Anda di halaman 1dari 175

Volume 5 Nomor 1, Maret 2016

Jurnal Hukum dan Peradilan memuat naskah yang bersumber dari hasil
penelitian/penelaahan tentang Hukum dan Peradilan yang belum pernah
dipublikasikan. Jurnal Hukum dan Peradilan terbit sebanyak 3 nomor setahun
(Maret, Juli, November)

Susunan Redaksi
(Editorial Board)
Penanggung Jawab : Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S.
(Officially Incharge)

Redaktur : R. Wijaya Brata K. S,Komp., M.M.


(Chief Editor)

Editor : H. Asep Safei, M.M.


(Editors) H. Hudan Isnawan, S.H., M.Si.
Muh. Ridha Hakim, S.H.
Sri Gilang M. Sultan Rahma P, S.H.
Bintang Alvita, S.S.

Mitra Bestari : Prof. Dr. Jaih Mubarrok


(Reviewers) Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S.

Web Admin : Bestian Panjaitan, S.Kom., M.Ak.


Muhammad Zaky Albana, S.Sos.
Zulfia Hanum Alfi S., S.Pd.
Bismo Anggoro

Web Developer : Andre Tatengkeng


Hendro Yatmoko, S.Kom.
Randy Viyatadhika, S.T.
Yoga Pradana Pamungkas, S.Kom.
Alamat
Redaksi Jurnal Hukum dan Peradilan
Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI
Jln. Jend. A. Yani (By Pass) Kav. 58 Lt.10 Cempaka Putih, Jakarta Pusat 13011
Email: sekretariatjurnalkumdil@gmail.com dan
jurnalhukumperadilan@mahkamahagung.go.id

Isi Jurnal dapat dikutip dengan menyebut nama sumbernya


(Citation is permitted with acknowledgement of the source)
Opini yang dimuat dalam jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi MA RI
Volume 5 Nomor 1, Maret 2016

PENGANTAR REDAKSI

Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur sepatutnya senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Esa, Dzat Yang Maha Sempurna, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga kita bisa berbuat yang terbaik, amin.
Salah satu program prioritas Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
Peradilan Mahkamah Agung RI, yakni penerbitan jurnal Hukum dan Peradilan
diharapkan menjadi upaya positif Puslitbang Kumdil MA-RI sebagai Supporting Unit
Mahkamah Agung RI secara kelembagaan untuk mendukung terwujudnya visi dan misi
Mahkamah Agung RI yaitu : Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung.
Kehadiran Jurnal Hukum dan Peradilan sebagai media bagi insan peradilan,
akademisi, praktisi dan pemerhati hukum diharapkan dapat menjadi wadah
mengaktualisasikan ide pemikiran melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan
hukum dan peradilan secara ilmiah, yang nantinya dapat menjadi pencerah di tengah
upaya besar bangsa untuk menata pembangunan hukum dan peradilan di masa
mendatang.
Pada penerbitan jurnal hukum dan peradilan edisi Maret 2016 ini, kami memuat
lima naskah artikel ilmiah dan tiga naskah ringkasan Disertasi. Penerbitan Naskah
Ringkasan Disertasi dalam Jurnal Hukum dan Peradilan ialah sebagai upaya redaksi
untuk menghadirkan perkembangan riset terbaru dalam dunia hukum yang
dikembangkan melalui penelitian Disertasi pada perguruan tinggi, khusus terkait
dengan riset riset hukum yang berkaitan dengan kepentingan dunia peradilan.
Penerbitan Jurnal Hukum dan Peradilan sejak edisi Maret 2016 ini juga
menandai dimulainya penerbitan Jurnal Hukum dan Peradilan dengan sistem e-journal.
Sistem e-journal merupakan sistem penerbitan jurnal ilmiah secara elektronik dengan
memanfaatkan jaringan internet. Dengan sistem e-journal tersebut maka diharapkan
akses untuk membaca berbagai karya ilmiah yang diterbitkan menjadi lebih mudah dan
dapat melayani jangkauan pembaca yang lebih luas. Para pembaca dapat mengakses e-
journal tersebut pada situs www.jurnalhukumdanperadilan.org, selain itu para pembaca
yang berminat menjadi penulis naskah juga dapat melakukan registrasi sebagai penulis
naskah serta mengirimkan naskah melalui situs tersebut.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada yang mulia Ketua Mahkamah
Agung RI dan seluruh Unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI yang terus memberikan
dukungan untuk terbitnya jurnal ini, juga terima kasih kami sampaikan kepada Kepala
Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI yang telah memberikan arahan dan bimbingan
dalam proses penerbitan jurnal ini. Begitupun kepada para penulis yang telah
berkontribusi mengirimkan artikelnya dan para Mitra Bestari yang telah meluangkan
waktunya untuk mereview artikel para penulis, semoga amal kebaikannya mendapat
pahala yang setimpal dari Allah SWT. Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin.

Jakarta, Maret 2016

Redaksi

i
Volume 5 Nomor 1, Maret 2016

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi
Daftar Isi
Daftar Abstrak
H. SANTHOS WACHJOE P.
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
sebagai Alat Bukti Persidangan ...... 001 - 018
MUHAMAD ISNA WAHYUDI
Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah) dalam RUU
HMPA Bidang Perkawinan ... 019 - 034
TRI CAHYA INDRA PERMANA
Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Secara Internal
Maupun Eksternal ..... 035 - 052
TEGUH SATYA BHAKTI
Politik Hukum dalam Putusan Hakim .... 053 - 072
SRI GILANG MUHAMMAD S.R.P
Perlindungan Keanekaragaman Hayati dalam Hukum Islam... 073 - 090
ADRIANO
Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 091 - 112
NURNANINGSIH AMRIANI
Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID di
Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara .... 113 -134
YODI MARTONO WAHYUNADI
Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan . 135 - 154
Biografi Penulis
Pedoman Penulisan Jurnal

iii
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
ISSN : 2303-3274

Kata kunci bersumber dari artikel


Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

H. SANTHOS WACHJOE P.

PENGGUNAAN INFORMASI ELEKTRONIK DAN DOKUMEN ELEKTRONIK


SEBAGAI ALAT BUKTI PERSIDANGAN

Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 001 - 018

Praktek persidangan selalu mengacu kepada aturan-aturan yang tercantum


di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang selama ini sangat terasa bahwa Undang-
Undang tersebut sudah sangat tertinggal, utamanya terhadap pengaturan
mengenai alat bukti yang dapat dipergunakan di persidangan. Makalah ini
akan sedikit menguraikan mengenai penggunaan dokumen elektronik sebagai
alat bukti di persidangan. Semoga makalah ini dapat memberikan pencerahan
kepada Aparat Penegak Hukum di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, terutama
di dalam proses persidangan.

Kata kunci : informasi elektronik, dokumen elektronik, alat bukti

H. SANTHOS WACHJOE P.

THE USAGE OF ELECTRONIC INFORMATION AND DOCUMENT AS COURT


EVIDENCE

Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 001 - 018

Court trials always refer to the rules contained in Law No. 8 1981 of the
Criminal Code, which seem underdeveloped, mainly about the arrangements
regarding evidence which can be used in the court. This paper outlines the use
of a few electronic documents as evidence in the trial. Hopefully, this paper can
provide enlightenment to the law enforcement authorities in carrying out their
duties, particularly in the proceedings.

Keywords : electronic information, electronic document, evidence

v
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
ISSN : 2303-3274

Kata kunci bersumber dari artikel


Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

MUHAMAD ISNA WAHYUDI

KAJIAN KRITIS KETENTUAN WAKTU TUNGGU (IDDAH) DALAM RUU HMPA


BIDANG PERKAWINAN

Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 019 - 034

Terdapat beberapa ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil


Peradilan Agama bidang Perkawinan yang perlu dirumuskan sesuai dengan
kondisi saat ini. Dengan cara tersebut, hukum perkawinan Islam di Indonesia
akan progresif dan tidak diskriminatif terhadap kaum perempuan. Artikel ini
adalah kelanjutan dari artikel yang berjudul Menuju Hukum Perkawinan Islam
Progresif, yang terbit dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, volume 3, nomor 1,
Maret 2014. Dalam artikel ini penulis mencoba menawarkan pembacaan ulang
terhadap ketentuan waktu tunggu (iddah) yang sesuai dengan konteks saat ini.
Sebagai hasilnya, ketentuan waktu tunggu seharusnya mengikat baik kepada
janda maupun duda.

Kata kunci : iddah, seks, gender, kesetaraan

MUHAMAD ISNA WAHYUDI

THE CRITICAL STUDY OF WAITING PERIOD REGULATION ON THE BILL OF THE


RELIGIOUS COURTS MATERIAL LAW MARRIAGE MATTERS

Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 019 - 034

There are some provisions of Bill on the Religious Courts Material Law on marriage
that need to be formulated in accordance with the current conditions. In this way,
the Islamic Marriage Law in Indonesia will become progressive and not
discriminative against women. This article is the continuation of the article entitled
Menuju Hukum Perkawinan Islam Progresif which is published in Jurnal Hukum
dan Peradilan volume 3, number 1, March 2014. In this article, the author tries to
offer reinterpretation on the provision of waiting period (iddah) in accordance with
the current context. As the result, the waiting period should bind both widow and
widower.

Keywords : waiting period, sex, gender, equality

vi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
ISSN : 2303-3274

Kata kunci bersumber dari artikel


Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

TRI CAHYA INDRA PERMANA

MODEL PENYELESAIAN PERSELISIHAN PARTAI POLITIK SECARA INTERNAL


MAUPUN EKSTERNAL

Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 035 - 052

Undang-Undang Parpol mengatur bahwa perselisihan Parpol diselesaikan secara internal oleh
Mahkamah Partai atau sebutan lain daripada itu dan secara eksternal oleh Pengadilan Negeri
dan Mahkamah Agung. Substansi perselisihan yang final dan mengikat di Mahkamah Partai
adalah perselisihan kepengurusan, selebihnya dapat diajukan upaya hukum ke Pengadilan
Negeri dan Mahkamah Agung. Di dalam praktek, pengaturan tersebut telah menjauhkan dari
rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, oleh karenanya sebaiknya direvisi yang mana
perselisihan PAW, pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, penyalahgunaan
wewenang, pertanggungjawaban keuangan, dan atau keberatan terhadap keputusan partai
politik (termasuk keputusan untuk tidak memutuskan terhadap sesuatu hal) final dan mengikat
dengan Putusan MPP. Sedangkan perselisihan kepengurusan dapat diajukan upaya hukum ke
Mahkamah Konstitusi.

Kata kunci : perselisihan parpol, mahkamah partai, Mahkamah Agung,


Mahkamah Konstitusi

TRI CAHYA INDRA PERMANA

THE MODEL OF POLITICAL PARTY DISPUTE SETTLEMENT INTERNALLY AND


EXTERNALLY

Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 035 - 052

Political parties act stipulates that a political party dispute resolved internally by the
Mahkamah Partai or other designation of that and externally resolved by the District Court
and the Supreme Court. The dispute substance in Mahkamah Partai which is final and binding
is about organization dispute, the other can be settled in District Court and the Supreme Court.
In practice, that arrangement makes the decision apart from the sense of justice, legal certainty
and utility. Therefore, these rules should be revised so that the regulation of PAW, violations
of the rights of members of political parties, abuse of authority, financial liability, or an
objection to the decision of political parties (including the decision not to decide on something)
is final and binding through Mahkamah Partai decision. While the organization disputes can
be submitted to the Constitutional Court for legal action.

Keywords : political party dispute, Mahkamah Partai, Supreme Court, Constitutional Court

vii
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
ISSN : 2303-3274

Kata kunci bersumber dari artikel


Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

TEGUH SATYA BHAKTI


POLITIK HUKUM DALAM PUTUSAN HAKIM
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 053 - 072

Suatu undang-undang (hukum tertulis) tidak pernah lengkap, jelas dan tuntas
mengatur kehidupan masyarakat, sehingga selalu tertinggal dalam mengikuti
perkembangan masyarakat. Untuk mengikuti perkembangan itu, maka undang-
undang tersebut perlu untuk selalu dikembangkan agar tetap aktual dan sesuai
dengan zaman. Pelaksanaan dan perkembangan peraturan perundang-undangan
terjadi melalui putusan hakim (yurisprudensi) dalam proses peradilan. Dengan
kata lain, yurisprudensi dimaksudkan sebagai pengembangan hukum, guna
memenuhi kebutuhan hukum pencari keadilan. Pelaksanaan fungsi penegakan
hukum dan keadilan maupun fungsi penemuan hukum (rechtsvinding) yang
terwujud dalam suatu putusan hakim (yurisprudensi), haruslah mengacu kepada
pancasila sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) atau
kearifan/kegeniusan nasional (national wisdom/national genius) dan UUD 1945
sebagai hukum dasar negara, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan
keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. Hal demikianlah yang merupakan
perwujudan politik hukum dalam putusan hakim.
Kata kunci : politik hukum, putusan hakim

H. SANTHOS WACHJOE P.
THE POLITIC OF LAW IN A VERDICT
Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 053 - 072
A law (written law) was never full, clear and complete set of community life, so it is
always lagging behind follows the development of society. To keep abreast of it, the
law should always be developed in order to remain update and relevant to the times.
Implementation and development of legislation going through the verdict
(jurisprudence) in the judicial process. In other words, jurisprudence intended as
legal development, to meet the legal needs of justice seeker. Implementation of the
functions of law enforcement and justice as well as the function of legal discovery
(rechtsvinding) embodied in a verdict (jurisprudence), should refer to Pancasila as
the norm of fundamental state (staatsfundamentalnorm) or wisdom / genius of the
national (national wisdom / national genius) and 1945 as the basic law of the state,
so that the decision reflects the sense of justice of the nation and the people of
Indonesia as well. It declares a political manifestation of the law in a verdict.
Keywords : politics of law, verdic

viii
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
ISSN : 2303-3274

Kata kunci bersumber dari artikel


Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

SRI GILANG MUHAMMAD S.R.P.

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DALAM HUKUM ISLAM

Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 073 - 090

Keanekaragaman hayati adalah salah satu komponen lingkungan hidup yang berperan penting
dalam membentuk ekosistem serta memberikan daya dukung bagi kehidupan di Bumi,
sehingga diperlukan upaya-upaya untuk melindungi kelestariannya. Islam sangat menyadari
peran penting keanekaragaman hayati tersebut, oleh karena itu Islam turut berperan serta dalam
melakukan perlindungan keanekaragaman hayati melalui hukum Islam. Perlindungan terhadap
keanekaragaman hayati dalam hukum Islam ditunjukkan melalui berbagai aturan yang
bersumber dari Al-Quran, hadits dan fatwa para ulama serta juga ditunjukkan dengan praktek
keberadaan institusi konservasi yang dikenal dengan nama Hima dan Zona Harim. Indonesia
sebagai negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia serta negara dengan
penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia mempunyai peran penting untuk
mengembangkan dan memanfaatkan tradisi hukum Islam dalam perlindungan keanekaragaman
hayati dalam lingkup pengaturan hukum nasional guna meningkatkan partisipasi umat Islam
secara global dalam kegiatan perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup, khususnya
keanekaragaman hayati.

Kata kunci : perlindungan, keanekeragaman hayati, hukum islam, hima,


zona harim

SRI GILANG MUHAMMAD S.R.P.

BIODIVERSITY PROTECTION ON ISLAMIC LAW

Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 073 - 090


Biodiversity is one of the components of the environment which plays an important role in
shaping the ecosystem that provides life support on Earth. For that reason, the efforts to
provide protection is necessary. Islam is very much aware of the important role of biodiversity,
therefore Islam have participated in biodiversity protection through Islamic law. The
protection of biodiversity in Islamic law demonstrated by the various rules derived from the
Quran, hadith and fatwas of the scholars as well as demonstrated by the existence of
conservation institution known as Hima and Zone Harim. Indonesia as the country with the
second greatest biodiversity in the world and a country with a largest Muslim majority
population in the world have an important role to develop and utilize the Islamic legal tradition
in the protection of biodiversity in the scope of the provisions of national in order to increase
the participation of Muslims globally in protection and preservation activities of the
environment, especially biodiversity.

Keyword : protection, biodiversity, islamic law, hima, harim zone

ix
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
ISSN : 2303-3274

Kata kunci bersumber dari artikel


Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

ADRIANO

KARAKTERISTIK PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 091 - 112

Disertasi ini membahas lebih dalam mengenai karakteristik korporasi yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum, keduanya didiskusikan pada kerangka
yang sama dari pertanggungjawaban pidana korporasi. Meskipun demikian, seringkali
pada beberapa hukum atau peraturan selain KUHP, baik pada hukum pidana maupun
hukum administratif dengan sanksi pidana, perusahaan digambarkan sebagai
sekumpulan orang/kekayaan yang terorganisir baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak. Pengertian ini sangat jauh berbeda dari apa yang dinyatakan oleh para ahli
hukum terutama pada hukum pidana yang biasanya menyatakan perusahaan sebagai
badan hukum. Meskipun demikian, hal ini tidaklah sama bagi perusahaan yang tidak
berbadan hukum. Perbedaan tersebut akan menyebabkan konsekuensi hukum tersendiri
karena perusahaan tidak bisa dan tidak akan pernah diperlakukan sama terkait
pertanggungjawaban pidana korporasi.

Kata kunci : pertanggungjawaban pidana korporasi, karakteristik,


badan hukum, tidak berbadan hukum

ADRIANO

THE CHARACTERISTICS OF CORPORATE CRIMINAL RESPONSIBILITY

Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 091 - 112

This dissertation analyzed for real about characteristics of an entity, either a legal or
the nonlegal "entity'' which all were discussed in the same outline of corporate crime
responsibility. It was often, though, in several laws aside from the Penal Code of
Indonesia (KUHP), both in Criminal Law and Administrative Law with criminal
sanction, that corporate is defined as a collection of organized people and or wealth,
either as a legal or the nonlegal entity. The definitions in those laws are really different
from those of law experts, especially those of criminal law who basically identify
corporate as a legal entity, however the same is not true for those of the nonlegal entity.
Such differences of the legal and nonlegal entities would bring their own legal
consequences, therefore they could not and would not be treated the same referring to
corporate criminal responsibility.

Keywords: corporate criminal responsibility, characteristics, legal entity,


nonlegal entity

x
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
ISSN : 2303-3274

Kata kunci bersumber dari artikel


Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

NURNANINGSIH AMRIANI

PENERAPAN PRINSIP KETERBUKAAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE ICSID DI


INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN BEBERAPA NEGARA
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 113 - 134
Kerahasiaan putusan arbitrase ICSID sudah mulai diterobos dengan keterbukaan
putusan atas peluang yang diberikan oleh Pasal 48 ayat (5) Konvensi ICSID dan
Aturan 48 ayat (4) ICSID Arbitration Rules. Perubahan norma hukum dari
kerahasiaan menjadi keterbukaan putusan arbitrase ICSID dengan
membandingkan penerapannya antara negara Indonesia dengan Malaysia,
Singapura dan Jepang, diharapkan memberi manfaat yang besar bagi masyarakat
secara luas termasuk didalamnya negara anggota ICSID. Hasil penelitian disertasi
ini membuktikan bahwa keterbukaan putusan arbitrase ICSID diperlukan
daripada kerahasiaan putusan dengan beberapa alasan penting dan tidak
menimbulkan masalah. Bahkan membantu mewujudkan pelaksanaan asas
pemerintahan yang baik. Melalui tulisan ini akan diketahui perlunya unifikasi
hukum mengenai kewajiban publikasi putusan dan perlunya amandemen
Undang-Undang Arbitrase di Indonesia.
Kata kunci : prinsip keterbukaan, putusan arbitrase, ICSID, negara.

NURNANINGSIH AMRIANI
THE IMPLEMENTATION OF TRANSPARENCY PRINCIPLES FOR ICSID
ARBITRATION AWARDS IN INDONESIA AND THE COMPARISON WITH SEVERAL
COUNTRIES
Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 113 - 134
Confidentiality ICSID arbitration award already started breached by the transparency
award on the opportunity provided by Article 48 paragraph (5) of the ICSID
Convention and Rule 48 paragraph (4) of the ICSID Arbitration Rules. Changes in the
legal norms of confidentiality to transparency of ICSID arbitration award by
comparing its application in Indonesia, Malaysia, Singapore and Japan, are expected
to provide great benefits for society include ICSID member countries. This dissertation
research results prove that the ICSID arbitration ruling required transparency rather
than confidentiality award for several important reasons and not cause problems. Even
it helped realize the implementation of good governance principles. the article will note
the need for unification of the laws regarding the responsibility of publication award
and the need to amend the Arbitration Law in Indonesia.
Keywords : principles of transparency, arbitration award, ICSID, state.

xi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
ISSN : 2303-3274

Kata kunci bersumber dari artikel


Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

YODI MARTONO WAHYUNADI


KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM
KONTEKS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 5 No. 1 Hlm. 135 - 154
Dalam konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (UUAP) kompetensi PTUN tidak hanya Keputusan Tata Usaha
Negara akan tetapi mempunyai kompetensi mengadili Tindakan Administrasi.
Selain itu pula PTUN mempunyai kompetensi memutus permohonan untuk
menentukan penilaian ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang serta
permohonan keputusan fiktif positif. Sikap diam atau abainya Badan dan/atau
Pejabat pemerintahan terhadap permohonan badan atau seseorang dianggap
telah mengeluarkan keputusan. Kompetensi PTUN yang baru lainnya terhadap
keputusan Badan atau Pejabat pemerintahan yaitu Upaya Administrasi. UUAP
tidak hanya mengatur hukum materiil tetapi juga hukum formil (acara). Untuk itu
UUAP harus diubah hanya memuat hukum materiil saja dan perlu adanya
perubahan terhadap UU Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengakomodir
penegakan hukum materiil.
Kata kunci: Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi, hukum materiil,
hukum formil.

YODI MARTONO WAHYUNADI


THE ABSOLUT COMPETENCE OF ADMINISTRATIVE COURT BASED ON LAW
NUMBER 30 OF 2014 CONCERNING GOVERNMENT ADMINISTRATION
Journal of Law and Justice, Vol. 5 No. 1 page 135 - 154
In the context of Law Number 30 of 2014 concerning Government Administration the
competence of administrative court was not only the decision of the Administration but also
has the competence to judge the actions of Administration. In addition administrative court
also have competence to decide an application for assessment to determine whether there
are elements of authority abuse as well as the application for a fictitious positive decision.
However to determine the application for approval of a person or body of civil law are not
automatically, but must first be tested through administrative courts. The Government's
Administration Law regulates the material law and formal law. For the Government's
Administration Law should be amended to load any material law and the need for changes
to the Administrative Law to accommodate the enforcement of material law.

Keywords: administrative court, competence, material law, formal law.

xii
PENGGUNAAN INFORMASI ELEKTRONIK DAN DOKUMEN
ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI PERSIDANGAN

THE USAGE OF ELECTRONIC INFORMATION AND


DOCUMENT AS COURT EVIDENCE

H. SANTHOS WACHJOE P.
Mahkamah Agung Republik Indonesia
Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13, Jakarta Pusat
Email : santhoshakim@yahoo.com

ABSTRAK
Praktek persidangan selalu mengacu kepada aturan-aturan yang tercantum di dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yang selama ini sangat terasa bahwa Undang-Undang tersebut sudah
sangat tertinggal, utamanya terhadap pengaturan mengenai alat bukti yang dapat
dipergunakan di persidangan. Makalah ini akan sedikit menguraikan mengenai
penggunaan dokumen elektronik sebagai alat bukti di persidangan. Semoga makalah ini
dapat memberikan pencerahan kepada Aparat Penegak Hukum di dalam melaksanakan
tugas-tugasnya, terutama di dalam proses persidangan.

Kata kunci : informasi elektronik, dokumen elektronik, alat bukti

ABSTRACT
Court trials always refer to the rules contained in Law No. 8 1981 of the Criminal
Code, which seem underdeveloped, mainly about the arrangements regarding evidence
which can be used in the court. This paper outlines the use of a few electronic
documents as evidence in the trial. Hopefully, this paper can provide enlightenment to
the law enforcement authorities in carrying out their duties, particularly in the
proceedings.

Keywords : electronic information, electronic document, evidence

I. PENDAHULUAN
Sebagai bagian dari warga negara yang sadar dan taat kepada hukum, tentunya
akan membuat setiap individu di dalam masyarakat akan mengedepankan penyelesaian
setiap sengketa atau perkara dengan cara yang damai dengan selalu mengutamakan asas
musyawarah untuk mufakat. Meski demikian, akan selalu terdapat suatu perkara atau

1
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18

sengketa yang tidak bisa diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat, sehingga
harus diselesaikan di muka persidangan.
Penyelesaian suatu perkara melalui persidangan tentunya membutuhkan teknik
pembuktian yang jitu sehingga apa yang diinginkan dapat dikabulkan oleh Pengadilan.
Bagi para pencari keadilan, segala macam cara pembuktian tentu akan dilakukan,
dengan tujuan apa yang didalilkan menjadi terbukti dan bisa mendapatkan apa yang
diminta atau dituntutnya. Oleh karenanya, kecermatan di dalam pembuktian dalil dalam
suatu perkara, mutlak diperlukan, sehingga tidak membuang waktu dan tenaga dengan
sia-sia.
Proses hukum secara garis besar dapat dipandang sebagai penyelarasan berbagai
kepentingan dalam masyarakat dan hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil.
Hukum yang baik yaitu hukum yang adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat,
mewajibkan dan dapat dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan,
harmoni dan kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri.
II. PEMBAHASAN
A. Pembuktian di Persidangan
Di dalam hukum acara baik hukum acara pidana maupun hukum acara perdata,
ketika seseorang akan membuktikan suatu dalil baik itu Jaksa Penuntut Umum yang
akan membuktikan dalil dakwaannya, maupun Terdakwa yang akan membantah dalil
dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum atau Penggugat yang akan membuktikan dalil
gugatannya maupun Tergugat yang akan membantah dalil gugatan dari Penggugat, akan
berusaha melakukannya dengan cara pembuktian di persidangan. Yahya Harahap
mengatakan bahwa, Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam
sidang pengadilan1
1. Pembuktian dalam Hukum Pidana
Di dalam Hukum Acara Pidana, telah diatur bagaimana cara pembuktian dapat
dilakukan di persidangan dan bagaimana hakim bersikap di dalam putusannya terhadap
suatu perkara. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
menyebutkan, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali

1
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding Kasasi Dan Peninjauan Kembali), Tahun 2000, Sinar Grafika, Jakarta, h. 273 ;

2
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Di dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut hanya menyebutkan
Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian
hukum bagi seseorang, sehingga untuk memahami ketentuan Pasal 183 KUHAP
tersebut. Kiranya ketentuan Pasal 183 KUHAP ini mengadopsi dari ketentuan Pasal 294
HIR, yang dianggap sebagai pembuktian menurut undang-undang secara negatif.2
Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut tersurat bahwa dibutuhkan minimal 2
(dua) alat bukti yang dapat menjadi pegangan hakim sebelum menjatuhkan putusan,
sehingga kemudian perlu dipahami pula ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP mengenai
alat bukti yang sah yaitu :
a. Keterangan saksi ;
b. Keterangan ahli ;
c. Surat ;
d. Petunjuk ;
e. Keterangan Terdakwa ;
Tulisan ini hanya akan membatasi pembahasan pada alat bukti berupa surat maupun
petunjuk, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c dan huruf d
KUHAP.
Mengenai surat, telah diatur di dalam Pasal 187 KUHAP yang menyebutkan,
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan
atau dikuatkan dengan sumpah adalah :
a. Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu ;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau
surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata

2
Loc cit, h.280 ;

3
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18

laksana yang menjadi tanggung jawab dan yang diperuntukkan bagi


pembuktian sesuatu hal atas sesuatu keadaan ;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara
resmi dari padanya ;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain;
Pasal 187 KUHAP, hanya pada huruf b saja yang mendapatkan penjelasan sebagai
berikut, Yang dimaksud dengan surat yang dibuat oleh pejabat termasuk surat yang
dikeluarkan oleh suatu majelis yang berwenang untuk itu.
Mengenai kekuatan pembuktian surat, Yahya Harahap membagi ke dalam 2 segi
yaitu dari segi formil dan dari segi materiil.3 Dari segi formil, bukti surat mempunyai
nilai pembuktian formal yang sempurna, dengan sendirinya bentuk dan isi surat
tersebut:
a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain ;
b. Semua pihak tidak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan
pembuatannya ;
c. Juga tidak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat
berwenang di dalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat
dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain ;
d. Isi keterangan yang tertuang di dalamnya hanya dapat dilumpuhkan dengan
alat bukti yang lain baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli
atau keterangan Terdakwa.
Dari segi materiil, nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat sama halnya dengan
nilai pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, yaitu sama-sama
mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas, sehingga hakim bebas untuk
menilai kekuatan pembuktiannya dengan alasan :
a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran
materiil atau kebenaran sejati (materiil waarheid) bukan kebenaran formal,

3
Loc.cit, h.310 312 ;

4
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.

sehingga hakim bebas menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti
surat;
b. Asas keyakinan hakim, yaitu hakim hanya dapat menjatuhkan pemidanaan
kepada Terdakwa apabila telah diperoleh minimal 2 (dua) alat bukti yang sah;
c. Asas batas minimum pembuktian, dalam arti meskipun melekat sifat
kesempurnaan secara formal atas bukti surat, akan tetapi alat bukti surat tidak
cukup sebagai alat bukti yang berdiri sendiri dan tetap memerlukan dukungan
dari alat bukti lainnya;
Mengenai alat bukti petunjuk adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 188
KUHAP yang menyebutkan :
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya;
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a. Keterangan saksi;
b. Surat;
c. Keterangan Terdakwa;
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah mengadakan
pemeriksaan dengan kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati
nuraninya.
Penjelasan dalam pasal 188 KUHAP ini pun hanya menyebutkan cukup jelas,
sehingga di dalam praktek diperlukan kehati-hatian yang sangat mendalam dan
kecermatan dari setiap hakim terhadap alat bukti berupa petunjuk. Dan terhadap nilai
kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk, juga bersifat bebas dalam arti :4
a. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh
petunjuk;
b. Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan
Terdakwa dan tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian;

4
Loc.cit, h.317 ;

5
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18

2. Pembuktian dalam Perkara Perdata


Di dalam proses persidangan perkara perdata, dalam hal pembuktian terdapat hal
yang bersifat lebih rumit dan kompleks dibandingkan dengan proses persidangan
perkara pidana, karena berkaitan dengan menggali kebenaran yang tempus (waktunya)
bisa tidak terhingga lamanya, bukan hanya dalam hitungan hari atau bulan tetapi bahkan
dalam hitungan tahun. Hal lain yang mempengaruhi rumitnya pembuktian perkara
perdata adalah sebagaimana disampaikan oleh Yahya Harahap, yaitu :5
a. Faktor Sistem Adversarial (Adversarial System), yaitu sistem yang
mengharuskan memberikan hak yang sama kepada para pihak yang
berperkara untuk saling mengajukan kebenaran masing-masing serta
mempunyai hak untuk saling membantah kebenaran yang diajukan pihak
lawan sesuai dengan proses adversarial (adversarial proceeding) ;
b. Pada prinsipnya kedudukan hakim dalam proses pembuktian sesuai dengan
sistem adversarial adalah lemah dan pasif, dalam arti tidak aktif mencari dan
menemukan kebenaran di luar apa yang diajukan dan disampaikan para
pihak dalam persidangan.
Dalam perkara perdata, yang diutamakan adalah mencari kebenaran formil
(formeel waarheid), sehingga terbuka kemungkinan bahwa para pihak akan mengajukan
pembuktian yang tidak sebenarnya dan terdapat unsur kebohongan di dalam pembuktian
yang diajuakan ke persidangan. Meski demikian, perlu pula dicermati Putusan
Mahkamah Agung RI No.3136 K/Pdt/1983 yang mengatakan, Tidak dilarang
pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil, namun apabila
kebenaran materiil tidak ditemukan dalam peradilan perdata, hakim dibenarkan hukum
mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.6
Pedoman umum di dalam pembuktian perkara perdata adalah sebagaimana
digariskan dalam Pasal 163 HIR yang berbunyi, Barang siapa yang mengatakan ia
mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu
atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak
itu atau adanya kejadian itu. Ketentuan ini sama dengan ketentuan Pasal 263 RBg atau

5
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian
dan Putusan Pengadilan, Tahun 2005, Sinar Grafika, Jakarta, h. 496
6
Loc.cit, h.498.

6
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.

Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), sehingga tentang
pembuktian dalam perkara perdata dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Siapa yang mendalil sesuatu hak, kepadanya dibebankan wajib bukti untuk
membuktikan hak yang didalilkannya dan
b. Siapa yang mengajukan dalil bantahan dalam rangka melumpuhkan hak yang
didalilkan pihak lain, kepadanya dipikulkan beban pembuktian untuk
membuktikan dalil bantahan tersebut;
Lebih lanjut mengenai pembuktian di perkara perdata, dikenal adanya istilah
pengertian batas minimal yang dapat diartikan :7
a. Suatu jumlah alat bukti yang sah yang paling sedikit harus terpenuhi agar alat
bukti itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran
yang didalilkan atau dikemukakan;
b. Apabila alat bukti yang diajukan di persidangan tidak mencapai batas
minimal, alat bukti itu tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang
cukup untuk membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan
yang dikemukakan.
Patokan menentukan batas minimal, tidak ditentukan pada faktor kuantitas akan
tetapi ditentukan pada faktor kualitas, sebagai contoh adalah dalam suatu perkara
perdata, pihak Penggugat menghadirkan saksi sejumlah 100 (seratus) orang, akan tetapi
selama persidangan, saksi yang benar-benar mengetahui mengenai sengketa perkara
antara Penggugat dengan Tergugat hanya 1 (satu) orang saksi, maka hakim dapat
mengabaikan keterangan dari 99 (sembilan puluh sembilan) orang saksi lainnya.
Sehingga, dalam perkara perdata di dalam hal pembuktian, peranan hakim justru
mengemuka dalam arti hakim yang akan menilai kualitas dari pembuktian yang
dilakukan oleh para pihak, apakah pembuktian yang diberikan benar-benar memiliki
kualitas sebagai alat bukti atau tidak.

7
Loc. cit, h.539 ;

7
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkara perdata akan lebih banyak
melibatkan alat bukti berupa surat, yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Akta Otentik;
b. Akta Bawah tangan dan;
c. Akta Sepihak atau pengakuan sepihak;
B. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti
Sebelum membahas mengenai informasi elektronik dan dokumen elektronik,
maka terlebih dahulu perlu diketahui Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang khusus mengatur
mengenai pelaksanaan informasi dan dokumen secara elektronik, termasuk di dalamnya
mengatur mengenai pengelolaan alat bukti yang bersifat elektronik.
1. Pengertian Informasi Elektronik
Mengenai Informasi Elektronik. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa;
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data eletktronik,
termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki
arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Sebelum mengetahui mengenai arti dari Dokumen Elektronik, kita perlu


memahami pengertian dari computer crime dan computer related crime. Keduanya
merupakan istilah yang serupa namun tak sama, computer crime (kejahatan komputer)
adalah kejahatan yang menggunakan komputer sebagai alat utama untuk melakukan
aksi kejahatannya, misalnya defacement (pengubahan halaman-halaman suatu situs
secara ilegal), denial distributed of service (membuat suatu sistem tidak berjalan atau
tidak berfungsi sebagaimana mestinya setelah dibanjiri data oleh sekian banyak
komputer yang telah terinfeksi dan menjadi reboot network), keylogging (merekam
setiap aktivitas pengetikan di keyboard dan aplikasi yang tertampil di layar), identity
theft (pencurian data-data penting dari orang-orang yang menjadi target), intrusion
(masuk secara ilegal ke dalam suatu sistem) dan masih banyak lainnya, sedangkan
computer related crime (kejahatan terkait komputer) adalah segala macam kejahatan
tradisional seperti pencurian, pornografi, perampokan, pembunuhan, korupsi, narkotika

8
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.

dan lain sebagainya yang dalam kejahatan tersebut terdapat barang bukti berupa alat
elektronik seperti handphone dan komputer yang digunakan oleh pelaku untuk saling
berkomunikasi atau menyimpan data yang berkaitan dengan perencanaan, proses dan
hasil kejahatannya.8
2. Arti Dokumen Elektronik
Setelah mengetahui pengertian dari informasi elektronik, maka perlu pula kita
mengetahui arti dari dokumen elektronik. Dokumen elektronik adalah sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 yang menyebutkan :
dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang dapat dilihat,
ditampilkan dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Eletktronik
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan,
foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi
yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya.

Meskipun merupakan hal yang baru akan tetapi di ranah hukum pidana,
penggunaan informasi elektronik sudah diterapkan khususnya di dalam ketentuan Pasal
26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang menyebutkan Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : 1.
alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan 2. dokumen, yakni
setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi
yang memiliki makna. Lebih lanjut dalam penjelasan disebutkan yang dimaksud dengan
disimpan secara elektronik misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact
Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM).
Sedangkan yang dimaksud dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dalam ayat

8
Muhammad Nuh Al-Azhar, Digital Forensik (Panduan Praktis Investigasi Komputer), Penerbit
Salemba Infotek, Tahun 2012 h.7 ;

9
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18

ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat
elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.9 Dari hal-hal yang sering mencuat
dalam penanganan tidak pidana korupsi yang sering melibatkan informasi elektronik,
kemudian penggunaan informasi elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan di
dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang menyebutkan :
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya
merupakan alat bukti yang sah;
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti
yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia;Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini;
(3) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk :
a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;
b. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk Akta Notaris atau Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta.
Perkembangan teknologi pada saat ini telah memberikan nuansa baru di bidang
pembuktian di persidangan. Alat bukti yang diajukan di persidangan, pada saat ini, tidak
hanya terbatas pada alat bukti surat, bukti saksi, namun juga telah merambah kepada
penggunaan alat bukti berupa dokumen digital, baik berupa cakram (CD, VCD, DVD)
maupun dalam bukti lain berupa tulisan-tulisan di media sosial dan alat elektronik
lainnya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika sendiri telah menggolongkan bukti
digital yang mengacu kepada Scientific Working Group on Digital Evidence, Tahun
1999, yaitu antara lain :10

9
https://sektiekaguntoro.wordpress.com/2014/05/17/informasi-elektronik-dan-dokumen-
elektronik-sebagai-perluasan-alat-bukti-dalam-perkara-pidana/, diakses tanggal 16 Februari 2015 ;
10
Tutorial Interaktif Instalasi Komputer Forensik (Menggunakan Aplikasi Open Source),
Direktorat Keamanan Informasi, Direktorat Jenderal Aplikasi Informasi, Kementerian Komunikasi dan
Informatika, Tahun 2012, h.3 ;

10
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.

a. E-mail, alamat E-mail (surat elektronik) ;


b. File word processor / Spreedsheet ;
c. Source code perangkat lunak ;
d. File berbentuk image (jpeg, tip, dll) ;
e. Web browser bookmarks, cookies ;
f. Kalender, to do list.
3. Syarat Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti
Muhammad Neil El Himam menyebutkan bahwa Alat Bukti Digital dapat
bersumber pada :11
1) Komputer, yang terdiri dari :
a) E-mail ;
b) Gambar digital ;
c) Dokumen elektronik ;
d) Spreadsheets ;
e) Log chat ;
f) Software ilegal dan materi Haki lainnya ;
2) Hard disk, yang terdiri dari :
a) Files, baik yang aktif, dihapus maupun berupa fragmen ;
b) Metadata file ;
c) Slack file ;
d) Swap file ;
e) Informasi sistem, yang terdiri dari registry, log dan data konfigurasi ;
3) Sumber lain, yang terdiri dari :
a) Telepon seluler, yaitu berupa SMS, nomor yang dipanggil, panggilan
masuk, nomor kartu kredit / debit, alamat e-mail, nomor call forwarding ;
b) PDAs / smart phones, yang terdiri dari semua yang tercantum dalam
telepon seluler ditambah kontak, eta, gambar, password, dokumen dan
lain-lain ;
4) Video game ;
5) GPS device yang berisikan Rute ;

11
Muhammad Neil el Himam, Pemeriksaan Alat Bukti Digital dalam Proses Pembuktian,
Makalah disampaikan pada Seminar tentang Digital Forensik, Semarang, 24 Oktober 2012 ;

11
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18

6) Kamera digital, yang berisikan foto, video dan informasi lain yang mungkin
tersimpan dalam memory card (SD, CF dll).
Walau demikian, karena menurut sifatnya alamiahnya bukti digital sangat tidak
konsisten, maka bukti digital tidak dapat langsung dijadikan alat bukti untuk proses
persidangan, sehingga dibutuhkan standar agar bukti digital dapat digunakan sebagai
alat bukti di persidangan, yaitu :12
1. Dapat diterima, yaitu data harus mampu diterima dan digunakan demi hukum
mulai dari kepentingan penyelidikan sampai dengan kepentingan pengadilan ;
2. Asli, yaitu bukti tersebut harus berhubungan dengan kejadian / kasus yang
terjadi dan bukan rekayasa ;
3. Lengkap, yaitu bukti dapat dikatakan bagus dan lengkap jika di dalamnya
terdapat banyak petunjuk yang dapat membantu investigasi ;
4. Dapat dipercaya, yaitu bukti dapat mengatakan hal yang terjadi di
belakangnya, jika bukti tersebut dapat dipercaya, maka proses investigasi
akan lebih mudah, dan syarat ini merupakan suatu keharusan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik sendiri mensyaratkan persyaratan minimum sebagai berikut :13
1. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan;
2. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan
keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik
tersebut ;
3. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan
sistem elektronik tersebut ;
4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa,
informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan
dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan,
dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Kemudian, di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, disebutkan dalam syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4)
UU ITE, yaitu bahwa informasi atau dokumen elektronik bukanlah dokumen atau surat

12
Loc.cit, hal.3 ;
13
http://arijuliano.blogspot.com/2008/04/apakah-dokumen-elektronik-dapat-menjadi.html,
diakses tanggal 24 Februari 2015 ;

12
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.

yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Syarat materiil diatur
dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya informasi dan
dokumen elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan
ketersediaannya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materiil yang dimaksud,
dalam banyak hal dibutuhkan digital forensic. (Sitompul, 2012).14
Berkaitan dengan digital forensic, merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan
supaya dokumen elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti dari mulai penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan persidangan, maupun dalam proses persidangan perdata.
Tanpa melalui digital forensic, maka suatu dokumen elektronik tidak dapat digunakan
sebagai alat bukti karena tidak dapat dijamin kesahihan dari dokumen elektronik
tersebut.
4. Digital Forensik
Walaupun sebagai Hakim kita tidak harus menguasai secara mendalam
mengenai digital forensic, namun setidaknya kita mengetahui pengertian, fungsi dan
cara kerja dari digital forensic. Harus dipahami pula, bahwa sebagaimana manusia,
sistem komputerisasi di dunia juga tidak ada yang sempurna (no system is perfect), yang
dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat pemahaman ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang komputer, maka akan semakin mudah pelaku kejahatan mencari
kelemahan-kelemahan dari suatu sistem elektronik maupun non elektronik.15
Digital forensic dapat diartikan sebagai satu bidang spesialisasi ilmu pengetahuan
dan teknologi komputer yang memiliki posisi signifikan untuk melakukan investigasi
kasus-kasus computer crime dan / atau computer related crime. 16 Digital forensic
diperlukan sebagai sarana mengaplikasikan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan,
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat
(4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau
asli, Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik yang dianggap
sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan
sehingga menerangkan suatu keadaan.

