Jurnal Hukum Prasada Vol 1 No 1
Jurnal Hukum Prasada Vol 1 No 1
I NYOMAN NURJAYA
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Atau Kepentingan Pembangunan? Telaah Kritis Terhadap
UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
I KETUT MERTHA
Pemberdayaan Desa Pekraman Dalam Penanggulangan Banjir Di Kota Denpasar Suatu Kajian Teoritis
I PUTU GELGEL
Kontribusi Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional Di Tengah Dinamika Perubahan Sosial
I MADE SUWITRA
Konflik Penguasaan Tanah Di Bali
I NYOMAN ALIT PUSPADMA
Perpanjangan Hak Guna Bangunan Bagi Perseroan Terbatas Ditinjau dari Prinsip Kepastian Hukum
I NYOMAN PUTU BUDIARTHA
Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah Perspektif Hukum Investasi Berwawasan Lingkungan Untuk
Kemakmuran
MOH. MUHIBBIN
Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah Timbul Aanslibbing oleh Masayrakat di Pesisir Pantai Utara Laut Jawa
Penanggungjawab :
Dewan Editor :
(KETUA)
(SEKRETARIS)
(BENDAHARA)
ANGGOTA :
1.
2.
3.
4.
5.
Tata Usaha :
1. madesuwitra@yahoo.co.id
2. nyomanputubudiartha@yahoo.co.id
ISSN: 2337-795X
(International Standard Serial Number)
ii
iii
I NYOMAN NURJAYA
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Atau Kepentingan
Pembangunan? Telaah Kritis Terhadap UU No. 2 Tahun 2012 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ...
1-21
I KETUT MERTHA
Pemberdayaan Desa Pakraman Dalam Penanggulangan Banjir Di Kota
Denpasar Suatu Kajian Teoritis .......................................................
22-30
I PUTU GELGEL
Kontribusi Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional Di
Tengah Dinamika Perubahan Sosial .................................................
31-44
I MADE SUWITRA
Konflik Penguasaan Tanah Di Bali ..................................................
45-57
58-72
73-92
MOH. MUHIBBIN
Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah Timbul Aanslibbing oleh
Masyarakat di Pesisir Pantai Utara Laut Jawa ..................................
93-121
122-122
123-123
124-124
JURNAL HUKUM PRASADA Semesteran ini diterbitkan oleh Program Studi Magister
(S-2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa sebagai media
komunikasi dan pengembangan ilmu. Jurnal terbit setiap bulan September dan Maret.
Redaksi menerima naskah artikel laporan penelitian, dan artikel konseptual resensi
buku sepanjang relevan dengan misi redaksi (daya selingkung agraria dan investasi).
Naskah yang dikirim minimal 15 halaman maksimal 20 halaman diketik 1,5 spasi
dilengkapi abstrak bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta biodata penulis.
Redaksi berhak mengubah naskah sepanjang tidak mempengaruhi substansi
tulisannya.
Pengantar Redaksi iv
Abstract
The Law (UU No. 2, Year 2012), on Land Procurement for development
for public Interest: whether regulating land acquisition for development
purposes, or the law governing the deletion / revocation of land rights of the
people. First, if the title of the legislation concerns the acquisition of land for
development, the actual substance is in the realm of private law, not in the realm
of public law as stipulated in UU No. 2, Year 2012; Second, the priority target of
this law enforcement is more on the ground where the personal or individual
property rights is in urban areas, industrial areas, and rural areas, especially the
communal land rights of indigenous people in coastal areas and small islands,
forests, plantation, mineral mining, oil and gas , and others. The substance of
legislation governing the possession and use of agricultural resources, should
reflect the character: 1) orientation is not on exploitation (use-oriented), but for
the sake of conservation (resources-oriented) that ensures the preservation and
sustainability of agrarian resources for the benefit of inter-intra generations; 2)
the chracteristic of management is comprehensive, holistic and integrated as the
agrarian resources is an integral ecology (ecological-system) that becomes the
source of human life, and 3) regulating the mechanism of inter-sectoral
coordination and integration in agrarian resource management, and 4)
embracing the ideology of community-based agrarian resources management.
Keywords: Land Acquisition, Public Interest, Development Interest
Abstrak
Pemberlakuan UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum: apakah mengatur mengenai
pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, atau undang-undang yang
mengatur penghapusan/pencabutan hak atas tanah rakyat? Pertama, kalau judul
undang-undang mengenai pengadaan tanah untuk pembangunan, maka
sesungguhnya substansinya berada di ranah hukum privat, bukan di ranah
hukum publik seperti yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012; Kedua, sasaran
prioritas dari pemberlakuan undang-undang ini lebih pada keberadaan tanah hak
1
2
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono No.169, Malang
(nurjayai@yahoo.com).
I.
PENDAHULUAN
Indonesia dikenal di seluruh dunia sebagai negara yang memiliki sumber
daya agraria3 yang melimpah. Kekayaan sumber daya agraria dari persepsi
pemerintah adalah modal utama untuk menyelenggarakan pembangunan
nasional. Karena itu, atas nama pembangunan nasional (in the name of national
3
Yang dimaksud sumber daya agraria dalam pengertian luas, dengan merujuk pada UU No.
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, adalah sumber daya alam
sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan,
dalam pengertian sempit, sumber daya agraria yang dimaksud hanya sebatas tanah sebagai
permukaan bumi. Indonesia memiliki kekayaan sumber daya agrarian berupa sumber daya alam
hayati maupun nonhayati yang melimpah; sumber daya agraria yang terbarukan ( renewable)
maupun yang tak terbarukan (nonrenewable); yang berwujud modal alam ( natural resource stock)
seperti daerah aliran sungai, danau, kawasan lindung, pesisir, kawasan rawa dan gambut, dll.
maupun berwujud komoditi (natural resource commodity) seperti kayu, rotan, mineral tambang,
minyak dan gas bumi, ikan, dll. yang terdapat merata hampir di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
hanya
sebatas
angka-angka
pertumbuhan
ekonomi
dari
agraria dengan merujuk pada UUD Tahun 1945, dan mencoba mengidentifikasi
dan mengkritisi karakter perundang-undangan yang mengatur penguasaan dan
4
John Bodley, Victims of Progress, Mayfield Publishing Company, California, 1982; Nancy L.
Peluso, Rich Forest, Poor People, Resource Control and Resistance in Java , University of California
Press, Berkeley; Mark Poffenberger, Keepers of The Forest, Land Management Alternatives in
Southeast Asia, Ateneo de Manila University Press, The Philippines, 1990; Mark Poffenberger,
Community and Forest Management in Southeast Asia, WG-CIFM, Berkeley, USA, 1999; Robert
Reppeto and Malcolm Gillis, Public Policies and the Misuse of Forest Resources, Cambridge
University Press, New York, 1988; Owen J. Lynch and Kirk Talbott, Balancing Act, CommunityBased Forest Management and National Law in Asia and The Pacific, World Resources Institute,
USA, 1995.
j.
5
Pasal 4 Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam.
di atas pada dasarnya meliputi tiga prinsip dasar, yaitu keadilan, demokrasi, dan
keberlanjutan sumber daya agraria, dengan penjelasan seperti berikut:
(a)
(b)
daerah, akses
Prinsip
Berkelanjutan
adalah
kebijakan
penguasaan
harus
mampu
sumber
mengintegrasikan
prinsip-prinsip
sumber daya agraria harus bersifat spesifik lokal, disesuaikan dengan ekosistem
daerah dan tatanan kehidupan sosial-budaya masyarakat setempat.
Kelima prinsip dasar di atas satu sama lain saling terkait dan melengkapi,
sebagai satu kesatuan yang mengandung makna bahwa penguasaan dan
pemanfaatan
sumber
daya
agraria
dimaksudkan
untuk
mewujudkan
fakta
Telah diganti dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Mineral Tambang dan Batubara
Telah diganti dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
akuntabilitas
pemerintah
kepada publik
atas
penguasaan
dan
Daerah11; dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia, telah
mengatur prinsip-prinsip penting yang mendukung sistem regulasi pengelolaan
sumber
daya
agraria
yang
mencerminkan
keadilan,
demokrasi,
dan
sumber
prinsip konservasi
10
dan
Telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
11
demokrasi, dan
berkelanjutan
dalam
penguasaan
dan
yang
responsif
mengakomodasi
prinsip
keadilan,
tanggal 14 Januari 2012 yang secara spesifik mengatur tentang sumber daya
tanah sebagai salah satu komponen sumber daya agraria adalah UU No. 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
(Lembaran Negara RI Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara RI.
Nomor 5280).
Keberadaan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, selanjutnya disingkat UUPT 2012,
secara kronologis sesungguhnya merupakan kelanjutan dan peningkatan status
12
I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Antropologi Hukum,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008.
