisasi kewenangan pusat ke

daerah, akses

informasi yang terbuka bagi rakyat, ruang bagi partisipasi semua


pemangku kepentingan (stakeholder), transparansi dalam penyusunan
kebijakan, pertanggungjawaban kepada publik ( public acountability),
koordinasi dan keterpaduan antar sektor, penyelesaian konflik secara
bijaksana, pengakuan dan perlindungan terhadap

hak rakyat atas

penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria; dan


(c)

Prinsip

Berkelanjutan

adalah

kebijakan

penguasaan

harus

mampu

menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya agraria dengan


melakukan konservasi, pemahaman tentang makna sumber daya yang tak
terbarukan (nonrenewable), keterbatasan daya dukung dan daya tampung
(carrying capacity), serta keterbatasan kemampuan sumber daya agraria.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kebijakan penguasaan dan
pengelolaan

sumber

daya agraria perlu

mengintegrasikan

prinsip-prinsip

pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), yang meliputi:


Pertama, sumber daya agraria harus dimanfaatkan dan dikelola untuk tujuan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan dari generasi ke
generasi; Kedua, sumber daya alam harus dimanfaatkan dan dialokasikan secara
adil dan demokratis

secara inter-antar generasi dalam kesetaraan gender;

7. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21

Ketiga, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya agraria harus mampu


menciptakan kohesivitas sosial, mampu melindungi dan mempertahankan
eksistensi budaya lokal, termasuk tatanan hukum yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat; Keempat, pengelolaan sumber daya agraria harus dilakukan
dengan pendekatan ekosistem (ecosystem) untuk mencegah terjadinya praktikpraktik pengelolaan yang bersifat parsial, ego-sektoral atau ego-daerah, tidak
terpadu dan terkoordinasi; Kelima,

kebijakan dan praktik-praktik pengelolaan

sumber daya agraria harus bersifat spesifik lokal, disesuaikan dengan ekosistem
daerah dan tatanan kehidupan sosial-budaya masyarakat setempat.
Kelima prinsip dasar di atas satu sama lain saling terkait dan melengkapi,
sebagai satu kesatuan yang mengandung makna bahwa penguasaan dan
pemanfaatan

sumber

daya

agraria

dimaksudkan

untuk

mewujudkan

kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan dan


berkelanjutan seperti diamanatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dengan berbasis pada kemajemukan budaya serta keutuhan bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kaitan ini, pemerintah pada dasarnya sekadar berperan sebagai
regulator, administrator, dan fasilitator yang berkewajiban untuk: (a) mendorong
peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya agraria; (b)
menjamin adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak rakyat atas penguasaan
dan pemanfaatan sumber daya agraria; (c) mengakui dan melindungi modal
sosial dan budaya (socio-cultural capital) seperti etika sosial, kearifan lingkungan,
sistem religi, maupun pranata-pranata sosial yang hidup dalam masyarakat; dan
(d) mengakui keberadaan tatanan hukum rakyat ( folk law) atau hukum adat
(adat law) selain eksistensi hukum negara ( state law) sebagai

fakta

kemajemukan hukum di Indonesia.


III. KARAKTER PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG SUMBER DAYA
AGRARIA
Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria seperti
dimaksud pada bagian terdahulu kemudian dijabarkan dan diformulasi dalam
perundang-undangan di bidang sumber daya agraria. Jika dikritisi secara
seksama berdasarkan kronologi pemberlakuan instrumen hukum yang mengatur

I Nyoman Nurjaya. Pengadaan 8


penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria seperti: UU No. 11 Tahun
1967 tentang Pertambangan6; UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan7; UU
No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan8; dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan9; pada dasarnya memiliki karakteristik seperti berikut:
Pertama, substansi pengaturannya diorientasikan pada eksploitasi sumber daya
agraria (use-oriented agrarian resources), sehingga mengabaikan kepentingan
konservasi dan keberlanjutan karena hukum semata-mata didayagunakan
sebagai piranti untuk pencapaian target pertumbuhan ekonomi;
Kedua, berorientasi dan berpihak pada pemodal-pemodal besar (high capital

oriented), sehingga mengabaikan kepentingan, akses, dan hak rakyat atas


sumber daya agraria sebagai sumber kehidupan di daerah;
Ketiga, menganut ideologi penguasaan sumber daya yang berpusat pada
pemerintah (government-based resource management) sehingga orientasi
pengelolaan sumber daya agraria bercorak sentralistik;
Keempat, manajemen pengelolaan menggunakan pendekatan sektoral, sehingga
sumber daya agraria tidak diperhitungkan sebagai sistem ekologi yang
terintegrasi (ecological system);
Kelima, corak sektoral kelembagaan dan kewenangan mengakibatkan tidak
adanya

koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber

daya agraria; dan


Keenam, tidak diatur ruang pengakuan dan perlindungan atas hak rakyat secara
proporsional, terutama hak masyarakat hukum adat secara utuh dan hakiki
(genuine legal recognition) dalam pengelolaan sumber daya agraria.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya
berbagai kelemahan substansial seperti diurai di atas, maka sejumlah upaya
perbaikan dilakukan dengan memberlakukan UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU No. 24 Tahun 1992

Telah diganti dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Mineral Tambang dan Batubara

Telah diganti dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Telah diganti dengan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Telah diganti dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

9. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21


tentang Penataan Ruang;

dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup10. Namun, persoalan mendasar dalam penguasaan dan


pemanfaatan sumber daya agraria masih belum terjawab dalam substansi
apalagi dari implementasi undang-undang tersebut, karena masih mencerminkan
karakteristik seperti berikut:
Pertama, pemerintah masih mendominasi penguasaan dan pemanfaatan sumber
daya agraria (government-dominated resource management);
Kedua, prinsip keterpaduan dan koordinasi antar sektor belum diatur secara
eksplisit dan terinci;
Ketiga, hak rakyat terutama masyarakat hukum adat atas penguasaan dan
pemanfaatan sumberdaya agraria tidak diakui secara utuh dan hakiki;
Keempat, ruang bagi partisipasi masyarakat dan transparansi dalam pengelolaan
sumber daya agraria masih diatur secara terbatas;
Keenam,

akuntabilitas

pemerintah

kepada publik

atas

penguasaan

dan

pemanfaatan sumber daya agraria belum diatur secara tegas.


Sementara itu, beberapa undang-undang yang diberlakukan kemudian,
seperti: UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang
Keanekaragaman Hayati;

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah11; dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia, telah
mengatur prinsip-prinsip penting yang mendukung sistem regulasi pengelolaan
sumber

daya

agraria

yang

mencerminkan

keadilan,

demokrasi,

dan

berkelanjutan. Walau kemudian menyusul diberlakukan UU No. 22 Tahun 2001


tentang Minyak dan Gas Bumi; UU No. 7 Tahun 2004 tentang Mineral Tambang
dan Batubara; UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; UU No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan; UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara; dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup; tetapi prinsip-prinsip dasar penguasaan dan
pemanfaatan

sumber

daya agraria seperti: (a)

prinsip konservasi

10

dan

Telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
11

Telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

I Nyoman Nurjaya. Pengadaan 10


keberlanjutan, (b) prinsip transparansi dan partisipasi publik, (c) prinsip free and

prior informed-consent, dan (d) prinsip pengakuan dan perlindungan hak


masyarakat hukum adat yang hakiki (genuine legal recognition), ternyata belum
terakomodasi dan terintegrasi secara proporsional sebagai pengejawantahan
prinsip keadilan,

demokrasi, dan

berkelanjutan

dalam

penguasaan

dan

pemanfaatan sumber daya agraria.12


Implikasi dari karakteristik instrumen hukum seperti diuraikan di atas
adalah persoalan mendasar penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria
menjadi potensi yang terus mengancam keberlanjutan sumber daya agraria di
negeri ini. Karena itu, agenda nasional yang mendesak direalisasikan adalah apa
yang disebut sebagai good agrarian governance13, dengan membentuk peraturan
perundang-undangan

yang

responsif

mengakomodasi

prinsip

keadilan,

demokrasi, dan berkelanjutan sumber daya agraria dalam program legislasi


nasional.
IV.

PENGADAAN TANAH ATAU PENCABUTAN HAK ATAS TANAH UNTUK


KEPENTINGAN PEMBANGUNAN?
Produk hukum teranyar yang disahkan Presiden Republik Indonesia pada

tanggal 14 Januari 2012 yang secara spesifik mengatur tentang sumber daya
tanah sebagai salah satu komponen sumber daya agraria adalah UU No. 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
(Lembaran Negara RI Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara RI.
Nomor 5280).
Keberadaan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, selanjutnya disingkat UUPT 2012,
secara kronologis sesungguhnya merupakan kelanjutan dan peningkatan status

12

I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Antropologi Hukum,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008.
13
Good agrarian Governance adalah kebijakan pengelolaan sumber daya agraria, termasuk
perlindungan daya dukung ekosistem dan perlindungan fungsi lingkungan hidup, secara bijaksana,
berdayaguna, aspiratif dan responsif, yang didasarkan pada prinsip-prinsip penyelenggaraan
negara yang baik (good governance), yaitu penyelenggaraan pemerintahan dan penanganan
masalah-masalah publik yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, partisipasi
publik yang hakiki (genuine public participation) dan akuntabilitas publik (public accountability).

11. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21


dari instrumen hukum yang pernah diberlakukan sebelumnya, yaitu: (1)
Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; (2) Peraturan Presiden
No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum; dan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dalam Konsidenrans UUPT 2012 dinyatakan bahwa untuk menjamin
terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan tanah
yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan,
demokratis, dan adil. Oleh karena itu, landasan Konstitusional

pemberlakuan

UUPT 2012 adalah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal
5 ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H, Pasal 28I
ayat (5), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4). Sedangkan
landasan Yuridis yang digunakan adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara RI.

Tahun 1960 Nomor 104,

Tambahan Lembaran Negara RI. Nomor 2034).


Yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan
tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak
yang berhak,14 melalui pelepasan hak15 oleh pemegang hak atas tanah, dengan
merujuk pada kewenangan Negara sebagaimana dimaksud Pasal 18 UU No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.16
Pengadaan

tanah

bagi

pembangunan

untuk

kepentingan

umum

diselenggarakan oleh Pemerintah17, dilaksanakan oleh Gubernur, Instansi yang


memerlukan tanah, dan Lembaga Pertanahan, dapat bekerjasama dengan Badan

14

Pasal 1 angka 2 UUPT 2012.

15

Pasal 5 UUPT 2012.

16

Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) menyatakan: Untuk kepentingan umum,


termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas
tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut tata cara yang diatur
dengan Undang-undang.
17

Pasal 6 UUPT 2012.

I Nyoman Nurjaya. Pengadaan 12


Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta 18,
dengan tujuan untuk menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, Negara, dan masyarakat
dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.19
Dari satu sisi kehendak Negara yang direpresentasikan oleh Pemerintah
untuk menyelenggarakan kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dan
masyarakat melalui pelaksanaan pembangunan sesungguhnya merupakan
kegiatan yang mulia sesuai amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun demikian, jika dicermati secara kritis sesungguhnya yang dimaksud
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum diinterpretasikan
tunggal dan sepihak oleh Pemerintah sebatas sebagai dan dianalogikan dengan
kepentingan pembangunan sebagaimana dimaksud Pasal 10 UUPT, yang pada
dasarnya memiliki 2 (dua) dimensi pokok, yaitu:
(1)

Pengadaan

tanah

untuk

kepentingan

pembangunan

yang langsung

menyentuh kepentingan masyarakat, seperti pembangunan sarana dan


prasarana atau infrastruktur dalam rangka penyediaan dan pelayanan
kepada publik yang dilaksanakan langsung Pemerintah atau Pemerintah
Daerah yang meliputi penyediaan infrastruktur di bidang pertahanan
keamanan, transportasi darat, laut, maupun udara, irigasi pertanian,
jaringan telekomunikasi, kesehatan, pendidikan, fasilitas umum makam,
pasar, olahraga, taman kota, ruang terbuka hijau, taman nasional, kawasan
cagar alam atau cagar budaya, sarana pemerintahan, atau permukiman
penduduk miskin; dan juga termasuk
(2)

Pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur yang diorientasikan


untuk kepentingan bisnis dengan tujuan komersial yang dapat dilakukan
dan dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha
Milik Swasta (BUMS), seperti pengadaan tanah untuk pembangunan jalan
Tol, Pelabuhan (bisa pelabuhan peti kemas atau pelabuhan kapal pesiar

18

Pasal 12 ayat (1) UUPT 2012.

19

Pasal 3 UUPT 2012.

13. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21


bagi orang-orang kaya), infrastruktur Minyak, Gas, dan Panas Bumi,
serta pembangunan infrastruktur Pembangkit, Transmisi, Gardu,
Jaringan, dan Distribusi Tenaga Listrik yang sudah mulai dikuasai
BUMN/BUMS.20
Kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
diselenggarakan oleh Pemerintah dan dilaksanakan oleh Gubernur bersama
Instansi yang memerlukan tanah dan Lembaga Pertanahan21 melalui 4 (empat)
tahapan, yaitu: tahapan Perencanaan, tahapan Persiapan, tahapan Pelaksanaan,
dan tahapan Penyerahan Hasil.22 Bagian krusial dari tahapan-tahapan dimaksud
di atas yang menimbulkan kontroversial dari perspektif hukum dan kebijakan
adalah sebagai berikut:
(a)

Pada tahapan Perencanaan Pengadaan Tanah, khususnya dalam proses


penyusunan dokumen perencanaan pengadaan tanah oleh Instansi yang
memerlukan tanah,23 mengabaikan prinsip penting dalam pelaksanaan
pembangunan, yaitu prinsip partisipasi publik atau prinsip pelibatan
masyarakat

dalam

perencanaan

pembangunan

( public

participation

principle);
(b)

Pada

tahapan

Persiapan Pengadaan

Tanah,

khususnya

kewajiban

Pemerintah melakukan Konsultasi Publik mengenai rencana pembangunan


oleh Instansi yang memerlukan tanah dilakukan dengan melibatkan Pihak
yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak, di tempat rencana
pembangunan atau tempat yang disepakati, dengan tujuan untuk
mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang

20

Lihat dan cermati Pasal 10 hurup b, d, e, dan hurup f UUPT 2012.

21

Yang dimaksud Lembaga Pertanahan menurut Pasal 1 angka 14 UUPT 2012 adalah Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia, lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertanahan.
22

23

Pasal 13 UUPT 2012.

Pasal 14 dan Pasal 15 UUPT 2012. Yang dimaksud Instansi yang memerlukan tanah
adalah lembaga Negara, kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota. dan Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara
yang mendapat penugasan khusus Pemerintah (Pasal 1 angka 1 UUPT 2012).

I Nyoman Nurjaya. Pengadaan 14


berhak.24 Apabila kemudian terdapat keberatan atau ketidaksepakatan dari
Pihak yang berhak mengenai lokasi rencana pembangunan, maka wajib
dilakukan konsultasi publik ulang dengan Pihak yang berkeberatan.25 Jika
kemudian masih terdapat ketidaksepakatan atau keberatan dari Pihak yang
berhak maka Gubernur membentuk Tim26 untuk melakukan kajian atas
keberatan rencana lokasi pembangunan.27 Tetapi, kalau keputusan Tim
bentukan Gubernur memutuskan keberatan harus ditolak, kemudian lokasi
rencana pembangunan ditetapkan Gubernur, maka tidak boleh lagi ada
reaksi keberatan dari Pihak yang berhak. Jika setelah penetapan lokasi
rencana pembangunan masih terdapat keberatan, maka Pihak yang
mengajukan keberatan digiring untuk menempuh jalur litigasi dengan
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam
waktu maksimal 30 hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan lokasi oleh
Gubernur.28 Apabila kemudian putusan PTUN menolak gugatan Pihak yang
berkebaratan dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam
waktu maksimal 14 hari kerja.29 Putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hokum yang tetap digunakan sebagai dasar untuk meneruskan
atau tidaknya kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum.30 Mekanisme konsultasi publik yang secara normatif
diatur dalam UUPT 2012 sebagai wujud asas musyawarah untuk
mendapatkan kesepakatan antara Pemerintah dengan Pihak yang berhak

24

Pasal 18 UUPT 2012.

25

Pasal 20 UUPT 2012.

26
Anggota Tim terdiri dari Sekretaris Daerah Provisni atau Pejabat yang ditunjuk sebagai
Ketua merangkap anggota, Kepala Kantor Wilayah BPN sebagai Sekretaris merangkap anggota,
Instansi yang menangani urusan perencanaan pembangunan daerah, Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM, Bupati/Walikota atau Pejabat yang ditunjuk, dan Akademisi (Pasal
23 ayat (3) UUPT 2012).
27

Pasal 21 UUPT 2012.

28

Pasal 23 ayat (1) UUPT 2012.

29

Pasal 23 ayat (3) UUPT 2012.

30

Pasal 23 ayat (5) UUPT 2012.

15. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21


dalam menetapkan lokasi rencana pembangunan pada tahapan Persiapan
terkesan

beralih

menjadi

personifikasi

dari

paksaan

kewenangan

Pemerintah atas nama pembangunan (in the name of development) untuk


menekan dan memaksa rakyat menerima penetapan lokasi rencana
pembangunan

yang

dikehendaki

Pemerintah

semata-mata

untuk

menyediakan tanah bagi kepentingan Instansi yang memerlukan tanah


termasuk kepentingan BUMN dan BUMS. Hal ini menunjukkan mekanisme
konsultasi

publik

yang

semu

(pseudo-public

consultation)

dengan

mengabaikan prinsip musyawarah yang hakiki ( genuine-public consultation)


dalam proses pengadaan tanah yang katanya untuk kepentingan umum.
(c)

Pada tahapan Pelaksanaan Pengadaan Tanah, setelah lokasi rencana


pembangunan ditetapkan Gubernur, maka diatur kewajiban hukum Instansi
yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah
kepada Lembaga Pertanahan,31 dan di sisi lain Pihak yang berhak juga
dibebani kewajiban untuk mengalihkan hak atas tanahnya hanya kepada
Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan,32 dengan
menerima ganti kerugian yang nilainya ditetapkan pada saat nilai
pengumuman penetapan lokasi rencana pembangunan,33 berdasarkan hasil
penilaian Penilai yang ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan.34

Ganti

kerugian yang dapat diberikan kepada Pihak yang berhak dalam bentuk (a)
uang, (b) tanah pengganti, (c) permukiman kembali, (d) kepemilikan
saham, (e) bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.35
Musyawarah mengenai besar dan/atau bentuk ganti kerugian dilakukan
oleh Lembaga Pertanahan dengan Pihak yang berhak dilakukan dalam
waktu paling lama 30 (hari) hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai

31

Pasal 27 ayat (1) UUPT 2012

32

Pasal 27 ayat (3) UUPT 2012.

33

Pasal 27 ayat (4) UUPT 2012.

34

Pasal 31 ayat (1) UUPT 2012.

35

Pasal 36 UUPT 2012.

I Nyoman Nurjaya. Pengadaan 16


disampaikan

kepada

Lembaga

Pertanahan.36

Apabila

tidak

terjadi

kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, maka


Pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah
penetapan ganti kerugian,37 dan juga dapat mengajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung jika keberatan ditolak oleh Pengadilan Negeri.38 Putusan
Pengadilan Negeri atau putusan Mahkamah Agung yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada
Pihak yang mengajukan keberatan.39 Tetapi, dalam hal Pihak yang berhak
menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan
keberatan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah
musyawarah penetapan ganti kerugian, karena hukum Pihak yang berhak
dianggap menerima bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian yang telah
ditetapkan.40 Apa yang dapat dikritisi dari regulasi seperti di atas adalah:
(a) mekanisme musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya
ganti kerugian bukan dimaksudkan untuk memperoleh kesepakatan
bersama sebagaimana dimaksud asas kebebasan berkontrak, tetapi
lebih merupakan proses pemaksaan kewenangan Pemerintah kepada Pihak
yang berhak untuk menerima ganti kerugian yang telah ditetapkan secara
sepihak oleh Penilai yang ditunjuk Lembaga Pertanahan; (b) mekanisme
musyawarah menjadi formalitas untuk memaksakan kehendak Pemerintah,
karena apabila terjadi ketidaksepakatan maka Pihak yang berhak digiring
untuk menempuh jalur litigasi dengan mengajukan keberatan (atau
maksudnya gugatan?) ke Pengadilan Negeri (PN) dan/atau Mahkamah
Agung (MA), sehingga yang menentukan hasil musyawarah pada akhirnya
adalah PN dan/atau MA, bukan pihak-pihak yang bermusyawarah; dan (c)

36

Pasal 37 ayat (1) UUPT 2012.

37

Pasal 28 ayat (1) UUPT 2012.

38

Pasal 38 ayat (3) UUPT 2012.

39

Pasal 38 ayat (5) UUPT 2012.

40

Pasal 39 UUPT 2012.

17. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21


Upaya pemaksaan kewenangan Pemerintah dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan terejawantahkan secara eksplisit dengan
menggunakan politik pengabaian (political of ignorance) atas asas
kebebasan berkontrak dalam bentuk asumsi hukum bahwa apabila Pihak
yang berhak tidak mengajukan keberatan dalam limit waktu tertentu, maka
karena hukum (atau maksudnya demi hukum?) dianggap menerima bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian; (d) Pemanfaatan lembaga Konsinyasi
atau penitipan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian di Pengadilan
Negeri, karena adanya penolakan Pihak yang berhak atas hasil musyawarah
merupakan

wujud

konkrit

dari

penggunaan

paksaan

kewenangan

Pemerintah dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan;41 dan (e)


Lembaga Konsinyasi seperti dimaksud pada hurup (d) secara yuridis
menimbulkan akibat hukum berupa pengahapusan kepemilikan atau hak
atas tanah dari Pihak yang berhak, dan bahkan alat bukti pemilikan hak
atas tanah menjadi tidak berlaku dan tanah Pihak yang berhak menjadi
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.42 Hal ini menjadi cerminan dari
tindakan hukum Pemerintah dengan mengeksploitasi kewenangan Negara
mengabaikan pengakuan hak rakyat atas pemilikan tanah.
IV

PENUTUP
Pembangunan nasional pada hakikatnya dilaksanakan untuk memajukan

kesejahteraan umum dan meningkatkan kemamuran rakyat, dengan memberi


perlindungan kepada segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
selaras dengan amanat Alinea IV Pembukaan jo Pasal 33 ayat (3) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Karena itu, instrumen hukum yang dibentuk
untuk mendukung kebijakan pembangunan dengan mendayagunakan sumbersumber agraria termasuk tanah untuk kemakmuran rakyat semestinya memiliki
nuansa dan karakteristik yang responsif dan progresif (responsive and

41

Lihat Pasal 42 ayat (1) UUPT 2012.

42

Cermati Pasal 43 UUPT 2012.

I Nyoman Nurjaya. Pengadaan 18


progressive state law) dengan merujuk pada ideologi penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya agraria seperti dimaksud Konstitusi Negara.
Instrumen hukum yang meregulasi pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan, sebagaimana dikemas dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum semestinya
memiliki karakteristik yang berpihak pada perlindungan hak rakyat atas sumber
daya agraria, berkeadilan, dan demokratis, dan tidak bernuansa represif. Dengan
demikian, implementasi kebijakan pembangunan yang didukung instrumen
hukum tidak menimbulkan apa yang disebut Joh Bodley43 sebagai korban-korban
pembangunan (victims of development) akibat penggunaan politik pengabaian
(political of ignorance) atas kepentingan, akses, dan hak rakyat atas sumber
daya agraria terutama sumber daya tanah. Hal ini karena tanah dalam persepsi
rakyat secara antropologis tidak sebatas mempunyai nilai ekonomi saja sebagai
sumber kehidupan ekonomi, tetapi lebih dari itu tanah juga mempunyai nilai
sosiologis secara individual terlebih lagi dalam kehidupan komunal masyarakat
hukum adat, dan bernilai magis-religius dalam kehidupan masyarakat yang
bercorak multikultural.
Karena itu menjadi pertanyaan besar mengenai pemberlakuan UU No. 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum: apakah UU No. 2 Tahun 2012 mengatur mengenai pengadaan tanah
untuk

kepentingan

pembangunan,

atau

UU

yang

mengatur

Penghapusan/Pencabutan Hak atas Tanah Rakyat? Pertama, kalau judul UU


mengenai

Pengadaan

Tanah

untuk

Pembangunan

maka

sesungguhnya

substansinya berada di ranah hukum privat, bukan di ranah hukum publik seperti
yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012; Kedua, sasaran prioritas dari
pemberlakuan UU ini lebih pada keberadaan tanah hak milik perorangan atau
individual di daerah perkotaan, kawasan industri, dan perdesaaan, dan terutama
tanah hak komunal masyarakat hukum adat di kawasan pesisir pantai dan pulaupulau kecil, kawasan hutan, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan
mineral, minyak dan gas bumi, dll.

43

John Bodley, Op.cit.

19. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21


Untuk mengakhiri atau setidak-tidaknya mengeliminasi praktik-praktik
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria yang bercorak sentralistik,
eksploitatif, sektoral, dan bernuansa represif, dalam rangka mewujudkan tata
kelola sumber daya agraria yang baik (good agrarian governance) dalam
pembangunan nasional yang berkelanjutan, maka perlu adanya reformasi
paradigma politik pembangunan hukum nasional yang semula bercorak
sentralisme hukum (legal centralism) ke anutan ideologi pluralisme hukum ( legal

pluralism), sebagai prinsip dasar yang memberi ruang secara proporsional bagi
pengakuan fakta kemajemukan sistem hukum dalam masyarakat, khususnya
dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria. 44 Hal ini karena
seperti dikatakan John Griffiths:
The ideology of legal centralism, law is and should be the law of
the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and
administered by a single set of state institutions.45
Jika prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya agraria seperti dimaksud di
atas diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam instrumen hukum nasional, maka
substansi perundang-undangan yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya agraria semestinya mencerminkan karakter seperti berikut:
1. Orientasi pemanfaatan bukan pada eksploitasi ( use-oriented), tetapi untuk
kepentingan konservasi (resources-oriented) yang menjamin kelestarian dan
keberlanjutan sumber daya agrarian bagi kepentingan inter-antar generasi.
2. Pengelolaan bercorak komprehensif, holistik dan terintegrasi (komprehensifintegral), karena sumber daya agraria merupakan satu kesatuan ekologi
(ecological system) yang menjadi sumber kehidupan manusia.
3. Mengatur mekanisme koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam
pengelolaan sumber daya agraria.
4. Menganut ideologi penguasaan dan pengelolaan sumber daya yang berbasis
masyarakat (community-based agrarian resource management).

44

I Nyoman Nurjaya, Reorientasi Tujuan dan Peran Hukum dalam Masyarakat


Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar di bidang Antropologi
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2008.
45

John Griffiths, What is Legal Pluralism, dalam Journal of Legal Pluralism and Unofficial

Law No. 24/1986, p. 21.

I Nyoman Nurjaya. Pengadaan 20


5. Menyediakan ruang bagi partisipasi publik yang sejati ( genuine public

participation) dan transparansi pembuatan kebijakan pengelolaan sumber


daya agraria.
6. Memberi ruang bagi pengakuan yang hakiki dan perlindungan hak rakyat atas
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria.
7. Mengatur mekanisme pengawasan dan akuntabilitas publik dalam pengelolaan
sumber daya agraria secara lebih eksplisit.
8. Mengakui keberadaan tatanan hukum rakyat ( folk law) sebagai entitas hukum
(legal entity) dalam sistem hukum Indonesia, khususnya tatanan hukum adat
yang secara nyata hidup dan didayagunakan dalam wujud kearifan lingkungan
(environmental wisdom) masyarakat adat setempat.
Untuk mengakhiri diskusi ini menjadi menarik dan relevan untuk mengutip
kata-kata bijak (wise words) yang mencerminkan kearifan lingkungan dari
seorang Mahatma Gandhi seperti berikut:
The Earth produces enough for everybodys need, but never
enough for enybodys greed (Alam semesta ini sesungguhnya
telah menyediakan sumber daya yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia, tetapi tidak akan pernah cukup untuk
melayani ketamakan, kerakusan, dan keserakahan manusia).
Dalam hubungan dengan anutan paradigma pembangunan hukum di
Indonesia, maka perlu dicermati pernyataan dari John Griffiths seperti berikut :
Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a
claim, an illusion, a dream, and an imagine. Legal pluralism is the
name of a social state of affairs and it is a characteristic which
can be predicted of a social group (Kemajemukan hukum adalah
fakta dalam kehidupan masyarakat, tetapi sentralisme hukum
adalah sebuat mitos, sesuatu yang ideal, sebuah ilusi, sebuah
mimpi, dan sebuah khayalan belaka yang tidak mungkin
terwujud. Hal ini karena kemajemukan pranata hukum dalam
masyarakat adalah nama dari kenyataan sosial yang menjadi
karakteristik yang dapat diprediksi pasti ada dalam setiap
komunitas masyarakat).
Dalam hubungan dengan anutan paradigma pembangunan, perlu dicermati
kritis kalimat bijak dari seorang Ali Shariati, seorang ulama berkebangsaan Iran
seperti berikut:

21. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 1-21


Kesalahan paradigma pembangunan yang semata-mata
diorientasikan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi
adalah mengabaikan proses pembangunan yang baik dan
berpihak pada kesejahteraan rakyat. Hal ini kemudian
menyebabkan pelaksanaan pembangunan dilakukan dengan
wajah yang bengis dan durhaka.
DAFTAR PUSTAKA
Bachriadi, Dianto, Merana di Tengah Kelimpahan, Pelanggaran-pelanggaran HAM
pada Industri Pertambangan di Indonesia, ELSAM, Jakarta, 1998.
Barber, Charles V., The State, the Environment and Development: The Genesis
and Transformation of Social Forestry Policy in New Order Indonesia,
Disertasi Doktor University of California, tidak dipublikasikan.
Bodley, John, Victims of Progress, Mayfield Publishing Company, California, 1982.
Griffiths, John, What is Legal Pluralism, dalam Journal of Legal Pluralism and
Unofficial Law No. 24/1986, pp. 1-56.
Lynch, Owen J. and Kirk Talbott, Balancing Act, Community-Based Forest
Management and National Law in Asia and The Pacific, World Resources
Institute, USA, 1995.
Nurjaya, I Nyoman (Ed), Politik Hukum Pengusahaan Hutan di Indonesia,
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta, 1993.
Nurjaya, I Nyoman, Hukum Orang Rimbo Versus Hukum Negara : Kasus
Tetumbang di Kawasan Hutan Bukit Dua Belas, Jambi, dalam E.K.M.
Masinambow (Ed), Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 208-226.
Nurjaya, I Nyoman, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi
Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008.
Nurjaya, I Nyoman, Reorientasi Tujuan dan Peran Hukum dalam Masyarakat
Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum, Pidato Pengukuhan Guru
Besar di bidang Antropologi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, 2008.
Peluso, Nancy Lee, Rich Forest, Poor People, Resource Control and Resistance in
Java, University of California Press, Berkeley, USA.
Poffenberger, Mark, Keepers of The Forest, Land Management Alternatives in
Southeast Asia, Ateneo de Manila University Press, The Philippines, 1990.
Reppeto, Robert and Malcolm Gillis, Public Policies and the Misuse of Forest
Resources, Cambridge University Press, New York, 1988.
Wagiman, Wahyu dan Widiyanto (Eds), Undang-Undang Perkebunan, Wajah Bau

Agrarische Wet: Dasar dan Alasan Pembatalan Pasal-pasal Kriminalisasi


oleh Mahkamah Konstitusi, Elsam Sawit Watch Pilnet, Jakarta, 2012.