14
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5461/syarat-dan-kekuatan-hukum-alat-bukti-
elektronik, di akses tanggal 24 Februari 2015 ;
15
Muhammad Nuh Al-Azhar, Op.Cit. h.17 ;
16
Loc.Cit., h.12 ;

13
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18

Dalam penjelasan Pasal 6 menyebutkan :


Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan / atau dokumen
yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi
dan / atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk
media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli
dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem
Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang
mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dengan
aslinya.
Perlu pemahaman mengenai dasar-dasar di dalam melakukan digital forensic sehingga
dapat diperoleh keyakinan bahwa suatu informasi elektronik dan / atau dokumen
elektronik benar-benar dapat dipercaya sebagai alat bukti, utamanya sebagai alat bukti
di persidangan.
5. Tahapan Singkat Digital Forensik
Salah satu tugas dari Hakim adalah menilai alat bukti yang diajukan di
persidangan, baik itu persidangan perkara pidana maupun perkara perdata. Diperlukan
kecermatan dan kehati-hatian di dalam menilai alat bukti yang diajukan di persidangan,
terutama alat bukti yang berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik,
sehingga kita mendapatkan keyakinan bahwa alat bukti berupa informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang diajukan di persidangan merupakan alat bukti yang
dapat dipergunakan untuk membuktikan suatu keadaan dari suatu perkara.
Pada dasarnya untuk melakukan digital forensic dibutuhkan suatu pendidikan dan
pelatihan khusus yang menghasilkan sertifikasi dari setiap orang yang mengikuti
pendidikan dan pelatihan digital forensic tersebut. Tidak setiap orang yang mengerti
dan ahli di bidang komputer dapat diandalkan dan atau dapat melakukan digital forensic
dan di dalam persidangan pun, apabila diajukan ahli yang akan menerangkan mengenai
digital forensic, harus terlebih dahulu ditanyakan mengenai catatan akademiknya yang
harus berkaitan dengan ilmu komputer dan sertifikasi dari ahli yang bersangkutan,
apabila ahli tersebut tidak memiliki catatan akademik yang berkaitan dengan ilmu
komputer dan memiliki sertifikasi tentang digital forensic, maka pendapat yang
disampaikan di persidangan, patut dikesampingkan.
Harus pula dipahami, meskipun aplikasi tools mengenai digital forensic dapat
diperoleh dengan melakukan download dari situs-situs di internet, akan tetapi terhadap
seseorang yang akan dijadikan ahli di persidangan, tetap haruslah orang yang memiliki

14
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.

sertifikasi tentang digital forensic. Mengenai sertifikasi tentang digital forensic sendiri,
untuk di Indonesia, sampai saat ini baru dapat diperoleh dari pelatihan digital forensic
yang dilakukan oleh Mabes Polri, selain itu hanya bisa didapatkan dari pelatihan yang
diadakan di luar negeri seperti di Inggris atau Amerika Serikat.
Di dalam digital forensic, terdapat 3 (tiga) tahap dasar yang harus dilakukan oleh
orang yang melakukan digital forensic. 3 (tiga) tahap tersebut adalah :
1) Write protect, yang dapat diartikan sebagai mengunci data asal dari informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik sebelum melakukan digital forensic.
Write protect dilakukan agar data asal yang akan dilakukan digital forensic
tidak mengalami perubahan, baik itu penambahan, pengurangan maupun
penghapusan data ;
2) Forensic imaging, yang dapat diartikan sebagai tindakan untuk mendapatkan
data yang serupa dari data asal atau dikenal dengan istilah clonning. Forensic
imaging ini dilakukan terhadap data asal yang sudah di write protect, dari
forensic imaging ini akan didapatkan data yang identik dengan data asal yang
disebut image file. Di Kepolisian RI sendiri terdapat Peraturan Kapuslabfor
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Standar Operating Proceedur (SOP) dalam
melakukan forensic imaging ;
3) Verifiying, yang dapat diartikan sebagai tahapan untuk menilai hasil dari
forensic imaging, yaitu data yang di clonning harus identik dengan data asal.
Untuk mengetahui identik atau tidak identik, dapat dilihat dari nilai hash dari
image file.
Dari ketiga tahapan tersebut, maka di dalam persidangan, Hakim dapat
menanyakan kepada ahli mengenai tahapan dari digital forensic yang dilakukan selama
proses penyelidikan dan penyidikan. Apabila ahli yang dihadirkan di dalam
menjalankan digital forensic tidak melalui ketiga tahapan tersebut, maka keterangan
ahli tersebut harus dikesampingkan karena pelaksanaan digital forensic tidak sesuai
dengan tahapan yang seharusnya karena apabila digital forensic tidak dilakukan dengan
mengikuti ketiga tahapan tersebut di atas, hasil data image file yang tidak identik
dengan data asal karena dimungkinkan terjadi penambahan, pengurangan atau
penghapusan data asal. Apabila dalam persidangan terungkap fakta bahwa data asli
sudah terhapus, maka perlu dipertanyakan pula apakah ahli digital forensic telah

15
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18

melakukan tahapan mencari data asal yang sudah terhapus tersebut atau dikenal dengan
istilah data file recovery, sebelum melakukan 3 tahapan digital forensic sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya.
Ketika di dalam persidangan terdapat alat bukti berupa informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang didalilkan telah melalui tahapan digital forensic
namun ternyata data image file yang diajukan tidak identik dengan data asal, maka
Hakim harus mengesampingkan alat bukti tersebut.
III. KESIMPULAN
Apabila informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diajukan di
persidangan merupakan data image file yang identik dengan data asal, maka informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti
yang sah untuk membuktikan suatu perkara, baik pidana maupun perdata. Di
persidangan perkara pidana, alat bukti berupa informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik, bisa berdiri sendiri sebagai alat bukti sebagaimana tercantum dalam Pasal 5
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 atau bisa juga merupakan alat bukti surat
ataupun petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Demikian juga
dalam persidangan perkara perdata, alat bukti berupa informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik, bisa berdiri sendiri sebagai alat bukti atau bisa sebagai alat bukti
petunjuk untuk memperkuat alat bukti surat dan keterangan saksi.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Al-Azhar, Muhammad Nuh. Digital Forensik (Panduan Praktis Investigasi Komputer).
Jakarta: Salemba Infotek, 2012.
Direktorat Keamanan Informasi Direktorat Jenderal Aplikasi Informasi. Tutorial
Interaktif Instalasi Komputer Forensik (Menggunakan Aplikasi Open Source).
Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2012.
Guntoro, Sekti Eka. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik sebagai Perluasan
Alat Bukti dalam Perkara Pidana. Mei 17, 2014.
http://sektiekaguntoro.wordpress.com/2014/05/17/informasi-elektronik-dan-
dokumen-elektronik-sebagai-perluasan-alat-bukti-dalam-perkara-pidana (di
akses Februari 16, 2015).
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

16
Penggunaan Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
sebagai Alat Bukti Persidangan - Santhos Wachjoe P.

. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang


Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika,
2000.
Himam, Muhammad Neil el. "Makalah tentang Pemeriksaan Alat Bukti Digital dalam
Proses Pembuktian." Makalah disampaikan dalam Seminar Digital Forensik.
Semarang, 24 Oktober 2012.
Hukum Online. Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik. Februari 24,
2015.http://www.hukumonline.com/klinik/detail/c15461/syarat-dan-kekuatan-
hukum-alat-bukti-elektronik (di akses Februari 24, 2015).
Juliano, Ari.Apakah Dokumen Elektronik dapat Menjadi Alat Bukti yang Sah. 04 2008.
http://arijuliano.blogspot.com/2008/04/apakah-dokumen-elektronik-dapat-
menjadi.html (di akses Februari 24, 2015).

17
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 1-18

18
KAJIAN KRITIS KETENTUAN
WAKTU TUNGGU (IDDAH) DALAM RUU HMPA
BIDANG PERKAWINAN

THE CRITICAL STUDY OF WAITING PERIOD REGULATION


ON THE BILL OF THE RELIGIOUS COURTS MATERIAL LAW
MARRIAGE MATTERS

MUHAMAD ISNA WAHYUDI


Pengadilan Agama Badung
Jl. Raya Sempidi No. 1 Mengwi Badung Bali
Email : isnawahyudi@gmail.com

ABSTRAK
Terdapat beberapa ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil
Peradilan Agama bidang Perkawinan yang perlu dirumuskan sesuai dengan kondisi saat
ini. Dengan cara tersebut, hukum perkawinan Islam di Indonesia akan progresif dan tidak
diskriminatif terhadap kaum perempuan. Artikel ini adalah kelanjutan dari artikel yang
berjudul Menuju Hukum Perkawinan Islam Progresif, yang terbit dalam Jurnal Hukum
dan Peradilan, volume 3, nomor 1, Maret 2014. Dalam artikel ini penulis mencoba
menawarkan pembacaan ulang terhadap ketentuan waktu tunggu (iddah) yang sesuai
dengan konteks saat ini. Sebagai hasilnya, ketentuan waktu tunggu seharusnya mengikat
baik kepada janda maupun duda.

Kata kunci : iddah, seks, gender, kesetaraan

ABSTRACT
There are some provisions of Bill on the Religious Courts Material Law on marriage
that need to be formulated in accordance with the current conditions. In this way, the
Islamic Marriage Law in Indonesia will become progressive and not discriminative
against women. This article is the continuation of the article entitled Menuju Hukum
Perkawinan Islam Progresif which is published in Jurnal Hukum dan Peradilan volume
3, number 1, March 2014. In this article, the author tries to offer reinterpretation on the
provision of waiting period (iddah) in accordance with the current context. As the result,
the waiting period should bind both widow and widower.

Keywords : waiting period, sex, gender, equality

19
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34

I. PENDAHULUAN
Seperti kita ketahui selama ini, iddah hanya berlaku bagi perempuan dan tidak
bagi laki-laki, bahkan menjalankan iddah bagi perempuan dianggap sebagai termasuk
ibadah sehingga terbatas bagi rasionalisasi dan penjelasan. Pemahaman bahwa iddah
hanya berlaku bagi perempuan tersebut tampaknya juga didukung oleh bunyi redaksi
ayat-ayat Al-Quran tentang iddah.1
Ketentuan iddah yang hanya berlaku mengikat bagi kaum perempuan tersebut
tentu mengundang kritik sebagai ketentuan yang diskriminatif. Dalam iddah karena
perceraian, misalnya, bagaimana perasaan seorang istri yang dicerai yang harus
menjalankan iddah, sementara pada saat yang sama suaminya melangsungkan akad
nikah dengan perempuan lain? Begitu juga dalam iddah karena kematian ketika seorang
istri harus menjalankan iddah untuk menunjukkan sikap berkabung atas kematian
suaminya, sementara tidak ada kewajiban yang sama bagi suami ketika istrinya
meninggal. Apakah dalam hal ini istri bukanlah manusia sehingga suami tidak perlu
berkabung ketika istrinya meninggal?
Sebagai kelanjutan dari artikel yang berjudul Menuju Hukum Perkawinan Islam
Progresif, dalam artikel ini penulis mencoba menawarkan pembacaan ulang terhadap
ketentuan iddah sebagaimana yang diatur dalam RUU HMPA (Rancangan Undang-
Undang Hukum Materiil Peradilan Agama) Bidang Perkawinan.
II. PEMBAHASAN
A. Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah) Dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan
Di dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan, ketentuan mengenai waktu tunggu
(iddah) diatur dalam Pasal 123 dan Pasal 124, yang hanya berlaku bagi janda, dan tidak
berlaku bagi duda.
Pasal 123 terdiri dari empat ayat dan Pasal 124 terdiri dari satu ayat. Rumusan
Pasal 123 adalah sebagai berikut:
1. Waktu tunggu atau idah berlaku bagi janda yang perkawinannya putus kecuali
perceraian qabladdukuul (sebelum hubungan badan).

1
Q.S. 2: 228, 234; 65: 4, 33: 49.

20
Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah)
dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan - Muhamad Isna Wahyudi

2. Waktu tunggu janda ditentukan sebagai berikut:


a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130
(seratus tiga puluh) hari terhitung sejak kematian suami.Apabila perkawinan
putus karena perceraian dan putusan Pengadilan, waktu tunggu janda yang masih
haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari, dan janda yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari,
terhitung sejak:
1) Diucapkannya ikrar talak dalam hal perkawinan putus karena cerai talak,
atau;
2) Putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal
perkawinan putus karena cerai gugat dan karena putusan pengadilan;
b. apabila perkawinan putus karena perceraian atau karena kematian, sedang janda
tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai kelahiran
anaknya.
3. Waktu tunggu bagi istri yang masih dalam usia haid sedang pada waktu
menjalani idah tidak haid karena menyusui, maka idahnya tiga bulan (90 hari).
4. Dalam hal janda yang masih usia haid menjalani idah tidak haid bukan karena
menyusui, maka idahnya satu tahun, akan tetapi apabila ia berhaid kembali
dalam waktu tersebut, maka idahnya menjadi tiga kali waktu suci.

Rumusan Pasal 124 adalah sebagai berikut:


Apabila bekas suami meninggal dalam waktu idah talak raji
sebagaimana dimaksud Pasal 123 ayat 2 huruf b, ayat 3 dan ayat 4, maka
idah janda berubah menjadi 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari terhitung
sejak kematian bekas suami.
B. Telaah Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah) Dalam RUU HMPA
Bidang Perkawinan
Kewajiban iddah yang hanya mengikat bagi perempuan sebenarnya dapat
dipahami sebagai legal-spesifik, yaitu ajaran khusus terhadap situasi khusus, yang bersifat
temporal. Dalam pengertian bahwa karena pada saat itu budaya patriarki mendominasi di
dalam masyarakat Arabia, maka iddah hanya berlaku bagi perempuan dan tidak bagi

21
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34

laki-laki. Karena jika tidak demikian, ajaran Al-Quran akan sulit untuk dapat diterima
oleh masyarakat Arabia pada saat itu.
Ketika melembagakan iddah, Al-Quran tidak dapat begitu saja keluar dari
konteks yang ada pada saat pewahyuan, yaitu budaya patriarki. Hal ini dapat dijelaskan
dengan sebuah contoh mengenai status perempuan di dalam masyarakat Arabia. Ketika
menjelaskan sabab an-nuzul Q.S. 4: 34, seluruh mufassir klasik seperti Tabari,
Fakhruddin Razi dan yang lainnya berpendapat bahwa Nabi mengizinkan Habibah binti
Zaid untuk membalas suaminya yang telah menamparnya secara tidak adil, tetapi dalam
pandangan etika sosial yang sedang berlaku, sikap Nabi SAW. tersebut telah
menimbulkan kegelisahan di antara kaum laki-laki, dan Al-Quran merevisi keputusan
Nabi SAW.2
Al-Quran melalui sejumlah ayat secara tegas menyatakan bahwa kedudukan
antara laki-laki dan perempuan adalah setara.3 Misalnya bahwa para istri adalah pakaian
bagi para suami dan para suami adalah pakaian bagi para istri (Q.S. 2: 187), laki-laki dan
perempuan berasal dari asal yang sama (Q.S. 4: 1, 39: 13), Adam dan Hawa sama-sama
terlibat dalam drama kosmis (peristiwa yang menyebabkan jatuhnya Adam dan Hawa dari
surga ke bumi), yang ditunjukkan dengan penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma)
dalam berbagai ayat (Q.S. 2: 35; 7: 20, 22), laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai
hamba (Q.S. 51: 61) dan khalifah di bumi (Q.S. 6: 165), laki-laki dan perempuan setara
dalam hal amal dan ganjarannya, serta sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi (Q.S.
3: 195; 4: 32, 124; 9: 72; 16: 97; 33: 35-6; 40: 40). Perbedaan kedudukan manusia di
hadapan Tuhan hanyalah kadar ketakwaan mereka (Q.S. 39: 13).
Kelebihan-kelebihan yang diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai
anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih ketika ayat-ayat Al-
Quran diturunkan, seperti seorang suami setingkat lebih tinggi di atas istri (Q.S. 2: 228),
laki-laki pelindung bagi perempuan (Q.S. 4: 34), memperoleh bagian warisan lebih
banyak (Q.S. 4: 11), menjadi saksi yang efektif (Q.S. 2: 282), dan diperbolehkan
berpoligami bagi yang memenuhi syarat (Q.S. 4: 3) tidak menyebabkan laki-laki menjadi

2
Asghar Ali Engineer, Islam, Women, and Gender Justice, dalam Islamic Millenium Journal,
Vol. I, No. 1 (2001), hlm. 120.
3
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, cet. I (Jakarta:
Paramadina, 1999), hlm. 247-65. Lihat juga Khoiruddin Nasution, FazlurRahman tentang Wanita, cet. I
(Yogyakarta: Tazzafa dengan ACAdeMIA, 2002), hlm. 22-37.

22
Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah)
dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan - Muhamad Isna Wahyudi

hamba-hamba utama.4 Al-Quran tidak pernah menyatakan bahwa laki-laki, baik dalam
kapasitas biologisnya sebagai laki-laki, atau dalam kapasitas sosialnya sebagai ayah,
suami, atau penafsir kitab suci, lebih mampu dari perempuan dalam mencapai tingkat
ketakwaan atau melaksanakan ajaran agama.5
Berbagai ayat yang menjelaskan tentang kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan tersebut merupakan ayat-ayat yang mengandung prinsip umum dan berlaku
secara universal, di sepanjang waktu dan di seluruh tempat. Pandangan Al-Quran
mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tersebut adalah untuk mewujudkan
keadilan dalam pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Keadilan dalam hal ini
dapat dipahami sebagai ideal moral.6 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
seharusnya iddah berlaku mengikat baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan.
Di sinilah perlu dilakukan kontekstualisasi ajaran Al-Quran tentang iddah.
Kontekstualisasi ajaran Al-Quran penting untuk memahami alasan logis
pewahyuannya dan untuk membedakan ajaran-ajaran universalnya dari ajaran-ajaran
spesifiknya, sehingga dapat terhindar dari bentuk pembacaan yang menindas perempuan.7
Kontekstualisasi diharapkan dapat menemukan ajaran yang sejati, orisinal dan memadai
dengan situasi yang dihadapi saat ini.8 Sebelum melakukan kontekstualisasi iddah, perlu
dijelaskan bagaimana konteks yang ada saat ini. Setidaknya terdapat dua hal yang
mencirikan konteks saat ini, yang menuntut suatu pembaruan terhadap konsep iddah.
Pertama, saat ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya
dalam bidang kedokteran telah memungkinkan untuk mengetahui kehamilan dalam
waktu yang relatif singkat dengan hasil yang cukup akurat. Kedua, sekarang ini persoalan
gender merupakan fenomena yang meluas dan cukup menyerap perhatian dan sorotan

4
Umar, Argumen, hlm. 249.
5
Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Perempuan, terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 254.
6
Menurut Rahman, ajaran dasar Al-Quran menekankan pada keadilan sosial-ekonomi dan
kesetaraan di antara manusia. Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Tranformation of an Intellectual
Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hlm. 19. Di tempat lain Rahman juga
menyatakan bahwa ajaran dasar al-Quran adalah moral, yang darinya mengalir penekanan pada monoteis
dan keadilan sosial. Fazlur Rahman, Islam, 2nd edition (Chicago & London: The University of Chicago
Press, 1979), hlm. 32.
7
Barlas, Cara Al-Quran, hlm. 293.
8
Hamim Ilyas, Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Gender dan Islam, dalam Siti Ruhaini
Dzuhayatin dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, cet.I (Yogyakarta:
PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-ICHIEP dan Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 170, 180.

23
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34

banyak kalangan. Dari mulai aktivis perempuan, akademisi, intelektual, ulama, kaum
profesional, dan bahkan hingga kaum lelaki dan masyarakat pada umumnya. Seiring
dengan semakin majunya cara berpikir dan perilaku manusia, maka semakin menggema
dan dahsyatnya suara-suara yang menggugat berbagai ketidakadilan gender yang dialami
oleh kaum perempuan selama ini, baik dalam sektor domestik maupun sektor publik.9
Di Indonesia, perjuangan isu ketidakadilan gender oleh gerakan feminisme,
menurut Fakih, dapat dibagi dalam tiga dasawarsa tahapan. Dasawarsa pertama adalah
tahapan pelecehan. Selama 1975-1985 hampir semua aktivis LSM menganggap
masalah gender bukan menjadi masalah penting, bahkan banyak yang melakukan
pelecehan. Periode dasawarsa kedua adalah 1985-1995. Dasawarsa tersebut pada
dasarnya merupakan dasawarsa pengenalan dan pemahaman tentang apa yang dimaksud
analisis gender dan mengapa gender menjadi maslah pembangunan. Pada dasawarsa
kedua ini muncul tantangan dari pemikiran dan tafsir keagamaan yang patriarki, sehingga
diperlukan berbagai kajian terhadap ajaran-ajaran agama yang bias gender. Adapun
periode dasawarsa selanjutnya berupaya mengintegrasikan gender ke dalam seluruh
kebijakan dan program berbagai organisasi dan lembaga pendidikan, serta melakukan
advokasi keadilan gender terhadap substansi, kultur, maupun struktur hukum yang tidak
adil menurut perspektif gender.10
Selain itu, perlu diketahui bahwa sejak 1984, Indonesia telah meratifikasi
CEDAW11 (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women) melalui Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984, pada tanggal 24 Juli 1984 dan
diundangkan melalui Lembaran Negara RI No. 29 Tahun 1984 serta penjelasannya dalam
Tambahan Lembaran Negara RI No. 3277.12 Sebagai konsekuensinya, terdapat tuntutan

9
Syarif Hidayatullah, Gender and Religion: An Islamic Perspective, Al-Jamiah, Vol. 39, No. 2
(2001), hlm. 324-5.
10
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, cet. IX (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), hlm. 160-4.
11
CEDAW merupakan puncak dari usaha-usaha untuk mengembangkan peraturan hukum
internasional anti-diskriminasi atas dasar jenis kelamin. CEDAW diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada
18 Desember 1979 dan diberlakukan pada 3 September 1981. Sejak Februari 1998, konvensi tersebut telah
mendapatkan 97 tanda tangan dan 161 ratifikasi. Shaheen Sardar Ali, Gender and Human Rights in Islam
and International Law: Equal before Allah, Unequal Before Man? (The Hague/London/Boston: Kluwer
Law International, 2000), hlm. 212.
12
Nur Said, Perempuan Dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia, cet. I (Yogyakarta: Pilar
Media, 2005), hlm. 77.

24
Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah)
dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan - Muhamad Isna Wahyudi

bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan koreksi terhadap berbagai peraturan


perundang-undangan yang telah ada, jika terbukti diskriminatif terhadap perempuan.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana merespon kedua fenomena
di atas dalam hubungannya dengan iddah? Terkait dengan fenomena yang pertama, yaitu
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, khususnya dalam bidang
kedokteran, yang memungkinkan untuk mengetahui kehamilan dalam waktu yang relatif
singkat dan dengan hasil yang cukup akurat, maka tujuan iddah untuk mengetahui
kebersihan rahim tampaknya tidak dapat dipertahankan lagi.
Sebenarnya maksud dari tujuan iddah untuk mengetahui kehamilan adalah
menetapkan garis keturunan anak yang dikandung, yaitu menetapkan ayah dari anak
tersebut. Dalam hal ini iddah memiliki peran yang penting dalam menjaga garis
keturunan. Karena jika tidak ada kewajiban iddah, maka tidak mungkin, dalam kasus
seorang perempuan yang menikah dalam beberapa hari pasca berpisah dengan suaminya
yang pertama, untuk menentukan siapa ayah dari anak yang kemudian dikandungnya.
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekarang ini
penentuan ayah seorang anak juga dapat dilakukan melalui tes DNA (Deoxirybo Nucleic
Acid), bahkan pelacakan asal-usul keturunan melalui tes DNA ini dapat dijadikan sebagai
alat bukti primer.13 Hal demikian tentu membawa implikasi hukum, khususnya bagi yang
berpendapat bahwa illat hukum yang mewajibkan iddah adalah untuk mengetahui
kebersihan rahim. Karena illat hukum yang mewajibkan iddah sudah tergantikan oleh
kecanggihan teknologi yang memungkinkan untuk mendeteksi kehamilan secara akurat,
maka secara otomatis ketentuan iddah tidak berlaku lagi. Namun demikian, masih ada
beberapa pertimbangan penting yang perlu direnungkan untuk tetap mempertahankan
kewajiban iddah.
Kewajiban iddah sesungguhnya juga dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan kepada perempuan pasca perceraian. Pertama, iddah memainkan peran
yang penting sekali dalam menjaga kehormatan dan kredibilitas seorang perempuan. Hal

13
DNA merupakan persenyawaan kimia yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya
atau dari makhluk dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di dalam DNA terdapat
informasi keturunan suatu makhluk hidup yang akan mengatur program keturunan selanjutnya. DNA terdiri
dari tiga macam molekul: gula pentosa, asam pospat, dan basa nitrogen. Taufiqul Hulam, Reaktualisasi
Alat Bukti Tes DNA Perspektif hukum Islam dan Hukum Positif, cet. I (Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm.
88-9.

25
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34

ini memiliki keterkaitan dengan kewajiban bagi mutaddah untuk menjalani masa
iddahnya di rumah tempat dia tinggal bersama suaminya dahulu. Dengan menjalankan
iddah di tempat suaminya dahulu, maka dapat melindungi mutaddah dari fitnah ketika
ternyata dia hamil. Kedua, iddah ditujukan untuk menjamin kesehatan ibu dan anak. Hal
ini terkait dengan kewajiban suami untuk menjamin nafkah dan tempat tinggal istrinya
yang dicerai selama masih dalam keadaan hamil. Jelas sekali, bahwa yang demikian itu
juga dimaksudkan untuk menjamin kesehatan anak yang dikandung. Lebih jauh dari itu,
perawatan anak tidak berakhir dengan kelahiran, karena ayah masih memiliki kewajiban
untuk memberikan biaya perawatan bagi anak dan ibunya, bahkan jika ibunya telah
dicerai, sampai dia menyusui anaknya.14
Selain itu, ternyata iddah juga memiliki fungsi yang luar biasa dalam upaya
mencegah penyebaran penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks (sex-transmitted
diseases). Dalam hal ini Jamil menjelaskan:
....It is therefore logical to conclude that one of the major aims behind
making Iddah obligatory for all the cases of breakup of sexual relationship
is to prevent the spread of sex-transmitted diseases. This is a very
interesting aspect of the marriage system in Islam and needs extensive
researches which will definitely lead to important clues as to how the sex-
transmitted diseases can be controlled. This point may form a major basis
in the evolutional of succesful AIDS prevention programme....15

Adapun berkaitan dengan iddah karena kematian suami, maka tujuan iddah
dalam hal ini adalah untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami. Selain itu,
dengan iddah wafat juga dimaksudkan untuk menjaga perasaan keluarga suami yang
meninggal, sehingga tidak menimbulkan kebencian maupun fitnah di antara para pihak.
Selanjutnya dalam kasus iddah talak raji. Misi utama Al-Quran melembagakan iddah
dalam kasus talak raji adalah mendorong kedua belah pihak yang bercerai untuk
berdamai dan bersatu kembali. Iddah dalam hal ini dapat memberikan kesempatan bagi
kedua pihak yang bercerai untuk saling introspeksi diri dan memutuskan untuk bersatu
kembali atau tetap berpisah. Kewajiban suami untuk memberikan mutah bagi istri yang
dicerai selama dalam masa iddah dan kewajiban istri untuk tetap tinggal serumah dengan
suami secara jelas dimaksudkan agar kedua belah pihak dapat bersatu kembali.

14
Javed Jamil, Extraordinary Importance of Iddah in Family Health, in Islam and the Modern
Age, vol. III (2000), hlm. 118-9,120-1.
15
Ibid., hlm. 121-123.

26
Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah)
dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan - Muhamad Isna Wahyudi

Meskipun demikian, tujuan tersebut tampaknya sulit untuk diwujudkan karena


selama ini iddah hanya mengikat bagi perempuan dan tidak bagi laki-laki, sehingga laki-
laki dapat saja menikah lagi dengan perempuan lain tanpa harus menunggu masa iddah
istrinya selesai. Kondisi demikian tentu tidak kondusif bagi para pihak yang bercerai
untuk melakukan rekonsiliasi. Perlu adanya sebuah rekonstruksi terhadap konsep
keberlakuan iddah sehingga dapat berlaku mengikat kepada laki-laki dan perempuan.
Yang terpenting dari tujuan 'iddah adalah untuk mengagungkan status perkawinan
sebagai perjanjian yang kokoh (mistaqan galizan).16 Dalam arti bahwa perceraian tidak
secara langsung dapat memutuskan ikatan perkawinan, tetapi harus melalui masa iddah
terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan perkawinan adalah sebuah kontrak tetapi juga sebuah
perjanjian yang sungguh-sungguh (covenant).17
Ad-Dahlaw menjelaskan bahwa di antara tujuan iddah adalah untuk
mengagungkan kebesaran masalah perkawinan, di mana tidak ada masalah yang diatur
kecuali dengan mengumpulkan orang-orang, dan tidak diputus kecuali dengan menunggu
dalam waktu yang lama. Jika tidak, maka kedudukan perkawinan sama dengan permainan
dua orang anak kecil yang diatur, kemudian dibubarkan pada saat itu juga.18
Adapun berkaitan dengan tuntutan kesetaraan gender, persoalan yang muncul
dalam hubungannya dengan iddah adalah mengapa iddah hanya berlaku bagi
perempuan dan tidak bagi laki-laki? Untuk menjawab persoalan ini, perlu dipastikan
terlebih dahulu apakah iddah hanya berhubungan dengan seks (jenis kelamin), atau juga
berhubungan dengan gender? Oleh karena itu, sebelumnya perlu dijelaskan mengenai
perbedaan antara seks dan gender.

16
Dalam Al-Quran kata mistaqan galizan digunakan sebanyak tiga kali, pada Q.S. Al-Ahzab (33):
7; Q.S. An-Nisa (4): 154, 21. Pada surat Al-Ahzab kata mistaqan galizan digunakan untuk menunjukkan
perjanjian Allah dengan sejumlah Nabi. Sementara pada surat An-Nisa (4): 154 digunakan untuk
menunjukkan perjanjian Allah dengan orang Yahudi. Adapun pada surat An-Nisa (4): 21 digunakan untuk
menunjukkan perjanjian perkawinan. Dari ungkapan-ungkapan tersebut dapat disimpulkan bahwa kesucian
ikatan perkawinan antara suami istri mirip dengan kesucian hubungan Allah dengan para Nabi atau Rasul.
Dengan demikian, sebagai ikatan yang suci dan mulia, perkawinan seharusnya dijaga dan dipelihara dengan
sungguh-sungguh oleh suami istri. Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum
Perkawinan I) Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim, cet. I (Yogyakarta: ACADEMIA +
TAZZAFA, 2004), hlm. 22-3.
17
A.A.A Fyzee, Outlines of Muhammadan Law, fourth edition (Oxford:Oxford University
Press,1974), hlm. 88-89.
18
Syah Waliyyullah ad-Dahlawi, Hujjatullah al-Baligah (Qahirah: Dar at-Turas\, 1355 H), II: 142.
Bandingkan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Alam al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin (Bayrut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1411 H/1991 M), Jilid I, Juz II: 51.

27
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34

Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan


perempuan dari segi sosial-budaya, sedangkan seks digunakan untuk mengidentifikasi
laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis. Dalam arti bahwa gender bukan
kategori biologis yang berkaitan dengan jumlah kromosom, pola genetik, struktur genital,
melainkan merupakan konstruksi sosial dan budaya, yang bukan tidak dapat diubah.
Sementara seks merupakan kodrat Tuhan yang bersifat permanen dan tidak dapat diubah.
Permasalahan muncul ketika terdapat pencampuradukan antara gender dengan kodrat
(seks). Gender menyangkut beberapa asumsi pokok: (i) gender menyangkut kedudukan
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat; hubungan laki-laki dan perempuan terbentuk
secara sosio-kultural, dan bukan atas dasar biologis (alamiah); (ii) secara sosio-kultural,
hubungan ini mengambil bentuk dalam dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan;
(iii) pembagian kerja dan pembedaan yang bersifat sosial sering kali dinaturalisasikan
(dianggap kodrat) melalui ideologi mitos dan agama; (iv) gender menyangkut stereotip
feminin dan maskulin.19
Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak
menimbulkan persoalan. Seorang perempuan harus mengandung, melahirkan, dan
menyusui anak merupakan sesuatu yang alamiah sesuai dengan kodratnya. Persoalan baru
muncul ketika perbedaan jenis kelamin tersebut melahirkan ketidakadilan perlakuan
sosial antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan diposisikan sebagai makhluk
yang hanya boleh bekerja dalam dunia domestik dan tidak dalam dunia publik karena
dunia publik dianggap sebagai wilayah khusus bagi laki-laki.
Problem di atas telah melahirkan dua teori besar yaitu, nature dan nurture.20 Teori
pertama, nature, mengatakan bahwa perbedaan peran laki-laki dan perempuan ditentukan
oleh faktor biologis. Anatomi biologi laki-laki dengan sederet perbedaannya dengan
perempuan menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin ini.
Teori kedua, nurture, mengatakan bahwa perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan
lebih ditentukan oleh faktor budaya. Menurut teori ini, pembagian peran laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat tidak ditentukan oleh faktor biologis, tetapi sesungguhnya
dikonstruksikan oleh budaya masyarakat.

19
Nunuk P. Muniarti, Getar Gender, Buku Pertama, (Magelang: Indonesia Tera, 2004), hlm. 60.
20
Umar, Argumen, hlm. 302-4. Bandingkan Muniarti, Getar, hlm. 61.

28
Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah)
dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan - Muhamad Isna Wahyudi

Berdasarkan pada perbedaan antara seks dan gender, maupun pada teori nature
dan nurture di atas, menurut penulis, iddah pada satu sisi terkait dengan seks, tetapi
pada sisi yang lain juga terkait dengan gender. Berkaitan dengan seks karena dalam
pelaksanaannya iddah sangat memperhatikan kondisi perempuan, sudah dicampuri atau
belum, masih mengalami haid, belum haid atau bahkan sudah menopause, dalam keadaan
hamil atau tidak. Salah satu tujuan iddah, tetapi bukan satu-satunya, adalah untuk
mengetahui kebersihan rahim yang jelas-jelas sangat terkait dengan anatomi biologis
perempuan. Dalam hal ini tampak logis jika iddah hanya berlaku bagi perempuan.
Pada sisi lain, iddah juga berkaitan dengan masalah gender. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa pada masa Arabia pra-Islam terdapat norma sosial yang
mewajibkan seorang janda untuk menunggu dan berkabung selama satu tahun pasca
kematian suaminya, dengan berbagai larangan yang tidak manusiawi. Kemudian Islam
mengurangi masa satu tahun tersebut menjadi empat bulan sepuluh hari, dan menghapus
berbagai perlakuan yang tidak manusiawi. Selain itu, Islam juga mewajibkan iddah bagi
perempuan yang ditalak, yang sebelumnya tidak berlaku. Fakta historis ini secara jelas
menunjukkan bahwa sejak awal iddah berhubungan dengan gender dalam pengertian
peran yang harus dimainkan oleh pasangan pasca putusnya ikatan perkawinan. Jika
demikian, kewajiban iddah yang hanya berlaku bagi perempuan selama ini, bukanlah
suatu harga mati (kodrat) yang tidak dapat dirubah. Justru semestinya iddah mengikat
baik kepada perempuan maupun laki-laki, sehingga lebih dapat mewujudkan kesetaraan
dan keadilan gender dalam relasi antara laki-laki dan perempuan.
Adapun keberlakuan iddah yang hanya mengikat bagi perempuan selama ini
sebenarnya lebih merupakan pengaruh budaya patriarki, sehingga harus dipahami sebagai
ajaran khusus untuk situasi khusus (legal spesifik) yang bersifat temporal. Dalam konteks
budaya patriarki, perempuan memiliki kedudukan yang lebih rendah dari laki-laki dan
iddah hanya dianggap untuk mengetahui kehamilan perempuan, yang dengan demikian,
dapat membantu laki-laki mengetahui kejelasan garis keturunan ayah anak yang
dikandung, jika perempuan itu hamil.
Pertanyaan yang mungkin muncul kemudian adalah mengapa Al-Quran tidak
secara langsung mewajibkan iddah bagi laki-laki dan perempuan? Hal ini karena Al-
Quran tidak diturunkan dalam suatu masyarakat yang kosong akan norma-norma sosial.
Al-Quran diturunkan dengan latar belakang budaya patriarki masyarakat Arabia,

29
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34

sehingga tidak mungkin bagi Al-Quran untuk mengabaikan begitu saja konteks (norma-
norma sosial) yang ada dengan secara langsung mewajibkan iddah mengikat bagi laki-
laki dan perempuan. Karena dengan demikian, ajaran Al-Quran akan sulit untuk dapat
diterima oleh masyarakat Arabia pada saat itu.
Selanjutnya bagaimana dengan redaksi ayat-ayat Al-Quran yang secara jelas
hanya memerintahkan perempuan untuk beriddah? Untuk menjawab pertanyaan ini
perlu diketahui bahwa sebuah teks tidak terlepas dari tiga unsur pokok, pertama sang
pencipta bahasa (wadi), kedua, sang pengguna atau peminjam bahasa (mustamil), dan
ketiga sang pemaham dari pengguna (hamil).21 Tuhan (Allah SWT) menggunakan bahasa
Arab sebagai simbol dalam mewujudkan ide-Nya, dapat dipahami sebagai Pengguna atau
Peminjam (Mustamil/User) bahasa Arab guna membumikan ide-ide-Nya. Transformasi
setiap ide atau gagasan ke dalam suatu simbol kebahasaan, senantiasa berhadapan dengan
reduksi, distorsi, atau pengembangan, baik oleh struktur bahasa itu sendiri, maupun
struktur budaya subjektivitas pembaca. Dari segi ini dapat dikatakan bahasa Arab Al-
Quran tidak identik dengan hakikat ide Allah SWT.22 Begitu juga, dominasi laki-laki
dalam struktur bahasa Arab bukan berarti bahwa Allah SWT, Sang Pengguna ikut-ikutan
mengakui supremasi laki-laki.23
Dengan memperhatikan konteks masyarakat Arabia yang patriarki maka
pemihakan naratif Al-Quran pada kaum laki-laki bisa jadi mengungkapkan dimensi-
dimensi freudian (dorongan dan ilusi-ilusi libido) masyarakat Arabia kala itu. Jadi
pemihakan ini tidak semata metodologis, tetapi juga substansial karena yang disapa
langsung oleh Al-Quran kala itu adalah masyarakat Arabia yang didominasi oleh kaum
laki-laki.24 Selain itu, perlu dicatat bahwa salah satu karakteristik tipikal dari pengaruh
sosio-kultural terhadap Al-Quran dalam pembentukan teks adalah bahwa Al-Quran
tidak bisa keluar dari kerangka kebudayaan bangsa Arabia saat itu. Karakter dan corak
suatu teks akan senantiasa menggambarkan dan merefleksikan struktur budaya dan alam

21
Nasaruddin Umar, Metode Penelitian Berperspektif Gender tentang Literatur Islam, dalam
Dzuhayatin, Rekonstruksi, hlm. 88.
22
Idem, Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat Gender (Pendekatan Hermeneutik), dalam
Dzuhayatin, Rekonstruksi, hlm. 113.
23
Ibid.
24
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, cet. II (Jakarta: TERAJU, 2004), hlm. 22.

30
Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah)
dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan - Muhamad Isna Wahyudi

pikiran di mana ruang dan waktu teks tersebut dibentuk.25 Dapat dikatakan bahwa ayat-
ayat tentang iddah yang secara sekilas hanya mewajibkan perempuan untuk menjalankan
iddah pasca berpisah dengan suaminya, bukan berarti Allah menghendaki bahwa laki-
laki tidak perlu beriddah pasca berpisah dengan istrinya.26
Sesuai dengan situasi yang dihadapi saat ini, seperti disinggung sebelumnya,
maka iddah harus berlaku mengikat kepada perempuan dan laki-laki. Iddah tidak hanya
untuk mengetahui kehamilan, seperti yang dipahami dalam konteks budaya patriarki
sehingga hanya mengikat bagi perempuan. Apabila hanya untuk mengetahui kehamilan,
saat ini iddah tidak perlu dipertahankan lagi karena sudah dapat digantikan dengan
kecanggihan teknologi dalam mendeteksi kehamilan secara akurat dalam waktu singkat.
Pada sisi lain iddah juga bertujuan untuk menghormati status perkawinan sebagai
perjanjian yang kokoh (mistaqan galizan) dan tidak identik dengan kontrak perdata biasa,
yang mudah dibuat pada suatu saat dan mudah pula diputuskan pada saat yang sama.
Selain itu, iddah juga berfungsi sebagai masa berkabung untuk menghormati pasangan
yang meninggal maupun keluarganya, yang dengan cara ini diharapkan tidak timbul
fitnah maupun kebencian di antara para pihak.
Keberlakuan iddah yang mengikat bagi laki-laki maupun perempuan tidak hanya
ditujukan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam relasi antara laki-laki
dan perempuan, tetapi juga untuk menjadikan fungsi iddah lebih efektif, antara lain
untuk pencegahan terhadap penyakit seks menular, dan untuk mewujudkan rekonsiliasi.
Selain itu, dengan memberlakukan iddah bagi laki-laki dan perempuan berarti telah
menghapus dehumanisasi terhadap perempuan. Hal ini dapat dijelaskan dalam kasus
iddah karena perceraian maupun iddah karena kematian. Dalam iddah karena
perceraian, misalnya, bagaimana perasaan seorang istri yang dicerai yang harus
menjalankan iddah, sementara pada saat yang sama suaminya melangsungkan akad
nikah dengan perempuan lain? Begitu juga dalam iddah karena kematian ketika seorang
istri harus menjalankan iddah untuk menunjukkan sikap berkabung atas kematian
suaminya, sementara tidak ada kewajiban yang sama bagi suami ketika istrinya

25
Hilman Latif, Kritisisme Tekstual dan Relasi Intertekstualitas dalam Interpretasi Teks
Alquran, dalam Sahiron Syamsudin, dkk, Hermeneutika Alquran Mazhab Yogya, cet. I (Yogyakarta:
Islamika, 2003), hlm. 93-4.
26
Muhamad Isna Wahyudi, Iddah: Sebuah Pembacaan baru, dalam Asy-Syirah, Vol. 39, No.
1 (2005), hlm. 151.

31
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34

meninggal. Apakah dalam hal ini istri bukanlah manusia sehingga suami tidak perlu
berkabung ketika istrinya meninggal?
Mungkin ada sebagian dari orang-orang yang berasumsi bahwa iddah tidak
berlaku bagi laki-laki karena selama dalam masa iddah laki-laki berkewajiban untuk
memberikan nafkah maupun tempat tinggal bagi perempuan yang beriddah. Memang
asumsi yang demikian secara sekilas tampak dapat dibenarkan. Tetapi disadari atau tidak,
orang yang berasumsi demikian sebenarnya tidak mengalami perkembangan pemikiran
dalam memandang kedudukan perempuan. Dengan kata lain orang tersebut masih
terjebak dalam logika berpikir yang patriarkis. Mengapa demikian? Karena asumsi yang
demikian itu secara tidak langsung masih memosisikan perempuan tidak lebih dari sebuah
objek dalam perkawinan, sebagaimana yang berlaku di dalam masyarakat Arabia pada
saat pewahyuan. Dalam arti bahwa karena telah merasa membayar perempuan yang
beriddah, laki-laki merasa tidak perlu menjaga perasaan perempuan yang beriddah.
Berkaitan dengan keberlakuan iddah bagi laki-laki dan perempuan ini mungkin
muncul persoalan sehubungan dengan ukuran yang digunakan oleh laki-laki dalam
menjalankan iddah. Dalam hal ini karena ketentuan iddah disesuaikan dengan kondisi
perempuan, maka masa iddah bagi laki-laki juga menyesuaikan terhadap masa iddah
yang dijalankan oleh perempuan. Hal ini berlaku dalam kasus perkawinan yang putus
karena perceraian. Sementara dalam kasus perkawinan yang putus karena kematian, maka
iddah-nya adalah empat bulan sepuluh hari.
Selain keberlakuan iddah yang mengikat kepada pasangan suami dan istri yang
bercerai, bagi suami atau istri yang pasangannya meninggal dunia wajib berkabung
selama masa iddah wafat. Tata cara berkabung tidak seperti yang ada di dalam kitab-
kitab fikih yang terlalu berlebihan, akan tetapi disesuaikan dengan ukuran kepantasan dan
kewajaran. Selama masa berkabung baik suami maupun istri tersebut tetap dapat
melakukan kegiatan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di luar rumah.
III. KESIMPULAN
Dengan konsep iddah yang berlaku mengikat kepada laki-laki dan perempuan,
diharapkan dapat memperbaiki posisi perempuan yang selama ini identik dengan objek,
menjadi subjek yang seutuhnya dan setara dengan laki-laki dalam perkawinan. Dengan
demikian, relasi antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan yang sebelumnya
didasarkan pada hierarki, dominasi-subordinasi, dapat diperbaiki menjadi berdasarkan

32
Kajian Kritis Ketentuan Waktu Tunggu (Iddah)
dalam RUU HMPA Bidang Perkawinan - Muhamad Isna Wahyudi

hubungan kemitraan. Dalam pola hubungan yang seperti ini, akan dapat memberikan latar
belakang yang kondusif untuk mewujudkan tujuan perkawinan, yang di antaranya adalah
untuk mendapatkan ketenteraman dengan pasangan. Oleh karena itu, ketentuan mengenai
waktu tunggu dalam RUU HMPA seharusnya mengikat baik kepada janda maupun duda.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Ad- Dahlawi, Syah Waliyyullah. Hujjatullah al-Baligah. Qahirah: Dar at-Turas, 1355 H,
2 juz.

Ali, Shaheen Sardar. Gender and Human Rights in Islam and International Law: Equal
before Allah, Unequal Before Man?. The Hague/London/Boston: Kluwer Law
International, 2000.

Al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim. Alam al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin. Bayrut: Dar


al-Kutub al-Ilmiyyah, 1411 H/1991 M, 2 Jilid, 4 Juz.

Baidowi, Ahmad. Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Quran dan Para Mufasir
Kontemporer. cet. I. Bandung: Nuansa, 2005.

Barlas, Asma. Cara Quran Membebaskan Perempuan. terj. R. Cecep Lukman Yasin,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.

Dzuhayatin, Siti Ruhaini dik. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender


dalam Islam. cet.I. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-ICHIEP dan
Pustaka Pelajar, 2002.

Engineer, Asghar Ali. Islam, Women, and Gender Justice, dalam Islamic Millenium
Journal, Vol. I, No. 1 (2001).

Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. cet. IX. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.

Fyzee, A.A.A. Outlines of Muhammadan Law. fourth edition, Oxford:Oxford University


Press,1974.

Hidayat, Komaruddin. Menafsirkan Kehendak Tuhan. cet. II. Jakarta: TERAJU, 2004.

Hidayatullah, Syarif. Gender and Religion: An Islamic Perspective, Al-Jamiah, Vol.


39, No. 2 (2001).

Hulam, Taufiqul. Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA Perspektif hukum Islam dan Hukum
Positif, cet. I, Yogyakarta: UII Press, 2002.

Jamil, Javed. Extraordinary Importance of Iddah in Family Health, in Islam and the
Modern Age, vol. III (2000).

Kompilasi Hukum Islam.

33
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 19 - 34

Muniarti, A. Nunuk P., Getar Gender, Buku Pertama, Magelang: Indonesia Tera, 2004.

Nasution, Khoiruddin. FazlurRahman tentang Wanita, cet. I, Yogyakarta: Tazzafa


dengan ACAdeMIA, 2002.

___. Islam and Modernity: Tranformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The


University of Chicago Press, 1982.

___. Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I) Dilengkapi
Perbandingan UU Negara Muslim, cet. I, Yogyakarta: ACADEMIA +
TAZZAFA, 2004.

___, Fiqih Islam Sekitar Wanita, Antara Skripturalis dan Kontekstual, makalah
disampaikan dalam seminar Reading the Religious Texts and The Roots of
Fundamentalism, di hotel Saphir Jogjakarta, 13 Juni 2004, hlm. 2-13.

Rahman, Fazlur. Islam, 2nd edition, Chicago & London: The University of Chicago Press,
1979.

Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan

Said, Nur. Perempuan Dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia, cet. I,
Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Syamsudin, Sahiron, dik. Hermeneutika Alquran Mazhab Yogya, cet. I, Yogyakarta:


Islamika, 2003.

Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran, cet. I, Jakarta:


Paramadina, 1999.

Wahyudi, Muhamad Isna, Iddah: Sebuah Pembacaan baru, dalam Asy-Syirah, Vol.
39, No. 1 (2005).

34
MODEL PENYELESAIAN PERSELISIHAN PARTAI POLITIK
SECARA INTERNAL MAUPUN EKSTERNAL

THE MODEL OF POLITICAL PARTY DISPUTE SETTLEMENT


INTERNALLY AND EXTERNALLY

TRI CAHYA INDRA PERMANA


Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
Jl. A. Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Jakarta Timur 13950
Email : tricahyaindrapermana@yahoo.co.id

ABSTRAK
Undang-Undang Parpol mengatur bahwa perselisihan Parpol diselesaikan secara internal
oleh Mahkamah Partai atau sebutan lain daripada itu dan secara eksternal oleh Pengadilan
Negeri dan Mahkamah Agung. Substansi perselisihan yang final dan mengikat di
Mahkamah Partai adalah perselisihan kepengurusan, selebihnya dapat diajukan upaya
hukum ke Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Di dalam praktek, pengaturan
tersebut telah menjauhkan dari rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, oleh
karenanya sebaiknya direvisi yang mana perselisihan PAW, pelanggaran terhadap hak
anggota partai politik, penyalahgunaan wewenang, pertanggungjawaban keuangan, dan
atau keberatan terhadap keputusan partai politik (termasuk keputusan untuk tidak
memutuskan terhadap sesuatu hal) final dan mengikat dengan Putusan MPP. Sedangkan
perselisihan kepengurusan dapat diajukan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi.