13
Good agrarian Governance adalah kebijakan pengelolaan sumber daya agraria, termasuk
perlindungan daya dukung ekosistem dan perlindungan fungsi lingkungan hidup, secara bijaksana,
berdayaguna, aspiratif dan responsif, yang didasarkan pada prinsip-prinsip penyelenggaraan
negara yang baik (good governance), yaitu penyelenggaraan pemerintahan dan penanganan
masalah-masalah publik yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, partisipasi
publik yang hakiki (genuine public participation) dan akuntabilitas publik (public accountability).
pemberlakuan
UUPT 2012 adalah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal
5 ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H, Pasal 28I
ayat (5), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4). Sedangkan
landasan Yuridis yang digunakan adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara RI.
tanah
bagi
pembangunan
untuk
kepentingan
umum
14
15
16
Pengadaan
tanah
untuk
kepentingan
pembangunan
yang langsung
18
19
dalam
perencanaan
pembangunan
( public
participation
principle);
(b)
Pada
tahapan
Persiapan Pengadaan
Tanah,
khususnya
kewajiban
20
21
Yang dimaksud Lembaga Pertanahan menurut Pasal 1 angka 14 UUPT 2012 adalah Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia, lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertanahan.
22
23
Pasal 14 dan Pasal 15 UUPT 2012. Yang dimaksud Instansi yang memerlukan tanah
adalah lembaga Negara, kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota. dan Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara
yang mendapat penugasan khusus Pemerintah (Pasal 1 angka 1 UUPT 2012).
24
25
26
Anggota Tim terdiri dari Sekretaris Daerah Provisni atau Pejabat yang ditunjuk sebagai
Ketua merangkap anggota, Kepala Kantor Wilayah BPN sebagai Sekretaris merangkap anggota,
Instansi yang menangani urusan perencanaan pembangunan daerah, Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM, Bupati/Walikota atau Pejabat yang ditunjuk, dan Akademisi (Pasal
23 ayat (3) UUPT 2012).
27
28
29
30
beralih
menjadi
personifikasi
dari
paksaan
kewenangan
yang
dikehendaki
Pemerintah
semata-mata
untuk
publik
yang
semu
(pseudo-public
consultation)
dengan
Ganti
kerugian yang dapat diberikan kepada Pihak yang berhak dalam bentuk (a)
uang, (b) tanah pengganti, (c) permukiman kembali, (d) kepemilikan
saham, (e) bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.35
Musyawarah mengenai besar dan/atau bentuk ganti kerugian dilakukan
oleh Lembaga Pertanahan dengan Pihak yang berhak dilakukan dalam
waktu paling lama 30 (hari) hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai
31
32
33
34
35
kepada
Lembaga
Pertanahan.36
Apabila
tidak
terjadi
36
37
38
39
40
wujud
konkrit
dari
penggunaan
paksaan
kewenangan
PENUTUP
Pembangunan nasional pada hakikatnya dilaksanakan untuk memajukan
41
42
kepentingan
pembangunan,
atau
UU
yang
mengatur
Pengadaan
Tanah
untuk
Pembangunan
maka
sesungguhnya
substansinya berada di ranah hukum privat, bukan di ranah hukum publik seperti
yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012; Kedua, sasaran prioritas dari
pemberlakuan UU ini lebih pada keberadaan tanah hak milik perorangan atau
individual di daerah perkotaan, kawasan industri, dan perdesaaan, dan terutama
tanah hak komunal masyarakat hukum adat di kawasan pesisir pantai dan pulaupulau kecil, kawasan hutan, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan
mineral, minyak dan gas bumi, dll.
43
pluralism), sebagai prinsip dasar yang memberi ruang secara proporsional bagi
pengakuan fakta kemajemukan sistem hukum dalam masyarakat, khususnya
dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria. 44 Hal ini karena
seperti dikatakan John Griffiths:
The ideology of legal centralism, law is and should be the law of
the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and
administered by a single set of state institutions.45
Jika prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya agraria seperti dimaksud di
atas diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam instrumen hukum nasional, maka
substansi perundang-undangan yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya agraria semestinya mencerminkan karakter seperti berikut:
1. Orientasi pemanfaatan bukan pada eksploitasi ( use-oriented), tetapi untuk
kepentingan konservasi (resources-oriented) yang menjamin kelestarian dan
keberlanjutan sumber daya agrarian bagi kepentingan inter-antar generasi.
2. Pengelolaan bercorak komprehensif, holistik dan terintegrasi (komprehensifintegral), karena sumber daya agraria merupakan satu kesatuan ekologi
(ecological system) yang menjadi sumber kehidupan manusia.
3. Mengatur mekanisme koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam
pengelolaan sumber daya agraria.
4. Menganut ideologi penguasaan dan pengelolaan sumber daya yang berbasis
masyarakat (community-based agrarian resource management).
44
John Griffiths, What is Legal Pluralism, dalam Journal of Legal Pluralism and Unofficial
Abstract
Flooding is one of major problems in many big cities, in addition to traffic
congestion and over population issues. It could cause quite a serious impact, not
only leading to the loss of properties, damage to peoples housing and public
facilities, problems of health and environment, non-material losses, and even
threaten the safety of human life. Considering those negative impacts of floods,
mitigation could not be done by the government alone, but requires a holistic
response, with the involvement of institutions/agencies, private sectors, including
rural communities in Bali, which is known as Desa Pekraman. There are
theoretical, juridical and sociological reasons on the importance of empowering
Desa Pakraman, due its strong and strategic position in Balinese structural
society. Empirical fact indicated that empowerment of Desa Pakraman in
supporting the implementation of the government programs are not a new issue,
but it has a long history of synergies and integration through the implementation
of development programs. Empowerment of Desa Pakraman has proved to gain
positive effects, as it allow flood disaster management become closer, faster, and
more precisely match to needs and expectations of society. Therefore, it is
essential to transform Desa Pakraman involvement into a flood disaster
management in a more complex nature.
Keywords:
PENDAHULUAN
Banjir, akhir-akhir ini telah menjadi salah satu masalah utama perkotaan,
pemukiman
Padangsambian,
Sanur,
Pura
Demak
merendam
sedikitnya 560 buah rumah, menimbulkan kerugian harta benda, kerusakan jalan
dan fasilitas publik.4
Upaya penanggulangan bencana banjir secara terencana, terkoordinasi dan
terpadu
telah
memiliki
dasar
hukum
yang
kuat
khususnya
tentang
Kinog, I Ketut., 1988, Penelitian Masalah Banjir Kota Denpasar Utara. Dan lihat pula Tahun
1989, Penelitian Masalah Banjir Kota Denpasar Selatan.
4
dari
latar
belakang
tersebut
diatas,
dapat
dirumuskan
FAKTOR-FAKTOR
YANG
MENDASARI
PENTINGNYA
bagian
dari
pembangunan
nasional
yaitu
serangkaian
kegiatan
ini
dirasakan
adanya
kelemahan
baik
dalam
pelaksanaan
pokok
pemerintahan,
(empowering), dan
yakni
pelayanan
(serving),
pemberdayaan
akan
akan
menumbuhkan
kepercayaan
dari
masyarakat sehingga
Riyas Rassid, 1999, Pembangunan Pemerintah Indonesia Memasuki Abad 21, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Pemerintahan, Jakarta.
6
Ibid.
struktur organisasi yang ada, Banjar merupakan sub sitem dari Desa Pakraman,
dan struktur organisasi terkecil dibawah Banjar disebut Tempek. Lembagalembaga dalam struktur organisasi Desa Pakraman itu memiliki otonomi dalam
mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan aturan tertulis yang disebut
Awig-Awig. Tujuannya adalah terwujudnya kesejahteraan lahir bathin warga
Desa Pakraman (Moksartham Jagadhitaya Ca Iti Dharma). Dengan dasar dan
tujuan Desa Pakraman seperti itu, maka sepanjang program pembangunan
bersifat pro rakyat yang menyentuh kepentingan dan kesejahteraan
warga
PEMBERDAYAAN
DESA
PAKRAMAN
DALAM
tahap
keadaan
darurat
bencana,
Kepala
Badan
Nasional
dalam
merencanakan,
melaksanakan,
melestarikan
dan
h.12.
tata
ruang
secara
konsekuen,
perencanaan
partisipatif
bencana ini
patut
dioptimalkan
secara
terencana,
terpadu,
dan
PENUTUP
4.1 Simpulan
Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
4.1.1 Terdapat beberapa alasan pentingnya pemberdayaan Desa Pakraman
dalam penanggulangan bencana banjir, meliputi alasan teoritis, yuridis
dan sosiologis. Alasan teoritis berkaitan dengan tugas pemerintahan,
yaitu
pelayanan
(serving),
pemberdayaan
(empowering),
dan
Bali
menyangkut
No.1
Tahun
tentang
2003.
Sedangkan
pemberdayaan
Desa
alasan
sosiologis
Pakraman
dalam
mekanisme
penanggulangan
pemberdayaan
bencana
banjir,
Desa
hak-hak
Pakraman
dan
dalam
kewajibannya,
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2007 tentang Pananggulangan
Bencana
Peraturan
2008 tentang
Peraturan Daerah Provinsi Bali No.3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.
Data Mini Selayang Pandang Kota Denpasar, 2010
Abstract
Openness leads to socio-cultural dynamics in Indonesian society. The
cultural dynamics of social life should be followed by changes in the legal field.
Development of national laws should be adapted to the dynamics of social and
cultural life of their communities. Is Customary Law can contribute to the
development of national law in the dynamics of social change? The issue is that
I want to write in this journal. Philosophically norms of legal liability there are
similarities between the Indigenous values aspired to by the National Law based
on Pancasila, namely the realization of the value of justice, expediency, the
livelihoods, and the happiness of the Indonesian nation. Through Customary Law
that will contribute to the development of the National Law in the pace of socialcultural dynamics of life.