I Ketut Merta. Pemberdayaan 22


Pemberdayaan Desa Pakraman Dalam Penanggulangan Bencana Banjir
di Kota Denpasar Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum
I Ketut Mertha 1

Abstract
Flooding is one of major problems in many big cities, in addition to traffic
congestion and over population issues. It could cause quite a serious impact, not
only leading to the loss of properties, damage to peoples housing and public
facilities, problems of health and environment, non-material losses, and even
threaten the safety of human life. Considering those negative impacts of floods,
mitigation could not be done by the government alone, but requires a holistic
response, with the involvement of institutions/agencies, private sectors, including
rural communities in Bali, which is known as Desa Pekraman. There are
theoretical, juridical and sociological reasons on the importance of empowering
Desa Pakraman, due its strong and strategic position in Balinese structural
society. Empirical fact indicated that empowerment of Desa Pakraman in
supporting the implementation of the government programs are not a new issue,
but it has a long history of synergies and integration through the implementation
of development programs. Empowerment of Desa Pakraman has proved to gain
positive effects, as it allow flood disaster management become closer, faster, and
more precisely match to needs and expectations of society. Therefore, it is
essential to transform Desa Pakraman involvement into a flood disaster
management in a more complex nature.
Keywords:

Flood, Holistic Responses, Empowerment Of Desa Pakraman


Abstrak

Banjir merupakan salah satu masalah utama di banyak kota-kota besar, di


samping isu kepadatan lalu lintas dan kelebihan penduduk. Hal ini bisa memberi
dampak yang sangat serius, tidak hanya menyebabkan kehilangan harta benda,
kerusakan pada perumahan penduduk dan fasilitas umum, masalah kesehatan
dan lingkungan, kehilangan non-material, dan bahkan mengancam keselamatan
kehidupan manusia. Mempertimbangkan dampak negatif dari banjir tersebut,
penanganan tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah sendiri, tetapi
membutuhkan respon yang holistik, dengan melibatkan institusi/badan, sektor
swasta, termasuk masyarakat pedesaan di Bali, yang dikenal dengan nama Desa
Pekraman. Terdapat alasan teoritis, hukum dan sosial tentang pentingnya
pemberdayaan Desa Pekraman, mengingat posisi kuat dan strategisnya dalam
struktur masyarakat Bali. Fakta-fakta empiris menunjukkan bahwa
pemberdayaan Desa Pekraman dalam menunjang implementasi program1
Guru Besar Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Jl. Pulau Bali No.1
Denpasar-Bali.

23. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 22-30


program pemerintah bukanlah merupakan isu yang baru, tetapi telah memiliki
sejarah sinergis yang panjang melalui implementasi program-program
pembangunan. Pemberdayaan Desa Pekraman telah terbukti mendatangkan efek
yang positif, karena menjadikan penanganan bencana lebih dekat, cepat dan
tepat sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Oleh karena itu sangat
penting untuk merubah keterlibatan Desa Pekraman ke dalam penanggulangan
bencana banjir dengan cara yang lebih komplek.
Kata Kunci : banjar, Respon holistik, Pemberdayaan Desa Pekraman
I.

PENDAHULUAN
Banjir, akhir-akhir ini telah menjadi salah satu masalah utama perkotaan,

termasuk di Kota Denpasar. Kota Denpasar berada di dataran rendah dengan


ketinggian berkisar antara 0-75 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan
0-5 persen, namun di bagian lain kemiringannya mencapai 15%2. Hal ini menjadi
salah satu daerah yang rentan akan terkena banjir, bila pemanfaatan ruangnya
tidak terkontrol dengan baik.3 Banjir menimbulkan dampak negatif terhadap
harta benda, pemukiman, fasilitas publik, kerusakan lingkungan, kesehatan
bahkan terhadap jiwa manusia. Oleh karena itu daya rusak akibat banjir harus
dikendalikan secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi dengan melibatkan
seluruh komponen masyarakat, termasuk Desa Pakraman.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir banjir melanda wilayah Kota
Denpasar, terparah terjadi pada 11 Januari 2009 yang menggenangi kawasan
Sidakarya,

pemukiman

Padangsambian,

Sanur,

Pura

Demak

merendam

sedikitnya 560 buah rumah, menimbulkan kerugian harta benda, kerusakan jalan
dan fasilitas publik.4
Upaya penanggulangan bencana banjir secara terencana, terkoordinasi dan
terpadu

telah

memiliki

dasar

hukum

yang

kuat

khususnya

tentang

penanggulangan bencana, yakni Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang


Penanggulangan Bencana yang meliputi tahap pra bencana, tahap tanggap

Data Selayang pandang Kota Denpasar, Tahun 2010

Kinog, I Ketut., 1988, Penelitian Masalah Banjir Kota Denpasar Utara. Dan lihat pula Tahun
1989, Penelitian Masalah Banjir Kota Denpasar Selatan.
4

Tempo Interaktif, Minggu 15 Januari 2009

I Ketut Merta. Pemberdayaan 24


darurat, dan pasca bencana.. Undang-Undang No.24 Tahun 2007 disertai pula
dengan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2008 tanggal 28 Februari 2008
tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.. Pasal 87 ayat (1) P.P. No
21 Tahun 2008 menegaskan pentingnya partisipasi dan peran serta lembaga dan
organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat dalam rangka
membantu penataan daerah rawan bencana ke arah lebih baik. Pada
Pemerintahan Kota Denpasar telah pula membentuk Badan Pelaksanan
Penanggulangan Bencana Daerah Kota Denpasar sebagaimana diatur dalam
Peraturan Daerah No.8 Tahun 2008, tanggal 24 Desember 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota Denpasar yang dalam
lampiran VIII Peerda tersebut mengatur tentang Badan penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kota Denpasar. Adanya landasan hukum yang kuat
tersebut tidak serta merta penanggulangan bencana banjir diikuti dengan
partisipasi optimal desa pakraman dalam penanggulangan bencana banjir
disebabkan oleh beberapa faktor, baik karena faktor perundang-undangan,
pengambil kebijakan, sarana prasarana, ketersediaan sumber daya dan
kesadaran hukum masyarakat.
Pada titik inilah kajian dan pembahasan tentang pemberdayaan desa
pakraman dalam penanggulangan bencana banjir menjadi penting untuk
dilakukan.
Bertolak

dari

latar

belakang

tersebut

diatas,

dapat

dirumuskan

permasalahannya sebagai berikut:


1. Faktor apakah yang mendasari pentingnya pemberdayaan desa
pakraman dalam penanggulangan bencana banjir di Kota Denpasar.
2. Pada tahap apa sajakah desa pakraman itu diberdayakan dalam
penanggulangan bencana banjir di Kota Denpasar.
II.

FAKTOR-FAKTOR

YANG

MENDASARI

PENTINGNYA

PEMBERDAYAAN DESA PAKRAMAN DALAM MENANGGULANGI


BANJIR DI KOTA DENPASAR
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan
kondisi alam yang memiliki berbagai keunggulan, namun di pihak lain posisinya

25. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 22-30


berada dalam wilayah yang memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan
demografis yang rawan terhadap terjadinya bencana dengan frekwensi yang
cukup tinggi, sehingga memerlukan penanganan yang sistematis, terpadu, dan
terkoordinasi dengan baik.
Potensi penyebab bencana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana
non alam, dan bencana sosial. Dalam kaitan dengan judul tulisan ini tidak
dimaksudkan untuk membahsa semua jenis bencana, namun terfokus pada
bencana alam saja. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana menentukan bahwa yang dimaksud dengan bencana
alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Pengaturan secara normatif membawa konsekuensi logis pada tatanan
implementasi, bahwa penanggulangan bencana harus dipandang sebagai salah
satu

bagian

dari

pembangunan

nasional

yaitu

serangkaian

kegiatan

penanggulangan bencana khususnya banjir sebelum, pada saat maupun sesudah


terjadinya bencana.
Dalam penjelasan Undang-Undang No.24 tahun 2007 dinyatakan bahwa
selama

ini

dirasakan

adanya

kelemahan

baik

dalam

pelaksanaan

penanggulangan bencana maupun yang terkait dengan landasan hukumnya,


karena belum ada undang-undang yang secara khusus menangani bencana.
Kelemahan dalam pelaksanaan penanggulangan bencana tersebut dapat
dipahami dalam arti bahwa penanggulangan bencana banjir tidak dapat
ditanggulangi sendiri oleh pemerintah saja, tanpa dukungan dan partisipasi
seluruh komponen masyarakat termasuk desa pakraman.
Dalam kaitan tugas pemerintahan, Ryaas Rasyid mengemukakan 3(tiga)
tugas

pokok

pemerintahan,

(empowering), dan

yakni

pelayanan

(serving),

pemberdayaan

pembangunan (developing), dimana pelayanan

akan

menumbuhkan rasa keadilan, pemberdayaan akan mendorong kemandirian dan


pembangunan menumbuhkan kemakmuran. Pemahaman dan pelaksanaan
ketiga tugas pokok pemerintahan tersebut dengan sungguh-sungguh oleh

I Ketut Merta. Pemberdayaan 26


pemerintah

akan

menumbuhkan

kepercayaan

dari

masyarakat sehingga

pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan dapat ditingkatkan secara


optimal. 5
Selain landasan teoritis, terdapat pula landasan yuridis, dan sosiologis
pentingnya pemberdayaan Desa Pakraman. Adapun landasan yuridis meliputi
Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah sebagaimana telah
diubah berdasarkan Undnag-Undnag no.5 Tahun 2004 dan Undang-Undang
No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Hakekat
dari undang-undang tersebut adalah mengubah paradigm pertumbuhan untuk
selanjutnya menerapkan paradigma baru, yakni pemberdayaan.6
Pada tataran daerah telah ditetapkan Peraturan Daerah No.3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman sebagaimana telah diubah berdasarkan Peraturan
Daerah Provinsi Bali No.3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman. Dalam Bab III
Pasal 5 ayat (d) Perda Provinsi Bali

dinyatakan tugas Desa Pakraman, yakni

bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang


terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan.
Pasal 6 ayat (b) menentukan: turut serta menentukan setiap keputusan
dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang
berkaitan dengan Tri Hita Karana.
Bertolak dari landasan yuridis tersebut di atas eksistensi desa pakraman
semakin kuat dalam bersinergi dengan pemerintah melaksanakan tugas
pembangunan di segala bidang termasuk penanggulangan bencana banjir, diluar
tugasnya dalam bidang agama, adat dan budaya.
Secara sosiologis, partisipasi Desa pakraman dalam program pembangunan
yang dilaksanakan oleh pemerintah bukan sesuatu yang baru, namun telah
berlangsung sejak lama. Kenyataan empirik menunjukkan Desa Pakraman
berperan penting dalam menyukseskan program Keluarga Berencana Nasional
dengan sistem Banjar. Dukungan dan partisipasi Desa Pakraman juga pernah
dilakukan dalam upaya menyukseskan program intensifikasi dan ekstensifikasi

Riyas Rassid, 1999, Pembangunan Pemerintah Indonesia Memasuki Abad 21, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Pemerintahan, Jakarta.
6

Ibid.

27. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 22-30


pertanian

menuju program swasembada beras di era Orde Baru. Dilihat dari

struktur organisasi yang ada, Banjar merupakan sub sitem dari Desa Pakraman,
dan struktur organisasi terkecil dibawah Banjar disebut Tempek. Lembagalembaga dalam struktur organisasi Desa Pakraman itu memiliki otonomi dalam
mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan aturan tertulis yang disebut
Awig-Awig. Tujuannya adalah terwujudnya kesejahteraan lahir bathin warga
Desa Pakraman (Moksartham Jagadhitaya Ca Iti Dharma). Dengan dasar dan
tujuan Desa Pakraman seperti itu, maka sepanjang program pembangunan
bersifat pro rakyat yang menyentuh kepentingan dan kesejahteraan

warga

masyarakat lahir batin, akan memperoleh dukungan dan partisipasi Desa


Pakraman.
Kenyataan empirik keterlibatan Desa Pakraman dalam menyukseskan
program pembangunan ditransformasikan secara nyata dalam penanggulangan
bencana banjir di Kota Denpasar. Dengan demikian penanggulangan bencana
banjir dapat dilakukan secepat, sedekat, dan setepat harapan masyarakat melalui
sinergi dan integrasi program antara Pemerintah Kota dengan Desa Pakraman.
III. TAHAPAN

PEMBERDAYAAN

DESA

PAKRAMAN

DALAM

MENANGGULANGI BANJIR DI KOTA DENPASAR


Di muka telah diuraikan, bahwa Undang-Undang No.24 Tahun 2007
dimaksudkan untuk memberi landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan
penanggulangan bencana baik bencana tingkat kabupaten/kota, provinswi,
maupun tingkat nasional. Selain itu dimaksudkan memeberikan keseimbangan
perhatian dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dari semula yang
cenderung pada pertolongan dan pemberian bantuan, kepada upaya-upaya
penanganan sebelum terjadi bencana.
Berkaitan dengan hal itu, pada tahapan apa saja pemberdayaan desa
pakraman) itu dilaksanakan menjadi penting untuk dikaji.
P.P. No.21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
telah mengatur tentang pemberdayaan masyarakat, pada semua tahapan baik
tahap prabencana, tanggap darurat, maupun tahap pasca bencana.
Pada tahap prabencana, pasal 9 ayat (3) menentukan: kegiataan
pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi tanggung jawab
Pemerintah, Pemerintah daerah, dan masyarakat.

I Ketut Merta. Pemberdayaan 28


Pada

tahap

keadaan

darurat

bencana,

Kepala

Badan

Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kepala Badan Penanggulangan Bencana


Daerah (BPBD) berwenang mengerahkan sumber daya manusia, peralatan dan
logistik dari instansi/lembaga dan masyarakat untuk melakukan tanggap darurat.
Pada tahap pasca bencana yang meliputi perbaikan lingkungan daerah
bencana disebutkan antara lain, harus berdasarkan aspirasi masyarakat daerah
rawan bencana ( Pasal 1 ayat (3))
Pada tahap rekonstruksi dilakukan melalui kegiatan partisipasi dan peran
serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat
(Pasal 75 ayat (1)e).
Berkaitan dengan pengertian partisipasi dibedakan ke dalam 2 (dua)
bagian, yaitu; (1) definisi partisipasi yang berlaku di kalangan aparat perencana
dan pelaksana pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara
mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya
oleh pemerintah, (2) partisipasi adalah kerjasama antara rakyat dengan
pemerintah

dalam

merencanakan,

melaksanakan,

melestarikan

dan

mengembangkan hasil pembangunan.7


Bertolak dari landasan teori tersebut di atas, partisipasi nyata sebagai
bentuk pemberdayaan masyarakat khususnya pada tahapan darurat bencana
belum optimal. Hal ini disebabkan karena lebih menonjolkan mobilisasi
dibandingkan partisipasi yakni adanya ketentuan yang mengatur kewenangan
Badan Daerah Penanggulangan Bencana untuk mengerahkan sumber daya
manusia atau mobilisasi dibandingkan partisipasi masyarakat. Sedangkan pada
tahapan pra bencana, dan pasca bencana, partisipsi masyarakat telah diatur
secara eksplisit dalam bentuk tanggung jawab bersama antara pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat. Dengan demikian tidak digunakan konsep
hierarki antara pemerintah dengan masyarakat, tetapi lebih menekankan pada
penerapan konsep bottom up and top-down.
Agar penanggulangan bencana banjir dapat dilakukan sedini mungkin serta
menekan dampaknya seminimal mungkin, sangat dibutuhkan pelaksanaan dan
penegakan
7

h.12.

tata

ruang

secara

konsekuen,

perencanaan

partisipatif

Lukman Sutrisno, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,

29. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 22-30


penanggulangan bencana, analisis kemungkinan dampak bencana, peningkatan
kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan dan pendidikan, penerapan
upaya fisik dan non fisik dalam penanggulangan bencana, dan pengembangan
budaya sadar bencana. Merupakan kenyataan empirik pula, masih ada sebagian
kalangan masyarakat yang skeptik tentang budaya sadar bencana ini,dengan
melanjutkan kebiasaan membuang sampah sembarangan ke selokan, sungai
yang potensial menimbulkan bencana banjir. Sudah tentu sosialisasi tentang
sadar

bencana ini

patut

dioptimalkan

secara

terencana,

terpadu,

dan

terkoordinasi secara baik.


IV.

PENUTUP

4.1 Simpulan
Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
4.1.1 Terdapat beberapa alasan pentingnya pemberdayaan Desa Pakraman
dalam penanggulangan bencana banjir, meliputi alasan teoritis, yuridis
dan sosiologis. Alasan teoritis berkaitan dengan tugas pemerintahan,
yaitu

pelayanan

(serving),

pemberdayaan

(empowering),

dan

pembangunan (developing). Selain alasan teoritis, terdapat pula alasan


yuridis, yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah, Undang-Undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Pusat dan Daerah. Termasuk pula Peraturan Daerah Propinsi Bali No.1
Tahun 2001 sebagaimana diubah berdasarkan Peraturan daerah
Provinsi

Bali

menyangkut

No.1

Tahun

tentang

2003.

Sedangkan

pemberdayaan

Desa

alasan

sosiologis

Pakraman

dalam

pembangunan pada umunya di luar tugasnya di bidang agama, adat,


budaya.
4.1.2 Pemberdayaan Desa Pakraman dalam tahapan penanggulangan
bencana terdapat pada tahap pra bencana, dan pasca bencana.
Sedangkan pada tahap tanggap darurat lebih bersifat pengerahan
sumber daya atau mobilisasi dibanding partisipasi.

I Ketut Merta. Pemberdayaan 30


4.2 Saran
4.2.1 Mengingat telah adanya dasar hukum yang kuat dalam upaya
pemberdayaan Desa Pakraman, maka pengaturan secara eksplisit
tentang

mekanisme

penanggulangan

pemberdayaan

bencana

banjir,

Desa

hak-hak

Pakraman
dan

dalam

kewajibannya,

peningkatan pelatihan dan pendidikan sumber daya manusia menjadi


penting untuk segera dilakukan secara terencana dan berkelanjutan,
termasuk pula pengembangan budaya sadar bencana.
4.2.2 Mengingat bahwa penanggulangan bencana banjir tidak mungkin
dilakukan sendiri oleh pemerintah, maka menjadi kebutuhan dan
sekaligus keharusan untuk mengoptimalkan pemberdayaan Desa
Pakraman, namun tidak dalam hubungan hierarkis, tetapi dalam
bentuk integrasi dan sinergitas program-program pemerintah dengan
Desa Pakraman, sehingga aspirasi masyarakat dapat disalurkan secara
proporsional.
DAFTAR PUSTAKA
Kinog, I Ketut , 1988, Penelitian Masalah Banjir Kota Denpasar Utara
------------------- 1989, Penelitian Masalah Banjir Kota Denpasar Selatan
Rassid, Riyas, 1995, Pembangunan Pemerintahan Indonesia Memasuki Abad 21,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Pemerintahan, Jakarta
Sutrisno, Lukman, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Penerbit: Kanisius,
Yogyakarta

PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2007 tentang Pananggulangan
Bencana
Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia No. 21 tahun


Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

2008 tentang

Peraturan Daerah Provinsi Bali No.3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.
Data Mini Selayang Pandang Kota Denpasar, 2010

31. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 31-44


Kontribusi Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional
Di Tengah Dinamika Perubahan Sosial
I Putu Gelgel1

Abstract
Openness leads to socio-cultural dynamics in Indonesian society. The
cultural dynamics of social life should be followed by changes in the legal field.
Development of national laws should be adapted to the dynamics of social and
cultural life of their communities. Is Customary Law can contribute to the
development of national law in the dynamics of social change? The issue is that
I want to write in this journal. Philosophically norms of legal liability there are
similarities between the Indigenous values aspired to by the National Law based
on Pancasila, namely the realization of the value of justice, expediency, the
livelihoods, and the happiness of the Indonesian nation. Through Customary Law
that will contribute to the development of the National Law in the pace of socialcultural dynamics of life.
Keywords: Customary Law, National Law Development
Abstrak
Keterbukaan menyebabkan terjadinya dinamika sosial budaya dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Dinamika kehidupan sosial budaya ini
sepatutnya diikuti dengan perubahan-perubahan dalam bidang hukum.
Pembangunan hukum nasional hendaknya disesuaikan dengan dinamika
kehidupan sosial budaya
masyarakatnya.
Apakah Hukum Adat dapat
memberikan kontribusi dalam pembangunan Hukum Nasional di tengah
dinamikan perubahan sosial? Persoalan inilah yang hendak saya tulis dalam
jurnal ini. Secara filosofis norma pertanggungjawaban hukum terdapat kesamaan
antara Hukum Adat dengan nilai nilai yang dicita-citakan oleh Hukum Nasional
yang berlandaskan Pancasila yaitu terwujudnya nilai keadilan, kemanfaatan,
kesejahtraan, dan kebahagian bangsa Indonesia. Melalui itulah Hukum Adat
akan memberikan kontribusi bagi pembangunan Hukum Nasional di tengah
lajunya dinamika kehidupan sosial budaya.
Kata kunci: Hukum Adat, Pembangunan Hukum Nasional
I. PENDAHULUAN
Di era keterbukaan dewasa ini, bangsa Indonesia telah mengadakan
hubungan dengan berbagai bangsa di belahan dunia. Hubungan yang terjadi
1
Guru Besar Sosiologi Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Agama Fakultas Ilmu
Agama, Universitas Hindu Indonesia Denpasar, Jl. Sulatri, Tembau Denpasar.

I Putu Gelgel. Kontribusi 32


telah merasuk ke dalam berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi,
sosial,

dan

budaya.

Keterbukaan

ini

menyebabkan

terjadinya

dinamika

(perubahan) sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dinamika


kehidupan sosial budaya terutama disebabkan oleh pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perkembangan Iptek telah melanda berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Dinamika kehidupan sosial budaya ini sepatutnya diikuti
(diantisipasi) dengan perubahan-perubahan dalam bidang hukum. Pembangunan
hukum nasional hendaknya disesuaikan dengan dinamika kehidupan sosial
budaya masyarakatnya.
Akan tetapi kenyataan yang kita lihat bahwa pembangunan hukum
(substansi dan struktur hukum) di negeri kita masih berjalan tertatih-tatih
dibelakang dinamika kehidupan sosial dan budaya masyarakat.

Kemungkinan

kenyataan inilah yang merupakan salah satu sumber yang menjadikan carut
marutnya wajah hukum di Indonesia. Memang sangat sulit

bagaimana kita

dapat mengurai apa penyebabnya dari seluruh persoalan yang menimpa wajah
hukum kita, karena begitu akumulatif dan bervareasi membentuk jaringan
masalah

yang tak kunjung dapat dicari penyelesaiannya. Tetapi kondisi yang

terjadi ini tentu tidak dapat kita biarkan begitu saja, harus dicari jalan keluarnya.
Yang menjadi persoalan kini adalah kita harus menemukan penyebab terjadinya
keterpurukan pembangunan hukum di Indonesia, serta solusi apa yang perlu
dilakukan untuk mengatasinya? Apakah Hukum Adat dapat memberikan
kontribusi dalam mengatasi keterpurukan hukum tersebut? Persoalan inilah yang
hendak saya tulis sebagai rasa hormat dan penghargaan saya kepada Prof. Dr.
Sri Redjeki Hartono, SH. Menjelang purna tugas beliau sebagai Guru Besar di
Universitas Diponegoro Semarang.
II. REALITA PENEGAKAN HUKUM DI TENGAH DINAMIKA PERUBAHAN
SOSIAL
Ditengah dinamika perubahan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat
Indonesia, secara umum hukum

(terutama penegakan hukumnya) dirasakan

masih jauh dari ideal. Wacana ini sudah menjadi rahasia umum, hampir
sepanjang hari panggung hukum

Indonesia terus

dikritik sebagai hukum

terburuk di dunia, membingungkan, menjengkelkan, tidak dapat dipercaya dan

33. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 31-44


seterusnya. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas kasus Gayus hampir
semua opini masyarakat menyuarakan kesenadaan reaksi yaitu; kegetiran,
kekecewaan, keputusasaan, ketidakberdayaan, dan kemarahan. Hal ini bisa
terjadi karena dalam dinamika pembangunan hukum tidak dapat terlepas dari
kepentingan politik. Cukup banyak kita lihat dalam proses hukum tidak terlepas
dari pengaruh politik. Misalnya

kasus Bank Century, kasus Gayus sangat

dipengaruhi oleh konstelasi politik di negeri ini. Lembaga peradilan yang


seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum dan menciptakan
keadilan tanpa pandang bulu, ternyata hanya melayani segelintir orang yang
dianggap dekat dengan kekuasaan. Oleh karena itu wajar apabila publik
berpendapat bahwa hukum kita telah tidak berdaya, hukum digunakan

tidak

lebih sebagai alat pemanis belaka. Banyak komentar dan istilah yang diberikan
atas realita hukum di Indonesia antara lain ada yang mengatakan bahwa; Hukum
yang Abracadabra, secara bertahap dan terstruktur keadaan penegakan hukum
sangat amburadul, etika hukum mulai luntur, profesionalisme

hukum mulai

ditanggalkan dan ditinggalkan, Produk hukum kita tidak berbobot, kurang cepat
bergerak,

integritas personolnya bermental bobrok dan koruptif, turut

berbelasungkawa atas boroknya hukum di Indonesia, jangan percaya hukum,


dunia peradilan telah iiamat, dan masih banyak komentar lainya.
Dari segi etika dan moral, kita dapat menilai kondisi Indonesia sekarang
ini sangat menyedihkan dengan melihat maraknya praktek KKN (korupsi, Kolusi
dan nepotisme). Korupsi masih menjadi kejahatan yang luar biasa dinegri ini.
Meskipun Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengamanatkan agar
penyelenggaraan lebih gencar dalam membrantas korupsi, namun praktekpraktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidaklah menjadi surut, malahan semakin
meraja lela dan menggurita. Kunto Wibisono mengatakan bahwa terjadinya
kerancuan visi dan misi hukum kita yang diikuti dengan perbedaan, bahkan
pertentangan dalam strategi penyelesaian suatu masalah justru menimbulkan
hal-hal yang kontra produktif. Hukum bukan lagi dijadikan sarana
membedakan

untuk

atau menegakkan kebenaran dan keadilan, melainkan hukum

sudah dijadikan komuditi untuk dipertukarkan sebagai alat pembayaran untuk


membeli hal-hal yang justru untuk menentang kebenaran dan keadilan.

I Putu Gelgel. Kontribusi 34


Jika praktek-praktek KKN ini tidak bisa dikurangi dan diberantas, maka
tidak mustahil

keadaan ekonomi

bangsa ini

akan semakin terpuruk.

Keterpurukan ekonomi akan dapat memunculkan sikap apatis masyarakat yang


pada gilirannya
penghasdilan
mengakibatkan

menumbuhkan mental

menerabas

guna mendapatkan

secara cepat dan instan. KKN (terutama korupsi) bukan saja


keterpurukan ekonomi, tetapi mental dan kepribadian bangsa

juga ikut terpuruk.

III. KEGAGALAN DOKTRIN POSITIVISME DALAM PENEGAKAN HUKUM


DI TENGAH DINAMIKA PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA
Tokoh terkemuka yang memberikan penekanan pundamental dari doktrin
positivisme adalah John Austin dan Hans Kelsen. 2 Prinsip-prinsip dasar dari
doktrin positivisme adalah:
1. Suatu tata hukum negara berlaku

bukan karena mempunyai dasar dalam

kehidupan sosial, bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa, dan juga
bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapat bentuk
positifnya dari institusi yang berwenang.
2. Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya, bentuk
hukum formal harus dipisahkan dari bentuk hukum material.
3. Isi hukum diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak
kebenaran ilmiah ilmu hukum.
Kelsen menekankan bahwa hukum yang murni harus dibersihkan dari
anasir-anasir yang bukan hukum seperti politik, etika, sosiologi, sejarah, dan
sebagainya. Tugasnya ialah untuk mengetahui semua yang esensial dan perlu
untuk hukum dan oleh karena itu bebas dari segala sesuatu yang berubah dan
kebetulan.3 Hukum termasuk dalam hukum sebagai keharusan ( sollens katagori )
bukan hukum sebagai kenyataan (Seins katagori). Orang mentaati hukum karena
karena memang mereka harus mentaati hukum sebagai perintah negara.
2

Lili Rasjidi & B. Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja
Karya, Bandung, h.119
3
W. Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan,
Susunan II, Terjemahan M.Arifin, Rajawali, Jakarta, h.169.

35. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 31-44


Di tengah dinamika sosial budaya masyarakat Indonesia dewasa ini,
implemantasi doktrin positivisme yang mengatakan bahwa hukum itu obyektif,
hukum itu sudah tertentu dan hukum itu netral perlu dipertanyakan. Sebab
prakteknya, hukum nyatanya tidak obyektif, tidak tertentu, dan

sama sekali

tidak netral. Dalam kaitan ini Prof. Satjipto Raharjo mengatakan bahwa hukum
lebih berkualitas plus-minus, hukum atau peraturan hukum tidak mampu
menuntaskan

rancangan secara akurat

dan tuntas

dengan bekerja sendiri.

Hampir tidak ada bukti yang mendukung kemampuan hukum

yang absolut.

Lengsernya Presiden Soeharto yang dipaksa turun oleh mahasiswa pada tahun
1998, jika dilihat dari kacamata paradigma positivistis adalah tidak dapat diterima
karena

tanpa ada rujukan konstitusi, tidak ada satu pasalpun yang

membenarkan tindakan tersebut. Namun kenyataan secara empiris Soeharto


lengser dari singgasana kepresidenannya, dan Habibie menggantikannya sebagai
presiden.4 Saat Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) mengadakan kongres pada
tahun 1998 di Denpasar Bali, dapat berjalan dengan aman dan sukses adalah
berkat dilibatkannya para Pecalang dalam menjaga kongres tersebut. Demikian
pula dalam Pesta Kesenian Bali maupun dalam pengamanan sidang-sidang Bom
Bali para Pecalang sangat berperan dalam menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat.

Padahal

peraturan

mengatakan

yang

menmpunyai

tugas

pengamanan dalam menghimpun banyak orang adalah merupakan tugas polisi.


Dari kenyataan sosiologis di atas dapat dikatakan bahwa

tidak semua

persoalan bisa diserahkan pada hukum formal saja, hukum atau negara tidak
memegang monopoli. Secara empirik terbukti bahwa hukum yang terlalu
positivistik yang sangat formal-legalistik gagal untuk menghasilkan suatu
keadilan

yang substansial, melainkan hanya sekedar mampu menghasilkan

keadilan yang prosedural. Hukum nyatanya belum mampu mengantisipasi


dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat yang semakin terbuka. Oleh
karena itu sudah saatnya kita perlu mempertanyakan dan merubah paradigma
positivistik yang sangat kental sifat formal dan legalistiknya dengan paradigma
hukum yang lebih realistik yang sesuai dengan struktur sosial budaya bangsa
Indonesia seperti hukum adat (Hindu).

hl.67.

Satjipto Rahadjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Buku Kompas, Jakarta,

I Putu Gelgel. Kontribusi 36


IV.

KONTRIBUSI HUKUM ADAT (HINDU) DALAM KETERPURUKAN


HUKUM NEGARA
Dalam dinamikia kehidupan sosial budaya masyarakat dan dalam kondisi

keterpurukan

hukum

saat ini, seruan

dan tuntutan

rakyat

terhadap

pembangunan hukum sudah merupakan suatu keharusan. Karena produk hukum


maupun penegakannya sudah semakin menjauh dari nilai-nilai kearifan bangsa
kita. Akan tetapi, dalam menjalankan hukum dalam rangka menuju hukum yang
desiderata (dicita-citakan) haruslah ada titik beranjak yang dapat dijadikan
acuan. Karena dalam membangun dirinya manusia selalu menggunakan segala
kemampuannya

untuk memilah dan

memilih, mulai dari mana dan dengan

langkah apa dapat dilakukan. Manusia akan menetapkan landasan sebagai titik
awal pijakan

dari apa yang mereka anggap baik

dan benar dalam realitas

kehidupan, titik berangkat dari realita ( das sein) menuju ke desiderata ( das

sollen).
Di muka telah disinggung bahwa suasana silang sengkarut wajah hukum
kita dan keterpurukan hukum yang terjadi saat ini, kita pakai sebagai titik awal
keberangkatan kita dalam menata, memperbaiki,

dan membangun kembali

puing-puing bangunan hukum yang telah hancur. Dari titik inilah kita bangun,
kita susun

asumsi-asumsi, menelaah kembali serta menyusun

prioritas

kebutuhan yang diperlukan untuk kepentingan pembangunan hukum kita di


masa depan. Sehingga dengan jelas dapat ditentukan misi apa yang hendak
dilakukan

dalam pembangunan

hukum ke depan, hukum seperti apa yang

didambakan (visi) sehingga hasil yang dicapai

sesuai dengan tujuan, yaitu

hukum hendaknya membuat kita bahagia. Tujuan akhir bernegara hukum adalah
untuk menjadikan kehidupan rakyat dan bangsa ini

mendapatkan keadilan,

kesejahteraan dan kebahagiaan.