Kata kunci : perselisihan parpol, mahkamah partai, Mahkamah Agung,


Mahkamah Konstitusi

ABSTRACT
Political parties act stipulates that a political party dispute resolved internally by the
Mahkamah Partai or other designation of that and externally resolved by the District
Court and the Supreme Court. The dispute substance in Mahkamah Partai which is final
and binding is about organization dispute, the other can be settled in District Court and
the Supreme Court. In practice, that arrangement makes the decision apart from the sense
of justice, legal certainty and utility. Therefore, these rules should be revised so that the
regulation of PAW, violations of the rights of members of political parties, abuse of
authority, financial liability, or an objection to the decision of political parties (including
the decision not to decide on something) is final and binding through Mahkamah Partai
decision. While the organization disputes can be submitted to the Constitutional Court
for legal action.

Keywords : political party dispute, Mahkamah Partai, Supreme Court,


Constitutional Court

35
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai sebuah organisasi politik, Partai Politik diisi oleh anggota Partai Politik
yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang yang sebagian
daripadanya memiliki kedudukan sebagai pengurus partai politik. Dalam menjalankan
kepengurusannya, pengurus partai politik mendapat kepercayaan dari anggota-anggota
partai politik untuk menentukan arah kebijakan partai yang secara garis besar dituangkan
di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai. Di samping itu, pengurus
partai juga harus mengacu pada Pancasila sebagai ideologi negara dan tunduk pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang
melingkupi tindakan partai politik yang direpresentasikan oleh pengurusnya antara lain
Undang-Undang tentang Partai Politik, Undang-Undang tentang Pemilu, Undang-
Undang tentang MD3 dan beberapa undang-undang lainnya.
Dalam menjalankan kepengurusannya, tidak bisa dihindari adanya perselisihan di
antara anggota partai politik, anggota partai politik dengan pengurus partai politik,
bahkan perselisihan di antara sesama pengurus partai politik. Mengenai jenis perselisihan
partai politik diatur di dalam Undang-Undang tentang Partai Politik, sedangkan
mekanisme Pergantian Antar Waktu anggota Dewan yang juga berpotensi menjadi
sebuah perselisihan partai politik diatur di dalam Undang-Undang tentang MD3. Menurut
Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Partai Politik disebutkan jenis-jenis
perselisihan partai politik antara lain : Perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan,
Pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, Pemecatan tanpa alasan yang jelas,
Penyalahgunaan wewenang, Pertanggungjawaban keuangan, dan atau Keberatan
terhadap keputusan partai politik.
Di samping yang disebutkan di dalam Undang-Undang Partai Politik tersebut di
atas, perselisihan partai politik juga berkembang di dalam praktek. Misalnya keberatan
terhadap kebijakan pengurus partai politik yang tidak melakukan pergantian antar waktu1
(PAW) bagi anggotanya. Keberatan ini diajukan oleh anggota partai politik yang
seharusnya menggantikan anggota parpol yang di-PAW. Keberatan semacam ini memang

1
Dalam bahasa normatifnya sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) adalah Peresmian Pemberhentian dan Peresmian
Pengangkatan Antar Waktu Anggota DPR/DPRD

36
Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik
Secara Internal Maupun Eksternal - Tri Cahya Indra Permana

tidak lazim sebab pada umumnya perselisihan terjadi karena anggota parpol di-PAW
sehingga timbul perselisihan antara anggota partai yang di PAW dengan pengurus Partai
yang melakukan PAW.
Faktor penyebabnya adalah keengganan atau setidak-tidaknya ketidaksegeraan
dari pimpinan parpol yang bersangkutan untuk mengusulkan pemberhentian sebagai
anggota Dewan meskipun misalnya anggota Dewan yang melakukan tindak pidana
tersebut telah berstatus sebagai narapidana. Dengan tidak adanya usulan pemberhentian
sebagai anggota Dewan, maka Pergantian Antar Waktunya tidak dapat diproses sehingga
setelah bebas menjalani hukuman, dikhawatirkan ia dapat menjabat kembali sebagai
anggota Dewan. Kasus yang nyata adalah sebagaimana yang menimpa Wakil Ketua
DPRD Kota Surabaya periode Tahun 2009-2014, Musyafak Rouf dari Partai Kebangkitan
Bangsa, meskipun ia telah berstatus sebagai narapidana namun pemberhentian antar
waktunya tidak segera diusulkan oleh pimpinan partai politik yang bersangkutan hingga
menjelang kebebasannya dari menjalani hukuman.
Mekanisme penyelesaian perselisihan partai politik sesungguhnya telah diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik pada Pasal 32 dan Pasal 33 yang mengatur
sebagai berikut :
Pasal 32 mengatur bahwa:
1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik
sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.
2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh suatu Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang
dibentuk oleh Partai Politik.
3) Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian.
4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari.
5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat
secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.
Pasal 33 mengatur bahwa:

37
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52

1) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32


tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan
Negeri.
2) Putusan Pengadilan Negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan
hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh Pengadilan
Negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di
kepaniteraan Pengadilan Negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah
Agung.
Meskipun Undang-Undang Partai Politik telah mengatur mekanisme penyelesaian
perselisihan Partai Politik, namun pengaturan mengenai penyelesaian perselisihan parpol
tersebut di atas mengandung kontradiksi. Hal itu ditunjukkan meskipun di dalam Pasal
32 disebutkan putusan Mahkamah Parpol bersifat final dan mengikat secara internal
namun masih membuka kemungkinan upaya hukum ke Pengadilan Negeri dan
Mahkamah Agung.
Selain di dalam normanya sudah mengandung kontradiksi, di dalam prakteknya pun
yang terjadi saat ini terjadi dualisme penyelesaian perselisihan yaitu PTUN dan Peradilan
Umum khususnya mengenai perselisihan kepengurusan dan PAW banyak yang langsung
diajukan ke pengadilan karena ketidaktahuan anggota parpol. Gugatan mengenai PAW di
PTUN tidak ditujukan kepada Pimpinan/Fungsionaris partai politik karena mereka
bukanlah pejabat tata usaha negara, akan tetapi ditujukan kepada Gubernur/Menteri
Dalam Negeri/Presiden atas Surat Keputusan tentang Peresmian Pemberhentian dan
Peresmian Pengangkatan Pergantian Antar Waktu Anggota DPR/DPRD yang
diterbitkannya, sedangkan gugatan di PN didasarkan pada perbuatan melawan hukum
berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata yang dilakukan oleh Pimpinan/Fungsionaris partai
politik.
Dalam beberapa yurisprudensi tetap putusan MA dalam perkara PAW telah
ditetapkan bahwa perselisihan parpol merupakan urusan internal partai politik sehingga
sebelum mengajukan gugatan di peradilan umum, harus ditempuh terlebih dahulu upaya
penyelesaian oleh internal partai yang bersangkutan. Artinya, Peradilan Umum baru

38
Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik
Secara Internal Maupun Eksternal - Tri Cahya Indra Permana

berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya, apabila pemberhentian sebagai anggota


parpol telah ditempuh upaya penyelesaian internal melalui parpol yang bersangkutan.
Untuk perselisihan kepengurusan, dalam kasus sengketa kepengurusan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya (Golkar), masing-masing
Mahkamah Partainya telah menjatuhkan putusan. Untuk PPP, diputus pada tanggal 11
Oktober 2014 oleh Mahkamah Syariah Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan
Pembangunan Nomor : 49/PIP/MP-DPP.PPP/2014 yang putusannya pada pokoknya
menyatakan Pengurus Harian DPP PPP periode 2011-2015 selaku Eksekutif PPP yang
susunan personalianya sesuai hasil keputusan Muktamar VII PPP Tahun 2011 di Bandung
dengan Ketua Umum DR. H. Suryadharma Ali, M.Si dan Sekretaris Jenderal Ir. HM
Romahurmuziy, M.T. dan mengharuskan diselenggarakannya Muktamar selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari setelah dibacakannya putusan. Sengketa kepengurusan Partai
Golkar diputus pada tanggal 3 Maret 2015 oleh Mahkamah Partai Golkar melalui putusan
No. 01/PI-GOLKAR/II/2015, No. 02/PI-GOLKAR/II/2015, dan No. 03/PI-
GOLKAR/II/2015 yang putusannya multitafsir.
Atas putusan Mahkamah Partai sebagaimana tersebut di atas, maka Menteri Hukum
dan HAM (Menkumham) menganggap sengketa Partai Golkar dan PPP telah selesai
secara internal dan dicatatkanlah perubahan pengurus oleh Menkumham menurut
kewenangannya. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik disebutkan sebagai berikut:
(1) Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai
dengan AD dan ART;
(2) Susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan Partai Politik tingkat
pusat didaftarkan ke kementerian paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak terbentuknya kepengurusan yang baru;
(3) Susunan kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak diterimanya persyaratan;

Pasal 1 angka 6 dan angka 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang


Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur
bahwa menteri adalah menteri yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia,

39
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52

sedangkan kementerian adalah kementerian yang membidangi urusan hukum dan hak
asasi manusia.
Pasca putusan Mahkamah Parpol kedua partai tersebut di atas, perselisihan muncul
kembali di Pengadilan Tata Usaha Negara karena pencatatan yang dilakukan oleh
Menkumham dianggap telah menyalahi kewenangannya yang hanya bersifat deklaratif
dimana di dalam kepengurusan Partai Golkar yang dicatatkan oleh Menkumham adalah
kepengurusan hasil Munas Ancol dengan Ketua Umum Agung Laksono dan Sekretaris
Jenderal Zainuddin Amali. Dalam kepengurusan PPP yang dicatatkan adalah
kepengurusan hasil Muktamar Surabaya dengan Ketua Umum Romahurmuziy dan
Sekretaris Jenderal Ir. Aunur Rofik.
Pencatatan yang demikian tidak bisa dipungkiri karena Menkumham yang
menerbitkan SK yaitu Yasona H Laoly notabene adalah kader Partai Politik yang juga
berkepentingan dengan keberadaan Koalisi Indonesia Hebat di DPR karena kepengurusan
Partai Golkar hasil Munas Ancol dan kepengurusan PPP hasil Munas Surabaya telah
menyatakan bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat. Dengan bergabungnya kedua
kepengurusan yang telah disahkan oleh Menkumham, maka kekuatan KMP di Parlemen
akan berkurang secara signifikan, sebaliknya kekuatan KIH akan bertambah.
Dinamika sosial politik ini membawa pesan (message) yang ingin didengar,
diketahui, dipahami, dan kemudian dilaksanakan oleh pihak yang dituju yaitu para
pemegang kekuasaan politik2. Pesan yang ingin disampaikan oleh Menkumham kepada
para pemegang kekuasaan politik hanya Tuhan dan Menkumham yang tahu. Apa yang
telah dilakukan oleh Menkumham menjadi catatan sejarah dalam penyelesaian
perselisihan parpol yang berkaitan dengan kepengurusan dan membawa pesan (message)
tersendiri bagi para peneliti di bidang politik dan hukum.
Meskipun Menkumham telah mencatatkan kedua kepengurusan tersebut di atas,
namun putusan Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 490 K/TUN/2015 dan 504
K/TUN/2015 menyatakan sependapat dengan Putusan PTUN Jakarta dalam sengketa PPP
dan Partai Golkar melawan Menkumham bahwa tindakan Menkumham merupakan

2
Ahmad Fadlil Sumadi, Politik Hukum, Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi: Aktualisasi
Konstitusi dalam Praksis Kenegaraan (Malang: Setara Press, 2013), Hlm. 21

40
Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik
Secara Internal Maupun Eksternal - Tri Cahya Indra Permana

sebuah intervensi pemerintah terhadap urusan internal Partai Politik yang berkedok
pengesahan.
Jika benar adanya, maka kekuatan yang lebih besar sesungguhnya berada di balik
pelaksanaan wewenang Menkumham yaitu partai-partai politik pendukung pemerintah.
Dalam keadaan yang demikian, Kamarudin Sahid mengatakan bahwa partai politik yang
secara teoritis diyakini sebagai institusi demokrasi, justru tampil sebagai pembunuh
demokrasi. Partai Politik bukanlah pendukung otentik demokratisasi, melainkan bagian
dari pemeliharaan status quo yang harus direformasi3.
Atas dasar ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tersebut di
atas, maka Menkumham sesungguhnya memiliki wewenang secara atributif untuk
mencatatkan perubahan pengurus Partai Politik akan tetapi ada rambu-rambu yang harus
dipatuhi oleh Menkumham yaitu :
Pertama, kewenangan Menkumham tersebut dapat dilakukan dalam keadaan
normal atau tidak ada perselisihan di antara pengurus partai politik yang bersangkutan.
Jika ada perselisihan, maka Menkumham tidak boleh menerbitkan keputusan pencatatan
perubahan pengurus partai politik tersebut sampai perselisihannya selesai atau telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Kedua, kewenangan Menkumham untuk mencatatkan perubahan pengurus partai
politik bersifat deklaratif. Pasal 54 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
membedakan Keputusan menjadi 2 (dua) yaitu keputusan yang bersifat konstitutif dan
deklaratif. Di dalam penjelasannya disebutkan bahwa keputusan yang bersifat konstitutif
adalah keputusan yang bersifat penetapan mandiri oleh Pejabat Pemerintahan. Sedangkan
Keputusan deklaratif didefinisikan sebagai keputusan yang bersifat pengesahan setelah
melalui proses pembahasan di tingkat pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan
yang bersifat konstitutif. Dalam hal pencatatan perubahan kepengurusan partai politik,
putusan yang bersifat konstitutif bukan diterbitkan oleh Pejabat melainkan oleh Majelis
Hakim Mahkamah Partai. Dengan kata lain, kewenangan deklaratif Menkumham
hanyalah kewenangan stempel atau copy paste saja dari putusan Mahkamah Parpol.

3
Kamarudin Sahid, Memahami Sosiologi Politik (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), Hlm. 311

41
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52

Ketiga, kewenangan Menkumham tersebut bersifat pasif yang artinya Menteri


harus menunggu datangnya permohonan dari pengurus Parpol yang bersangkutan. A
contrario-nya, Menkumham tidak boleh secara aktif berkirim surat meminta kepada
pengurus parpol agar segera mengajukan permohonan pencatatan perubahan pengurus
partai politik karena hal tersebut akan menimbulkan kesan keberpihakan.
Rambu-rambu tersebut diperlukan agar di dalam pelaksanaannya tidak terjadi
penyalahgunaan wewenang yaitu penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya.
Dalam hal ini pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang
dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu.4
B. Rumusan Masalah
Atas dasar latar belakang masalah dan fakta-fakta yang telah disebutkan di atas,
pertanyaan yang perlu untuk diteliti antara lain sebagai berikut :
1) Dalam hal perselisihan parpol yang seperti apa penyelesaian perselisihan secara
internal dilakukan dan siapa yang berwenang mengadilinya ?
2) Dalam hal perselisihan parpol yang seperti apa penyelesaian perselisihan secara
eksternal dilakukan dan siapa yang berwenang mengadilinya ?
3) Bagaimana model penyelesaian perselisihan parpol perlu diatur agar lebih
berkeadilan, berkepastian hukum dan bermanfaat bagi masyarakat ?
II. PEMBAHASAN
Untuk menjawab ketiga persoalan tersebut di atas, politik hukum digunakan
sebagai arahan pembuatan hukum atau legal policy lembaga-lembaga negara dalam
pembuatan hukum dan sekaligus sebagai alat untuk menilai dan mengkritisi apakah
sebuah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy
tersebut untuk mencapai tujuan negara5.
Politik hukum juga menghadapkan pada pilihan-pilihan hukum yang masing-
masing pilihan hukum mempunyai konsekuensi hukum. Konsekuensi hukum yang
ditimbulkan tidak boleh bertentangan dengan tujuan negara dalam hal ini salah satu tujuan
negara yang hendak dicapai adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah

4
Philipus M Hadjon, Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Dsingkat UUAP), Varia Peradilan No. 358 (September
2015), hlm. 41
5
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: Rajawali Pers,
2006), hlm. 16

42
Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik
Secara Internal Maupun Eksternal - Tri Cahya Indra Permana

Indonesia, maka hukum yang berlaku di bidang politik tidak boleh berpotensi
menimbulkan perpecahan diantara partai-partai politik. Jika dirasakan ada, maka hukum-
hukum tersebut harus diubah bahkan dinyatakan tidak berlaku lagi melalui saluran-
saluran yang resmi. Satjipto Rahardjo mengatakan upaya tersebut sebagai usaha yang
sistematis untuk mengubah masyarakat6.
Dari norma yang terkandung di dalam Pasal 32 dan 33 Undang-Undang Partai
Politik beserta penjelasannya dapat dimaknai bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian
perselisihan parpol secara internal adalah penyelesaian perselisihan partai politik yang
dilakukan oleh Mahkamah Partai Politik (MPP) atau sebutan lain dari itu, sedangkan
penyelesaian perselisihan parpol secara eksternal adalah penyelesaian perselisihan partai
politik yang dilakukan oleh lembaga atau perangkat di luar partai politik. Jenis-jenis
perselisihan yang terdapat di dalam Undang-Undang maupun yang berkembang di dalam
praktek, kesemuanya harus melalui MPP, spiritnya karena MPP dianggap paling
mengetahui suasana kebatinan dari Parpol yang bersangkutan. Oleh karenanya
penyelesaian secara eksternal baru dapat dilakukan manakala upaya di MPP sudah
dilakukan. Konsekuensinya lembaga penyelesaian eksternal harus menyatakan tidak
berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perselisihan jika mekanisme
penyelesaian internal belum ditempuh.
Meskipun semua jenis perselisihan parpol harus diajukan terlebih dahulu melalui
mekanisme penyelesaian internal, namun tidak semua perselisihan dapat diajukan upaya
hukum atau diupayakan penyelesaiannya oleh lembaga eksternal. Undang-Undang Parpol
menentukan selain perselisihan mengenai kepengurusan dapat diajukan upaya hukum
sedangkan terhadap sengketa kepengurusan, final dan mengikat secara internal dengan
putusan Mahkamah Parpol.
Asumsi dari pembentuk Undang-Undang tentang Partai Politik adalah perselisihan
mengenai kepengurusan harus diselesaikan dengan cepat karena partai tidak dapat
berjalan jika ada upaya hukum yang berlarut-larut. Adapun perselisihan selain soal
kepengurusan tidak akan menyebabkan stagnasi kepengurusan Parpol, oleh karenanya
dibuka keran untuk adanya upaya hukum ke Pengadilan Negeri yang harus memutus dan

6
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis (Yogyakarta: Genta Publishing,
2009), hlm. 138

43
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52

menyelesaikan dalam waktu maksimal 60 (enam puluh) hari dan Mahkamah Agung yang
harus memutus dan menyelesaikan dalam waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari.
Jenis perselisihan parpol dan upaya hukum menurut Undang-Undang Parpol, jika
digambarkan adalah sebagai berikut :
No. Jenis Perselisihan Parpol Upaya hukum
1. PAW, Pelanggaran terhadap hak Dapat diajukan upaya hukum ke PN
anggota partai politik, Penyalahgunaan dan Mahkamah Agung
wewenang, Pertanggungjawaban
keuangan, dan atau Keberatan
terhadap keputusan partai politik
2. Kepengurusan Final dan Mengikat dengan Putusan
MPP

Di dalam prakteknya, asumsi pembentuk Undang-Undang parpol tersebut ternyata


kurang tepat karena dalam perselisihan yang berkaitan dengan kepengurusan, ada
kecenderungan Mahkamah Parpol tidak dapat menyelesaikan sengketa kepengurusan
karena ketua Mahkamah Parpol serta hakim-hakimnya adalah pengurus parpol yang
bersangkutan sehingga sangat partisan dan ada rasa ewuh pekewuh terhadap kubu-kubu
yang bersengketa. Kalaupun dipaksa untuk memutus, putusannya diyakini tidak akan
impartial. Terbukti di dalam putusan Mahkamah Partai Golkar ada Hakim yang memilih
untuk tidak memutuskan apa-apa namun hanya memberikan rekomendasi. Fenomena
tersebut sesuai dengan asas nemo judex in rex sua yang bermakna tidak ada seorangpun
yang dapat menjadi hakim yang baik bagi dirinya sendiri, oleh karenanya pada badan
peradilan Hakim harus mengundurkan diri dari kewajiban mengadili suatu perkara jika
ada conflict of interest hakim baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
perkara yang sedang diperiksanya.
Lebih jauh di dalam Mahkamah Partai Golkar potensi deadlock sesungguhnya sejak
awal sudah ada karena Hakim Mahkamah Partai Golkar yang semula berjumlah 5 (lima)
orang tinggal berjumlah 4 (empat) orang7 dan tetap bersidang tanpa mencari ganti Aulia

7
Keempat orang hakim MPG tersebut adalah Muladi, Andi Mattalata, HAS Natabaya dan Djasri
Marin. Deadlock dimaksud yaitu jika terjadi voting dalam rapat permusyawaratan, dapat terjadi dua suara
melawan dua suara yang berarti tidak ada putusan

44
Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik
Secara Internal Maupun Eksternal - Tri Cahya Indra Permana

Rahman, salah seorang hakim Mahkamah Partai Golkar yang telah diangkat menjadi Duta
Besar.
Dengan demikian frase final dan mengikat yang dilekatkan di putusan MPP
mengenai perselisihan kepengurusan parpol seolah seperti euphoria saat pembentuk
undang-undang menganggap Mahkamah Parpol lah yang paling mengetahui suasana
kebatinan parpol yang bersangkutan sehingga putusannya pasti menyelesaikan
perselisihan, padahal tidak karena ada faktor lain yang menyebabkan Mahkamah Partai
tidak dapat bekerja dengan maksimal.
Menurut Sunaryati Hartono, yang terpenting dan menentukan adalah bagaimana
pelaksanaan hukum di dalam kenyataannya (de rechtwerkelijkheid) bukan bagaimana
hukum menurut ketentuan undang-undangnya saja sebab bukankah rechtwerkelijkheid ini
yang menjadi tujuan dan fungsi cita-cita berbangsa dan bernegara? Hukum itu juga
menentukan bagaimana bangsa dan negara yang bersangkutan dikelola, di-manage8. Atas
dasar itulah pengelolaan Mahkamah Parpol oleh parpol yang bersangkutan harus lebih
baik dan profesional jika frase final dan mengikat ingin tetap dipertahankan. Jika tidak,
maka sebaiknya dibuka saja upaya hukum kepada suatu lembaga eksternal.
Hak pula bagi pengurus parpol yang bersengketa agar putusan Mahkamah Parpol
dapat dinilai kembali oleh suatu lembaga peradilan, namun sebaiknya kewenangan
tersebut tidak diserahkan kepada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung melainkan
kepada Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian sengketa kepengurusan parpol oleh badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung membutuhkan waktu yang sangat lama dan telah
menimbulkan kewenangan positif antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha
Negara dimana kedua lembaga sama-sama menyatakan berwenang secara absolut untuk
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan suatu perkara. Pengadilan Negeri berwenang
untuk menilai keabsahan pengurus atau dengan kata lain menilai pengurus mana yang
sah, sedangkan Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang untuk memeriksa sengketa
administrasinya jika Menkumham tidak menaati rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Adapun jika kewenangan

8
CFG Sunaryati Hartono, Membangun Hukum Nasional Indonesia Menjadi Hukum yang Progresif
dan Sesuai Dengan Kebutuhan dan Tuntutan Masa Kini dan Masa Depan, dalam Dekonstruksi dan
Gerakan Pemikiran Hukum Progresif (Yogyakarta: Thafa Media, 2013), hlm. 16

45
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52

itu diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, penyelesaian sengketanya selain relatif9 lebih
cepat karena putusannya bersifat final and binding juga karena tidak ada upaya hukum
luar biasa (Peninjauan Kembali). Untuk itu diperlukan cantolan yuridis di dalam Undang-
Undang organik karena di dalam UUD 1945, wewenang MK yang terkait dengan partai
politik adalah mengadili sengketa pembubaran parpol sebagaimana diatur di dalam Pasal
24C UUDN 1945. Agar kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan yang mubazir10,
maka perlu diperluas dengan kewenangan baru yang masih berkaitan dengan Partai
Politik yaitu mengadili perselisihan kepengurusan Partai Politik.
Sejak awal tujuan dibentuknya MK adalah untuk mengadili perkara-perkara yang
bersifat politis11. Anggota Panitia Ad-hoc MPR Pataniari Siahaan memandang masalah
politik lebih tepat menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi dan kurang tepat jika
ditangani Mahkamah Agung karena Mahkamah Agung sudah menangani perkara kasasi
yang sudah menumpuk12. Untuk itu tinggal bagaimana melenturkan dan memperluas
kewenangan MK di dalam Undang-Undang organik sepanjang dilakukan demi
kemaslahatan bangsa. Kesemuanya menurut Dillon untuk mewujudkan kepemimpinan
politik yang dapat meyakinkan bahwa reformasi kelembagaan pelayanan publik akan
menghasilkan lebih banyak keuntungan politik daripada biayanya13.
Dengan pengaturan yang demikian, akan menjadi jelas kapan suatu perselisihan
parpol yang berkaitan dengan kepengurusan itu dikatakan belum mempunyai kekuatan
hukum tetap atau kapan suatu perselisihan parpol itu sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Belum mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu manakala suatu perselisihan sudah
diputus oleh Mahkamah Parpol namun diajukan upaya hukum ke MK. Sedangkan sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu manakala suatu perselisihan sudah diputus oleh
Mahkamah Parpol dan diterima oleh para pihak yang berselisih serta dalam tenggang
waktu yang ditentukan tidak mengajukan upaya hukum ke MK atau manakala telah

9
Terkadang MK dalam menjatuhkan suatu putusan juga cukup lama misalnya soal izin Presiden
untuk memeriksa anggota DPR baru dibacakan 11 bulan. Karenanya perlu aturan berapa lama batas waktu
penyelesaian perkara di MK
10
Hingga saat ini MK belum pernah memeriksa sengketa pembubaran Partai Politik
11
Abdurrachman Satrio, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu
Sebagai Bentuk Judicialization of Politics, Jurnal Konstitusi (Maret 2015), hlm. 126
12
Sirajuddin dan Winardi, Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia (Malang: Setara Press,
2015), hlm. 299
13
JB Soedarmanta, An Indonesian Renaissance, Kebangkitan Kembali Republik Perspektif HS
Dillon (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012), hlm. 138

46
Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik
Secara Internal Maupun Eksternal - Tri Cahya Indra Permana

diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Setelah perselisihan parpol yang berkaitan dengan
kepengurusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, maka barulah Menkumham
dapat mencatatkan kepengurusan yang sah.
Dengan demikian dapat ditarik benang merah mengapa penyelesaian perselisihan
parpol perlu dibedakan secara internal dan eksternal karena tidak semua perselisihan
parpol dapat diselesaikan secara tuntas oleh lembaga internal yaitu Mahkamah Partai.
Oleh karenanya sebaiknya jika digambarkan jenis perselisihan parpol dan upaya hukum
menurut Undang-Undang yang dicita-citakan (ius constituendum) adalah sebagai berikut:
No. Jenis Perselisihan Parpol Upaya hukum
1. PAW, Pelanggaran terhadap hak Final dan Mengikat dengan Putusan
anggota partai politik, Penyalahgunaan MPP
wewenang, Pertanggungjawaban
keuangan, dan atau Keberatan terhadap
keputusan partai politik (termasuk
keputusan untuk tidak memutuskan
terhadap sesuatu hal)
2. Kepengurusan Dapat diajukan upaya hukum ke
Mahkamah Konstitusi

A. Contoh Model Penyelesaian Internal Dalam Perselisihan PAW


Prosedur pergantian antar waktu anggota Dewan diawali dengan adanya sebab-
sebab dapat di-PAW-nya anggota Dewan semisal, meninggal dunia, mengundurkan diri
atau melakukan pelanggaran etika dan/atau hukum. Sebelum peresmian pengangkatan
anggota Dewan yang baru, maka harus didahului dengan peresmian pemberhentian
anggota Dewan yang meninggal dunia atau mengundurkan diri atau melakukan
pelanggaran etika dan/atau hukum tersebut.
Sebagai contoh PAW bagi anggota Dewan baik DPRD Kabupaten/Kota, DPRD
Provinsi maupun DPR prosedur yang utamanya adalah diusulkan oleh

47
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52

pimpinan partai politik kepada pimpinan Dewan. Prosedur selanjutnya bagi anggota
DPRD Kabupaten/Kota adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 406 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai
berikut :
(1) Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 405 ayat (1) huruf a dan b serta pada ayat 2 huruf c, huruf e, huruf h, dan
huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD
kabupaten/kota dengan tembusan kepada gubernur.
(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan usul
pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota kepada gubernur melalui
bupati/walikota untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), bupati/walikota menyampaikan usul tersebut kepada
gubernur.
(4) Gubernur meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota
DPRD kabupaten/kota dari bupati/walikota.

usulan Pimpinan Dewan


Pelanggaran pemberhentian dari menyampaikan usul
etika/hukum oleh pimpinan parpol kepada Gubernur
anggota Dewan kepada pimpinan melalui
Dewan Bupati/Walikota

Bupati menyampaikan Gubernur meresmikan


usul tersebut kepada pemberhentian
Gubernur anggota Dewan

Sejak anggota Dewan diusulkan untuk diberhentikan oleh pimpinan parpol kepada
pimpinan Dewan, sesungguhnya sudah bisa dijadikan sebagai obyek

48
perselisihan di Mahkamah Partai, termasuk apabila ada anggota Dewan yang melalukan
perbuatan tercela akan tetapi tidak diusulkan oleh pimpinan partai untuk diberhentikan,
dapat diperselisihkan oleh anggota partai yang memiliki kepentingan yang dirugikan
sebagai dasar legal standing-nya. Oleh karenanya, jika usulan pimpinan parpol tersebut
dijadikan sebagai obyek perselisihan di Mahkamah Partai seharusnya prosedur
pemberhentian selanjutnya terhenti untuk menunggu putusan Mahkamah Partai. Jika
putusan Mahkamah Partai mengabulkan permohonan, maka anggota Dewan tersebut
tidak dapat diusulkan untuk diberhentikan dengan demikian prosedur selesai. Sebaliknya
jika permohonan ditolak oleh Mahkamah Partai, maka prosedur pemberhentian anggota
Dewan dapat dilanjutkan.
Dengan mengingat masa jabatan Anggota Dewan yang hanya 5 (lima) tahun, maka
sebaiknya perselisihan mengenai pemberhentian antar waktu sebagai Anggota Dewan
final dan mengikat di tingkat Mahkamah Partai saja. Bagi lembaga peradilan yang selama
ini menerima perkara PAW baik yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukumnya
ataupun keputusan peresmiannya hendaknya menyatakan gugatan tidak diterima (niet
onvankelijk verklaard).
Hukum acara yang harus diterapkan di dalam Mahkamah Partai antara lain
sebagaimana tercermin dalam asas-asas peradilan yang baik yaitu antara lain : asas audi
et alteram partem, asas fairness, asas imparsialitas, asas keterbukaan, asas keadilan dan
asas penjatuhan putusan yang pantas. Penuangan hukum acara ke dalam peraturan partai
diserahkan kepada Partai Politik yang bersangkutan untuk mengaturnya misalnya teknis
mengenai registrasi perselisihan, penjadwalan sidang, panggilan sidang, pemeriksaan
dalam persidangan yang terdiri dari jawab-menjawab, pembuktian dan kesimpulan,
penjatuhan putusan dan format putusannya itu sendiri, sepanjang asas-asas tersebut di
atas terpenuhi.
Dari asas audi et alteram partem, maka implementasinya sebagai contoh jika
Pemohon diberi kesempatan menyampaikan dalil-dalil permohonan serta bukti-buktinya,
maka termohon juga harus diberi kesempatan yang sama untuk menyampaikan dalil-dalil
sanggahannya serta bukti-buktinya. Menurut Maftuh Effendi, asas imparsialitas
mengandung makna bahwa hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali
kepada kebenaran dan keadilan. Hakim dilarang

49
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52

membeda-bedakan pihak-pihak yang berperkara, dilarang bersikap simpati atau antipati


kepada mereka14.
Asas peradilan yang baik lainnya yang juga patut untuk diperhatikan adalah
penjatuhan putusan harus diberikan dalam waktu yang pantas yaitu tidak boleh diberikan
dalam waktu yang terlalu lama namun tidak juga tidak boleh terlalu cepat. Semisal
maksimal 30 (tiga puluh) hari sudah harus diputus dirasa cukup untuk memutus
perselisihan selain soal kepengurusan.
Hal selanjutnya yang sangat penting adalah mekanisme penjatuhan putusan harus
dilakukan dalam rapat permusyawaratan Hakim yang dilakukan secara musyawarah
mufakat setelah mendengarkan pendapat hukum para Hakim mahkamah Partai. Dalam
hal keputusan dalam rapat permusyawaratan Hakim tidak dapat dilakukan secara
musyawarah mufakat maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara
terbanyak, oleh karenanya jumlah hakim menangani perselisihan harus berjumlah ganjil.
Jika suara terbanyak juga tidak tercapai, maka suara/pendapat ketua Majelis yang
dijatuhkan. Dan yang terpenting dari semua itu adalah amar putusan harus mencerminkan
rasa keadilan serta dapat menyelesaikan perselisihan.
B. Model Penyelesaian Eksternal dalam Perselisihan Kepengurusan
Telah dibahas di atas bahwa sebaiknya terhadap perselisihan kepengurusan partai
politik dibuka keran upaya hukum ke mahkamah Konstitusi. Penyelesaian perselisihan di
tingkat Mahkamah Partai dalam perselisihan kepengurusan pada pokoknya sama dengan
perselisihan yang tidak dapat diajukan upaya hukum. Adapun hal-hal yang perlu untuk
diatur dalam hal diajukannya upaya hukum oleh para pihak yang berselisih antara lain
sebagai berikut :
1. Dalam tenggang waktu berapa hari sejak dibacakannya putusan Mahkamah Partai
para pihak dapat mengajukan upaya hukum ke MK.
2. Apakah ada kewajiban untuk membuat memori sebagaimana memori kasasi.
3. Dalam waktu berapa lama kepaniteraan Mahkamah Parpol harus sudah mengirim
seluruh berkas perkara ke Mahkamah Konstitusi.

14
Maftuh Efffendi, Mengkaji Model dan Rumusan Acara (Ius Constituendum) Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang oleh Mahkamah Agung, (Jakarta: Balitbangdiklatkumdil
Mahkamah Agung, 2014), hlm. 24

50
Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik
Secara Internal Maupun Eksternal - Tri Cahya Indra Permana

4. Dalam tenggang waktu berapa lama Mahkamah Konstitusi harus sudah


menjatuhkan putusan.
5. Bagaimana hukum acara yang akan berlaku di MK, apakah sidang terbuka atau
cukup berkas sebagaimana judex juris. Saya termasuk yang setuju cukup berkas
sebagaimana judex juris, namun untuk pembacaan putusan dilakukan dengan
sidang yang terbuka untuk umum.
6. Bagaimana eksekusi terhadap putusan MK yang terkait dengan perselisihan
kepengurusan partai politik tersebut.
Penyelesaian perselisihan kepengurusan Partai Politik oleh MK diharapkan dapat
menyelesaikan masalah karena sifat putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga
apapun yang diputuskan oleh MK tidak akan ditafsirkan lain oleh pemangku kepentingan
seperti yang terjadi saat ini.
III. KESIMPULAN
Undang-Undang Parpol saat ini mengatur perselisihan Parpol diselesaikan secara
internal oleh Mahkamah Partai atau sebutan lain daripada itu dan secara eksternal oleh
Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Substansi perselisihan yang final dan
mengikat di Mahkamah Partai adalah perselisihan kepengurusan, selebihnya dapat
diajukan upaya hukum ke PN dan MA. Di dalam praktek, pengaturan tersebut telah
menjauhkan dari rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, oleh karenanya
sebaiknya diubah menjadi sebagai berikut:
No. Jenis Perselisihan Parpol Upaya hukum
1. PAW, Pelanggaran terhadap hak Final dan Mengikat dengan Putusan
anggota partai politik, Penyalahgunaan MPP
wewenang, Pertanggungjawaban
keuangan, dan atau Keberatan terhadap
keputusan partai politik (termasuk
keputusan untuk tidak memutuskan
terhadap sesuatu hal)
2. Kepengurusan Dapat diajukan upaya hukum ke
Mahkamah Konstitusi

51
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 , Nomor 1, Maret 2016 : 35 - 52

IV. DAFTAR PUSTAKA


Amir, Makmur dan Rahiman Sabirin. Menkumham Menggebrak. Jakarta: Indonesia
Cerah, 2010.

Efffendi, Maftuh. Mengkaji Model dan Rumusan Acara (Ius Constituendum) Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang oleh Mahkamah
Agung. Jakarta: Balitbangdiklatkumdil Mahkamah Agung, 2015.

Hadjon, Philipus M. Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang


Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Disingkat UUAP),
Varia Peradilan No. 358 (September 2015)

Hartono, CFG Sunaryati, Membangun Hukum Nasional Indonesia Menjadi Hukum yang
Progresif dan Sesuai Dengan Kebutuhan dan Tuntutan Masa Kini dan Masa
Depan, dalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif,
Yogyakarta: Thafa Media, 2013.

Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru.
Jakarta: Kencana, 2015.

MD, Moh. Mahfud, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta:


Rajawali Pers, 2006.

Sahid, Kamarudin. Memahami Sosiologi Politik. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Satrio, Abdurrachman. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil


Pemilu Sebagai Bentuk Judicialization of Politics. Jurnal Konstitusi no. 12 (Maret
2015): 117-133.

Soedarmanta, JB. An Indonesian Renaissance, Kebangkitan Kembali Republik Perspektif


HS Dillon. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012.

Sumadi, Ahmad Fadlil, Politik Hukum, Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Aktualisasi
Konstitusi dalam Praksis Kenegaraan, Malang : Setara Press, 2013.

Sundari, Eva dan M.G. Endang Sumiarni, Politik Hukum & Tata Hukum Indonesia,
Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2015.

52
POLITIK HUKUM DALAM PUTUSAN HAKIM

THE POLITIC OF LAW IN A VERDICT

TEGUH SATYA BHAKTI


Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
Jl. A. Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Jakarta Timur 13950
Email : alexander.teguh@yahoo.co.id

ABSTRAK
Suatu undang-undang (hukum tertulis) tidak pernah lengkap, jelas dan tuntas mengatur
kehidupan masyarakat, sehingga selalu tertinggal dalam mengikuti perkembangan
masyarakat. Untuk mengikuti perkembangan itu, maka undang-undang tersebut perlu
untuk selalu dikembangkan agar tetap aktual dan sesuai dengan zaman. Pelaksanaan dan
perkembangan peraturan perundang-undangan terjadi melalui putusan hakim
(yurisprudensi) dalam proses peradilan. Dengan kata lain, yurisprudensi dimaksudkan
sebagai pengembangan hukum, guna memenuhi kebutuhan hukum pencari keadilan.
Pelaksanaan fungsi penegakan hukum dan keadilan maupun fungsi penemuan hukum
(rechtsvinding) yang terwujud dalam suatu putusan hakim (yurisprudensi), haruslah
mengacu kepada pancasila sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm)
atau kearifan/kegeniusan nasional (national wisdom/national genius) dan UUD 1945
sebagai hukum dasar negara, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan
bangsa dan rakyat Indonesia. Hal demikianlah yang merupakan perwujudan politik
hukum dalam putusan hakim.

Kata kunci : politik hukum, putusan hakim

ABSTRACT
A law (written law) was never full, clear and complete set of community life, so it is
always lagging behind follows the development of society. To keep abreast of it, the law
should always be developed in order to remain update and relevant to the times.
Implementation and development of legislation going through the verdict
(jurisprudence) in the judicial process. In other words, jurisprudence intended as legal
development, to meet the legal needs of justice seeker. Implementation of the functions
of law enforcement and justice as well as the function of legal discovery (rechtsvinding)
embodied in a verdict (jurisprudence), should refer to Pancasila as the norm of
fundamental state (staatsfundamentalnorm) or wisdom / genius of the national (national
wisdom / national genius) and 1945 as the basic law of the state, so that the decision
reflects the sense of justice of the nation and the people of Indonesia as well. It declares
a political manifestation of the law in a verdict.

Keywords : politics of Law, verdic

53
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72

I. PENDAHULUAN
Pencarian kembali tentang makna cita hukum (rechtsidde) bagi rakyat Indonesia
yang bersumber dari Pancasila di dalam rumusan UUD 1945 perlu dilakukan, sehingga
nantinya diharapkan penegakan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila oleh
kekuasaan kehakiman (badan Pengadilan) melalui pelaksananya hakim dapat
diwujudkan.
Fungsi hakim dalam penegakan hukum di Indonesia begitu sentral. Oleh
karenanya dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menguraikan pandangan mengenai
peran hakim dalam pembangunan hukum nasional melalui putusannya ditinjau dari
aspek politik hukum. Selain pendekatan normatif, dalam tulisan ini penulis juga
menggunakan pendekatan sosio legal. Penggunaan pendekatan sosio legal ini, penulis
anggap perlu, karena penulis akan menggunakan perspektif ilmu-ilmu sosial untuk
mengkaji fungsi peradilan yang dikendaki oleh UUD 1945, guna mengungkap latar
belakang sosio-historis, atau konteks sosiologis dari gagasan yang mendasari hakim
dalam memutus perkara. Hal demikian didasarkan pada asumsi bahwa suatu hasil
produk putusan hukum hakim bukan lahir dari keadaan tanpa nuansa konteks
sosiologis yang mengitarinya (keadaan hampa sosial) melainkan penuh dengan
pengaruh sosial yang mengitarinya.
Menurut Satjipto Rahardjo, secara sosiologis sulit diterima adanya pengadilan
yang netral, lebih lagi dalam negara Pancasila. Pengadilan di Indonesia mempunyai sisi
untuk memperjuangkan dan mewujudkan Pancasila dalam masyarakat. Dengan
demikian, pengadilan menjadi salah satu tempat penting dimana keadilan dan moral
pancasila diwujudkan. Perwujudan masyarakat Pancasila tidak cukup hanya melalui
undang-undang dan retorika pemerintahan, tetapi menuntut untuk benar-benar
diwujudkan. Institusi legislatif baru menjalankan sebagian dari usaha mewujudkan
masyarakat yang demikian itu dan itu pun lazimnya menggunakan bahasa yang abstrak
dan sangat umum. Baru melalui putusan pengadilan segalanya menjadi jelas dan
konkret.1 Lebih lanjut Satjipto menambahkan, bahwa di dalam pengadilan terjadi
perjuangan untuk mewujudkan ideologi-ideologi. Itu berarti, bahwa pengadilan dan

1
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Penerbit Buku Kompas: Jakarta,
2006, hal. 238

54
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti

hakim tidak hanya mengkonkretkan isi undang-undang atau memutus berdasarkan


undang-undang, melainkan lebih jauh daripada itu. Hakim itu juga berpolitik dan
menjadi pejuang ideologi, oleh karena melalui putusannya ia mewujudkan pikiran
ideologis menjadi kenyataan.2
Rumusan tentang Kekuasaan Kehakiman pasca Perubahan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, diatur dalam Bab IX . Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945
berbunyi, Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sedangkan ayat
(2)-nya berbunyi, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Hal tersebut kemudian dijabarkan dalam ketentuan Pasal 31 dan Pasal 33
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK).
Pasal 31 UUKK berbunyi, Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam undang-undang, sedangkan Pasal 33 UUKK
berbunyi,Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian
peradilan.
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan UUKK di atas, kebebasan atau
kemerdekaan diberikan kepada institusi pelaku kekuasaan kehakiman yaitu MA,
beserta badan-badan peradilan di bawah MA, dan Mahkamah Konstitusi untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Namun,
kebebasan/kemerdekaan institusional lembaga peradilan dengan sendirinya tercermin
dalam kebebasan para hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dimaksud. Oleh
karena itu, sebagai konsekuensi bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan
kekuasaan kehakiman (rechters als uitvoerder van rechterlijke macht) (Pasal 31
UUKK), hakim wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 33 UUKK) yang secara
inheren hakim juga secara individual menyandang kemandiriannya sebagai hakim,
sehingga seorang ketua pengadilan pun tidak boleh mengintervensi hakim yang sedang
menangani perkara.

2
Ibid, hal. 236

55
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa badan-badan peradilan dalam


lingkungan peradilan umum, dan lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, serta lingkungan peradilan tata usaha negara sebagai institusi hanya dapat
melaksanakan kewenangan melalui para hakimnya. Dengan demikian, badan peradilan
sebagai suatu lingkungan kerja (ambt) untuk bertindak dipersonifikasikan oleh hakim
sebagai pemangku jabatan (ambtsdrager).
Konstruksi pemikiran di atas membawa konsekuensi logis bahwa kemerdekaan
kekuasaan kehakiman dan independensi peradilan yang dijamin oleh Pasal 24 UUD
1945 juga memberikan kemerdekaan dan independensi kepada hakim yang berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena itu jaminan atas kemandirian
peradilan adalah hak sekaligus kewenangan konstitusional hakim. Tanpa adanya
kemerdekaan dan independensi hakim, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan
independensi peradilan tidak akan dapat ditegakkan. Sebaliknya, segala bentuk
ketergantungan dan keterikatan institusi badan-badan peradilan pasti akan mengurangi
kemerdekaan dan independensi hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara.
II. PEMBAHASAN
A. Pembangunan Hukum Nasional sebagai Alasan Mengapa Hakim Harus
Berpolitik Melalui Putusannya.
Terhitung sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945, hukum positif yang berlaku di Indonesia (ius constitutum), selain berasal dari
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif yang didasarkan
pada UUD 1945 (baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945), masih terdapat
pula peraturan perundang-undangan warisan kolonial belanda (seperti Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana). Hal tersebut sebagai konsekuensi dari penerapan Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 yang menegaskan bahwa segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
UUD ini. Selain itu pemberlakuan UU No. 1 Tahun 1946 jo. UU No. 73 Tahun 1958
juga menyebabkan peraturan perundang-undangan warisan jaman kolonial dinyatakan
tetap berlaku sebagai hukum positif Indonesia.