Keywords: Customary Law, National Law Development
Abstrak
Keterbukaan menyebabkan terjadinya dinamika sosial budaya dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Dinamika kehidupan sosial budaya ini
sepatutnya diikuti dengan perubahan-perubahan dalam bidang hukum.
Pembangunan hukum nasional hendaknya disesuaikan dengan dinamika
kehidupan sosial budaya
masyarakatnya.
Apakah Hukum Adat dapat
memberikan kontribusi dalam pembangunan Hukum Nasional di tengah
dinamikan perubahan sosial? Persoalan inilah yang hendak saya tulis dalam
jurnal ini. Secara filosofis norma pertanggungjawaban hukum terdapat kesamaan
antara Hukum Adat dengan nilai nilai yang dicita-citakan oleh Hukum Nasional
yang berlandaskan Pancasila yaitu terwujudnya nilai keadilan, kemanfaatan,
kesejahtraan, dan kebahagian bangsa Indonesia. Melalui itulah Hukum Adat
akan memberikan kontribusi bagi pembangunan Hukum Nasional di tengah
lajunya dinamika kehidupan sosial budaya.
Kata kunci: Hukum Adat, Pembangunan Hukum Nasional
I. PENDAHULUAN
Di era keterbukaan dewasa ini, bangsa Indonesia telah mengadakan
hubungan dengan berbagai bangsa di belahan dunia. Hubungan yang terjadi
1
Guru Besar Sosiologi Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Agama Fakultas Ilmu
Agama, Universitas Hindu Indonesia Denpasar, Jl. Sulatri, Tembau Denpasar.
dan
budaya.
Keterbukaan
ini
menyebabkan
terjadinya
dinamika
Kemungkinan
kenyataan inilah yang merupakan salah satu sumber yang menjadikan carut
marutnya wajah hukum di Indonesia. Memang sangat sulit
bagaimana kita
dapat mengurai apa penyebabnya dari seluruh persoalan yang menimpa wajah
hukum kita, karena begitu akumulatif dan bervareasi membentuk jaringan
masalah
terjadi ini tentu tidak dapat kita biarkan begitu saja, harus dicari jalan keluarnya.
Yang menjadi persoalan kini adalah kita harus menemukan penyebab terjadinya
keterpurukan pembangunan hukum di Indonesia, serta solusi apa yang perlu
dilakukan untuk mengatasinya? Apakah Hukum Adat dapat memberikan
kontribusi dalam mengatasi keterpurukan hukum tersebut? Persoalan inilah yang
hendak saya tulis sebagai rasa hormat dan penghargaan saya kepada Prof. Dr.
Sri Redjeki Hartono, SH. Menjelang purna tugas beliau sebagai Guru Besar di
Universitas Diponegoro Semarang.
II. REALITA PENEGAKAN HUKUM DI TENGAH DINAMIKA PERUBAHAN
SOSIAL
Ditengah dinamika perubahan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat
Indonesia, secara umum hukum
masih jauh dari ideal. Wacana ini sudah menjadi rahasia umum, hampir
sepanjang hari panggung hukum
Indonesia terus
tidak
lebih sebagai alat pemanis belaka. Banyak komentar dan istilah yang diberikan
atas realita hukum di Indonesia antara lain ada yang mengatakan bahwa; Hukum
yang Abracadabra, secara bertahap dan terstruktur keadaan penegakan hukum
sangat amburadul, etika hukum mulai luntur, profesionalisme
hukum mulai
ditanggalkan dan ditinggalkan, Produk hukum kita tidak berbobot, kurang cepat
bergerak,
untuk
keadaan ekonomi
bangsa ini
menumbuhkan mental
menerabas
guna mendapatkan
kehidupan sosial, bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa, dan juga
bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapat bentuk
positifnya dari institusi yang berwenang.
2. Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya, bentuk
hukum formal harus dipisahkan dari bentuk hukum material.
3. Isi hukum diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak
kebenaran ilmiah ilmu hukum.
Kelsen menekankan bahwa hukum yang murni harus dibersihkan dari
anasir-anasir yang bukan hukum seperti politik, etika, sosiologi, sejarah, dan
sebagainya. Tugasnya ialah untuk mengetahui semua yang esensial dan perlu
untuk hukum dan oleh karena itu bebas dari segala sesuatu yang berubah dan
kebetulan.3 Hukum termasuk dalam hukum sebagai keharusan ( sollens katagori )
bukan hukum sebagai kenyataan (Seins katagori). Orang mentaati hukum karena
karena memang mereka harus mentaati hukum sebagai perintah negara.
2
Lili Rasjidi & B. Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja
Karya, Bandung, h.119
3
W. Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan,
Susunan II, Terjemahan M.Arifin, Rajawali, Jakarta, h.169.
sama sekali
tidak netral. Dalam kaitan ini Prof. Satjipto Raharjo mengatakan bahwa hukum
lebih berkualitas plus-minus, hukum atau peraturan hukum tidak mampu
menuntaskan
dan tuntas
yang absolut.
Lengsernya Presiden Soeharto yang dipaksa turun oleh mahasiswa pada tahun
1998, jika dilihat dari kacamata paradigma positivistis adalah tidak dapat diterima
karena
Padahal
peraturan
mengatakan
yang
menmpunyai
tugas
tidak semua
persoalan bisa diserahkan pada hukum formal saja, hukum atau negara tidak
memegang monopoli. Secara empirik terbukti bahwa hukum yang terlalu
positivistik yang sangat formal-legalistik gagal untuk menghasilkan suatu
keadilan
hl.67.
Satjipto Rahadjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Buku Kompas, Jakarta,
keterpurukan
hukum
dan tuntutan
rakyat
terhadap
langkah apa dapat dilakukan. Manusia akan menetapkan landasan sebagai titik
awal pijakan
kehidupan, titik berangkat dari realita ( das sein) menuju ke desiderata ( das
sollen).
Di muka telah disinggung bahwa suasana silang sengkarut wajah hukum
kita dan keterpurukan hukum yang terjadi saat ini, kita pakai sebagai titik awal
keberangkatan kita dalam menata, memperbaiki,
puing-puing bangunan hukum yang telah hancur. Dari titik inilah kita bangun,
kita susun
prioritas
dalam pembangunan
hukum hendaknya membuat kita bahagia. Tujuan akhir bernegara hukum adalah
untuk menjadikan kehidupan rakyat dan bangsa ini
mendapatkan keadilan,
yang
yang
dan sistemik. Oleh karena itu kebijakan pembangunan hukum harus merupakan
skema kebijakan
5
W. Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan Problema keadilan,
susunan II, Terjemahan M. Arifin, Rajawali, Jakarta, h.14.
penting dalam mengatur hubungan antar subsistem dalam ikatan kerja sama
dan solidaritas untuk mencapai tujuan, dengan dituntun oleh pola nilai yang ada
dalam sistem itu. Artinya hukum dalam menjalankan fungsinya, dipengaruhi pula
oleh berbagai bidang kehidupan yang lain, seperti politik, ekonomi, dan budaya.
Ekonomi berhubungan dengan adaptasi, politik berhubungan dengan pencapaian
tujuan, dan budaya memberikan masukan tentang nilai-nilai yang merupakan
landasan dan penuntun dalam menjalankan fungsi tersebut.
Pendapat lain tentang berfungsinya hukum secara efektif, Eugen Ehrlich
pemuka dari aliran Sosiological Jurisprodence, mengatakan bahwa: Titik berat
perkembangan hukum tidak terletak dalam perundang-undangan juga tidak
dalam keputusan pengadilan maupun dalam ilmu pengetahuan di bidang hukum,
tetapi dalam masyarakat. Sebenaranya peraturan yang diikuti dalam kehidupan
masyarakat adalah living law yang riil, hukum mempunyai cakupan yang jauh
lebih luas
pemerintah.7 Artinya hukum itu akan efektif jika hukum itu mencerminkan nilainilai yang hidup dalam masyarakat. Lebih jauh Ehrlich menekankan bahwa
hukum yang hidup, yaitu hukum yang nyata hidup dalam masyarakat, terus
berevolusi, selalu melebihi hukum negara yang kaku dan tidak bergerak. Jadi
Parson dalam Roger Cotterrell, 1998, The Sociology of Law: An Introduction, Butterworths,
London, page. 87-88.
7
Ehrlich W. Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan Problema
keadilan, susunan II, Terjemahan M. Arifin, Rajawali, Jakarta, h.104.
agar hukum
dapat
nilai-nilai dan
aktual
masih
dihayati
dan
diimplementasikan
dalam
kehidupan
8
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan
Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 117.
menyukai
diselesaikan
diantara mereka yang berselisih saja secara damai dan kekeluargaan yang
difasilitasi oleh pemuka adat. Penyelesaian secara damai dan kekeluargaan ini
lazimnya berintikan permohonan maaf dari yang melakukan kesalahan kepada
pihak lain yang dirugikan.
Agar hukum adat dapat memberi kontribusi dalam pembangunan hukum
nasional di tengah dinamika sosial budaya saat ini, maka langkah-langkah
kebijakan dalam pembangunan hukum nasional perlu dirancang dengan cara:
1. Reinterpretasi fungsi dan makna Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum
Nasional.