Oleh karena itu, pembangunan hukum harus merupakan kebijakan
disusun berdasarkan

yang

kebutuhan masyarakat itu sendiri disusun berdasarkan

dinamika sosial budaya masyarakat. Tatanan hukum yang beroprasi dalam


masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawatahan cita - hukum

yang

dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam prangkat berbagai aturan


hukum positif, lembaga hukum dan prilaku birokrasi pemerintahan dan warga

37. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 31-44


masyarakat. Kebutuhan itu bukan kebutuhan sesaat

tetapi total, menyeluruh

dan sistemik. Oleh karena itu kebijakan pembangunan hukum harus merupakan
skema kebijakan

yang di dalamnya melibatkan partisipasi masyarakat, dari

berbagai kelompok dan golongan.


L.M. Friedman mengatakan bahwa

berfungsi atau tidaknya hukum

dalam menata pembangunan adalah sangat ditentukan oleh tiga komponen


sistem hukum yaitu: materi peraturan perundang-undangan (substansi hukum),
penegakan hukum (struktur hukum), dan juga kesadaran hukum (budaya
hukum). Sebagai sebuah sistem, hukum harus dicermati dalam perspektif
totalitas yang di antara bagian-bagian sistemnya itu merupakan suatu kesatuan
pola yang saling melingkupi. Ketiga komponen dalam sistem hukum itu pada
dasarnya saling menentukan dan saling berpengaruh satu sama lainnya.
Substansi hukum terdiri dari hukum primer dan hukum sekunder. Hukum
primer adalah hukum tentang tingkah laku. Sedangkan hukum sekunder adalah
hukum tentang bagaimana memberlakukan dan memaksakan hukum primer itu.
Struktur hukum merupakan suatu landasan dan merupakan unsur nyata dari
suatu sistem hukum. Struktur dapat juga dikatakan sebagai kerangka yang
permanen

atau kerangka yang melembaga dari sistem hukum. Sedangkan

budaya hukum, dapat berupa kebiasaan-kebiasaan, pandangan, cara berpikir dan


bertingkah laku yang semuanya itu dapat membentuk kekuatan-kekuatan sosial
yang bergerak dengan cara tersendiri mendekati (mentaati) hukum atau
sebaliknya bergerak menjauhi (melanggar) hukum.5
Terkait dengan persoalan fungsi hukum ini, Tallcott Parsons dengan
teori Struktural Fungsionalnya mengatakan bahwa, struktur normatif (nilai,
norma, kolektivitas, dan peran) sangat erat hubungannya dengan sub-sistem
fungsional yang lain (pola, komunitas masyarakat, politik/kenegaraan dan
ekonomi). Nilai berkaitan dengan pemeliharaan pola, norma diidentifisir sebagai
komponen struktural komunitas kemasyarakatan, kolektivitas berkaitan dengan
politik/kenegaraan, dan peran merupakan unsur yang berkaitan dengan

5
W. Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan Problema keadilan,
susunan II, Terjemahan M. Arifin, Rajawali, Jakarta, h.14.

I Putu Gelgel. Kontribusi 38


ekonomi.6 Menurutnya setiap sistem sosial mempunyai empat fungsi memaksa.
Artinya setiap sistem harus menghadapi dan harus berhasil menyelesaikan
masalah-masalah: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan
pola/nilai. Adaptasi adalah fungsi prilaku organisme, pencapaian tujuan adalah
fungsi kepribadian, integrasi adalah fungsi sistem sosial, dan pemeliharaan pola
adalah fungsi kultural. Pada tingkat sistem sosial, fungsi adaptasi berhubungan
dengan ekonomi, pencapaian tujuan berhubungan dengan pemerintahan/politik,
integrasi berhubungan dengan hukum, dan pemeliharaan berpola berhubungan
dengan keluarga. Artinya
kebutuhan dan lingkungan

fungsi adaptasi menimbulkan tanggapan terhadap


untuk mencapai suatu tujuan, integrasi sangat

penting dalam mengatur hubungan antar subsistem dalam ikatan kerja sama
dan solidaritas untuk mencapai tujuan, dengan dituntun oleh pola nilai yang ada
dalam sistem itu. Artinya hukum dalam menjalankan fungsinya, dipengaruhi pula
oleh berbagai bidang kehidupan yang lain, seperti politik, ekonomi, dan budaya.
Ekonomi berhubungan dengan adaptasi, politik berhubungan dengan pencapaian
tujuan, dan budaya memberikan masukan tentang nilai-nilai yang merupakan
landasan dan penuntun dalam menjalankan fungsi tersebut.
Pendapat lain tentang berfungsinya hukum secara efektif, Eugen Ehrlich
pemuka dari aliran Sosiological Jurisprodence, mengatakan bahwa: Titik berat
perkembangan hukum tidak terletak dalam perundang-undangan juga tidak
dalam keputusan pengadilan maupun dalam ilmu pengetahuan di bidang hukum,
tetapi dalam masyarakat. Sebenaranya peraturan yang diikuti dalam kehidupan
masyarakat adalah living law yang riil, hukum mempunyai cakupan yang jauh
lebih luas

dari pada norma-norma yang dibuat dan diterapkan oleh institusi

pemerintah.7 Artinya hukum itu akan efektif jika hukum itu mencerminkan nilainilai yang hidup dalam masyarakat. Lebih jauh Ehrlich menekankan bahwa
hukum yang hidup, yaitu hukum yang nyata hidup dalam masyarakat, terus
berevolusi, selalu melebihi hukum negara yang kaku dan tidak bergerak. Jadi

Parson dalam Roger Cotterrell, 1998, The Sociology of Law: An Introduction, Butterworths,
London, page. 87-88.
7
Ehrlich W. Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan Problema
keadilan, susunan II, Terjemahan M. Arifin, Rajawali, Jakarta, h.104.

39. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 31-44


pesan Ehrlich adalah, hukum negara hendaknya sesuai atau harmoni dengan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Jangan sampai pembuat undangundang menciptakan undang-undang yang bertentangan dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat.
Barda Namawi Arief mengatakan pula bahwa: kajian terhadap sistem
hukum yang hidup dalam masyarakat adalah sangat mendesak dilakukan dalam
pembaharuan hukum nasional dewasa ini. Karena sistem hukum nasional di
samping hendak dapat menunjang pembangunan nasional dan kebutuhan
pergaulan internasional, namun juga harus bersumber dan tidak mengabaikan
nilai-nilai dan aspirasi hukum yang hidup dan berkembang dalam dalam
masyarakat. Dalam melakukan kajian terhadap nilai-nilai dan aspirasi yang hidup
dalam masyarakat, diperlukan kajian antropologis, sosiologis dan filosofis.
Dengan kajian tersebut, diharapkan ditemukan mutiara-mutiaran yang hilang dari
kearifan budaya tradisional yang masih hidup dalam masyarakat.8
Berangkat dari kerangka berpikir teoritis di atas,

agar hukum

dapat

berfungsi dan ditaati oleh masyarakat, hendaknya ketiga komponen sistem


hukum baik substansi, struktur, dan budaya hukum hendaknya dibangun
harmoni dengan hukum

yang hidup dan berkembang dalam mayarakat

Indonesia (baca Hukum Adat). Hukum

akan dapat berfungsi dan berhasil,

apabila ketentuan-ketentuan hukum itu dapat mengakomudasi

nilai-nilai dan

norma-norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sehingga


masyarakat merasa tergugah dan merasa memiliki kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya untuk berperan dalam pembangunan di daerahnya. Hukum Adat
secara

aktual

masih

dihayati

dan

diimplementasikan

dalam

kehidupan

masyarakat di seluruh nusantara seperti kehidupan dalam masyarakat Dayak,


Jawa, Bali, Batak, Sumatra Barat, lampung, Toraja, Ambon, dan masyarakat
lainnya.
Kenyataan empiris menunjukkan bahwa norma-norma hukum adat dalam
kehidupan masyarakat di seluruh bumi nusantara ini memiliki potensi yang
sangat besar dalam pembangunan hukum nasional, baik dalam pembangunan

8
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan
Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 117.

I Putu Gelgel. Kontribusi 40


substansi hukum, struktur hukum, maupun budaya hukum. Potensi hukum adat
tersebut, kerap melebihi peran dan kemampuan hukum formal/pemerintah.
Dalam penyelesaian sengketa, masyarakat adat di bumi nusantara ini
memiliki potensi kearifan lokal yang patut direvitalisasi. Masyarakat Bali misalnya,
sebagaimana halnya dengan masyarakat lain di Indonesia ( Dayak Kaharingan,
Tengger, Batak, Jawa)

menyukai

sikap hidup harmonis, rukun dan damai.

Setiap individu harus berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga harmoni


dan menghindari konflik. Penyelesaian konflik dengan menggunakan mekanisme
peradilan formal, bukan merupakan mekanisme penyelesaian sengketa yang
terbaik. Keterbatasan lembaga peradilan dalam merespon aspirasi masyarakat
dan hanya menekankan pada prosedur hanya menyelesaikan konflik secara semu
belum dapat menyelesaiakan sengketa yang sesungguhnya. Penyelesaian
sengketa yang terbaik adalah manakala sengketa yang terjadi

diselesaikan

diantara mereka yang berselisih saja secara damai dan kekeluargaan yang
difasilitasi oleh pemuka adat. Penyelesaian secara damai dan kekeluargaan ini
lazimnya berintikan permohonan maaf dari yang melakukan kesalahan kepada
pihak lain yang dirugikan.
Agar hukum adat dapat memberi kontribusi dalam pembangunan hukum
nasional di tengah dinamika sosial budaya saat ini, maka langkah-langkah
kebijakan dalam pembangunan hukum nasional perlu dirancang dengan cara:
1. Reinterpretasi fungsi dan makna Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum
Nasional.
Hukum Adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia,
perlu ditafsirkan kembali fungsi dan maknanya dalam pembangunan hukum
nasional. Karena senyatanya dalam kehidupan masyarakat hukum adat masih
memiliki kearifan dalam menegakan aturan-aturan yang berlaku dalam menata
kehidupannya secara adil dan bernurani. Penegakan hukum dalam kehidupan
masyarakat adat dilakukan dengan cara-cara yang arif dan bijaksana, jauh dari
sikap-sikap ketidak jujuran, ketidak adilan, arogansi, dan kekerasan. Sehingga
sikap para penegak hukum dalam masyarakat adat senantiasa menjadi panutan
dan disegani olah masyarakatnya. Melalui penafsiran kembali fungsi dan makna
Hukum Adat

akan dapat ditemukan nilai-nilai kearifan yang patut diangkat

dalam pembangunan hukum nasional ditengah perubahan sosial yang terjadi.

41. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 31-44


2. Transformasi Hukum Adat ke dalam Peraturan Perungang-undangan.
Tranformasi potensi yang dimiliki Hukum Adat penting dilakukan, karena
norma-norma Hukum Adat seperti yang tertuang dalam Awig-awig (Bali), dalam

Kitab Panuturan (Dayak) ternyata sangat efektif dan fungsional dalam menjaga
ketentraman dan kedamaian kehidupan masyarakatnya karena sangat dipatuhi,
terkadang melebihi kepatuhannya

terhadap hukum nasional. Efektivitas dan

fungsional ini dapat dilaksanakan karena dalam norma-norma Hukum Adat


senantiasa

mengedepankan

keadilan,

keharmonisan,

dan

ketentraman,

disamping memberi peran dan kesempatan kepada warga masyarakat dalam


proses pembangunan substansi hukumnya. Dalam aturan aturan hukum (awig

awig) masyarakat adat di Bali misalnya,

diatur tentang tiga aspek yaitu: 1)

Sukerta Tata Parhyangan (keharmonisan, kedamaian, keadilan dalam menata


kehidupan beragama), 2) Sukerta Tata Pawongan (keharmonisan, kedamaian,
keadilan dalam menata hubungan antara sesama warga masyarakat adat), 3)

Sukerta Tata Palemahan (keharmonisan, kedamaian, keadilan dalam menata


hubungan antara warga masyarakat adat dengan lingkungannya). Kearifan
hukum adat kiranya perlu ditransformasi ke dalam peraturan perundangundangan di tingkat nasional maupun derah. Paling tidak potensi

kearifan

hukum adat tersebut dapat ditransformasi ke dalam Peraturan Daerah (Perda)


setempat.
3. Penggunaan asas -asas Hukum Adat dalam Penyelesaian Sengketa.
Dalam masyarakat desa adat penyelesaian konflik dengan menggunakan
mekanisme peradilan negeri bukan merupakan

mekanisme penyelesaian

sengketa yang terbaik. Masyarakat adat pada umumnya memiliki rasa enggan
untuk terlibat dalam suatu konflik atau sengketa secara terbuka, oleh karena itu
mereka berusaha agar sengketa yang ditangani tidak masuk menjadi sengketa di
pengadilan negeri. Sengketa baru akan dibawa ke pengadilan jika semua usaha
perdamaian tidak berhasil dicapai. Di samping itu, keengganan ini muncul karena
keterbatasan lembaga peradilan dalam merespon aspirasi masyarakat dan hanya
menekankan pada prosedur, hanya menyelesaikan konflik secara semu belum
dapat menyelesaiakan sengketa yang sesungguhnya. Hal ini akan dapat

I Putu Gelgel. Kontribusi 42


membawa cacat batin bagi kedua belah pihak yang berakibat dendam
berkepanjangan.
Oleh karenanya konflik dalam desa adat diselesaikan melalui perundingan
diantara mereka dengan pola mediasi yaitu penyelesaian sengketa

yang

dimediatori oleh majelis desa adat. Para pihak akan lebih percaya jika yang
memediasi adalah orang yang telah dikenal dan paham atas permasalahan yang
terjadi, sehingga menjamin lancarnya perundingan. Penyelesaian sengketa
melalui perundingan yang dimediatori oleh majelis ini

dilakukan atas prinsip

sukarela diantara para pihak yang bersengketa. Para pihak

tidak dipaksa

mengikuti prosedur yang baku dan kaku. Perundingan yang dilakukan pada
dasarnya ingin memperoleh penyelesaian atau kesepakatan yang memuaskan
mereka.
Majelis Desa Adat sebagai mediator atau arbiter yang menangani
menyelesaikan sengketa tidak berpedoman pada prosedur beracara sebagaimana
yang terjadi pada badan peradilan. Majelis bertindak sebagai penengah, memberi
pengarahan, pertimbangan serta jalan keluar yang sepantasnya bagi mereka
yang bersengketa dengan mengedepankan nilai-nilai kebersamaan, kekeluargan
dan harmoni. Majelis berusaha dengan segala daya upaya untuk menyelesaikan
sengketa

dengan cara arif dan bijaksana, jauh dari sikap ketidak jujuran,

arogansi dan kekerasan dengan menyoroti kepentingan-kepentingan yang sama


dan menghindari pertentangan-pertentangan.
Penggunaan asas-asas Hukum Adat dalam penyelesaian sengketa sangat
penting dilakukan seperti asas kedamaian dan kekeluargaan. Penyelesaian
sengketa atau konflik dalam masyarakat adat dilakukan secara damai dan
kekeluargaan namun tetap menjaga rasa keadilan dan kepatutan masyarakatnya.
Sehingga sengketa dapat diselesaikan dengan baik, harmoni, damai, tanpa
meninggalkan luka batin atau dendam para pihak yang bersengketa. Sedangkan
penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri, terkadang belum dapat
sepenuhnya memenuhi rasa keadilan dan kepatutan, disamping proses
peradilannya terlalu lama dan mahal. Penyelesaian sengketa yang terbaik adalah
manakala sengketa diselesaikan antara para pihak yang berselisih dapat
dilakukan dengan cepat, damai, kekeluargaan, namun tetap tberlandasakan
kepastian, kebenaran, keadilan, dan kepatutan dapat dilaksanakan. Cara
peradilan yang demikian adalah sesuatu yang diharapkan di era globalisasi ini.

43. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 31-44


4. Revitalisasi Hukum Adat dalam menjaga keamanan dan ketertiban dalam
pembangunan.
Masyarakat adat dalam menjaga keamanan dan ketertiban dalam tatanan
kehidupannya, lebih menggunakan pendekatan persuasif dan edukatif. Petugas
keamanan tradisional Bali (seperti Pecalang) dituntut untuk menjauhkan diri dari
tindakan kekerasan, arogansi, dan sikap-sikap represif lainnya. Sebaliknya
mereka dituntut bisa tampil simpatik, arif, dan bijaksana sehingga disegani dan
menjadi panutan bagi masyarakat. Dengan demikian keamanan masyarakat dan
keamanan aset-aset pembangunan yang ada dapat dipelihara. Oleh karena itulah
revitalisasi atau pendayagunaan Hukum Adat dalam menjaga kelestarian dan
keamanan pembangunan sangat diperlukan dalam pembangunan Hukum
Nasional.
V.

PENUTUP
Dengan melihat ketidak berdayaan Hukum Modern dalam mengatasi carut

marutnya wajah hukum di Indonesia, maka kontribusi Hukum Adat dalam


pembangunan Hukum Nasional sangat perlu digagas, dikaji, dan dikembangkan.
Hukum hendaknya dibangun sejalan dengan struktur sosial budaya bangsa kita
sendiri,namun

tetap

dapat

mengakomudasi

dinamika

kehidupan

sosial

budayanya di era keterbukaan ini. Secara filosofis norma pertanggungjawaban


hukum terdapat kesamaan antara Hukum Adat dengan nilai nilai yang dicitacitakan oleh Hukum Nasional yang berlandaskan Pancasila yaitu terwujudnya
nilai keadilan, kemanfaatan, kesejahtraan, dan kebahagian manusia (Bangsa
Indonesia). Melalui itulah Hukum Adat

akan memberikan kontribusi

bagi

pembangunan hukum di negara kita di tengah lajunya dinamika kehidupan sosial


budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Barda Namawi Arief, 1998, Bebarapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan
Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung
Gelgel I Putu, 2006, Hukum Pariwisata, Widya Dharma, Denpasar.

I Putu Gelgel. Kontribusi 44

_______________ 2007, Pengantar Hukum Hindu, Pascasarjana, Universitas


Hindu Indonesia, Denpasar.
Khudzaifah Dimiyati, 2004, Teorisasi Hukum, Studi tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhamadiyan
University Press, Surakarta
Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazab dan Refleksinya,
Remadja Karya, Bandung
Mochtar Kusumaatmaja, 2002, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan,
Alumni, Bandung.
________________, 1975, Fungsi Hukum dan Pembangunan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung.
Roger Cotterrell, 1984, The Sosiology of Law: An Intruduction, Butterworths,
London.
Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
________________, 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Buku Kompas,
Jakarta.
_______________, 2004, Ilmu Hukum, Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,
Muhamadiyah University Press, Surakarta.
Soetandyo Wingnjosoebroto, 2002, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, Huma, Jakarta.
W Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan Problema
Keadilan, Susunan II, Terjemahan, M Arifin, Rajawali, Jakarta.

45. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 45-57


Konflik Penguasaan Tanah Di Bali
I Made Suwitra1

Abstract
Conversation of land tenure in the Basic Agrarian Law were initially
subject to customary law as well as to ensure legal certainty in land tenure, also
causing conflict. While local government are given the mandate to be able to
resolve conflicts of customary rights is still giddy. Mediation is often done just to
produce an agreement that is artificial. Constitution of 1945 should serve as a
major referral base on nave. Not understood the concept is good and true
religious communal land tenure within the Unitary State of the Republic of
Indonesia.
Key Words: Land Conflict
Abstrak
Konversi penguasaan tanah menurut UUPA yang awalnya tunduk pada
hukum adat disamping dapat menjamin kepastian hukum dalam pemilikan tanah,
juga berimplikasi menimbulkan konflik. Sementara Pemerintah Daerah yang
diberikan amanat untuk dapat menyelesaikan konflik hak ulayat sampai saat ini
masih gamang. Mediasi yang sering dilakukan hanya untuk menghasilkan
kesepakatan yang bersifat artifiasial. UUD 1945 yang seharusnya dijadikan
rujukan utama sebagai landasan konstutusional selalu di naifkan.Tidak
dipahaminya secara baik dan benar konsep komunal religious penguasaan tanah
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kata Kunci: Sengketa Tanah
I.

PENDAHULUAN
Bali sampai saat ini masih sarat dengan konflik. Meningkatnya konflik oleh

sosiolog Paulus Wirutomo dinyatakan karena pengaruh struktur, kultur, dan


proses.2 Struktur berkaitan dengan kebijakan yang diputuskan pemerintah, atau
kebijakan dari kepala atau pemimpin masyarakat (adat), sedangkan kultur
menyangkut nilai, norma, dan kepercayaan yang diyakini turun temurun. Untuk
meminimalisasi konflik, yang masih bisa diubah hanya sisi proses, karena sisi ini

Dosen Tetap Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas
Warmadewa Denpasar, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak Denpasar Tlp (0361) 223858
(hunting), Fax (0361) 23505073 E-mail: madesuwitra@yahoo.co.id
2

Bali Post, Konflik adat , Denpasar, 27 September 2011, hlm. 2.

I Made Suwitra. Konflik 46


memberikan dinamika interaksi sehari-hari yang memberi ruang bebas dari
ikatan struktur dan kultur.
Struktur dinyatakan seringkali dirusak oleh globalisasi dan kepentingan
ekonomi. Struktur pemerintahan pun turut membenturkan kultur, seperti
keputusan pengadilan yang bertentangan dengan aturan adat. Oleh karena itu
diperlukan komunikasi dan negosiasi proses yang menjembatani, baik itu dari
dominasi struktur maupun kultur.
Ada beberapa contoh konkret yang dapat diungkapkan berkaitan dengan
adanya benturan kultur yang belum bisa dijembatani melalui komunikasi dan
negosiasi proses, bahkan memunculkan anarkisme seperti konflik adat BudagaKemoning di Klungkung tentang klaim penguasaan tanah Setra, Pura Prajapati
dan Pura Dalem sebagai tanah adat. Konflik yang sama (setra) juga sebelumnya
terjadi antara Banjar

Bucu dengan Besang Kangin,3 konflik antara warga

Semana dengan warga Ambengan Singakerta di Kabupaten Gianyar, disertai


anarkisme warga,4 konflik tanah di Lemukih Buleleng,5 kasus tukar guling tanah
SD 1 Melinggih Payangan Kelod.6
Agama adalah tuntunan hidup. Dalam prakteknya ajaran agama (Hindu)
berimplementasi ke dalam adat dan budaya Bali. Namun implementasinya sering
menimbulkan disharmoni akibat dimanipulasi untuk tujuan-tujuan tertentu.
Akibatnya marak terjadi konflik adat, praktek budaya anarkis atau frustrasi
massal sebagai suatu fakta sosial. Di sisi lain frustrasi masyarakat yang kerap kali
tercetus

sebagai

aksi-aksi

kekerasan

memerlukan

contoh

perilaku

dan

keteladanan saat ini kian langka, sehingga agama, adat, dan budaya dianggap
tidak berperan sebagaimana mestinya dan dalam beberapa kasus, bahkan dapat

Bali Post, Perang baliho kasus saling klaim pura dan setra Kemoning berlanjut, Denpasar,
21 April 2011, hlm. 14.
4
Bali Post, Soal penutupan pintu masuk setra, Ketandan walk out penyelesiannya tunggu
Bupati, Denpasar, 14 Juni 2010, hlm. 4.
5

Bali Post, Kasus tanah adat Lemukih, giliran pemegang sertifikat datangi KP BulelengKP
Buleleng, Selasa 16 Januari 2007, hal. 5.
6
Bali Post, Kisruh tanah SD 1 Melinggih, dewan panggil pemilik dan instansi terkait, Kamis 5
Juli 2012, halm. 11.

47. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 45-57


memperburuk kejiwaan masyarakat.7 Kadang-kadang adat dijadikan alat
menjustifikasi anarkisme.
Dari berbagai konflik yang dideskripsikan, dapat dirumuskan beberapa isu
hukum, yaitu:
(1) Bagaimana terjadinya konflik penguasaan tanah?
(2) Bagaimana penyelesaian konflik tanah ulayat (adat)?
II. KONFLIK PENGUASAAN TANAH
Bali sebagai daerah yang mengalami sentuhan globalisasi paling dahsyat,
dapat dipahami terjadinya konflik penguasaan tanah (adat). Bali selama ini masih
dianggap mampu berjalan sesuai fungsinya yang diikat oleh konsensus nilai.
Sementara Bali menghadapi berbagai gempuran pengaruh dari luar di saat
dirinya harus memegang teguh konsensus yang diwarisi.
Bali sedang mengalami perubahan persoalan ekonomi yang semakin padat.
Kondisi ini menyebabkan dominasi adat seolah-olah mendapat tandingan.
Kepentingan ekonomi dan lainnya akhirnya muncul ke permukaan. Kepentingan
yang dulu bersifat laten berubah menjadi manifes. Hal ini sebenarnya tidak
menjadi masalah, yang penting bagaimana mengelolanya agar konflik tidak
mengarah pada kekerasan.8
Konflik di dalamnya mengandung pertentangan atau ketidaksesuaian
antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerja
sama, sehingga timbul rasa tidak puas atau menimbulkan kerugian dari salah
satu pihak. Jika rasa tidak puas ini secara langsung dinyatakan kepada orang
yang menyebabkan kerugian, maka sebuah konflik akan menjadi sengketa. Jadi
konflik akan berkembang menjadi sengketa jika tidak dapat diselesaikan.9
Berbeda dengan Munir Fuady menyatakan, bahwa konflik adalah suatu
perbedaan atau pertentangan ide, persepsi, dan kepentingan diantara dua pihak

Bali Post, Budaya anarkis (Denpasar, 12 Agustus 2009), hlm. 1)

Paulus Wirutomo, Konflik meningkat, dominasi adat mendapat tandingan, Denpasar: Bali
Post, 5 Oktober, 2011, hlm. 1.
9
Sarjita, 2005, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Edisi Revisi, Cetakan
Kedua, Tugojogjapustaka, Yogyakarta, hlm. 8.

I Made Suwitra. Konflik 48


atau lebih, baik dalam bentuk fisik maupun nonfisik, baik yang sudah terbuka
maupun yang belum terbuka.10 Kata kunci dari teori konflik adalah kepentingan.
Kepentingan

tampak

berwujud

dalam

kerugian,

baik

materiil

maupun

immateriil.11 Tidak ada seorangpun mau dirugikan dalam pergaulan masyarakat.


Setiap orang selalu mengukur dan menjaga kepentingannya, agar jangan sampai
dirongrong oleh orang lain dalam lalu lintas pergaulan sosial.
Kepentingan merupakan unsur utama kehidupan sosial masyarakat, dan
kepentingan itu tidak jarang berlainan antara orang yang satu dengan yang lain,
sehingga dapat menimbulkan konflik. Untuk menyelaraskan kepentingan yang
saling berbeda inilah diperlukan norma (salah satunya norma hukum). Teori
konflik akan mencari bentuk-bentuk kepentingan yang mungkin terlibat dalam
setiap konflik. Salah satu cara mengatasi konflik adalah dengan mengatur
kepentingan melalui norma hukum.
Masyarakat memerlukan hukum agar kepentingannya dapat berjalan
selaras satu sama lain. Kehidupan masyarakat dipenuhi oleh kepentingankepentingan yang saling berhubungan dan saling bertentangan, sehingga
diperlukan hukum untuk mengaturnya. Di Bali saat ini sedang mencuat konflik
yang sebagian besar menyangkut penguasaan tanah adat.
Penguasaan menurut Satjipto Rahardjo mempunyai unsur faktual dan
adanya sikap batin. Secara faktual artinya adanya hubungan nyata antara
seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaan, sehingga pada saat itu ia
tidak memerlukan legitimasi lain kecuali bahwa barang itu ada di tangannya
(corpus possessionis). Sedangkan sikap batin artinya adanya maksud

untuk

12

menguasai atau menggunakannya (animus posidendi). .


Mencermati beberapa kasus konflik penguasaan tanah seperti rebutan
penguasaan setra, pengklaiman (reclaiming)

tanah adat (ulayat desa)

pada

kasus Lemukih, Kemenuh, Kasus tapal batas desa (adat) pada kasus BelalangPangkungtibah, Banjar Kebontingguh-Banjar Bakisan, klaim penguasaan wilayah

10

Munir Fuady, 2007, Sisiologi Kontemporer Interaksi Kekuasaan, dan Masyarakat. Cetakan
ke I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 95.
11

I Ketut Artadi, 2006, Hukum dalam Perspektif Kebudayaan. Pendekatan Kebudayaan


terhadap Hukum, Cetakan Pertama, PT. Ofset Bali Post Denpasar, hlm. 69.
12

Satjipto Rahardjo, 1982, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, hlm. 104.

49. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 45-57


adat pada kasus Kebonkuri-Buaji Anyar, klaim jalan adat pada kasus BedhaPangkungkarung, Budaga Galiran, kasus Loloan Tegal Gundul Badung, kasus
Kesumasari Sanur Denpasar, akan dikaji dari bekerjanya sistem hukum, yaitu
substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum seperti disebutkan
Lawrence M. Friedman.13
Aspek substansi, yaitu peraturan perundang-undangannya yang belum
jelas dalam memberikan kepastian hukum, sehingga menimbulkan adanya
persepsi yang berbeda terhadap makna konsep penguasaan tanah adat sebagai
ulayat desa yang ada dalam hukum adat dan perkembangannya dalam hukum
negara seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
(Pasal 3, 5) maupun yang dipertegas lagi melalui amandemen ke empat UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UUD 1945) (Pasal
18B ayat 2). Dengan menggunakan interpretasi otentik, keberadaan hak ulayat
masyarakat hukum adat masih diakui sedemikian rupa sepanjang memang
secara nyata masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kondisi inilah antara hukum adat dengan hukum negara dikoeksistensikan.
Sementara dari aspek kultur hukum, kelompok masyarakat adat menganggap
tetap ingin merperlakukan hukum adat terhadap tanah-tanah yang telah diatur
dalam UUPA dengan cara melakukan ekspansi melalui pemasangan tanda batas
kekuasaan adat ke dalam lingkungan warga lainnya untuk memperoleh

recognitie.
Struktur hukum juga dapat menyebabkan konflik pada pemberian hak atas
tanah menurut UUPA di atas tanah ulayat, seperti pemberian Sertifikat Hak Milik
(SHM) di atas tanah laba pura pada kasus Culik Karangasem, pemberian Hak
Guna Bangunan (HGB) di atas tanah adat pada kasus loloan Tegal Gundul
Badung, pemberian HGB di atas tanah pura pada kasus Kesumasari Sanur
Denpasar,

juga

keluarnya

Surat

Keputusan

tentang

pemekaran

Banjar

Tamblingan menjadi Desa Pakraman (Adat) Tamblingan dari lembaga adat


Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali yang memicu konflik.

13

Lawrence M. Friedman,, Legal Culture and Social Development.dalam Law and the
Behavioral Sciences. Lawrence M. Friedman and Stewart Macauly eds, The Bobbs-Merrill Company,
INC, Kansas City New York, hlm. 1003.