56
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti

Keadaan di atas menimbulkan dua pertanyaan, apakah Indonesia sudah memiliki


hukum nasional atau belum. Mengenai persoalan ini, Perbedaan pendapat di kalangan
pakar hukum terbagi menjadi dua bagian, yaitu ada yang berpendapat bahwa bahwa
Indonesia belum memiliki hukum nasional, dengan alasan masih banyak terdapat
peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman kolonial. Indonesia baru bisa
dikatakan memiliki hukum nasional apabila seluruh perundang-undangan dihasilkan
oleh lembaga legislatif (pembentuk undang-undang nasional). Di lain pihak, ada yang
mengatakan bahwa walaupun masih banyak berlaku peraturan perundang-undangan
yang berasal dari zaman kolonial, Indonesia sudah memiliki hukum nasional. Karena
sifat dari peraturan perundang-undangan kolonial maupun peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang adalah bersifat pasif. Dengan
demikian untuk dapat aktif dilaksanakan masih memerlukan suatu peristiwa, dan
pelaksanaan hukum itu dilaksanakan melalui pengadilan.3
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, Penulis mengikuti pendapat bahwa
saat ini Indonesia belum memiliki hukum nasional karena hal demikian masih menjadi
cita-cita masyarakat Indonesia yang dikristalisasikan di dalam tujuan negara, dasar
negara dan cita hukum (rechtsidee) nasional. Oleh sebab itu menurut Mahfud MD,
diperlukan suatu sistem hukum nasional yang dijadikan wadah atau pijakan dan
kerangka kerja politik hukum nasional. Sistem hukum nasional Indonesia adalah sistem
hukum yang berlaku di seluruh Indonesia yang meliputi semua unsur hukum (seperti isi,
struktur, budaya, sarana, peraturan perundang-undangan, dan semua sub unsurnya) yang
antara satu dengan yang lain saling bergantung dan bersumber dari Pembukaan dan
Pasal-pasal UUD 1945.4
Mengingat hingga saat ini baik Presiden maupun DPR belum memiliki
keinginan yang baik (good will) berupa kehendak politik (political will) untuk
membentuk suatu Sistem Hukum Nasional (SHN) yang berbasis Pancasila, maka hal
tersebut telah berimplikasi secara serius terhadap proses penegakan hukum yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum pada umumnya dan kekuasaan kehakiman (badan
pengadilan) pada khususnya. Krisis penegakan hukum seperti inilah yang kemudian

3
Soedikno Mertodikusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cet. Kedua, Liberty:
Yogyakarta, 1999, hal. 121-122
4
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, PT. Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2010, hal. 20-21

57
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72

melahirkan kontroversi, karena sifat dari peraturan perundang-undangan warisan jaman


kolonial yang akan ditegakkan itu lebih menonjolkan paham individualism, liberalism
dan individual rights, yang tidak sesuai dengan cara pandang masyarakat di Indonesia.
Dalam tulisan ini penulis memberi batasan pembahasan hanya menyangkut pelaksanaan
penegakan hukum oleh kekuasaan kehakiman (badan pengadilan), dengan alasan karena
kekuasaan kehakiman (badan pengadilan) merupakan benteng terakhir (the last resort)
bagi para pencari keadilan (justiciable).
Sebagaimana diketahui, bahwa selama ini pembaruan/pengembangan hukum
nasional itu dibiarkan berkembang dengan sendirinya. Perkembangan itu salah satunya
terjadi dalam praktik peradilan melalui penemuan hukum oleh hakim yang dilakukan
dengan cara menggali sumber-sumber hukum tidak tertulis (kebiasaan masyarakat
Indonesia) di dalam proses penyelesaian perkara konkrit yang dihadapkan kepadanya.
Penemuan hukum ini kemudian dituangkan dalam bentuk putusan. Pembentukan hukum
melalui penemuan hukum oleh hakim ini apabila terus menerus diikuti oleh hakim-
hakim lainnya maka kedudukannya akan meningkat menjadi Yurisprudensi.
Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum dimana hukum itu dapat
ditemukan dan digali, dengan demikian yurisprudensi memiliki kekuatan yang setara
dengan undang-undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang. Perbedaan
antara yurisprudensi dengan undang-undang ialah terletak pada sifat mengikatnya.
Menurut Soedikno Mertodikusumo, yurisprudensi berisi peraturan-peraturan yang
konkrit karena mengikat orang-orang tertentu saja, sedangkan undang-undang berisi
peraturan-peraturan yang bersifat abstrak atau umum karena mengikat setiap orang.5
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dirumuskan bahwa yurisprudensi tersebut
merupakan salah satu variabel yang dapat menjadi wadah untuk mewujudkan tujuan
negara, dasar negara dan cita hukum (rechtsidee) nasional.
B. Cakupan Politik Hakim Melalui Putusannya
Tujuan negara Indonesia secara definitif tertuang di dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 yang meliputi:
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.

5
Ibid, hal. 105

58
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.


4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Tujuan negara tersebut harus diraih oleh negara sebagai organisasi tertinggi
bangsa Indonesia yang penyelenggaraannya didasarkan kepada lima dasar negara
(Pancasila) yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Selain sebagai norma fundamental Negara
(staatsfundamentalnorm) bagi Negara Republik Indonesia, sila-sila Pancasila tersebut
juga merupakan cita hukum (rechtsidde) bagi rakyat Indonesia. Oleh karena itu,
menurut Hamid S. Attamimi, sistem hukum Indonesia, baik dalam pembentukannya,
dalam penerapannya, maupun dalam penegakannya tidak dapat melepaskan diri dari
nilai-nilai pancasila sebagai cita hukum yang konstitutif dan regulatif, dan dari
ketentuan-ketentuan pancasila sebagai norma tertinggi yang menentukan dasar
keabsahan (legitimacy) suatu norma hukum dalam sistem norma hukum Republik
Indonesia.6
Terkait dengan hal di atas, dapatlah dipahami bahwa hukum diposisikan sebagai
alat yang digunakan untuk mencapai tujuan negara Hal demikian sejalan dengan apa
yang dikemukakan oleh Roscue Pound yaitu fungsi hukum itu adalah sebagai alat atau
sarana rekayasa/pembaharuan sosial (law as a tool of Social engineering).7 Dengan
konstruksi pemikiran yang demikian, maka dapat dipahami bahwa terdapat hubungan
yang erat antara cita hukum (rechtsidee) nasional dengan politik hukum melalui putusan
hakim atau dengan kata lain cita hukum (rechtsidee) nasional (hukum pancasila) bukan
saja dimaknai sebagai sekumpulan sistem peraturan, doktrin, peraturan dan kaidah atau
asas-asas yang dibuat oleh dan diumumkan oleh lembaga yang berwenang (Presiden
dan DPR) saja, melainkan juga proses-proses yang mewujudkan hukum itu secara nyata
melalui penggunaan kekuasaan (Badan-badan Pengadilan).

6
Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 359
7
Roscoe Pound, An Introduction to the Filosophy of Law, (New Heaven: Yale University Press,
1954), pg. 47

59
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72

Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, lembaga peradilan


mempunyai kedudukan penting dalam sistem hukum Indonesia, karena ia melakukan
fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui
pembentukan hukum (rechtsvorming) dan penemuan hukum (rechtsvinding). Dengan
perkataan lain, hakim dalam sistem hukum Indonesia yang pada dasarnya bersifat
tertulis itu, mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law).8
Uraian di atas memberi pemahaman, bahwa cakupan politik hakim terbatas pada
penegakkan hukum dalam kenyataan lapangan melalui putusannya. Inilah yang penulis
maksud sebagai politik hukum dalam putusan hakim. Politik hukum menurut Mahfud
MD adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan
diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan pergantian hukum
lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.9 Sedangkan yang dimaksud dengan
putusan Hakim menurut Sudikno Mertodikusumo adalah suatu pernyataan yang oleh
Hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan
dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa antara para pihak.10 Dengan demikian, yang dimaksud dengan politik hukum
dalam putusan hakim dalam tulisan ini adalah rambu-rambu resmi tentang penemuan
hukum dan pembentukan hukum yang akan dilakukan oleh hakim dalam mewujudkan
cita hukum nasional, yang dilakukan dengan jalan mencari dasar-dasar serta asas-asas
yang menjadi landasan hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara para pihak, sehingga keputusannya mencerminkan
perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.11

8
Mochtar Kusumaatmdja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Alumni: Bandung, 1999, hal. 99
9
Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Cetakan Kedua, PT. Raja Grafindo: Jakarta, 2009,
hal. 1
10
Sudikno Mertodikusumo, Hukum Acara Perdata , Liberty: Yogjakarta, 1988, hal 167
11
Dalam hasil Seminar Hukum Nasional I yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 11
Maret 1963, disebutkan tugas daripada hakim itu adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi
landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya
mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia, Baca Barda Nawawi Arief, Kumpulan
Hasil Seminar Hukum Nasional Ke I s/d VIII Dan Konvensi Hukum Nasional 2008 Tentang UUD 1945
Sebagai Landasan Konstitusional, Grand Design Sistem Dan Politik Hukum Nasional, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro: Semarang, 2011, hal. 12

60
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti

C. Politik Hukum dalam Putusan Hakim


Hans Kelsen mengemukakan bahwa Putusan pengadilan adalah suatu tindakan
penerapan norma umum, dan dalam waktu yang bersamaan adalah pembentukan norma
khusus, dan norma khusus tidak hanya mengikat bagi kasus tertentu yang ditanganinya,
akan tetapi dapat melahirkan suatu norma yang umum pada kasus-kasus serupa yang
mungkin harus diputus oleh pengadilan pada masa mendatang. Lebih lanjut Hans
Kelsen mengatakan bahwa Putusan pengadilan dapat juga melahirkan suatu norma
umum. Putusan pengadilan bisa memiliki kekuatan mengikat bukan hanya bagi kasus
tertentu yang ditanganinya saja melainkan juga bagi kasus-kasus serupa yang mungkin
harus diputus oleh pengadilan. Suatu putusan pengadilan bisa memiliki karakter sebagai
yurisprudensi, yaitu putusan yang mengikat bagi putusan mendatang dari semua kasus
yang sama. Namun demikian, suatu putusan dapat memiliki karakter sebagai
yurisprudensi hanya jika putusan itu bukan merupakan penerapan suatu norma umum
dari hukum substantif yang telah ada sebelumnya, hanya jika pengadilan bertindak
sebagai pembuat peraturan.12
Sehubungan dengan hal di atas, maka dapat dirumuskan bahwa putusan badan
peradilan adalah norma yang ditujukan kepada peristiwa konkrit yang disebut norma
khusus. Norma khusus adalah penerapan dan pembentukan hukum yang bersandar
kepada norma umum berupa undang-undang dan kebiasaan. Norma umum juga
merupakan penerapan dan pembentukan hukum yang bersandar kepada norma dasar
berupa konstitusi. Begitupun norma dasar bersandar kepada grundnorm (Hans Kelsen)
yang bersifat metayuridis atau natural law (K.C. Wheare). Dengan karakternya sebagai
yurisprudensi, maka kedudukan putusan hakim adalah setara dengan undang-undang
yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang.

12
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (General Theory of Law and State)
diterjemahkan oleh raisul Muttaqien, Cet. Pertama, (Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa: Bandung,
2006), hal. 194

61
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72

Hal demikian dapat dilihat dari struktur norma di bawah ini:

Gambar 1 : Bagan Struktur Norma Hukum 13


Adaptasi dari Irfan Fachruddin (2003)

Sehubungan dengan bagan diatas, Otje Salman menerangkan bahwa ... hukum
itu bersifat hierarkis artinya hukum itu tidak bersifat bertentangan dengan ketentuan
yang lebih atas derajatnya. Dimana urutannya adalah sebagai berikut: yang paling
bawah itu putusan badan pengadilan, atasnya undang-undang dan kebiasaan, atasnya
lagi kontitusi dan yang paling atas disebutnya grundnorm. Kelsen tidak menyebutkan
apa itu grundnorm, dan hanya merupakan penafsiran yuridis saja dan menyangkut hal-
hal yang bersifat metayuridis. 14
Grundnorm yang dimiliki Indonesia adalah Pancasila. Barda Nawawi Arief
menyebut pancasila dengan istilah kearifan/kegeniusan nasional (national
wisdom/national genius) yang di dalamnya mengandung tiga pilar utama, yaitu pilar
ketuhanan (religius), pilar kemanusiaan (humanistik), dan pilar kemasyarakatan
(demokratik, kerakyatan, dan keadilan sosial).15 Nilai-nilai pancasila tersebut
merupakan paradigma dalam pembangunan hukum, yang harus dijadikan pedoman
dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia termasuk penegakkan hukum
dan keadilan yang dilaksanakan oleh hakim melalui putusannya.

13
Irfan Fachruddin, Konsekuensi Pengawasan Peradilan TUN Terhadap Tindakan Pemerintah,
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003, hal. 252
14
Otje Salman, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Armico, Bandung, 1987, hal. 11.
15
Barda Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan...Op., Cit, hal. 51

62
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti

Personifikasi politik hukum dalam putusan hakim dapat terlihat dalam dua hal,
yaitu: (1) dalam hal menentukan alasan pembenar dari suatu putusan, dan (2) dalam hal
menentukan muatan keadilan yang terkandung di dalam putusan.
Menurut J. Djohansjah, penentuan alasan pembenar dari suatu putusan terkait
dengan cita hukum pancasila (fungsi konstitutif). Hakim yang independen harus
sekaligus juga rasional tatkala harus menjatuhkan putusan. Rasionalitas putusan
ditentukan dari pola penalaran yang runtut dan sistematis, bertolak dari dasar logika
hukum yang jelas. Fungsi konstitutif inilah yang menentukan validitas (keabsahan)
suatu putusan secara legal formal. Oleh karena fungsi ini berpuncak pada cita hukum,
maka hakim yang independen tidak cukup hanya mendasarkan putusannya pada sistem
norma hukum (yang puncaknya berakhir pada staatsfundamentalnorm) melainkan juga
harus sampai menyentuh pada keseluruhan sistem hukum (yang puncaknya berakhir
pada cita hukum pancasila).16
Lebih lanjut Djohansjah menyatakan bahwa terkait dengan penentuan muatan
keadilan dalam hubungannya dengan cita hukum, terkandung makna bahwa di
dalamnya adanya pertemuan antara kewajiban hakim untuk mengeluarkan putusan
berdasarkan nilai-nilai keadilan (yang diyakini secara moral) dan kewajiban
memutuskan berdasar atas hukum (yang logis-rasional). Indepedensi kekuasaan
kehakiman mutlak harus memuat dimensi ini secara bersama-sama. 17
Mengingat begitu pentingnya putusan pengadilan di atas, maka hendaknya garis
resmi yang harus dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh hakim dalam
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak, setidak-tidaknya mengacu
kepada empat kaidah penuntun, yaitu: 18
1. Hukum harus melindungi segenap bangsa dan menjamin keutuhan bangsa
dan karenanya tidak boleh ada hukum yang menanamkan benih disintegrasi.
2. Hukum harus menjamin keadilan sosial dengan proteksi khusus bagi
golongan lemah agar tidak tereksploitasi dalam persaingan bebas melawan
golongan kuat.

16
J. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independesi Kekuasaan Kehakiman,
Kesaint Blanc: Jakarta, 2008, hal. 276
17
Ibid, hal 277
18
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES, Jakarta:
2006, hal. 55

63
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72

3. Hukum harus dibangun secara demokratis sekaligus membangun demokrasi


sejalan dengan nomokrasi (negara hukum).
4. Hukum tidak boleh diskriminatif berdasarkan ikatan primordial apa pun dan
harus mendorong terciptanya toleransi beragama berdasarkan kemanusiaan
dan keberadaban.
Sebagai contoh politik hukum dalam putusan hakim, dapat dilihat pada beberapa
putusan sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 058-059-060-083/PUU-II/2004 dan
008/PUU-III/2005 tentang judicial review terhadap Undang-undang Sumber
Daya Air (UUSDA). Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UUSDA
tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945, namun putusan ini memiliki sifat
conditionally constitusional atau konstitusional bersyarat, yang berarti
pelaksanaan UUSDA tidak boleh ditafsirkan lain seperti yang dikehendaki
oleh MK dalam pertimbangan putusannya.
2. Putusan PTUN Jakarta dalam kasus majalah Tempo. Majelis Hakim PTUN
Jakarta memenangkan majalah tersebut. Majelis Hakim dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa sesuai dengan prinsip negara hukum,
maka setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia harus bersumber
pada peraturan yang lebih tinggi. Dengan demikian Majelis hakim
berwenang mengesampingkan sebuah peraturan yang dinilainya
bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Majelis mempertimbangkan
bahwa penerbitan pers akan dilarang, bila bertentangan dengan Pancasila,
seperti halnya bertolak dari paham komunisme.
3. Putusan Kasasi Mahkamah Agung dalam kasus Kedung Ombo. Majelis
Hakim dalam pertimbangannya menganggap perlu mendefinisikan kembali
arti musyawarah mufakat terhadap pelaksanaan pembebasan tanah untuk
proyek irigasi Kedung Ombo yang termuat dalam pasal-pasal kesepakatan
tentang ganti rugi berdasarkan musyawarah antara Pemerintah Daerah Jawa
Tengah dengan warga. Majelis Hakim Agung menolak pengakuan dan bukti
berupa foto musyawarah dan mufakat antara warga dengan muspida, Kepala
Kejaksanaan Negeri, Kepala Polres, Komandan Kodim yang diajukan oleh
Tergugat (Pemerintah Daerah Jawa Tengah). Majelis Hakim Agung

64
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti

menyatakan hal demikian tidak mencerminkan keadilan kebenaran materiil.


Selain itu, bukti foto yang diajukan, tidak mencerminkan keadilan kebenaran
materiil, dan tidak merupakan pembuktian tentang penyelesaian secara
musyawarah dan kata sepakat karena hanya merupakan momentum opname,
serta tidak membuktikan pelaksanaan pembebasan tanah secara musyawarah
dan mufakat. Kehadiran muspida, Kepala Kejaksanaan Negeri, Kepala
Polres, Komandan Kodim mempunyai pengaruh yang tidak baik terhadap
pelaksanaan pembebasan tanah untuk proyek irigasi Kedung Ombo
berdasarkan musyawarah dan mufakat.
D. Karakter Produk Putusan Berdasarkan Politik Hukum yang
Dilaksanakan Hakim
Secara umum sistem hukum yang berlaku di belahan dunia meliputi, sistem
hukum eropa kontinental (civil law), sistem hukum anglo saxon (common law), sistem
hukum sosialis (sosialist legal) dan sistem hukum yang berlaku di negara-negara islam
(islamic legal). Dalam tulisan ini akan difokuskan terhadap dua sistem hukum yang
memiliki pengaruh besar terhadap sistem peradilan di Indonesia yaitu sistem hukum
civil law dan common law.
Sistem hukum eropa kontinental (civil law) menekankan ketidakmandirian
peranan hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang
sesungguhnya. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang (la
bouche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah, ataupun mengurangi kekuatan
hukum undang-undang. Atau dengan kata lain, sistem hukum eropa kontinental (civil
law) menempatkan keadilan hanya bersumber pada undang-undang. Sehingga hakim
tidak mandiri dalam menafsirkan hukum, karena harus mendasarkan penilaiannya pada
peraturan perundang-undangan diluar dirinya. Penilaian hukum oleh hakim seperti ini
disebut sebagai penemuan hukum heteronom.
Sedangkan dalam sistem hukum anglo saxon (common law), kedudukan hakim
tidak lagi terikat dengan undang-undang, tetapi dapat melakukan penilaian secara
mandiri terhadap peraturan perundang-undangan dengan menyesuaikannya terhadap
kebutuhan-kebutuhan hukum. Atau dengan kata lain, sistem hukum anglo saxon
(common law) menempatkan keadilan pada pandangan hakim. Hakim mandiri dalam
menafsirkan hukum, karena harus mendasarkan penilaiannya pada faktor dalam dirinya

65
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72

sendiri. Penilaian hukum oleh hakim seperti ini disebut sebagai penemuan hukum
otonom. Selain itu, di sisi yang lain sistem hukum anglo saxon (common law) juga
menganut asas the binding force of precedent, dimana hakim terikat pada putusan-
putusan hakim terdahulu dalam hal menjatuhkan putusan terhadap perkara yang sama
jenisnya. Dengan demikian, sistem hukum anglo saxon (common law) juga menganut
penemuan hukum yang bersifat heteronom.
Karakteristik dari kedua sistem hukum di atas, dalam hal penemuan hukum yang
bersifat otonom dan heteronom, ternyata di adopsi oleh sistem peradilan di Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari bunyi ketentuan Pasal 5 Angka (1) UU No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
Ayat di atas menjelaskan bahwa hakim dalam menyelenggarakan peradilan
dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya, yang tidak hanya terbatas pada
perundang-undangan saja, melainkan juga nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Variabel undang-undang bertujuan agar terbentuk suatu
kepastian dalam berhukum, sedangkan variabel nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup bertujuan agar terwujudnya keadilan berdasarkan hukum. Perpaduan antara
kepastian hukum dan keadilan inilah yang harus menjadi dasar pandangan hakim dalam
menyelenggarakan peradilan terhadap peristiwa hukum konkret. Pandangan hakim
seperti ini dapat dikatakan sebagai penemuan hukum pancasila yang heteronom.
Penemuan hukum pancasila heteronom dapat dimaknai sebagai penyelesaian
suatu perkara oleh hakim dengan jalan menerapkan hukum yang berdasarkan kepada
nilai-nilai yang yang terkandung di dalam Pancasila, sehingga putusannya dapat
mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. Dengan demikian,
hukum ini disini tidak sekedar dipahami hanya sebagai undang-undang saja melainkan
juga nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Atau dengan kata lain, penemuan hukum
pancasila yang heteronom adalah seni menyelesaikan suatu perkara oleh hakim dengan
jalan menafsirkan undang-undang dan mencari dasar serta asas-asas
kearifan/kegeniusan nasional (national wisdom/national genius) sebagai landasan
putusannya.

66
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti

Penemuan hukum pancasila yang heteronom ini apabila terus menerus diikuti
oleh hakim-hakim lainnya maka kedudukannya akan meningkat menjadi Yurisprudensi.
Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum dimana hukum itu dapat ditemukan
dan digali oleh hakim. Pandangan hakim seperti ini dapat dikatakan sebagai penemuan
hukum pancasila yang otonom.
E. Tuntunan Politik Hukum yang Dilaksanakan Hakim
Penemuan hukum oleh hakim lazimnya disebut sebagai rechtsvinding, yang
diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim dalam proses
mengkonkrititasikan dan mengindividualisasikan peraturan hukum yang bersifat umum
dengan peristiwa konkrit. Dalam penemuan hukum ini dikenal ada dua aliran, yaitu
aliran progresif dan aliran konservatif. Aliran progresif berpendapat bahwa hukum dan
peradilan merupakan alat untuk perubahan-perubahan sosial, sedangkan aliran
konservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan itu hanyalah untuk mencegah
kemerosotan moral dan lain-lain.19
Aliran manakah yang tepat terkait dengan Peran Hakim Dalam menegakkan
hukum dan keadilan? Menurut penulis perpaduan dari kedua aliran itulah yang tepat
digunakan oleh hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara.
Bukankah hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahan-perubahan sosial yang
bertujuan untuk mencegah kemerosotan moral. Selain itu, penegakan dan pelaksanaan
hukum tidak hanya sekedar menerapkan undang-undang belaka melainkan juga proses
menemukan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan. Oleh karenanya, penemuan hukum
yang dilakukan oleh hakim hendaknya berada dalam konteks keindonesiaan, dimana
Pancasila dijadikan pandangan hidup oleh masyarakat Indonesia.
Penemuan hukum oleh hakim tidak dapat dilepaskan dari penalaran hukum yang
digunakan oleh hakim. Dalam kaitannya dengan pembentukan dan pengembangan
hukum nasional, maka penalaran hukum yang ideal yang digunakan oleh hakim adalah
penalaran hukum yang sesuai dengan konsteks keindonesiaan. Sidharta menawarkan

19
Van Gerven dan Leijten, Theorie en Praktijk van de Rechtsvinding, sebagaimana dikutip oleh
Soedikno Mertodikusumo, Op., Cit, hal. 148

67
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72

model penalaran itu berupa model penalaran yang harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:20
1. Aspek ontologisnya, tetap mengartikan hukum sebagai norma-norma positif
dalam sistem perundang-undangan, mengingat pemaknaan inilah yang secara
ekplisit paling mudah dikenali, disamping kebutuhan mendesak untuk lebih
memberi kepastian hukum. Kelemahan dari pemaknaan hukum demikian
harus diatasi melalui proses pembentukan norma itu dan kemudian evaluasi
penerapannya (aspek epistemologis dan aksiologisnya).
2. Aspek epistemologisnya, memfokuskan tidak saja pada penerapan norma-
norma positif terhadap kasus konkret, melainkan juga pada proses
pembentukannya. Pola penalaran pada tahap pembentukan ini bergerak
secara simultan dari dimensi intuitif dan empiris sekaligus. Pola gerakan ini
sekaligus mengaktualisasi cita hukum pancasila dalam konteks
keindonesiaan dewasa ini. Melalui proses seleksi, norma positif ini sebagian
kemudian diformulasikan menjadi norma positif dalam sistem perundang-
undangan. Norma positif ini diterapkan dengan pola doktrinal deduktif
terhadap peristiwa konkret. Pada tahap gerakan simultan terjadi, berlangsung
context of discovery, dan pada tahap berikutnya penalaran berada pada
context of justification.
3. Aspek aksiologisnya adalah mengarah kepada pencapaian nilai-nilai
keadilan dan kemanfaatan secara simultan, yang kemudian diikuti dengan
kepastian hukum. Dua nilai yang disebutkan pertama menjadi tujuan dalam
proses pencarian (context of discover), sementara nilai terakhir adalah tujuan
dalam konteks penerapannya (context of justification).
Untuk mencapai dan mewujudkan cita-cita penegakan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila dan UUD 1945 melalui peran dan fungsi peradilan, dikaitkan
dengan kebebasan Hakim secara terbatas, para Hakim dalam menyelenggarakan fungsi
peradilan, hendaknya bertindak berdasarkan patokan-patokan sebagai berikut:21

20
Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, CV. Utomo:
Bandung, 2009, hal. 538
21
Keynote Speech Ketua Mahkamah Agung RI, Hakim Sebagai Pemegang Mandat Yang Sah
Menerapkan, Menafsirkan Dan Melaksanakan Tegaknya Hukum, Pada Diskusi Panel Kebebasan Hakim
Dalam Negara Indonesia Yang Berdasar Atas Hukum yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Badan

68
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti

(1) Hakim harus mengunggulkan undang-undang (statute law must prevail),


sepanjang ketentuan undang-undang yang hendak diterapkan dalam suatu
kasus memiliki rumusan dan pengertian yang jelas (clear meaning atau plain
meaning) tidak ambiguitas (ill defined), tidak bertentangan dengan
kepentingan umum, dan tidak menimbulkan akibat yang tidak adil (ill
effected atau unfair result).
(2) Hakim harus mengunggulkan kelayakan dan keadilan (equity must prevail),
sepanjang ketentuan suatu pasal undang-undang atau hukum adat yang
hendak diterapkan bertentangan dengan kepentingan umum, kesadaran
umum, HAM dan nilai-nilai moral, hakim mempunyai kemerdekaan untuk
melakukan penerapan nilai keadilan dan kepatutan berdasar asas equity must
prevail, dengan mempergunakan nilai-nilai kemanusiaan (human values),
nilai-nilai peradaban (civilazation values) dan nilai-nilai kepatutan
(reasonable values) sebagai landasan rujukan.
(3) Hakim bebas mengunggulkan yurisprudensi (Jurispudence Must Prevail),
sepanjang ketentuan suatu pasal undang-undang atau ketentuan hukum adat
bertentangan dengan kepentingan umum, atau dapat menimbulkan akibat
yang tidak adil (ill effected/ unfair result), hakim memiliki kewenangan dan
kebebasan untuk menegakan asas Jurispudence Must Prevail dengan cara
melakukan overrule (penyimpangan) dari ketentuan pasal undang-undang
yang bersangkutan, dan didasarkan atas pertimbangan yang matang dan luas
yang menerangkan bahwa yurisprudensi jauh lebih baik dibanding dengan
ketentuan undang-undang atau hukum adat yang ada.
(4) Hakim bebas melakukan penafsiran sepanjang rumusan ketentuan undang-
undang tidak jelas pengertiannya (unclear meaning), mengandung
pengertian yang ambiguitas (ambiguity), tidak sejalan dengan tujuan yang
hendak dicapai (ill considered-artinya nilai filosofis yang terkandung dalam
konsideran undang-undang yang bersangkutan, tidak sejalan dengan apa
yang dirumuskan dalam pasal yang hendak diterapkan), rumusan kabur
(vague outline), sukar dipahami maknanya. Dengan menggunakan metode

Peradilan Umum Dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman pada tanggal 27 dan 28
Maret 1995 di Jakarta 1995

69
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72

penafsiran yang dianggap tepat oleh hakim, hakim dapat menemukan arti
hukum yang terdapat dalam rumusan, menguraikan secara rinci pandangan
hukum yang terkandung dalam ketentuan undang-undang, melakukan
konstruksi hukum, merasionalkan dan mengaktualkan makna hukum.
III. KESIMPULAN
Sebagai pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadili, hakim memiliki tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila melalui putusannya. Putusan hakim merupakan mahkota bagi
hakim bertalian dengan tugasnya dalam memutus perkara. Pertimbangan hukum
putusan merupakan bagian paling penting karena memuat pernyataan hakim tentang
hukum yang akan diberlakukan dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa yang dihadapkan kepadanya. Pernyataan itu dibuat dengan jalan
menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasan
putusannya. Proses pembentukan hukum ini lazimnya dikenal dengan istilah penemuan
hukum (rechtsvinding).
Penemuan hukum oleh hakim tidak dapat dilepaskan dari penalaran hukum yang
digunakan oleh hakim. Penalaran hukum hakim dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar
dirinya, yang tidak hanya terbatas pada perundang-undangan saja, melainkan juga nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Variabel undang-undang
bertujuan agar terbentuk suatu kepastian dalam berhukum, sedangkan variabel nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup bertujuan agar terwujudnya keadilan
berdasarkan hukum. Perpaduan antara kepastian hukum dan keadilan inilah yang harus
menjadi dasar pandangan hakim dalam menyelenggarakan peradilan terhadap peristiwa
hukum konkret.
Pelaksanaan fungsi penegakan hukum dan keadilan maupun fungsi penemuan
hukum (rechtsvinding) oleh hakim di atas, haruslah mengacu kepada pancasila sebagai
norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) atau kearifan/kegeniusan nasional
(national wisdom/national genius) dan UUD 1945 sebagai hukum dasar negara,
sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
Inilah yang penulis maksudkan sebagai Politik Hukum Dalam Putusan Hakim.

70
Politik Hukum dalam Putusan Hakim - Teguh Satya Bhakti

IV. DAFTAR PUSTAKA


Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Siologis). Jakarta:
Gunung Agung, 2002.

Apeldorn, L.J. Van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramitha, 1975.

Arief, Barda Nawawi. Kumpulan Hasil Seminar Hukum Nasional ke I s/d VIII dan
Konvensi Hukum Nasional 2008 tentang UUD 1945 sebagai Landasan
Konstitusional, Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011.

. Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius dalam Rangka Optimalisasi dan


Reformasi Penegakkan Hukum (Pidana) di Indonesia. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2011.

Attamimi, Hamid S. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Jakarta: Disertasi Doktor Universitas
Indonesia, 1990.

Djohansjah, J. Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan


Kehakiman. Jakarta: Kesiant Blanc, 2008.

Fachruddin, Irfan. Konsekuensi Pengawasan Peradilan TUN Terhadap Tindakan


Pemerintah. Bandung: Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,
2003.

Kelsen, Hans. Teori Umum tentang Hukum dan Negara (General Theory of Law and
State). Bandung: Nusamedia, 2006.

Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. "Hakim Sebagai Pemegang Mandat yang
Sah Menerapkan, Menafsirkan, dan Melaksanakan Tegaknya Hukum." Diskusi
Panel Kebebasan Hakim dalam Negara Indonesia yang Berdasarkan Atas
Hukum. Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata
Usaha Negara Departemen Kehakiman, 1995.

MD, Moh. Mahfud. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2010.

. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.

Mertokusumo, Soedikno. Hukum Acara Perdata. Yogyakarta: Liberty, 1988.

. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty, 1999.

Pound, Roscoe. An Introduction to the Filosophy of Law. New Heaven: Yale University
Press, 1954.

71
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 53 - 72

Rahardjo, Satjipto. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2006.

Salman, Otje. Sosiologi Hukum Suatu Pengantar. Bandung: Armico, 1987.

Shidarta, Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief. Pengantar Ilmu Hukum : Suatu


Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I.
Bandung: Alumni, 1999.

Sidharta. Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung:


CV. Utomo, 2009.

72
PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
DALAM HUKUM ISLAM

BIODIVERSITY PROTECTION ON ISLAMIC LAW

SRI GILANG MUHAMMAD S.R.P.


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI
Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Jakarta Pusat
Email : srigilangmuhammadsrp@gmail.com

ABSTRAK
Keanekaragaman hayati adalah salah satu komponen lingkungan hidup yang berperan
penting dalam membentuk ekosistem serta memberikan daya dukung bagi kehidupan di
Bumi, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk melindungi kelestariannya. Islam sangat
menyadari peran penting keanekaragaman hayati tersebut, oleh karena itu Islam turut
berperan serta dalam melakukan perlindungan keanekaragaman hayati melalui hukum
Islam. Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati dalam hukum Islam ditunjukkan
melalui berbagai aturan yang bersumber dari Al-Quran, hadits dan fatwa para ulama
serta juga ditunjukkan dengan praktek keberadaan institusi konservasi yang dikenal
dengan nama Hima dan Zona Harim. Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman
hayati terbesar kedua di dunia serta negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar
di dunia mempunyai peran penting untuk mengembangkan dan memanfaatkan tradisi
hukum Islam dalam perlindungan keanekaragaman hayati dalam lingkup pengaturan
hukum nasional guna meningkatkan partisipasi umat Islam secara global dalam kegiatan
perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup, khususnya keanekaragaman hayati.
Kata kunci : perlindungan, keanekeragaman hayati, hukum islam, hima,
zona harim

ABSTRACT
Biodiversity is one of the components of the environment which plays an important role
in shaping the ecosystem that provides life support on Earth. For that reason, the efforts
to provide protection is necessary. Islam is very much aware of the important role of
biodiversity, therefore Islam have participated in biodiversity protection through
Islamic law. The protection of biodiversity in Islamic law demonstrated by the various
rules derived from the Quran, hadith and fatwas of the scholars as well as demonstrated
by the existence of conservation institution known as Hima and Zone Harim. Indonesia
as the country with the second greatest biodiversity in the world and a country with a
largest Muslim majority population in the world have an important role to develop and
utilize the Islamic legal tradition in the protection of biodiversity in the scope of the
provisions of national in order to increase the participation of Muslims globally in
protection and preservation activities of the environment, especially biodiversity.
Keyword : protection, biodiversity, islamic law, hima, harim zone

73
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90

I. PENDAHULUAN
Pembicaraan masalah lingkungan hidup yang bersifat global semakin intensif
dilakukan oleh setiap negara. Hal tersebut terjadi seiring dengan semakin meningkatnya
kesadaran bahwa kelangsungan kehidupan di Bumi bergantung pula pada kondisi
lingkungan hidup yang mampu memberikan daya dukung bagi kehidupan di Bumi.
Salah satu komponen lingkungan hidup yang perlu mendapatkan perhatian
secara khusus adalah keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati secara alamiah
akan membentuk suatu kesatuan yang disebut dengan ekosistem. Setiap ekosistem yang
terbentuk memberi makna penting bagi kehidupan. Salah satu peran utama ekosistem
adalah menjaga keseimbangan lingkungan yang memberikan daya dukung optimal bagi
kehidupan di Bumi. Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati sebagai salah satu
komponen pembentuk ekosistem menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Indonesia sangat memandang penting keanekaragaman hayati yang dimilikinya,
hal tersebut tercermin melalui pencantuman keanekaragaman hayati sebagai salah satu
asas dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Asas tersebut mengharuskan, bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup harus memberikan perhatian yang penting terhadap berbagai tindakan
guna mempertahankan keberadaan, keanekaragaman, dan keberlanjutan sumber daya
alam hayati.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar dan juga negara
yang kaya akan keanekaragaman hayati tentunya berkepentingan dan mempunyai
kesempatan untuk berperan penting dalam berbagai upaya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, khususnya terkait dengan keanekaragaman hayati. Guna
memperkuat berbagai upaya yang telah dilakukan, maka pengenalan khazanah
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya terkait dengan
perlindungan keanekaragaman hayati yang bersumber pada tradisi hukum Islam
menjadi suatu hal yang penting untuk dilakukan. Dengan demikian akan terdapat
banyak alternatif untuk melakukan tindakan perlindungan terhadap keanekaragaman
hayati.

74
Perlindungan Keanekaragaman Hayati
dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.

II. PEMBAHASAN
A. Keanekaragaman Hayati dan Arti Pentingnya bagi Kehidupan
Keanekaragaman Hayati ialah berbagai jenis makhluk hidup yang ada di muka
bumi ini, maupun yang ada di daratan, lautan dan di tempat lainnya dan terdiri dari
hewan, tumbuhan, mikroorganisme dan semua gen yang terkandung didalamnya, serta
ekosistem yang telah dibentuknya.1
Keanekaragaman hayati mempunyai berbagai manfaat bagi kehidupan manusia,
yakni : 2
a. Sumber pangan, papan, sandang dan obat-obatan.
b. Lahan Penelitian dan Pengembangan Ilmu.
c. Sarana peningkatan nilai budaya.
d. Sarana peningkatan nilai budaya.
e. Sarana Rekreasi
f. Penunjang Keberlanjutan Ekosistem

Walaupun memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia,


keanekaragaman hayati terus mengalami berbagai ancaman yang dapat menghilangkan
eksistensinya. Ancaman yang dihadapi oleh keanekaragaman hayati antara lain ialah
sebagai berikut :3
a. Penurunan jumlah habitat alami keanekaragaman hayati yang diakibatkan oleh
kerusakan habitat alami karena faktor alam ataupun tindakan konversi lahan
habitat alami tersebut.
b. Eksploitasi berlebihan terhadap keanekaragaman hayati yang dilakukan oleh
manusia.
c. Terjadinya perubahan iklim
d. Terjadinya akumulasi berbagai pencemaran yang mempengaruhi habitat alami
keanekaragaman hayati sehingga merusak siklus hidupnya.
e. Pemanfaatan bagian tertentu dari spesies dengan memusnahkan spesies
tersebut atau mengakibatkan spesies tersebut sulit untuk bertahan hidup.
f. Hanya memilih dan mengembangbiakkan spesies yang unggul saja serta
melupakan perhatian pada spesies spesies non unggulan hingga spesies
tersebut musnah.

1
Yudistira Sugandi, dkk. Arti Penting Keanekaragaman Hayati Bagi Kelangsungan Kehidupan
di Bumi. 2010. Halaman 2.
2
Yudistira Sugandi, dkk, op. cit. Halaman 4 - 5.
3
www.cbd.int. Diakses tanggal 8 Agustus 2010.

75
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90

B. Pandangan Islam tentang Keanekaragaman Hayati


Agama Islam, oleh para pemeluknya diyakini sebagai ajaran agama yang
komprehensif dan universal. Komprehensif bermakna bahwa ajaran Islam memberikan
tuntunan dalam semua aspek kehidupan. Universal bermakna bahwa ajaran Islam dapat
berlaku pada setiap tempat waktu hingga akhir zaman. Lingkungan hidup sebagai salah
satu aspek kehidupan sebenarnya mendapatkan kedudukan yang penting dalam ajaran
Islam. Hal tersebut tercermin dalam surat Al Baqarah ayat 26 27 berikut ini :
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa
nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang
beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan
mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan : Apakah maksud Allah
menjadikan ini untuk perumpamaan? Dengan perumpamaan itu banyak
orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak
orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah
kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar
perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang
diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan
membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang
rugi.

Dalam ayat tersebut Allah S.W.T. memberikan tuntunan kepada kita agar tidak
tergolong sebagai orangorang yang fasik, di mana salah satu tuntunan tersebut adalah
tidak membuat kerusakan di Bumi. Ayat tersebut membuktikan penghormatan Islam
terhadap perlindungan lingkungan hidup. Salah satu komponen lingkungan hidup
adalah keanekaragaman hayati, yang oleh karena peran pentingnya bagi kehidupan
maka perhatian terhadap perlindungannya menjadi penting untuk dilakukan.
Demikian pula dalam hukum Islam telah dibentuk adanya suatu kesadaran
terhadap peran penting keanekaragaman hayati dan hukum untuk menjaga
kelestariannya. Pandangan tersebut didasarkan pada uraian surat An Nahl ayat 66 dan
80 serta Surat Al Muminun ayat 19. Berikut ini adalah uraian beberapa surat-surat
tersebut :
Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat
pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang
berada dalam perutnya (berupa) susu murni antara kotoran dan darah,
yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya4

4
Q.S. An Nahl ayat 66

76
Perlindungan Keanekaragaman Hayati
dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.

Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal


dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit
binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)-nya di waktu
kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari
bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan
perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).5
Lalu dengan air itu, Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma
dan anggur; di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang
banyak dan sebagian dari buah-buahan itu kamu makan.6
Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka
tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu.7

Ayatayat tersebut menerangkan secara jelas mengenai manfaat dari


keanekaragaman hayati bagi kehidupan manusia. Pada Q.S. An Nahl ayat 66 dan 80
kita mendapatkan informasi bahwa hewan dapat menjadi sumber atas pemenuhan
kebutuhan sandang, pangan dan papan. Pada Q.S. Al Muminun ayat 19 ditemui
penjelasan akan fungsi tumbuhan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sedangkan pada
Q.S. Yaasin ayat 80 disampaikan tentang fungsi tumbuhan sebagai sumber energi.
Dengan demikian semakin jelas posisi penting keanekaragaman hayati dalam hukum
Islam, yang tentunya semakin pula perlindungan terhadap keanekaragaman hayati
tersebut.
Selain dari ayat ayat tersebut, pandangan Islam tentang lingkungan hidup,
khususnya tentang keanekaragaman hayati dapat dilihat pada keputusan asosiasi fikih
islam internasional ihwal lingkungan. Asosiasi Fikih Islam Internasional dalam
lokakaryanya yang ke 19 yang diselenggarakan di Asy-Syariqah, telah merilis
keputusan nomor 185 ihwal lingkungan dan penjagaannya dalam tinjauan Islam berikut
ini :8
1. Diharamkannya pembuangan segala limbah berbahaya di setiap jengkal bumi
ini, dan setiap Negara penghasil limbah itu diharuskan untuk mengolahnya di
dalam negeri dengan cara yang tidak merugikan lingkungan. Sementara itu
setiap Negara Islam diharuskan untuk mencegah negeri-negerinya dijadikan
tempat pembuangan ataupun penguburan limbah tersebut.
2. Diharamkannya segala perbuatan dan perlakuan buruk yang merugikan
lingkungan, seperti perbuatan dan perlakuan yang merusak keseimbangan
lingkungan, atau yang mengeksploitasi sumber-sumber dayanya, atau yang
5
Q.S. An Nahl ayat 80
6
Q.S. Al Muminun ayat 19
7
Q.S. Yaasin ayat 80
8
Yusuf Al-Qardhawi. 7 Kaidah Utama Fikih Muammalat. Pustaka Al Kautsar. 2014. Hal 175-
176.

77
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90

menyalahgunakannya tanpa mengindahkan kepentingan generasi mendatang.


Ini demi mengamalkan kaidah khusus syariat yang mengharuskan peniadaan
segala perbuatan merugikan.
3. Setiap Negara diwajibkan memusnahkan senjata-senjata pemusnah massal
dan memperingatkan bahaya segala hal yang menimbulkan penyerapan
berbagai gas yang berakibat memperluas lubang lapisan ozon dan mencemari
lingkungan. Ini berdasarkan kaidah khusus yang mengharuskan pelarangan
segala perbuatan merugikan.

Keputusan asosiasi fikih Islam internasional tersebut, khususnya pada keputusan nomor
dua, menunjukkan dengan jelas mengenai pentingnya perlindungan keanekaragaman
hayati dalam Islam. Dalam keputusan nomor dua tersebut ditetapkan mengenai
haramnya tindakan yang merusak keseimbangan alam, yang tentunya hal tersebut
berkaitan erat dengan keanekaragaman hayati, sebab keanekaragaman hayati adalah
salah satu unsur penting dalam menjaga keseimbangan alam.
C. Peraturan hukum dan Institusi Konservasi dalam Tradisi Hukum Islam
Perlindungan keanekaragaman hayati dalam hukum Islam salah satunya
ditunjukkan dengan adanya berbagai ketentuan yang melindungi hewan dan tumbuhan.
Sebagai agama yang merupakan Rahmat bagi semesta alam, maka di dalam hukum
Islam juga ditemui berbagai ketentuan hukum yang mewajibkan manusia untuk
memberikan perlindungan bagi keanekaragaman hayati.
Dalam konsep agama Islam, manusia mempunyai fungsi sebagai Khalifah Allah
SWT. Di muka bumi. Kedudukan sebagai khalifah tersebut menuntut agar manusia
selalu berinteraksi dengan sesama manusia serta dengan alam. Menurut Quraish Shihab,
kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan agar
setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.9 Keharusan manusia menjalin interaksi
dengan makhluk hidup lainnya tersebut diisyaratkan oleh ayat berikut :
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan.10

9
M. Quraish Shihab. Wawasan Al Quran. Mizan. 2007. halaman 270.
10
Q.S. Al Anam ayat 38.

78
Perlindungan Keanekaragaman Hayati
dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.

Kedudukan binatang dan burung sebagai umat dalam ayat tersebut menegaskan
keharusan bagi manusia untuk berinteraksi dengan makhluk hidup tersebut. Selain itu
sebagai umat binatang dan burung juga berhak mendapatkan perlindungan.11
Perlindungan Islam terhadap binatang, ditunjukkan dengan adanya larangan untuk
membunuh atau menyakiti binatang tanpa suatu kepentingan yang jelas. Larangan
tersebut didasarkan pada ketentuan dalam beberapa hadits berikut :
a.) Anjing hitam adalah salah satu ummah. Ia tidak diciptakan kecuali untuk
tujuan yang baik, maka pembasmiannya pasti akan menciptakan gangguan
terhadap alam.12
Hadis ini melarang manusia untuk membunuh suatu hewan tanpa suatu
maksud yang jelas,misalnya untuk diambil manfaatnya atau menghindar
dari bahaya yang dapat ditimbulkannya. Hadis ini juga menegaskan bahwa
setiap hewan dan juga setiap makhluk hidup mempunyai fungsi tertentu
dalam sistem kehidupan alam semesta.
b.) Nabi Muhammad SAW. Mengutuk siapa saja yang menjadikan makhluk
bernyawa sebagai target untuk dimainmainkan.13
Hadis ini memberikan larangan untuk memanfaatkan makhluk hidup di luar
fungsi yang melekat pada makhluk tersebut.
c.) Nabi Muhammad SAW. juga mengingatkan, jika seseorang membunuh
seekor burung, maka mereka (burung-burung tersebut) akan menangis pada
hari kiamat dan mengadu kepada Allah SWT., Ya Allah, si Fulan telah
membunuh saya dengan sia sia, dia tidak mengambil manfaat apa apa
dariku, dan juga tidak membiarkan aku hidup di Bumi Engkau.14
Hadis ini menunjukkan bahwa membunuh hewan untuk mengambil manfaat
dari hewan tersebut adalah diperbolehkan sepanjang sesuai dengan
ketentuan yang telah digariskan oleh hukum Islam.