Hukum Adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia,
perlu ditafsirkan kembali fungsi dan maknanya dalam pembangunan hukum
nasional. Karena senyatanya dalam kehidupan masyarakat hukum adat masih
memiliki kearifan dalam menegakan aturan-aturan yang berlaku dalam menata
kehidupannya secara adil dan bernurani. Penegakan hukum dalam kehidupan
masyarakat adat dilakukan dengan cara-cara yang arif dan bijaksana, jauh dari
sikap-sikap ketidak jujuran, ketidak adilan, arogansi, dan kekerasan. Sehingga
sikap para penegak hukum dalam masyarakat adat senantiasa menjadi panutan
dan disegani olah masyarakatnya. Melalui penafsiran kembali fungsi dan makna
Hukum Adat
Kitab Panuturan (Dayak) ternyata sangat efektif dan fungsional dalam menjaga
ketentraman dan kedamaian kehidupan masyarakatnya karena sangat dipatuhi,
terkadang melebihi kepatuhannya
mengedepankan
keadilan,
keharmonisan,
dan
ketentraman,
kearifan
mekanisme penyelesaian
sengketa yang terbaik. Masyarakat adat pada umumnya memiliki rasa enggan
untuk terlibat dalam suatu konflik atau sengketa secara terbuka, oleh karena itu
mereka berusaha agar sengketa yang ditangani tidak masuk menjadi sengketa di
pengadilan negeri. Sengketa baru akan dibawa ke pengadilan jika semua usaha
perdamaian tidak berhasil dicapai. Di samping itu, keengganan ini muncul karena
keterbatasan lembaga peradilan dalam merespon aspirasi masyarakat dan hanya
menekankan pada prosedur, hanya menyelesaikan konflik secara semu belum
dapat menyelesaiakan sengketa yang sesungguhnya. Hal ini akan dapat
yang
dimediatori oleh majelis desa adat. Para pihak akan lebih percaya jika yang
memediasi adalah orang yang telah dikenal dan paham atas permasalahan yang
terjadi, sehingga menjamin lancarnya perundingan. Penyelesaian sengketa
melalui perundingan yang dimediatori oleh majelis ini
tidak dipaksa
mengikuti prosedur yang baku dan kaku. Perundingan yang dilakukan pada
dasarnya ingin memperoleh penyelesaian atau kesepakatan yang memuaskan
mereka.
Majelis Desa Adat sebagai mediator atau arbiter yang menangani
menyelesaikan sengketa tidak berpedoman pada prosedur beracara sebagaimana
yang terjadi pada badan peradilan. Majelis bertindak sebagai penengah, memberi
pengarahan, pertimbangan serta jalan keluar yang sepantasnya bagi mereka
yang bersengketa dengan mengedepankan nilai-nilai kebersamaan, kekeluargan
dan harmoni. Majelis berusaha dengan segala daya upaya untuk menyelesaikan
sengketa
dengan cara arif dan bijaksana, jauh dari sikap ketidak jujuran,
PENUTUP
Dengan melihat ketidak berdayaan Hukum Modern dalam mengatasi carut
tetap
dapat
mengakomudasi
dinamika
kehidupan
sosial
bagi
Abstract
Conversation of land tenure in the Basic Agrarian Law were initially
subject to customary law as well as to ensure legal certainty in land tenure, also
causing conflict. While local government are given the mandate to be able to
resolve conflicts of customary rights is still giddy. Mediation is often done just to
produce an agreement that is artificial. Constitution of 1945 should serve as a
major referral base on nave. Not understood the concept is good and true
religious communal land tenure within the Unitary State of the Republic of
Indonesia.
Key Words: Land Conflict
Abstrak
Konversi penguasaan tanah menurut UUPA yang awalnya tunduk pada
hukum adat disamping dapat menjamin kepastian hukum dalam pemilikan tanah,
juga berimplikasi menimbulkan konflik. Sementara Pemerintah Daerah yang
diberikan amanat untuk dapat menyelesaikan konflik hak ulayat sampai saat ini
masih gamang. Mediasi yang sering dilakukan hanya untuk menghasilkan
kesepakatan yang bersifat artifiasial. UUD 1945 yang seharusnya dijadikan
rujukan utama sebagai landasan konstutusional selalu di naifkan.Tidak
dipahaminya secara baik dan benar konsep komunal religious penguasaan tanah
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kata Kunci: Sengketa Tanah
I.
PENDAHULUAN
Bali sampai saat ini masih sarat dengan konflik. Meningkatnya konflik oleh
Dosen Tetap Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas
Warmadewa Denpasar, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak Denpasar Tlp (0361) 223858
(hunting), Fax (0361) 23505073 E-mail: madesuwitra@yahoo.co.id
2
sebagai
aksi-aksi
kekerasan
memerlukan
contoh
perilaku
dan
keteladanan saat ini kian langka, sehingga agama, adat, dan budaya dianggap
tidak berperan sebagaimana mestinya dan dalam beberapa kasus, bahkan dapat
Bali Post, Perang baliho kasus saling klaim pura dan setra Kemoning berlanjut, Denpasar,
21 April 2011, hlm. 14.
4
Bali Post, Soal penutupan pintu masuk setra, Ketandan walk out penyelesiannya tunggu
Bupati, Denpasar, 14 Juni 2010, hlm. 4.
5
Bali Post, Kasus tanah adat Lemukih, giliran pemegang sertifikat datangi KP BulelengKP
Buleleng, Selasa 16 Januari 2007, hal. 5.
6
Bali Post, Kisruh tanah SD 1 Melinggih, dewan panggil pemilik dan instansi terkait, Kamis 5
Juli 2012, halm. 11.
Paulus Wirutomo, Konflik meningkat, dominasi adat mendapat tandingan, Denpasar: Bali
Post, 5 Oktober, 2011, hlm. 1.
9
Sarjita, 2005, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Edisi Revisi, Cetakan
Kedua, Tugojogjapustaka, Yogyakarta, hlm. 8.
tampak
berwujud
dalam
kerugian,
baik
materiil
maupun
untuk
12
pada
kasus Lemukih, Kemenuh, Kasus tapal batas desa (adat) pada kasus BelalangPangkungtibah, Banjar Kebontingguh-Banjar Bakisan, klaim penguasaan wilayah
10
Munir Fuady, 2007, Sisiologi Kontemporer Interaksi Kekuasaan, dan Masyarakat. Cetakan
ke I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 95.
11
recognitie.
Struktur hukum juga dapat menyebabkan konflik pada pemberian hak atas
tanah menurut UUPA di atas tanah ulayat, seperti pemberian Sertifikat Hak Milik
(SHM) di atas tanah laba pura pada kasus Culik Karangasem, pemberian Hak
Guna Bangunan (HGB) di atas tanah adat pada kasus loloan Tegal Gundul
Badung, pemberian HGB di atas tanah pura pada kasus Kesumasari Sanur
Denpasar,
juga
keluarnya
Surat
Keputusan
tentang
pemekaran
Banjar
13
Lawrence M. Friedman,, Legal Culture and Social Development.dalam Law and the
Behavioral Sciences. Lawrence M. Friedman and Stewart Macauly eds, The Bobbs-Merrill Company,
INC, Kansas City New York, hlm. 1003.
latar
belakang
yang
menyebabkan
munculnya
konflik
14
Achmad Sodiki, 2012, Kebijakan pertanahan dalam penataan Hak Guna Usaha untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, Makalah, disampaikan dalam seminar nasional di
Universitas Warmadewa Denpasar tanggal 3 Maret 2012, hlm. 9.
15
H. Lili Rasjidi, dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cetakan ke
delapan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 65.
dari
suatu
kekuatan
gaib.
sehingga
semua
hak
16
17
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1996, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia. Edisi Revisi, Cetakan Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.
129.
18
Herman Soesang Obeng, 1975, Pertumbuhan Hak Milik individuil menurut Hukum Adat
dan menurut UUPA di Jawa Timur, Majalah Hukum No.3 Tahun ke dua, Penerbitan Yayasan
Penelitian dan Pengembangan Hukum (Lawa Center), Jakarta, hln. 51
59.
A. Sonny Keraf, 1997, Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi, Kanisius, Yogjakarta, hlm.
ulayat,
maka
menjadi
kewajiban
bagi
Pemerintah
Daerah
untuk
menyelesaikannya.
III. PENYELESAIAN KONFLIK PENGUASAAN TANAH ADAT (ULAYAT)
Penyelesaian konflik penguasaan tanah adat (ulayat) baik pada konflik
pemekaran desa, konflik tapal batas, reclaiming, dan ekspansi kekuasaan adat
sampai saat ini memang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (kabupaten/kota)
sesuai Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999. Di dalamnya
secara empiric termasuk unsur dari babinsa (TNI), polmas (Kepolisian). Selain itu
dilakukan oleh lembaga adat yang dikenal Majelias Desa Pakraman (MDP) yang
ada di kabupaten/kota atau provinsi secara berjenjang. Sementara dengan
menggunakan konstruksi ketentuan pasal 5 Ayat (1) penyelesaian hak ulayat
diamanatkan mengikutsertakan pakar dari Perguruan Tinggi, LSM, masyarakat
hukum adat sendiri, dan instansi yang mengelola sumber daya alam. Kondisi ini
sampai saat ini belum maksimal.