I Made Suwitra. Konflik 50


Selain itu konflik penguasaan tanah adat (ulayat) disebabkan faktor
ekonomi, artinya bagi banjar adat yang ingin mekar menjadi desa adat
disebabkan ada keinginan untuk dapat menguasai tanah sebagai aset banjar
yang selanjutnya menjadi sumber pendapatan dengan mengeksploitasi sumber
daya yang ada dan kegiatan yang ada di atas tanah dimaksud. Kondisi ini
diperparah dengan dikedepankan istilah penduduk asli dan pendatang yang
mengindikasikan telah terjadi degradasi etik dan moral pada masyarakat adat
yang menyebabkan adanya penyimpangan dalam memaknai konsep komunal
religius dalam penguasaan tanah.
Proses reclaiming sebagai wilayah adat dalam konteks yang lebih besar
sering muncul pada pembukaan areal baru Hak Guna Usaha (HGU), yaitu
tuntutan kembalinya hak adat kepada pemegang HGU yang disebabkan tidak
jelasnya batas tanah ulayat dan tanah negara bebas seperti yang terjadi pada
masa Hindia Belanda.14 Recaliming ini juga sebagai salah satu penyebab
timbulnya konflik tapal batas.
Mencermati

latar

belakang

yang

menyebabkan

munculnya

konflik

penguasaan tanah adat (ulayat) tersebut, dapat diberikan beberapa argumentasi,


yaitu: Pertama, untuk meminimalisasi konflik akibat adanya pemekaran desa
adat (pakraman), lembaga adat yang ada sekarang seperti Majelis Desa
Pakraman tidak serta merta mengeluarkan Surat Keputusan Pemekaran sebelum
pemekaran itu senyatanya diterima oleh desa induknya, dan desa yang baru
mekar sudah teruji mampu melakukan otonominya tanpa menimbulkan gesekan
dengan desa induk dalam limit waktu tertentu, umpamnya selama sepuluh
tahun. Artinya pemekaran itu memang sudah diterima oleh semua pihak sesuai
dengan proses terjadinya hukum adat. Adalah relevan dengan apa yang
dinyatakan Von Savigny, bahwa hukum suatu masyarakat merupakan refleksi
dan konkritisasi dari jiwa rakyatnya (volkgeist) sebagai pembawaan sejarahnya.15
Dengan demikian hukum adat termasuk di dalamnya desa adat tumbuh dari

14

Achmad Sodiki, 2012, Kebijakan pertanahan dalam penataan Hak Guna Usaha untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, Makalah, disampaikan dalam seminar nasional di
Universitas Warmadewa Denpasar tanggal 3 Maret 2012, hlm. 9.
15
H. Lili Rasjidi, dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cetakan ke
delapan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 65.

51. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 45-57


bawah dan tidak dibuat, serta bukan diciptakan dari atas (oleh struktur hukum)
yang ada.
Surat Keputusan dari Lembaga Adat (Majelis Desa Pakraman) dan
penetapan dari lembaga hukum lain seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN)
hanya berfungsi sebagai social control jika berhadapan dengan tanah ulayat,
dalam arti untuk menjaga agar masyarakat tetap dapat berada dalam pola-pola
tingkah laku yang sudah diterima olehnya16, bukan sebagai social engineering
seperti diungkapkan Roscoe Pound yang menjadikan hukum sebagai instrumen
untuk mengarahkan masyarakat menuju kepada tujuan yang diinginkan.17
Untuk menghindari adanya arogansi yang berakhir anarkis dari masyarakat
hukum adat yang terakumulasi dalam gerakan masa yang kelihatan spontan,
namun pada dasarnya digerakkan seseorang yang biasanya dilakukan secara
diam-diam baik oleh struktur hukum yang ada maupun oleh individu dengan
menggunakan warna partai diperlukan pemahaman yang benar dan mendalam
terhadap konsep penguasaan tanah adat yang disebut hak ulayat dalam konteks
hukum agraria nasional yang kemudian dikenal dengan hak menguasai negara
sebagai perwujudan digunakannya hukum adat sebagai bahan utama dalam
pembentukan hukum agraria nasional, yaitu konsep komunal religius yang
mengandung arti, bahwa tanah adat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu
masyarakat hukum adat dipandang sebagai tanah bersama yang merupakan
pemberian/anugerah

dari

suatu

kekuatan

gaib.

sehingga

semua

hak

perorangan bersumber dari tanah bersama tersebut. Ter Haar menyebut


hubungan ini sebagai Participerend denken.18
Menurut Grotius disebutkan, bahwa segala sesuatu dalam alam sebagai
milik bersama. Alam atau dunia ada untuk digunakan secara bersama-sama oleh
umat manusia. Hak milik pribadi hanya diterima dalam pengertian hak untuk

16

Soekanto, 1973, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhratara, Jakarta, hlm. 58.

17
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1996, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia. Edisi Revisi, Cetakan Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.

129.

18

Herman Soesang Obeng, 1975, Pertumbuhan Hak Milik individuil menurut Hukum Adat
dan menurut UUPA di Jawa Timur, Majalah Hukum No.3 Tahun ke dua, Penerbitan Yayasan
Penelitian dan Pengembangan Hukum (Lawa Center), Jakarta, hln. 51

I Made Suwitra. Konflik 52


menggunakan milik bersama, dan bukan menjadi miliknya sedemikian rupa yang
menutup kemungkinan dimiliki individu lain.19 Dari Konsep ini kemudian
melahirkan fungsi sosial hak milik seperti diatur dalam Pasal 6 UUPA. Sedangkan
konsep religius diatur dalam Pasal 1 (2) UUPA.
Selain itu dipergunakan asas kebangsaan sebagai bahan utama dalam
pembentukan UUPA, seperti yang diatur dalam Pasal 2 (1) UUPA, yaitu:
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Hak menguasai negara ini meliputi hak mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa, juga menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
Hak penguasaan tertinggi dalam hukum adat disebut hak ulayat, yang
kemudian dalam UUPA disebut dengan hak menguasai negara. Oleh karena itu
diperlukan pemikiran yang mampu mengoeksistensikan model penguasaan dalam
hukum adat dengan model penguasan dalam UUPA yang disebut hak menguasai
negara sebagai hak penguasan tertinggi.
Dalam Penjelasan Umum angka II (2) UUPA disebutkan bahwa Hak
menguasai negara dan konsep hak bangsa seperti yang diatur dalam Pasal 1 dan
2 mengandung arti, bahwa tanah-tanah yang ada di daerah-daerah dan pulaupulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau
yang bersangkutan. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa
Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam
hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada
tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara.
Merujuk pada interpretasi, sistematisasi tersebut di atas dapat dikostruksi
bahwa hak ulayat yang sampai saat ini masih ada tidaklah bersifat eksklusif,
19

59.

A. Sonny Keraf, 1997, Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi, Kanisius, Yogjakarta, hlm.

53. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 45-57


melainkan inklusif sehingga dalam penerapannya tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara dalam arti sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang. Oleh karena itu tidaklah dapat dibenarkan adanya tindakan
sewenang-wenang dari masyarakat hukum adat untuk melakukan klaim atas
wilayah dengan rujukan hak ulayat. Lebih-lebih dilakukan dengan cara kekerasan
dan anarkis. Demikian pula Negara melalui BPN tidak pula sewenang-wenang
dalam pemberian hak-hak atas tanah.
Lebih lanjut ditegaskan, bahwa pelaksanaan hak ualyat tidak dapat
dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang sudah dipunyai oleh perseorangan
atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut UUPA (Pasal 3a
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat). Jika terjadi sengketa
hak

ulayat,

maka

menjadi

kewajiban

bagi

Pemerintah

Daerah

untuk

menyelesaikannya.
III. PENYELESAIAN KONFLIK PENGUASAAN TANAH ADAT (ULAYAT)
Penyelesaian konflik penguasaan tanah adat (ulayat) baik pada konflik
pemekaran desa, konflik tapal batas, reclaiming, dan ekspansi kekuasaan adat
sampai saat ini memang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (kabupaten/kota)
sesuai Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999. Di dalamnya
secara empiric termasuk unsur dari babinsa (TNI), polmas (Kepolisian). Selain itu
dilakukan oleh lembaga adat yang dikenal Majelias Desa Pakraman (MDP) yang
ada di kabupaten/kota atau provinsi secara berjenjang. Sementara dengan
menggunakan konstruksi ketentuan pasal 5 Ayat (1) penyelesaian hak ulayat
diamanatkan mengikutsertakan pakar dari Perguruan Tinggi, LSM, masyarakat
hukum adat sendiri, dan instansi yang mengelola sumber daya alam. Kondisi ini
sampai saat ini belum maksimal.
Mencermati model penyelesaian konflik penguasaan tanah adat (ulayat)
termasuk

tapal

batas

oleh

Pemerintah

Kabupaten/Kota,

yang

biasanya

menginginkan win-win solution, namun tidak ada kemampuan merumuskan


konsep yang dapat dijadikan acuan dalam menyeimbangkan hak-hak dari salah
satu pihak yang sudah terilanggar, berimplikasi adanya pembiaran pelanggaran

I Made Suwitra. Konflik 54


dan dominasi oleh pihak-pihak yang tidak punya moral etik melakukan tindakan
tanpa prosedur yang semestinya dalam penyelesaian konflik.
Sikap

yang

ambivalen

Pemerintah

Daerah/Kota

ini

justru

akan

memperparah konflik. Bahkan tidak menutup kemungkinan berimplikasi pada


munculnya konflik horisontal, seperti digugatnya Bupati Tabanan ke Peradilan
Tata Usaha Negara (TUN) karena telah mengeluarkan Surat Keputusan tapal. Ini
juga menyangkut struktur hukum.
Sampai saat ini belum ada konflik tapal batas yang dapat diselesaikan,
demikian pula tentang reclaiming tanah adat (ulayat) sepertinya dibiarkan
berlarut untuk diselesaikan sendiri, sedangkan penanganannya sudah dilakukan
di pemerintah kabupaten/kota. Hasil akhir yang ingin dicapai oleh pemerintah
kabupaten/kota

adalah

tercapainya

kesepakatan

damai,

walaupun

tidak

menyentuh materi kasusnya, seperti pada kasus Sulang, Budaga-Kemoning,


Kebonkuri-Buana Ayar. Kondisi ini tidak bedanya seperti api dalam sekam yang
sewaktu-waktu akan muncul kembali dalam skala yang lebih besar.
Pola penyelesaian konflik di atas, mencerminkan sikap pemerintah
kabupaten/kota atau yang terlibat dalam penyelesaian konflik tampak ingin selalu
menjaga hubungan baik dengan rakyatnya, tidak mau mempertaruhkan
netralitasnya apalagi mempertaruhkan konsep kebenaran hukum walaupun
memposisikan sebagai mediator.
Penyelesaian konflik yang dilakukan tanpa disertai dan didahului dengan
melakukan inventarisasi dan klasifikasi masalah untuk menentukan mana yang
merupakan masalah hukum dan mana yang merupakan masalah non hukum
dalam

menjamin

adanya

objektivitas

dan

menentukan

rujukan

bahan

hukumnmya secara jelas, maka dirasa sulit akan dapat memberikan pedoman
dan penilaian terhadap tindakan yang selama ini dilakukan para pihak dalam
menentukan suatu tindakan yang sesuai atau tidak dengan hukum.
Menemukan apakah perbuatan para pihak sesuai atau tidak dengan hukum
menjadi penting dalam upaya melihat posisi masing-masing pihak yang
selanjutnya diadakan format kesepakatan dengan tujuan dapat mengembalikan
hak-hak yang dilanggar oleh salah satu pihak. Inilah yang pada awalnya disebut
memulihkan keseimbangan. Jika konflik ini tidak dapat diselesaikan secara

55. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 45-57


tuntas, maka desa pakraman (adat) yang selama ini selalu disanjung sebagai
benteng kebudayaan Bali dapat hancur oleh diirinya sendiri.
Khusus

dalam

penyelesaian

konflik

tanah

ulayat

Pemerintah

Kabupaten/Kota dan instansi terkait belum melakukan amanat ketentuan dalam


Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Menteri Agraria Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999,
sehingga penguasaan terhadap tanah ulayat sampai saat ini masih gamang.
Adapun amanat Pasal ini menyebutkan:
Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada
sebagaimana

dimaksud

pada

ayat

(1)

dinyatakan

dalam

peta dasar

pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila


memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam
daftar tanah
IV. PENUTUP
Mengacu latar belakang terjadinya konflik, seperti aspek substansi hukum
yang masih kabur, sehingga tidak dipahami secara baik dan benar yang
melahirkan multi tafsir, kultur hukum yang dipaksakan dalam penguasaan tanah
adat (ulayat) bahkan ada tindakan ekspansi wilayah adat, aspek struktur hukum
yang tidak cermat dalam identifikasi dan klasikasi materi kasus, juga disertai ada
muatan ekonomi dan politik yang bersifat laten, maka penyelesaian konflik
direkomendasikan untuk mempertimbangkan aspek atau faktor sistem hukum.
Selain itu pemberian garis hukum yang pasti untuk mendudukkan konflik secara
tepat juga tidak boleh dinafikan agar selalu ada koeksistensi antara hukum adat
dengan hukum negara dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia
sehingga semua pihak sebagai warga negara memperoleh manfaat yang sama.
Akhirnya diperlukan pejabat pemutus yang mampu mempertaruhkan keberanian,
kebenaran, ketulusan, dan objektivitas. Selain itu peran pakar menjadi sangat
penting. Untuk meminimalisasi konflik penguasaan tanah ulayat, Pemerintah
Kabupaten/Kota dan instansi terkait dianggap perlu melakukan amanat
ketentuan Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Menteri Agraria Kepala BPN Nomor 5 Tahun
1999.

I Made Suwitra. Konflik 56


DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sodiki, 2012, Kebijakan pertanahan dalam penataan Hak Guna Usaha
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, Makalah, disampaikan
dalam seminar nasional di Universitas Warmadewa Denpasar tanggal 3
Maret 2012.
Artadi, I Ketut, 2006. Hukum dalam Perspektif Kebudayaan. Pendekatan
Kebudayaan terhadap Hukum, Cetakan Pertama, PT. Ofset Bali Post.
Denpasar.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1996, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Edisi Revisi, Cetakan Kedua, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Friedman, Lawrence M. Legal Culture and Social Development.dalam Law and
the Behavioral Sciences. Lawrence M. Friedman and Stewart Macauly
Ieds). Kansas City New York: The Bobbs-Merrill Company, INC. 10001017
Harsono, Boedi, 2003. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi
dan Pelaksanaannya. Jilid I Hukum Tanah Nasional, Cetakan Kesembilan,
Jakarta: Djambatan.
Herman Soesang Obeng, 1975. Pertumbuhan hak milik individuil menurut
hukum adat dan menurut UUPA di Jawa Timur. Majalah Hukum. II (3).
Lili Rasjidi. H, dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,
Cetakan ke delapan, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Munir Fuady, 2007. Sisiologi Kontemporer Interaksi Kekuasaan, dan Masyarakat,
Cetakan ke I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Paulus

Wirutomo, 2011. Konflik meningkat,


tandingan, Bali Post, Oktober, Denpasar.

dominasi

adat

mendapat

Perlindungan, AP, 1998. Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Cetakan


VII, Mandar Maju, Bandung.
Sarjita, 2005. Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Edisi
Revisi, Cetakan Kedua, Tugojogjapustaka, Yogyakarta.
Satjipto Rahardjo, 1982. Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Setiawan, K. Oka, 2003. Hak Ulayat Desa Adat Tenganan Pegrinsingan Bali
Pasca UUPA. Cetakan I. Disertasi, Jakarta: Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

57. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 45-57

Sonny Keraf. A, 1997. Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi , Yogjakarta:
Kanisius.
Sumardjono, Maria S. W. 2005. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan
Implementas, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Surya Prakash Sinha. 1993. Jurisprudence Legal Philosophy in A Nutshell, ST.
Paul, Minn, West Publising CO. Page 233.
Suwitra, I Made, 2011. Eksistensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah
Adat di Bali dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional, Cetakan Kedua,
Bandung: Logoz Publishing.

I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan 58


Perpanjangan Hak Guna Bangunan Bagi Perseroan Terbatas
Ditinjau Dari Prinsip Kepastian Hukum
I Nyoman Alit Puspadma1

Abstract
The extension of Rights for Building in line with Article 35 paragraph (2),
which contains norm fuzziness. The word "may" in that article raises different
interpretations, so it is contrary to the provisions of Article 5 letters f of Law No.
12. Year 2011. Subject of the Rights for Building are: a. Citizens of Indonesia and
b. legal entities. Legal entities that are used in this study are a limited liability
company. In this regard, there are three problems examined, namely: How is the
extension of Rights for Building arranged? How to interpret the provisions of
Article 35 paragraph (2) of Land Law if contain with legal certainty? The theories
used to analyze the problems is Legal Certainty theory, the research method is
using the statute approach, with the source of legal material in the form of the
law of primary legal materials, secondary and tertiary. Conclusion the extension
of Rights For Building above state land is stipulated in Article 35 paragraph (2)
Land Law in conjunction with Article 26 paragraph (1) Government Regulation 40
of 1996 in conjunction with Article 40 Minister Of Agrarian Regulation/Head
National Land Board 9 year 1999, the extension of Rights For Building over Land
Rights Management stipulated in Article 35 paragraph (2) Land Law Article 26
paragraph (2) Government Regulation 40 of 1996 in conjunction with Article 45
Minister Of Agrarian Regulation/Head National Land Board 9 1999. Rights For
Building on the land of private property is set to be not extended, but according
to the provisions of Article 29 paragraph (2) Government Regulation 40 of 1996
may be updated. Interpreting the provisions of Article 35 paragraph (2) Land
Law should always be associated with Article 2 paragraph (3) and Article 3 of
Capital Market Law. In the case of Rights For Building expires, the land is
returned to the state when it was coming from State Land or Land Rights
Management holder if the land comes from Land Rights Management.
Keywords: Extension Rights for Building, Investment, Limited Liability
Company, Legal Certainty
Abstrak
Perpanjangan HGB oleh UUPA diatur dalam Pasal 35 ayat (2), yang
mengandung kekaburan norma. Kata dapat dalam pasal tersebut menimbulkan
penafsiran yang berbeda-beda, sehingga bertentangan dengan Pasal 5 hurup f
UU No. 12 Tahun 2011. Subjek HGB: a. WNI; b. badan hukum. Badan hukum
yang digunakan dalam penelitian ini adalah PT. Dalam kaitan itu ada dua
masalah yang diteliti, yakni: Bagaimanakah perpanjangan HGB itu diatur?
1
Dosen Tetap Kontrak Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana
Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak, Denpasar-Bali.

59. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 58-72


Bagaimanakah memaknai ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA bila dikaitkan
dengan prinsip kepastian hukum? Penelitian ini menggunakan teori Kepastian
Hukum, metode penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statute approach), sumber bahan hukum berupa bahan hukum primer, sekunder
dan tersier. Kesimpula: perpanjangan HGB di atas TN diatur dalam Pasal 35 ayat
(2) UUPA jo Pasal 26 ayat (1) PP 40 tahun 1996 jo Pasal 40 PMNA/KBPN 9 tahun
1999, perpanjangan HGB di atas HPL diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA Pasal
26 ayat (2) PP 40 tahun 1996 jo Pasal 45 PMNA/KBPN 9 tahun 1999. HGB di atas
tanah hak milik diatur untuk tidak diperpanjang, akan tetapi sesuai ketentuan
Pasal 29 ayat (2) PP 40 taun 1996 dapat diperbaharui. Memaknai ketentuan
Pasal 35 ayat (2) UUPA harus selalu dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (3) UUPA dan
Pasal 3 UUPM. Dalam hal HGB berakhir, maka tanahnya kembali kepada Negara
apabila berasal dari TN atau pemegang HPL apabila tanahnya berasal dari HPL.
Kata kunci:

Perpanjangan HGB,
Kepastian Hukum.

Investasi,

Perseroan

Terbatas,

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (LN. 1960 104, TLN. 2043), untuk selanjutnya disebut UUPA,
diundangkan pada tanggal 24 September 1960. UUPA mengatur macam-macam
hak atas tanah dalam Pasal 16 ayat (1), yaitu antara lain Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai, sedangkan mengenai
perpanjangan HGB diatur dalam Pasal 35 ayat (2) sebagai berikut:

atas

permintaan pemegang hak dan dengan melihat keperluan serta keadaan


bangunan-bangunannya,

jangka

waktu

tersebut

dalam

ayat

(1)

dapat

diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.


Kata dapat dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA ini mempunyai arti
yang tidak jelas, karena kata dapat tidak memiliki arti final. Kata dapat dalam
norma tersebut baru memiliki arti final apabila diikuti dengan kata lain, seperti
kata ditolak atau dikabulkan. Dengan diikuti oleh kata-kata tersebut, maka
kata dapat akan menjadi dapat ditolak atau dapat dikabulkan. Dengan
demikian kata dapat dalam norma tersebut memiliki makna ganda, sehingga
menjadi norma kabur/tidak jelas.
Norma yang menimbulkan lebih dari satu penafsiran menjadikan norma
tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 huruf f UU No. 12 tahun 2011

I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan 60


tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (LN. 2012 82, TLN.
5234), selanjutnya disebut UU 12 tahun 2011. Ketentuan Pasal 5 huruf f tersebut
memerintahkan agar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus
dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan yang baik, salah satunya
adalah kejelasan rumusan. Lebih lanjut dalam penjelasan huruf f ditegaskan
agar pembuatan peraturan perundang-undangan tidak menimbulkan berbagai
macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Selain itu dengan adanya kekaburan
norma tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, ketika dalam
penerapannya ternyata mengabaikan eksistensi HGB yang masih memenuhi
syarat.
Mengabaikan eksistensi HGB yang masih memenuhi syarat maksudnya
adalah, dalam penerapannya ternyata HGB yang masih memenuhi syarat tidak
dikabulkan perpanjangannya, di sisi lain HGB yang tidak memenuhi syarat
dikabulkan perpanjangannya. Hal ini terjadi karena dalam ketentuan Pasal 35
ayat (2) UUPA mengandung norma kabur, yaitu adanya kata dapat dalam
norma tersebut. Kata dapat tersebut memberi peluang kepada yang berwenang
(pejabat pemerintah) untuk memberi keputusan mengabulkan atau menolak
sesuai

dengan

keperluan

pejabat

pemerintah

itu

sendiri

tanpa

mempertimbangkan keperluan yang sebenarnya harus didahulukan, yaitu


keperluan untuk menyejahterakan rakyat.
Mengenai subjek hak dari HGB diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1)
UUPA, yaitu: a. WNI; dan b. badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dengan demikian maka yang dapat
memiliki HGB atas tanah hanyalah WNI dan badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, sehingga apabila ada
subjek hak selain dua yang disebutkan tersebut memiliki HGB atas tanah, maka
hal itu menjadi bertentangan dengan UUPA.
Pembentukan UUPA tersebut berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Selain menjadi dasar dalam
pengaturan tentang keagrariaan khususnya hukum tanah melalui UUPA tersebut,
Pasal 33 UUD 1945 juga menjadi dasar dalam pengaturan tentang penanaman
modal, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri.

61. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 58-72


Penanaman Modal diatur dengan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal (LN. 2007 67, TLN. 4724), selanjutnya disebut UUPM. Menurut Pasal 3
ayat (1) UUPM, antara lain dinyatakan bahwa penanaman modal terselenggara
berdasarkan asas kepastian hukum, efisiensi berkeadilan, dan berkelanjutan.
Sedangkan ayat (2) menegaskan antara lain, bahwa penanaman modal bertujuan
untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi
berkelanjutan,

mendorong

pengembangan

ekonomi

kerakyatan,

dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, maka penanaman


modal yang dilakukan harus mempunyai asas dan tujuan seperti yang diatur
dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) UUPM tersebut, dan bagi penanaman modal yang
sudah berjalan, apabila telah memenuhi ketentuan tersebut, patut dipertahankan
eksistensinya.
Penanaman modal atau yang sering disebut dengan istilah investasi
menurut bentuknya ada dua, pertama investasi tidak langsung dan kedua
investasi langsung. Investasi tidak langsung (indirect investment) atau investasi
portofolio dilakukan melalui pasar modal dengan instrumen surat berharga,
seperti saham dan obligasi, sedangkan investasi langsung (direct investment)
merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total, atau
mengakuisisi perusahaan.2 Dalam investasi tidak langsung, tujuan investor
bukanlah mendirikan perusahaan, melainkan hanya membeli saham dengan
tujuan untuk dijual kembali. Tujuan investor di sini adalah bagaimana
memperoleh hasil yang maksimal dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama
sudah bisa menikmati keuntungan. Dengan kata lain, dalam jenis investasi
seperti ini, yang diharapkan oleh investor adalah capital gain, artinya adanya
penghasilan dari selisih antara beli dan jual saham di bursa efek. Berbeda dengan
investasi tidak langsung, dalam investasi langsung, investor harus hadir secara
fisik dalam menjalankan usahanya, tepatnya investor harus mendirikan
perusahaan untuk menjalankan usaha-usaha nvestasinya.3

Panji Anoraga, 1994, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, Pustaka Jaya,
Semarang, hlm: 46.
3

70-71.

Sentosa Sembiring, 2007, Hukum Investasi, CV. Nuansa Aulia, Cetakan I, Bandung, hlm.

I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan 62


Investasi langsung (Direct Investment) yang mensyaratkan investor
mendirikan perusahaan, mengakibatkan investor membutuhkan tanah sebagai
tempat berdirinya perusuhaan tersebut. Selain itu setelah perusahaan berdiri,
akan diperlukan tenaga kerja untuk menjalankan kegiatan usaha-usaha dari
perusahaan tersebut. Dengan demikian investasi langsung (Direct Investment) ini
memberikan

keuntungan

bagi

rakyat karena dapat membuka lapangan

pekerjaan, oleh karena itu juga memberikan keuntungan bagi Negara


(Pemerintah), karena tidak perlu lagi memikirkan lapangan kerja bagi sebagian
rakyatnya. Setelah usaha-usaha yang dilakukan oleh perusahaan dalam investasi
langsung tersebut berjalan, para pekerjanya pun mendapatkan upah (income)
yang dapat digunakan oleh mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
berupa sandang dan pangan, yang dapat dibeli dari para pedagang, selain itu
Negara juga dapat menerima pemasukan dari pajak yang dibayar oleh investor.
Dengan demikian investasi langsung dapat menimbulkan efek berganda

(multiplier effect),

yang

menyebabkan

sektor

riil

bergerak

dan

dapat

menimbulkan kesejahteraa rakyat, sehingga dengan adanya investasi langsung


semua

pihak,

baik

investor,

rakyat,

maupun

Negara

dapat

menerima

manfaatnya.
Penanaman modal (investasi) tidak saja dilakukan melalui badan usaha
perseorangan (seperti: usaha dagang/UD, toko, warung, dan sebagainya), atau
badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum (seperti: persekutuan firma/Fa,
perseroan komanditer/CV), akan tetapi juga dilakukan melalui badan usaha yang
berbentuk badan hukum (seperti: perseroan terbatas/PT, koperasi, yayasan,
perusahaan Negara/badan usaha milik Negara/BUMN, perusahaan daerah/badan
usaha milik daerah/BUMD).4 Dari bentuk-bentuk badan usaha tersebut, yang
berhubungan dengan penelitian ini adalah badan usaha yang berbentuk badan
hukum dan lebih khusus lagi adalah yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT).
Peneliti menggunakan PT dalam penelitan ini karena dari sekian banyak badan
usaha yang berbentuk badan hukum, PT yang paling banyak digunakan oleh
masyarakat dan karena PT merupakan badan hukum, maka PT adalah
merupakan subjek hukum. PT yang dimaksud adalah PT yang diatur dalam UU
4
R. Djatmiko D, 1996, Pengetahuan Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Angkasa,
bandung, hlm: 38.

63. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 58-72


No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (LN. 2007 106, TLN. 4756).
Sehingga dalam penelitian ini subjek hak dari HGB yang digunakan hanyalah PT
yang berkedudukan di Indonesia, karena PT adalah badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia, sedangkan WNI sebagai subjek HGB bukanlah objek
dari penelitian ini.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka yang
menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini ada dua, yaitu: Bagaimanakah
perpanjangan HGB itu diatur? Bagaimanakah memaknai ketentua Pasal 35 ayat
(2) UUPA bila dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum?
II.

TINJAUAN PUSTAKA
Kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama adanya aturan

yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu
dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat
umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa
pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam
putusan hakim untuk kasus serupa yang telah diputus.5 Kepastian hukum adalah
merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang
berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan
dalam keadaan tertentu6. Menurut Scheltema, adanya unsur-unsur dalam
kepastian hukum, meliputi: 1) asas legalitas; 2) adanya undang-undang yang
mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, sehingga warga dapat
mengetahui apa yang diharapkan; 3) undang-undang tidak boleh berlaku surut;
4) pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan yang lain.7

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Predana Media Group,
Jakarta, hlm. 158.
6

Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,


hlm. 145.
Ida Bagus Putu Kumara Adi Adnyana, 2010, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, Malang, hlm. 95.
7

I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan 64


HGB seperti yang dimaksud Pasal 35 ayat (1) UUPA, adalah hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Dengan anak kalimat
mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan, berarti bangunan-bangunan
yang

didirikan

di

atas

tanah

tersebut,

adalah

kepunyaan

dari

yang

mendirikannya. Dengan anak kalimat atas tanah yang bukan miliknya sendiri,
berarti tanah tempatnya mendirikan bangunan-bangunan tersebut adalah milik
pihak lain. Itu berarti pemilik bangunan bukanlah pemilik tanah, demikian juga
pemilik tanah bukanlah pemilik bangunan. Sedangkan anak kalimat terakhir
dengan jangka waktu 30 tahun, adalah merupakan batasan waktu yang
diperoleh bagi si pemilik bangunan-bangunan untuk memanfaatkan bangunanbangunan yang didirikannya di atas tanah yang bukan miliknya tersebut.
Jangka

waktu

tersebut

dapat

diperpanjang,

dengan

syarat-syarat

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA. Adapun syarat-syarat


yang dimaksudkan, yaitu: atas permintaan pemegang hak dan dengan
mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu
tersebut dalam ayat 1 dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
HGB dapat dialihkan, artinya HGB dapat dijual, dihibahkan, maupun
diwariskan. Hal itu tercermin dalam ketentuan Pasal 38 UUPA: (1) HGB termasuk
syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak
tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
Pasal 19; (2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya HGB serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali
dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Pasal 39 UUPA
menentukan: HGB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan. Terdapat perbedaan pengertian rumusan dalam Pasal 35 ayat (1)
UUPA dengan Pasal 38 dan Pasal 39 UUPA tersebut. Kalau Pasal 35 menentukan
hak mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan
miliknya sendiri, artinya yang mendirikan bangunan adalah merupakan pemilik
bangunan akan tetapi tanahnya bukan miliknya. Sedangkan Pasal 38 dan 39
UUPA menentukan, bahwa HGB dapat dialihkan dan dapat dipakai jaminan,
artinya HGB merupakan hak kebendaan.

65. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 58-72


Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 38 dan 39 UUPA dan dengan
mengabaikan seperlunya ketentuan dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA tersebut
dapatlah dipastikan, bahwa HGB merupaka hak kebendaan yang zakelikerecht,
karena ciri-ciri dari HGB sama dengan ciri-ciri hak kebendaan, yaitu dapat
dialihkan dan dijadikan jaminan oleh pemegang haknya.