11
Mudhofir Abdullah. Al Quran dan Konservasi Lingkungan. Dian Rakyat. 2010. halaman
298.
12
Ma alim As Sunan dalam Othman Abd ar Rahman Llewellyn. Disiplin Dasar Hukum
Lingkungan Islam dalam Menanam sebelum Kiamat. Yayasan Obor Indonesia. 2007. halaman 288.
13
H.R. Bukhari dan Muslim.
14
H.R. Al Sabarani dalam Al Mujam Al Kabir.

79
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90

d.) Seorang Perempuan yang mengikat seekor kucing akan dimasukkan ke


dalam neraka, baik karena Ia tidak memberi makan ataupun karena Ia tidak
membiarkan kucing itu mencari makanannya sendiri.15
Hadis ini menunjukkan bahwa setiap manusia wajib untuk melindungi hak
hidup setiap hewan.
e.) Barang siapa membunuh (bahkan) seekor burung pipit atau binatang-
binatang yang lebih kecil lagi tanpa ada hak untuk melakukannya, maka
Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban orang itu kelak.16
Hadis ini melarang manusia untuk melakukan pembunuhan terhadap hewan
kecuali jika terdapat alasan yang kuat untuk melakukan pembunuhan
tersebut. Alasan yang dibenarkan misalnya, untuk mengambil manfaat
hewan tersebut, contohnya menyembelih sapi untuk diambil dagingnya.
Alasan lainnya ialah untuk berlindung dari bahaya yang dapat ditimbulkan
oleh hewan tersebut, contohnya adalah membunuh anjing yang menderita
rabies sebab dikhawatirkan dapat menularkan penyakit tersebut kepada
manusia.
f.) Sayangilah yang di Bumi, maka Yang Di langit akan menyayangimu 17.
Hadis ini mewajibkan manusia untuk menyayangi makhluk hidup yang ada
di bumi. Dalam konteks ini menyayangi dapat berupa tindakan untuk
melindungi keberadaannya dan memanfaatkannya secara berkelanjutan.

Selain hadits tersebut perlu juga kita memperhatikan pendapat salah satu ulama
besar Islam, yakni Ibnu Taymiyah sebagai berikut : Berburu binatang karena untuk
memenuhi kebutuhan diperbolehkan, jika untuk kesenangan dan permainan dibenci.18
Selain hadis dan fatwa Ibnu Taymiyah tersebut, contoh lain bentuk perlindungan
hak hidup hewan ialah pendapat seorang ahli hukum Islam yakni Izzal-din Ibn Abd al-
Salam yang menetapkan beberapa hak binatang antara lain sebagai berikut19 :
a.) Bahwa manusia harus menyediakan makan bagi hewan

15
H.R. Bukhari.
16
Sunan An NasaI.
17
H.R. Ath Thabrani dan Al - Hakim
18
www.agamadanekologi.blogspot.com. Diakses tanggal 8 Agustus 2010.
19
Fachruddin M. Mangunjaya. Konservasi Alam dalam Islam. Yayasan Obor Indonesia. 2005.
Halaman 48.

80
Perlindungan Keanekaragaman Hayati
dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.

b.) Bahwa manusia tetap harus menyediakan makan bagi hewan hewan
tersebut walaupun mereka tidak dapat memberikan keuntungan lagi.
c.) Manusia tidak boleh membebani hewan melebihi kemampuannya.
d.) Manusia tidak boleh menempatkan hewan dalam satu tempat dengan segala
hal yang dapat membahayakan hewan tersebut.
e.) Bahwa manusia harus memotong hewan dengan cara yang baik sesuai
dengan hukum Islam.
f.) Manusia tidak boleh membunuh anak anak hewan di depan mata
induknya, dengan cara memisahkan mereka.
g.) Bahwa manusia harus memberikan kenyamanan pada tempat makan dan
istirahat bagi hewan.
h.) Bahwa manusia harus menempatkan jantan dan betina bersama dalam satu
tempat pada musim kawin.
i.) Manusia tidak boleh membuang hewan mereka dan kemudian
menganggapnya sebagai binatang buruan.
j.) Bahwa manusia tidak boleh memperlakukan hewan dengan cara
sekehendaknya sehingga membuat daging mereka tidak syah untuk
dimakan.

Ayat Al Quran, Hadits dan fatwa Ibnu Taymiyah serta Izzal-din Ibn Abd al-
Salam tersebut menunjukkan kepada kita jika Islam memberikan perhatian yang baik
bagi komponenkomponen keanekaragaman hayati seperti binatang. Hal ini
menunjukkan jika konsep perlindungan terhadap keanekaragaman hayati telah ada
dalam hukum Islam.
Selain binatang maka unsur keanekaragaman hayati lainnya adalah tanaman.
Islam juga memperhatikan kelestarian tanaman dan perlindungan terhadapnya. Hal
tersebut diisyaratkan pada ayat :
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu
Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan
menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya,
kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat
(rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).20

Kata memakmurkan dalam ayat tersebut menurut Mudhofir Abdullah


mengandung suatu konsep membangun berupa upaya penghijauan melalui gerakan
menanam baik untuk makanan maupun keindahan.21
Selain itu pelestarian tanaman juga diperintahkan melalui hadits hadits berikut:

20
Q.S. Huud ayat 61.
21
Mudhofir Abdullah. Al Quran dan Konservasi Lingkungan Argumen Konservasi sebagai
Tujuan Tertinggi dari Syariah. Dian Rakyat. 2010 halaman 305.

81
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90

a.) Barang siapa menebang (tanpa alasan yang membenarkan), maka Tuhan
akan mengirimnya ke neraka.22
Hadis ini menunjukkan larangan untuk menebang pohon kecuali ada alasan
yang membenarkan untuk menebang pohon tersebut. Ada dua alasan utama
yang dapat menjadi pembenaran atas tindakan penebangan pohon, yakni
untuk mengambil manfaatnya, misalnya untuk bahan pembuatan rumah atau
untuk berlindung dari bahaya yang dapat ditimbulkannya, misalnya
menebang pohon yang sudah rapuh sebab dikhawatirkan pohon tersebut
dapat tumbang jika terkena angin yang kencang.
Walaupun diperbolehkan menebang pohon untuk mengambil manfaatnya
akan tetapi pemanfaatan tersebut, haruslah dilaksanakan tanpa melanggar
ketentuan hukum Islam.
b.) Apabila seorang muslim menanam tanaman, kemudian tanaman itu
dimakan burung, manusia ataupun hewan maka hal tersebut sudah termasuk
sedekah.23
Hadis ini menunjukkan jika kegiatan penghijauan harus dilakukan dengan
memperhatikan aspek manfaat yang sesuai dengan kondisi lokasi
penghijauan tersebut dilakukan.
c.) Jika tiba waktunya kiamat, sementara di tanganmu masih ada biji kurma,
maka tanamlah segera.24
Hadis ini menunjukkan bahwa manusia wajib untuk melakukan penghijauan
secara berkelanjutan sepanjang masa.
Demikianlah perlindungan terhadap hewan dan tumbuhan yang diperintahkan dalam
hukum Islam melalui Al - Quran dan Hadits serta fatwa ulama.
Selain berbagai bentuk perlindungan keanekaragaman hayati sebagaimana yang
tertuang dalam Al Quran, Hadits dan fatwa para ulama, perlindungan keanekaragaman
hayati dalam hukum Islam juga dilakukan melalui institusi konservasi. Hukum Islam
telah mengenal institusi yang berfungsi sebagai institusi konservasi, yakni Hima dan
Zona Harim.

22
H.R. Al Tirmidzi.
23
Hadits Muttfaq alayh dalam Lulu wal Marjan.
24
H.R. Ahmad.

82
Perlindungan Keanekaragaman Hayati
dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.

1. Hima
Hima adalah suatu tempat berupa tanah kosong (mati) di mana pemerintah
(Kepala Negara) melarang orang untuk menggembala di tanah itu. Selain itu Hima juga
didefinisikan sebagai area yang dibangun secara khusus untuk konservasi satwa liar dan
hutan di mana ia merupakan inti dari undang-undang Islam tentang lingkungan.25
Definisi pertama merupakan definisi yang dipahami oleh para ulama klasik. Jika
merujuk pada masa sekarang, maka Hima sangat tepat untuk disamakan dengan
kawasan lindung atau kawasan konservasi. Merujuk pada definisi ulama klasik tersebut,
maka ada lima jenis hima yang telah dikenal dalam tradisi hukum Islam, yakni :26
1. Kawasan di mana penggembalaan ternak domestik dilarang.
2. Kawasan penggembalaan yang dibatasi hanya untuk musim tertentu
3. Pemeliharaan lebah madu di mana penggembalaan hanya dibatasi pada
musim berbuah.
4. Kawasan hutan lindung yang tidak boleh ada penebangan
5. Pengelolaan cadangan atau stok untuk keperluan kesejahteraan penduduk
desa, kota atau suku setempat.

Keberadaan Hima didasarkan pada hadis berikut ini : Tidak ada lahan
konservasi (hima) kecuali milik Allah dan Rasulnya. Dan diriwayatkan lagi bahwa Nabi
Muhammad SAW membuat lahan hima di al-Naqi lalu Umar di al-Sharaf dan al-
Rabazah. 27
Dari hadis tersebut dapat diketahui jika Nabi Muhammad SAW membuat sebuah
Hima di kawasan al-Naqi, dimana kemudian tindakan Nabi tersebut diikuti oleh
Khalifah Umar bin Khatab ra dengan membuat Hima di wilayah al-Sharaf dan al-
Rabazah. Mengenai maksud, perkataan bahwa tidak ada Hima kecuali milik Allah
SWT. dan Rasulnya, ialah bahwa Hima tersebut adalah milik umum dan tidak dapat
dimiliki oleh perorangan selain itu Hima tersebut haruslah ditujukan untuk
kemaslahatan umat khususnya umat yang tergolong fakir (masyarakat yang lemah
ekonominya).
Pada masa Khalifah Umar bin Khatab R.A., Hima dikelola oleh seorang pengelola
yang ditunjuk oleh Khalifah, di mana pengelola tersebut dalam mengelola Hima,

25
Mudhofir Abdullah. Al-Quran & Konservasi Lingkungan. Dian Rakyat. 2010. halaman 320.
26
Ibid.
27
H.R. Bukhari

83
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90

haruslah mengakomodasi warga miskin. Hal tersebut dapat dipahami dari riwayat
berikut ini :
Dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya ia menceritakan bahwa Umar bin
Khatab ra. Mempekerjakan pembantunya yang bernama Hani di Hima
(lahan konservasi), Umar berkata kepada Hani : bersikap ramahlah
kepada orang dan hindarilah doa orang yang teraniaya (karenamu),
karena doa orang teraniaya itu dikabulkan. Izinkanlah masuk orang-orang
yang mencari rumput dan air. Kalau Abdurrahman bin Auf dan Usman
bin Affan masih punya kebun kurma dan sawah jika ternak mereka mati.
Kalau ternak mereka (para pencari rumput dan air) mati, mereka datang
kepadaku dengan anak-anak mereka menuntut :Hai Amirul Mukminin,
apakah engkau terlantarkan mereka? (dengan melarang mencari rumput
dan air sehingga ternak mati dan mereka kelaparan). Kami hanya
membutuhkan padang rumput dan air, bukan emas dan perak. Demi
Allah, mereka menganggapku telah menganiaya mereka, karena lahan
(konservasi) itu adalah kampung mereka. Mereka berperang untuk
mempertahankannya pada masa jahiliyah, mereka masuk Islam
karenanya. Demi Zat yang menguasai nyawaku, kalau bukan karena harta
yang bisa dimanfaatkan untuk jalan Allah, aku tidak akan
mengkonservasi sejengkal tanahpun dari kampung mereka.28

Melalui riwayat yang menjelaskan ketetapan Khalifah Umar tersebut, kita dapat
melihat bahwa walaupun Hima adalah kawasan konservasi yang tidak boleh
dimanfaatkan, akan tetapi keberadaan Hima tersebut, tidak boleh menghilangkan hak
dan kesempatan bagi masyarakat yang lemah dan membutuhkan untuk memanfaatkan
sumber daya pada kawasan konservasi tersebut guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut para ahli fiqih, sebuah Hima haruslah memenuhi syarat-syarat berikut ini :29
a. Harus diputuskan oleh pemerintahan Islam.
b. Harus dibangun untuk tujuan-tujuan kemaslahatan umat.
c. Tidak boleh mencabut sumber-sumber penghidupan masyarakat setempat
yang tak tergantikan
d. Harus memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat daripada
kerusakan yang ditimbulkannya.
Dengan memperhatikan syarat-syarat Hima tersebut maka adalah tepat kiranya
jika Hima dikatakan sebagai kawasan konservasi yang mirip dengan konservasi di masa

28
Riwayat Al-Bukhari
29
Fachruddin M.Mangunjaya dan Ahmad Sudirman Abbas. Khazanah Alam Menggali Tradisi
Islam untuk Konservasi. YOI. 2009. halaman 43.

84
Perlindungan Keanekaragaman Hayati
dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.

modern ini. Hima merupakan salah satu institusi konservasi dalam hukum Islam yang
tepat untuk melakukan perlindungan dan pemanfaatan secara berkelanjutan terhadap
keanekaragaman hayati.
2. Zona Harim (Zona Konservasi Mikro dan Komunal)
Selain memiliki Hima yang merupakan sebuah wilayah konservasi luas, hukum
Islam juga memiliki suatu zona konservasi mikro dan komunal yang dikenal dengan
nama zona Harim. Zona Harim adalah zona terlarang, yang merupakan ketetapan Islam
dalam melarang pembangunan atau membatasi bangunan rekayasa manusia yang
mengganggu sumber-sumber alam. Harim merupakan lahan atau kawasan yang sengaja
dilindungi untuk melestarikan sumber-sumber air, sumur, danau, sumber mata air,
sungai, aliran air, jalan, dan fasilitas publik lainnya yang diperuntukkan guna mencegah
kerusakan terhadap fasilitas tersebut dan melindungi kawasan tersebut dari bahaya.30
Keberadaan Zona harim ini pada awalnya sebagai bagian dari tradisi Islam yang
menganjurkan agar kawasan desa atau kota dikelilingi oleh wilayah penyangga yang
tidak boleh diganggu atau didirikan bangunan diatasnya.31
Merujuk pada pengertian dan tradisi Islam tersebut, maka dapat diketahui jika
Zona Harim adalah zona larangan yang berada disekitar kawasan permukiman atau
pusat aktivitas masyarakat, di mana kawasan terlarang tersebut berfungsi untuk
melindungi sumber-sumber daya yang vital bagi kehidupan masyarakat. Keberadaan
zona larangan tersebut bertujuan untuk melindungi sumber daya tersebut dari kerusakan
agar sumber daya tersebut tetap dapat menjalankan fungsinya dalam memenuhi
kebutuhan vital masyarakat disekitarnya.
Sebagai contoh penerapan zona harim ialah bahwa hukum Islam menetapkan
bahwa zona harim untuk sebuah sungai adalah seukuran setengah dari lebar sungai pada
kedua sisinya.32 Bila diamati, maka dapat dipahami bahwa penetapan kawasan terlarang
tersebut bertujuan untuk menjaga agar kawasan bantaran sungai tersebut tidak rusak dan
tetap berfungsi sebagaimana mestinya, serta menghindarkan sungai dari pencemaran
yang melebihi daya dukungnya.

30
Ibid. hal. 33-34
31
Ibid. Hal. 34.
32
Ibid. hal. 35.

85
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90

D. Pemanfaatan Tradisi Konservasi dalam Hukum Islam untuk


Pengembangan Hukum Perlindungan Keanekaragaman Hayati
dalam Lingkup Hukum Nasional.
Konsep-konsep perlindungan keanekaragaman hayati dalam hukum Islam, baik
yang tertera dalam Al Quran, Hadits, Fatwa para ulama, maupun yang dipraktekkan
dalam bentuk Hima dan Zona Harim memiliki suatu ciri khas yang menonjol yakni
sangat memberikan ruang bagi peran serta masyarakat. Karakteristik dalam melibatkan
peran serta masyarakat tersebut sangat bersesuaian dengan ciri khas masyarakat
Indonesia yakni gotong royong. Dengan kesamaan karakteristik tersebut maka tradisi
hukum Islam tersebut bisa dimanfaatkan untuk memperkuat perlindungan
keanekaragaman hayati di Indonesia yang tentunya diharapkan juga bisa memberikan
manfaat bagi perlindungan lingkungan, khususnya keanakeragaman hayati secara
global.
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar kedua di
dunia serta negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Posisinya
yang strategis tersebut perlu dimanfaatkan untuk menguatkan serta mengembangkan
tradisi konservasi keanekaragaman hayati yang ada dalam hukum Islam ke dalam
lingkup pengaturan hukum nasional tentang perlindungan keanekaragaman hayati.
Pemanfaatan tradisi konservasi dalam hukum Islam itu, utamanya bertujuan untuk lebih
meningkatkan peran aktif umat Islam Indonesia dalam berpartisipasi pada aktivitas
perlindungan lingkungan secara global melalui penguatan perlindungan
keanekaragaman hayati di negara masing-masing. Dengan demikian kelestarian
lingkungan, khususnya keanekaragaman hayati dapat terjaga dengan baik.
Telah diketahui bersama, bahwa hukum Islam menekankan pentingnya peran
serta masyarakat dalam melindungi keanekaragaman hayati, sebagaimana yang
tercermin dalam pelaksaanaan Hima dan Zona Harim. Akan tetapi dalam lingkup
peraturan hukum nasional, yakni Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, peran serta
masyarakat masih belum ditempatkan sesuai dengan potensi yang ada. Sesuai dengan
ketentuan pasal 70 ayat 2, yang berbunyi :
Peran serta masyarakat dapat berupa :
a. pengawasan sosial
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau
c. penyampaian informasi dan/atau laporan.

86
Perlindungan Keanekaragaman Hayati
dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.

Bahkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Hayati, yakni pada pasal 37 ayat 1, yang berbunyi : peran serta rakyat dalam
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh
pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
Ketentuan hukum nasional tersebut, masih memberikan peran masyarakat secara
terbatas, ini tentu berbeda dengan ketentuan dalam hukum islam yang memberikan
peran masyarakat cukup luas dan bersifat aktif.
Berkaitan dengan peran serta masyarakat di kawasan konservasi, maka konsep
Hima yang dikenal dalam hukum Islam juga dapat memberikan andil bagi tindak lanjut
pengaturan pengelolaan kawasan konservasi dalam hukum nasional. Dengan
menggunakan konsep Hima, maka suatu kawasan konservasi yang telah ditetapkan oleh
pemerintah haruslah didasari pula oleh suatu kesepakatan dengan masyarakat,
khususnya masyarakat yang lemah dan kehidupannya sangat bergantung pada sumber
daya di kawasan konservasi tersebut. Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka
masyarakat tidak kehilangan haknya dalam memanfaatkan sumber daya di kawasan
konservasi tersebut dan kawasan konservasi tersebut juga tetap terjaga.
Dalam lingkup hukum nasional, konsep zona harim dapat ditindaklanjuti dengan
pengaturan pembentukan kawasan konservasi mikro yang berbasis pada komunitas
masyarakat, misalnya di desa, pesantren, perumahan, perkotaan, pendidikan dan
komunitas masyarakat lainnya. Sebagai contohnya, ialah pada komunitas masyarakat
pesisir pantai yang rawan terkena Tsunami dapat dibangun kawasan hutan bakau
sebagai area konservasi mikro yang ditetapkan sebagai zona harim. Dengan
ditetapkannya kawasan hutan bakau tersebut sebagai zona harim, maka tidak boleh ada
tindakan manusia yang merusak dan memanfaatkan kawasan hutan bakau tersebut.
Dengan demikian kawasan zona harim hutan bakau tersebut dapat tetap lestari dan
dapat menjadi perlindungan sementara dari bencana Tsunami dan juga dapat menjadi
tempat perkembangbiakan ikan dan makhluk hidup perairan lainnya. Konsep zona
harim ini utamanya dapat diterapkan pada kawasan-kawasan yang menjadi sumber dari
kebutuhan-kebutuhan vital manusia, misalnya pada kawasan sumber mata air.
Berkaitan dengan peran serta masyarakat tentunya haruslah tumbuh dari
kesadaran masyarakat akan peran dan fungsi lingkungan hidup. Pembentukan kesadaran
masyarakat terutama dilakukan melalui proses pendidikan lingkungan hidup

87
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90

sebagaimana yang ditentukan pasal 65 ayat 2 oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa masyarakat berhak
atas pendidikan lingkungan hidup. Tindak lanjut yang dapat dilakukan dari hasil kajian
ini adalah pemerintah dapat mengatur atau menetapkan suatu kurikulum pendidikan
lingkungan hidup yang berbasis pada hukum islam untuk diterapkan khususnya pada
institusi-institusi pendidikan yang berbasis Islam seperti madrasah, pesantren dan
perguruan tinggi Islam. Selain itu, pemerintah juga dapat bekerja sama dengan berbagai
organisasi keagamaan Islam untuk lebih memajukan dakwah lingkungan hidup dan
kajian Fiqih Lingkungan Hidup, khususnya terkait dengan perlindungan dan
pemanfaatan secara berkelanjutan terhadap keanekaragaman hayati.
Diharapkan dengan diadopsinya karakteristik gotong royong yang dimiliki
hukum Islam, khususnya terkait dengan perlindungan keanekaragaman hayati, maka
konflik hukum yang melibatkan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dapat
teratasi. Prinsip gotong royong dalam hal ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk
mengelola kawasan konservasi bersama-sama dengan pemerintah. Tradisi konservasi
dalam hukum Islam yang dapat diadopsi secara khusus untuk menghindarkan konflik
hukum dengan masyarakat disekitar kawasan konservasi ini ialah penggunaan konsep
Hima.
III. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian mengenai hukum Islam tentang
keanekaragaman hayati, antara lain ialah sebagai berikut :
1. Hukum Islam tentang Perlindungan Keanekaragaman Hayati memiliki karakteristik
gotong royong serta tetap menjaga keseimbangan antara pemanfaatan individu dan
kebutuhan komunitas masyarakat setempat.
2. Tradisi hukum Islam mengenai perlindungan keanekaragaman hayati dapat
ditindaklanjuti dengan mengadopsinya dalam pengaturan mengenai perlindungan
keanekaragaman hayati, khususnya dalam aspek yang terkait dengan peran serta
masyarakat serta untuk menghindarkan terjadinya konflik hukum dengan masyarakat
di sekitar kawasan konservasi keanekeragaman hayati.

88
Perlindungan Keanekaragaman Hayati
dalam Hukum Islam - Sri Gilang Muhammad S.R.P.

IV. DAFTAR PUSTAKA


Abbas, Fachruddin M. Mangunjaya dan Ahmad Sudirman. Khazanah Alam Menggali
Tradisi Islam untuk Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Abdillah, Mujiyono. Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al - Quran. Jakarta:


Paramadina, 2001.

Abdullah, Mudhofir. Al-Quran dan Konservasi Lingkungan. Jakarta: Dian Rakyat,


2010.

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2005.

Al-Qardhawi, Yusuf. 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,


2014.

. Islam Agama Ramah Lingkungan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002.

. Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Jakarta: Citra Islami Press,
1997.

Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Perlindungan Lingkungan (Konsrvasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1991.

. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005.

Mangunjaya, Fachruddin M. Hidup Harmonis dengan Alam. Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia, 2006.

. Konservasi Alam dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

. Menanam Sebelum Kiamat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Putra, Sri Gilang Muhammad Sultan Rahma, Perbandingan Hukum Islam dan United
Nations Convention on Biological Diversity 1992 Dalam Perlindungan
Keanekaragaman Hayati Ditinjau Dari Perspektif UU No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Skripsi pada
Program Sarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang,
2011.

Shihab, M. Quraish. Dia Dimana-mana : Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena.


Jakarta: Lentera Hati, 2006.

. Membumikan Al - Quran. Bandung: Mizan, 2002.

. Wawasan Al-Quran : Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung:


Mizan, 2007.

89
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 73-90

Silalahi, M. Daud. Hukum Lingkungan Dalam Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:


Keni Publishing, 2015.

Soemarwoto, Otto. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan,


2004.

. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1991.

Winarso, Untung Tri. Seri Tafsir Qur'an Tematis : Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani, 2008.

Yafie, Ali. Merintis Fiqh Lingkungan Hidup. Jakarta: Ufuk Press, 2006.

Zahrah, Muhammad Abu. Hubungan-Hubungan Internasional dalam Islam. Jakarta:


Bulan Bintang, 1973.

Zaidan, Abdul Karim. Al-Wajiz (100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari).
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013.

Undang-Undang dan Perjanjian Internasional :

United Nations Convention on Biological Diversity 1992.

Terjemahan Resmi Salinan Naskah Asli Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa


tentang Keanekaragaman Hayati.

UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.

UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological


Diversity.

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

90
DISERTASI

KARAKTERISTIK PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA KORPORASI

THE CHARACTERISTICS OF CORPORATE CRIMINAL


RESPONSIBILITY

ADRIANO
Disertasi telah dipertahankan dalam sidang terbuka Doktor Ilmu Hukum
di Universitas Airlangga, pada tanggal 25 Februari 2013.

ABSTRAK
Disertasi ini membahas lebih dalam mengenai karakteristik korporasi yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum, keduanya didiskusikan pada kerangka
yang sama dari pertanggungjawaban pidana korporasi. Meskipun demikian, seringkali
pada beberapa hukum atau peraturan selain KUHP, baik pada hukum pidana maupun
hukum administratif dengan sanksi pidana, perusahaan digambarkan sebagai
sekumpulan orang/kekayaan yang terorganisir baik yang berbadan hukum maupun yang
tidak. Pengertian ini sangat jauh berbeda dari apa yang dinyatakan oleh para ahli hukum
terutama pada hukum pidana yang biasanya menyatakan perusahaan sebagai badan
hukum. Meskipun demikian, hal ini tidaklah sama bagi perusahaan yang tidak berbadan
hukum. Perbedaan tersebut akan menyebabkan konsekuensi hukum tersendiri karena
perusahaan tidak bisa dan tidak akan pernah diperlakukan sama terkait
pertanggungjawaban pidana korporasi.

Kata kunci : pertanggungjawaban pidana korporasi, karakteristik, badan hukum,


tidak berbadan hukum

ABSTRACT
This dissertation analyzed for real about characteristics of an entity, either a legal or
the nonlegal "entity'' which all were discussed in the same outline of corporate crime
responsibility. It was often, though, in several laws aside from the Penal Code of
Indonesia (KUHP), both in Criminal Law and Administrative Law with criminal
sanction, that corporate is defined as a collection of organized people and or wealth,
either as a legal or the nonlegal entity. The definitions in those laws are really different
from those of law experts, especially those of criminal law who basically identify
corporate as a legal entity, however the same is not true for those of the nonlegal entity.
Such differences of the legal and nonlegal entities would bring their own legal
consequences, therefore they could not and would not be treated the same referring to
corporate criminal responsibility.
Keywords: corporate criminal responsibility, characteristics, legal entity,
nonlegal entity

91
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fakta menunjukkan bahwa terdapat belasan undang-undang produk lembaga
legislasi yang menentukan dan mengatur tentang pertanggungjawaban pidana dalam hal
terjadi perbuatan-perbuatan pidana tertentu di luar Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang dipandang dapat dilakukan dan dipertanggungjawabkan oleh
korporasi.
Fenomena tersebut di Indonesia telah muncul dalam beberapa tahun dasawarsa
terakhir ini, dimana kebanyakan para pakar hukum terutama hukum pidana
mengklasifikasikan dan menyebutnya sebagai kejahatan korporasi. Istilah kejahatan
korporasi (corporate crime) seringkali dikaitkan dengan kejahatan yang berkategori
inkonvensional dalam konteks white collar crime, organization crime, orgazined crime,
crime of business, syndicate crime yang secara umum dimaksudkan sebagai suatu
kejahatan yang bersifat organisatoris dengan bermuara pada motif-motif keuntungan
ekonomi, yang tercermin dari adanya kontradiksi antara tujuan korporasi dengan
kepentingan berbagai pihak seperti kompetitor (pesaing), buruh, konsumen, masyarakat
dan Negara.1 Sehingga tidak mengherankan jika kejahatan ini dengan cepat menyebar
dan berdampak luas serta amat merugikan. Hal senada juga dikatakan oleh Bambang
Suheryadi dalam tulisannya sebagai berikut:
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana tidak dikenal dalam KUHP, tetapi
dalam perkebangannya justru tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
mempunyai akibat yang lebih besar dibandingkan dengan tindak pidana
yang dilakukan oleh orang perseorangan atau manusia alamiah, melihat
kenyataan tersebut maka berbagai perundang-undangan di luar KUHP
mulai mengatur tentang korporasi yang melakukan tindak pidana. 2

Mengenai pengertian dari kejahatan korporasi itu sendiri menurut I.S. Susanto
3
sebagaimana dikutip oleh Bambang Suheryadi, adalah tindakan-tindakan korporasi
yang dapat dikenai sanksi, baik sanksi pidana, perdata maupun sanksi administrasi,
yang berupa penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal
abuses of power) seperti produk-produk industri yang membahayakan kesehatan dan

1
Yesmil Anwar dan Adang, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung 2010, h. 241-242.
2
Bambang Suheryadi, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Dalam Perspektif Kebijakan
Hukum Pidana. Yuridika Vol. 18. No. 1, Januari-Pebruari 2003: 79-98, Fakultas Hukum Unair., h. 79.
3
Ibid. h. 83.

92
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi - Adriano

jiwa, penipuan terhadap konsumen, pelanggaran terhadap peraturan perburuhan, iklan-


iklan yang menyesatkan, pencemaran lingkungan, manipulasi pajak. Kesemua tindakan-
tindakan korporasi itu pada dasarnya termotifasi pada keuntungan ekonomi dengan
merugikan dan mengabaikan kepentingan masyarakat secara umum.
Penggunaan istilah korporasi dalam rangkaian kata kejahatan korporasi
untuk menggambarkan korporasi yang merupakan badan hukum (rechtspersoon)
maupun yang bukan badan hukum (non rechtspersoon), menurut hemat penulis justru
menimbulkan persoalan mendasar yang bukan saja mengenai persoalan subyek hukum,
akan tetapi juga lebih mendalam lagi yakni menyangkut masalah pertanggungjawaban
pidana baik ditinjau dari sudut pandang teori ilmu hukum, norma hukum yang mengatur
berkaitan dengan badan hukum sebagai subyek hukum, maupun dalam penerapannya
pada praktek hukum sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah-masalah yang
akan dikaji dan sekaligus menjadi legal issue dapat penulis rumuskan sebagai berikut :
1) Karakter pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang merupakan badan
hukum (rechtspersoon).
2) Karakter pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang bukan badan
hukum (non rechtspersoon).
C. Metode Penelitian
Ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan, maka dengan
karakter keilmuan yang demiikian itu, ilmu hukum selalu berkaitan dengan apa yang
semestinya atau apa yang seharusnya, oleh karenanya dalam penggunaan metode
penelitiannya ilmu hukum selalu menggunakan metode penelitiannya sendiri, yaitu
metode penelitian hukum untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan
sebagaimana telah dirumuskan di atas, selanjutnya berkaitan dengan itu penulis juga
mencoba menggunakan metode penelitian yang dalam tulisan Terry Hutchinson disebut
sebagai theoritical research, yaitu research which fosters a more complete
understanding of the conceptual bases of legal principles and of the combined effects of
a range of rules and procedures that touch on a particular area of activity.4 Tipe

4
Terry Hutchinson, Researching and Writing in Law, Lawbook co, Sidney Australia, 2002, h.
128-129., h.9.

93
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112

penelitian ini merupakan penelitian yang mendorong pada pemahaman yang lebih
lengkap dan mendasar mengenai konseptual dari prinsip-prinsip atau asas-asas hukum
dan efek gabungan dari berbagai aturan serta prosedur yang menyentuh dengan sebuah
bidang aktivitas tertentu yang dalam tulisan ini adalah dasar dari konsep tersebut.
Senada dengan itu Peter Mahmud Marzuki mensitir pendapat H.J. van Eikema Hommes
yang menyatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri.5
Selanjutnya beliau menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh van Eikema
Hommes ini mengindikasikan bahwa tidak dimungkinkannya penyeragaman metode
untuk semua bidang ilmu. Ilmu hukum bukan merupakan bagian dari ilmu sosial, oleh
karena itulah Metode Riset atau Metode Penelitian Sosial tidak tepat untuk digunakan di
dalam Ilmu hukum.6
II. PEMBAHASAN
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata karakteristik (kata benda) berarti
ciri-ciri khusus, sedangkan kata karakter (kata benda) mengandung arti sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat
atau watak. Kata karakteristik dalam kalimat karakteristik pertanggungjawaban
pidana terhadap korporasi yang berbadan hukum dan yang bukan badan hukum oleh
penulis dimaksudkan bahwa terdapat ciri-ciri khusus sebagai pembeda yang merupakan
tabiat atau watak tersendiri dari masing-masing badan tersebut yang akan muncul dan
mendominasi ketika pertanggungjawaban pidana korporasi itu diterapkan baik terhadap
korporasi sebagai badan hukum maupun terhadap korporasi yang bukan badan hukum.
Telah disinggung di atas bahwa badan hukum (rechtspersoon) adalah subyek
hukum sebagaimana juga manusia (natuurlijke person), namun tentu ada banyak
perbedaan mendasar diantara keduanya dimana penulis cenderung untuk menyatakan
bahwa badan hukum adalah subyek hukum yang mempunyai karakter yang berbeda
dengan manusia apalagi jika dibandingkan dengan badan yang bukan badan hukum
(non rechtspersoon). Manusia itu nyata adanya, berwujud dan merupakan mahkluk
ciptaan Tuhan, sedangkan badan hukum (rechtspersoon) sesungguhnya adalah konsep
hasil pemikiran manusia melalui rekayasa hukum untuk menggambarkan suatu

5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2005, h.
11.
6
Ibid., h. 11.

94
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi - Adriano

kumpulan yang oleh hukum kumpulan itu dianggap sebagai orang sehingga ia
dipersamakan dengan manusia dihadapan hukum sebagai subyek hukum, sedangkan
badan yang bukan badan hukum (non rechtspersoon) sejak awal memang sengaja
dikonsepkan untuk mengambarkan suatu perkumpulan orang dan atau kekayaan yang
oleh hukum tidak dipersamakan sebagai orang, sehingga badan yang bukan badan
hukum (non rectspersoon) itu juga tidak dipersamakan dengan manusia (natuurlijke
person) maupun badan hukum (rechtspersoon), dan tidak pula dijadikan sebagai subyek
hukum.
Baik konsep badan hukum maupun konsep badan yang bukan badan hukum
tersebut adalah merupakan hasil pemikiran dan rekayasa hukum, oleh karenanya atas
kedua sifat perbedaan tersebut tentu pada masing-masing konsep akan membawa
konsekuensi hukumnya sendiri. Perbedaan alami antara manusia (naturlijke person)
dengan badan hukum (rechtsperson) tentu akan membawa konsekuensi hukum yang
berbeda pula diantara mereka, sedangkan perbedaan konsep hukum antara badan hukum
(rechtspersoon) dengan badan yang bukan badan hukum (non rechtspersoon) jelas
membawa konsekuensi hukum yang juga berbeda terutama jika dipandang dari sisi
pertanggungjawaban hukumnya termasuk pula pertanggungjawaban dalam hukum
pidana, hal ini dikarenakan pada badan hukum maupun pada badan yang bukan badan
hukum tersebut terdapat karakter-karakter tertentu sebagai ciri khasnya masing-masing
dan yang membedakannya antara satu dengan yang lain, dengan demikian karakteristik
dari masing-masing badan berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi akan
lebih tampak jelas sehingga mempermudah pemahaman dan penerapan hukumnya.
A. Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana terhadap Korporasi yang
Merupakan Badan Hukum (Rechtspersoon)
Sebelum membahas lebih jauh tentang karakter mengenai badan hukum
(rechtspersoon) secara umum yang nantinya dengan sendirinya juga akan mengkerucut
menyangkut perihal pertanggungjawaban pidana korporasi, maka penulis terlebih
dahulu mencoba memulainya dengan sedikit mengulas mengenai apa sebenarnya
subyek hukum itu sekedar untuk mengingat sehingga pada akhirnya akan bertemu
disatu titik bahasan sebagaimana sub pokok judul di atas.
Telah disinggung pada bagian terdahulu bahwa badan hukum adalah subyek
hukum sebagaimana manusia alami, sebagai subyek hukum maka badan hukum

95
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112

memiliki peranannya sendiri dalam lalu lintas hukum sehari-hari. Berkaitan dengan
badan hukum (rechtspersoon) sebagai subyek hukum itu Sudikno Mertokusumo
mengatakan bahwa :
Manusia bukanlah satu-satunya subyek hukum, diperlukan sesuatu hal lain
yang bukan manusia yang menjadi subyek hukum. Disamping orang
dikenal juga subyek hukum yang disebut badan hukum. Badan hukum
adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu
yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Negara dan perseroan terbatas
misalnya adalah organisasi atau kelompok manusia yang merupakan badan
hukum.
Badan hukum itu bertindak sebagai satu kesatuan dalam lalu lintas hukum
seperti orang. Hukum menciptakan badan hukum oleh karena pengakuan
organisasi atau kelompok manusia sebagai subyek hukum itu sangat
diperlukan karena ternyata bermanfaat bagi lalu lintas hukum.7

Mensitir pendapat Sudikno tersebut yang antara lain menyatakan bahwa subyek
hukum yang badan hukum ini pada kenyataannya memang amat diperlukan untuk
menunjang kegiatan lalu lintas hukum dalam suatu masyarakat yang memang
membutuhkan hukum, oleh karenanya penulispun sependapat bahwa menjadi penting
artinya badan hukum yang sebenarnya adalah suatu konsep kemudian oleh hukum
ditetapkan sebagai subyek hukum. Selanjutnya mengenai apa itu sesungguhnya subyek
hukum para pakar pun telah memberikan definisinya sendiri, Sudikno Mertokusomo
mengatakan bahwa subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh,
mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban. Kewenangan untuk dapat
menyandang hak dan kewajiban itu disebut kewenangan hukum.8
Selanjutnya H. Riduan Syahrani dalam tulisannya mengatakan :
Subyek hukum (rechtssubject): pendukung hak dan kewajiban yaitu
manusia dan badan hukum. Manusia dalam pengertian biologis ialah
gejala dalam alam, gejala biologika, yaitu makhluk hidup yang
mempunyai pancaindera dan mempunyai budaya. Sedangkan orang
adalah pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup bermasyarakat. Dalam
hukum yang menjadi perhatian adalah orang atau person.9

Pada tulisan dibagian lain H. Riduan Syahrani juga mengatakan :

7
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty, Yogyakarta 1988., h.
53.
8
Ibid., h.54.
9
H. Riduan Syahrani I, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum. PT. Alumni, Bandung
2009, h. 248., h. 248.

96
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi - Adriano

Badan hukum (rechts-persoon): subyek hukum yang tidak berjiwa. Karena


dikategorikan sebagai subyek hukum, maka badan hukum juga dapat
melakukan hubungan hukum dengan subyek hukum lain, sehingga bisa
mempunyai hak dan kewajiban. Cuma saja badan hukum tidak mungkin
berkecimpung dalam lapangan hukum keluarga seperti melangsungkan
perkawinan. Badan hukum hanya bisa berkecimpung dalam lapangan
hukum harta kekayaan, yaitu melalui organ-organ badan hukum yang
bersangkutan, yang lazimnya diatur dalam anggaran dasar dan rumah
tangga.10

Berkaitan hal itu penulis sependapat dengan pendapat dua pakar hukum tersebut yang
dengan tegas mengatakan bahwa subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban,
yang terdiri dari manusia alami dan badan hukum. Selanjutnya masih berkaitan dengan
subyek hukum Ishaq mengatakan :
Setiap manusia baik warga negara maupun orang asing asing dengan tidak
memandang agama atau kebudayaannya adalah subyek hukum. Manusia
sebagai pembawa hak (subyek), mempunyai hak dan kewajiban untuk
melakukan tindakan hukum, seperti membuat perjanjian, menikah,
membuat wasiat, dan lain-lain. Oleh karena itu, manusia oleh hukum
diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban sebagai subyek hukum.11

Pada bagian selanjutnya Ishaq menambahkan :


Selain manusia pribadi sebagai subjek hukum, terdapat juga badan hukum.
Badan hukum (rechtsperson) adalah perkumpulan-perkumpulan yang
dapat menanggung hak dan kewajiban yang bukan manusia, badan hukum
sebagai pembawa hak yang tidak berjiwa dapat melakukan sebagai
pembawa hak manusia, seperti dapat melakukan persetujuan, memiliki
kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya.12

Begitu juga dengan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, dalam buku Kamus Hukum-nya
mengatakan bahwa subyek hukum atau pengemban hukum adalah manusia atau badan
hukum.13 Dalam Ensiklopedi Umum yang diedit oleh Abdul Gafar Pringgodigdo dan
Hassan Shadily, ditulis, bahwa :
Yang diakui dan yang dapat ikut serta dalam pergaulan hukum dinamakan
subyek hukum. Subyek hukum menurut hukum Barat ialah semua manusia
(tidak diakui adanya budak). Disamping subyek hukum yang berupa
manusia pribadi (natuurlijke person) tersebut, ada subyek hukum yang

10
Ibid., h. 24.
11
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika, Jakarta 2008, h. 47.
12
Ibid., h. 49.
13
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum. Pradnya Paramita, Jakarta 1985, h. 15.

97
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112

berupa kesatuan kelompok manusia yang disebut badan hukum, misalnya


perseroan terbatas, perkumpulan koperasi, dan pula yayasan. 14

Berdasarkan uraian dan pendapat-pendapat para pakar yang berkompeten


sebagaimana telah dikutip di atas maka penulis mencoba mengambil inti pokok dari apa
yang disebut sebagai subyek hukum itu, adalah sebagai berikut :
1) Subyek hukum terdiri dari manusia (natuurlijke person) dan badan hukum
(rechtspersoon);
2) Subyek hukum adalah pengemban atau pendukung hak dan kewajiban;
3) Subyek hukum memiliki kewenangan hukum;
4) Subyek hukum dapat melakukan suatu perbuatan hukum;
5) Subyek hukum dapat dipertanggungjawabkan di dalam hukum.
Berkaitan dengan itu, menurut penulis ada hal yang perlu mendapatkan
perhatian khusus mengenai subyek hukum (rechtssubject) ini, yaitu subyek hukum
sebagai penyandang hak dan kewajiban memiliki makna yang mendasar, yakni
disamping hal-hal sebagaimana telah disebutkan di atas, subyek hukum adalah satu-
satunya yang mempunyai kewenangan hukum, yaitu kewenangan yang diberikan dan
diatur oleh hukum untuk dapat menyandang dan melaksanakan hak dan kewajiban
dengan suatu perbuatan hukum.
Telah pula diuraikan di atas bahwa disamping manusia, badan hukum adalah
salah satu dari subyek hukum yang diakui didalam hukum, selanjutnya sehubungan
dengan itu kiranya perlu juga untuk ditekankan kembali agar mendapatkan perhatian
mengenai dasar dari timbulnya perlakuan terhadap badan hukum sebagai subyek hukum
yang merupakan dasar teoretik dalam ilmu pengetahuan hukum. Terdapat beberapa teori
15
yang sering dikutip dan dijadikan pedoman oleh para pakar mengenai badan hukum,
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Teori Fiksi
Pada dasarnya teori ini mengatakan bahwa hanya manusia saja yang mempunyai
kehendak, sedangkan badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan sesuatu
hal yang konkrit. Jadi karena hanya suatu abtraksi maka tidak mungkin menjadi suatu

14
Abdul Gafar Pringgodigdo dan Hassan Shadily, Ensiklopedi Umum, h. 428, diunduh dari
internet pada tanggal 11/2/2011, pukul 22.00 wib.
15
Chidir Ali, Badan Hukum. Alumni, Bandung, 2005., h. 31-35.