Mencermati model penyelesaian konflik penguasaan tanah adat (ulayat)
termasuk
tapal
batas
oleh
Pemerintah
Kabupaten/Kota,
yang
biasanya
yang
ambivalen
Pemerintah
Daerah/Kota
ini
justru
akan
adalah
tercapainya
kesepakatan
damai,
walaupun
tidak
menjamin
adanya
objektivitas
dan
menentukan
rujukan
bahan
hukumnmya secara jelas, maka dirasa sulit akan dapat memberikan pedoman
dan penilaian terhadap tindakan yang selama ini dilakukan para pihak dalam
menentukan suatu tindakan yang sesuai atau tidak dengan hukum.
Menemukan apakah perbuatan para pihak sesuai atau tidak dengan hukum
menjadi penting dalam upaya melihat posisi masing-masing pihak yang
selanjutnya diadakan format kesepakatan dengan tujuan dapat mengembalikan
hak-hak yang dilanggar oleh salah satu pihak. Inilah yang pada awalnya disebut
memulihkan keseimbangan. Jika konflik ini tidak dapat diselesaikan secara
dalam
penyelesaian
konflik
tanah
ulayat
Pemerintah
dimaksud
pada
ayat
(1)
dinyatakan
dalam
peta dasar
dominasi
adat
mendapat
Sonny Keraf. A, 1997. Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi , Yogjakarta:
Kanisius.
Sumardjono, Maria S. W. 2005. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan
Implementas, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Surya Prakash Sinha. 1993. Jurisprudence Legal Philosophy in A Nutshell, ST.
Paul, Minn, West Publising CO. Page 233.
Suwitra, I Made, 2011. Eksistensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah
Adat di Bali dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional, Cetakan Kedua,
Bandung: Logoz Publishing.
Abstract
The extension of Rights for Building in line with Article 35 paragraph (2),
which contains norm fuzziness. The word "may" in that article raises different
interpretations, so it is contrary to the provisions of Article 5 letters f of Law No.
12. Year 2011. Subject of the Rights for Building are: a. Citizens of Indonesia and
b. legal entities. Legal entities that are used in this study are a limited liability
company. In this regard, there are three problems examined, namely: How is the
extension of Rights for Building arranged? How to interpret the provisions of
Article 35 paragraph (2) of Land Law if contain with legal certainty? The theories
used to analyze the problems is Legal Certainty theory, the research method is
using the statute approach, with the source of legal material in the form of the
law of primary legal materials, secondary and tertiary. Conclusion the extension
of Rights For Building above state land is stipulated in Article 35 paragraph (2)
Land Law in conjunction with Article 26 paragraph (1) Government Regulation 40
of 1996 in conjunction with Article 40 Minister Of Agrarian Regulation/Head
National Land Board 9 year 1999, the extension of Rights For Building over Land
Rights Management stipulated in Article 35 paragraph (2) Land Law Article 26
paragraph (2) Government Regulation 40 of 1996 in conjunction with Article 45
Minister Of Agrarian Regulation/Head National Land Board 9 1999. Rights For
Building on the land of private property is set to be not extended, but according
to the provisions of Article 29 paragraph (2) Government Regulation 40 of 1996
may be updated. Interpreting the provisions of Article 35 paragraph (2) Land
Law should always be associated with Article 2 paragraph (3) and Article 3 of
Capital Market Law. In the case of Rights For Building expires, the land is
returned to the state when it was coming from State Land or Land Rights
Management holder if the land comes from Land Rights Management.
Keywords: Extension Rights for Building, Investment, Limited Liability
Company, Legal Certainty
Abstrak
Perpanjangan HGB oleh UUPA diatur dalam Pasal 35 ayat (2), yang
mengandung kekaburan norma. Kata dapat dalam pasal tersebut menimbulkan
penafsiran yang berbeda-beda, sehingga bertentangan dengan Pasal 5 hurup f
UU No. 12 Tahun 2011. Subjek HGB: a. WNI; b. badan hukum. Badan hukum
yang digunakan dalam penelitian ini adalah PT. Dalam kaitan itu ada dua
masalah yang diteliti, yakni: Bagaimanakah perpanjangan HGB itu diatur?
1
Dosen Tetap Kontrak Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana
Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Tanjung Bungkak, Denpasar-Bali.
Perpanjangan HGB,
Kepastian Hukum.
Investasi,
Perseroan
Terbatas,
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (LN. 1960 104, TLN. 2043), untuk selanjutnya disebut UUPA,
diundangkan pada tanggal 24 September 1960. UUPA mengatur macam-macam
hak atas tanah dalam Pasal 16 ayat (1), yaitu antara lain Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai, sedangkan mengenai
perpanjangan HGB diatur dalam Pasal 35 ayat (2) sebagai berikut:
atas
jangka
waktu
tersebut
dalam
ayat
(1)
dapat
dengan
keperluan
pejabat
pemerintah
itu
sendiri
tanpa
mendorong
pengembangan
ekonomi
kerakyatan,
dan
Panji Anoraga, 1994, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, Pustaka Jaya,
Semarang, hlm: 46.
3
70-71.
Sentosa Sembiring, 2007, Hukum Investasi, CV. Nuansa Aulia, Cetakan I, Bandung, hlm.
keuntungan
bagi
(multiplier effect),
yang
menyebabkan
sektor
riil
bergerak
dan
dapat
pihak,
baik
investor,
rakyat,
maupun
Negara
dapat
menerima
manfaatnya.
Penanaman modal (investasi) tidak saja dilakukan melalui badan usaha
perseorangan (seperti: usaha dagang/UD, toko, warung, dan sebagainya), atau
badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum (seperti: persekutuan firma/Fa,
perseroan komanditer/CV), akan tetapi juga dilakukan melalui badan usaha yang
berbentuk badan hukum (seperti: perseroan terbatas/PT, koperasi, yayasan,
perusahaan Negara/badan usaha milik Negara/BUMN, perusahaan daerah/badan
usaha milik daerah/BUMD).4 Dari bentuk-bentuk badan usaha tersebut, yang
berhubungan dengan penelitian ini adalah badan usaha yang berbentuk badan
hukum dan lebih khusus lagi adalah yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT).
Peneliti menggunakan PT dalam penelitan ini karena dari sekian banyak badan
usaha yang berbentuk badan hukum, PT yang paling banyak digunakan oleh
masyarakat dan karena PT merupakan badan hukum, maka PT adalah
merupakan subjek hukum. PT yang dimaksud adalah PT yang diatur dalam UU
4
R. Djatmiko D, 1996, Pengetahuan Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Angkasa,
bandung, hlm: 38.
TINJAUAN PUSTAKA
Kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama adanya aturan
yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu
dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat
umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa
pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam
putusan hakim untuk kasus serupa yang telah diputus.5 Kepastian hukum adalah
merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang
berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan
dalam keadaan tertentu6. Menurut Scheltema, adanya unsur-unsur dalam
kepastian hukum, meliputi: 1) asas legalitas; 2) adanya undang-undang yang
mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, sehingga warga dapat
mengetahui apa yang diharapkan; 3) undang-undang tidak boleh berlaku surut;
4) pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan yang lain.7
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Predana Media Group,
Jakarta, hlm. 158.
6
didirikan
di
atas
tanah
tersebut,
adalah
kepunyaan
dari
yang
mendirikannya. Dengan anak kalimat atas tanah yang bukan miliknya sendiri,
berarti tanah tempatnya mendirikan bangunan-bangunan tersebut adalah milik
pihak lain. Itu berarti pemilik bangunan bukanlah pemilik tanah, demikian juga
pemilik tanah bukanlah pemilik bangunan. Sedangkan anak kalimat terakhir
dengan jangka waktu 30 tahun, adalah merupakan batasan waktu yang
diperoleh bagi si pemilik bangunan-bangunan untuk memanfaatkan bangunanbangunan yang didirikannya di atas tanah yang bukan miliknya tersebut.
Jangka
waktu
tersebut
dapat
diperpanjang,
dengan
syarat-syarat
analitis.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaturan perpanjangan HGB
Pemberian HGB oleh UUPA tidak diatur dengan kata pemberian,
melainkan diatur dengan kata terjadi. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal
37 UUPA, yaitu: HGB terjadi, a) mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara karena penetapan Pemerintah; b) mengenai tanah hak milik karena
perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan
kesejahteraan
rakyat
(masyarakat)
dengan
tujuan
ivestasi,
sehingga
dia
mengajukan
permohonan
perpanjangan
mengenai
anak
kalimat
...serta
keadaan
bangunan-
lain
pertimbangan
diluar
Akibatnya
oleh
pejabat
pertimbangan
menimbulkan
yang
berwenang,
hukum
ketidakpastian
dan
hukum,
yang
merupakan
kesejahteraan
karena
rakyat.
permohonan
perpanjangan hak tersebut belum tentu dikabulkan, juga menjadi tidak adil
hukum,
sehingga
menimbulkan
berkeadilan,
dan
investasi
hal
mengabulkan
atau
menolak
perpanjangan
HGB. Agar
tidak
III. PENUTUP
3.1. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam pembahasan di atas,
maka dapatlah dirumuskan beberapa simpulan sebagai jawaban atas dua
permasalahan penelitian tersebut di atas, sebagai berikut:
1. Ternyata perpanjangan HGB di atas TN diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA
jo Pasal 26 ayat (1) PP 40 tahun 1996 jo Pasal 40 PMNA/KBPN 9 tahun 1999,
sedangkan perpanjangan HGB di atas tanah HPL diatur dalam Pasal 35 ayat
(2) UUPA setelah mendapat persetujuan dari pemegang HPL (Pasal 26 ayat
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008.