III. METODE PENELITIAN


Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu suatu prosedur
ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatif. Pada penelitian ini terutama yang berkaitan dengan terdapatnya norma
kabur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA. Dalam kaitan itu, penelitian ini
menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pedekatan konsep (conceptual approach), yaitu pendekatan terhadap konsepkonsep hak atas tanah dan investasi, dan pendekatan analisis (analytic

approach), yaitu pendekatan dengan cara menganalisis bahan-bahan hukum


yang telah didapat.
Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, berupa
peraturan perundang-undangan tentang HGB (UUPA, PP 40 tahun 1996 dan
PMNA/KBPN 9 tahun 1999) dan investasi (UUPM), bahan hukum sekunder berupa
bahan pustaka yang berisikan pengertian tentang perpanjangan HGB dan
investasi yang mutakhir, dan bahan hukum tersier berupa kamus bahasa dan
kamus hukum. Analisis dilakukan secara interpretasi

hukum dan deskriptif

analitis.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaturan perpanjangan HGB
Pemberian HGB oleh UUPA tidak diatur dengan kata pemberian,
melainkan diatur dengan kata terjadi. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal
37 UUPA, yaitu: HGB terjadi, a) mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara karena penetapan Pemerintah; b) mengenai tanah hak milik karena
perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan

I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan 66


dengan pihak yang akan memperoleh HGB itu, yang bermaksud menimbulkan
hak tersebut. Sedangkan perpanjangan HGB diatur dalam Pasal 35 ayat (2)
UUPA. Menyimak ketentuan Pasal 37 UUPA, maka HGB hanya dapat timbul dari
tanah Negara (TN) dan tanah hak milik. Dalam hal ada HGB yang timbul dari
tanah lain selain TN dan tanah hak milik, maka hal itu bertentangan dengan
UUPA.
PP 40 tahun 1996 mengatur pemberian HGB dalam Bab III tentang
Pemberian HGB. Pasal 21 menentukan: Tanah yang dapat diberikan dengan HGB
adalah: a. TN; b. tanah hak pengelolaan (HPL); c. tanah hak milik. Pasal 22
menentukan: 1) HGB atas TN diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk; 2) HGB atas HPL diberikan dengan
keputusan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang
HPL; 3) ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohoan dan pemberian
HGB atas TN dan atas HPL diatur lebih lanjut dengan Keppres. Mengenai
perpanjangan HGB diatur dalam Pasal 25 ayat (1) PP 40 tahun 1996, sebagai
berikut: HGB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diberikan untuk jangka
waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 20 tahun.
Membaca ketentuan Pasal 21 PP 40 tahun 1996, ternyata ketentuan
tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 37 UUPA. Pasal 37 UUPA
menentukan HGB hanya dapat timbul dari TN dan hak milik, sedangkan Pasal 21
PP 40 tahun 1996 menentukan HGB dapat timbul dari TN, HPL, dan hak milik.
Perlu dipertanyakan, dari mana PP 40 tahun 1996 ini mendapatkan HPL, karena
UUPA yang menjadi sumber PP 40 tahun 1996 ini tidak mengenal HPL. Selain itu
sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (3) PP 40 tahun 1996, tata cara dan
syarat permohonan dan pemberian HGB atas TN dan atas HPL diatur lebih lanjut
dengan Keppres. Penulis tidak menemukan Keppres yang dimaksud, yang penulis
temukan hanya PMNA/KBPN 9 tahun 1999. Demi kepastian hukum Keppres yang
termaksud harus diterbitkan.
PMNA/KBPN 9 tahun 1999 mengatur tentang tata cara pemberian HGB
dalam Pasal 33 ayat (1) sebagai berikut: permohonan HGB diajukan secara
tertulis. Pasal 35 menentukan sebagai berikut: Permohonan HGB diajukan

67. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 58-72


kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan (Kakantah) setempat.
Mengenai tata cara perpanjangan HGB diatur dalam Pasal 40, sebagai berikut:
HGB dapat diperpanjang jangka waktunya atau diperbaharui haknya.
Mengenai subjek HGB diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UUPA, sebagai
berikut: yang dapat mempunyai HGB ialah: a. WNI, dan b. badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Selain itu
dalam PP 40 tahun 1996 ditentukan subjek HGB pada Pasal 19, yaitu: yang dapat
menjadi pemegang HGB adalah: a. WNI, dan b. badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Demikian pula
PMNA/KBPN 9 tahun 1999 menentukan subjek HGB dalam Pasal 32, yaitu: (1)
HGB dapat diberikan kepada: a. WNI, dan b. badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dari ketiga
pengaturan tentang subjek HGB tersebut tidak terdapat perbedaan, baik dalam
Pasal 36 ayat (1) UUPA, maupun Pasal 19 PP 40 tahun 1996 serta Pasal 32
PMNA/KBPN 9 tahun 1999, sehingga HGB hanya boleh dimiliki oleh WNI dan
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
Membaca ketentuan-ketentuan tersebut, maka dapat disimak hal-hal
sebagai berikut: ternyata permohonan HGB diajukan secara tertulis kepada
Menteri melalui Kakantah setempat. Setelah jangka waktu HGB berakhir, ternyata
dapat diperpanjang dan diperbaharui lagi, dan HGB hanya dapat dimiliki oleh
WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
4.2 Memaknai ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA
Kata-kata kesejahteraan rakyat terdapat baik dalam UUPA maupun
UUPM. UUPA mengaitkan kesejahteraan rakyat dengan tujuan penguasaan
tanah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (3), yaitu: Wewenang yang
bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara
hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Sedangkan UUPM

I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan 68


mengaitkan

kesejahteraan

rakyat

(masyarakat)

dengan

tujuan

ivestasi,

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (2), yaitu: Tujuan penyelenggaraan


penanaman modal, antara lain (h) meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, baik penguasaan tanah menurut UUPA maupun investasi
menurut UUPM sama-sama bertujuan untuk kesejahteraan rakyat.
Kesejahteraan rakyat bila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 35 ayat (2)
UUPA, perlu kiranya dimaknai hal-hal sebagai berikut:
a. Sepanjang mengenai anak kalimat Atas permintaan pemegang hak.... dalam
hal ini pemegang hak diwajibkan untuk mengajukan permintaan perpanjangan
HGB atas tanah. Ketentuan ini merupakan ketentuan mutlak, karena HGB
merupakan pemberian, jadi sebagaimana layaknya suatu pemberian biasanya
didahului dengan suatu permintaan/permohonan.
b. Sepanjang mengenai anak kalimat ...dan dengan mengingat keperluan....
Norma ini tidak dengan tegas menentukan tentang keperluan yang dimaksud.
Keperluan siapakah yang dimaksudkan dalam norma tersebut. Apakah
keperluan pemegang hak, keperluan negara atau keperluan pihak lain? Kalau
yang dimaksud adalah keperluan pemegang hak, maka pemegang hak pasti
memerlukannya,

sehingga

dia

mengajukan

permohonan

perpanjangan

haknya, kalau pemegang hak tidak memerlukan, tidak mungkin pemegang


hak mengajukan permohonan perpanjangannya. Sebaliknya kalau yang
dimaksud adalah keperluan negara, perlu diperjelas lagi, keperluan yang
bagaimana yang dimaksud dengan itu. Akan lebih bermasalah lagi apabila
yang dimaksud adalah keperluan pihak ketiga, karena kemungkinan pihak
ketiga tersebut adalah pesaing bisnis dari pemegang hak, sehingga pihak
ketiga tersebut pasti berkeberatan perpanjangan haknya dikabulkan.
Menurut peneliti, HGB merupakan hak atas tanah, maka keperluan yang
dimaksud dalam hal ini adalah keperluan tentang penguasaan atas tanah
sesuai yang diatur Pasal 2 ayat (3) UUPA, yaitu untuk kesejahteraan rakyat.
Jadi keperluan dalam norma ini adalah bertujuan untuk kesejahteraan rakyat,
sehingga konsekwensinya demi kepastian hukum selama tanah yang diberikan
dengan HGB kepada suatu subjek hak telah memenuhi tujuan penguasaan
tanah, selama itu juga keberadaan HGB tersebut harus tetap dipertahankan.

69. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 58-72


c. Sepanjang

mengenai

anak

kalimat

...serta

keadaan

bangunan-

bangunannya.... Keadaan bangunan-bangunan yang bagaimanakah yang


dimaksud dalam norma ini? Kalau yang dimaksud adalah bangunannya harus
baik. Apakah bangunan yang dibangun 30 tahun yang lalu, masih dapat
dikatakan baik saat ini? Selain itu dengan mengingat perkembangan estetika
mengenai bangunan yang bersifat dinamis dan selalu mengikuti selera
masyarakat, yang setiap saat berubah dan cenderung berbeda, apakah
bangunan-bangunan yang telah didirikan 30 tahun yang lalu masih memenuhi
estetika kekinian?
Maksud dari anak kalimat ini adalah, bahwa bangunan tersebut harus
memenuhi standar keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan
bagi penggunanya. Standar tersebut dapat diketemukan dalam Pasal 16, 17,
dan Pasal 21 sampai dengan Pasal 32 UU No. 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung (LN 2002 134, TLN 4247) selanjutnya disebut UU
Bagunan Gedung.
d. Sepanjang mengenai anak kalimat ...jangka waktu tersebut dalam ayat (1)
dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Seperti yang telah
diuraikan di atas, kata dapat ini merupakan kata yang mengandung
ketidakjelasan. Kata dapat bisa ditafsirkan dapat ditolak atau dapat
dikabulkan. Karena dapat ditafsirkan berbeda, kata dapat tersebut tidak
memberikan jaminan kepastian bagi pemegang hak untuk memperoleh
perpanjangan hak atas tanah tersebut. Kata dapat dalam hal ini dapat
ditafsirkan dengan bebas oleh yang berwenang (pejabat pemerintah), dalam
satu hal tertentu mungkin saja HGB yang telah memenuhi syarat untuk
diperpanjang ditolak permohonan perpanjangannya oleh pejabat yang
berwenang karena pejabat yang berwenang tersebut mempunyai keinginan
lain, atau sebaliknya mungkin saja HGB yang tidak memenuhi syarat untuk
diperpanjang dikabulkan permohonan perpanjangannya karena adanya
pertimbangan

lain

pertimbangan

diluar

Akibatnya

oleh

pejabat

pertimbangan

menimbulkan

yang

berwenang,

hukum

ketidakpastian

dan

hukum,

yang

merupakan

kesejahteraan
karena

rakyat.

permohonan

perpanjangan hak tersebut belum tentu dikabulkan, juga menjadi tidak adil

I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan70


bagi pemegang hak, karena apabila ditolak, maka pemegang hak tidak dapat
melanjutnya investasinya, sehingga tidak tercipta investasi yang berkelanjutan
sesuai yang dimaksud oleh Pasal 3 ayat (1) g UUPM.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, apabila ketentuan Pasal 35 ayat (2)
UUPA tersebut dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum, maka penafsirannya
harus selalu dikaitkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUPA, jo ketentuan
Pasal 3 ayat (1) hurup a, f, g dan ayat (2) hurup b dan h UUPM. Ketentuan dari
pasal-pasal tersebut bermakna, bahwa HGB diberikan untuk investasi yang
berkepastian

hukum,

sehingga

menimbulkan

berkeadilan,

dan

investasi

berkelanjutan, yang pada gilirannya dapat tercapainya kesejahteraan rakyat.


Ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA yang ada sekarang ini tidak mencerminkan
prinsip kepastian hukum, karena ada kata-kata yang tidak jelas maknanya dalam
norma tersebut, yaitu: anak kalimat ...dan dengan mengingat keperluan...,
anak kalimat ...serta keadaan bangunan-bangunannya... dan kata dapat
dalam ketentuan tersebut. Seperti yang telah diuraikan di atas, kata dapat
tersebut bermakna ganda, yaitu dapat ditolak atau dapat dikabulkan, oleh
karena itu kata dapat akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang, karena
pemerintah dapat menafsirkan kata dapat itu sesuai dengan keperluannya
dalam

hal

mengabulkan

atau

menolak

perpanjangan

HGB. Agar

tidak

menimbulkan tindakan sewenang-wenang baik oleh pemerintah maupun subjek


hak, maka ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA tersebut harus disempurnakan.

III. PENUTUP
3.1. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam pembahasan di atas,
maka dapatlah dirumuskan beberapa simpulan sebagai jawaban atas dua
permasalahan penelitian tersebut di atas, sebagai berikut:
1. Ternyata perpanjangan HGB di atas TN diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA
jo Pasal 26 ayat (1) PP 40 tahun 1996 jo Pasal 40 PMNA/KBPN 9 tahun 1999,
sedangkan perpanjangan HGB di atas tanah HPL diatur dalam Pasal 35 ayat
(2) UUPA setelah mendapat persetujuan dari pemegang HPL (Pasal 26 ayat

71. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 58-72


(2) PP 40 tahun 1996 jo Pasal 45 PMNA/KBPN 9 tahun 1999). HGB di atas
tanah Hak Milik tidak diatur untuk perpanjangan, akan tetapi sesuai
ketentuan Pasal 29 ayat (2) PP 40 tahun 1996 dapat diperbaharui
berdasarkan persetujuan antara pemegang hak Milik dan pemegang HGB
dengan pemberian HGB baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT,
selanjutnya didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat.
2. Memaknai ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA harus selalu dikaitkan dengan
tujuan penguasaan tanah yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA, yaitu
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan ketentuan Pasal 3 UUPM
mengenai asas dan tujuan penanaman modal, antara lain menciptakan
lapangan kerja, meningkatan kesejahteraan masyarakat, dan menciptakan
investasi yang berkelanjutan.
3.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan seperti tersebut di atas, dapat diajukan saransaran sebagai berikut:
1. Kepada KBPN: HGB bagi perseroan terbatas dalam investasi langsung,
apabila telah terpenuhi tujuan pemberian hak atas tanah dan tujuan investasi
langsung berupa memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat, maka
hak atas tanah termasuk perpanjangannya harus diberikan, agar terpenuhi
asas investasi, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan investasi berkelanjutan.
2. Kepada pembuat undang-undang (DPR bersama Presiden), dalam rangka
mewujudkan HGB yang memberikan kepastian hukum, keadilan, dan
berkelanjutan bagi PT dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka
rumusan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPA agar disempurnakan menjadi:
-Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan
penguasaan tanah dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
serta keadaan bangunan-bangunnya yang memenuhi syarat (layak)
dipergunakan, jangka waktu Hak Guna Bangunan dalam ayat (1)
diperpanjang dengan waktu paling lama dua puluh tahun.

I Nyoman Alit Pusmadma. Perpanjangan72


DAFTAR PUSTAKA
Ida Bagus Putu Kumara Adi Adnyana, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, Malang: Disertasi
Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya,
2010.
Panji

Anoraga, Perusahaan Multinasional


Semarang: Pustaka Jaya, 1994.

dan Penanaman Modal Asing,

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008.
R. Djatmiko D., Pengetahuan Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Bandung:
Angkasa, 1996.
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Bandung: CV. Nuansa Aulia, cetakan I, Juli
2007.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, 1999.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (LN. 1960 104, TLN. 2043).
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (LN. 2002
134, TLN. 4247).
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (LN. 2007
67, TLN. 4724).
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (LN. 2007
106, TLN. 4756).
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (LN. 2011 82, TLN. 5234).
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan Dan Hak Pakai (LN. 1996 58, TLN. 3643).
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.

73. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92


Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah Perspektif Hukum Investasi
Berwawasan Lingkungan Untuk Kemakmuran1
I Nyoman Putu Budiartha2

Abstract
The arrangement of legal certainty of land use in investment, is done by
issuing HGU, HGB or HP with a limited period of time and may be extended or
renewed. However, legal uncertainty may occur when the concession period of
HGU, HGB, or HP expires but the application for extension or renewal is not
accepted rejected) so that the land, by- the laws, is controlled by the state. This
brings about juridical impact that the productive ongoing company should be
relocated or even closed so that it is clearly incompatible with the principle of
sustainable investment and welfare of the people. Land use with HGU, HGB, or
HP in Eco- Investment for the prosperity of the people should be based on
integrated land use management with spatial planning (RTRW) of the regency /
city government by determining the investment activity zone within the
framework of a national land policy.
Keywords: Utilization and Land Use, Eco- Investment and Prosperity
Abstrak
Kepastian hukum penggunaan tanah dalam penanaman modal,
pengaturannya dilakukan dengan pemberian HGU, HGB atau HP dengan jangka
waktu terbatas dan dapat diperpanjang atau diperbaharui. Namun demikian
ketidakpastian hukum dapat terjadi bilamana jangka waktu HGU, HGB atau HP
berakhir tetapi permohonan perpanjangan atau pembaharuan tidak diterima
(ditolak) sehingga demi hukum tanah tersebut dikuasai negara. Hal ini
berimplikasi yuridis, bahwa perusahaan yang sedang berjalan produktif harus
direlokasi atau bahkan harus tutup sehingga jelas tidak sesuai dengan prinsip
investasi yang berkelanjutan dan mensejahterakan rakyat. Pemanfaatan tanah
dengan HGU, HGB atau HP yang digunakan investor dalam penanaman modal
yang berwawasan lingkungan untuk kemakmuran rakyat harus berdasarkan
penatagunaan tanah yang terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah
(RTRW) kabupaten/kota dengan menentukan zone kegiatan investasi dalam
kerangka kebijakan pertanahan nasional.
Kata Kunci:

Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah, Investasi Berwawasan


Lingkungan dan Kemakmuran

Makalah Seminar Regional Perencanaan Wilayah Kota yang Berwawasan Lingkungan dan
berbasis Kearifan Hukum Lokal diselenggarakan Program Pascasarjana Universitas Warmadewa di
Denpasar 10 Juli 2013
2

Dosen Tetap Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas
Warmadewa,
Jl.
Terompong
No.
24
Tanjung
Bungkak,
Denpasar.
nyomanputubudiartha@yahoo.co.id

I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan74


I.

PENDAHULUAN
Negara sebagai organisasi kekuasaan pasti memiliki tujuan. Begitu juga

bagi Negara Indonesia, tujuannya tertuang dalam alenia keempat Pembukaan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
mengindikasikan bahwa Indonesia sebagai negara hukum yang menganut
konsep negara kesejahteraan (welfare state).
Sebagai negara hukum yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan
umum, setiap kegiatan, di samping harus diorientasikan pada tujuan yang
hendak dicapai, juga harus menjadikan hukum yang berlaku sebagai aturan
kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan termasuk dalam
kegiatan investasi.
Hukum dalam dunia investasi (bisnis) harus mampu menjamin certainty
(kepastian), predictability (bahwa setiap kasus yang sama harus diputus sama),

calculability (bahwa setiap ketentuan yang menyangkut finansial harus dapat


diperhitungkan lebih dahulu). Ini semua berhubung setiap keputusan di bidang
investasi harus dapat menjangkau kemungkinan apa yang terjadi untuk masa
depan.

Akan menjadi tidak menarik bagi investor dalam menanamkan modal di


Indonesia baik penanam modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal
asing (PMA) apabila hambatan karena ketiga hal tersebut di atas kurang
mendapat jaminan nyata bagi pemerintah. Fasilitas kemudahan-kemudahan
dalam pemanfaatan dan penggunaan tanah berkenaan dengan masa Hak Guna
Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) dengan batasan
waktu tertentu yang masing-masing dapat diperpanjang sesuai ketentuan yang
berlaku, apabila ketiga faktor tersebut di atas utamanya kepastian hukum tidak
dijamin tegaknya berpotensi menghambat daya tarik investasi.
Sebaliknya

kewajiban

investor

untuk

bina

lingkungan,

misalnya

mengakomodasi tenaga kerja masyarakat lokal, adalah bagian dari upaya


integrasi

kepentingan

investor

dengan

kepentingan

masyarakat.

Hukum

hendaknya dapat memelihara berbagai kepentingan itu hingga menjadi serasi.

Achmad Sodiki, 2012, Kebijakan Pertanahan Dalam Penataan Hak Guna Usaha Untuk
Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat, Makalah Seminar Nasional Membangun Sumber Daya
Manusia yang Berintgrasi Dalam Bidang Hukum Melalui Pendidikan Pascasarjana, oleh FH.
Universitas Warmadewa di Denpasar, 3 Maret 2012, hal. 12.

75. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92


Investor sebagai pemodal (pemilik capital), seharusnya tidak mengejar
keuntungan semata dengan mengorbankan rakyat sebagaimana kapitalisme
kuno, tetapi harus mampu menjadi kapitalisme yang menebarkan keadilan dan
kesejahteraan sosial.
Sebagai salah satu unsur essential pembentuk negara, tanah memegang
peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang
bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya mendominasi. Di negara yang
rakyatnya

berhasrat

melaksanakan

demokrasi

yang

berkeadilan

sosial,

pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan


suatu conditio sine qua non.4
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA) dalam pertimbangannya telah menegaskan bahwa hukum
agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air,
dan ruang angkasa sesuai dengan kepentingan rakyat

Indonesia dan

perkembangan zaman serta merupakan perwujudan asas Ketuhanan Yang Maha


Esa, Perikemanusiana, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Hal ini juga
diperkuat oleh Pasal 6 UUPA yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial.
Namun kenyataan yang terjadi jauh dari semangat UUPA. Berbagai
konflik seputar tanah kerap terjadi. Amanat undang-undang yang mengutamakan
kepentingan rakyat akhirnya harus terkikis dengan kepentingan-kepentingan
investasi dan komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga
kepentingan rakyat banyak yang seharusnya memperoleh prioritas utama
akhirnya menjadi terabaikan.
Beberapa sengketa tanah bermunculan di perkataan bukan saja dipicu
arus urbanisasi, tapi juga dengan adanya proyek-proyek infrastruktur berskala
besar, politik pertanahan (seperti menggusur warga miskin perkotaan dari tanah
berlokasi strategis untuk kepentingan pembangunan proyek-proyek komersial)
banyak berakhir pada penggusuran paksa masyarakat miskin di perkotaan. Di
daerah kaya mineral, konflik terus terjadi antara masyarakat adat dan

Imam Sudiyat, 1978, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, hal. 1.

I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan76


pemerintah atau perusahaan swasta pemegang konsesi, seperti yang terjadi di
Papua (Freeport) dan Riau (Caltex). Di Kawasan hutan antara Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) atau Perusahaan Perkebunan Besar dan masyarakat adat.
Terlepas dari kontroversi pemanfaatan dan penggunaan tanah diantara
kepentingan investor di satu sisi dan kepentingan masyarakat pada umumnya,
maka peran pemerintah dan regulasi untuk mengatur peruntukan pemanfaatan
dan penggunaan tanah bagi investasi agar di satu pihak memberikan jaminan
kepastian hukum bagi investor dan di pihak lain serasi dengan lingkungan dan
memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Oleh karena itu
perlu

cermati

untuk

dilakukan

pengkajian

mengenai

kepastian

hukum

penggunaan tanah dalam penanaman modal dan pemanfaatan tanah dalam


penanaman modal yang berwawasan lingkungan untuk kemakmuran.
II. KEPASTIAN HUKUM PENGGUNAAN TANAH DALAM INVESTASI
Kepastian hukum mengandung dua pengertian yaitu, pertama ,
adanya

aturan

yang

bersifat

umum

membuat

individu

mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenang-wenangan pemerintah
karena adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui
apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap
individu. 5 Dari pengertian kepastian hukum di atas terdapat tiga makna
kepastian hukum 1) pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur
masalah

pemerintahan

tertentu

yang

abstrak;

2)

pasti

mengenai

kedudukan hukum dari subyek dan obyek hukumnya dalam pelaksanaan


peraturan pemerintahan; 3) mencegah

timbulnya tindakan/perbuatan

sewenang-wenang dari siapapun termasuk dari pemerintah. 6


Kemudahan pelayanan dan atau perizinan hak atas tanah untuk
investasi diberikan oleh pemerintah, pemerintah provinsi atau pemerintah

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hal. 158.
5

I Nyoman Putu Budiartha, 2012, Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Ditinjau dari
Prinsip Keadilan, Kepastian Hukum, dan Hak Azasi Manusia, Malang, Disertasi Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, hal. 119.

77. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92


kabupaten/kota setelah memenuhi persyaratan yuridis dan fisik yang
diawali dengan pemberian izin lokasi (PMN/BKPN Nomor 2 Tahun 1999 jo
Kepres Nomor 34 Tahun 2003) jo Kepres Nomor 38 Than 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 6 antara lain
mengenai Pelayanan Pertanahan dan Penanaman Modal).
1. Jenis Hak Atas Tanah yang Digunakan dalam Investasi
Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (UUPM) ditentukan bahwa investor diberikan hak
untuk

menggunakan

hak

atas

tanah

yang

terdapat

di

wilayah

Indonesia. Hak atas tanah yang dapat digunakan investor untuk


kegiatan investasinya adalah: 1) Hak Guna Usaha (HGU), 2) Hak Guna
Bangunan (HGB), dan 3) Hak Pakai (HP).
Jangka waktu hak atas tanah tersebut menurut UUPM; HGU 90
tahun (60+30 tahun), HGB 80 tahun (50+30 tahun), HP 70 tahun
(45+25 tahun). Hal ini bertentangan dengan pengaturan UUPA dan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah (PP Nomor 40 Tahun
1996) 7. Kemudian ketentuan jangka waktu yang diatur dalam UUPM
diajukan Judicial Review dan Mahkamah Konstitusi dengan Putusannya
Nomor 33/PUU.X/2011 membatalkan ketentuan Pasal 22 UUPM, karena
dipandang bertentangan dengan makna Pasal 33 UUD NRI 1945
sehingga untuk jangka waktu

HGU, HGB dan HP tetap berlaku UUPA

dan PP Nomor 40 Tahun 1996.


1) Hak Guna Usaha (HGU)
Dari rumusan Pasal 28 UUPA diketahui bahwa HGU adalah
hak yang diberikan oleh negara guna perusahaan pertani an,
perikanan atau perusahaan peternakan untuk melakukan kegiatan
usahanya di Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, dalam Pasal 30
UUPA terdapat perluasan subyek hukum yang dapat menjadi

7
Salim dan Budi Sutrisno, 2009, Hukum Investasi di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 315.

I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan78


pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini HGU, selain orang
perseorangan WNI Tunggal, Badan Hukum yang didirikan menurut
ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia juga dimungkinkan untuk menjadi pemegang HGU.
Untuk menjadi Badan Hukum Investasi harus memenuhi 2
syarat, yaitu: 1) didirikan menurut ketentuan Hukum Indonesia, 2)
Berkedudukan di Indonesia. Hal ini membawa konsekuensi bahwa
setiap Badan Hukum, selama didirikan menurut ketentuan hukum
negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapat
menjadi pemegang HGU dengan tidak mempertimbangkan sumber
asal dana yang merupakan modal dari Badan Hukum tersebut baik
PMA maupun PMDN.
Selanjutnya dalam hal pemegang HGU tersebut tidak lagi
memenuhi syarat sebagaimana tersebut di atas, maka dalam jangka
waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan HGU itu kepada
pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu
tersebut HGU tidak dilepaskan atau dialihkan, HGU tersebut hapus
karena hak dan tanahnya menjadi tanah negara. 8
Jangka waktu pemberian HGU dan perpanjangannya yang
selama ini menjadi polemik, akhirnya tetap menggunakan ketentuan
pasal 29 UUPA dan Pasal 9 PP Nomor 40 Tahun 1996, yaitu HGU
bisa diberikan selama 35 tahun dan bisa diperpanjang selama 25
tahun. Selanjutnya sesuai ketentuan Pasal 9 PP Nomor 40 Tahun
1996, bahwa pemegang HGU dapat mengajukan permohonan
perpanjangan ataupun pembaharuan kembali HGU yang dimilikinya,
jika terpenuhi syarat-syarat:
a) Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak; dan
b) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali, 2007, Kepastian Hukum Hak Atas
Tanah Dalam Rangka Penanaman Modal di Provinsi Bali, Makalah Seminar Nasional,
diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa di Denpasar, Agustus 2007, hal. 3.

79. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92


Dari ketentuan pasal 4, 6, dan 7 PP Nomor 40 Tahun 1996
dapat diketahui bahwa:
a) Pemberian HGU hanya dapat diberikan berdasarkan keputusan
pemerintah melalui pejabat yang berwenang atas tanah negara
yang merupakan tanah yang dikuasai negara dan tidak telah
diberikan hak atas tanah lainnya kepada pihak lain.
b) Oleh karena pemberian HGU ini termasuk dalam suatu hak yang
berada

dalam

lapangan

diwajibkan

terhadap

penentuan

saat

publik,

pemberian

lahirnya

HGU

maka
HGU

pendaftaran

ini

juga

tersebut.

yang

merupakan

Tanpa

adanya

pendaftaran tersebut sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24


Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP Nomor 24 Tahun
1994) tidak pernah ada HGU sama sekali. Meskipun untuk itu
telah dikeluarkan keputusan pejabat yang berwenang. Hal ini
untuk menjamin kepastian hukum HGU.
2) Hak Guna Bangunan (HGB)
HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan
paling lama

miliknya dengan jangka waktu

30 tahun dan dapat diperpanjang paling

lama 20

tahun. (Pasal 35 UUPA dan Pasal 25 PP Nomor 40 Tahun 1996).


Dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak atas tanah
di mana bangunan tersebut didirikan. Ini berarti pemegang HGB
adalah berbeda dari pemegang hak milik atas sebidang tanah di
mana bangunan tersebut didirikan.
Dalam kaitannya dengan kepemilikan HGB dari rumusan Pasal
36 UUPA dan pasal 19 PP Nomor 40 Tahun 1996 juga dapat
dikatakan bahwa undang-undang memungkinkan dimilikinya HGB
oleh Badan Hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum Negara
Republik Indonesia

dan yang berkedudukan di Indonesia. Hal ini

sama dengan ketentuan Badan Hukum dalam memperoleh HGU


seperti

di

atas.

Terhadap

persyaratan

Badan

Hukum

untuk

I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan80


memperoleh HGB, teori yang berkembang dalam Hukum Perdata
Internasional dimungkinkan bahwa, kedudukan suatu Badan Hukum
telah berkembang sedemikian rupa sehingga pada taraf tertentu
mereka juga dianggap memiliki persona standi in yudicio pada
suatu negara di mana mereka melakukan kegiatan operasionalnya
dan tidak harus di mana pusatnya berkedudukan. Dalam

konteks

ini, maka kedua syarat tersebut yakni didirikan menurut ketentuan


hukum Negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
menjadi keharusan komulatif.
Pada dasarnya, tanah yang dapat diberikan HGB adalah
tanah negara, Tanah Hak Pengelolaan (HPL) dan Tanah Hak Milik. 9
Perpanjangan/pembaharuan

HBG sesuai

ketentuan Pasal 26 PP

Nomor 40 Tahun 1996 dapat dilakukan jika memenuhi syarat-syarat:


a) Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan
keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut.
b) Syarat pemberian hak tersebut terpenuhi dengan baik oleh
pemegang hak.
c) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
d) Tanah tersebut masih sesuai dengan

Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) yang bersangkutan.


HGB

atas

tanah

Hak

Pengelolaan

(HPL)

juga

dapat

diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan dari pemegang


HGB harus memperoleh persetujuan lebih dahulu dari pemegang
HPL.10
Sehubungan dengan pemberian HGB di atas Tanah Negara
dan HPL merupakan bagian dari penanaman modal y ang disetujui
oleh pemerintah, berdasarkan pada ketentuan penanaman modal,
baik

PMA

maupun

PMDN

dengan

memperhatikan

izin

lokasi

sebagaimana diatur dalam PMA/BKPN Nomor 2 Tahun 1999 tentang


9

Sudargo Gautama, Elyda T. Soetiyarto, 1997, Komentar atas Peraturan-Peraturan


Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria 1996, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 18-19.
10

Ibid, hal. 25.

81. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92


Izin Lokasi dalam Kepres Nomor 34 Tahun 2003 jo Kepres Nomor
38 Tahun 2007 dimana pemberian izin lokasi menjadi kewenangan
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota

bergantung

letak

dan

luas

tanah

yang

dimohonkan.
Supaya ada kepastian hukum, berdasarkan Pasal 23 ayat (3)
PP Nomor 24 Tahun 1997 pemberian HGB harus didaftarkan
sehingga sebagai tanda bukti hak pada pemegang HGB diberikan
sertifikat hak atas tanah.
3) Hak Pakai (HP)
Hak

Pakai

adalah

hak

untuk

menggunakan

dan/atau

memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negar a atau
tanah hak milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian
pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan UUPA (pasal 41 ayat (1) UUPA).
Pemberian HP dapat dilakukan kepada:
a) Warga negara Indonesia
b) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
c) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
d) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Pemberian HP berdasarkan jangka waktu paling lama 25
tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun (Pasal 45 ayat
(1) PP Nomor 40 Tahun 1996).
HP dapat diberikan di atas tanah negara, Tanah

Hak

Pengelolaan dan Tanah Hak Milik (sama seperti HGB). Demikian


halnya perpanjangan HP juga sama dengan perpanjangan atau
pembaharuan HGU dan HGB, cuma dalam hal perpanjangan atau

I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan82


pembaharuan HP atas tanah pengelolaan harus diajukan atas usul
dari pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan.
Dalam rangka lebih menjamin adanya kepastian hukum HP
juga harus didaftarkan pada Kantor Badan Pertanahan sesuai
ketentuan Pasal 43 ayat (3) PP Nomor 40 Tahun 1996 agar
mendapatkan sertifikat sebagai bukti hak bagi pemegangnya.
2. Tata Cara Permohonan Hak Atas Tanah
Sesuai ketentuan pasal 4 ayat (1) PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun
1999 menegaskan bahwa sebelum mengajukan permohonan suatu hak
atas bidang tanah, pemohon harus menguasai tanahnya yang dimohon
dan dibuktikan dengan data yuridis serta data fisik sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan

mengenai

kewenangan

memberikan

HGU

dapat

ditemukan dalam Pasal 8, 13 dan 14 PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1999


tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian dan Pembatalan Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Dari ketentuan pasal tersebut dapat
diketahui bahwa terhadap:
a) Sampai 200 Ha, pemberian HGU dilakukan oleh Kanwil BPN Provinsi;
b) Mulai dari 200 Ha ke atas pemberian HGU dilakukan oleh Kepala
BPNRI.
Adapun syarat-syarat permohonan HGU sesuai PMNA/KBPN
Nomor 9 Tahun 1999 adalah:
1) Permohonan HGU diajukan secara tertulis
2) Permohonan HGU memuat:
a) Keterangan mengenai pemohon
b) Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan
data fisik.
c) Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanahtanah yang dimiliki, termasuk bidang tanah yang dimohon.
d) Keterangan lain yang dianggap perlu.

83. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92


Kemudian untuk HGB yang diberikan di atas tanah negara dan
tanah HPL diberikan berdasarkan PMNA/BPN Nomor 3 Tahun 1999. Dari
ketentuan Pasal 4, 9 dan 14-nya diketahui pemberian HGB:
1) Sampai dengan 2000 m, pemberian HGB atas tanah negara
dilakukan oleh Kepala Kantor BPN Kabupaten/Kota.
2) Mulai di atas 2000 m hingga 150.000 m pemberian HGB atas
tanah negara dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi.
3) Di atas 150.000 m pemberian HGB atas tanah negara dilakukan
oleh Kepala Kantor BPN RI.
4) Pemberian HGB atas tanah HPL dilakukan oleh Kepala Kantor BPN
Kabupaten/Kota.
Permohonan Hak Pakai (HP) atas

tanah hak milik dan tanah

negara sesuai ketentuan PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1999 diberikan


oleh Kepala Kantor BPN Kabupaten/Kota, BPN Provinsi, dan BPN RI
sesuai

kewenangannya masing-masing (Kepres Nomor 38 Tahun

2007).
Tata cara permohonan HGB dan HP dipers yaratkan sama

halnya

dengan permohonan HGU.


3. Pencabutan dan Pelepasan Hak Atas Tanah
HGU, HGB dan HP dapat dihentikan atau dibatalkan pada
dasarnya disebabkan:
1) Menelantarkan tanah.
2) Merugikan kepentingan umum.
3) Tidak sesuai peruntukan.
4) Melanggar peraturan pertanahan.
Sedangkan pelepasan hak terhadap HGU, HGB dan HP dapat terjadi
karena:
1) Habis jangka waktunya, atau tidak diperpanjang/diperbaharui.
2) Dialihkan kepada subyek yang tidak berhak.
3) Pemegang hak tidak memenuhi syarat lagi dan dalam 1 tahun tidak
mengalihkan kepada pihak lain.

I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan84


Menarik untuk dicermati praktek administrasi pertanahan mengenai
berakhirnya hak atas tanah yang bersifat terbatas jangka waktunya,
seperti HGU, HGB dan HP di atas tanah negara, sebab UUPA dan PP Nomor
40 Tahun 1996 menentukan jika jangka waktu hak atas tanah yang
terbatas itu berakhir, maka status tanahnya menjadi tanah negara. Namun,
praktek administrasi pertanahan selama ini menunjukkan bahwa kepada
bekas pemegang hak atas tanah tetap ada apa yang disebut oleh birokrasi
pertanahan sebagai Hak Prioritas atau Hak Keperdataan. 11 Pendirian
semacam ini tampak jelas pada surat Kepala

BPN Nomor 540-1-434-DI

tanggal 22 Februari 2006, yang menyatakan bahwa meskipun HGU sudah


berakhir jangka waktunya berstatus sebagai tanah yang langsung dikuasai
negara, namun tidak dengan sendirinya menghapuskan asset dari bekas
pemgang hak termasuk perbuatan-perbuatan hukum oleh bekas pemegang
hak terhadap tanah tersebut.
Julius Sambiring memaknai keharusan pelepasan bekas pemegang
hak itu sebagai kebijakan pemutusan hubungan hukum bekas pemegang
hak atas tanah. 12
Namun, praktek administrasi pertanahan di atas belum sepenuhnya
diterima oleh penegak hukum. Oleh karena, jajaran kepolisian dan
kejaksaan misalnya, masih memandang bahwa peralihan tanah neg ara
bekas HGU sebagai tindakan pidana korupsi, karena dipandang mengambil
keuntungan dari pengalihan tanah negara kepada pihak lain. 13 Dengan
demikian terdapat perbedaan persepsi terhadap status tanah negara bekas
HGU yang berakhir jangka waktunya.
Untuk dapat memberikan kepastian hukum bagi pemegang suatu
hak atas tanah dalam hal ini, untuk HGU, HGB dan HP bagi kepentingan
penanaman modal, setelah memenuhi segala persyaratan dan mekanisme

11

Oloan Sitorus, 2013, Penataan Hubungan Hukum Dalam Penguasaan dan Pemilikan serta
Penggunaan dan pemanfaatan Sumber Daya Agraria (Makalah, Seminar Nasional Pertanahan oleh
BPN di Denpasar), hal. 6.
12

Julius Sambiring, 2012, Tanah Negara, STPN Press, Yogyakarta, hal. 65.

13

Oloan Sitorus, Op.Cit., hal. 7.

85. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92


tatacara sesuai ketentuan tersebut di atas, berdasar pasal 19 UUPA
pelaksanaan pendaftaran hak dan juga dalam hal peralihan haknya, kepada
yang berhak akan diberikan tanda bukti hak atau yang lazim disebut
sertifikat yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, sepanjang tidak
dapat dibuktikan sebaliknya, 14 sebagaimana ketentuan Penjelasan Pasal 32
ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997
III. PEMANFAATAN TANAH DALAM INVESTASI YANG BERWAWASAN
LINGKUNGAN UNTUK KEMAKMURAN
Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna
tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang
berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang
terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk
kepentingan masyarakat secara adil.15
Penatagunaan tanah merupakan wujud pelaksanaan Pasal 33 UUD NRI
1945 yang perlu diatur karena tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa
bagi bangsa Indonesia yang dikuasai oleh negara untuk kepentingan hajat hidup
orang banyak, baik setelah dikuasai atau dimiliki oleh orang perseorangan,
kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat dan atau badan hukum
maupun yang belum diatur dalam hubungan hukum berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Berbagai bentuk hubungan hukum dengan tanah yang
berwujud hak-hak atas tanah memberikan wewenang untuk menggunakan dan
memanfaatkan tanah sesuai dengan sifat dan tujuan haknya berdasarkan
persediaan, peruntukan, penggunaan dan pemeliharaannya.
Tanah merupakan unsur yang strategis dan pemanfaatannya terkait
dengan penataan ruang wilayah. Penataan ruang wilayah mengandung
komitmen untuk menerapkan penataan secara konsekuen dan konsisten dalam
rangka kebijakan pertanahan yang berlandaskan Undang-Undang

14

Nomor 26

Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, PT. Prenada
Group, Jakarta, hal. 274-275.

Media

15
Hasni, 2010, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Kontek UUPAUUPR-UUPLH, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 71.

I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan86


Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR). Untuk itu dalam rangka
pemanfaatan ruang perlu dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut juga
pola pengelolaan penguasaan penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagai
mana diatur dalam

peraturan pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Penatagunaan Tanah (PP Nomor 16 Tahun 2004).


Penatagunaan tanah merujuk pada Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan. Bagi kabupaten/kota yang belum
menetapkan RTRW, penatagunaan tanah merujuk pada RTRW Provinsi atau yang
telah ditetapkan dengan perundang-undangan.
Penatagunaan tanah sangat penting dalam menentukan bagi persediaan
peruntukan dan penggunaan tanah untuk menjamin adanya kelestarian
lingkungan akibat adanya pertambahan penduduk dan meningkatnya kegiatan
investasi sehingga dalam hal ini diperlukan Peraturan Daerah yang menunjang
pasal 15 UUPA, yaitu memelihara tanah

termasuk menambah kesuburannya

serta mencegah kerusakannya, adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum


yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu.
Penatagunaan

tanah

juga

sangat

berkaitan

dengan

pelestarian

lingkungan hidup dimana penataan dilaksanakan pada areal atau lokasi


penggunaan tanah dalam hal ini untuk investasi atau kegiatan usaha telah sesuai
dengan RTRW, pada areal wilayah ini ditetapkan program dengan berbagai
pemberdayaan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Pemanfaatan tanah sangat aktual dalam rencana tata guna tanah dapat
dilengkapi dengan klasifikasi wilayah berdasarkan pembagian kawasan fungsional
yang dikenal yaitu: 1) Subwilayah lindung; 2) Subwilayah penyangga; 3)
Subwilayah budidaya pertanian, dan 4) Subwilayah budidaya non pertanian.16
Pada subwilayah budidaya non pertanian pemanfaatan tanah untuk kepentingan
investasi (dunia bisnis) dikembangkan sehingga sesuai dengan tata ruang yang
berwawasan lingkungan.
Dalam Pasal 2 PP Nomor 16 Tahun 2004, penatagunaan tanah pada
dasarnya, berdasarkan kepada keterpaduan, berdayaguna dan berhasilguna,

16

Ibid, hal. 81-83.

87. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92

serasi, selaras, seimbang berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan, dan


perlindungan hukum. Di samping itu, penatagunaan tanah juga mempunyai
tujuan antara lain, menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan
dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum
dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Oleh karena itu pemegang hak atas tanah dalam hal ini bagi investor
yaitu HGU, HGB dan HP wajib menggunakan dan memanfaatkan tanah agar
sesuai dengan RTRW serta memelihara dan mencegah kerusakan tanah secara
langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan perubahan terhadap sifat
fisik atau hayatinya. Hal tersebut harus dilakukan sebagai upaya untuk
melindungi fungsi tanah, misalnya kemampuan tanah terhadap tekanan
perubahan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan usaha
(investor) agar tetap mampu mendukung perikahidupan manusia dan makhluk
hidup lainnya, seperti pemulihan kembali tanah yang rusak, upaya konservasi
tanah

pertanian/perkebunan,

upaya

rehabilitasi

tanah

bekas

galian

pertambangan, reboisasi terhadap tanah dan/atau hutan setelah dilakukan usaha


penebangan oleh perusahaan dan sebagainya.
Terhadap tanah-tanah yang termasuk di dalam kebijakan penatagunaan
tanah sebagaimana disebutkan di atas harus dilaksanakan penyelesaian
administrasi pertanahan dan ketika para pemegang hak atas tanah atau
kuasanya memenuhi syarat-syarat menggunakan dan memanfaatkan tanahnya
sesuai dengan RTRW. Syarat-syarat

tersebut

antara lain: pemindahan hak,

peralihan hak, peningkatan hak, penggabungan, dan pemisahan hak atas tanah.
Syarat-syarat tersebut dimaksudkan untuk menciptakan penggunaan dan
pemanfaatan tanah yang lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS) di wilayah
perdesaan, serta aman, lestari, lancar dan sehat (ATLAS) di wilayah perkataan. 17
Selain itu pemegang hak atas tanah dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah
wajib

pula mengikuti persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan

diantaranya,

pedoman

teknis

penggunaan

persyaratan mendirikan bangunan, persyaratan dalam Analisis

17

Ibid, hal. 89.

tanah,

Mengenai

I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan88


Dampak Lingkungan (AMDAL), Persyaratan Usaha Investasi (bisnis) dan
ketentuan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam

penggunaan

dan

pemanfaatan

tanah

di

kawasan

lindung,

pelaksanaannya tidak boleh mengganggu fungsi alam dan tidak boleh mengubah
bentang alam dan ekosistem alami. Selain itu pemanfaatan tanah dalam kawasan
lindung dapat juga digunakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan
pengembangan IPTEKS selama tidak mengganggu fungsi dari kawasan lindung
tersebut.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya sebagai
amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(UUPD), penyerahan kewenangan pertanahan pada pemerintah kabupaten/kota
perlu kiranya dicermati politik pertanhan lokal dan administrasi pertanahan yang
dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota secara garis besar, politik
pertanahan lokal berkaitan dengan kebijakan pemerintah lokal dalam rangka
penataan tata guna tanah bagi perikehidupan sosial maupun

ekonomi guna

memenuhi interaksi antara individu di daerah. Pengaturan ini meliputi


pembentukan zona ekonomi, lokasi tanah untuk kepentingan sosial, penetapan
instrumen kebijakan pertanahan, pengawasan terhadap harga pasar tanah dan
pencadangan terhadap tanah.18
Kewenangan

pemerintah kabupaten/kota terhadap tataguna tanah

tersebut dalam rangka perencanaan ke depan agar secara sosial maupun


ekonomis dapat bertahan dalam menghadapi ancaman-ancaman yang akan
muncul kemudian. Politik pertanahan itu tentu sepenuhnya harus dikendalikan
oleh pemerintah kabupaten/kota agar perubahan alokasi sumber daya alam
maupun sumber daya ekonomi dapt diwujudkan untuk kemaslahatan rakyat
setempat. Pengaturan ini harus diintegrasikan dengan

sistem lainnya pada

pemerintah kabupaten/kota seperti sistem sosial, sistem perekonomian, sistem


pendidikan dan lainnya.

18

Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2009, Kewenangan Pemerintah di Bidang

Pertanahan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 169.

89. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92

Kewenangan semacam ini memang pada tempatnya diserahkan pada


pemerintah

kabupaten/kota

mengingat

pemerintah

pusat

tidak

mampu

menjangkau setiap detail permasalahan tersebut.19


Kenyataan ini menunjukkan bahwa politik pertanahan tidak boleh
terlepas

dari

penyelenggaraan

pemerintahan

secara

nasional

perwujuduan dari NKRI. Perbedaan secara teknis mengingat

sebagai

perbedaan

karakteristik pada masing-masing daerah memang dimungkinkan, namun tetap


mempertahankan semangat hukum tanah nasional. Di samping itu tetap
dibutuhkan suatu badan yang melakukan supervisi terhadap administrasi
pertanahan yang dijalankan oleh pemerintah daerah agar sesuai dengan
kerangka kebijakan nasional. Hal ini diperlukan agar terciptanya tertib hukum
pertanahan, tertib administrasi, tertib penggunaan, tertib pemeliharaan dan
pertimbangan

wawasan

lingkungan

hidup

dapat

dilaksanakan

dengan

semestinya.20
Mencermati pengaturan penanaman modal dalam pasal 3 UUPM bahwa
salah satu asas penanaman modal adalah berwawasan lingkungan. Artinya,
bahwa penanaman modal diselenggarakan

berdasarkan prinsip berwawasan

lingkungan, dimana segala aktivitas usaha yang dilakukan dengan memanfaatkan


hak atas tanah oleh badan usaha/perusahaan harus memperhatikan kelestarian
lingkungan.
Sejalan dengan prinsip berwawasan lingkungan, badan usaha yang
melakukan

usaha

(investasi)

dalam

bentuk

perseroan

terbatas

yang

menggunakan dan memanfaatkan hak atas tanah HGU, HGB atau HP maka
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(UUPT) pada Pasal 74 ayat (1) ditentukan bahwa perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam,
wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan.

19

Ibnu Subiyanto, 2002, Peluang dan


Tantangan Peningkatan Pelayanan Kepada
Masyarakat di Era Desentralisasi, Diskusi Terbatas Kebijakan Pertanahan Dalam Era Desentralisasi
dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan kepada Masyarakat, Jakarta, 12 September 2002 disusun
dalam Buku Prosiding, Bappenas, Jakarta, hal. 6.
20

Ibid.

I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan90


Tanggung jawab perusahaan yang sering disebut corporate social

responsibility (CSR),21 berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan,


dimana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan
aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata-mata hanya
berdasarkan faktor keuangan belaka, seperti halnya keuntungan atau deviden,
tetapi juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan, baik untuk
saat ini maupun untuk jangka panjang.
Program CSR merupakan kewajiban investor untuk bina lingkungan
seperti memperkerjakan tenaga kerja setempat, membantu anak-anak kurang
mampu untuk lanjut sekolah melalui program beasiswa, membantu pendanaan
program Bedah Rumah bagi warga miskin yang ada di sekitar perusahaan,
mendanai pelestarian

lingkungan melalui program bersih dan hijau dan lain

sebagainya, sehingga perusahaan (investor) mampu menjadi kapitalisme yang


memberikan keadilan dan kesejahteraan sosial. Hal ini akan sangat sejalan
dengan salah satu tujuan penyelenggaraan penanaman modal sebagai mana
ditentukan Pasal 3 ayat (2) huruf h UUPM, yaitu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, maka sebaliknya masyarakat akan senantiasa merasa welcome
terhadap investor. Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan itu akan
dapat meningkatkan iklim yang kondusif bagi investasi di Indonesia.
IV. PENUTUP
4.1 Simpulan
1. Kepastian hukum penggunaan hak atas tanah dalam penanaman modal
pengaturannya dilakukan dengan pemberian HGU, HGB atau HP dengan
jangka waktu terbatas kepada orang perseorangan atau badan hukum
yang memenuhi persyaratan melalui keputusan pemberian hak oleh
pejabat pemerintahan yang berwenang dan didaftarkan pada Kantor
Pertanahan guna mendapatkan kepastian hak berupa sertifikat hak atas
tanah sebagai alat bukti yang kuat bagi pemegang hak atas tanah
bersangkutan.

Ketidakpastian hukum dapat terjadi bila jangka waktu

HGU, HGB atau HP berakhir, tetapi

permohonan perpanjangan atau

21
Jamin Ginting, 2007, Hukum Perseroan Terbatas, (UU NO. 40 Tahun 2007) , PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 94.

91. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 73-92


pembaharuan hak atas tanah tidak dapat diterima (ditolak) maka demi
hukum hak atas tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai negara,
sehingga

perusahaan yang sedang berjalan dan produktif harus

direlokasi atau bahkan harus ditutup sehingga tidak sesuai dengan


prinsip investasi yang berkelanjutan dan mensejahterakan rakyat.
2. Pemanfaatan tanah dengan HGU, HGB atau HP yang digunakan investor
dalam

menanamkan

modal

agar

berwawasan

lingkungan

untuk

kemakmuran rakyat harus berdasarkan penatagunaan tanah yang


merupakan bagian subsistem dari RTRW yang ditetapkan pemerintah
daerah kabupaten/kota dalam kerangka kebijakan pertanahan nasional.
Dengan demikian kegiatan investasi (ekonomi/bisnis) ditempatkan pada
suatu zona wilayah tertentu yang dalam pelaksanaannya dapat
dikendalikan dan diawasi pertumbuh kembangnnya. Di samping itu tetap
mewajibkan kepada perusahaan penanaman modal agar melakukan bina
lingkungan melalui Program CSR agar lingkungan menjadi lestari dan
masyarakat sekitar menjadi lebih makmur dan sejahtera yang sudah
tentu melalui pengalokasian dana yang disisihkan dari keuntungan
perusahaan.
4.2 Saran
1. Perlu ada pengaturan penggunaan HGU, HGB dan HP yang eksplisit
dalam UUPM maupun UUPA mengenai jaminan perpanjangan dan
pembaharuan HGU, HGB dan HP untuk tetap dapat berlangsungnya
kegiatan produksi perusahaan penanaman modal termasuk jaminan
persediaan tanah untuk relokasi perusahaan sehingga kepastian hukum
keberlanjutan perusahaan yang bersangkutan dapat memberi keadilan
dan kemakmuran rakyat.
2. Untuk

pelaksanaan

otonomi

daerah

yang

seluas-luasnya

dan

bertanggungjawab sebagai implementasi UUPD dan Kepres Nomor 38


Tahun 2007 jo PP Nomor 16 Tahun 2004 agar selaras dengan RTRW,
perlu ada wujud pengaturan berupa Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota

tentang Rencana Penatagunaan Tanah, antara lain mengatur zona


wilayah kegiatan investasi (ekonomi bisnis) yang jelas pengendalian dan
pengawasannya agar perusahaan penanaman modal dapat berkembang
sekaligus menjaga kelestarian lingkungan dan mensejahterakan rakyat.

I Nyoman Putu Budiartha. Pemanfaatan92


DAFTAR PUSTAKA
Budiartha, I Nyoman Putu, 2012, Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing
Ditinjau dari Prinsip Keadilan, Kepastian Hukum, dan Hak Azasi Manusia ,
Malang, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya.
Gautama, Sudargo, Elyda T. Soetiyarto, 1997, Komentar atas PeraturanPeraturan Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria 1996, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Ginting, Jamin, 2007, Hukum Perseroan Terbatas, (UU NO. 40 Tahun 2007) , PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hasni, 2010, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Kontek
UUPA-UUPR-UUPLH, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hutagalung, Arie Sukanti dan Markus Gunawan, 2009, Kewenangan Pemerintah
di Bidang Pertanahan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali, 2007, Kepastian
Hukum Hak Atas Tanah Dalam Rangka Penanaman Modal di Provinsi
Bali, Makalah Seminar nasional, diselenggarakan Fakultas Hukum
Universitas Warmadewa di Denpasar, Agustus 2007.
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
Salim dan Budi Sutrisno, 2009, Hukum Investasi di Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Sambiring, Julius, 2012, Tanah Negara, STPN Press, Yogyakarta.
Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, PT. Prenada
Media Group, Jakarta.
Sitorus, Oloan, 2013, Penataan Hubungan Hukum Dalam Penguasaan dan
Pemilikan serta Penggunaan dan pemanfaatan Sumber Daya Agraria
(Makalah, Seminar Nasional Pertanahan oleh BPN di Denpasar).
Sodiki, Achmad, 2012, Kebijakan Pertanahan Dalam Penataan Hak Guna Usaha
Untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat, Makalah Seminar Nasional
Membangun Sumber Daya Manusia yang Berintgrasi Dalam Bidang
Hukum Melalui Pendidikan Pascasarjana, oleh FH. Universitas
Warmadewa di Denpasar, 3 Maret 2012.
Subiyanto, Ibnu, 2002, Peluang dan Tantangan Peningkatan Pelayanan Kepada
Masyarakat di Era Desentralisasi, Diskusi Terbatas Kebijakan Pertanahan
Dalam Era Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan kepada
Masyarakat, Jakarta, 12 September 2002 disusun dalam Buku Prosiding,
Bappenas, Jakarta.
Sudiyat, Imam, 1978, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta.

93. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121

Pola Penguasaan Dan Pemilikan Tanah Timbul (Aanslibbing) Oleh


Masyarakat Di Pesisir Pantai Utara Laut Jawa
Moh. Muhibbin1

Abstract
The mud islands referred to as muddy land are a new natural resource
that in economical terms is potential for farming and backish-water business
resulting in the authority and ownship of the land by the local society. On the
one hand, the written state law suggest that muddy land is state propety
dominated by government. On other, historical fact show that local society have
authority over it for generation according to the previling customs.The authority
of muddy land (aanslibbing/tanah timbul) in Gresik sub-provinve and pasuruan
requaires law certainty warranty,in other site, the extension of the Indonesian
Agrarian Law is still pluralistic. For the society of Gresik and Pasuruan,it could be
a social sensitivity if it is not handled wisely by considering the prinsiple of
certainity and usefullness.

Key words: muddy land (aanslibbing), authority and ownership

Abstrak
Munculnya pulau-pulau lumpur (Mud Island) yang disebut sebagai
tanah timbul, merupakan sumber daya alam baru yang secara ekonomis
potensial untuk pertanian dan usaha tambak bahkan kegiatan industri
yang dapat menimbulkan penguasaan dan pemilikan atas tanah oleh
masyarakat setempat. Disatu pihak, menurut ketentuan perundangan
hukum negara (hukum tertulis), tanah timbul merupakan tanah negara
yang dikuasai oleh negara. Dilain pihak, secara historis faktual masyarakat
desa setempat telah bertahun-tahun bahkan secara turun-temurun
menguasai sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.
Penguasaan tanah timbul di daerah Kabupaten Gresik dan Kabupaten
Pasuruan membutuhkan jaminan kepatian hukum, padahal disisi lain
eksistensi hukum pertanahan Indonesia masih pluralistik. Bagi masyarakat
di daerah Kabupaten Gresik dan Kabupaten Pasuruan, dapat menjadi
kerawanan sosial jika tidak ditangani secara arif dan bijaksana dengan
mempertimbangkan asas kepastian dan kemanfaatan.
Kata kunci: Tanah timbul, penguasaan dan pemilikan

1
Dosen Tetap Fakultas Hukum UNISMA Malang Jl. MT. Haryono 193 Malang. 0341581613.
08123179055 Muhibbinsh.mh_d@yahoo.co.id

Moh. Muhibbin. Pola 94


1.1 PENDAHULUAN
Dalam sejarah pertanahan di Indonesia, hingga saat ini masih terdapat
beberapa hal yang diatur oleh Undang-Undang N0. 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,2 yang lebih dikenal dengan UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) belum dapat dijabarkan lebih lanjut sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Sebagai peraturan dasar, UUPA hanya mengatur
asas-asas atau masalah-masalah pokok dalam garis besarnya dalam hukum
pertanahan atau agraria. Untuk itu terhadap tanah-tanah yang belum ada
sesuatu hak atas tanah, yaitu bidang-bidang tanah yang belum ada pengaturan
hubungan hukum antara subyek dan obyek hak, diperlukan pengaturan lebih
rinci dalam berbagai bentuk peraturan organik, baik berupa undang-undang
maupun peraturan yang lebih rendah. Salah satu dari beberapa hal yang belum
dijabarkan, di antaranya adalah pengaturan tentang penguasaan tanah di pesisir
pantai akibat proses sedimentasi yang belum jelas status kepemilikannya.
Banyaknya tanah di Indonesia yang masih belum jelas status hak
kepemilikannya merupakan pemicu konflik masyarakat, baik warga masyarakat
yang satu dengan warga masyarakat yang lain, warga masyarakat dengan aparat
pemerintahan, warga masyarakat dengan investor atau investor dengan
pemerintah. Salah satu bentuk tanah yang memicu konflik pada masyarakat
Indonesia adalah munculnya tanah timbul di pesisir pantai yang tumbuh karena
suatu peristiwa atau proses alam yang menjadi hamparan/daratan tepi sungai
atau pantai
Tanah timbul merupakan sumber daya alam baru yang secara ekonomis
potensial untuk pertanian dan usaha tambak yang dapat menimbulkan
penguasaan dan pemilikan atas tanah oleh masyarakat setempat. Di satu pihak,
menurut ketentuan perundangan hukum negara (hukum tertulis), tanah timbul
merupakan tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Di pihak lain, secara
historis faktual masyarakat setempat telah bertahun-tahun bahkan secara turun-

Lahirnya UUPA yang telah diundangkan pada tanggal 24 September 1960 ( LN 1960-104,
TLN. 2043) ini untuk mengakhiri dualisme hukum agraria yang ada sebelumnya dan berlaku di
Indonesia, yakni hukum tanah barat yang didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dan Hukum Tanah Adat yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum penduduk asli
(adat) Indonesia.

95. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121


temurun menguasai sesuai dengan kebiasaan kebiasaan yang berlaku. Hal ini
hampir terjadi

di seluruh

perairan wilayah Indonesia, khususnya di perairan

pantai utara laut Jawa. Namun demikian munculnya tanah timbul di tepi sungai
tersebut dapat menimbulkan kepemilikan atas tanah oleh masyarakat. Proses
terjadinya kepemilikan atas tanah timbul adalah melalui proses evolusi yang
terjadi bertitik awal dari adanya tanah tak bertuan (tanah kosong). Proses
penguasaan tanah tersebut tidak sama pada setiap masyarakat, karena akan
sangat bergantung kepada perkembangan budaya, termasuk hukum yang
mengatur tentang penguasaan tanah pada suatu masyarakat atau norma hukum
yang berkembang pada masyarakat setempat.
Pada aturan yang ditemui di suatu masyarakat, pendudukan ( okupasi) dan
penemuan terhadap tanah timbul selama ini dapat dimiliki atau dilekati hak
secara individu oleh anggota masyarakat tersebut, tetapi dapat juga ditemui
kondisi tanah tak bertuan (tanah kosong) terjadi bagai siklus yang tidak berhenti
seperti pada hukum tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) yang sampai saat ini belum ada kejelasan tentang pengaturan
penguasaan terhadap tanah timbul (belum ada peraturan yang secara khusus
mengatur tanah timbul secara alami). Hal ini akan sangat bergantung kepada
peraturan yang terdapat pada masyarakat setempat. Terbentuknya dan
terdapatnya hukum tanah yang berasal dari nilai yang berkembang di tengah
masyarakat merupakan doktrin hukum Ubi Societas Ibi Ius, pada setiap
masyarakat mempunyai aturan hukum yang dapat dijalankan oleh masyarakat itu
sendiri.
Menurut ketentuan perundangan hukum negara (hukum tertulis), tanah
timbul merupakan tanah negara yang dikuasai langsung oleh negara. Dilain
pihak, secara historis faktual masyarakat desa setempat telah bertahun-tahun
bahkan secara turun-temurun menguasai sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku.
Sebagai fenomena hukum, sangat menarik untuk dikaji pola penguasaan
dan pemilikan tanah timbul menurut budaya masyarakat setempat yang
didasarkan pada mekanisme-mekanisme pengaturan lokal dalam masyarakat
(self regulation), dan upaya-upaya yang ditempuh oleh masyarakat untuk
memperoleh hak penguasaan dan pemilikan tanah tersebut.

Moh. Muhibbin. Pola 96

II.

TINJAUAN PUSTAKA
Di dalam perspektif hukum Islam, pada dasarnya semua tanah adalah milik

sang pencipta, yaitu Allah. Allah telah menciptakan bumi dan segala sesuatu
yang ada di dalamnya dipergunakan untuk kepentingan manusia, sehingga
hubungan sang pencipta dengan tanah adalah hubungan pencipta dan yang
diciptakan.

Dengan demikian orang yang menguasai atau memiliki tanah

dianggap menerima amanah/kepercayaan dari Allah untuk menggunakannya


sesuai dengan ketentuan yang digariskan Allah di dalam peraturan-peraturan
yang berlaku dengan menitik-beratkan pada kemaslahatan umat.
Dalam hal perolehan tanah oleh manusia yang hidup dalam suatu negara,
hukum Islam memberikan jaminan kepada khalifah (pemerintah) untuk
mengaturnya. Karena pemerintah merupakan perwujudan dari penggolongan
umat manusia dalam kapasitas yang besar, terorganisir dalam sistem tata hidup
di suatu wilayah. Demi kepentingan umum, pemerintah dapat memberikan
tanah-tanah negara kepada rakyat yang membutuhkannya.
Pemberian oleh negara kepada rakyat yang membutuhkannya atau kepada
rakyat yang patut untuk diberinya dalam istilah hukum Islam disebut Al Iqtho.
Tanah yang diberikan atau dibagikan oleh pemerintah ini ada dua cara:
1. Sebagian tanah itu dikeluarkan dan diberikan kepada orang yang dapat
mengurusnya atau menjaganya untuk memperbaiki kehidupan mereka
sendiri.
2. Sebagian tanah itu diberikan kepadanya, sekedar untuk diambil hasilnya pada
masa atau waktu yang ditentukan.
Dalam hukum Islam pendistribusian tanah yang belum menjadi milik
pribadi itu diperkenankan, misalnya tanah negara yang didapat dengan jalan
perang atau tanah kosong yang belum pernah dibuka atau dimiliki orang lain.
Selain tanah yang dikuasai negara dan negara yang membaginya (disebut Al
Iqtho), ada juga sistem penguasaan dan pemilikan tanah dengan cara membuka
sebidang tanah yang belum diolah (tanah kosong) oleh seseorang atas inisiatif
dan usahanya. Penguasaan dan pemilikan seperti ini di dalam hukum Islam
disebut dengan istilah ihyaul mawat atau usaha menghidupkan tanah mati.

97. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121


Terhadap tanah kosong atau tanah di bawah kekuasaan khalifah
(pemerintah) yang belum diolah, maka dapat diusahakan pemilikannya oleh
siapapun, yakni memberdayakan tanah yang tidak produktif dan siapa yang lebih
dulu membuka dan menggarap tanah tersebut maka dia yang lebih berhak
menguasainya.
Terhadap penguasaan dan pemilikan tanah baik tanah Al Iqtho atau tanah
yang diperoleh dari ihyaul mawat harus digarap atau diolah dalam waktu 3
tahun secara berturut-turut. Jika selama 3 tahun tanah tersebut tidak diolah
secara intensif atau ditelantarkan maka pihak pemerintah (dalam hal ini negara)
berhak mengambil kembali tanah tersebut dan memberikannya kepada orang
lain.
Pada dasarnya tujuan agama (maqosid al-syari) adalah bagaimana tanah
itu memberikan kemanfaatan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat luas, dan
tidak hanya dinikmati oleh beberapa gelintir manusia saja. Penggusuran dari hak
orang-orang yang memilikinya dipandang sebagai perbuatan yang tercela dan
berdosa. Islam menghendaki tanah sebagai sumber kesejahteraan dan bukan
sebagai sumber penderitaan. Oleh karenanya tanah-tanah yang sudah ada hak
miliknya (pemiliknya) tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun tanpa
persetujuan pemiliknya.
Uraian di atas dapat dipahami bahwa apa yang dilakukan pemerintah
terhadap penguasaan dan pemilikan tanah yang ada di wilayahnya, hakikatnya
bertumpu pada pelimpahan Allah pada badan/penguasa untuk mengatur,
mengawasi, mendistribusikan dan mengarahkan kegunaan tanah sesuai dengan
tujuan Allah menciptakan bumi dan manusia itu sendiri. Sebab segala sesuatu
yang ada di bumi adalah milik Allah dan manusia diberi wewenang oleh Allah
sebagai khalifah di muka bumi ini untuk melaksanakan amanat yang diberikan
oleh Allah kepadanya.
Dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah timbul oleh masyarakat,
peneliti telah menyaksikan peranan dari berbagai kelompok sosial atau individu
dalam menentukan arah perkembangan hukum di dalam masyarakat. Peran
hukum masyarakat lokal yang didasarkan pada tradisi dan kebiasaannya,
ternyata tidak hanya terbatas pada pengambilan inisiatif dalam hukum ketika
sumber hukum lain tidak memberikan jawaban, karena hukum masyarakat lokal

Moh. Muhibbin. Pola 98


pada kenyataannya juga mempunyai peran yang penting yang harus dimainkan
dalam masalah aplikasi hukum yang muncul. Dari sinilah kedua sistem hukum
yaitu antara hukum Islam dan adat atau hukum masyarakat lokal dalam
kenyataannya masih eksis keberadaanya dalam kehidupan masyarakat. Peran
dari kedua sistem hukum tersebut dalam proses legislasi masih tidak mampu
untuk dihapuskan, terutama dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah timbul.
Dalam lapangan hukum ini, kepentingan dari kedua sistem hukum dalam proses
pemecahan masalah kontemporer tidak dapat dihindari, karena baik hukum
Islam maupun hukum adat keduanya bersatu padu saling memberikan pengaruh,
baik langsung maupun tidak langsung dalam memformulasikan aturan-aturan
hukum yang baru. Oleh karena itu hukum Islam dan praktek adat istiadat
dipandang oleh negara yang mayoritas masyarakat beragama Islam ini sebagai
dua sistem hukum yang fungsional dan saling berdampingan.
Selain konsep hukum adat dan hukum Islam di atas terdapat pula beberapa
teori yang dikemukakan oleh para filosof dari aliran hukum alam. Berkaitan
dengan

sistem

penguasaan

dan

pemilikan

tanah

tak

bertuan

( tanah

kosong/tanah tak bertuan) yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara


pendudukan dan dijadikannya sebagai kepunyaan mereka, maka dalam hal
terbentuknya hak milik tersebut John Locke misalnya mengemukakan, bahwa
sesungguhnya Tuhan telah menciptakan bumi ini untuk diberikan kepada sesama
manusia, agar bumi ini dikerjakan dan memberikan kesejahteraan bagi setiap
orang, tiada seorangpun yang mempunyai hak istimewa baik atas hasil alam
maupun binatang yang diciptakan di atas bumi ini, segalanya merupakan warisan
kita bersama, dimana untuk mencapai kesejahteraan tersebut haruslah ada cara
agar benda-benda tersebut dapat dimiliki. Dengan kata lain individu dapat
memetik kegunaan secara kongkrit apabila ia mempunyai hak milik atas benda
itu dan atas pekerjaannya sendiri.3
Hal senada juga dikemukakan oleh Van Setten Van Der Meer yang
mengatakan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah secara individu itu
diperoleh dengan cara membuka tanah. Dengan demikian dapat dikatakan

3
John Locke, Two Treaties of Government, Cambridge, Cambridge University Press, 1988,
page. 290.

99. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121


bahwa hak untuk menguasai tanah berawal dan bersumber dari kerja seseorang
membuka tanah yang sebelumnya tidak tergarap.4
Asas dalam perolehan cipil (civil acquisition) pada hukum Romawi yang
terkenal adalah asas unicuique tribuere (berikanlah apa yang merupakan
haknya). Inti asas ini adalah merekomendasikan adanya pengakuan terhadap
hak setiap orang untuk menguasai dan memiliki suatu benda yang disajikan oleh
alam. Keberadaan hukum adalah untuk menjaga benda yang telah diperoleh
sebagai kepunyaan dari orang tersebut. Disinilah selalu timbul masalah, yaitu
karena adanya pelapisan sosial dalam masyarakat dan dengan terbentuknya
hubungan lembaga-lembaga sosial yang menimbulkan sistem sosial dalam
masyarakat, maka terhadap benda yang sama akan terjadi pengulangan
perolehan. Individu memperoleh dengan usahanya, masyarakat (kelompok)
memperoleh karena individu-individu tersebut membentuk kelompok-kelompok,
dan kepemilikan (dominium) tersebut juga ikut tergabung dalam bentuk

condominium

(pemilikan

bersama),

sehingga

tunduk

kepada

ketentuan

pemakaian bersama (res communes).5


Pemilikan bersama yang dipertahankan pada zaman Romawi menimbulkan
pengakuan hak seseorang yang dikenal dengan asas Suum Cuiquetribuer. Hak
dari seseorang untuk menikmati, menggunakan, menggarap (memanfaatkan)
benda yang telah menjadi miliknya baik karena usaha maupun karena kerja
otak, dan seseorang juga berhak untuk memenuhi penurunan (derived) dari
seseorang dan merupakan keharusan dari orang lain untuk memenuhi hak
tersebut.
Adanya evolusi terhadap tanah tak bertuan ( tanah kosong) untuk sampai
pada tahap timbulnya penguasaan dan pemilikan adalah karena proses
pemilikannya bergantung pada perkembangan budaya masyarakat setempat
(proses alamiah).

Van Setten Van Der Meer, Sawah Cultivation in Accient Java, Oriental Monograph Serie,
No. 229, Canberra Australian National University, 1979.page. 66.
5

Hermayulius, Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan


Kekerabatan Pada Sistem Kekerabatan Patrilinial Minangkabau Di Sumatra Barat, Jakarta: PT.
Rajawali Prees, 1999, h.73

Moh. Muhibbin. Pola 100


Penguasaan tanah timbul oleh masyarakat yang terjadi selama ini apabila
dikaji dengan menganalisis pada pemikiran hukum alam, tentunya dapat
memberikan pemahaman bagi masyarakat Indonesia dalam proses pemecahan
masalah penguasaan tanah timbul yang tumbuh di pesisir pantai dalam
memformulasikan aturan-aturan hukum yang baru sesuai dengan perkembangan
budaya masyarakat. Menurut teori hukum alam, hak milik pribadi adalah hak
kodrati yang langsung timbul dari kepribadian manusia. Untuk dapat hidup dan
melangsungkan jenisnya, manusia perlu menguasai benda-benda yang ada di
dunia, termasuk tanah. Dengan menguasai benda-benda ini baru dia dapat
mengembangkan diri.6 Teori hukum alam yang dipelopori oleh Thomas Aquino,

Grotius, Pufendrof beranggapan bahwa hak milik pribadi adalah hak alamiah,
artinya hak milik yang secara kodrati untuk kepentingan pribadi manusia itu
masing-masing.
Teori Okupasi juga menjelaskan bahwa milik pribadi itu diperoleh melalui
pekerjaan atau pendudukan (Occupation), yaitu perolehan hak milik melalui
pendudukan atau penggarapan suatu tanah yang tidak ada pemiliknya dan
karenanya orang yang menduduki tanah tersebut mempunyai hak untuk
menurunkan atau mewariskan pada ahli warisnya. Begitulah orang-orang
Romawi menyebutkannya sebagai cara perolehan alamiah ( Natural Acquisition).
Hak milik pribadi menurut Thomas Aquino terdiri dari hak-hak atas benda
(termasuk tanah), hak atas pendapatan, hak untuk mengelola barang milik
pribadi. Selanjutnya Thomas Aquino mengakui bahwa benda-benda yang ada di
dunia ini (termasuk tanah), pada hakikatnya dimaksudkan untuk melayani dan
menunjang hidup manusia serta memberi kenyamanan, ketenangan bagi
manusia.7 Walaupun demikian, hak milik pribadi tidak bersifat individualistis
tetapi hak milik pribadi dalam semangat komunal. Artinya pemilik secara suka
rela menggunakan hak miliknya sebagai milik bersama dengan orang lain dan
juga untuk mereka yang membutuhkannya.

Iman Soetiknjo, Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia Dengan Tanah Yang
Berdasarkan Pancasila, Yogyakarta: Gadjah Mada University Prees. 1994, h. 13.
7

Sonny Keraf, Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi, Yogyakarta, Kanisius,1997, h. 57.

101. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121


Sementara itu Grotius berpendapat, bahwa dalam keadaan kodrat yang asli

(originair) segala sesuatu adalah milik bersama, pemberian Tuhan kepada umat
manusia pada umumnya. Baru pada waktu barang-barang menjadi berkurang,
sedang manusia tidak lagi hidup sederhana seperti semula, timbullah hak milik.
Ajaran Grotius dan Pufendorf boleh dipandang sebagai jenis-jenis dari teori
hukum alam yang sudah lebih tua mengenai milik. Menurut pendapat Grotius,
semua benda pada mulanya adalah res nullius (Benda-benda yang tidak ada
pemiliknya). Tetapi manusia di dalam masyarakat membagi-bagi hampir semua
benda itu dengan persetujuan. Benda-benda yang tidak dibagi-bagi secara
demikian, ditemukan kemudian oleh seseorang, dijadikannya kepunyaan mereka.
Begitulah benda-benda tersebut menjadi tunduk kepada penguasaan individual.
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian hukum empiris
atau lazim disebut Penelitian Hukum Non Doktrinal ( Socio Legal Research).
Penelitian hukum non doktrinal yaitu penelitian yang dilakukan untuk menelaah
kaidah hukum yang dilihat dari segi penerapannya atau hukum dilihat sebagai
suatu kekuatan sosial yang empiris. Penelitian hukum empiris ini dilakukan untuk
mencermati secara komprehensif, bagaimana proses alam terjadinya tanah
timbul, kemudian proses penguasaan tanah timbul oleh masyarakat, selanjutnya
bagaimana daerah menyikapi dan bertindak berdasarkan kewenangan yang
dimilikinya dalam mengatur penguasaan tanah timbul dari perspektif norma dan
nilai yang berkembang di masyarakat setempat yang dianut oleh masyarakat di
Jawa timur, khususnya di Kabupaten Gresik dan Kabupaten Pasuruan.
Untuk

memperoleh

data

dalam

penelitian

ini

ditempuh

dengan

menggunakan data primer dan data sekunder. Cara memperoleh data primer
adalah dengan menggunakan dua cara, yaitu: 1) Teknik wawancara mendalam
(dept interview). 2) observasi (observation). Sedangkan data sekunder diperoleh
melalui studi dokumen dan literatur.
Setelah data tersebut di atas terkumpul (pengurutan, pengelompokan dan
pengkodean) baik berupa data primer maupun sekunder yang telah dianggap
valid maka langkah berikutnya mengkonstruksikan data tersebut lewat strategi

Moh. Muhibbin. Pola 102


atau pendekatan yang bertumpu pada logika berpikir induksi konseptualis di satu
pihak, dan logika berpikir secara emik di pihak lain. Analisis berikutnya dilakukan
dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif yang bertitik tolak pada
kerja penalaran yuridis. Ada tiga acuan dasar yang harus diperhatikan dalam
penalaran yuridis, yaitu: 1) Berpretensi untuk mewujudkan positivitas (hukum itu
harus memiliki otoritas); 2) Mewujudkan koherensi (hukum sebagai tatanan); 3)
Mewujudkan keadilan (hukum sebagai pengaturan hubungan antar manusia yang
tepat).
Acuan-acuan tersebut dalam asasnya semuanya menuntut suatu klaim
pada ketentuan hukum, artinya setiap ketentuan hukum harus bermuatan atau
berpretensi untuk mewujudkan positivitas, koherensi dan keadilan, karena ketiga
acuan itu adalah muatan dari cita hukum.
IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tanah timbul adalah tanah yang tumbuh/muncul di permukaan air sungai

atau laut

sebagai hasil

proses alam ( proses sedimentasi) dan perbuatan

manusia. Tanah timbul dapat terjadi di pantai dan aliran sungai. Tindakan
manusia yang cukup lama akan mempercepat proses terbentuknya tanah timbul.
Tanah timbul yang terjadi di Indonesia dalam kenyataannya dapat dikuasai baik
oleh perorangan maupun secara komunal terutama dengan alasan ekonomi
untuk diusahakan sebagai usaha tambak, pertanian, serta untuk pemukiman
penduduk.
Bagi masyarakat di daerah Kabupaten Gresik yang letaknya di pesisir pantai
Utara laut Jawa, tanah yang tumbuh sebagai proses sedimentasi (endapan
Lumpur) di pesisir pantai disebut dengan istilah tanah oloran. Menurut
masyarakat setempat dikatakan tanah oloran karena kenyataan yang ada di
daerah tersebut tanah kampung yang semula dekat dengan laut menjadi molor
atau bertambah panjang sehingga jauh dari permukaan air laut sebagai hasil
proses pengendapan lumpur (sendimentasi) yang dibawa oleh arus sungai atau
bengawan solo.
Bagi masyarakat yang tinggal di daerah Kabupaten Pasuruan menyebut
tanah baru yang merupakan hasil pengendapan atau proses sedimentasi dengan

103. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121


istilah tanah oloran dan juga ada yang menyebutnya dengan istilah tanah

hamparan. Tanah hamparan artinya tanah yang muncul di sepanjang aliran


sungai atau tepi pantai yang semula tertutup air kemudian tumbuh menjadi
hamparan tanah yang belum ada hak di atasnya. Sebagian masyarkat Kabupaten
Pasuruan

juga menyebutnya tanah

timbul dengan

sebutan

Tanah

GG

(Government Grond). Masyarakat setempat tidak mengetahui secara pasti arti


istilah tersebut, namun mereka menyamakan arti tanah GG dengan tanah
negara.
Tanah timbul di dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah aanslibbing,
yang artinya pengendapan lumpur; tanah dari endapan lumpur, misalnya de

oever slibt sterk aanslibbing (tepi itu tertimbun oleh endapan lumpur)8. Di dalam
bahasa Inggris disebut deltaber atau channelbar, sedangkan di dalam bahasa
Indonesia disebut dengan tanah tumbuh atau tanah timbul.9 Istilah tanah timbul
di berbagai daerah mempunyai sebutan yang berbeda-beda antara daerah satu
dengan daerah lainnya. Di Jawa Timur, khususnya di pesisir pantai utara
menyebutnya dengan istilah tanah oloran, di Yoqyakarta menyebutnya dengan
istilah wedikengser.10 Sementara itu di daerah Surakarta menyebutnya dengan
istilah: tanah bokongan atau tanah asean, di Banyumas: tanah semen,
sedangkan di luar Jawa Boedi Harsono,11 menyebutnya dengan istilah lidah

tanah, sementara itu Roestandi menyebutnya dengan istilah tanah pembawaan


lumpur.12
Letak tanah timbul di wilayah pesisir pantai utara Jawa tepatnya di daerah
Ujung Pangkah Kabupaten Gresik Jawa Timur. Di wilayah tersebut terdapat
beberapa aliran sungai. Di antara aliran sungai yang terbesar adalah aliran

S. Wojowasito, Kamus Bahasa Belanda, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, h. 11.

Sulastriyono. Pluralisme Hukum dan Permasalahan Pertanahan: Kasus Penguasaan Tanah


Timbul di Muara Sungai Citandui, dalam Hukum dan Kemajemukan Budaya, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2000, h.185.
10

Mudjiono. Politik dan Hukum Agraria, Yogyakarta: Liberty, 1997, h.82

11

Boedi Harsono Undang-Undang Pokok Agraria: Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya, Bagian Pertama, Jilid ke-2, Jakarta: Jembatan, 2003. h. 80
12

h.71

R. Roestandi Ardiwilaga, Hukum Agraria Indonesia, Bandung: Penerbit Masa baru, 1962,

Moh. Muhibbin. Pola 104


sungai dengan nama Bengawan Solo yang menghubungkan aliran sungai dari
beberapa sungai di Jawa Timur. Aliran muara sungai yang tempatnya di daerah
Ujung Pangkah tersebut telah menjadi sentral keluarnya aliran air menuju laut,
misalnya aliran sungai mulai dari Bojonegoro, Babat, Lamongan dan Gresik
semuanya bermuara di delta sungai (bengawan) Solo ini yang mengakibatkan
terjadinya penumpukan lumpur tanah di tepi sungai atau pesisir pantai.
Sedangkan tanah timbul di wilayah pesisir pantai utara Jawa tepatnya di
Kabupaten Pasuruan terdapat di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Bangil,
Kraton, Lekok dan Kecamatan Nguling. Keberadaan tanah timbul yang terdapat
di empat kecamatan tersebut, pertama, di Desa Raci Kecamatan Bangil, kedua,
di Desa Semare dan Pulokerto Kecamatan Kraton, ketiga, di Desa Tambaklekok
Kecamatan Lekok dan keempat

di Desa Melaten Kecamatan Nguling. Letak

tanah timbul di empat daerah tersebut letaknya berada di sepanjang pantai atau
tepi pantai yang berbatasan di pesisir pantai utara laut Jawa. Keempat daerah
tersebut terdapat juga beberapa aliaran sungai yang menghubungkan muara
sungai di pesisir utara laut Jawa menuju keluarnya aliran sungai menuju ke laut
yang mengakibatkan terjadinya penumpukan lumpur tanah di tepi sungai atau
pesisir pantai.
Luas tanah timbul di dua desa baik Desa Ujung Pangkah Wetan maupun
Desa Ujung Pangkah Kulon Kecamatan Ujung Pangkah, sampai saat ini adalah
kurang lebih 6.500 hektar dengan perincian sebagai berikut: 1) Luas tanah
timbul Desa Ujung Pangkah Wetan adalah 4.000 ha.2) Luas tanah timbul Desa
Ujung Pangkah Kulon adalah 2. 500 ha, sedangkan luas tanah timbul di empat
kecamatan Kabupaten Pasuruan sampai tahun 2010 adalah 655,7133 Ha. (enam
ratus lima puluh lima hektar tujuh ribu seratus tiga puluh tiga meter persegi).
Berdasarkan hasil penelitian di daerah Ujung Pangkah Kabupaten Gresik,
pola penguasaan dan pemilikan tanah timbul diawali dengan membuka tanah
yang tidak ada pemiliknya oleh warga masyarakat setempat dengan seizin tokoh
masyarakat

(pemuka

agama)

di

daerah

tersebut.

Setelah

tokoh-tokoh

masyarakat (pemuka agama) memberi izin, masyarakat secara bersama-sama


membuka tanah timbul dengan cara memberi tanda pada tanah yang akan
dibuka. Tanda tersebut dimaksudkan sebagai larangan bagi masyarakat yang lain

105. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121


bahwa tanah yang ditandai sedemikian itu tanah larangan. Tanda-tanda larangan
itu kadang-kadang berupa pohon kecil sebagai pembatas atau galah yang
ditancapkan pada batas-batas tanah yang akan dibuka. Keadaan yang demikian
itu berjalan sebelum lahirnya UUPA.
Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi pemohon atau calon
penggarap tanah timbul adalah sebagai berikut: 1) calon pengarap harus orangorang yang berdomisili di lingkungan daerah tersebut (di Kecamatan Ujung
Pangkah), 2) calon penggarap harus bertanggungjawab atas pemeliharaan tanah
tersebut dengan sebaik-baiknya bila tanah tersebut sudah dapat dimanfaatkan.
3) calon penggarap tidak boleh memindahkan hak garapannya kepada pihak lain
tanpa izin khusus kepala desa setempat. 4) calon penggarap harus mentaati
segala peraturan tentang penggunaan tanah tersebut. 5) apabila tanah tersebut
terkena abrasi tidak mendapat ganti rugi dan segala kerugian atas tanah tersebut
menjadi tanggung jawab penggarap.
Adapun upaya-upaya yang ditempuh untuk memperoleh hak penguasaan
dan pemilikan tanah timbul di Desa Ujung Pangkah Kabupaten Gresik berupa
surat Segel. Surat Segel yang dikeluarkan kepala desa adalah berdasarkan
pengajuan permohonan oleh masyarakat setempat. Melalui surat permohonan ini
kepala desa membuatkan surat persetujuan atau surat keterangan sebagai calon
penggarap yang disebut segel. Setelah adanya permohonan dari masyarakat,
kepala desa melalui perangkat-perangkat lainnya bersama-sama dengan yang
bersangkutan (pemohon) meninjau ke lokasi tanah timbul atau tanah oloran di
tepi pantai atau sungai (bengawan) Solo Ujung Pangkah dengan melakukan
pengukuran, pemetaan dengan luas masing-masing tidak boleh lebih dari 3 ha.
Tanah yang sudah diukur ini belum menjadi tanah garapan yang siap untuk
dijadikan lahan pertanian tambak, akan tetapi masih berupa genangan air (rawarawa), lahan setengah jadi, masih berupa tanah lumpur. Setelah dilakukan
pengukuran dan pemetaan kemudian diberi tanda batas atau pematang sebagai
batas antara pemilik satu dengan pemilik lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak
terjadi tumpang tindih penguasaannya dan dapat diketahui milik dari calon
masing-masing penggarap.

Moh. Muhibbin. Pola 106


Pada masyarakat Desa Pulokerto Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan,
pola penguasaannya adalah dengan cara melakukan pendudukan atau membuka
tanah tak bertuan oleh masyarakat secara bersama-sama. Mereka memperoleh
tanah timbul diawali dengan sebuah pertemuan sekelompok orang yang berasal
dari rukun tangga/dusun, keluarga atau dusun yang sama, dan sama-sama ingin
memiliki tanah tersebut. Kelompok ini membuat rencana pendudukan dalam
pertemuan tertutup sekali dua kali mengenai bagaimana melaksanakan
pendudukan atas tanah timbul itu.
Masyarakat berangsur-angsur mendiami tanah timbul yang ada di sekitar
pesisir

pantai

secara

diam-diam

tanpa

sepengetahuan

kepala

desa

setempat.Mereka membuka tanah secara bersama-sama dan membagi secara


bersama-sama pula. Dengan cara seperti ini mereka berangsur-angsur mendiami
tanah yang ada di sekitar pesisir pantai sampai akhirnya mereka menduduki
seluruh wilayah yang tumbuh di pesisir pantai. Mereka membagi dengan cara
member batas-batas berupa patok-patok sebagai batas penguasaan masingmasing perorangan.
Setelah tanah dibuka, diberi batas penguasaan pada masing-masing
perorangan, kemudian mereka secara gotong royong mengerjakan dan
mengelola tanah tersebut secara bersama-sama untuk dijadikan pertanian
tambak. Selama 2 tahun lamanya tanah tersebut dikerjakan, diolah kemudian
tanah tersebut sudah dapat dijadikan sebagai budidaya ikan (areal tambak).
Setelah tanah timbul tersebut diolah menjadi areal budi daya ikan (tambak),
mereka melaporkan kepada kepala desa dan kepala desa mengeluarkan Surat
Izin Pengelolaan Tanah Tambak Oloran yang isinya bahwa kepala desa
memberikan izin

kepada warga masyarakat untuk mengelola tanah tambak

oloran yang tumbuh di pesisir pantai dan tanah tersebut tidak boleh diperjual
belikan kepada siapapun.
Sedangkan penguasaan tanah timbul yang terjadi di Desa Melaten
Kecamatan Nguling Kabupaten Pasuruan berbeda dengan penguasaan tanah
yang terjadi di Desa Pulokerto Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan.
Pendudukan/pembukaan tanah oloran di Desa Melaten ini dilakukan oleh Kepala
Desa beserta perangkatnya dan secara umum tanah tersebut dikuasai oleh desa

107. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121


(desa yang menguasai lebih dulu), setelah itu kepala desa membagikan tanah
tersebut kepada warga yang membutuhkan dan diutamakan kepada penduduk
yang kurang mampu dan belum mempunyai tempat tinggal. Sampai saat ini
tanah yang dikuasai masyarakat dari hasil pembagian dengan kepala desa
beserta masyarakat belum ada satupun yang terdaftar sebagai hak milik, bahkan
izin penguasaan terhadap tanah tersebut hanya dari kepala desa setempat dan
juga belum ada SPPT.
Berbeda dengan pola penguasaan tersebut di atas, masyarakat Desa Raci
Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan dan masyarakat Desa Tambaklekok
Kecamatan Lekok mempunyai cara tersendiri terhadap pola penguasaan Tanah
Timbul. Cara penguasaan /pendudukan terhadap tanah yang tumbuh di pesisir
pantai tersebut dilakukan oleh masyarakat dengan siizin kepala desa. Masyarakat
melakukan pendudukan tanah dengan cara memberi batas-batas yang akan
dikuasai, dikerjakan secara intensif, kemudian ketika tanah tersebut sudah
tampak dan bisa dikerjakan sebagai tempat budi daya ikan (tambak), masyarakat
melaporkan kepada kepala desa, kemudian Kepala desa memberikan izin
penggarapan atas tanah timbul kepada masyarakat yang telah membuka tanah
sebagai tanah garapan dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan.
Adapun upaya-upaya yang ditempuh untuk memperoleh hak penguasaan
dan pemilikan tanah timbul di Kabupaten Pasuruan pada umumnya adalah
dikeluarkannya Surat Izin Pengelolaan Tanah Tambak Oloran oleh kepala desa
berdasarkan pengajuan permohonan oleh masyarakat setempat. Melalui surat
permohonan ini kepala desa mengeluarkan surat persetujuan atau surat
keterangan

sebagai

petani/penggarap. Setelah

adanya permohonan dari

masyarakat, kepala desa melalui perangkat-perangkat lainnya bersama-sama


dengan yang bersangkutan (pemohon) terjun ke lokasi tanah timbul dengan
melakukan pengukuran, pemetaan dengan luas masing-masing tanah yang telah
digarap. Tanah yang sudah diukur ini tentunya sudah menjadi tanah garapan
yang siap untuk dijadikan lahan pertanian tambak dengan memberi tanda batas
antara batas tambak satu dengan batas tambak lainnya. Hal ini dimaksudkan
agar tidak terjadi tumpang tindih penguasaannya dan dapat diketahui milik dari
masing-masing penggarap.

Moh. Muhibbin. Pola 108


Masyarakat yang sudah menguasai tanah timbul dari proses sedimentasi
sebagai hak pengelolaan/garapan tanah tambak oloran di Kabupaten Pasuruan
tersebut dilakukan penataan oleh masing-masing kepala desa setempat untuk
dinaikkan statusnya menjadi hak milik. Hal ini dilakukan karena Kabupaten
Pasuruan pada tahun 2007 telah mendapatkan proyek reforma agrarian terhadap
tanah timbul yang telah dikuasai oleh masyarakat dengan biaya anggaran APBN
(DIPA Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur).Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur telah memberikan
izin/dispensasi

redistribusi

tanah

obyek

pengaturan

penguasaan

tanah/landreform yang menghasilkan pemilikan tanah yang disebut dengan


kegiatan Reforma Agraria. Kegiatan Reforma Agraria merupakan kegiatan
identifikasi dan redistribusi tanah negara. Tambak yang telah dikuasai
masyarakat sekaligus membuka akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi
terutama tanah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
ditetapkan di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Bangil, Kraton dan Lekok
Kabupaten Pasuruan.
Kewenangan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi untuk mengeluarkan
keputusan terhadap adanya permohonan hak atas Tanah Negara diatur dalam
pasal 7 Peraturan Menteri Negara Agraria/KaBPN nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak
Atas Tanah Negara. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi berwenang memberi
keputusan mengenai: a) pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya
lebih dari 2 (dua) hektar. b) pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang
luasnya tidak lebih dari 5.000 meter persegi kecuali kewenangan pemberiannya
telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
Berdasarkan pasal 13 Peraturan Menteri Negara Agraria/KaBPN Nomor 3
Tahun 1999, Menteri Negara Agraria/KaBPN menetapkan pemberian hak atas
tanah yang diberikan secara umum, sedangkan pasal 3 Peraturan Menteri Negara
Agraria/KaBPN Nomor 3 Tahun 1999, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
berwenang memberikan keputusan mengenai: a) Pemberian hak milik atas tanah
pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 hektar, b) pemberian hak milik atas
tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 meter persegi kecuali

109. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121


mengenai tanah bekas Hak Guana Usaha (HGU), c) pemberian hak milik atas
tanah dalam rangka pelaksanaan program: 1) transmigrasi, 2) redistribusi tanah,
3) konsolidasi tanah, 4) pendaftaran tanah secara masal baik dalam rangka
pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadik
Dengan demikian pejabat yang berwenang mengeluarkan keputusan
mengenai pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah
negara adalah Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota,
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Hal ini didasarkan pada kompetensi
dalam mengeluarkan keputusan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Pasuruan, secara garis besar
permohonan dan pemberian hak atas Tanah Timbul dalam rangka program
redistribusi tanah terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut: a) pemohon
mengajukan permohonan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang untuk
memberikan hak atas tanah melalui Kantor Pertanahan setempat. b) kantor
pertanahan akan memeriksa kelengkapan permohonan dan dokumen-dokumen
yang diperlukan, diantaranya: 1) gambar situasi/surat ukur, 2) Nama-nama
petani penggarap/pemohon, 3) tanah yang dimohon statusnya tidak dalam
sengketa, 4) pemohon adalah benar-benar penduduk setempat, 5) keterangan
kepala desa setempat prihal lamanya masyarakat telah menguasai tanah
timbul/riwayat tanah dan luas tanah timbul yang diajukan untuk permohonan
hak
Setelah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten melakukan pemeriksaan,
melakukan

penelitian

terhadap obyek tanah

di

lapangan/lokasi

dengan

melakukan pengukuran terhadap tanah yang diajukan untuk didaftarkan sebagai


hak

milik,

selanjutnya

Kepala

Daerah

Kabupaten

(Bupati)

memberikan

rekomendasi.
Langkah selanjutnya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
adalah mempersiapkan usul atau permohonan penegasan untuk ditegaskan
menjadi tanah obyek landreform sebagai tanah yang dikuasai negara,
selanjutnya diajukan oleh Kantor Pertanahan setempat lewat Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur dan diteruskan kepada Kepala
Badan Pertanahan Nasional (BPNRI).