98
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi - Adriano

dari hubungan hukum, sebab hukum memberi hak-hak kepada badan hukum suatu
kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht). Badan hukum semata-
mata hanyalah buatan pemerintah atau Negara. Terkecuali Negara, badan hukum itu
suatu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya
dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal.
2. Teori Organ
Teori ini mengatakan bahwa badan hukum itu seperti manusia yang benar-benar
ada dalam pergaulan hukum, yaitu eine leiblichgeistige lebensein heit, Badan hukum
itu menjadi verbandpersoblich keit, yakni suatu badan yang membentuk kehendaknya
dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut misalnya anggota-
anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan
perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan tangannya jika kehendak itu ditulis di
atas kertas. Apa yang menjadi keputusan organ (organen) adalah merupakan kehendak
dari badan hukum. Dengan demikian menurut teori organ, badan hukum bukanlah suatu
hal yang abstrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak)
yang tidak bersubyek, tetapi badan hukum itu suatu organism yang riil, yang hidup dan
bekerja seperti manusia biasa. Tujuan badan hukum menjadi kolektivitas, terlepas dari
individu, ia suatu Verband personlichkeit yang memilik Gesamwille, berfungsinya
badan hukum dipersamakan dengan berfungsinya manusia. Jadi badan hukum tidak
berbeda dengan manusia karena itu dapat disimpulkan bahwa tiap-tiap
perkumpulan/perhimpunan orang adalah badan hukum.
3. Leer van Het Ambtelijk Vermogen
Teori ini merupakan suatu ajaran tentang harta kekayaan yang dimiliki
seseorang dalam jabatannya (ambtelijk vermogen) : suatu hak yang melekat pada suatu
kualitas. Penganut ajaran ini menyatakan : tidak mungkin mempunyai hak jika tidak
dapat melakukan hak itu. Dengan lain perkataan, tanpa daya berkehendak
(wilsvermogen) tidak ada kedudukan sebagai subyek hukum. Ini konsekuensi yang
terluas dari teori yang menitik beratkan pada daya berkehendak. Untuk badan hukum
yang berkenhendak ialah para pengurus, maka pada badan hukum semua hak itu diliputi
oleh pengurus. Dalam kualitasnya sebagai pengurus mereka adalah berhak, maka dari
itu disebut ambtelijk vermogen. Konsekuensi ajaran ini ialah bahwa orang belum
dewasa (minderjarige) dimana wali (voegd) melakukan segala perbuatan, eigendom ada

99
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112

pada curatele, eigenaarnya adalah curator. Teori ambtelijk vermogen ini mendekati
teori kekayaan bertujuan (doelvermogen).
4. Teori Kekayaan Bersama
Teori kekayaan bersama ini menganggap bahwa badan hukum itu sebagai
kumpulan manusia. Kepentingan badan hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya.
Menurut teori ini badan hukum bukan abstraksi dan bukan organisme. Pada hakikatnya
hak dan kewajiban badan hukum adalah hak dan kewajiban anggota secara bersama-
sama. Mereka bertanggung jawab bersama-sama. Harta kekayaan badan itu adalah milik
(eigendom) bersama seluruh anggota. Para anggota yang berhimpun adalah satu
kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum. Karena itu badan
hukum hanyalah suatu konstruksi yuridis belaka. Pada hakikatnya badan hukum itu
sesuatu yang abstrak.
5. Teori Kekayaan Bertujuan
Menurut teori ini hanya manusia yang dapat menjadi subyek hukum, karena itu
badan hukum bukan subyek hukum dan hak-hak yang diberi kepada suatu badan hukum
pada hakikatnya hak-hak dengan tiada subyek hukum. Teori ini mengemukakan bahwa
kekayaan badan hukum itu tidak terdiri dari hak-hak sebagaimana lazimnya (ada yang
menjadi pendukung hak-hak tersebut, manusia). Kekayaaan badan hukum dipandang
terlepas dari yang memegangnya (onpersoonlijk/subjectloons). Disini yang penting
bukan siapakah badan hukum itu, tetapi kekayaan tersebut diurus dengan tujuan
tertentu. Karena itu menurut teori ini tidak perduli manusia atau bukan, tidak perduli
kakayaan itu merupakan hak-hak yang normal atau bukan, pokoknya adalah tujuan dari
kekayaan tersebut. Singkatnya apa yang disebut hak-hak badan hukum, sebenarnya hak-
hak tanpa subyek hukum, karena itu sebagai penggantinya adalah kekayaan yang terikat
oleh suatu tujuan. Teori ini juga disebut sebagai ajaran zweckvermogen atau teori
kekayaan tujuan (Utrecht), destinataristheorie atau leer van het doelvermogen.
6. Teori Kenyataan Yuridis
Berawal dari teori organ timbullah suatu teori yang merupakan penghalusan
(verfijning) dari teori organ tersebut ialah teori kenyataan yuridis (juridische
realiteitleer). Teori ini dikemukakan oleh sarjana Belanda E.M Meijers dan dianut oleh
Paul Scholten, serta sudah merupakan de heersende leer. Menurut Meijers badan
hukum itu merupakan suatu realitas, konkrit, riil walaupun tidak dapat diraba, bukan

100
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi - Adriano

khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Meijers menyebut teori tersebut, teori kenyataan
yang sederhana (eenvoudige realitiet), sederhana karena menekankan bahwa
kehendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia itu terbatas sampai
pada bidang hukum saja. Jadi menurut teori kenyataan yuridis, badan hukum adalah
wujud yang riil, sama riilnya dengan manusia dan lain-lain perikatan (verbintenis). Ini
semua riil untuk hukum. Teori yang dianut Paul Scholten ini berasal dari teori organ
yang sudah diperhalus, artinya tidak begitu mutlak lagi (teori organ sifatnya mutlak) dan
tidak mutlak artinya sekedar diperlukan untuk hukum, sehingga tidak perlu lagi
dipertanyakan mana tangannya, mana otaknya dan sebagainya.
Berdasarkan teori-teori mengenai badan hukum tersebut, penulis berpendapat
bahwa pada dasarnya teori-teori tersebut ingin menjelaskan bahwa badan hukum
(rechtspersoon) sebenarnya adalah kumpulan manusia dan kekayaan yang mempunyai
tujuan tertentu serta menyatu dalam suatu konstruksi yuridis yang dibuat, ditetapkan
dan diakui oleh Negara berdasarkan hukum sebagai subyek hukum tersendiri (baca :
mandiri) sehingga ia juga dipersamakan seolah-olah sebagai seorang manusia
(natuurlijke person) yang merupakan pengemban hak dan kewajiban dalam pergaulan
masyarakat hukum.
Berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajibannya didalam pergaulan
masyarakat hukum, badan hukum diwakili oleh manusia (natuurlijke person) yang
duduk pada organ alat-alat perlengkapan badan hukum itu sendiri untuk melakukan
suatu perbuatan-perbuatan hukum. Manusia (natuurlijke person) yang duduk dalam
organ badan hukum ini bertindak bukan untuk dirinya sendiri, melainkan sebagai organ
yang bertindak mewakili untuk dan atas nama badan hukum itu. Bagaimana organ dari
badan hukum itu berbuat, apa saja yang harus diperbuatnya dan apa yang dilarang untuk
diperbuat, telah diatur dalam Anggaran Dasar dan atau Anggaran Rumah Tangga dari
badan hukum yang bersangkutan maupun dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang mengatur mengenai hal tersebut. Bahwa oleh karena semua telah ada
batasan dan aturannya mengenai apa dan bagaimana perbuatan badan hukum itu
dilakukan, maka dalam konteks itu organ badan hukum tidak dapat berbuat sewenang-
wenang dalam bertindak mewakili untuk dan atas nama badan hukum, sehingga adalah
wajar jika segala sesuatunya mengenai perbuatan badan hukum tersebut menjadi
tanggungjawab dari badan hukum itu sendiri. Demikian pula ketika terjadi suatu

101
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112

perbuatan badan hukum yang terimplikasi sebagai suatu perbuatan pidana, maka
pertanggungjawaban pidana tersebut harus pula diterapkan kepada badan hukum.
Selanjutnya jika ditemukan adanya penyimpangan atau penyalahgunaan atau telah
dilampauinya batas kewenangan organ badan hukum yang bertindak mewakili untuk
dan atas nama badan hukum tersebut, maka manusia (natuurlijke person) yang duduk
dalam organ badan hukum itu dan melakukan perbuatan tersebut harus pula
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.
Sebagaimana juga telah diuraikan secara panjang lebar pada bagian sebelumnya
bahwa dalam tataran pengertian Ilmu Pengetahuan Hukum khususnya dalam bidang
hukum perdata, korporasi adalah suatu badan hukum, yang dengan demikian korporasi
itu merupakan subyek hukum sekalipun subyek hukum buatan yang tidak memiliki
bentuk fisik, tubuh maupun sikap batin, dan jelas bukan terlahir secara alamiah
sebagaimana manusia, oleh karenanya berkaitan dengan itu penulis merasa perlu untuk
mengutip kembali sekedar sebagai suatu pengingat mengenai bagaimana pandangan
para pakar terkait dengan korporasi itu, dan tentu saja dalam beberapa hal jika dirasa
perlu penulis akan menyampaikan pandangnya mengenai hal tersebut.
H. Riduan Syahrani dalam tulisannya mengatakan bahwa :
Korporasi (corporation) adalah gabungan (kumpulan) orang-orang yang
dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai subyek hukum
tersendiri. Karena itu korporasi ini merupakan badan hukum yang
beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang terpisah
dari hak dan kewajiban para anggotanya. Misalnya : perseroan terbatas,
asuransi, perkapalan, koperasi dan sebagainya.16

Selanjutnya Dwidja Priyatno dengan tegas mengatakan dalam tulisannya bahwa:


Batasan pengertian atau definisi korporasi, erat kaitannya dengan masalah
dalam bidang hukum perdata. Sebab pengertian korporasi merupakan
terminologi yang berkaitan erat dengan istilah badan hukum
(rechtspersoon), dan badan hukum itu sendiri merupakan terminologi yang
erat kaitannya dengan bidang hukum perdata.17

Pendapat H. Riduan Syahrani yang pada intinya mengatakan korporasi adalah


subyek hukum tersendiri, serta mempunyai hak dan kewajiban sendiri pula seperti
misalnya Perseroan Terbatas, Asuransi dan sebagainya, dan pendapat Dwidja Priyatno

16
H. Riduan Syahrani, Op.cit., h. 80.
17
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Di Indonesia. Utomo, Bandung 2009, h. 12.

102
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi - Adriano

yang dengan tegas secara langsung menggarisbawahi bahwa korporasi berkaitan erat
dengan badan hukum (rechtspersoon) sebagaimana dikenal dan diatur dalam lingkup
hukum perdata, sehingga dengan mendasarkan pada dua pendapat para pakar tersebut
penulis mencoba sekali lagi untuk menegaskan bahwa jika ingin berbicara mengenai
korporasi maka pembicaraan itu tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai korporasi
sebagai suatu badan hukum privat yang memang telah diatur di dalam hukum perdata.
Sebagaimana juga telah disinggung di atas bahwa badan hukum (rechtspersoon) adalah
salah satu dari subyek hukum, sedangkan subyek hukum yang lainnya adalah manusia
(natuurlijke persoon), atau dengan kalimat yang lain dapat dikatakan bahwa Manusia
(natuurlijke persoon) dan Badan Hukum (rechtspersoon) oleh hukum ditetapkan
sebagai subyek hukum, sebagai orang (persoon) yakni sebagai pengemban hak dan
kewajiban.
Menyinggung mengenai apa sebenarnya korporasi itu, para ahli hukum yang
berkompeten telah pula memberikan definisinya sebagaimana tersebut di bawah ini :
Menurut Soetan K. Malikoe Adil :
Secara etimologis tentang kata korporasi (corporatie, Belanda),
corporation (Inggris), corporation (Jerman) berasal dari kata corporation
dalam bahasa Latin tio, maka corporation sebagai kata benda
(subtantivum) berasal dari kata kerja corporare yang banyak dipakai orang
pada abad pertengan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari kata
corpus (Indonesia, badan) yang berarti memberikan badan atau
membadankan. Dengan demikian maka akhirnya Corporatio itu hasil dari
pekerjaan membadankan, dengan lain perkataan badan yang dijadikan
orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan
terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam.18
Pengertian korporasi sebagaimana diuraikan di atas, juga mengingatkan pada
badan-hukum (rechtspersoon) yang mempunyai makna sebagai suatu perkumpulan
atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia, yaitu sebagai
pengemban hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dapat memiliki kekayaan, serta dapat
menggugat dan digugat dimuka pengadilan.19
Yan Pramadya Puspa, mengatakan :
Korporasi atau badan hukum adalah suatu perseroan yang merupakan
badan hukum; korporasi atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan

18
Soetan K. Malikoe Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita. Pembangunan, Jakarta 1955, h.
83.
19
R. Soebekti dan R. Tjitrosoedibio, Op.Cit., h. 15.

103
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112

seperti seorang manusia (personal) ialah sebagai pengemban (atau pemilik)


hak dan kewajiban, memiliki hak itu adalah PT (Perseroan Terbatas), NV.
(Naam Loze Venootsschap) dan Yayasan (Stiching), bahkan Negara
manapun juga merupakan badan Hukum. yang dimaksud disini adalah
suatu perkumpulan.20

Duhaime mengartikan korporasi sebagai :


A legal entity, allowed by legislation, which permits a group of people, as
shareholders, to apply to the government for an independent organization
to be created, which can then focus on persuing set objectives, and
empowered with legal rights which are usually only reserved for
individuals, such as to sue and be sued, own property, hire employees or
loan and borrow money.21

Sedangkan pengertian korporasi menurut Blacks Law Dictionary, adalah :


An entity (usu. A business) having authority under law to act a single
person distinct from the shareholders who own and having rights to issue
stock and axist indefinitely; agroup of succession of persons established in
accordance with legal rules into a legal or juristic person that has legal
personality distinct from the natural persons who make it up, exists
indefinitely apart from them, and has the legal powers that its constitution
gives it.22

Selanjutnya Stewart Kyd dalam A Treatise on the Law of the Corporation,


(dalam versi Bahasa Indonesia) menggambarkan korporasi sebagai :
Sekumpulan individu yang bersatu dalam satu badan, dibawah satuan
khusus, mempunyai rangkaian yang tak terputus dalam bentuk artificial,
dan dilindungi, oleh kebijakan hukum, dengan kapasitas untuk bertindak,
dalam beberapa hal, sebagai individu, khususnya dalam mengambil dan
memindahkan hak milik, melakukan kontrak obligasi, dan menuntut atau
dituntut, menikmati hak istimewa dan kekebalan secara umum.23
Gerry A Ferguson, seorang Guru Besar pada Faculty of Law, University of
Victoria Canada mengatakan dalam tulisannya bahwa :
the legal entity known as a corporation. The most crucial feature of this
entity is the simple fact that a corporation is an artificial construct to
which the law attributes certain characteristics and powersof a natural
person, including the capacity to enter into contacts, to own property, and

20
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum. Aneka Ilmu, Semarang 1977, h. 256.
21
Duhaime, org. Legal Dictionary, Black Law Dict., diunduh dari Internet pada tanggal 14
Desember 2009, pukul 11.00 WIB, h. 1.
22
Gunawan Wijaya, Risiko Hukum Pemilik, Direksi & Komisaris PT. Forum Sahabat, Jakarta
2008, h. 7.
23
Stewart Kyd melalui Joel Bakan. The Corporation. FreePress, a Division of Simon Schuster,
Inc. Kanada 2004, h. 16.

104
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi - Adriano

tu sue and be sued. However, while a corporation has a legal identity and
is considered a person from a legal perspective, it does not have a
physical existence in its own right; a corporation truly has no soul to be
damned, and no body to be kicked. From a behavioral perspective, a
corporation cannot itself perform any of the acts recognized by the law:
the acts are those of a natural person acting on behalf of the
corporation.24

Menyimak pendapat-pendapat para ahli yang berkompeten tersebut mengenai


apa sebenarnya korporasi itu sebagaimana telah diuraikan di atas, maka penulis
mencoba untuk berpendapat bahwa sesungguhnya korporasi itu identik dengan badan
hukum, yang dengan demikian maka yang menjadi kriteria penting dan harus
diperhatikan sekaligus sebagai karakteristik dari suatu korporasi dalam kerangka
pertanggungjawaban pidana, adalah sebagai berikut :
1) Korporasi merupakan suatu perkumpulan atau organisasi;
2) Korporasi adalah badan hukum (rechtspersoon) yang dipersamakan dengan
manusia (natuurlijke person) sebagai subyek hukum (rechtssubject), sekalipun
tidak memiliki bentuk fisik dan sikap batin;
3) Korporasi memiliki jangka waktu hidup yang tidak terbatas, yang tentu saja
lain jika dibandingkan dengan manusia yang memiliki jangka waktu hidup
terbatas;
4) Korporasi sebagai pengemban hak dan kewajiban dalam hukum;
5) Korporasi memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan para
individu-individu yang tergabung dalam korporasi itu atau dari para pendirinya;
6) Korporasi memiliki kewenangan hukum, sehingga dapat melakukan perbuatan
hukum yang dalam kesehariannya diwakili oleh para pengurusnya;
7) Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum, termasuk pula
didalamnya dapat dituntut dimuka pengadilan baik secara perdata maupun
pidana.

Karakteristik sebagaimana di atas jelas memberikan suatu gambaran bahwa


korporasi sebagai badan hukum (rechtspersoon) sekaligus merupakan subyek hukum
yang meskipun hanya sekedar subyek hukum buatan, namun ia juga sebagai pengemban

24
Gerry A. Ferguson, Criminal Liability And Sentenceing Of Corporations. Yuridika Vol. 14
No. 4, Juli-Agustus 1999: 300-321, h. 301.

105
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112

hak dan kewajiban yang dihadapan hukum dipandang dan diperlakukan sama seperti
manusia (natuurlijke person) yang merupakan subyek hukum alami. Oleh karenanya
menjadi suatu hal yang wajar jika terhadap korporasi juga dipertanggungjawabkan
secara hukum termasuk dalam hukum pidana yang tentu dengan memperhatikan
karakteristik korporasi, ini penting untuk diperhatikan karena jika karakteristik-
karakteristik itu diabaikan maka akan timbul kekacauan dalam hukum itu sendiri
sebagai suatu sistem.
Selanjutnya dengan mengingat karateristik bahwa korporasi atau badan hukum
yang tidak memiliki bentuk fisik, maka dalam penerapan sanksi pidana harus
diperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) harus dihindari sanksi pidana yang bersifat
fisik, seperti pidana penjara atau kurungan. (2) Oleh karena badan hukum lebih banyak
bergerak pada sektor perekonomian, maka penulis menyepakati bahwa pidana denda
merupakan pidana pokok utama bagi badan hukum, namun harus diikuti dengan
penyitaan terhadap harta benda atau barang-barang milik badan hukum tersebut, yang
apabila denda tidak dibayar maka harta bendanya dilelang dan diperhitungkan sebagai
pengganti pembayaran denda. Jadi penyitaan yang ditindaklanjuti dengan pelelangan
tersebut dimaksudkan sebagai penopang terlaksananya pidana denda dalam hal terjadi
suatu badan hukum tidak dapat melaksanakan sebagian atau seluruh pidana denda yang
dijatuhkan. (3) Disamping itu perlu juga adanya sanksi pidana yang paling berat bagi
badan hukum yakni pidana pembubaran badan hukum, yang tentu saja akan berdampak
pada terjadinya likuwidasi. (4) Perlu disusun sistem pemidanaan tersendiri bagi badan
hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana umum.
B. Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana terhadap Badan yang Bukan
Badan Hukum (Non Rechtspersoon)
Telah disinggung pada bagian terdahulu bahwa korporasi yang bukan badan
hukum bukanlah merupakan subyek hukum, sehingga ia tidak dalam posisi sebagai
pengemban hak dan kewajiban. Oleh karenanya pada bagian ini penulis akan langsung
membahas secara lebih khusus dan mendalam mengenai bagaimana karakteristik
pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan badan yang bukan badan hukum
tersebut.
Hukum Indonesia mengenal bentuk-bentuk badan usaha yang bukan merupakan
badan hukum, antara lain Usaha Dagang (UD), Persekutuan Perdata atau lebih dikenal

106
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi - Adriano

dengan Maatschap (Ma), Firma (Fa), Persekutuan Komanditer atau lebih dikenal
dengan Commanditaire Vennootschap (CV). Selanjutnya berdasarkan pertimbangan
bahwa bentuk badan usaha berikut ini lebih merupakan suatu wadah kegiatan usaha
yang teroganisir dan hampir menyerupai bentuk yang berbadan hukum, maka penulis
memilih Firma dan Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennotschap) sebagai
model dalam pokok bahasan ini.
1. Firma (Fa.)
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 KUHD yang mengatakan :
Persekutuan dengan firma adalah perserikatan yang diadakan untuk menjalankan suatu
perusahaan dengan memakai nama bersama.
Berpangkal dari apa yang telah diatur dalam Pasal 16, 17 dan 18 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (KUHD), maka karakteristik firma dapat dijelaskan secara
agak runtut sebagai berikut :
a. firma hanyalah suatu bentuk usaha bersama yang bukan badan hukum (bukan
korporasi);
b. firma juga bukan subyek hukum, oleh karena bukan subyek hukum yang
merupakan pengemban hak dan kewajiban, maka dengan sendirinya firma:
- tidak wenang melakukan perbuatan hukum;
- tidak memiliki harta kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan
pendirinya.
c. sehingga dalam firma, yang wenang melakukan perbuatan hukum adalah sekutu
secara pribadi yang nota bene adalah manusia (natuurlijke person);
d. oleh karena yang wenang melakukan perbuatan hukum adalah sekutu secara
pribadi, maka tanggung jawabnya adalah tanggung jawab pribadi juga;
e. apabila terjadi sesuatu perbuatan yang bersifat melanggar hukum baik dalam
konteks hukum perdata maupun hukum pidana, maka yang harus
dipertanggungjawabkan adalah sekutu atau sekutu-sekutu yang bersangkutan
secara pribadi;
f. berkaitan dengan pertanggungjawaban tersebut, maka penerapan sanksi baik
dalam konteks hukum perdata maupun pidana, dikenakan terhadap sekutu atau
sekutu-sekutu yang bersangkutan secara pribadi.

107
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112

Oleh karena dalam firma yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum adalah
sekutu yang nota bene manusia (natuurlijke person), maka sanksi pidana yang dapat
diterapkan adalah semua sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 KUHP.
2. Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschap / CV)
Persekutuan Komanditer diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(KUHD atau WvK) khususnya Pasal 19 - 35, sedangkan yang dimaksud dengan
Persekutuan Komanditer atau ada pula yang menyebutnya dengan istilah Perseroan
Komanditer (Commanditaire Vennootcshap) atau lebih populer disebut dengan
singkatan CV.
Berdasarkan ketentuan Pasal 19-35 KUHD didapat unsur-unsur penting
persekutuan komanditer sebagai berikut :
a. CV merupakan persekutuan perdata yang di dalamnya terdapat unsur kerja sama,
dengan modal yang berasal dari pemasukan (inbreng) yang dapat berupa uang,
barang atau bahkan tenaga, dan bertujuan mendapat serta membagi keuntungan;
b. CV didirikan untuk menyelenggarakan perusahaan / kegiatan komersial;
c. CV mempunyai dua macam pesero atau sekutu, yakni :
1) Pesero aktif (sekutu aktif / sekutu komplementer), yaitu pesero yang
bertindak sebagai pengurus, dapat mengikatkan Perseroan Komanditer (CV)
dengan pihak ketiga dan bertanggung jawab secara tanggung renteng sampai
pada kekayaan pribadi.
2) Pesero pasif (sekutu pasif / sekutu komanditer), yaitu pesero yang hanya
memberikan pemasukan (inbreng) dan tidak ikut dalam mengurus
perseroan, dan tanggung jawabnya sebatas pada modal yang dimasukkan.
d. CV hanyalah suatu bentuk usaha bersama yang bukan merupakan badan hukum
(bukan korporasi);
e. CV juga bukan subyek hukum yang merupakan pengemban hak dan kewajiban;
f. CV tidak wenang bertindak;
g. CV tidak memiliki harta kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan para
sekutunya.

Dalam CV untuk melakukan kegiatan usahanya sehari-hari, yang wenang


melakukan perbuatan hukum adalah sekutu aktif atau sekutu komplementer secara

108
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi - Adriano

pribadi yang nota bene adalah manusia (natuurlijke person), oleh karena yang wenang
melakukan perbuatan hukum adalah sekutu aktif atau sekutu komplementer secara
pribadi, maka konsekuensinya tanggung jawabnya adalah tanggung jawab pribadi juga,
yang apabila terjadi sesuatu perbuatan yang bersifat melanggar hukum baik dalam
konteks hukum perdata maupun pidana, maka yang harus dipertanggungjawabkan
adalah sekutu aktif atau sekutu komplementer yang bersangkutan secara pribadi,
demikian juga dengan penerapan sanksinya tentu dikenakan terhadap sekutu aktif atau
sekutu komplementer yang bersangkutan secara pribadi, dan oleh karena sekutu aktif
atau sekutu komplementer adalah manusia (natuutlijke person), maka sanksi yang dapat
diterapkan dalam pertanggungjawaban pidananya adalah semua sanksi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 KUHP.
Berdasarkan semua uraian dalam bagian ini, maka karakteristik-karakteristik
yang muncul berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap badan yang
bukan badan hukum, secara runtut dapat penulis sebutkan satu-persatu sebagai berikut :
1) badan yang bukan badan hukum tersebut adalah bukan merupakan subyek
hukum;
2) juga bukan sebagai pengemban hak dan kewajiban;
3) dan tidak memiliki kewenangan hukum, sehingga tidak dapat melakukan
perbuatan hukum;
4) badan yang bukan badan hukum tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum termasuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana, sehingga
beban pertanggungjawaban hukumnya terletak pada subyek hukum person yang
memiliki badan usaha tersebut, atau yang menjadi pengurus, atau yang menjadi
penanggungjawab dari badan yang bukan badan hukum itu;
5) oleh karena yang dipertanggungjawabkan adalah person yang memiliki badan
usaha yang bersangkutan, atau yang menjadi pengurus, atau yang menjadi
penanggungjawab dari badan yang bukan badan hukum tersebut, maka itu
berarti yang dipertanggungjawabkan atas terjadinya tindak pidana yang
berkaitan dengan badan yang bukan badan hukum itu adalah sosok manusia
(natuurlijke person) sebagai person yang memiliki badan usaha yang
bersangkutan atau yang menjadi pengurus atau yang menjadi penanggungjawab
dari badan yang bukan badan hukum tersebut, yang dengan sendirinya

109
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112

penuntutan atas tindak pidana yang disangkakan dilakukan terhadap person


tersebut, dan bukan terhadap badan yang bukan badan hukum itu;
6) selanjutnya oleh karena yang dipertanggungjawabkan atas terjadinya tindak
pidana yang berkaitan dengan badan yang bukan badan hukum itu adalah sosok
manusia (natuurlijke person), maka mengenai pidana yang dapat dijatuhkan
bukan lagi pidana denda yang menjadi pidana pokok utama bagi korporasi
(dalam arti badan hukum), melainkan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menentukan :
Pidana terdiri atas :
a. Pidana pokok.
1. Pidana mati,
2. Pidana penjara,
3. Kurungan,
4. Denda.
b. Pidana tambahan.
1. Pencabutan hak-hak tertentu,
2. Perampasan barang-barang tertentu,
3. Pengumuman putusan hakim.

III. KESIMPULAN
Berdasarkan semua uraian sebagaimana tersebut di atas, maka penulis
berkesimpulan sebagai berikut:
Pertama, secara umum terdapat karakteristik yang berbeda antara badan hukum
(rechtspersoon / legal entity) dengan badan yang bukan badan hukum (non
rechtspersonn / non legal entity);
Kedua, karakteristik yang secara umum berbeda tersebut, menyebabkan dalam
pertanggungjawaban pidananya antara badan hukum (rechtspersoon / legal entity)
dengan badan yang bukan badan hokum (non rechtspersonn / non legal entity) itu
menjadi berbeda pula, perbedaan tersebut terjadi karena;
Ketiga, letak beban dari pertanggungjawaban pidana -nya itu sendiri, dimana
untuk badan hukum beban tanggungjawabnya berada pada badan hukum itu sendiri
(recthspersoon / legal entity), sedangkan untuk badan yang bukan hukum beban (non
rechtspersonn / non legal entity) tanggungjawabnya berada pada para sekutu atau
pesero atau pengurusya secara pribadi yang nota bene adalah manusia (natuurlijke
person);

110
Disertasi Karakteristik Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi - Adriano

Keempat, adanya prinsip-prinsip hukum yang melatarbelakangi terbentuknya


karakteristik dari masing-masing badan hukum dan badan yang bukan badan hukum
tersebut. Prinsip-prinsip hukum dimaksud terutama yang berasal dari lingkup hukum
perdata yang memang sejak awal telah membentuk karakter dari masing-masing badan
itu.
Kelima, telah terjadi ketidaknalaran bagi hukum (unlogic for the law) dalam
mempertanggungjawabkan secara pidana terhadap korporasi, dimana korporasi
diartikan secara luas sebagai kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum sebagaimana yang telah diatur
dalam berbagai undang-undang yang selama ini menentukan perlakuan terhadap
keduanya secara sama, sebagai hasil telah dilanggarnya prinsip-prinsip hukum terutama
yang berasal dari lingkup hukum perdata (menyangkut keberadaan badan yang bukan
badan hukum) yang memang telah diatur sejak awal sehingga membentuk suatu
karakteristik tersendiri bagi masing-masing badan itu, baik badan hukum
(rechtspersoon / legal entity) maupun badan yang bukan badan hokum (non
rechtspersonn / non legal entity).
IV. DAFTAR PUSTAKA
Adil, Soetan K. Malikoe. Pembaharuan Hukum Perdata Kita. Jakarta: Pembangunan,
1955.

Amrullah, M. Arief. Kejahatan Korporasi. Malang: Bayumedia Publishing, 2004.

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan


Penyusunan KUHP Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Kejahatan Perseroan Terbatas. Jakarta 2002.
Bakan, Joel, The Corporation. Kanada: FreePress, a Divison of Simon Schuster, Inc.,
2004.
Bruggink, J.J. H. (alih Bahasa Arief Sidharta), Refleksi Tentang Hukum. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1999.
Bogdan, Michael, Comperative Law. Norway Tano: Kluwer Norstedts Juridik, 1994.
Carraso, Cynthia E. and Dipee, Michael K., Corporate Criminal Liability. The
American Criminal Law Review, Georgetown University Law Center, Chicago
1999.

111
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 91 - 112

Cohen, Mark A., Theories of Pinishment and Empirical Trends in Corporate Criminal
Sanctions. Nashville: Vanderbilt University, 1996.
Darmabrata, Wahyono dan Ari Wahyudi Hertanto, Implementasi Good Corporate
Governance Dan Komisaris Perseroan Terbatas. Jurnal Hukum Bisnis, Volume
22 Nomor 6, 2003.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa
Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Garner, Bryan A., Black Law Dictionary, Ninth Edition, West Thomson Reuter
Business, USA 2009.
Geis, Gilbert, Joseph FC DiMento, Empirical Evidence and The Legal Doctrine of
Corporate Criminal Liability. University of Texas, Austin School of Law
Publications USA 2003.
Gerber, Jurg and Jensen Eric. L, with the collaboration of Kubena Jilleta. L
Encyclopedia of White Collar Crime. Greenwood Press, Westport, Connecticut,
London 2007.
Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Reribusi Ke Reformasi.
Jakarta: Pradnya Paramita, 1986.
Hadjon, Philipus M., dan Tatiek Sri Djamiati, Dr., MS., SH. Argumentasi Hukum.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005.
Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008.
Hutchinson, Terry, Researching and Writing in Law. Sydney: Lawbook Co, 2002.
Gerry A. Ferguson, Criminal Liability And Sentenceing Of Corporations. Yuridika Vol.
14 No. 4, Juli-Agustus 1999: 300-321.
Harris, Freddy, Pemisahan Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas. Jurnal
Hukum dan Pembangunan, Tahun Ke-35 No. 1, Januari 2005.
Michael, Allan J. Textbook On Criminal Law. Oxford: Oxford University Press, 2005.

112
DISERTASI
PENERAPAN PRINSIP KETERBUKAAN
ATAS PUTUSAN ARBITRASE ICSID DI INDONESIA DAN
PERBANDINGANNYA DENGAN BEBERAPA NEGARA

THE IMPLEMENTATION OF TRANSPARENCY PRINCIPLES


FOR ICSID ARBITRATION AWARDS IN INDONESIA AND THE
COMPARISON WITH SEVERAL COUNTRIES

NURNANINGSIH AMRIANI
Disertasi telah dipertahankan dalam sidang terbuka Doktor Ilmu Hukum
di Universitas Sumatera Utara pada tanggal 22 April 2015.

ABSTRAK
Kerahasiaan putusan arbitrase ICSID sudah mulai diterobos dengan keterbukaan putusan
atas peluang yang diberikan oleh Pasal 48 ayat (5) Konvensi ICSID dan Aturan 48 ayat
(4) ICSID Arbitration Rules. Perubahan norma hukum dari kerahasiaan menjadi
keterbukaan putusan arbitrase ICSID dengan membandingkan penerapannya antara
negara Indonesia dengan Malaysia, Singapura dan Jepang, diharapkan memberi manfaat
yang besar bagi masyarakat secara luas termasuk didalamnya negara anggota ICSID.
Hasil penelitian disertasi ini membuktikan bahwa keterbukaan putusan arbitrase ICSID
diperlukan daripada kerahasiaan putusan dengan beberapa alasan penting dan tidak
menimbulkan masalah. Bahkan membantu mewujudkan pelaksanaan asas pemerintahan
yang baik. Melalui tulisan ini akan diketahui perlunya unifikasi hukum mengenai
kewajiban publikasi putusan dan perlunya amandemen Undang-Undang Arbitrase di
Indonesia.
Kata kunci : prinsip keterbukaan, putusan arbitrase, ICSID, negara.

ABSTRACT
Confidentiality ICSID arbitration award already started breached by the transparency
award on the opportunity provided by Article 48 paragraph (5) of the ICSID Convention
and Rule 48 paragraph (4) of the ICSID Arbitration Rules. Changes in the legal norms
of confidentiality to transparency of ICSID arbitration award by comparing its
application in Indonesia, Malaysia, Singapore and Japan, are expected to provide great
benefits for society include ICSID member countries. This dissertation research results
prove that the ICSID arbitration ruling required transparency rather than confidentiality
award for several important reasons and not cause problems. Even it helped realize the
implementation of good governance principles. the article will note the need for
unification of the laws regarding the responsibility of publication award and the need to
amend the Arbitration Law in Indonesia.
Keywords : principles of transparency, arbitration award, ICSID, state.

113
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian terhadap penerapan prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase ICSID
(International Center for The Settlement of Investment Dispute) di Indonesia dan
perbandingannya dengan beberapa negara dirasakan penting, paling tidak didasarkan
pada enam alasan yaitu pertama, kerahasiaan sebagai salah satu keunggulan penyelesaian
sengketa melalui arbitrase tidak lagi dianggap penting dan saat ini sudah mulai diterobos
dengan adanya penggunaan prinsip keterbukaan berdasarkan peluang yang diberikan
Pasal 48 ayat (5) Konvensi ICSID 19651. Kedua, beberapa negara seperti Indonesia dan
Malaysia mengatur mengenai kewajiban kerahasiaan secara umum berkaitan dengan
putusan arbitrase, namun tetap mempublikasikan beberapa putusan arbitrase lembaga
ICSID yang melibatkan negaranya.
Ketiga, beberapa negara tidak mengatur mengenai kerahasiaan putusan arbitrase.
Keempat, terdapat inkonsistensi antara prinsip kerahasiaan arbitrase yang dianut dengan
realitas di lapangan, misalnya Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban kerahasiaan
pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative
Penyelesaian Sengketa dan Pasal 14 ayat (5) Peraturan Prosedur Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), akan tetapi terdapat putusan arbitrase investasi yang
melibatkan Indonesia atau badan pemerintah Indonesia yang diselesaikan melalui
lembaga arbitrase ICSID yang dipublikasikan putusannya sedangkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 adalah peraturan umum arbitrase. Kelima, terjadi pergeseran
prinsip ketika non-litigasi berubah menjadi litigasi menyangkut permintaan pelaksanaan
putusan dan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase yang mengakibatkan hilangnya
sifat rahasia putusan arbitrase. Keenam, dengan keterbukaan atau publikasi putusan
arbitrase ICSID, diharapkan putusan yang dihasilkan dapat mencerminkan nilai
kewajaran, keadilan, dan bermanfaat serta menciptakan kepastian hukum bagi banyak
pihak sehingga dapat memberikan perlindungan hukum bagi investor dan host state.
ICSID berfungsi menyelesaikan sengketa penanaman modal asing yang bernaung
dan diprakarsai oleh Bank Dunia yang terbentuk berdasarkan Konvensi Washington
tanggal 18 Maret 1965 dan mulai berlaku pada tanggal 14 Oktober 1966 yang

1
Pasal 48 ayat (5) Konvensi ICSID 1965 menyatakan bahwa The Centre shall not publish the
award without the consent of the parties.

114
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID
di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani

ditandatangani oleh Indonesia pada tanggal 16 Februari 1968 serta diratifikasi melalui
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tanggal 29 Juni 1968 tentang Penyelesaian
Perselisihan Antara Negara dan Warganegara Asing Mengenai Penanaman Modal.
Sejalan dengan hal tersebut Indonesia menetapkan sistem hukumnya dengan memberi
peluang untuk mengajukan sengketa kepada lembaga arbitrase internasional sesuai Pasal
32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
(selanjutnya UU PMA). Aturan ini memicu lahirnya beberapa sengketa arbitrase
berkaitan dengan investor asing melawan Pemerintah Republik Indonesia.
UU PMA memang telah mengatur mengenai prinsip keterbukaan, namun tidak
serta merta dielaborasikan dengan ketentuan arbitrase pada umumnya terutama dengan
lembaga arbitrase ICSID yang khusus menyelesaikan sengketa mengenai penanaman
modal asing, padahal prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase adalah bentuk kepastian
hukum.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Mengapa prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase diperlukan dalam
penyelesaian sengketa penanaman modal asing melalui ICSID antara investor dan
host state?
2. Mengapa terjadi perbedaan penerapan prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase
ICSID di berbagai negara?
3. Bagaimana penerapan prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase ICSID di
Indonesia?
C. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam disertasi ini adalah metode penelitian
hukum normatif yang beranjak dari telaah hukum positif mengenai penerapan
keterbukaan putusan sengketa penanaman modal melalui lembaga arbitrase ICSID di
Indonesia dan di beberapa negara di dunia yaitu Malaysia, Singapura dan Jepang.
Penelitian ini juga mencakup penelitian terhadap asas hukum dan sinkronisasinya dalam
undang-undang arbitrase dan undang-undang dengan bertolak dari analisis yuridis
kualitatif. Penelitian ini bersifat eksplanatif, deskriptif dan preskriptif serta perbandingan
dengan beberapa negara karena mewakili dua sistem hukum di dunia yaitu Civil Law dan
Common Law, adanya kemiripan sistem hukum dengan Indonesia dan mewakili negara

115
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134

yang mengatur keterbukaan maupun kerahasiaan putusan arbitrase dalam undang-undang


nasionalnya.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Alasan Pentingnya Keterbukaan Putusan Arbitrase ICSID
ICSID merupakan bagian dari Bank Dunia didesain sebagai self-contained and
as transparent to involved parties as possible, and these principles are reflected in the
Conventions provision.2 Tidak seperti arbitrase komersial internasional, sebab hukum
arbitrase di mana arbitrase dilakukan tidak mempengaruhi proses ICSID,3 kewajiban
pembayaran yang ditentukan dari putusan ICSID dilaksanakan oleh contracting state
seperti dalam putusan akhir pengadilan domestik dan para pihak tidak perlu meminta
bantuan pengakuan dan pelaksanaan sebagaimana diatur dalam Konvensi New York atau
hukum domestik lainnya atau harus diperjanjikan sebelumnya karena sifatnya final dan
mengikat.4
Sejak berdirinya ICSID pada tahun 1965 hingga bulan Juni 2014 terdaftar
anggotanya sebanyak 159 Negara dan hanya 9 negara yang belum meratifikasi.5 ICSID
merupakan suatu badan administratif dan bukan badan judisial, namun juga sebagai badan
hukum internasional yang mirip dengan Majelis Internasional. ICSID juga bukan badan
arbitrase komersial seperti ICC (International Chamber of Commerce), melainkan suatu
badan arbitrase yang menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa investasi antara
investor asing dengan salah satu negara anggota ICSID (contracting state) atau badan
suatu negara anggota ICSID yang telah menandatangani perjanjian awal yang disebut BIT
(Billateral Investment Treaty) untuk memilih ICSID sebagai lembaga penyelesaian
sengketa di kemudian hari.
Sesuai dengan Pasal 6 (1) (a)-(c) Konvensi ICSID, terdapat 5 aturan ICSID yang
harus dipahami yaitu : Administrative and Financial Regulations, Rule of Procedure for
the Institution of Conciliation and Arbitration Proceedings (Institution Rules), Rules of
Procedure for Conciliation Proceedings (Conciliation Rules), Rules of Procedure for

2
Lucy Reed, Jan Paulson & Nigel Blackaby, Guide to ICSID Arbitration, (Frederick, MD : Kluwer
Law International, 2004), hlm. 8-9.
3
Ibid.
4
Ibid.
5
http://icsid.worldbank.org/ICSID/&gt, diakses tanggal 30 Desember 2013.

116
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID
di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani

Arbitration Proceedings (Arbitration Rules), dan fasilitas tambahan yang disebut ICSID
Additional Facility Rules (AF).
ICSID tidak menyelesaikan sengketa antar subjek hukum perdata, namun hanya
menyelesaikan sengketa antara pemerintah sebagai subjek publik dengan investor sebagai
subyek hukum perdata. Konvensi ini ditujukan ditujukan untuk menyelesaikan sengketa
investasi yang meningkat mengikuti investasi asing dan bermanfaat bagi pembangunan
ekonomi dari host state.6 Hal tersebut menjadi teori yang digunakan dalam putusan
AMCO v. Indonesia yang dalam pertimbangannya Majelis Arbitrase menyatakan bahwa7
melindungi investasi adalah to protect investments is to protect the general interest
of development and developing countries. Sengketa pertama melalui ICSID diajukan
pada tahun 1972 yaitu sengketa Holiday Inn. S.A., and others v. Morocco (ICSID Case
No. ARB/72/1) tanggal 13 Januari 1972 dan hal tersebut sesuai dengan ketentuan
Peraturan 23 (1) ICSID Administrative Financial Regulations yang mengharuskan
Sekretaris-Jenderal untuk meregister setiap sengketa sesuai Pasal 5 ICSID AF Rules.
Peraturan ini juga menetapkan bahwa register tersebut harus terbuka untuk diperiksa oleh
para pihak sesuai Peraturan 23 (2) ICSID Administrative Financial Regulations dan Pasal
5 ICSID AF Rules, register mana berisi rincian dasar proses persidangan, data yang
lengkap mengenai institusi, prilaku dan disposisi setiap persidangan, termasuk metode
konstitusi dan keanggotaan masing-masing komisi, majelis dan komite serta
mengharuskan register untuk memasukkan informasi tentang putusan yang dilakukan
para pihak sesuai Konvensi ICSID.
Dalam arbitrase ICSID terdapat hubungan antara negara dengan investor, terdapat
kepentingan publik serta terdapat aturan mengenai ikut sertanya publik atas persetujuan
para pihak, yang seringkali diabaikan jika dilakukan tanpa publisitas dan partisipasi
terbuka oleh publik. Oleh karenanya, kerahasiaan bukan sebagai faktor yang mendukung
cepatnya penyelesaian sengketa dan putusan arbitrase ICSID berdampak pada
ketersediaan dana suatu negara.8 Beberapa sengketa bahkan mempersoalkan isu publikasi
yang kemudian dihentikan (pending cases), misalnya sengketa Apotex Holding Inc. and
Apotex Inc., v. United States of America (ICSID Case No. ARB (AF)/12/1) dalam

6
Sherif H. Seid, Global Regulation of Foreign Direct Investment, (England : Ashgate Publishing
Limited, 2002), hlm. 12.
7
Ibid.
8
Ibid.

117
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134

confidentiality agreement tanggal 24 Juli 2012 dan sengketa Mobile TeleSystems OJSC
v. Republic of Uzbekistan (ICSID Case No. ARB (AF)/12/7), yang di hentikan sementara
berkaitan dengan kerahasiaan.9 Sedangkan dalam sengketa Biwater Gauff (Tanzania)
Limited v. United Republic of Tanzania, (ICSID Case No. ARB/05/22), dalam Procedural
Order No. 3, paragraph 121 tanggal 29 September 2006. Akan tetapi terdapat juga
larangan untuk melakukan publikasi yang memperburuk keadaan sengketa seperti
pertimbangan dalam putusan Amco Asia Corporation and others v. Republic of Indonesia,
(ICSID Case No. ARB/81/1), Decision on Request for Provisional Measure, tanggal 9
Desember 1983 dan putusan Occidental Petroleum Corporation and Occidental
Exploration and Production Company v. Republic of Ecuador, (ICSID Case No.
ARB/06/11), Decision on Provisional Measures, paragraph 96, tanggal 17 Agustus 2007.
Keterbukaan dalam arbitrase internasional berkaitan dengan akses publik sebagai
hak setiap orang sebagai warganegara yang menjamin para pihak untuk memperoleh
informasi yang dibutuhkan dengan mudah sehingga dapat merencanakan tindakan dan
rencana selanjutnya berkaitan dengan perjanjian. Pada saat mengadakan perjanjian
dagang termasuk investasi, para pihak memiliki kebebasan berkontrak dan otonomi yang
luas dalam menentukan isi perjanjian, bentuk, tempat maupun aturan prosedur arbitrase.10
Berdasarkan asas tersebut maka para pihak secara tertulis 11 dalam perjanjiannya
menyepakati penyelesaian sengketanya melalui ICSID dan menyepakati keterbukaan
putusan atau merahasiakannya dengan batasan yurisdiksi lembaga arbitrase yang
bersangkutan sesuai Pasal 41 dan Pasal 26 Konvensi ICSID, seperti dalam putusan
Metalclad corp. V. United Mexican States12 yang berisi beberapa pembatasan singkat atas
kebebasan para pihak untuk mempublikasikan informasi tertentu berkaitan dengan
arbitrase.13 Jadi tidak ada kewajiban kerahasiaan dalam ICSID sesuai Pasal 48 ayat (5)
Konvensi ICSID dan Aturan 48 ayat (4) Arbitration Rules..

9
http://icsid_worldbank.org/icsid/FrontServlet?requestType=GenCasePHSRH&actionVal=ListPe
nding, diakses pada tanggal 31 Desember 2013.
10
Basuki Rekso Wibowo, Prinsip-Prinsip Dasar Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa Dagang Di Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika, vol. 16 No. 6, Universitas Airlangga, Nopember-
Desember 2001, hlm. 552, 559.
11
Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) Konvensi ICSID.
12
Sengketa Metalclad corp. V. United Mexican States, Putusan (ICSID Case No. ARB(AF)/97/1),
tanggal 30 Agustus 2000, diakses dari http://www.state.gov/documents/organization/3998.pdf., paragrap.
13.
13
Wolfgang Peter, Arbitration and Renegotiation of International Investment Agreements, Second
Revised and Enlarged Edition, The Hague/Boston/London : Kluwer Law International, 1995., hlm. 309.