R. Djatmiko D., Pengetahuan Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Bandung:
Angkasa, 1996.
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Bandung: CV. Nuansa Aulia, cetakan I, Juli
2007.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, 1999.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (LN. 1960 104, TLN. 2043).
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (LN. 2002
134, TLN. 4247).
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (LN. 2007
67, TLN. 4724).
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (LN. 2007
106, TLN. 4756).
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (LN. 2011 82, TLN. 5234).
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan Dan Hak Pakai (LN. 1996 58, TLN. 3643).
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.
Abstract
The arrangement of legal certainty of land use in investment, is done by
issuing HGU, HGB or HP with a limited period of time and may be extended or
renewed. However, legal uncertainty may occur when the concession period of
HGU, HGB, or HP expires but the application for extension or renewal is not
accepted rejected) so that the land, by- the laws, is controlled by the state. This
brings about juridical impact that the productive ongoing company should be
relocated or even closed so that it is clearly incompatible with the principle of
sustainable investment and welfare of the people. Land use with HGU, HGB, or
HP in Eco- Investment for the prosperity of the people should be based on
integrated land use management with spatial planning (RTRW) of the regency /
city government by determining the investment activity zone within the
framework of a national land policy.
Keywords: Utilization and Land Use, Eco- Investment and Prosperity
Abstrak
Kepastian hukum penggunaan tanah dalam penanaman modal,
pengaturannya dilakukan dengan pemberian HGU, HGB atau HP dengan jangka
waktu terbatas dan dapat diperpanjang atau diperbaharui. Namun demikian
ketidakpastian hukum dapat terjadi bilamana jangka waktu HGU, HGB atau HP
berakhir tetapi permohonan perpanjangan atau pembaharuan tidak diterima
(ditolak) sehingga demi hukum tanah tersebut dikuasai negara. Hal ini
berimplikasi yuridis, bahwa perusahaan yang sedang berjalan produktif harus
direlokasi atau bahkan harus tutup sehingga jelas tidak sesuai dengan prinsip
investasi yang berkelanjutan dan mensejahterakan rakyat. Pemanfaatan tanah
dengan HGU, HGB atau HP yang digunakan investor dalam penanaman modal
yang berwawasan lingkungan untuk kemakmuran rakyat harus berdasarkan
penatagunaan tanah yang terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah
(RTRW) kabupaten/kota dengan menentukan zone kegiatan investasi dalam
kerangka kebijakan pertanahan nasional.
Kata Kunci:
Makalah Seminar Regional Perencanaan Wilayah Kota yang Berwawasan Lingkungan dan
berbasis Kearifan Hukum Lokal diselenggarakan Program Pascasarjana Universitas Warmadewa di
Denpasar 10 Juli 2013
2
Dosen Tetap Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas
Warmadewa,
Jl.
Terompong
No.
24
Tanjung
Bungkak,
Denpasar.
nyomanputubudiartha@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Negara sebagai organisasi kekuasaan pasti memiliki tujuan. Begitu juga
kewajiban
investor
untuk
bina
lingkungan,
misalnya
kepentingan
investor
dengan
kepentingan
masyarakat.
Hukum
Achmad Sodiki, 2012, Kebijakan Pertanahan Dalam Penataan Hak Guna Usaha Untuk
Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat, Makalah Seminar Nasional Membangun Sumber Daya
Manusia yang Berintgrasi Dalam Bidang Hukum Melalui Pendidikan Pascasarjana, oleh FH.
Universitas Warmadewa di Denpasar, 3 Maret 2012, hal. 12.
berhasrat
melaksanakan
demokrasi
yang
berkeadilan
sosial,
Indonesia dan
Imam Sudiyat, 1978, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, hal. 1.
cermati
untuk
dilakukan
pengkajian
mengenai
kepastian
hukum
aturan
yang
bersifat
umum
membuat
individu
mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenang-wenangan pemerintah
karena adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui
apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap
individu. 5 Dari pengertian kepastian hukum di atas terdapat tiga makna
kepastian hukum 1) pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur
masalah
pemerintahan
tertentu
yang
abstrak;
2)
pasti
mengenai
timbulnya tindakan/perbuatan
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hal. 158.
5
I Nyoman Putu Budiartha, 2012, Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Ditinjau dari
Prinsip Keadilan, Kepastian Hukum, dan Hak Azasi Manusia, Malang, Disertasi Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, hal. 119.
menggunakan
hak
atas
tanah
yang
terdapat
di
wilayah
7
Salim dan Budi Sutrisno, 2009, Hukum Investasi di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 315.
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali, 2007, Kepastian Hukum Hak Atas
Tanah Dalam Rangka Penanaman Modal di Provinsi Bali, Makalah Seminar Nasional,
diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa di Denpasar, Agustus 2007, hal. 3.
dalam
lapangan
diwajibkan
terhadap
penentuan
saat
publik,
pemberian
lahirnya
HGU
maka
HGU
pendaftaran
ini
juga
tersebut.
yang
merupakan
Tanpa
adanya
lama 20
di
atas.
Terhadap
persyaratan
Badan
Hukum
untuk
konteks
HBG sesuai
ketentuan Pasal 26 PP
atas
tanah
Hak
Pengelolaan
(HPL)
juga
dapat
PMA
maupun
PMDN
dengan
memperhatikan
izin
lokasi
bergantung
letak
dan
luas
tanah
yang
dimohonkan.
Supaya ada kepastian hukum, berdasarkan Pasal 23 ayat (3)
PP Nomor 24 Tahun 1997 pemberian HGB harus didaftarkan
sehingga sebagai tanda bukti hak pada pemegang HGB diberikan
sertifikat hak atas tanah.
3) Hak Pakai (HP)
Hak
Pakai
adalah
hak
untuk
menggunakan
dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negar a atau
tanah hak milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian
pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan UUPA (pasal 41 ayat (1) UUPA).
Pemberian HP dapat dilakukan kepada:
a) Warga negara Indonesia
b) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
c) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
d) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Pemberian HP berdasarkan jangka waktu paling lama 25
tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun (Pasal 45 ayat
(1) PP Nomor 40 Tahun 1996).
HP dapat diberikan di atas tanah negara, Tanah
Hak
mengenai
kewenangan
memberikan
HGU
dapat
2007).
Tata cara permohonan HGB dan HP dipers yaratkan sama
halnya
11
Oloan Sitorus, 2013, Penataan Hubungan Hukum Dalam Penguasaan dan Pemilikan serta
Penggunaan dan pemanfaatan Sumber Daya Agraria (Makalah, Seminar Nasional Pertanahan oleh
BPN di Denpasar), hal. 6.
12
Julius Sambiring, 2012, Tanah Negara, STPN Press, Yogyakarta, hal. 65.
13
14
Nomor 26
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, PT. Prenada
Group, Jakarta, hal. 274-275.
Media
15
Hasni, 2010, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Kontek UUPAUUPR-UUPLH, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 71.
tanah
juga
sangat
berkaitan
dengan
pelestarian
16
pertanian/perkebunan,
upaya
rehabilitasi
tanah
bekas
galian
tersebut
peralihan hak, peningkatan hak, penggabungan, dan pemisahan hak atas tanah.
Syarat-syarat tersebut dimaksudkan untuk menciptakan penggunaan dan
pemanfaatan tanah yang lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS) di wilayah
perdesaan, serta aman, lestari, lancar dan sehat (ATLAS) di wilayah perkataan. 17
Selain itu pemegang hak atas tanah dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah
wajib
perundang-undangan
diantaranya,
pedoman
teknis
penggunaan
17
tanah,
Mengenai
penggunaan
dan
pemanfaatan
tanah
di
kawasan
lindung,
pelaksanaannya tidak boleh mengganggu fungsi alam dan tidak boleh mengubah
bentang alam dan ekosistem alami. Selain itu pemanfaatan tanah dalam kawasan
lindung dapat juga digunakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan
pengembangan IPTEKS selama tidak mengganggu fungsi dari kawasan lindung
tersebut.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya sebagai
amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(UUPD), penyerahan kewenangan pertanahan pada pemerintah kabupaten/kota
perlu kiranya dicermati politik pertanhan lokal dan administrasi pertanahan yang
dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota secara garis besar, politik
pertanahan lokal berkaitan dengan kebijakan pemerintah lokal dalam rangka
penataan tata guna tanah bagi perikehidupan sosial maupun
ekonomi guna
18
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2009, Kewenangan Pemerintah di Bidang
kabupaten/kota
mengingat
pemerintah
pusat
tidak
mampu
dari
penyelenggaraan
pemerintahan
secara
nasional
sebagai
perbedaan
wawasan
lingkungan
hidup
dapat
dilaksanakan
dengan
semestinya.20
Mencermati pengaturan penanaman modal dalam pasal 3 UUPM bahwa
salah satu asas penanaman modal adalah berwawasan lingkungan. Artinya,
bahwa penanaman modal diselenggarakan
usaha
(investasi)
dalam
bentuk
perseroan
terbatas
yang
menggunakan dan memanfaatkan hak atas tanah HGU, HGB atau HP maka
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(UUPT) pada Pasal 74 ayat (1) ditentukan bahwa perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam,
wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan.
19
Ibid.
