Anda di halaman 1dari 30

PERJANJIAN NOMINEE BERKAITAN DENGAN KEPEMILIKAN HAK ATAS

TANAH BAGI ORANG ASING YANG BERKEDUDUKAN DI INDONESIA 1

Dr. Herlien Budiono, S.H.

A. Pendahuluan
Pemilikan tanah dan/atau rumah termasuk pembangunan perumahan dan
pemukiman baik untuk Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Orang Asing (Warga
Negara Asing/WNA) telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tuntutan pasar
dan ekonomi global mengakibatkan bahwa seluruh aspek yang melingkupi hal pemilikan
rumah tempat tinggal atau hunian oleh Orang Asing, belum cukup diakomodir untuk
menciptakan iklim yang kondusif demi masuknya investasi asing dalam hal pengadaan
pemilikan rumah dan properti. Di lain pihak, masalah tersebut dihadapkan pada suatu
dilema, yakni prinsip nasionalitas yang dianut berkaitan dengan pemilikan tanah berikut
bangunan yang diberikan kepada WNI sebagai pemenuhan hak asasi yang dikukuhkan
dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Kemungkinan Orang Asing atau WNA untuk membeli dan memiliki rumah dengan
status hak atas tanah tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 103 Tahun 2005 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh
Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (PP 103/2015) 2 yang diundangkan pada
tanggal 28 Desember 2015. Disusul dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016
tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Berkedudukan di Indonesia (Permen
ATR/KaBPN 29/2016).
Hampir bersamaan dengan PP 103/2015 oleh Mahkamah Konstitusi telah
dikeluarkan putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 (MK 69/2015) berkaitan dengan

1
Seminar Nasional dengan tema “Kepastian dan Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Rusun
Komersial di Indonesia”, Program Pasca Sarjana FH UII & IMMASTA UII bekerja sama dengan Pengurus
Daerah INI-IPPAT Kota Yogyakarta, 25 Maret 2017, Hotel Inna Garuda Yogyakarta.
2
Menggantikan PP 41/1996.

1
perkawinan campuran antara WNA dengan WNI yang dimungkinkan untuk membuat
perjanjian perkawinan sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan dari
suami-isteri.
PP 103/2015 yo. Permen ATR/KaBPN 29/2016 dan putusan MK 69/2015 tersebut
membawa dimensi baru baik dalam akibat hukum harta benda perkawinan, maupun
dengan kepemilikan hak atas tanah dan akibat hukumnya bagi WNA.
Di dalam keadaan atau dengan alasan tertentu mengingat adanya ketentuan
perundang-undangan yang bersifat memaksa akan tetapi adanya subyek hukum yang
ingin tujuannya tercapai maka dibuatlah suatu perjanjian yang pada hakikatnya dilarang
oleh undang-undang. Di satu pihak adanya asas nasionalitas, dan pada sisi lain adanya
orang asing yang ingin membeli dan memiliki rumah dengan status hak atas tanah
tertentu, dapat menimbulkan peluang atau celah dilakukannya perjanjian nominee.

B. Pemilikan rumah tinggal atau hunian oleh orang asing


1. Asas Nasionalitas
Tata hukum berkaitan dengan peraturan dasar pertanahan pada saat ini, sejak 24
September 1960 berlaku Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang pada dasarnya membedakan kepemilikan atas
tanah antara subjek hukum WNI dengan WNA.
UUPA menegaskan di dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) bahwa hanya WNI dapat
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam
batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2 UUPA. Asas nasionalitas tersebut ditegaskan lebih
lanjut di dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPA yang menyebutkan hanya WNI dapat
mempunyai Hak Milik (HM). Demikian pula, WNI dan badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai Hak Guna
Bangunan (HGB, Pasal 36 ayat (1) a UUPA), dan/atau Hak Guna Usaha (HGU Pasal 30
UUPA).
Selain UUPA, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun (UU 20/2011) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (UU 1/2011) mengukuhkan asas
nasionalitas sebagai salah satu asas dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan

2
dan kawasan permukiman (Pasal 2c UU 1/2011) dan tentang Rumah Susun sebagaimana
diatur dalam Pasal 2c UU 20/20113.