118
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID
di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani

Pada tahun 2006, Negara Anggota ICSID (contracting state) dan pihak lain yang
berkepentingan menyadari semakin pentingnya peningkatan keterbukaan dalam ICSID
sehingga beberapa perubahan dilakukan terhadap akses dokumen,14 dimungkinkannya
dengar pendapat dalam persidangan secara terbuka,15 ikut sertanya pihak ketiga dalam
proses penyelesaian sengketa.16 Amandemen penting yang dilakukan terhadap Aturan 48
ayat (4) ICSID Arbitration Rules menjelaskan bahwa tanpa adanya persetujuan kedua
belah pihak untuk menerbitkan putusan, Centre akan mempublikasikan pertimbangan
hukum majelis (legal reasoning of the tribunal).17Amandemen yang serupa juga
dilakukan terhadap Pasal 53 ayat (3) Additional Facilitily Arbitration Rules agar dapat
memudahkan publikasi putusan tepat pada waktunya. Demikian juga dalam Peraturan 22
Administrative and Financial Regulation bahwa jika terjadi kesepakatan di antara para
pihak untuk mempublikasikan putusan arbitrase para pihak maka harus melalui
Sekretaris-Jenderal ICSID untuk mengatur publikasi putusan tersebut dalam bentuk yang
tepat dengan maksud untuk meningkatkan perkembangan hukum internasional berkaitan
dengan investasi. Negara Belanda bahkan telah melakukan publikasi putusan arbitrase
sejak tahun akhir 1919 dengan aturan bahwa publikasi identitas lengkap para pihak tidak
diijinkan kecuali terdapat persetujuan para pihak.18 Jadi apabila di antara para pihak tidak
ada diperjanjikan mengenai kerahasiaan ataupun keterbukaan, maka tidak ada paksaan
untuk wajib menjaga kerahasiaan dalam arbitrase ICSID.19

14
PAsal 48 ayat (5) ICSID Arbitration Rules 2006 dan Pasal 53 ayat (3) Additional Facility
Arbitration Rules 2006.
15
Aturan 32 ayat (2) ICSID Arbitration Rules 2006 dan Pasal 39 ayat (2) Additional Facility
Arbitration Rules 2006.
16
Aturan 37 ayat (2) ICSID Arbitration Rules 2006 dan Pasal 41 ayat (3) Additional Facility
Arbitration Rules 2006.
17
Meg Kinnear, Eloise Obadia and Michael Gagain, dalam Alberto Malatesta & Rinaldo Sali, The
Rise of Transparency In International Arbitration : The Case for the Anonymous Publication of Arbitral
Awards, (USA : JurisNet : LLC, 2013), hlm. 116.
18
Jan C. Schultsz, and Albert Jan Van Den Berg, The Art of Arbitration Essays on International
Arbitration Liber Amicorum Pieter Sanders 12 September 1912-1982, (Deventer/The Netherlands : Kluwer
Law an d Taxation Publishers, 1982), hlm. 109.
19
Dalam Sengketa Biwater Gauff v. Tanzania, Putusan (ICSID Case No. ARB/05/22), Procedural
Order No. 3, tanggal 29 September 2006, Paragraph 121. Pertimbangan ini juga dijadikan referensi oleh
Majelis Arbitrase pada pertimbangan dalam sengketa Amco v. Indonesia (1983).

119
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134

Sejak tahun 2003 hingga tahun 2007 meskipun Konvensi ICSID tidak
mewajibkan publikasi putusan, ternyata jumlah publikasi putusan lebih banyak
dibandingkan yang rahasia20 sebagaimana tabel berikut :
Putusan
Tahun Publikasi Rahasia
Final
2003 15 9 6
2004 9 6 3
2005 13 8 5
2006 13 6 7

2007 21 13 8

Jumlah 71 42 29

Demikian juga periode tahun 2009 sampai tahun 2013 yaitu setelah amandemen
ICSID Arbitration Rules, jumlah publikasi putusan lebih banyak seperti dalam tabel
berikut : 21
Putusan Publikasi Rahasia
Tahun
Final
2008 25 10 15
2009 25 11 14
2010 26 18 8
2011 19 16 3
2012 16 7 9
2013 28 12 16
Jumlah 139 74 65

Berdasarkan data tersebut jelas bahwa terdapat semangat keterbukaan yang lebih
luas yang diinspirasi oleh arbitrase antara investor dengan negara. Berdasarkan penelitian
disimpulkan beberapa alasan perlunya keterbukaan putusan, antara lain :
1. Putusan Arbitrase ICSID sebagai Preseden sehingga Tercipta
Kepastian Hukum
Putusan Majelis Arbitrase ICSID yang telah dipublikasi mencantumkan
pertimbangan yang turut membantu pembangunan hukum arbitrase internasional,
sebagaimana dikatakan William W. Park, Presiden dari LCIA (London Court of

20
Sumber : diolah dari data yang dimuat
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&reqFrom=Main&actionVal=Vie
wAllCases., diakses tanggal 31 Desember 2013.
21
Ibid.

120
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID
di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani

International Arbitration).22 Menurut Mauro Rubino,23 efek mengikatnya putusan


arbitrase yang sebelumnya dikenal dengan aturan stare decisis secara umum tidak
ditemukan dalam arbitrase. Jika pada akhirnya terdapat preseden pada putusan arbitrase
maka hal tersebut berarti to be psychologically binding in nature, secara psikologi
mengikat karena sifatnya. Berkaitan dengan hal tersebut Komite Ad Hoc ICSID mengatur
dalam Putusan Indonesia v. Amco Asia Corp.,24 bahwa tidak adanya efek mengikat, bukan
merupakan masalah melainkan hanya memperhatikan putusan yang ada sebelumnya.
Sengketa Malaysian Historical Salvors, SDN, BHD v. Malaysia (ICSID Case No.
ARB/05/10) tanggal 17 Mei 2007 adalah putusan ICSID yang mempertimbangkan
pentingnya preseden yang ada mengenai investasi. Putusan yang dapat di akses oleh
publik akan mempengaruhi arbiter sebagai pengambil keputusan untuk tetap konsisten
dengan putusan yang telah diambilnya.
2. Keterbukaan Putusan Menciptakan Perlindungan Hukum bagi Para Pihak
dan Pelaksanaan Putusan, Meminimalisir Resiko Mendatang sehingga
Meningkatkan Kepercayaan Kepada Arbitrase
Pemilihan penyelesaian sengketa ICSID sebelumnya telah disepakati dalam BIT
antara investor dan negara tujuan investasi yang mengatur hak substantif investor untuk
melindungi investasi. Sekitar 3200 BIT telah ada dalam perjanjian internasional. Negara
tertentu bahkan telah mempraktekkan keterbukaan dan menjamin tersedianya undang-
undang yang mempromosikan investasi, misalnya di Venezuela melalui Pasal 22 Law No.
356 tanggal 3 Oktober 1999 tentang promosi dan perlindungan investasi asing yang telah
menerima keterbukaan secara luas dalam konteks beberapa arbitrase antara investor dan
host state, dimana telah diterapkan pertimbangan putusan Mobil v. Bolivarian Republic
of Venezulea (ICSID Case No. ARB/07/27) putusan tanggal 10 Juni 2010 tentang putusan
jurisdiksi. Bahkan senyatanya terdapat negara yang menerobos kewajiban yang telah
ditentukan oleh hukum internasional tetapi hal itu tidak dianggap bahwa negara tersebut
telah melakukan suatu perbuatan yang tidak adil, seperti pertimbangan dalam sengketa

22
Horacio A. Grigera Naon and Paul E. Mason, International Commercial Arbitration Practice :
21 Century Perspectives, (United Kingdom : LexisNexis, 2011), Sec.no.4.03.
st
23
Mauro Rubino-Sammartano, World Litigation Law and Practice, (New York : Matthew Bender,
1986), hlm. 16.
24
Sengketa Amco Asia Corporation and others v. Republic of Indonesia (ICSID Case No.
ARB/81/1), ICSID ad hoc Committee, tanggal 16 Mei 1986, dalam Yearbook Commercial Arbitration, Vol.
XII, tahun 1987, hlm. 138.

121
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134

Metalclad Corporation v. United Mexican States dan sengketa CMS Gas Transmission
Company v. Argentine Republic25
Pelaksanaan putusan akhir adalah tujuan utama bagi investor yang dirugikan oleh
host state maupun sebaliknya, di mana ICSID menyediakan sistem yang paling
menguntungkan untuk melaksanakan putusan terhadap negara dan mengikat tanpa
bantuan pengadilan nasional,26 sehingga publikasi putusan dan pertimbangannya akan
melindungi pelaksanaan putusan,27 juga turut menjamin tidak adanya perubahan amar
putusan oleh pihak yang beritikad buruk. Kemudian meminimalkan resiko masa
mendatang melalui dasar kebenaran proses arbitrase,28 sebagai pembenaran berkaitan
dengan manfaat jangka menengah dan jangka panjang, termasuk pengoperasian dalam
kewenangan asing dan penegakan putusan. Publikasi putusan juga dapat membantu para
pihak dalam menghindari sengketa di masa yang akan datang karena para pihak dapat
mempelajari kesalahan masing-masing pihak satu sama lain.29 Keterbukaan putusan
arbitrase menyebabkan para pihak telah dapat menilai arbiter mana yang baik dan negara
juga dimungkinkan dapat mengubah aturan substanstif dan prosedural yang ada pada
kesempatan berikutnya di masa mendatang,30 sehingga dapat mencegah sengketa di masa
mendatang. Selain itu dengan keterbukaan putusan, maka baik investor maupun host state
akan menciptakan suasana investasi yang kondusif satu sama lain, investor melakukan
investasi dengan baik dan host state akan memastikan bahwa regulasi yang ditetapkan
tidak akan merugikan investor sehingga tidak terjadi sengketa yang akan menurunkan
image investor dan minat investasi terhadap host state. Putusan yang beralasan hukum
dan kemudian dipublikasi, akan menimbulkan kepercayaan publik terhadap Majelis

25
Metalclad Corporation v. United Mexican States, (ICSID Case No. ARB (AF)/97/1) putusan
tanggal 30 Agustus 2000 ; dan CMS Gas Transmission Company v. Argentine Republic, (ICSID Case No.
ARB/01/8) tanggal 17 Juli 2003.
26
Pasal 51 ayat (1) Konvensi ICSID
27
Aturan 48 ayat (4) ICSID Arbitration Rules.
28
Cornel Marian, Suistainable Investment Through Effective Resolution of Investment Dispute-
Is Transparency the Answer?, SRRN Journal, hlm. 9, diakses dari
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2070676 , tanggal 25 Januari 2013.
29
Cindy B. Guys., The Tension Between Confidentiality and Transparency in International
Arbitration, The American Review of International Arbitration, Vol. 14/2003, diakses dari
http://ssrn.com., hlm. 136-137.
30
Delaney & Magraw, Procedural Transparency, The Oxford Handbook of International
Investment Law, 2008, hlm. 762.

122
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID
di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani

Arbitrase yang netral dan tidak memihak. Putusan Kardassapolous and Fuchs v.
Georgia31 menggambarkan pentingnya mengandalkan kepercayaan.
3. Keterbukaan Putusan Mewujudkan Keadilan, Prediktabilitas Putusan,
Meningkatkan Kualitas Putusan dan Rasionalitas Sengketa
Keterbukaan putusan merupakan bagian dari penyelesaian sengketa yang adil dan
seimbang, bentuk perlindungan dan keamanan sebagai elemen standar penyelesaian
sengketa dalam hukum internasional seperti pertimbangan putusan sengketa Mondev,32
putusan Waste Management v. Mexico, ditahun 2004,33 putusan MTD Equity v. Chile
ditahun 2004,34 Putusan CMS v. Argentina35 dan putusan Occidental v. Ecuador.36 Jadi
perlindungan terhadap investor dapat dilakukan melalui keterbukaan putusan arbitrase
karena penyelesaian sengketa dapat diprediksi, menjamin keseimbangan dan keadilan
putusan bagi para pihak sebab keadilan tidak hanya suatu prinsip tapi juga keinginan tiap
individu, sebagaimana dikatakan W. Friedman.37 Melalui publikasi putusan maka
kualitas putusan akan meningkat dan sengketa hukumnya menjadi lebih rasional serta
para pihak akan menggantungkan pengalaman dan harapan atas putusan yang telah ada.
4. Keterbukaan Putusan sebagai Bentuk Perwujudan Asas Pemerintahan
Yang Baik (Good Governance).
Perlindungan investor yang dicapai melalui publikasi putusan juga berkaitan
dengan cerminan asas-asas pemerintahan yang baik karena dengan adanya pemerintahan

31
Sengketa Kardassapolous and Fuchs v. Georgia, Putusan akhir, (ICSID Case No. ARB/05/18)
dan (ICSID Case No. ARB/07/15), tanggal 3 Maret 2010, paragraph. 12
32
Sengketa Mondev International Ltd. v. United States, (ICSID Case No. ARB(AF) /99/2),
putusan tanggal 11 Oktober 2002, paragraph 116, diakses dari
http://www.investmentclaims.com/decisions/Mondev-US-Award-11Oct2002.pdf
danhttp://www.state.gov /documents/organization/14442.pdf.
33
Sengketa Waste Management v. Mexico (ICSID Case No. ARB(AF)/98/2), Putusan tanggal 30
April 2004, paragraph 98, diakses dari http://www.investmentclaims.com/decisions/WasteMgmt-Mexico-
2-FinalAward-30Apr2004.pdf
34
Sengketa MTD Equity Sdn. Bhd. and MTD Chile S.A. v. Republic of Chile (ICSID Case No.
ARB/01/7), Putusan tanggal 25 Mei 2004, paragraph 113, diakses dari
http://www.investmentclaims.com/decisions/MTDChile-Award-25May2004.pdf dan http://www.asil.org
/ilib/MTDvChile.pdf.
35
Sengketa CMS Gas Transmission Company v. Argentine Republic (ICSID Case No. arb/01/8),
Putusan tanggal 12 Mei 2005, paragraph 276 dan 278, diakses dari
http://www.investmentclaims.com/decisions/CMS-Argentina-FinalAward-12May2005.pdf dan
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=GenCaseDtlsRH&actionVal=ListConclude
d.
36
Sengketa Occidental Exploration and Production Company v. Ecuador, (ICSID Case No.
ARB/06/11), putusan tanggal 1 Juli 2004, paragraphs 185-191,
http://www.investmentclaims.com/decisions/Occidental-Ecuador-FinalAward-1Jul2004.pdf
37
W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, London : Stevens & Sons Limited, 1960, hlm.
103-104.

123
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134

yang baik dan bertanggung jawab maka akan menghasilkan produk regulasi yang baik
yang akan mendorong warganya berbuat baik, hasilnya akan meningkatkan investasi dari
investor yang baik pula. Ini merupakan bentuk teori integrasi yang dicetuskan oleh
seorang ahli hukum Jerman bernama Smend,38
5. Keterbukaan Proses dan Putusan Arbitrase Menarik Partisipasi
Pihak Ketiga.
Diterimanya partisipasi pihak ketiga sebagai amicus curiae39 ke dalam suatu
sengketa arbitrase investasi menurut Buckley & Blyschak40 sebagai bentuk keseriusan
ICSID menuju keterbukaan bahwa ICSID menunjukkan betapa seriusnya pemberlakuan
keterbukaan dan partisipasi pihak lain dan ICSID bertanggung jawab tidak hanya untuk
anggotanya, tetapi juga untuk perwakilan ICSID. Hasil amandemen Aturan 37 ICSID
Arbitration Rules mendukung ikut sertanya amicus curiae dalam arbitrase ICSID
untuk kondisi tertentu. Putusan Sengketa Methanex41 menggarisbawahi pentingnya
masyarakat untuk mengomentari isu-isu yang mempengaruhi secara langsung atau tidak
langsung. Perkara ini adalah majelis pertama yang menarik para pihak atau pihak lain
sebagai amicus curiae42 untuk berpartisipasi dalam proses persidangan arbitrase dan
Perkara lain yaitu European Commission sebagai Amicus Curiae adalah dalam sengketa
AES v. Hungary,43 sengketa Pac Rim Cayman LLC v. Republic of El Salvador,44 dan
segketa The Rompetrol Group N.V. v. Romania.45 Majelis arbitrase yang juga mengakui

38
Ibid., hlm. 191.
39
Amicus curiae or friend of the court means a person who is not a party to a lawsuit but who
petitions the court or is requested by the court to file a brief in the action because that person has a strong
interest in the subject matter, dalam Black's Law Dictionary, 7th edn, (Paul Minn : Thomson West, 2004),
hlm.93.
40
Ross P. Buckley & Paul Blyschak, Guarding the Open Door : Non-Party Participation Before
the International Centre fo Settlement of Investment Disputes, Banking & Finance Law Review, Juni 2007,
22, 3, hlm. 365
41
Sengketa Methanex Corp. v. United States, Putusan Mahkamah Arbitrase terhadap permohonan
pihak ketiga untuk ikut serta sebagai Amicus Curiae (NAFTA Chapter 11 Arbitration Tribunal 15 Januari
2001), lihat juga dalam Methanex Corp. v. United States, Putusan Akhir (NAFTA Chapter 11 Arbitration
Tribunal 3 Agustus 2005), lihat juga Marie-Claire Cordonier, et.al. (eds), Sustainable Development in
World Investment Law, (London : Kluwer, 2011), hlm. 195.
42
Amicus curiae adalah pihak ketiga yang bukan sebagai salah satu pihak dalam perkara dan
memiliki kepentingan.
43
Lihat sengketa AES v. Hungary, Putusan Akhir, (ICSID Case No. ARB/07/22), paragraph 7.6.6.
44
Lihat sengketa Pac Rim Cayman LLC v. Republic of El Salvador (ICSID Case No. ARB/09/12),
di mana terdapat undangan bagi pihak ketiga sebagai amicus curiae tanggal 02 Februari 2011, yang
selanjutnya terbit aplikasi untuk ijin masuknya amicus curiae pada tanggal 02 Maret 2011 sehingga terdapat
ikut sertanya Amerika Serikat pada tanggal 20 Mei 2011 dan ikut sertanya Costa Rica pada tanggal 20 Mei
2011.
45
Lihat sengketa The Rompetrol Group N.V. v. Romania (ICSID Case No. ARB/06/3), putusan
tanggal 14 Januari 2010 yang memberi kesempatan partisipasi penasehat (counsel).

124
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID
di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani

adanya kepentingan publik adalah Aguas Argentinas S.A., Suez, Sociedad General de
Aguas de Barcelona SA and Vivendi Unibersal SA., v. The Argentina Republic46 yang
pertimbangannya merespon petisi untuk transparansi dan mengijinkan partisipasi pihak
ketiga sebagai Amicus Curiae.
6. Keterbukaan Putusan Membantu Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan
Identifikasi Aturan Arbitrase Investasi Internasional.
Kewajiban kerahasiaan tidak diinginkan dalam suatu putusan arbitrase yang
melibatkan salah satu pihaknya adalah negara karena akan menghilangkan pengetahuan
publik dan informasi yang berkaitan dengan pemerintah dan perkara publik.47 Dengan
keterbukaan maka akan menjawab kebutuhan generasi mendatang sebagaimana
dikatakan Marian48 bahwa prosedural transparancy in investment arbitration
guarantees that decisions reached by arbitral tribunals are sound for the development of
legal resources to secure and serve the needs of future generation.
B. Penerapan Prinsip Keterbukaan Putusan Arbitrase ICSID di Indonesia dan
Perbandingannya dengan Beberapa Negara
Kegiatan penanaman modal asing di suatu negara di batasi oleh peraturan-
peraturan dari negara asal investor asing (governance by the home nation/home state),
negara tuan rumah di mana investor asing menanamkan modalnya (governance by the
host nation/host state) dan juga hukum internasional yang terkait (governance by multi
nation organizations and international law).49 Pengaturannya termasuk pembatasan-
pembatasan di bidang penanaman modal asing oleh host state yang pada dasarnya
merupakan kewenangan negara yang berasal dari kedaulatannya (sovereignty).50 Dengan
perkembangan hukum internasional maka membawa dampak bagi negara sedang

46
Sengketa Aguas Argentinas S.A., Suez, Sociedad General de Aguas de Barcelona SA and
Vivendi Unibersal SA., v. The Argentina Republic (ICSID Case No. ARB/03/19) , tanggal 19 Mei 2005,
paragraph 19-23, diakses dari
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=GenCaseDtlsRH&actionVal=ListConclude
d
47
Dalam sengketa The Loewen Group, Inc. and Raymond L. Loewen v. United States of America
(ICSID Case No. ARB (AF)/98/3), Putusan tanggal 26 Juni 2003, diakses dari
http://www.state.gov/documents/organization/3998.pdf.
48
Cornel Marian, Sustainable Investment Through Effective Resolution of Investment Disputes
Is Transparency The Answer?, Social Science Research Network (SSRN), hlm. 4., diakses dari
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2070676., pada tanggal 10 Desember 2013.
49
Ralph H. Folsom, Michael W. Gordon & John A. Spanogle, Jr., Principles of International
Business Transactions, Trade & Economic Relations, (Thomson West, 2005), hlm. 557-563.
50
M. Sonarajah, The International Law on Foreign Investment, 2nd Ed., (Cambridge : Cambridge
University Press, 2004), hlm. 97.

125
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134

berkembang yang akan semakin kehilangan esensi kedaulatannya terutama dalam


menghadapi negara maju,51 namun dengan penyelesaian sengketa melalui ICSID, di mana
serta merta menghilangkan perlindungan politik terhadap investor dari negara asalnya
yang umumnya negara maju, maka arbitrase ICSID dapat dipilih sebagai mekanisme
penyelesaian sengketa yang melindungi kedaulatan negara. Kedaulatan negara juga
berkaitan dengan kewenangan negara untuk melakukan publikasi putusan. Meskipun
sistem arbitrase ICSID berbeda dengan institusi arbitrase internasional lainnya misalnya
arbitrase komersial, namun berasal dari benih yang sejenis, bahkan preseden dan prosedur
dari konteks arbitrase juga dipindahkan ke dalam arbitrase komersial dan saat ini juga
banyak dari putusan arbitrase komersial telah dipublikasikan, sebagaimana diungkapkan
Lon L. Fuller52 bahwa transparency is an inherent feature of the Rule of Law.
1. Penerapan Prinsip Keterbukaan Arbitrase di Malaysia.
Malaysia membedakan pengaturan arbitrase nasional dan internasional dalam
Act 646 tentang Arbitration Act 2005 yang berlaku sejak 15 Maret 2006 yang disusun
berdasarkan UNCITRAL Model Law, yang diamandemen tahun 2011 menjadi
Arbitrase Bill 2010 yang bertujuan untuk mengatasi inkonsistensi dalam menafsirkan
ketentuan sebelumnya dan lebih mewakili keinginan masyarakat dalam melakukan
arbitrase. Undang-Undang ini juga berlaku jika suatu sengketa melibatkan pemerintah
dan komponen pemerintah Malaysia.
Di Malaysia terdapat lembaga arbitrase KLRCA (Kuala Lumpur Regional Center
For Arbitration) yang menggunakan KLRCA Arbitration Rules Revisi Tahun 2013 yang
mengatur kerahasiaan putusan arbitrase komersial dalam Pasal 15 KLRCA Arbitration
Rules Revisi Tahun 2013 dan Pasal 18 KLRCA Fast Tract Arbitration Rules Revisi
Tahun 2013, dengan memberi batasan mengenai lingkup kewajiban kerahasiaan dan
memberi pengecualian kerahasiaan untuk hal tertentu.53 Malaysia telah menandatangani
70 BIT,54 dimana 37 BIT tidak menyinggung masalah kerahasiaan dalam perjanjian

51
Martin Khor Kok Peng, Imperialisme Ekonomi Baru Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia
Ketiga, (terjemahan Wandi S. Brata), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 5-7.
52
Lon L. Fuller, The Morality of Law, ed.rev., (1964), hlm. 42-44.
53
Hal ini juga sesuai wawancara dengan MR. Lim Chee Wee, President of The Malaysian Bar,
Tan Sri Dato Seri MD Raus Bin Syarif, President Court of Appeal Malaysia (setingkat Ketua Pengadilan
Tinggi di Indonesia) dan Datuk Sundra Rajoo dari KLRCA, pada tanggal 20 Maret 2013 dalam
International Seminar KLRCA, berjudul Effective Dispute Resolution : A Malaysian Perspektive, di
Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta yang diselenggarakan oleh KLRCA (Kuala Lumpur Regional Center
For Arbitration).
54
Sumber : www.investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/127#IiaInner/Menu.

126
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID
di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani

investasinya. Kemudian dari 4 (empat) sengketa penanaman modal yang melibatkan


Malaysia sebagai Tergugat yang diselesaikan melalui ICSID, hanya 1 (satu) putusan
yang rahasia yaitu sengketa Philippe Gruslin v. Malaysia (ICSID Case No. ARB/94/1)
sedangkan 3 (tiga) sengketa lainnya telah mempublikasi putusannya, yaitu55 Philippe
Gruslin v. Malaysia (ICSID Case No. ARB/99/3), Malaysian Historical Salvors, SDN,
BHD v. Malaysia (ICSID Case No. ARB/05/10) dan MTD Equity Sdn Bhd v. MTD Chile
SA (ICSID Case ARB/01/07), dimana Sengketa Malaysian Historical Salvors adalah
sengketa pertama yang mempublikasi seluruh pembelaan para pihak.56
2. Penerapan Prinsip Keterbukaan Arbitrase di Singapura.
Singapura adalah negara yang menganut sistem common law yang didasarkan
pada tradisi common law Inggris dengan sistem double-track, yaitu arbitrase domestik
diatur dalam Chapter 10 Arbitration Act (Edisi Revisi 2002) yang berlaku sejak 1 Maret
2002. Sedangkan arbitrase internasional dalam Chapter 143A International Arbitration
Act (IAA) tahun 1994 sebagaimana perubahannya tahun 2002.57 Singapura telah
menandatangani 45 BIT58 dan 20 BITtidak menyinggung masalah kerahasiaan dalam
perjanjian investasinya.
Singapura mengadopsi Rezim Keterbukaan bagi arbitrase internasional dengan
membolehkan counsel of all jurisdiction untuk ikut serta berpartisipasi dalam proses
arbitrase yang mendukung Singapura tidak pernah terlibat sebagai salah satu pihak dalam
sengketa arbitrase dan sebagai peringkat pertama versi Bank Dunia sebagai pelaksana
bisnis terbaik dengan regulasi yang baik dan netralitas yang tinggi. Singapura juga telah
dipilih menjadi tempat penyelesaian sengketa dalam arbitrase ICSID, misalnya
penyelesaian sengketa White Industries v. India dan perkara Phillip Morris v. Australia.
Meskipun Singapura belum pernah mengajukan atau dituntut melalui arbitrase ICSID,
namun Singapura tidak mewajibkan kerahasiaan dalam arbitrase secara tertulis dalam
undang-undangnya dan tidak diatur secara limitatif tentang kewajiban kerahasiaan
arbitrase.

55
Sumber : https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet.
56
John P. Given, Malaysian Historical Salvors v. Malaysia : An End To the Liberal Definition of
Investment in ICSID Arbitration?, westlaw31LYLAICLR 467, 31 Loy, Summer 2009.
57
Benny S. Tabalujan, Singapore Business Law, second edition, (Singapore : Business Law Asia,
2000), hlm. 52-53.
58
Sumber : www.investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/190#IiaInner/Menu.

127
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134

3. Penerapan Prinsip Keterbukaan Arbitrase di Jepang


Jepang mengatur mengenai arbitrase melalui Arbitration Law (Law No. 138 of
2003)59 yang berlaku sejak 1 Maret 2004. Putusan arbitrase yang dibuat di dalam dan di
luar Jepang memiliki efek yang sama seperti putusan final dan konklusif yang
pelaksanaannya dijamin oleh UU Arbitrase Jepang. Sampai saat ini, belum ada sengketa
mengenai arbitrase di Jepang, karena umumnya sengketa perdata diselesaikan melalui
mediasi dan konsiliasi untuk menjaga harmoni sesuai tradisi ADR.60
Jepang adalah investor utama di kawasan Asia dan seluruh dunia, namun hingga
saat ini hanya satu sengketa investasi yang mempersoalkan tentang perjanjian arbitrase
yaitu perusahaan Belanda yang berada di bawah kerjasama Jepang dan mengajukan klaim
terhadap Czech Republic sesuai BIT antara Belanda dan Republik Czechna (Saluka
Investments BV., v. Czech Republic, IIC 210 2006). 61 Jepang menandatangani 24 BIT,62
dan sangat memperhatikan soal keterbukaan sehingga hampir seluruh BIT
mencantumkan pasal mengenai keterbukaan (transparency) dengan memberikan batasan
mengenai kerahasiaan dalam pasal yang sama, kecuali BIT Jepang dengan 7 negara yaitu
: Bangladesh, China, Hongkong, Mesir, Pakistan, Sri Lanka, dan Turki yang tidak
mengatur mengenai keduanya melainkan menyerahkan pada para pihak jika timbul
sengketa di kemudian hari.63 Kemudian dalam 17 BIT terdapat pengaturan yang
mewajibkan Jepang untuk mempublikasikan segala aturan yang berlaku dan keputusan
pengadilan mengenai investasi antara kedua negara tersebut.64
Dalam Aturan 52 ayat (1) JCAA65 mengakomodasi akses pihak ketiga yang
bukan termasuk pihak untuk ikut serta menjadi pihak dalam sengketa, seperti yang diatur

59
Versi Bahasa Inggris dapat diunduh melalui www.kantei.go.jp
/foreign/policy/sihou/law032004_e.html.
60
Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta : Chandra Pratama, 2001),
hlm. 104, sebagaimana dikutip dari Dan Fenno Henderson, Conciliation and Japanese Law-Tokugawa and
Modern Vol. II, (Seattle : University of Washington Press, Tokyo : University of Tokyo Press, 1965), hlm.
218-220.
61
Vivienne Bath and Luke Nottage, Foreign Investment and Dispute Resolution Law and Practice
in Asia : An Overview Legal Studies Research Paper No. 11/20, March 2011, diakses dari
http://ssrn.com/abstract=1789306.
62
Sumber : www.investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/105#IiaInner/Menu.
63
Lihat http://www.unctadxi.org/templates/DocSearch.aspx?id=779
64
Tatsuya Nakamura, Salient Features of the New Japanese Arbitration Law Based Upon The
UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration, Japan Commercial Arbitration News
Letter, Number 17, April 2004, The Japan Commercial Arbitration Association (JCAA), hlm. 1-2.
65
Amandemen 2014, Aturan 52 (1) JCAA.

128
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID
di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani

dalam Aturan 32 ayat (2) ICSID Arbitration Rules.66 Kemudian hasil amandemen aturan
JCAA tanggal 1 Februari 2014 dalam Aturan 52 memberikan peluang masuknya pihak
ketiga untuk ikut dalam sengketa atas persetujuan para pihak. Dari aturan Pasal 39
Arbitration Law Nomor 138 Tahun 2003,67 dapat disimpulkan bahwa Jepang menganut
keterbukaan putusan arbitrase kecuali disepakati lain oleh para pihak.
Dengan aturan keterbukaan arbitrase ICSID tidak menyurutkan jumlah sengketa
antara investor dan negara yang dimintakan penyelesaiannya melalui ICSID, sesuai tabel
berikut :
60

40

50

20 40
37 38
31
27 27
25 26
23
21
19
14
12
10 11 10
4 3 4 4 3 3 3
1 1 2 1 2 2 1 1 2 1
0
1972

1974

1976

1978

1980

1982

1984

1986

1988

1990

1992

1994

1996

1998

2000

2002

2004

2006

2008

2010

2012
Sumber : The ICSID Caseload-Statistics (Issue 2014-1), melalui
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=ICSIDDocRH&actionVal=CaseLoadStatist
ics, diakses tanggal 30 Juni 2014.

Sejak ICSID didirikan tahun 1965, sebanyak 159 negara telah menandatangani
dan hanya 9 negara yang belum meratifikasi ke dalam peraturan nasionalnya. Kemudian
terhitung sejak tahun 1972 hingga tanggal 31 Desember 2013, tercatat sebanyak 163
sengketa di hentikan pemeriksaannya (pending cases) dan 287 sengketa yang diselesaikan
oleh ICSID hingga putusan akhir (concluded cases). Kemudian putusan akhir ICSID lebih
banyak dipublikasi dan terbuka untuk umum sebagai bentuk pertanggungjawaban negara
kepada warganya dan kepada publik menuju terpenuhinya asas-asas pemerintahan yang
baik (good governance) dan umumnya para pihak telah menyepakati keterbukaan putusan
dalam BIT.

Luke Nottage & Kate Miles, Back To The Future For The Investor-State Arbitrations : Revising
66

Rules In Australia and Japan To Meet Public Interests, Research Paper No. 08/62, June 2008, diakses
dari http://ssrn.com/abstract=1151167.
67
Pasal 39 Japan Arbitration Law.

129
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134

Dari jumlah sengketa yang dipublikasi dan rahasia, dapat diuraikan bahwa negara
yang menganut keterbukaan putusan secara luas sebanyak 21 negara, yang menganut
kerahasiaan putusan sebanyak 35 negara dan yang menganut secara alternatif sebanyak
49 negara. Oleh karenanya saat ini terbukti bahwa telah terjadi perbedaan yang tinggi
mengenai keterbukaan dan kerahasiaan putusan arbitrase, bahkan sebagian besar negara
di dunia memilih untuk tidak tegas mengikuti kerahasiaan putusan, melainkan
mengaturnya secara alternatif sesuai dengan kesepakatan.
4. Prinsip Keterbukaan di Indonesia
Indonesia telah 6 (enam) kali terlibat dalam sengketa investasi yang diselesaikan
melalui Lembaga ICSID yaitu Sengketa Amco Asia Corporation and others v. Republic
of Indonesia (ICSID Case No. ARB/81/1), Sengketa Churchill Mining and Planet Mining
Pty Ltd, formerly v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/12/40 dan 12/14),
Sengketa Government of the Province of East Kalimantan v. PT Kaltim Prima Coal and
others (ICSID Case No. ARB/07/3), Sengketa Churchill Mining and Planet Mining Pty
Ltd, formerly v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/12/14 and 12/40), Sengketa
Cemex Asia Holdings Ltd v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/04/3) dan
Sengketa Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/11/13), namun
tidak pernah menang sehingga Indonesia harus membayar ganti kerugian yang jumlahnya
sangat besar akibat regulasi yang tidak konsisten.
Penanaman modal diperlukan untuk mengolah potensi ekonomi. Untuk mencapai
cita-cita tersebut diperlukan iklim penanaman modal yang kondusif, memberikan
kepastian hukum, adil dan efisien tanpa mengurangi terpenuhinya kepentingan ekonomi
nasional sebagaimana latar belakang dibentuknya UU PMA. Pasal 3 UU PMA mengatur
asas keterbukaan yang dalam penyelenggaraan penanaman modal diperlukan selain
kepastian hukum, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara,
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian
dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Para pelaku pasar modal
dituntut untuk menerapkan prinsip keterbukaan, sehingga para pemodal dapat diberikan
perlindungan optimal terhadap praktek yang merugikan. Asas keterbukaan ini mengacu
pada prinsip-prinsip universal yang berlaku pada praktik pasar modal internasional.68

68
Iman Sjahputra, Pengantar Hukum Pasar Modal, (Jakarta : Harvarindo, 2012), hlm. 83.

130
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID
di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani

Secara umum publikasi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 17 Undang-


Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
tepatnya Pasal 17 huruf k dan Pasal 18 ayat (1) huruf a. Namun dalam Pasal 27 UU
Arbitrase menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase di Indonesia. Akan tetapi
kenyataan yang ada saat ini di Indonesia telah banyak putusan arbitrase yang dipublikasi,
baik itu akibat permintaan exequatur guna pelaksanaan putusan kepada Mahkamah
Agung maupun atas kemauan para pihak sendiri. Begitu juga dalam perkembangan
terbaru dari instrumen investasi internasional yang tercantum dalam BIT yang dimiliki
oleh Indonesia, misalnya BIT antara Indonesia dan India tahun 2004 tidak menyinggung
mengenai isu prosedural keterbukaan secara umum dan keterbukaan putusan arbitrase
secara khusus, namun menyerahkan pada keputusan arbitrase ICSID atau arbitrase
UNCITRAL mendatang jika terjadi sengketa. Indonesia telah menandatangani 71 BIT69
dan 43 BIT tidak ada yang menyinggung mengenai isu prosedural keterbukaan, kecuali 2
jenis BIT yang mencantumkan soal keterbukaan dalam perjanjiannya yaitu Pasal 10 BIT
antara Indonesia dengan Australia dan Pasal 13 BIT antara Indonesia dengan Serbia.
Meningkatnya jumlah publikasi putusan mendukung peningkatan jumlah sengketa di
ICSID. Namun karena adanya inkonsistensi hukum di Indonesia mengenai keterbukaan
menghalangi populernya prinsip ini, padahal putusan arbitrase ICSID yang melibatkan
Indonesia, sebagian besar telah terbuka untuk umum.
III. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disertasi ini, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Pasal 48 ayat (4) Arbitration Rules, Pasal 53 ayat
(3) ICSID Arbitration Additional Facility Rules dan Peraturan 22 Administrative and
Financial Regulation mengatur kewajiban majelis untuk mempublikasi kutipan
pertimbangan hukumnya, hal tersebut didukung oleh beberapa alasan yaitu putusan
arbitrase ICSID sebagai preseden sehingga tercipta kepastian hukum, menciptakan
perlindungan hukum, melindungi pelaksanaan putusan dan meminimalisir resiko
mendatang, mewujudkan keadilan, prediktabilitas putusan, meningkatkan kualitas
putusan dan rasionalitas sengketa, keterbukaan putusan sebagai bentuk perwujudan asas

69
Sumber : http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/97#iiaInnerMenu, diakses
tanggal 2 Februari 2015.

131
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134

pemerintah yang baik, dapat menarik partisipasi pihak ketiga, serta membantu
pengembangan ilmu pengetahuan dan identifikasi aturan arbitrase investasi internasional.
Kedua, aturan mengenai keterbukaan putusan arbitrase ICSID berbeda di
beberapa negara anggota ICSID karena perbedaan sistem hukum. Di Malaysia, tidak
mengatur keterbukaan dan kerahasiaan secara tegas. Di Singapura dan Jepang menganut
rezim keterbukaan arbitrase secara luas yaitu terbukanya proses persidangan arbitrase,
dibolehkannya partisipasi pihak ketiga dan publikasi putusan arbitrase, serta sebagian
besar negara lainnya menyerahkan keterbukaan dan kerahasiaan putusan arbitrasenya
kepada kesepakatan para pihak.
Ketiga, arbitrase di Indonesia mengatur tentang kewajiban kerahasiaan proses dan
putusan arbitrase komersial dalam UU Arbitrase namun dalam investasi terdapat 43 BIT
yang tidak menyinggung isu keterbukaan dan kerahasiaan, bahkan 2 BIT mewajibkan
publikasi, hal mana sesuai dengan UU PMA, UU KIP, UU Kekuasaan Kehakiman, SK
KMA Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007 dan SK KMA Nomor 1-144/KMA/SK/I/2011,
padahal publikasi putusan tidak menimbulkan masalah, melainkan membantu
mewujudkan pelaksanaan good governance.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Buckley, Ross P. & Paul Blyschak, Guarding the Open Door : Non-Party Participation
Before the International Centre fo Settlement of Investment Disputes, Banking
& Finance Law Review, Juni 2007.

Delaney & Magraw, Procedural Transparency, The Oxford Handbook of International


Investment Law, 2008, hlm. 762-763.

Malatesta, Alberto dan Rinaldo Sali, The Rise of Transparency In International


Arbitration : The Case for the Anonymous Publication of Arbitral Awards, USA :
JurisNet : LLC, 2013.

Marian, Cornel. Sustainable Investment Through Effective Resolution of Investment


Disputes Is Transparency The Answer?, hlm. 4., diunduh dari
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2070676.

Nakamura, Tatsuya. Salient Features of the New Japanese Arbitration Law Based Upon
the UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration, JCA News
Letter, Number 17, April 2004, The Japan Commercial Arbitration Association
(JCAA), hlm. 1-2.

Naon, Horacio A. Grigera, and Paul E. Mason, International Commercial Arbitration


Practice : 21st Century Perspectives, United Kingdom : LexisNexis, 2011.

132
Disertasi Penerapan Prinsip Keterbukaan atas Putusan Arbitrase ICSID
di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara - Nurnaningsih Amriani

Nottage, Luke & Kate Miles, Back To The Future For The Investor-State Arbitrations :
Revising Rules In Australia and Japan To Meet Public Interests, Research Paper
No. 08/62, June 2008, diakses dari http://ssrn.com/abstract=1151167

Peng, Martin Khor Kok, Imperialisme Ekonomi Baru Putaran Uruguay dan Kedaulatan
Dunia Ketiga, terjemahan Wandi S. Brata, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
1993.

Peter, Wolfgang. Arbitration and Renegotiation of International Investment Agreements,


Second Revised and Enlarged Edition, The Hague/Boston/London : Kluwer Law
International, 1995.

Rajagukguk,Erman. Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta : Chandra Pratama,


2001.

Rubino, Mauro -Sammartano, World Litigation Law and Practice, New York : Matthew
Bender, 1986.

Seid, Sherif. H. Global Regulation of Foreign Direct Investment, England : Ashgate


Publishing Limited, 2002.

Shultsz, Jan C. and Albert Jan Van Den Berg, The Art of Arbitration Essays on
International Arbitration Liber Amicorum Pieter Sanders 12 September 1912-
1982, Deventer/The Netherlands : Kluwer Law and Taxation Publishers, 1982.

Sjahputra, Iman. Pengantar Hukum Pasar Modal, Jakarta : Harvarindo, 2012.

Sonarajah, M. The International Law on Foreign Investment, 2nd Ed., Cambridge :


Cambridge University Press, 2004.

Tabalujan, Benny S. Singapore Business Law, second edition, Singapore : BusinessLaw


Asia, 2000.

Wibowo, Basuki Rekso Prinsip-Prinsip Dasar Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian


Sengketa Dagang Di Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika, vol. 16 No. 6,
Universitas Airlangga, Nopember-Desember 2001, hlm. 552, 559.

Putusan AES v. Hungary, Putusan Akhir, (ICSID Case No. ARB/07/22), tanggal 23
September 2010.

Putusan Aguas Argentinas S.A., Suez, Sociedad General de Aguas de Barcelona SA and
Vivendi Unibersal SA., v. The Argentina Republic (ICSID Case No. ARB/03/19)
, tanggal 19 Mei 2005

Putusan Amco Asia Corporation and others v. Republic of Indonesia (ICSID Case No.
ARB/81/1), ICSID ad hoc Committee, tanggal 16 Mei 1986.

Putusan Biwater Gauff v. Tanzania, (ICSID Case No. ARB/05/22), tanggal 24 Juli 2008.

133
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 113-134

Putusan CMS Gas Transmission Company v. Argentine Republic, 2005, (ICSID Case No.
ARB/01/8), tanggal 12 Mei 2005.

Putusan Kardassapolous and Fuchs v. Georgia, Putusan akhir, (ICSID Case No.
ARB/05/18) dan (ICSID Case No. ARB/07/15), tanggal 3 Maret 2010.

Putusan Malaysian Historical Salvors, SDN, BHD v. Malaysia (ICSID Case No.
ARB/05/10), tanggal 17 Mei 2007

Putusan Metalclad Corporation v. United Mexican States, 2000, (ICSID Case No. ARB
(AF)/97/1), tanggal 30 Agustus 2000.

Putusan Methanex Corp. v. United States (NAFTA Chapter 11 Arbitration Tribunal),


tanggal 9 Maret 2004.

Putusan Mondev International Ltd. v United States of America, (ICSID Case No


ARB/99/2), tanggal 11 Oktober 2002.

Putusan MTD Equity Sdn. Bhd. and MTD Chile S.A. v. Republic of Chile (ICSID Case
No. ARB/01/7), tanggal 25 Mei 2004,

Putusan Occidental Exploration and Production Company v. Ecuador, (ICSID Case No.
ARB/06/11), tanggal 1 Juli 2004 dan 5 Oktober 2012.

Putusan Pac Rim Cayman LLC v. Republic of El Salvador (ICSID Case No. ARB/09/12),
tanggal 02 Februari 2011.

Putusan The Loewen Group, Inc. and Raymond L. Loewen v. United States of America
(ICSID Case No. ARB (AF)/98/3), tanggal 26 Juni 2003.

Putusan The Rompetrol Group N.V. v. Romania (ICSID Case No. ARB/06/3), tanggal 14
Januari 2010.

Putusan Waste Management v. Mexico (ICSID Case No. ARB(AF)/98/2), tanggal 30


April 2004.

134
DISERTASI

KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN TATA USAHA


NEGARA DALAM KONTEKS UNDANG-UNDANG NOMOR 30
TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

THE ABSOLUT COMPETENCE OF ADMINISTRATIVE COURT


BASED ON LAW NUMBER 30 OF 2014 CONCERNING
GOVERNMENT ADMINISTRATION

YODI MARTONO WAHYUNADI


Disertasi bidang Hukum - Universitas Trisakti
Dipertahankan dalam sidang terbuka Doktor Ilmu Hukum pada tanggal 19 Maret 2016
di Kampus Universitas Trisakti, Jakarta

ABSTRAK
Dalam konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (UUAP) kompetensi PTUN tidak hanya Keputusan Tata Usaha Negara
akan tetapi mempunyai kompetensi mengadili Tindakan Administrasi. Selain itu pula
PTUN mempunyai kompetensi memutus permohonan untuk menentukan penilaian ada
tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang serta permohonan keputusan fiktif positif.
Sikap diam atau abainya Badan dan/atau Pejabat pemerintahan terhadap permohonan
badan atau seseorang dianggap telah mengeluarkan keputusan. Kompetensi PTUN yang
baru lainnya terhadap keputusan Badan atau Pejabat pemerintahan yaitu Upaya
Administrasi. UUAP tidak hanya mengatur hukum materiil tetapi juga hukum formil
(acara). Untuk itu UUAP harus diubah hanya memuat hukum materiil saja dan perlu
adanya perubahan terhadap UU Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengakomodir
penegakan hukum materiil.

Kata kunci: Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi, hukum materiil,


hukum formil.