21
Jamin Ginting, 2007, Hukum Perseroan Terbatas, (UU NO. 40 Tahun 2007) , PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 94.
menanamkan
modal
agar
berwawasan
lingkungan
untuk
pelaksanaan
otonomi
daerah
yang
seluas-luasnya
dan
Kabupaten/Kota
Abstract
The mud islands referred to as muddy land are a new natural resource
that in economical terms is potential for farming and backish-water business
resulting in the authority and ownship of the land by the local society. On the
one hand, the written state law suggest that muddy land is state propety
dominated by government. On other, historical fact show that local society have
authority over it for generation according to the previling customs.The authority
of muddy land (aanslibbing/tanah timbul) in Gresik sub-provinve and pasuruan
requaires law certainty warranty,in other site, the extension of the Indonesian
Agrarian Law is still pluralistic. For the society of Gresik and Pasuruan,it could be
a social sensitivity if it is not handled wisely by considering the prinsiple of
certainity and usefullness.
Abstrak
Munculnya pulau-pulau lumpur (Mud Island) yang disebut sebagai
tanah timbul, merupakan sumber daya alam baru yang secara ekonomis
potensial untuk pertanian dan usaha tambak bahkan kegiatan industri
yang dapat menimbulkan penguasaan dan pemilikan atas tanah oleh
masyarakat setempat. Disatu pihak, menurut ketentuan perundangan
hukum negara (hukum tertulis), tanah timbul merupakan tanah negara
yang dikuasai oleh negara. Dilain pihak, secara historis faktual masyarakat
desa setempat telah bertahun-tahun bahkan secara turun-temurun
menguasai sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.
Penguasaan tanah timbul di daerah Kabupaten Gresik dan Kabupaten
Pasuruan membutuhkan jaminan kepatian hukum, padahal disisi lain
eksistensi hukum pertanahan Indonesia masih pluralistik. Bagi masyarakat
di daerah Kabupaten Gresik dan Kabupaten Pasuruan, dapat menjadi
kerawanan sosial jika tidak ditangani secara arif dan bijaksana dengan
mempertimbangkan asas kepastian dan kemanfaatan.
Kata kunci: Tanah timbul, penguasaan dan pemilikan
1
Dosen Tetap Fakultas Hukum UNISMA Malang Jl. MT. Haryono 193 Malang. 0341581613.
08123179055 Muhibbinsh.mh_d@yahoo.co.id
Lahirnya UUPA yang telah diundangkan pada tanggal 24 September 1960 ( LN 1960-104,
TLN. 2043) ini untuk mengakhiri dualisme hukum agraria yang ada sebelumnya dan berlaku di
Indonesia, yakni hukum tanah barat yang didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dan Hukum Tanah Adat yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum penduduk asli
(adat) Indonesia.
di seluruh
pantai utara laut Jawa. Namun demikian munculnya tanah timbul di tepi sungai
tersebut dapat menimbulkan kepemilikan atas tanah oleh masyarakat. Proses
terjadinya kepemilikan atas tanah timbul adalah melalui proses evolusi yang
terjadi bertitik awal dari adanya tanah tak bertuan (tanah kosong). Proses
penguasaan tanah tersebut tidak sama pada setiap masyarakat, karena akan
sangat bergantung kepada perkembangan budaya, termasuk hukum yang
mengatur tentang penguasaan tanah pada suatu masyarakat atau norma hukum
yang berkembang pada masyarakat setempat.
Pada aturan yang ditemui di suatu masyarakat, pendudukan ( okupasi) dan
penemuan terhadap tanah timbul selama ini dapat dimiliki atau dilekati hak
secara individu oleh anggota masyarakat tersebut, tetapi dapat juga ditemui
kondisi tanah tak bertuan (tanah kosong) terjadi bagai siklus yang tidak berhenti
seperti pada hukum tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) yang sampai saat ini belum ada kejelasan tentang pengaturan
penguasaan terhadap tanah timbul (belum ada peraturan yang secara khusus
mengatur tanah timbul secara alami). Hal ini akan sangat bergantung kepada
peraturan yang terdapat pada masyarakat setempat. Terbentuknya dan
terdapatnya hukum tanah yang berasal dari nilai yang berkembang di tengah
masyarakat merupakan doktrin hukum Ubi Societas Ibi Ius, pada setiap
masyarakat mempunyai aturan hukum yang dapat dijalankan oleh masyarakat itu
sendiri.
Menurut ketentuan perundangan hukum negara (hukum tertulis), tanah
timbul merupakan tanah negara yang dikuasai langsung oleh negara. Dilain
pihak, secara historis faktual masyarakat desa setempat telah bertahun-tahun
bahkan secara turun-temurun menguasai sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku.
Sebagai fenomena hukum, sangat menarik untuk dikaji pola penguasaan
dan pemilikan tanah timbul menurut budaya masyarakat setempat yang
didasarkan pada mekanisme-mekanisme pengaturan lokal dalam masyarakat
(self regulation), dan upaya-upaya yang ditempuh oleh masyarakat untuk
memperoleh hak penguasaan dan pemilikan tanah tersebut.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Di dalam perspektif hukum Islam, pada dasarnya semua tanah adalah milik
sang pencipta, yaitu Allah. Allah telah menciptakan bumi dan segala sesuatu
yang ada di dalamnya dipergunakan untuk kepentingan manusia, sehingga
hubungan sang pencipta dengan tanah adalah hubungan pencipta dan yang
diciptakan.
sistem
penguasaan
dan
pemilikan
tanah
tak
bertuan
( tanah
3
John Locke, Two Treaties of Government, Cambridge, Cambridge University Press, 1988,
page. 290.
condominium
(pemilikan
bersama),
sehingga
tunduk
kepada
ketentuan
Van Setten Van Der Meer, Sawah Cultivation in Accient Java, Oriental Monograph Serie,
No. 229, Canberra Australian National University, 1979.page. 66.
5
Grotius, Pufendrof beranggapan bahwa hak milik pribadi adalah hak alamiah,
artinya hak milik yang secara kodrati untuk kepentingan pribadi manusia itu
masing-masing.
Teori Okupasi juga menjelaskan bahwa milik pribadi itu diperoleh melalui
pekerjaan atau pendudukan (Occupation), yaitu perolehan hak milik melalui
pendudukan atau penggarapan suatu tanah yang tidak ada pemiliknya dan
karenanya orang yang menduduki tanah tersebut mempunyai hak untuk
menurunkan atau mewariskan pada ahli warisnya. Begitulah orang-orang
Romawi menyebutkannya sebagai cara perolehan alamiah ( Natural Acquisition).
Hak milik pribadi menurut Thomas Aquino terdiri dari hak-hak atas benda
(termasuk tanah), hak atas pendapatan, hak untuk mengelola barang milik
pribadi. Selanjutnya Thomas Aquino mengakui bahwa benda-benda yang ada di
dunia ini (termasuk tanah), pada hakikatnya dimaksudkan untuk melayani dan
menunjang hidup manusia serta memberi kenyamanan, ketenangan bagi
manusia.7 Walaupun demikian, hak milik pribadi tidak bersifat individualistis
tetapi hak milik pribadi dalam semangat komunal. Artinya pemilik secara suka
rela menggunakan hak miliknya sebagai milik bersama dengan orang lain dan
juga untuk mereka yang membutuhkannya.
Iman Soetiknjo, Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia Dengan Tanah Yang
Berdasarkan Pancasila, Yogyakarta: Gadjah Mada University Prees. 1994, h. 13.
7
Sonny Keraf, Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi, Yogyakarta, Kanisius,1997, h. 57.
(originair) segala sesuatu adalah milik bersama, pemberian Tuhan kepada umat
manusia pada umumnya. Baru pada waktu barang-barang menjadi berkurang,
sedang manusia tidak lagi hidup sederhana seperti semula, timbullah hak milik.
Ajaran Grotius dan Pufendorf boleh dipandang sebagai jenis-jenis dari teori
hukum alam yang sudah lebih tua mengenai milik. Menurut pendapat Grotius,
semua benda pada mulanya adalah res nullius (Benda-benda yang tidak ada
pemiliknya). Tetapi manusia di dalam masyarakat membagi-bagi hampir semua
benda itu dengan persetujuan. Benda-benda yang tidak dibagi-bagi secara
demikian, ditemukan kemudian oleh seseorang, dijadikannya kepunyaan mereka.
Begitulah benda-benda tersebut menjadi tunduk kepada penguasaan individual.
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian hukum empiris
atau lazim disebut Penelitian Hukum Non Doktrinal ( Socio Legal Research).
Penelitian hukum non doktrinal yaitu penelitian yang dilakukan untuk menelaah
kaidah hukum yang dilihat dari segi penerapannya atau hukum dilihat sebagai
suatu kekuatan sosial yang empiris. Penelitian hukum empiris ini dilakukan untuk
mencermati secara komprehensif, bagaimana proses alam terjadinya tanah
timbul, kemudian proses penguasaan tanah timbul oleh masyarakat, selanjutnya
bagaimana daerah menyikapi dan bertindak berdasarkan kewenangan yang
dimilikinya dalam mengatur penguasaan tanah timbul dari perspektif norma dan
nilai yang berkembang di masyarakat setempat yang dianut oleh masyarakat di
Jawa timur, khususnya di Kabupaten Gresik dan Kabupaten Pasuruan.
Untuk
memperoleh
data
dalam
penelitian
ini
ditempuh
dengan
menggunakan data primer dan data sekunder. Cara memperoleh data primer
adalah dengan menggunakan dua cara, yaitu: 1) Teknik wawancara mendalam
(dept interview). 2) observasi (observation). Sedangkan data sekunder diperoleh
melalui studi dokumen dan literatur.