2 Orang asing
Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU 12/2006) menentukan kriteria seseorang
digolongkan sebagai Warga Negara Republik Indonesia. Apabila tidak dipenuhi kriteria
tersebut, maka orang tersebut dikategorikan sebagai Orang Asing, yang berakibat
perbedaan yang tegas mengenai hak dan kewajiban WNA dengan WNI diantaranya
dalam hal mendapatkan hak atas tanah.
Khusus berkaitan dengan Orang Asing yang dapat memiliki rumah untuk tempat
tinggal atau hunian dengan Hak Pakai adalah Orang Asing yang berkedudukan di
Indonesia yang keberadaannya memberikan manfaat melakukan usaha, bekerja, atau
berinvestasi di Indonesia, demikian Pasal 1 ayat (1) PP 103/2015 jo Pasal 2 ayat (1)
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2016 tentang Orang Asing Atau Ahli Waris Yang Merupakan Orang Asing Sebagai
Pemilik Rumah Tinggal Atau Hunian Yang Tidak Lagi Berkedudukan di Indonesia
(Permenhukham 23/2016).
Oleh Pasal 1 ayat (1) Permen ATR/KaBPN 29/2016 ditentukan lebih lanjut bahwa
tidak setiap Orang Asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan
Hak Pakai tetapi hanya Orang Asing pemegang izin tinggal 4 di Indonesia dapat memiliki
rumah tempat tinggal atau hunian berupa rumah tunggal atau satuan rumah susun.

3. Rumah Susun dan Satuan Rumah Susun


Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan
yang terbagi dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-
masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang
dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, demikian Pasal 1 ayat (1)
3
Pasal 2c UU No 1/2011: Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan dengan berasaskan: a)
kesejahteraan; b) keadilan dan pemerataan; c) kenasionalan (…).
Pasal 2c UU No 20/2011: Penyelenggaraan rumahsusun berasaskan pada : a) kesejahteraan; b) keadilan
dan pemerataan; c) kenasionalan (…).
4
”Izin tinggal” tersebut terdiri atas izin tinggal diplomatik, izin tinggal dinas, izin tinggal
kunjungan, izin tinggal terbatas, dan izin tinggal tetap, Penjelasan Pasal 2 ayat (2)PP 103/2015.

3
UU 20/2011. Adapun Satuan Rumah Susun yang disebut pula dengan Sarusun adalah unit rumah
susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi sebagai tempat hunian dan
mempunyai sarana penghubung ke jalan umum, demikian Pasal 1 ayat (3) UU 20/2011 yang
sama dengan Pasal 1 ayat (3) PP 103/2015.
Bangunan bertingkat berkonstruksi vertikal dikenal sebagai flat, apartemen, kondominium,
atau town house yang biasanya merupakan tempat hunian atau non-hunian atau kadang campuran
keduanya mempunyai pengertian berbeda walaupun secara yuridis dikenal dengan nama Rumah
Susun. Dasar hukum pembangunannya mengacu pada UU 16/1985 yang diubah dengan UU
20/2011 yang sebenarnya tidak mengatur lagi rumah susun non-hunian.
Pasal 1 ayat (7), (8), (9) dan (10) UU 20/2011 mengenal rumah susun umum, rumah susun
khusus, rumah susun negara dan rumah susun komersial.
Dalam praktik dikenal adanya:
a) Rumah susun sederhana yang pada umumnya dihuni oleh masyarakat berpenghasilan
rendah;
b) Rumah susun menengah (apartemen) biasanya dijual atau disewakan oleh pengembang
swasta (developer) atau Perumnas kepada masyarakat konsumen menengah ke bawah;
c) Rumah susun mewah (kondominium) oleh pengembang swasta biasanya dijual kepada
masyarakat menengah ke atas dan kepada orang asing..
Rumah susun dapat dibangun di atas tanah:
a) Hak Milik;
b) Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah Negara; dan
c) Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan (Pasal 17 UU 20/2011).
Pengertian Hak Milik Satuan Rumah Susun meliputi:
a) Hak Pemilikan perseorangan atas satuan rumah susun yang digunakan secara terpisah;
b) Hak Bersama atas bagian-bagian dari bangunan rumah susun;
c) Hak Bersama atas benda-benda;
d) Hak Bersama atas tanah.