Moh. Muhibbin. Pola 110


Setelah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPNRI)
telah memeriksa permohonan penegasan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara menjadi obyek landreform dengan cermat, teliti dan memenuhi syarat
untuk dibagikan dengan status hak milik menurut Peraturan Perundangundangan yang berlaku, sebagaimana surat permohonan yang diajukan oleh
Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur, maka Kepala BPNRI
menerbitkan Surat Keputusan Penegasan Tanah yang dikuasai langsung oleh
negara Sebagai Obyek Landreform yang pemanfaatannya untuk tanah pertanian
dengan status hak milik, dengan menginstruksikan kepada Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten untuk: 1) melaksanakan pengukuran dalam rangka
memperoleh letak dan luas yang pasti atas tanah yang ditegaskan sebagai obyek

landreform, 2) melaksanakan pembagian dan penataan tanah yang ditegaskan


sebagai tanah obyek landreform dan selanjutnya melaksanakan pemberian hak
milik atas tanah yang ditegaskan pemberian hak milik, 3) mencantumkan
larangan pengalihan hak milik atas tanah yang dibagikan untuk jangka waktu 10
(sepuluh) tahun dalam surat keputusan pemberian hak milik redistribusi tanah,
buku tanah dan sertipikat hak atas tanah, 4) melaporkan hasil pelaksanaannya
kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur dan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 5) setelah semua syarat
dan kewajiban yang dinyatakan dalam Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH)
dipenuhi termasuk pendaftaran haknya maka kantor pertanahan dalam

hal ini

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan menerbitkan Surat Keputusan


Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten tentang Pemberian Hak Milik dalam rangka
Redistribusi Tanah Obyek Pengaturan Penguasaan Tanah dan menyerahkan
sertipikat tanah yang bersangkutan kepada pemegang haknya. Sertipikat sebagai
tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data
fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya.
Konstruksi hukum Sertipikat yang lahir dari permohonan hak atas tanah
yang berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara mempunyai karakter
yang bersifat konstitutif. Sifat karakter ini timbul sebagai akibat adanya suatu
keputusan atau penetapan dari badan/pejabat Tata Usaha Negara dalam hal ini
BPN yang menetapkan pemberian hak atas tanah kepada seseorang yang

111. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121


mengajukan permohonan suatu hak atas tanah yang berstatus tanah negara.
Fungsi dari Surat Keputusan Pemberian Hak tersebut adalah sebagai tanda bukti
kepemilikan bahwa seseorang memperoleh hak atas suatu bidang tanah. Surat
keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata
Usaha berfungsi sebagai dasar atau alas hak pengakuan Negara terhadap
seorang atas sebidang tanah yang dikuasainya. Karena untuk mendapatkan hak
memiliki atau menguasai hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara harus
memenuhi persyaratan dan kewajiban yang diuraikan dalam surat keputusan
tersebut. Bilamana syarat dan kewajiban dipenuhi maka harus didaftarkan agar
memperoleh tanda bukti kepemilikan yang berupa sertifikat hak atas tanah.
Berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Pasuruan dan Gresik, warga
desa yang telah menguasai dan memanfaatkan tanah timbul dapat mengajukan
permohonan hak milik atas tanah timbul yang merupakan tanah Negara.
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/KaBPN Nomor 410-1293
Tahun 1996 tentang Penertiban Status Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi . Pada
angka 5 Surat Edaran tersebut dinyatakan bahwa kepada para pemohon hak atas
tanah-tanah timbul dapat segera diproses melalui prosedur sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Gresik dan Pasuruan, secara
garis besar permohonan dan pemberian hak atas tanah terdiri dari tahapantahapan sebagai berikut: 1) pemohon mengajukan permohonan secara tertulis
kepada pejabat yang berwenang memberikan hak atas tanah melalui kantor
pertanahan setempat, 2) kantor pertanahan akan memeriksa kelengkapan
permohonan dan dokumen-dokumen. Dokumen-dokumen yang diperlukan
adalah: a) gambar situasi/surat ukur, b) fatwa tata guna tanah, c) risalah
pemeriksaan tanah oleh Panitia A, 3) apabila wewenang pemberian hak atas
tanah yang dimohon ada pada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten, maka
Kepala Kantor Pertanahan setempat akan mengeluarkan Surat Keputusan
Pemberian Hak (SKPH), tetapi apabila wewenang tersebut ada pada Kepala
Kantor Wilayah BPN, maka berkas permohonan dan dokumen-dokumen yang
telah lengkap dan disertai dengan pertimbangan dari Kepala Kantor Pertanahan

Moh. Muhibbin. Pola 112


setempat mengenai dikabulkan atau tidaknya permohonan tersebut dikirim ke
Kantor Wilayah BPN Provinsi dan kemudian Kepala Kantor Wilayah akan
memperoses permohonan tersebut dan mengeluarkan SKPH. Apabila wewenang
untuk memberikan hak atas tanah

ada pada Menteri Negara Agraria/Kepala

BPNRI, maka berkas permohonan dan dokumen yang telah lengkap dan disertai
pertimbangan dari Kepala Kantor Wilayah untuk dikirim ke Menteri Negara
Agraria/KaBPN Pusat dan kemudian Menteri Negara Agraria/KaBPN akan
mengeluarkan SKPH. 4) Surat Keputusan Pemberian Hak diserahkan kepada
pemohon melalui kantor pertanahan setempat. 5) pemohon hak atas tanah
diwajibkan memenuhi kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam SKPH. 6)
Kepala Kantor Pertanahan mengeluarkan sertipikat hak atas tanah dan
menyerahkannya kepada pemegang hak atas tanah.
Dari hasil penelitian tersebut di atas, terkait dengan pola penguasaan atas
tanah timbul oleh masyarakat di pesisir pantai utara laut Jawa apabila ditelaah
secara mendalam sangat bersesuaian dengan ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam hukum adat. Menurut Roestandi, Berdasarkan ketentuan hukum adat, hak
milik itu dapat diperoleh atas tanah pembawaan lumpur (tanah yang tumbuh di
pesisir pantai, atau biasa disebut dengan tanah timbul yang muncul di tepi
sungai dan pantai). Pada umumnya di Jawa tanah yang timbul karena
pembawaan lumpur adalah hak orang yang mempunyai tanah di mana tambahan
tanah itu terjadi. Apabila tanah yang sudah ada di tepi sungai dan pantai itu
adalah tanah hak milik, maka orang yang memiliki tanah bersebelahan dengan
sungai dan pantai itu memperoleh hak milik pula atas tanah tambahan itu.
Apabila di daerah itu berlaku hak ulayat yang masih kuat, hak atas tanah baru itu
menjadi hak penguasaan hak ulayat setempat. Di daerah lainnya terdapat
ketentuan hukum adat, bahwa walaupun tanah pembawaan lumpur itu timbul di
tempat bersebelahan dengan hak milik perseorangan, maka desalah yang
pertama-tama menguasai tentang tanah timbul tersebut.
Sejalan dengan hukum adat bahwa terjadinya hak milik menurut hukum
adat adalah bersumber pada pembukaan atas tanah hutan yang merupakan

113. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121


bagian tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat. Cara lain untuk memperoleh
hak milik menurut hukum adat di sementara daerah adalah dengan terjadinya
tanah timbul, yang muncul di tepi sungai atau pantai atau karena proses alam
menjadi endapan-endapan tanah lumpur.13
Tanah timbul di tepi sungai atau pantai dianggap menjadi kepunyaan orang
yang memiliki tanah yang berbatasan, karena biasanya pertumbuhan tanah
tersebut sedikit banyak terjadi karena usahanya. Dengan demikian terjadinya hak
milik secara demikian itu juga melalui suatu proses pertumbuhan yang memakan
waktu.14
Uraian tersebut di atas baik resmi maupun pendapat perorangan
menunjukkan terjadinya hak milik atas tanah menurut hukum adat adalah
melalui pembukaan tanah sebagaimana telah dikenal secara tradisional dalam
masyarakat hukum adat Indonesia. Dalam perkembangannya apa yang
digariskan melalui pasal 46 UUPA yang menegaskan hak membuka tanah dan
memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan
diatur dengan peraturan pemerintah.
Terbentuknya hak atas tanah yang berasal dari nilai-nilai yang berkembang
di tengah masyarakat, menurut Von Savigny (mazab sejarah) merupakan doktrin
hukum yaitu ubi societas ibi ius (pada setiap masyarakat dan kelompok
masyarakat mempunyai hukumnya sendiri). Dengan kata lain bahwa hukum itu
tumbuh dan berkembang sesuai jiwa bangsanya.15
Di Indonesia upaya pembangunan hukum pertanahan dilakukan dengan
memadukan dua ajaran atau aliran hukum. Penerapan ajaran atau aliran pikiran
hukum yang dipelopori Von Savigny terungkap dalam penjelasan umum angka
III UUPA yang mengemukakan bahwa .hukum agraria yang baru sesuai
dengan kesadaran hukum rakyat banyak dan didasarkan kepada hukum adat
sebagai hukum asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan
masyarakat dalam negara yang modern. Penerapan ajaran atau aliran pikiran
13

14

15

Rancangan Undang-Undang Hak Milik atas Tanah, (RUUHM), 1997, h. 2.


Boedi Harsono, Op., cit., h. 80
Edgar Bodenheimer, Seventy Five Years of Evolution Legal Philosophy, America:

American Journal Jurisprudence, 1978, h. 3

Moh. Muhibbin. Pola 114


hukum Roscoe Pound ditunjukkan oleh tujuan dan fungsi hukum yang dibentuk
yaitu mengadakan perubahan pola penguasaan dan pemilikan tanah dalam
masyarakat. Semula penguasaan tanah di sebagian besar masyarakat Indonesia
bersifat komunal dan tanpa bukti tertulis. Melalui UUPA diintroduksikan sistem
penguasaan dan pemilikan tanah yang menyeluruh dan pada akhirnya dapat
dibuktikan. Di dalam penguasaan dan pemilikan itu individu ditampilkan sebagai
orang yang memiliki hak sehingga menunjukkan pergerakan dari sistem komunal
ke individu.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, nilai-nilai yang terkandung di
dalam hukum (tanah) adat digantikan dengan nilai-nilai atau norma-norma yang
berlaku secara nasional untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dari Sabang
sampai Merauke. Penggantian tersebut ditujukan untuk mengadakan perubahan
pola penguasaan dan pemilikan tanah di masyarakat, sehingga diharapkan fungsi
hukum as a tool of social engineering.
Apabila hukum hanya berfungsi sebagai kontrol sosial maka fungsi hukum
yang demikian itu bagi suatu masyarakat yang sedang membangun tidak cukup
lengkap, sebab apabila hukum hanya berfungsi seperti demikian maka yang
diharapkan hanyalah sekedar terwujudnya ketertiban, kemakmuran dalam
kehidupan masyarakat, belum mengarah pada hukum yang berprinsip untuk
melakukan

perubahan-perubahan

sesuai

dengan

apa

yang

diharapkan

masyarakat. Hukum dikatakan berfungsi sebagai sarana perubahan sosial


bilamana hukum itu digunakan secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum
atau

keadaan

masyarakat sebagaimana

yang

dicita-citakan

atau

untuk

melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan.16


Pengenalan nilai-nilai baru tersebut sudah barang tentu menimbulkan
pengaruh dan perubahan terhadap pranata hukum dan tatanan nilai yang telah
ada dan berkembang dalam masyarakat. Seperti halnya hukum yang dimiliki oleh
masyarakat yang hidup di pesisir pantai dalam perolehan tanah timbul yang
semula sebelum adanya UUPA telah menggunakan aturan-aturan hukum sesuai
dengan aturan yang berlaku, yakni penguasaan dan pemilikan tanah timbul

16

M. Munir, Penegakan Hukum Dalam Masyarakat: Suatu Rumusan Untuk Mewujudkan


Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa, Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu
Hukum Pada Fakultas Hukum UNIBRAW, Malang. 1998, h. 4

115. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121


dilakukan dengan cara pendudukan tanah atau membuka tanah tak bertuan
dengan tanpa izin siapapun kecuali kepala adat atau tokoh masyarakat, sekarang
berubah menjadi bentuk adanya pengajuan permohonan oleh masyarakat
kepada kepala desa setempat.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kawasan pesisir pantai utara
laut Jawa, khususnya di Kabupaten Gresik dan Pasuruan, bahwa tanah timbul
yang dikuasai oleh masyarakat jauh sebelum adanya UUPA, sampai saat ini
sebagian status tanah tersebut sudah menjadi hak milik dalam bentuk sertipikat.
Bahkan di wilayah Kabupaten Gresik kurang lebih 38% dan 45% di Kabupaten
Pasuruan sudah didaftarkan dan menjadi sertipikat. Ini menunjukkan adanya
perubahan status yang dulunya mereka menguasai secara fakta, namun
demikian dengan adanya pendaftaran tanah dan menjadi sertipikat, status
penguasaan tanah dan pemilikan tanahnya secara yuridis menjadi tanah hak
milik.
Ketentuan-ketentuan perubahan hukum di atas tidak statis melainkan
dinamis dan selalu berkembang. Hal ini sesuai dengan pendapat Supomo, bahwa
setiap peraturan hukum adat adalah timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap
bersamaan dengan lahirnya peraturan baru yang sesuai dengan perubahan
perasaan keadilan yang hidup dalam hati nurani seluruh warga masyarakat yang
menimbulkan perubahan peraturan, begitu seterusnya keadaannya seperti
jalannya ombak di pesisir samudra.17
Perbedaan fungsi hukum sebagaimana tersebut di atas menunjukkan
kebutuhan masyarakat terhadap hukum berbeda. Fungsi hukum mengalami
perkembangan sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
Perkembangan fungsi hukum tersebut menunjukkan hubungan yang erat antara
hukum dan masyarakat. Hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakatnya.

Fungsi

hukum

dalam

suatu

masyarakat

sebenarnya

mencerminkan kebutuhan masyarakat dimana tempat hukum itu berlaku. Oleh


karena hukum itu diciptakan oleh masyarakat sebagai sarana untuk mencapai
tujuan-tujuan yang diharapkan oleh masyarakat yang bersangkutan.

17
Kartosapoetra, et.,al. Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan
Tanah, Jakarta, Rineka Cipta, 199 ,h. 93.

Moh. Muhibbin. Pola 116


Terjadinya perubahan secara perlahan-lahan (evolusi) ini dimaksudkan
untuk menyesuaikan diri dengan kehendak dan perkembangan zaman yang
selalu mendambakan keadilan dan dalam upaya mewujudkan satu kesatuan
hukum yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia, dan keberadaan hukum tanah
ada kalanya harus ditinggalkan atau diubah dan disesuaikan dengan kepentingan
nasional.
Bagi masyarakat yang tinggal di Pesisir pantai, munculnya tanah timbul di
berbagai pesisir sungai atau pantai merupakan tanah komunal (desa) yang
dikuasai oleh masyarakat setempat untuk dijadikan sebagai usaha mereka.
Secara historis faktual masyarakat setempat di wilayah pesisisir pantai telah
membuka tanah (babat desa) dan menguasai dari zaman dahulu untuk berbagai
kepentingan. Hakikat penguasaan dan pemilikan tanah oleh masyarakat dengan
pemerintah adalah berbeda. Masyarakat setempat menganggap bahwa mereka
yang sudah menguasai berarti memiliki karena masyarakat atau warga desa
telah melakukan tindakan atau aktifitas secara nyata ( in concreto) menduduki
dan mengolah tanah serta memetik hasilnya, sedangkan bagi pemerintah
(negara) dalam hal ini pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional) menganggap
bahwa tanah tersebut menjadi hak penguasaan negara yang mempunyai
kewenangan untuk mengatur kepemilikannya.
Menurut persepsi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai, khususnya di
Kabupaten Gresik dan Pasuruan, bahwa status tanah timbul tersebut merupakan
tanah

desa

yang

sekaligus

juga

sebagai

tanah

negara,

masyarakat

diperkenankan untuk membukanya dan memanfaatkannya dengan batas yang


sudah ditentukan sebagai usaha pertanian tambak. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Sulastriyono tentang kasus penguasaan tanah timbul di sungai
Citandui yang mengatakan bahwa, pembukaan tanah merupakan salah satu cara
untuk memperoleh hak-hak atas tanah dengan melalui tata cara tertentu, yaitu
diketahui atau seizin kepala desa setempat.18
Realitas hukum yang ada di Indonesia, khususnya di Jawa setiap orang
yang membuka tanah kosong, membuka hutan diperbolehkan mempunyai hak
milik atas tanah (erfelijk indiviueel bezits recht). Hal ini sejalan dengan konsep

18 Sulastriyono, Op.,cit., h. 188

117. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121


hukum adat dalam memperoleh hak milik atas tanah, sejalan dengan teori
hukum Islam dan teori-teori lama, seperti teori occupatio, kodrat, dan individual

labor

mengenai perolehan hak milik atas tanah. Dari beberapa teori diatas,

nampaknya untuk kondisi sekarang cara perolehan hak milik secara adat masih
memungkinkan

selama

UUPA

mengakui

keberadaan

hukum

masyarakat

setempat (adat). Sebagaimana dijelaskan pasal 5 UUPA yang menyatakan


Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara
yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini.. Dari
pasal ini dapat diketahui bahwa latar belakang, sejarah dan proses penyusunan
serta dasar berfikir penyusunan UUPA menunjukkan bahwa Undang-Undang ini
merupakan hukum yang terbentuk berdasarkan kesadaran hukum masyarakat
hukum adat. Hal ini ditegaskan pada penjelasan umum III angka I UUPA bahwa
Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada adat, maka
hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuanketentuan hukum adat itu, sebagai hukum asli yang disempurnakan dan
disesuaikan dengan kepentingan masyarakat.
Keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat di berbagai daerah di
wilayah Indonesia, masih mempunyai tempat manakala

di hadapkan kepada

pasal 56 UUPA yang menyatakan bahwa: Selama Undang-undang mengenai hak


milik sebagaimana tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang
berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat.... Pasal 5 UUPA
secara implisit tidak menegaskan doktrin hukum mana yang akan diberlakukan di
tengah masyarakat. Cita-cita UUPA adalah mewujudkan kepastian hukum tanah
di Indonesia dan dengan kesatuan hukum yang diberlakukan untuk seluruh
wilayah Indonesia. Ketidaktegasan pasal 5 UUPA tersebut secara implisit juga
mengakui adanya pluralisme hukum, yaitu hukum adat yang dianut oleh berbagai
masyarakat hukum adat di Indonesia.
Ketidaktegasan tersebut mengakibatkan hukum tertulis (UUPA) dihadapkan
kepada dua keadaan, yaitu kepastian dan ketidakpastian, lebih lanjut akan
dihadapkan pula kepada pertanyaan dan tuntutan tentang kesebandingan

Moh. Muhibbin. Pola 118


masalah dan pertanyaan ini akan selalu timbul bila berhadapan dengan tiga
kepentingan, yaitu kepentingan individu, masyarakat hukum adat dan negara
dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh negara RI.
Berkaitan dengan pelaksanaan hak penguasaan dan pemilikan atas tanah
timbul oleh masyarakat di Kabupaten Gresik dan Pasuruan terdapat dua sistem
hukum yang berlaku dan menjadi dasar hukum bagi para pihak, yaitu hukum
negara (hukum tertulis) dan hukum masyarakat melalui mekanisme-mekanisme
pengaturan lokal dalam masyarakat (hukum tidak tertulis). Masyarakat (warga
desa) Gresik dan Pasuruan telah menggunakan hukum masyarakat melalui
mekanisme-mekanisme pengaturan lokal dalam masyarakat sebagai hukum
kebiasaan mereka jauh sebelum terbentuknya UUPA (hukum tertulis), sebagai
dasar untuk menguasai dan memiliki tanah timbul. Akan tetapi dalam praktek,
masyarakat yang hidup di pesisir pantai khususnya di Kabupaten Gresik mulai
tahun

1990-an

menggunakan

selain
hukum

menggunakan
tertulis

hukum

lokal

ketika permohonan

(tidak
hak

tertulis)

diajukan

juga

kepada

pemerintah, dimana peraturan yang dipakai oleh pemerintah adalah UU No.


56/Prp./1960 tentang Penetapan Luas Tanah pertanian, PP Nomor 224/tahun
1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian dan
PP Nomor 24/tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
Untuk

menyeimbangkan

atau

mengakomodasi

antara

beberapa

kepentingan yaitu kepentingan individu, masyarakat dan negara agar tidak


terjadi pertentangan kepentingan, maka perlu dilakukan pengkajian terhadap
penguasaan terhadap tanah-tanah yang masih kosong/tanah yang belum
dibebani hak, sehingga terjadi keseimbangan diantara tiga kepentingan (individu,
masyarakat, dan negara).
Oleh karena itu upaya yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah
pertentangan kepentingan yang berhadapan dengan tuntutan terwujudnya
keseimbangan adalah dengan melakukan pengkajian terhadap latar belakang
masalah tersebut kepada keseimbangan dari ketiga kepentingan.
Dengan demikian melihat kenyataan yang ada di Indonesia masih terdapat
pluralisme hukum di bidang pertanahan khususnya yang berkaitan dengan tanah

kosong, seperti tanah timbul. Wujud pluralisme hukum tersebut nampak jelas di
lapangan, yaitu ada dua sistem yang berlaku dan menjadi dasar hukum bagi para

119. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121


pihak. Dua sistem hukum tersebut adalah hukum masyarakat lokal (tidak
tertulis), hukum negara (tertulis).
Dengan mengacu konsep pluralisme/kemajemukan hukum dari Sally F.
Moore maka masing-masing pihak yang berkepentingan untuk menguasai tanah
timbul tersebut di atas merupakan wujud nyata dari semi autonomous social field
(lapangan sosial semi otonom). Karakteristik lapangan sosial semi otonom adalah
kemampuan

untuk

menciptakan

aturan-aturan

yang

berlaku

dalam

lingkungannya sendiri, mendorong bahkan memaksa warganya agar mentaati


aturan tersebut.19 Wujud dari semi autonomous social field membuat para pihak
mempunyai strategi untuk memilih dan menggunakan aturan-aturan dari negara
(hukum tertulis) maupun hukum lokal (tidak tertulis) sesuai dengan manfaat
yang akan diperolehnya.
V. PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan uraian di atas sebagai hasil penelitian yang telah dilakukan
sebagaimana diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :1)Pola
penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul oleh masyarakat didasarkan pada
budaya masyarakat setempat yang memiliki mekanisme-mekanisme pengaturan
lokal dalam masyarakat (inner order mechanism/self regulation) yang secara
nyata berlaku dan berfungsi sebagai sarana untuk mengatur perolehan
penguasaan tanah timbul di pesisir pantai, diawali dengan pembukaan atas tanah
yang belum dilekati hak (tanah kosong) yaitu munculnya tanah di pesisir pantai
sebagai proses sedimentasi (tanah timbul) dengan mendapat izin dari penguasa
masyarakat (Kepala Desa) dan dituangkan dalam surat keterangan menggarap
(surat Segel di Kabupaten Gresik) dan Surat Izin Pengelolaan Tambak Tanah
Oloran (SIPTTO di Kabupaten Pasuruan), dikerjakan dan dikelola secara intensif
dengan iktikad baik kemudian terjadilah penguasaan tanah oleh masyarakat
dengan hak menggarap. 2) Pola penguasaan dan pemilikan tanah timbul di
Kabupaten Gresik dan Kabupaten Pasuruan yang letaknya di pesisir pantai utara

19
Ihromi, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,
1993, h. 152

Moh. Muhibbin. Pola 120


Jawa Timur, sangat dibutuhkan oleh kesungguhan penguasaan dan penggunaan
(intensitas de facto) atau penggarapan manusia atas tanah tersebut. Semakin
intens penggarapan, maka semakin utuh pula hubungan antara manusia dengan
tanahnya, sehingga semakin kukuh pula penguasaan atas tanah tersebut.
5.2 Saran-Saran
Peraturan

perundang-undangan

pertanahan

di

Indonesia

belum

memberikan pengaturan yang memadai mengenai penguasaan tanah timbul di


pesisir pantai. Berkaitan dengan hal itu, ada beberapa hal yang perlu segera
dilakukan oleh pemerintah untuk: 1) Melakukan penataan penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah timbul melalui penyempurnaan
dalam peraturan perundang-undangan pertanahan di Indonesia. Atau hendaknya
pemerintah segera membentuk peraturan perundang-undangan tentang hak
milik yang di dalamnya memuat penjelasan penguasaan tanah timbul di pesisir
pantai. Pentingnya pengaturan tersebut dapat dijadikan sebagai pijakan atau
landasan hukum yang jelas bagi masyarakat yang melakukan penguasaan atas
tanah timbul. 2) Dalam penyempurnakan atau membentuk peraturan perundangundangan, hendaknya pembentuk undang-undang memperhatikan hukum yang
hidup dalam

kehidupan masyarakat yang merupakan

cerminan

budaya

masyarakat, atau didasarkan pada budaya masyarakat setempat yang memiliki


mekanisme-mekanisme pengaturan lokal

dalam

masyarakat

(inner order

mechanism/self regulation) yang secara nyata berlaku dan berfungsi sebagai


sarana untuk mengatur perolehan penguasaan tanah timbul di pesisir pantai. 3)
Efektifitas penyuluhan hukum pada masyarakat berkenaan dengan penguasaan
dan pemilikan tanah timbul perlu ditingkatkan, agar masyarakat sadar dan
mengerti tentang status tanah tersebut yang muncul di perairan pantai utara laut
Jawa.

121. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 93-121


DAFTAR PUSTAKA
Ardiwilaga, R. Roestandi (1962), Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Masa baru,
Bandung.
Bodenheimer, Edgar. (1978) Seventy Five Years of Evolution Legal Philosophy,
American Journal Jurisprudence, America.
Harsono, Boedi. (2003) Undang-undang Pokok Agraria : Sejarah Penyusunan, Isi
dan Pelaksanaannya, Bagian Pertama, Jilid ke-2, Jembatan, Jakarta.
Hermayulis.(1999) Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap

Hubungan Kekerabatan pada Sistem Kekerabatan Matrialinial


Minangkabau di Sumatra Barat, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.

Kartasapoetra. et.,al. (1991) Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan


Pendayagunaan Tanah, Rineka Cipta, jakarta.
Keraf, Sonny. (1997) Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi , , Kanisius,
Yogyakarta.
Locke, John. (1988)Two Treaties of Government, Cambridge University Press,
Cambridge.
Munir, M. (1998) Penegakan Hukum Dalam Masyarakat: Suatu Rumusan Untuk
Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
UNIBRAW, Malang.
Mudjiono. (1997) Politik dan Hukum Agraria, Liberty,Yogyakarta
Sulastriyono. (2000) Pluralisme Hukum dan Permasalahan Pertanahan: Kasus

Penguasaan Tanah Timbul di Muara Sungai Citandui, dalam Hukum dan


Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Soetiknjo, Iman(1994) Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia Dengan


Tanah Yang Berdasarkan Pancasila, Gadjah Mada University Prees,
Yogyakarta.
Van Der Meer, Van Setten (1979) Sawah Cultivation in Accient Java, Oriental
Monograph Serie, No. 229, Canberra Australian National University.
Wojowasito.S, (1997), Kamus Bahasa Belanda, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta.

Ucapan Terima Kasih 122

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Mitra Bestari yang telah
membantu melakukan penilaian tentang kelayakan substansi dari
artikel yang dimuat dalam jurnal hukum Prasada, Program Studi
Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Warmadewa Denpasar, seri penerbitan perdana yaitu :
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H.
Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar
Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H.,M.H.
Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar
Prof. Dr. Sudarsono, S.H.,M.S
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang
Prof. Dr. I Made Weni, S.H.,M.S
Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang
Dr. I Made Sepud, S.H.,M.H.
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Warmadewa Denpasar
Dr. I Gusti Anom Kerti, S.H.,M.Kn.
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Warmadewa Denpasar

Denpasar, September 2013

Redaksi

123. JURNAL HUKUM PERSADA NO. 1 VOL. 1 SEPTEMBER 2013. 123-123


BIODATA PENULIS
I Nyoman Nurjaya, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono
No. 169 Malang.
I Ketut Mertha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Jl. Pulau Bali No. 1
Denpasar-Bali.
I Putu Gelgel, Program Studi Hukum Agama Hindu Fakultas Ilmu Agama
Universitas Hindu Indonesia, Jl. Sulatri Tembau, Denpasar-Bali.
I Made Suwitra, Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak,
Denpasar-Bali.
I Nyoman Alit Puspadma, Program Studi Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Tanjung
Bungkak, Denpasar-Bali.
I Nyoman Putu Budiartha, Program Studi Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Tanjung
Bungkak, Denpasar-Bali.
Moh. Muhibbin, Fakultas Hukum Universitas Islam, Malang, Jl. MT. Haryono 195
Malang.

Pedoman Penulisan 124


PEDOMAN PENULISAN NASKAH
JURNAL HUKUM - PRASADA
Substansi artikel :
Artikel dapat berupa hasil penelitian, kajian normatif, studi empiris, sebagai hasil pengembangan ilmu
hukum dari berbagai bidang ilmu hukum dengan daya selingkung agraria dan Investasi. Artikel belum
pernah dipublikasikan atau tidak sedang dalam pertimbangan untuk dipublikasikan pada media lain.
Sistematika artikel :
Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan sistematika : hasil penelitian, judul,
nama penulis dan alamat lembaga penulis, abstrak dan kata kunci, pendahuluan, Metode penelitian, hasil
dan pembahasan, simpulan, dan daftar pustaka; Selain hasil penelitian, judul, nama penulis dan alamat
lembaga penulis, abstrak dan kata kunci, Pendahuluan, Pembahasan, Simpulan, dan daftar pustaka.
Tulisan berbentuk narasi, tanpa penomoran, data tabel diupayakan seminim mungkin dan tanpa kolom
(baris saja).
Judul : ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, tidak lebih dari 12 kata, singkat dan jelas
menggambarkan isi pokok tulisan.
Nama penulis: tanpa gelar disertai alamat lengkap, lembaga penulis dan nomor telepon, atau HP, E-mail,
untuk memudahkan korespondensi.
Abstrak : ditulis dalam bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris; tidak lebih dari 200 kata, dalam satu
paragraf ; memuat latar belakang permasalahan, metode penelitian, hasil dan pembahasan (untuk hasil
penelitian); serta simpulan.
Kata kunci : ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; terdiri dari tiga sampai delapan kata;
memuat istilah2, konsep2, atau kata-kata penting dari tulisan.
Pendahuluan : berisi latar belakang dan permasalahan.
Metode penelitian : menurut uraian jenis penelitian, pendekatan masalah, metode pengumpulan,
pengolahan dan analisis.
Hasil dan Pembahasan : (boleh digabung). Memuat data, informasi, dan hasil analis.
Simpulan : memuat intisari pembahasan dari permasalahan serta menjawab tujuan.
Daftar Pustaka : memuat acuan primer yang mutakhir (75% mengacu kepada pustaka 10 tahun
terakhir), dan disusun menurut alfabetis secara kronologis.; 1. BUKU ; nama pokok dan inisial pengarang
(koma), tahun terbit (titik), judul buku (ditulis miring) (titik); 2. Tulisan dalam buku ; nama pokok dan
inisial pengarang (koma), tahun terbit (titik), judul tulisan (titik), inisial dan nama editor (titik), judul buku
(ditulis miring) (titik), tempat penerbit (titik dua), nama penerbit (titik); 3. Tulisan dalam jurnal ; nama
pokok dan inisial pengarang (koma), judul tulisan (ditulis miring) (titik), Singkatan nama jurnal (titik),
Volume nomor- bulan dan tahun terbit (titik); 4. Tulisan dalam pertemuan ilmiah ; nama pokok dan
inisial pengarang (koma), judul tulisan (ditulis miring) (titik), nama pertemuan (titik), tempat pertemuan
(titik), waktu pertemuan (titik).
Penulisan kutipan : kutipan menggunakan cara catatan kaki atau foot note. Catatan memuat nama
pengarang buku, judul buku, (Kota buku diterbitkan, Penerbit, tahun), dan halaman buku yang dikutip.
Judul buku ditulis miring. Sedangkan untuk judul artikel, makalah, tesis, dan disertasi, ditulis dalam tanda
petik tanpa cetak miring. Catatan kaki dimulai setelah ketukan keenam (sama dengan mulainya alinea),
jika catatan kaki lebih dari satu baris, maka baris kedua dan seterusnya ditulis dari awal margin kiri
halaman. Hal yang dikutip diawali dan diakhiri dengan tanda (). Jika kutipan lebih dari tiga baris, maka
hal yang dikutip harus ditulis dengan satu spasi dan ketikan dimulai setelah ketukan keempat.
Contoh : penulisan catatan kaki :
12Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta, Rajawali Pers, 1995), hlm. 117
13Adami Chazzawi, Hukum Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi, (Malang, Bayu Media, 2007),
hlm. 76
Penyerahan artikel : artikel dikirimkan sejumlah dua eksemplar naskah asli beserta soft copynya di
dalam CD. Ditulis dengan menggunakan kertas A4, sepasi ganda, huruf time new roman, font 12, dan
panjang artikel 15-20 halaman.
Artikel dikirimkan ke sekretariat redaksi Jurnal Hukum - Prasada d.a. :
Pascasarjana Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak
Denpasar (80235) telepom 0361 223858 (hunting), E-mail :
madesuwitra@yahoo.co.id
Dan nyomanputubudiartha@yahoo.co.id
Catatan :
1. Redaksi berhak menolak pemuatan artikel yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam petunjuk penulisan atau berdasarkan hasil penelahaan mitra bestari.
2. Untuk menjaga konsistensi jumlah artikel dan jumlah halaman masing2 nomor penerbitan,
pemuatan artikel dilakukan berdasarkan pada urutan prioritas penerimaan artikel.
3. Artikel yang diterima menjadi hak lembaga penerbit, dan artikel yang tidak dimuat tidak akan
dikemablikan kecuali ada persetujuan sebelumnya.
4. Artikel harus sudah masuk redaksi paling lambat bulan April untuk penerbitan edisi Juli, dan
bulan oktober untuk edisi januari.

Anda mungkin juga menyukai