Setelah data tersebut di atas terkumpul (pengurutan, pengelompokan dan
pengkodean) baik berupa data primer maupun sekunder yang telah dianggap
valid maka langkah berikutnya mengkonstruksikan data tersebut lewat strategi
atau laut
sebagai hasil
manusia. Tanah timbul dapat terjadi di pantai dan aliran sungai. Tindakan
manusia yang cukup lama akan mempercepat proses terbentuknya tanah timbul.
Tanah timbul yang terjadi di Indonesia dalam kenyataannya dapat dikuasai baik
oleh perorangan maupun secara komunal terutama dengan alasan ekonomi
untuk diusahakan sebagai usaha tambak, pertanian, serta untuk pemukiman
penduduk.
Bagi masyarakat di daerah Kabupaten Gresik yang letaknya di pesisir pantai
Utara laut Jawa, tanah yang tumbuh sebagai proses sedimentasi (endapan
Lumpur) di pesisir pantai disebut dengan istilah tanah oloran. Menurut
masyarakat setempat dikatakan tanah oloran karena kenyataan yang ada di
daerah tersebut tanah kampung yang semula dekat dengan laut menjadi molor
atau bertambah panjang sehingga jauh dari permukaan air laut sebagai hasil
proses pengendapan lumpur (sendimentasi) yang dibawa oleh arus sungai atau
bengawan solo.
Bagi masyarakat yang tinggal di daerah Kabupaten Pasuruan menyebut
tanah baru yang merupakan hasil pengendapan atau proses sedimentasi dengan
timbul dengan
sebutan
Tanah
GG
oever slibt sterk aanslibbing (tepi itu tertimbun oleh endapan lumpur)8. Di dalam
bahasa Inggris disebut deltaber atau channelbar, sedangkan di dalam bahasa
Indonesia disebut dengan tanah tumbuh atau tanah timbul.9 Istilah tanah timbul
di berbagai daerah mempunyai sebutan yang berbeda-beda antara daerah satu
dengan daerah lainnya. Di Jawa Timur, khususnya di pesisir pantai utara
menyebutnya dengan istilah tanah oloran, di Yoqyakarta menyebutnya dengan
istilah wedikengser.10 Sementara itu di daerah Surakarta menyebutnya dengan
istilah: tanah bokongan atau tanah asean, di Banyumas: tanah semen,
sedangkan di luar Jawa Boedi Harsono,11 menyebutnya dengan istilah lidah
S. Wojowasito, Kamus Bahasa Belanda, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, h. 11.
11
Boedi Harsono Undang-Undang Pokok Agraria: Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya, Bagian Pertama, Jilid ke-2, Jakarta: Jembatan, 2003. h. 80
12
h.71
R. Roestandi Ardiwilaga, Hukum Agraria Indonesia, Bandung: Penerbit Masa baru, 1962,
tanah timbul di empat daerah tersebut letaknya berada di sepanjang pantai atau
tepi pantai yang berbatasan di pesisir pantai utara laut Jawa. Keempat daerah
tersebut terdapat juga beberapa aliaran sungai yang menghubungkan muara
sungai di pesisir utara laut Jawa menuju keluarnya aliran sungai menuju ke laut
yang mengakibatkan terjadinya penumpukan lumpur tanah di tepi sungai atau
pesisir pantai.
Luas tanah timbul di dua desa baik Desa Ujung Pangkah Wetan maupun
Desa Ujung Pangkah Kulon Kecamatan Ujung Pangkah, sampai saat ini adalah
kurang lebih 6.500 hektar dengan perincian sebagai berikut: 1) Luas tanah
timbul Desa Ujung Pangkah Wetan adalah 4.000 ha.2) Luas tanah timbul Desa
Ujung Pangkah Kulon adalah 2. 500 ha, sedangkan luas tanah timbul di empat
kecamatan Kabupaten Pasuruan sampai tahun 2010 adalah 655,7133 Ha. (enam
ratus lima puluh lima hektar tujuh ribu seratus tiga puluh tiga meter persegi).
Berdasarkan hasil penelitian di daerah Ujung Pangkah Kabupaten Gresik,
pola penguasaan dan pemilikan tanah timbul diawali dengan membuka tanah
yang tidak ada pemiliknya oleh warga masyarakat setempat dengan seizin tokoh
masyarakat
(pemuka
agama)
di
daerah
tersebut.
Setelah
tokoh-tokoh
pantai
secara
diam-diam
tanpa
sepengetahuan
kepala
desa
oloran yang tumbuh di pesisir pantai dan tanah tersebut tidak boleh diperjual
belikan kepada siapapun.
Sedangkan penguasaan tanah timbul yang terjadi di Desa Melaten
Kecamatan Nguling Kabupaten Pasuruan berbeda dengan penguasaan tanah
yang terjadi di Desa Pulokerto Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan.
Pendudukan/pembukaan tanah oloran di Desa Melaten ini dilakukan oleh Kepala
Desa beserta perangkatnya dan secara umum tanah tersebut dikuasai oleh desa
sebagai
petani/penggarap. Setelah
redistribusi
tanah
obyek
pengaturan
penguasaan
penelitian
di
lapangan/lokasi
dengan
milik,
selanjutnya
Kepala
Daerah
Kabupaten
(Bupati)
memberikan
rekomendasi.
Langkah selanjutnya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
adalah mempersiapkan usul atau permohonan penegasan untuk ditegaskan
menjadi tanah obyek landreform sebagai tanah yang dikuasai negara,
selanjutnya diajukan oleh Kantor Pertanahan setempat lewat Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur dan diteruskan kepada Kepala
Badan Pertanahan Nasional (BPNRI).
hal ini
BPNRI, maka berkas permohonan dan dokumen yang telah lengkap dan disertai
pertimbangan dari Kepala Kantor Wilayah untuk dikirim ke Menteri Negara
Agraria/KaBPN Pusat dan kemudian Menteri Negara Agraria/KaBPN akan
mengeluarkan SKPH. 4) Surat Keputusan Pemberian Hak diserahkan kepada
pemohon melalui kantor pertanahan setempat. 5) pemohon hak atas tanah
diwajibkan memenuhi kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam SKPH. 6)
Kepala Kantor Pertanahan mengeluarkan sertipikat hak atas tanah dan
menyerahkannya kepada pemegang hak atas tanah.
Dari hasil penelitian tersebut di atas, terkait dengan pola penguasaan atas
tanah timbul oleh masyarakat di pesisir pantai utara laut Jawa apabila ditelaah
secara mendalam sangat bersesuaian dengan ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam hukum adat. Menurut Roestandi, Berdasarkan ketentuan hukum adat, hak
milik itu dapat diperoleh atas tanah pembawaan lumpur (tanah yang tumbuh di
pesisir pantai, atau biasa disebut dengan tanah timbul yang muncul di tepi
sungai dan pantai). Pada umumnya di Jawa tanah yang timbul karena
pembawaan lumpur adalah hak orang yang mempunyai tanah di mana tambahan
tanah itu terjadi. Apabila tanah yang sudah ada di tepi sungai dan pantai itu
adalah tanah hak milik, maka orang yang memiliki tanah bersebelahan dengan
sungai dan pantai itu memperoleh hak milik pula atas tanah tambahan itu.
Apabila di daerah itu berlaku hak ulayat yang masih kuat, hak atas tanah baru itu
menjadi hak penguasaan hak ulayat setempat. Di daerah lainnya terdapat
ketentuan hukum adat, bahwa walaupun tanah pembawaan lumpur itu timbul di
tempat bersebelahan dengan hak milik perseorangan, maka desalah yang
pertama-tama menguasai tentang tanah timbul tersebut.
Sejalan dengan hukum adat bahwa terjadinya hak milik menurut hukum
adat adalah bersumber pada pembukaan atas tanah hutan yang merupakan
14
15
perubahan-perubahan
sesuai
dengan
apa
yang
diharapkan
keadaan
masyarakat sebagaimana
yang
dicita-citakan
atau
untuk
16
Fungsi
hukum
dalam
suatu
masyarakat
sebenarnya
17
Kartosapoetra, et.,al. Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan
Tanah, Jakarta, Rineka Cipta, 199 ,h. 93.
desa
yang
sekaligus
juga
sebagai
tanah
negara,
masyarakat
labor
mengenai perolehan hak milik atas tanah. Dari beberapa teori diatas,
nampaknya untuk kondisi sekarang cara perolehan hak milik secara adat masih
memungkinkan
selama
UUPA
mengakui
keberadaan
hukum
masyarakat
di hadapkan kepada
1990-an
menggunakan
selain
hukum
menggunakan
tertulis
hukum
lokal
ketika permohonan
(tidak
hak
tertulis)
diajukan
juga
kepada
menyeimbangkan
atau
mengakomodasi
antara
beberapa
kosong, seperti tanah timbul. Wujud pluralisme hukum tersebut nampak jelas di
lapangan, yaitu ada dua sistem yang berlaku dan menjadi dasar hukum bagi para
untuk
menciptakan
aturan-aturan
yang
berlaku
dalam
19
Ihromi, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,
1993, h. 152
perundang-undangan
pertanahan
di
Indonesia
belum
cerminan
budaya
dalam
masyarakat
(inner order
Redaksi