C. Tata Cara Pemberian, Pelepasan atau Pengalihan Hak, Berakhirnya Atas


Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing Berkedudukan di
Indonesia
Pemberian, pelepasan, dan pengalihan hak atas pemilikan rumah tempat tinggal
atau hunian yang dimiliki Orang Asing berdasarkan pada asas bahwa macam hak atas

4
tanah yang dapat dipunyai oleh seseorang mengikuti subjek hak atas tanahnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 2 ayat (1) Permen ATR/KaBPN
29/2016).
Hak Pakai atas tanah Negara berdasarkan Pasal 42 UUPA dimungkinkan untuk
diberikan kepada Orang Asing. Orang Asing dapat menghuni atau menempati rumah
dengan cara Hak Sewa atau Hak Pakai yang dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis
dengan pemegang hak atas tanah berdasarkan Pasal 52 UU 1/2011 5. Dengan adanya
perjanjian tertulis berarti dapat mencegah hal-hal yang memungkinkan penguasaan tanah
oleh bukan pemilik tanpa batas waktu sehingga menyimpang dari asas nasionalitas
UUPA.
1. Pengaturan tentang cara memperoleh rumah tidak dapat dilepaskan dari cara
memperoleh hak atas tanah tempat rumah tersebut berdiri. PP 103/2015 tidak
mengatur bagaimana cara memperoleh rumah oleh Orang Asing tetapi diatur dalam
Permen ATR/KaBPN 29/2016, yakni dengan cara:
Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh Orang Asing (Pasal 4
Permen ATR/KaBPN 29/2016) merupakan:
a. Rumah Tunggal6, di atas tanah:
(1) Hak Pakai; atau
(2) Hak Pakai atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian pemberian
Hak Pakai di atas Hak Milik dengan akta Pejabat Pembuat Akta tanah
(PPAT); atau
(3) Hak Pakai yang berasal dari perubahan Hak Milik atau Hak Guna
Bangunan.
b. Sarusun yang:
(1) dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai;
(2) berasal dari perubahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Dengan ketentuan bahwa:
5
(1) Orang asing dapat menghuni atau menempati rumah dengan cara hak
sewa atau hak pakai.
(2)Ketentuan mengenai orang asing dapat menghuni atau menempati rumah dengan hak sewa atau hak
pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6
Pasal 1 ayat (2) PP 103/2015: Rumah Tunggal adalah rumah yang mempunyai kaveling sendiri
dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling

5
a. Pembelian rumah tunggal atau satuan rumah susun tersebut di atas diberikan
dengan batasan harga minimal sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Permen ATR/KaBPN 29/2016.
b. Dibatasi selain harga minimal dengan ketentuan:
(1) 1 (satu) bidang tanah per orang/keluarga; dan
(2) Tanahnya paling luas 2.000 (dua ribu) meter persegi;
(3) Dalam keadaan tertentu yang mempunyai dampak positif luar biasa
terhadap ekonomi, maka pemberian rumah tempat tinggal dapat
diberikan dengan luas lebih dari 2.000 (dua ribu) meter persegi, dengan
izin Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
c. Orang Asing diberikan Hak Pakai untuk Rumah tunggal pembelian baru dan
Hak Milik atas Sarusun di atas Hak Pakai untuk Sarusun pembelian unit baru
(Pasal 5 PP 103/2015).
2. Terjadinya Hak Pakai Karena Subjek Hak Orang Asing di Indonesia (Pasal 6
Permen/KaBPN 29/2016);
a. Hak atas rumah tempat tinggal atau hunian Orang Asing di atas Hak
Milik atau Hak Guna Bangunan karena jual beli, hibah, tukar menukar, dan
lelang, serta cara lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak atas tanah,
maka tanah hak tersebut menjadi Tanah Negara yang langsung diberikan
dengan perubahan menjadi Hak Pakai kepada Orang Asing yang
bersangkutan;
b. Sarusun yang dibangun di atas Hak Guna Bangunan atau Hak
Pengelolaan yang dimiliki oleh Orang Asing karena jual beli, hibah, tukar
menukar, dan lelang, serta cara lain yang dimaksudkan untuk memindahkan
hak, maka Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun langsung diberikan dengan
perubahan menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun kepada Orang
Asing yang bersangkutan.
3. Jangka Waktu rumah tempat tinggal bagi Orang Asing;
a. Di atas Hak Pakai berasal dari Hak Milik diberikan dengan jangka waktu 30
(tiga puluh) tahun yang dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua

6
puluh) tahun. Dalam hal jangka waktu perpanjangan berakhir, Hak Pakai
dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun.
b. Di atas Hak Pakai yang berasal dari Hak Guna Bangunan sebagaimana
diberikan dengan jangka waktu selama sisa jangka waktu berlakunya Hak
Guna Bangunan. Hak Pakai tersebut dapat diperpanjang untuk 20 (dua puluh)
tahun. Dalam hal jangka waktu perpanjangan berakhir, Hak Pakai dapat
diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun.
c. Di atas Hak Pakai atas Sarusun yang diperoleh pertama kali dari unit Hak
Milik Atas Sarusun baru diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun
dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun) serta dapat
diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun;
d. Di atas Hak Pakai atas Sarusun yang perolehannya berasal dari Hak Milik
atas Sarusun diberikan dengan jangka waktu selama sisa jangka waktu
berlakunya Hak Milik atas Sarusun terebut.
4. Berakhirnya hak atas pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian orang asing di
Indonesia (Pasal 10 PP 103/2015);
a. Apabila Orang Asing/Ahli Waris yang memiliki rumah yang dibangun di atas
tanah Hak Pakai atau berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah
tidak lagi berkedudukan di Indonesia, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas rumah dan tanahnya kepada
pihak lain yang memenuhi syarat. Adapun keterangan mengenai Orang
Asing/Ahli Waris tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak karena
meninggalkan Indonesia atau tidak lagi mempunyai izin, tinggal diperoleh
dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
b. Peralihan karena waris dan ahli waris tersebut merupakan Orang Asing, maka
ahli waris harus mempunyai izin tinggal di Indonesia (diatur Permen urusan
pemerintah di bidang keimigrasian);
c. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat
(a) hak atas rumah dan tanahnya tersebut belum dilepaskan atau dialihkan
kepada pihak lain yang memenuhi syarat, maka:

7
1. rumah di lelang oleh Negara, dalam hal dibangun di atas tanah Hak
Pakai atas tanah Negara yang hasil lelang tersebut menjadi hak dari
bekas pemegang hak;
2. rumah menjadi milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan,
dalam hal rumah tersebut dibangun di atas tanah berdasarkan perjanjian
yang merupakan Sarusun yang dibangun di atas bidang tanah Hak
Pakai;
Pembatasan bagi Orang Asing untuk memiliki rumah tempat tinggal atau hunian
beserta hak atas tanah, yakni Hak Pakai di atas tanah Negara atau Hak Pakai atas Hak
Milik dari pemegang Hak Pakai, adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 42 UUPA yang
membolehkan orang asing untuk memiliki tanah Hak Pakai dengan ketentuan untuk
memiliki rumah tempat tinggal atau hunian berbentuk satuan rumah susun yang dibangun
di atas tanah Hak Pakai atas tanah Negara. Satuan rumah susun yang dibangun di atas
tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pengelolaan tidak dapat dimiliki oleh
orang asing.
Memiliki Hak Milik satuan rumah susun adalah bukan hak atas tanah sebagaimana
diatur dalam UUPA karena yang terkait langsung dengan tanahnya hanya hak bersama
tempat bangunan rumah susun berdiri, yakni dengan status Hak Pakai atas tanah negara.
Hak Sewa untuk bangunan menurut penjelasan Pasal 44 dan Pasal 45 UUPA
dikatakan bahwa Hak Sewa sebenarnya juga Hak Pakai, tetapi karena mempunyai sifat-
sifat khusus, maka disebut tersendiri. Berkaitan dengan sewa menyewa dan juga Hak
Pakai tidak boleh disalahgunakan oleh orang atau badan hukum yang bukan warga negara
Indonesia sebagai cara untuk menyimpangi ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA7.

D. Perjanjian Simulasi atau Perjanjian Nominee


1. Salah satu asas perjanjian adalah kebebasan berkontrak. Para pihak menurut
kehendak bebasnya masing-masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas
mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Pihak-pihak juga bebas
menentukan bentuk perjanjian, kapan melakukan perjanjian dan cakupan isi serta
persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh
7
Budi Harsono, Agraria, Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanaannya Hukum Agraria, 1971, hlm.
293-294.

8
bertentangan baik dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa,
ketertiban umum maupun kesusilaan. Sah atau tidaknya perjanjian dapat dipastikan
dengan mengujikannya terhadap empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian sebagaimana
di atur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd), yaitu.
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
(3) Suatu hal tertentu;
(4) Suatu sebab yang halal.

Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya


a. Pengertian Sepakat
Syarat pertama untuk terjadinya perjanjian ialah “sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya”. Ketentuan tersebut harus pula diartikan selain “sepakat” untuk
mengikatkan diri dari para pihak tetapi juga hak dari para pihak untuk mendapatkan
prestasi. Undang-undang sendiri tidak menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan kata
“sepakat”8, tetapi Pasal 1321 KUHPerd justru menyebutkan hal-hal dimana tidak terjadi
“sepakat” yaitu apabila sepakat diberikan karena “kekhilafan, atau diperolehnya dengan
paksaan atau penipuan serta penyalahgunaan keadaan”.
Keputusan atau kehendak yang diambil harus dinyatakan oleh pihak yang satu
kepada pihak yang lain secara timbal balik. Penyataan kehendak oleh salah satu pihak
adalah “penawaran” yang disampaikan kepada pihak lawan dan pernyataan kehendak
oleh pihak lawannya yang menerima penawaran tersebut merupakan “penerimaan”.
Dalam konteks penawaran-penerimaan, disyaratkan adanya suatu kehendak yang nyata
tertuju pada orang tertentu, kehendak yang terejawantahkan dalam pernyataan-pernyataan
yang disampaikan oleh kedua belah pihak. Penawaran dan penerimaan adalah usulan
yang disampaikan kepada pihak lainnya dan ketika usulan diterima, akan timbul dan
terbentuk perjanjian 9.

8
“Sepakat” di dalam bahasa Prancis: “consentement”, yang diambil dari bahasa Latin: “consensus” dan
“consentire”.
9
C. Asser-A.S. Hartkamp 4-II, Verbintenissenrecht, Algemene Leer der Overeenkomsten, tiende druk,
W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer 1997, hlm. 123.

9
Penawaran Penerimaan
----------------------> <-------------------------
kehendak + pernyataan kehendak + pernyataan
sepakat
Suatu penawaran, demikian pula penerimaan adalah tindakan hukum sepihak.
Untuk terjadinya perjumpaan atau persesuaian kehendak dari para pihak, dapat kita
bayangkan bahwa satu pihak mengajukan penawaran yang diterima oleh pihak lainnya.
Beranjak dari penggambaran ini, suatu perjanjian terjadi karena terjadinya dua tindakan
hukum sepihak berturut-turut, penawaran yang dilakukan oleh satu pihak dan disusul oleh
penerimaan oleh pihak lainnya. Kendati demikian di dalam KUHPerd tidak
mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan penawaran dan apa yang dimaksudkan
dengan penerimaan.
Jika seseorang menyatakan ingin melakukan perjanjian, selayaknya hal itu memang
diinginkannya. Kesukaran akan muncul manakala ternyata tidak adanya kesesuaian
antara kehendak dan pernyataan. Apa yang dimaksudkan dengan kehendak adalah
kehendak yang dinyatakan dan ditujukan untuk timbulnya akibat hukum. Pada umumnya
pernyataan yang diberikan seseorang adalah sesuai dengan kehendak. Terbuka
kemungkinan terjadi ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan. Ini terjadi dalam
tiga hal, yaitu:
1. Pernyataan tidak diinginkan;
2. Pernyataan diinginkan namun tidak dalam arti sebagaimana diterima oleh pihak
lawan;
3. Pernyataan diinginkan sesuai dengan yang dimaksud oleh pihak lawan, namun
tidak menginginkan akibat hukumnya.

b. Pernyataan Tidak Diinginkan


1) Vis absoluta
Paksaan dapat terjadi karena paksaan secara fisik atau paksaan secara psikis.
Paksaan secara fisik terjadi dalam hal, misalnya tangan seseorang dipegang untuk
memaksanya menandatangani suatu akta. Paksaan secara psikis dapat dilakukan dengan

10
ditakut-takutinya seseorang untuk melakukan sesuatu karena kalau tidak akan berakibat
celaka terhadap salah seorang keluarganya. Paksaan psikis diatur di dalam Pasal 1324
KUHPerd - Pasal 1326 KUHPerd. Dalam hal adanya paksaan dikatakan telah tidak
terjadinya kesepakatan, karena tidak adanya kehendak untuk terjadinya akibat hukum.
Adapun adanya paksaan demikian yang tanpanya tidak akan dibuat perjanjian harus
dibuktikan.