ABSTRACT
In the context of Law Number 30 of 2014 concerning Government Administration the
competence of administrative court was not only the decision of the Administration but
also has the competence to judge the actions of Administration. In addition
administrative court also have competence to decide an application for assessment to
determine whether there are elements of authority abuse as well as the application for a
fictitious positive decision. However to determine the application for approval of a
person or body of civil law are not automatically, but must first be tested through
administrative courts. The Government's Administration Law regulates the material law

135
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154

and formal law. For the Government's Administration Law should be amended to load
any material law and the need for changes to the Administrative Law to accommodate
the enforcement of material law.

Keywords: administrative court, competence, material law, formal law.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai suatu negara hukum, memiliki badan peradilan yang merdeka
dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakan hukum dan keadilan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945, Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungaan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. 1

Kompetensi lingkungan badan peradilan diatur dalam Pasal 25 UU No. 48


Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 1). Peradilan umum adalah memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan pidana dan perdata2 ; 2). Peradilan agama adalah
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama
Islam 3; 3). Peradilan militer adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
tindak pidana militer4 ; 4). Peradilan TUN adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa TUN5.
Untuk lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai sub sistem dari sistem
peradilan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang RI

1
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tersebut di atas,
ditegaskan kembali dalam Pasal 1 dan 2 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Catatan tebal dari penulis menunjukan badan peradilan di Mahkamah Agung dalam
lingkungan peradilan tata usaha Negara yang menjadi objek kajian dalam disertasi ini adalah Pengadlan
Tata Usaha Negara disingkat PTUN.
2
Pasal 25 ayat 2 Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
3
Pasal 25 ayat 3 Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
4
Pasal 25 ayat 4 Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
5
Pasal 25 ayat 5 Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

136
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi

Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang RI Nomor 5


tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun) dalam Pasal 47
mengatur tentang kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam sistem
peradilan di Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara.6 Kewenangan Pengadilan untuk menerima,
memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal
dengan kompetensi atau kewenangan mengadili.
Kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara berkaitan dengan kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau
pokok sengketa. Dalam UU Peratun obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah
Keputusan tata usaha negara (Keputusan TUN) ialah Suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata
usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bersifat konkret, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau
Badan Hukum Perdata,7 dan keputusan TUN yang fiktif negatif sebagai mana dimaksud
Pasal 3 UU Peratun.8
Terbitnya Undang-Undang RI No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, LN RI Tahun 2014 Nomor 292, TLN RI Nomor 5601 (UUAP)
merupakan hukum materiil dalam sistem peradilan tata usaha negara. 9 Namun dalam
Pasal-Pasalnya juga mengatur kompetensi PTUN.
Adanya perbedaan kompetensi PTUN pasca UUAP, perbedaan konsep-konsep
hukum dan masih adanya obyek sengketa PTUN yang diatur dalam UUAP di mana
hukum acara yang belum terakomodir dalam UU Peratun, menimbulkan perbedaan
penanganan perkara oleh PTUN pasca UUAP. Selain itu, dalam Pasal 10 UUAP
memuat secara rinci Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sebagai
pedoman Pejabat mengeluarkan keputusan atau tindakan Administrasi. Bagi hakim

6
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang
Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
7
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang RI No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang
Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
8
Pasal 3 Undang-Undang RI No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
9
lihat, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan

137
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154

AUPB menjadi alat uji terhadap keabsahan Keputusan atau tindakan Administrasi.
Hanya saja, dapat menimbulkan permasalahan karena telah termuat secara rinci dalam
UUAP, padahal asas dalam bentuk tidak tertulis.
Berdasarkan keadaan-keadaan yang diuraikan di atas, maka perlu dilakukan
penelitian tentang bagaimana Kompetensi absolut PTUN dalam konteks UUAP.
Sebagaimana dikemukakan Philipus M. Hadjon, penggunaan dalam konteks bukan
berdasarkan, oleh karena UUAP bukan tentang Peradilan Tata Usaha Negara.10
Untuk itu, disertasi ini mengambil judul : Kompetensi Absolut Pengadilan Tata
Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, isu utama disertasi ini adalah :
1. Apakah tepat rumusan Pasal 87 UUAP dimuat dalam ketentuan peralihan?
2. Bagaimana ruang lingkup kompetensi absolut PTUN dalam konteks UUAP ?
3. Bagaimana pengaturan AUPB dalam UUAP ?
C. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang mendasarkan pada
bahan hukum primer, bahan sekunder dan bahan hukum tersier yang dihasilkan dari
peraturan perundang-undangan, studi kepustakaan, putusan pengadilan, majalah hukum,
kamus, artikel hukum baik hard copy maupun soft copy yang dimuat dalam web site.
Sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji11 yang mengemukakan
penelitian hukum normatif dengan melakukan penelitian kepustakaan atau data
sekunder.
Data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, yaitu
peraturan perundang-undangan (UUD NRI 1945 dan seterusnya), hukum adat,
yurisprudensi dan traktat. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-

10
Philipus, M. Hadjon, Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang No. 30
Th 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, dalam Majalah Varia Peradilan, Tahun XXX, No. 358,
September, 2015, hal. 38
11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Rajawali Prss, 2004), hal. 13-14.

138
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi

undang, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya. Bahan hukum
tertier adalah bahan hukum yang memberkan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya ensiklopedia, indek
kumulatif, dan sebagainya. 12
Penulis menentukan pokok bahasan materi yang akan diteliti. Langkah pertama
menggunakan metode brain storming. Penulis berusaha menggali permasalahan dari
berbagai aspek. Kemudian merinci dan menyeleksi materi yang relevan untuk dibahas
dan menyusunnya dalam bentuk out line.
Penulis dalam disertasi mengemukakan 3 (tiga) isu hukum dan
mengembangkannya dilihat dari beberapa pendekatan. Dalam disertasi ini
menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan konseptual (conseptual approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan sejarah (historical
approach).
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
Terhadap isu hukum tersebut berdasarkan hasil penelitian penulis memperoleh
hasil sebagai berikut :
A. Ketentuan Peralihan Dalam UUAP
Ketentuan Pasal 87 merupakan salah satu ketentuan peralihan yang terdapat di
dalam UUAP. Jika dibandingkan dengan elelemen-elemen pemaknaan Keputusan Tata
Usaha Negara yang tercantum di dalam Pasal 87 UUAP dengan elemen-elemen
Keputusan Tata Usaha Negara UU Peratun jelas adanya perbedaan sebagai berikut :
Elemen-Elemen KTUN Menurut Pasal 1 Elemen-Elemen Pemaknaan KTUN
Angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 Menurut Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014
a. Penetapan tertulis; a. Penetapan tertulis yang juga
b. Dikeluarkan oleh badan atau Pejabat mencakup tindakan faktual.
Tata Usaha Negara; b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat
c. Berisi tindakan hukum tata usaha Tata Usaha Negara di lingkungan

12
Lihat juga : Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Konsep Dan Metode, (Malang : Setara Press,
2013), hal. 69-70, Bahan hukum primer adalah semua aturan yang dibentuk, dan/atau dibuat secara resmi
oleh suatu lembaga Negara, dan/atau badan-badan pemerintahan. Seluruh produk badan legislatif,
eksekutif, badan yudisial. Bahan hukum sekunder antara lain buku teks, laporan penelitian, jurnal hukum,
notulen, makalah, hasil seminar, bulletin, majalah hukum, danlainya. Bahan hukum tertier; bahan-bahan
yang termuat dalam kamus hukum, ensiklopedi, bibliografi, daftar pustaka, katalog-katalog penerbitan,
dan lainnya.

139
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154

Negara. eksekutif, legislatif, yudisial, dan


d. Berdasarkan peraturan perundang- penyelenggara Negara lainnya ;
undangan yang berlaku; c. Berdasarkan ketentuan perundang-
e. Bersifat konkret, individual, dan undangan dan AUPB;
final; d. Bersifat final dalam arti lebih luas;
f. Menimbulkan akibat hukum bagi e. Keputusan yang berpotensi
seseotang atau badan hukum perdata. menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga
Masyarakat.

Rumusan norma yang terdapat di dalam Pasal 87 UUAP yang merupakan


ketentuan peralihan telah memuat perubahan secara terselubung atas ketentuan norma di
dalam Pasal 1 angka 9 UU Peratun. Perubahan secara terselubung tidak dibenarkan
sesuai Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan di dalam angka 135 menentukan: Rumusan dalam
ketentuan Peralihan tidak memuat perubahan terselubung atas ketentuan Peraturan
Perundang-undangan lain. Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan
pengertian baru di dalam Ketentuan Umum Peraturan Perundang-Undangan atau
dilakukan dengan membuat Peraturan Perundang-undangan perubahan.
Keputusan Tata Usaha Negara terkait dengan kompetensi absolut PTUN yang
merupakan domain dari hukum acara yang harus dimuat dalam materi muatan yang
khusus, tidak dapat disisipkan dalam undang-undang termasuk undang-undang materil.
Seharusnya kompetensi absolut PTUN diatur dengan undang-undang. Adanya
perubahan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 khususnya Pasal 1 angka 9 tidak
sesuai dengan amanah atau perintah Pasal 24A ayat (5) Undang-Undang Dasar NRI
tahun 1945. Seharusnya pengaturan lebih lanjut dengan undang-undang (bij de wet),
bukan dengan jalan menyisipkan dalam undang-undang (in de wet).
Dengan demikian dalam pengaturan kompetensi yang termuat dalam UUAP
bertentangan dengan UUD NRI 1945. Norma yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan norma yang lebih tinggi. Pengaturan kompetensi absolut PTUN
yang diatur dalam UUAP bertentangan dengan tata urutan norma hukum, menurut
Stufentheorie dari Hans Kelsen bahwa pembentukan norma hukum yang lebih rendah,
ditentukan norma hukum lainnya yang lebih tinggi.

140
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi

B. Ruang Lingkup Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara


Adaya perubahan konsep hukum yang diatur dalam UU Peratun, memperluas
kompetensi PTUN. Perubahan yang paling mendasar menyangkut keputusan tata usaha
negara. Selain adanya obyek sengketa baru berupa tindakan faktual, kompetensi PTUN
menilai unsur penyalahgunaan wewenang (Pasal 21 UUAP) dan memeriksa
permohonan keputusan fiktif positif (Pasal 53 UUAP), serta Kompetensi PTUN
terhadap keputusan pejabat atau badan pemerintahan hasil upaya administratif
sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (3) UUAP.
Unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara antara yang termuat dalam Pasal 1
angka 9 UU Peratun dengan Pasal 1 angka 7 UUAP berbeda. Keputusan Tata Usaha
Negara ada 6 (enam) unsur sedangkan Keputusan Administrasi 3 (tiga) unsur.
Perbedaan tersebut membawa konsekuensi luasnya kompetensi PTUN. Sejalan
dengan pendapat J.J.H. Brugink semakin banyak unsur dalam suatu obyek sengketa
maka semakin kecil ruang lingkup kompetensi pengadilan. Sebaliknya semakin sedikit
unsur dalam obyek sengketa semakin luas kompetensi pengadilan.
Penulis berpendapat walaupun dalam UUAP disebutkan Keputusan Administrasi
pemerintahan disebut juga keputusan tata usaha negara akan tetapi konsepnya berbeda.
Hakim-hakim dalam menangani sengketa Administrasi setelah lahirnya UUAP tanggal
17 Oktober 2014, harus secara cermat mempertimbangkan Keputusan tata usaha negara
mendasarkan pada UUAP.
Dengan tidak adanya unsur bersifat individual dalam keputusan adminsitrasi
menyebabkan keputusan yang bersifat umum menjadi kompetensi PTUN. Hanya saja
sifat keputusan bersifat regeling bukan kompetensi PTUN termasuk juga peraturan
kebijakan.
PTUN dalam menangani obyek berupa tindakan administrasi pemerintahan
(Pasal 1 angka 8 UUAP) yang semula diuji oleh pengadilan di lingkungan peradilan
umum melalui Perbuatan melawan Hukum oleh Pejabat (PMHP) menggunakan Pasal
1365 KUH Perdata. Dalam Pasal 85 UUAP, disebutkan bahwa Pengajuan gugatan
sengketa Administrasi Pemerintahan yang sudah didaftarkan pada pengadilan umum
tetapi belum diperiksa, dengan berlakunya Undang-Undang ini dialihkan dan
diselesaikan oleh PTUN. Dari laporan bulanan setiap PTUN se-Indonesia tidak ada
perkara pelimpahan dari Pengadilan Negeri.

141
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154

Dalam Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) No. 4 Tahun 2015 Tentang


Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang, mengatur pihak
dalam permohonan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah dapat
mengajukan permohonan kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar
Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan dinyatakan ada atau tidak unsur
penyalahgunaan Wewenang13.
Kompetensi PTUN menguji keabsahan tindakan pemerintahan dari segi hukum
(legalitas). Konsep penyalahgunaan wewenang dalam UUAP merupakan kesalahan
pejabat pribadi (maladministrasi). Untuk itu, tidaklah tepat pertanggungjawaban pribadi
menjadi kompetensi PTUN. Selain itu rumusan penyalahgunaan wewenang dalam Pasal
17 ayat (2) UUAP;
a. larangan melampaui Wewenang;
b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang.
Apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang? Konsep
penyalahgunaan wewenang dalam konsep hukum Administrasi selalu diparalelkan
dengan konsep detournement de pouvoir.
Dalam Verklarend Woordenboek OPENBAAR BESTUUR dirumuskan
sebagai : het oneigelijk gebruik maken van naar bevoegheid door de
overhead. Heirvan is sprake indien een overheidsorgaan zijn bevoegdheid
kennelijk tot een ander doel heft gebruikt dan tot doeleinden waartoe die
bevoegheid is gegeven. De overhead schendt Aldus het
specialiteitsbeginsel (p.63). (penggunaan wewenang tidak sebagaimana
semestinya. Dalam hal ini pejabat menggunakan wewenangnya untuk
tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada
wewenang itu. Dengan demikian pejabat melanggar asas spesialitas).14

Dengan demikian, konsep penyalahgunaan wewenang dalam hukum


Administrasi, setiap pemberian wewenang kepada suatu badan atau kepada pejabat
Administrasi Negara selalu disertai dengan tujuan dan maksud diberikannya
wewenang itu, sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai dengan tujuan dan

13
Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 4 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Dalam
Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang
14
Philipus M. Hadjon, et.al., Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011), hal. 21-22

142
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi

maksud diberikannya wewenang itu. Dalam hal penggunaan wewenang tersebut tidak
sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian wewenang itu maka telah melakukan
penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir). Tolok ukur atau parameter
tujuan dan maksud pemberian wewenang terjadinya penyalahgunaan wewenag
dikenal dengan asas spesialisasi (specialiteitsbeginsel). Asas ini dikembangkan oleh
Mariette Kobussen dalam bukunya yang berjudul De Vrijhed Van De Overheid. Secara
substansial specialiteitsbeginsel mengandung makna bahwa setiap kewenangan
memiliki tujuan tertentu. Dalam kepustakaan hukum Administrasi sudah lama dikenal
asas zuiverheid van oogmerk (ketajaman arah dan tujuan). Menyimpang dari asas ini
akan melahirkan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir).15
Jean Rivero dan Wiline16 mengatakan bahwa pengertian penyalahgunaan
wewenang diartikan dalam 3 (tiga) wujud :
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan
kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2. Penyalagunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut
adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari
tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau
peraturan-peraturan lain;
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang
seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah
menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Apa yang disebutkan Jean Rivero dan Waline pada nomor 3 dapat disebut sebagai khas
Perancis yang bersumber dari yurisprudensi Conseil dEtat.17
Menurut penulis konsep penyalahgunaan wewenang dalam UUAP menyalahi
teori hukum Administrasi. Penyalahgunaan wewenang harusnya menggunakan
wewenang tidak sesuai dengan maksud diberikannya wewenang, dikenal dengan asas

15
Latif, Abdul, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2014), hal. 20-21
16
Indriyanto Seno Adji, Korupsi: Kriminalisasi Kebijakan Aparatur Negara (makalah), dalam
Ridwan, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), hal. 177
17
Paulus E. Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah,
Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, hal. 16 dalam Ridwan, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah,
(Yogyakarta: FH UII Press, 2014), hal. 177-178

143
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154

detournement de pouvoir. Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 telah
tepat merumuskan penyalahgunaan wewenang.
Konsep keputusan fiktif positif dalam UUAP sangat berlainan dengan keputusan
fiktif negatif yang diatur dalam Undang-Undang Peratun. Bertolak belakang konsep
fiktif negatif, artinya diamnya sikap pejabat dianggap menolak, sedangkan fiktif positif
dianggap dikabulkan.
Dalam keputusan fiktif positif pun, pemohon tidak secara otomatis memperoleh
hasil permohonannya, akan tetapi harus terlebih dahulu mengajukan permohonan
kepada PTUN untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan. PTUN wajib
memutuskan permohonan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan
diajukan. Putusan PTUN bersifat final dan mengikat, tidak ada upaya hukum lainnya.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk
melaksanakan putusan PTUN paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan
ditetapkan.
Kondisi saat ini, PTUN berkedudukan di ibu kota propinsi menyebabkan masih
ada kesulian pencari keadilan memperoleh akses keadilan. Kondisi beberapa daerah
yang secara geografis masih sulit atau mahalnya transportasi menurut penulis tidak
efektif adanya ketentuan fiktif positif melalui PTUN tersebut.
Terbitnya keputusan fiktif positif tidak perlu melalui permohonan lagi ke PTUN.
Pemerintah menyelesaikan sendiri, secara internal. Perintah datang dari atasannya untuk
melaksanakan keputusan fiktif positif tersebut. Kompetensi PTUN terjadi manakala ada
pihak lain yang dirugikan dengan adanya keputusan fiktif positif. Hal ini menurut
penulis agar mendorong sikap aparat pemerintahan untuk melayani secara baik kepada
masyarakat. Pejabat pemerintahan harus merespon semua permohonan dari masyarakat.
Bukan berarti semua permohonan harus dikabulkan. Permohonan yang tidak memenuhi
syarat harus diberitahukan kekurangan atau mungkin saja badan atau pejabat yang
dimohonkan pemohon tidak mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan keputusan
atau melakukan tindakan administrasi.
UUAP pun mengatur kewenangan PTUN mengadili terhadap upaya
administratif sebagaimana diatur Pasal 76 ayat (3) UUAP, dalam hal Warga
Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, Warga
Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke PTUN. Dengan demikian terdapat dua norma

144
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi

hukum yang mengatur upaya administratif. Kaitannya dengan selesainya upaya


aministratif warga masyarakat masih hendak mengajukan ke pengadilan, terdapat dua
pengadilan yaitu PT.TUN sesuai Pasal 48 UU Peratun dan ke PTUN sesuai Pasal 76
ayat (3) UUAP.
Menurut penulis, setelah upaya administrasi selesai dilaksanakan, warga
masyarakat yang masih belum menerima keputusan upaya administratif mengajukan
gugatannya tetap ke PT.TUN dengan alasan : UUAP bukan merupakan hukum acara.
Upaya administratif masih berlaku Pasal 48 UU Peratun karena belum dicabut.
Kerancuan timbul UUAP memberi kewenangan kepada PTUN untuk
mengadilinya. Pasal 48 UU Peratun masih berlaku yang mengatur hukum acara. Untuk
itulah, perlu adanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan pasca UUAP.
C. Pengaturan AUPB dalam UUAP
Dalam Pasal 10 ayat (1) UUAP memuat rincian AUPB. Pada saat juga dimuat
dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) sub b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang
muatannya berbeda. Dengan demikian terdapat adanya antinomi.
Pengujian terhadap keputusan Administrasi berdasarkan UUAP pada prinsipnya
sama dengan Keputusan dalam Undang-Undang Peratun. Hakim menguji berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan AUPB.
Perbedaan dalam pemuatan AUPB:
UU PERATUN UU AP
Kepastian hukum kepastian hukum
Keterbukaan Kemanfaatan
Profesionalitas Ketidakberpihakan
Akuntabilitas Kecermatan
Tertib penyelenggaraan negara tidak menyalahgunakan kewenangan
kepentingan umum Keterbukaan
kepentingan umum
pelayanan yang baik

Asas yang sama terdiri dari Asas kepastian hukum, keterbukaan, dan
kepentingan umum. Adanya perbedaan dari dimuat AUPB di UU Peratun dan UUAP
dalam praktek di PTUN tidak menjadi masalah. Oleh karena, selain AUPB yang dimuat
dalam kedua undang-undang tersebut, hakim dapat menguji keputusan atau tindakan
berdasarkan AUPB di luar yang dimuat dalam UU.

145
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154

Memang, menurut Wiarda; AUPB merupakan tendesi-tendesi etik dan bukan


merupakan norma-norma hukum, namun mempunyai arti yang penting dalam praktik
pemerintahan. AUPB dapat berfungsi sebagai pedoman yang penting bagi pemerintah
dan para pejabat Administrasi dalam menetapkan suatu kebijakan.18
Hakikat AUPB tidak tertulis. Rincian AUPB yang dimuat dalam Pasal 10 UUAP
menyebabkan bukan asas lagi melainkan sudah menjadi norma dalam undang-undang.
AUPB harus asas hukum. Asas kemanfaatan dan asas kepentingan umum bukan
asas hukum. Asas kemanfaatan mengandung arti efektifitas dan efisien. Efektifitas
mengandung kemanfaatan sedangkan efisien mengandung nilai ekonomis.
Pengaturan AUPB tidak dalam bentuk rincian. Penormaan AUPB dapat
dijadikan contoh Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu
mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari
maksud diberikannya wewenang tersebut ; Huruf c.; Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, tidak mencantumkan salah satu asas dari AUPB. Uraian
Pasal 53 ayat (2) huruf b merupakan rumusan asas larangan berbuat penyalahgunaan
wewenang (detournament de pouvoir). Rumusan Pasal 53 ayat (2) huruf c merupakan
rumusan asas berbuat sewenang-wenang (abus de droit).
Dengan demikian ketentuan AUPB dalam Undang-Undang :
a. Harus merupakan asas hukum
b. tidak perlu dirinci AUPB.
c. Penormaan AUPB dapat dilakukan dengan merumuskan norma hukum sesuai
dengan yang dimaksud dalam asas hukum tersebut.

18
Sibuea, Hotma P., Asas Hukum Peraturan Kebijakan & Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang
Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 152

146
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi

III. KESIMPULAN
Berdasarkan diskripsi dan analisa yang tersaji, maka dapat diberikan
kesimpulan sebagai berikut :
1. Ketentuan Peralihan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 87 tidak
tepat karena telah memuat perubahan secara terselubung ketentuan Pasal 1
angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Perubahan secara terselubung suatu aturan di dalam Peraturan Perundang-
undangan tidak dibenarkan ditempatkan di dalam Ketentuan Peralihan. Secara
Normatif perubahan hendaknya dilakukan dengan jalan :
a. Membuat batasan pengertian baru di dalam Ketentuan Umum Peraturan
Peundang-undangan; atau
b. Dilakukan dengan membuat Peraturan Perundang-undangan perubahan.
Pemaknaan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara seperti yang dimaksud di dalam Pasal 87 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan butit a
sampai dengan butir f berlebihan, tidak jelas makna dan tujuannya, serta tanpa
landasan teori.
2. Beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan memberi peluang untuk memperluas kompetensi
absolut Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai berikut :
a. Dikuranginya unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara di dalam Pasal 1
angka 7 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menjadi ;
1) Ketetapan tertulis;
2) Dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
3) Dalam penyelenggaraan pemerintahan
Menambah luasnya daya jangkau keberlakuan jika dibandingkan dengan
unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara seperti yang dimaksud di dalam
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan

147
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata


Usaha Negara yang memuat unsur-unsur :
1) Penetapan tertulis;
2) Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara;
3) Berisi tindakan hukum tata usaha negara;
4) Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; bersifat
konkret, indivudual dan final;
5) Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Perluasan kompetensi lembaga peradilan dilakukan dengan undang-undang
(bij de wet) bukan dengan jalan menyisipkan dalam undang-undang (in de wet)
yang lain.
b. Ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan dihubungkan dengan pemaknaan Pasal 1 angka 9
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yaitu pada unsur:
a. Penetapan tertulis mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif, legislatif, yudisial dan penyelenggara negara lainnya.
c. Bersifat final dalam arti luas;
d. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum
c. Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan yang memberi wewenang kepada Pengadilan Tata
Usaha Negara untuk menguji ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang
dalam Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan.
d. Ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan memberi wewenang Pengadilan Tata Usaha
Negara menguji permohonan adanya keputusan fiktif positif.

148
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi

e. Pasal 76 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang


Administrasi Pemerintahan memberi wewenang Pengadilan Tata Usaha
Negara untuk mengadili keputusan hasil upaya administratif.
3. Dinormakan dan diperincinya Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
(AUPB) di dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan telah membuat rigid AUPB itu sendiri tidak
sesuai dengan hakekat AUPB yang merupakan hukum tidak tertulis dan bersifat
elastis mengikuti perkembangan praktek pemerintahan dan peradilan tata usaha
negara. Ketika asas sudah dinormakan maka ia menjadi undang-undang tidak
dapat lagi disebut sebagai asas.
IV. SARAN
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, saran-saran yang dapat diberikan
adalah:
1. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan disarankan kepada pembentuk undang-undang (DPR
RI) dan Presiden RI untuk merevisi atau merubah terhadap Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan merevisi Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan untuk
diseuaikan dengan konsep-konsep dasar Hukum Administrasi.
2. Disarankan kepada pembentuk undang-undang (DPR RI) dan Presiden RI,
pemberian suatu kewenangan baru dan/atau mengatur hukum acara lembaga
peradilan harus dilakukan dengan undang-undang (bij de wet) bukan dengan
jalan menyisipkan dalam undang-undang (in de wet) yang lain sehingga
mendapat legitimasi secara konstitusional.
3. AUPB yang sudah dinormakan di dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan tidak dapat lagi
disebut sebagai AUPB karena sudah menjadi norma undang-undang, kepada
Hakim di Peradilan Tata Usaha Negara disarankan hendaknya menggunakan
AUPB yang sudah dikenal dalam yurisprudensi dan doktrin.

149
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154

V. DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad, Beberapa Ciri Khas Hukum Administrasi Negara Indonesia,


Fakultas Hukum USU, Medan, 1979

_______, Hukum Administrasi Negara Indonesia (H.A.N.I.), Yani Corporation, Medan,


1986

Abdulah, Rozali, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan kesembilan,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Achyar, Fatimah, Selintas tentang Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara,


Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1989

Adiwijaya, Soelaiman B. dan Lilis Hartini, Bahasa Indonesia Hukum, Pustaka, Cet II,
Bandung, 2003

Algra, N.E., et.al, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia,
Binacipta, cet.pertama, Bandung, 1983

Ali, Faried, dan Nurlina Muhidin, Hukum Tata Pemerintahan Heteronom dan Otonom,
Refika Aditama, Bandung, 2012

Ali, Faried, et.al., Studi Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2012

Ali, M. Jafar, Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara, Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan, 1984

Ali, M, Hatta, Peradilan Sederhana, Cepat & Biaya Ringan Menuju Keadilan
Restoratif, Alumni, Bandung, 2012

Almond, Gabriel A. & G. Bingham Powell, Jr. System, Process, and Policy.
Comparative Politics. Ed. II. Boston-Toronto: Little, Brown and Company, 1978

Amiq, Bachrul, Aspek Hukum Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam


Prespektif Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, Laksbang, Surabaya, 2010

Anggraini, Jum, Hukum Administrasi Negara, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012

Anshori, Abdul Ghufur dan Sobirin Malian (ed), Membangun Hukum Indonesia, Kreasi
Total Media, cet. Pertama, Yogyakarta, 2008

Anwar, Chairul, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta: Novindo Pustaka


Mandiri, 2001

Arto, A. Mukti, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indoneisa, Pustaka


Pelajar, Yogyakarta, 2012

Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014

150
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi

Astawa, I Gde Pantja dan Suprin Naa, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-
Undangan Di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2008

Atmosudirdjo, S. Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Cet. 9, Ghalia Indonesia,


Jakarta, 1988

Atok, Rosyid Al, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Setara Press,


Malang, 2015

Attamimi, A. Hamid S., Peranan Keputusan Preisiden Republik Indonesia Dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Universitas Indonesia, Fakultas
Pascasarjana, 1990

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Simposium Peradilan Tata Usaha Negara, Bina
Cipta, Bandung, 1977

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT Gramedia, Jakarta, 1996

Basah, Sjachran, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Adiministrasi di


Indonesia, Cetakan ke-tiga, Alumni, Bandung, 2009

_________, Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Administrasi,


Rajawali Pers, Jakarta, 1989

_________, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara,


Penerbit Alumni, Bandung, 1992

Bedner Andriaan, Administrative Court in Indonesia A Socio Legal Study, Kluwer Law
International, The Hague, 1999

_________, Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Hu-Ma, Jakarta, 2010

Boestomi, T., Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara Dalam Teori & Praktek,
Alumni, Bandung, 1994

_________, Pengadilan Administrasi dan Pelaksanaan Peradilan Yang Murni, dalam


Himpunan Karangan di Bidang Hukum Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung
RI, Jakarta, 1993

Bogdanor, S.E. Finer Vernon and Bernard Rudden, Comparing Constitutions, Oxford
New York: Clarendon Press, 1995

Brugink, J.J.H., Rechts Reflecties ( alih bahasa Arief Sidharta), PT. Citra Aditiya,
Bandung, 1999

Budiardjo, Miriam, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar
Harapan, 1991

151
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154

Busroh, Abu Daud & Abubakar Busroh, Asas-asas Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985

Campbell, Black Henry, Blacks Law Dictionary, West Publishing Co., 1990

Dewa, Muh. Jufri, Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Pelayanan Publik,
Unhalu Press, Kendari, 2011

Dicey, A.V., Introduction to the Study of the Law of the Constitution, London: The
Macmillan Press Ltd, 1971

Djunaedi, Eddy, et al., Mengkaji Kembali Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara
Di Indonesia, Lembga Penelitian Dan Pengembangan Hukum Administrasi
Negara (LPP-HAN), Jakarta, 2003

Douglas, Roger, Administratif Law, Ed. V., Sydney: The Federation Press, 2006

Elpah, Dani, Titik Singgung Kewenangan Antara Peradilan Tata Usaha Negara
Dengan Peradilan Umum Dalam Sengketa Pertanahan (Laporan Penelitian),
Puslitbang Hukum Dan Peradilan Balitbang Diklat Kumdil MA RI, Jakarta,
2014

Effendi, Lufti, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayu Media, Malang, 2004

Ekatjahjana, Widodo, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan


teknik Penyusunanannya, PT Citra Aditiya Bakti, Bandung, 2008

Erliyana, Anna, Keputusan Presiden Analisis Keppres RI 1987 - 1998, Pidato Upacara
Pengukuhan Sebagai Guru Besar Dalam Bidang Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2007

Erliyana, Anna, Memahami Makna dan Ruang Lingkup Kewenangan Badan Tata
Usaha Negara, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2005

Fachrudin, Irfan, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah,


Alumni, Bandung, 2004

Fadjar, A. Mukhtie, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2004

Fahmal, A. Muin, Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak Dalam


Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Cetakan kedua, Total Media,
Yogyakarta, 2008

Fockema, Andreae, Kamus Istilah Hukum, Belanda-Indonesia, terjemahan: Saleh


Adiwinata, Bandung: Binacipta, 1983

Friedman, Lawrence M., The Legal System A Social Science Prespective, (Terjemahan :
M Khozim), Nusa Media, Bandung, 2013

152
Disertasi Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan - Yodi Martono Wahyunadi

_________, What is a legal system dalam American Law, (New York: W.W.Norton
& Company, 1984

Friedrich, Carl J., Constitutional Government And Democracy, Theory and Practice in
Europe and America, Boston-New York: Ginn and Company, 1950

Fuady, Munir, Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, 2009

Gautama, Sudargo, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983

Garner, Bryan A., Black's Law Dictionary, West Group, Seventh Edition, ST.PAUL,
MINN, 1999

H. van der Tas: Kamus Hukum, Belanda Indonesia, Timun Mas, Jakarta, 1961

Hadjon, Philipus M., et.al., Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas
Trisakti, Jakarta, 2010

_________, et.al., Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2011

_________, et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia / (Introduction to


the Indonesian Administratif Law), Cetakan Kelima, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 1997

_________, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan


(Bestuurhandeling), Djumali, Surabaya, 1985

_________, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya,
1987

Hague, Rod & Martin Harrop, Comparative Government and Politics, Ed. V., New
York: Palgrave, 2001

Handayaningrat, Soewarno, Administrasi Pemerintahan dalam Pembangunan Nasional,


Gunung Agung, Jakarta, 1986

Harahap, Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan Ketiga, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002

Hoesen, Zainal Arifin, Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Imperium, Yogyakarta,


2013

Humes, Samuel IV, Local Governance and National Power, (New York: Harvester
Wheatsheaf, 1991

Hutchinson, Terry, Researching and Writing in Law, Lawbook Co, 2002

HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, FH UII Press, Yogyakarta, 2002

153
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016 : 135 - 154

Ibrahim, R., BUMN dan Kepentingan Umum, cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997

Ilmar, Aminuddin, Hukum Tata Pemerintahan, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2014

Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan),
Kanisius, Yogyakarta, 2007

Indroharto, Perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata,


Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara, Bogor-
Jakarta, 1995

_________, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha


Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993

_________, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha


Negara, Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993

Surat Edaran :

Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1988 tentang Pembagian Tugas
Ketua dan Wakil Ketua

Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Beberapa Ketentuan Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.

Putusan :

Perkara No. 2/P/2015/PTUN.TPI

Perkara No. 15/P/2015/PTUN-SRG

Perkara No. 70/G/2015/PTUN-BDG

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006

Putusan Perkara HUM Nomor 5 P/HUM/2012

Putusan Perkara HUM Nomor 46 P/HUM/2013

Putusan Perkara HUM Nomor 5 P/HUM/2014

Putusan Perkara HUM Nomor 76 P/HUM/2014

154
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
ISSN : 2303-3274

BIOGRAFI PENULIS

H. Santhos Wachjoe P, S.H.,M.H., Penulis bekerja sebagai Hakim Yustisial pada


Mahkamah Agung Republik Indonesia yang beralamat pada Jl. Medan Merdeka
Utara No. 9-13, Jakarta Pusat. Penulis dapat dihubungi secara pribadi melalui email:
santhoshakim@yahoo.com
Muhamad Isna Wahyudi, S.H.I, M.H.I, lahir di Semarang, 2 Mei 1981, adalah
lulusan Fakultas Syariah, Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah, IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta tahun 2004, dan Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum
Keluarga, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2006. Saat ini
menjabat sebagai hakim pada Pengadilan Agama Badung Bali. Selain itu, sejak 2013
sampai sekarang ditugaskan juga sebagai redaktur majalah Peradilan Agama yang
diterbitkan oleh Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Penulis aktif
menulis artikel di beberapa jurnal dan telah memiliki dua buku, Fiqh Iddah: Klasik
dan Kontemporer, diterbitkan Pustaka Pesantren tahun 2009, dan Pembaruan
Hukum Perdata Islam: Pendekatan dan Penerapan, diterbitkan Mandar Maju tahun
2014. Pernah menjadi pembicara dalam the 4th International Conference and
Graduate Workshop on Islamic Justice System in Classical and Modern Times:
Discourses and Practices, yang diselenggarakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama dengan the Faculty of Humanities
Georg August University of Gottingen, Germany, di Yogyakarta, pada 28-30 Oktober
2014. Penulis dapat dihubungi secara pribadi melalui email :
isnawahyudi@gmail.com
Tri Cahya Indra Permana, S.H., M.H., lahir di Jakarta pada tanggal 13 Mei 1978.
Penulis saat ini menjabat sebagai hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
yang beralamat di Jl. A. Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Jakarta Timur
13950. Penulis menamatkan sarjana hukum pada Universitas Jenderal Sudirman
Purwokerto. Setelah itu, menyelesaikan studi Magister Hukum di Universitas
Diponogoro Semarang pada tahun 2009. Penulis dapat dihubungi secara pribadi
melalui email: tricahyaindrapermana@yahoo.co.id.
Teguh Satya Bhakti, S.H., M.H., lahir di Ampenan pada tanggal 17 September 1980.
Penulis saat menjabat sebagai hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
yang beralamat di Jl. A. Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Jakarta Timur
13950. Penulis menyelesaikan Sarjana Hukum di Universitas Mataram pada tahun
2002. Selanjutnya melanjutkan studi pada Magister Hukum Universitas Indonesia
yang selesai pada tahun 2004. Penulis dapat dihubungi secara pribadi melalui email:
alexander.teguh@yahoo.co.id.
Sri Gilang Muhammmad Sultan Rahma Putra, S.H., lahir di Malang, Jawa Timur,
5 April 1988. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya tahun 2011. Saat ini bekerja sebagai kandidat peneliti bidang
Hukum dan Peradilan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
Peradilan Mahkamah Agung RI. Bidang kajian hukum yang diminati penulis adalah
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
ISSN : 2303-3274

Hukum Lingkungan, Perbandingan Hukum, Hukum dan Teknologi serta Hukum


Internasional. Selain bekerja sebagai kandidat peneliti, sejak tahun 2004, penulis
juga aktif terlibat sebagai pembimbing kegiatan Kelompok Ilmiah Remaja (KIR)
pada tingkat SMP dan turut aktif membimbing siswa SMP mengikuti kegiatan
kompetisi ilmiah dan pembinaan ilmiah yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud). Penulis dapat dihubungi melalui email
srigilangmuhammadsrp@gmail.com atau surat ke alamat kantor Puslitbang Kumdil
lantai 10 Gedung Sekretariat Mahkamah Agung JL. Jend. Ahmad Yani Kav. 58
Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat.
Dr. Adriano, SH., MH., lahir di Jakarta pada tanggal 16 Januari 1965. Saat ini
bertugas sebagai Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan
Negeri Surabaya. Menamatkan Fakultas Hukum (S1) di Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta pada tahun 1989, Magister Hukum (S2) Universitas Airlangga Surabaya
pada tahun 2007 dan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Airlangga
Surabaya pada tahun 2013 dengan predikat Cumlaude. Dapat dihubungi secara
pribadi melalui email: adrianorino@gmail.com.
Dr. Nurnaningsih Amriani, S.H., M.H. lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan pada
tanggal 20 Juli 1979. Saat ini bertugas sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri
Simpang Tiga Redelong, DI. Aceh. Menyelesaikan studi sarjana pada Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya dengan jurusan keperdataan. Setelah itu melanjutkan
studi Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga dengan jurusan Hukum Bisnis.
Terakhir studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan, Sumatera
Utara dengan kekhususan Hukum Perdata Internasional. Publikasi yang telah
dihasilkan antara lain: 1) Buku dengan judul Mediasi Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perdata di Pengadilan Penerbit Raja Grafindo Persada, 2011; 2) Artikel
berjudul Confidentiality Versus Transparency of ICSID Arbitration Award :
Sustainability of The Quality Practice for Goods Governance and Investor to Support
Public Accountability International dalam Journal of Advances Studies in
Humanities and Social Science (IJASHSS), http://www.ijashss.com, Volume 2, Issue
2, 2014, p. 223-231, 2014; 3) Artikel berjudul Interpretation Public Policy in
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award in Indonesia Turn Aside the
Legal Certainty dalam Brawijaya International Journal, lawjournal.ub.ac.id/index-
php/law, Vol.1 No. 1 (2014), p. 26-36., 2014. Penulis dapat dihubungi secara pribadi
pada e-mail: ninink207@yahoo.com.
Dr. Yodi Martono Wahyunadi, S.H.,M.H., lahir di Ciamis pada tanggal 2 Maret
1963. Penulis saat ini menjabat sebagai Direktur Pembinaan Tenaga Teknis dan
Administrasi Peradilan Tata Usaha Negara. Penulis menamatkan titel Sarjana
Hukum pada Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1986. Setelah itu menamatkan
Magister Hukum pada Universitas Airlangga Surabaya tahun 2003, dan telah
menyandang gelar doktor ilmu hukum pada Universitas Trisakti Jakarta di tahun
2016. Penulis dapat dihubungi melalui email : yodimw@ditjenmiltun.net.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
ISSN : 2303-3274

PEDOMAN PENULISAN JURNAL

Jurnal Hukum dan Peradilan


Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

Jurnal Hukum dan Peradilan adalah media yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Jurnal ini terbit 3 (tiga)
nomor setahun yaitu pada bulan Maret, Juli dan November. Jurnal Hukum dan Peradilan
menerima naskah dalam lingkup bidang Hukum dan Peradilan yang belum pernah
dipublikasikan di media lain dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Naskah dikirim dalam bentuk karya tulis ilmiah seperti hasil penelitian,
analisis/tinjauan putusan peradilan, kajian teori, studi kepustakaan atau gagasan kritis
konseptual yang bersifat obyektif, sistematis, analitis, dan deskriptif.
2. Naskah yang dikirimkan harus orisinal dengan melampirkan pernyataan keorisinalan
naskah oleh penulis.
3. Naskah harus ditulis dalam bahasa Indonesia dan dikirimkan secara online melalui
situs jurnalhukumdanperadilan.org. Pengiriman secara online tidak dikenakan biaya.
Penulis terlebih dahulu registrasi untuk mengirimkan naskah jurnal.
4. Penulisan menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas, sederhana, mudah
dipahami dan tidak mengandung makna ganda.
5. Naskah yang masuk akan melalui tiga tahap penilaian yang dilakukan oleh tim
penyunting dan mitra bestari. Rapat Redaksi akan menentukan diterbitkan atau
tidaknya naskah dalam Jurnal Hukum dan Peradilan. Setiap penulis yang naskahnya
diterbitkan dalam Jurnal Hukum dan Peradilan berhak mendapat honorarium dan
beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.
6. Naskah ditulis di atas kertas A4 dengan panjang 15-20 halaman. Naskah ditulis
menggunakan huruf Times New Roman dengan ukuran 12, spasi 1,5 dan margin
halaman kiri 3 cm, atas 3 cm, kanan 2.5 cm dan bawah 2.5 cm. Naskah harus disertai
abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan panjang tulisan 100-150
kata spasi 1.
7. Sistematika penulisan hasil penelitian meliputi:
Judul Naskah, Identitas Penulis (Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Alamat
Instansi dan email), Abstrak (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) dengan outline
sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Metode Penelitian
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. KESIMPULAN
IV. DAFTAR PUSTAKA.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
ISSN : 2303-3274

8. Sistematika penulisan analisis putusan, kajian teori, studi kepustakaan atau gagasan
kritis konseptual meliputi:
Judul Naskah, Identitas Penulis (Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Alamat
Instansi dan email), Abstrak (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris), dengan outline
sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
II. PEMBAHASAN
III. KESIMPULAN
IV. DAFTAR PUSTAKA.
9. Daftar pustaka yang dirujuk hendaknya dari edisi paling mutakhir. Penulisan daftar
pustaka disusun secara alfabetis mengikuti Turabian Style. Daftar pustaka disusun
dengan menggunakan aplikasi Mendeley. Penyusunan daftar pustaka mengikuti
susunan penulisan sebagai berikut:
Buku
Packer, Herbert L. The Limits of the Criminal Sanction. California: Stanford
University Press, 1968.
Makalah
Barda Nawawi Arief. Sistem Pemidanaan Dalam Ketentuan Umum Konsep RUU
KUHP 2004. Bahan Sosialisasi RUU KUHP 2004, diselenggarakan oleh
Departemen Hukum dan HAM tanggal 23-24 Maret 2005 di Hotel Sahid
Jakarta
Artikel Jurnal
Moh. Mahfud MD. Aspek Hukum Negara dan Administrasi Negara Kelembagaan
Pengadilan Pajak. Jurnal Hukum dan Peradilan 04, no. 3 (November 2015):
351-360
Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan
Paul Tillich, Being and Love, in Moral Principles of Action, ed. Ruth N. Anshen
(New York): Harper & Bros., 1952), 663.
Internet
Hukumonline, PERADI, HKHPM dan AKHI Surati Ketua MA Soal Sumpah
Advokat http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5731d94e12b88/peradi-
-hkhpm-dan-akhi-surati-ketua-ma-soal-sumpah-advokat (diakses pada tanggal
11 Mei 2016)
10. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnotes) mengikuti Turabian
Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut:
Buku
Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction (California: Stanford
University Press, 1968), Hlm. 50.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
ISSN : 2303-3274

Makalah
Barda Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan Dalam Ketentuan Umum Konsep
RUU KUHP 2004. Bahan Sosialisasi RUU KUHP 2004, diselenggarakan oleh
Departemen Hukum dan HAM tanggal 23-24 Maret 2005 di Hotel Sahid Jakarta
Artikel Jurnal
Moh. Mahfud MD, Aspek Hukum Negara dan Administrasi Negara
Kelembagaan Pengadilan Pajak, Jurnal Hukum dan Peradilan 04, no. 3 (November
2015): 355
Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan
Paul Tillich, Being and Love, in Moral Principles of Action, ed. Ruth N.
Anshen (New York): Harper & Bros., 1952), 663.
Internet
Hukumonline, PERADI, HKHPM dan AKHI Surati Ketua MA Soal Sumpah
Advokat, Berita,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5731d94e12b88/peradi--hkhpm-dan-
akhi-surati-ketua-ma-soal-sumpah-advokat (diakses pada tanggal 11 Mei 2016)
11. Naskah dapat juga dikirimkan dalam bentuk softcopy melalui e-mail redaksi jurnal
puslitbang kumdil Mahkamah Agung RI:
sekretariatjurnalkumdil@gmail.com atau
jurnalhukumperadilan@mahkamahagung.go.id
12. Naskah dapat juga dikirim atau diserahkan secara langsung ke alamat Redaksi Jurnal
Hukum dan Peradilan:

Redaksi Jurnal Hukum dan Peradilan Puslitbang MA RI


Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI
Jl. Jend. A. Yani Kav. 58 Lt. 10 Cempaka Putih
Jakarta Pusat 13011

13. Naskah yang tidak memenuhi format ketentuan di atas tidak akan diseleksi. Dewan
editor berhak menyeleksi dan mengedit naskah yang masuk tanpa mengubah
substansi. Kepastian atau penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis.
Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah
yang masuk ke Redaksi Jurnal Mahkamah Agung. Artikel yang tidak dimuat tidak
dikembalikan kepada penulis.

Jurnal Hukum dan Peradilan


Menyampaikan terima kasih kepada para mitra bestari (reviewer) dan
semua pihak yang telah membantu penerbitan jurnal ini.
Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 1, Maret 2016
ISSN : 2303-3274

Anda mungkin juga menyukai