2) Gangguan Kejiwaan
Akibat hukum dari tindakan hukum yang dilakukan oleh orang yang sakit jiwa oleh
undang-undang hanya diatur jika mereka ditempatkan di bawah pengampuan atau
curatele (Pasal 433 KUHPerd dan seterusnya), tindakan mereka akan tunduk pada aturan
umum dan asas-asas hukum. Mereka yang digolongkan ”terganggu kejiwaannya” dapat
disebabkan karena mabuk, di bawah pengaruh narcose atau hypnose, kepikunan, dalam
keadaan emosional yang tinggi, singkatnya semua peristiwa dimana seseorang tidak
dapat menyatakan kehendaknya dengan benar dan tidak dapat mempertanggungjawabkan
atas apa yang dilakukannya atau sadar akan akibat hukumnya.

3) Terlepas Bicara atau Salah Menulis


Ketentuan umum, bahwa walaupun maksud dan ucapan tidak saling bersesuaian,
namun perjanjian tetap terjadi asalkan pernyataan yang diberikan memberi kesan bahwa
memang demikianlah yang dimaksudkan oleh yang bersangkutan (teori kepercayaan).
Teori kepercayaan dianggap sebagai pendapat yang dapat memberi solusi dan kepastian
hukum. Kalau seorang pembeli minta agar dipotongkan kain sebanyak 5 m (lima meter),
namun ternyata yang dimaksudkan hanyalah 4 (empat) meter, maka apa yang dinyatakan
tidak sesuai dengan kehendaknya tetapi dalam hal ini risiko harus ditanggung oleh
pembeli karena kesalahannya sendiri telah keliru bicara. Dilain pihak, jika pihak penjual
sudah mengetahui dan mengerti, bahwa sebetulnya yang dimaksudkan adalah 4 m
(empat) meter, maka risiko adalah pada penjual. Secara konkret, untuk menentukan apa
maksud dan atas risiko siapa kesalahan telah terjadi, harus ditentukan kasus per kasus.

4) Keliru dalam Menyampaikan Berita

11
Pernyataan yang benar namun keliru penyampaiannya mungkin terjadi jika
perjanjian dilakukan melalui seorang wakil. Pada asasnya secara umum berlaku
ketentuan yang sama dengan kekeliruan yang terjadi karena terlepas bicara atau salah
menulis. Perjanjian tetap terjadi jika pernyataan yang diberikan adalah kesalahannya
sendiri (culpa in contrahendo) dan memberi kesan kepada pihak lawan, bahwa memang
demikianlah yang dimaksudkan dengan pernyataan tersebut. Jika kekeliruan adalah pada
wakil yang menyampaikan, maka kesalahan tidak dapat dibebankan pada pihak yang
menyuruh, sehingga risiko dipikul oleh wakilnya.
Dalam beberapa hal perlu diterapkan ajaran mengenai risiko dan secara konkreto
harus ditentukan kasus per kasus.

5) Menandatangani Suatu Surat/Akta yang Tidak Dimengerti/Diketahui Isinya


Di dalam kehidupan sehari-hari seringkali perjanjian dilakukan dengan memakai
model baku/standar10 yang isinya telah disusun secara terperinci, misalnya polis asuransi,
syarat-syarat angkutan, sewa-beli, leasing dan sebagainya. Perjanjian baku atau
perjanjian standar seringkali ditandatangani tanpa dibaca atau diketahui isi
keseluruhannya oleh penandatangan.
Walaupun pihak yang telah menandatangani akta yang tidak dibaca atau diketahui
isinya baik sebagian maupun seluruhnya, namun ia telah berkehendak dan sadar telah
“menundukkan dirinya” atas isi akta dan berlaku bagi dirinya. Dikatakan di sini telah
terjadi “penundukan atas kehendak sendiri secara umum” (algemene wilsonderwerping),
sehingga dianggap tidak terjadi diskrepansi (ketidakcocokan) antara kehendak dan
pernyataan; orang menghendaki apa yang dinyatakannya11. Walaupun hampir selalu
perjanjian baku/standar ditandatangani tanpa dibaca terlebih dahulu atau diketahui isinya,
namun kenyataan telah ditandatanganinya akta perjanjian baku, menimbulkan
kepercayaan pada pihak lawan bahwa penandatangan betul mengetahui serta

10
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT Citra Aditya Bakti
2016, hlm. 134-140.
11
C. Asser - L.E.H. Rutten, Verbintenissenrecht, Algemene Leer der Overeenkomsten, W.E.J. Tjeenk
Willink, Zwolle 1975, hlm. 77.

12
menghendaki apa yang telah dinyatakannya dengan ditandatangani aktanya. Hal tersebut
berlaku juga untuk formulir yang telah ditandatangani tanpa diisi secara lengkap 12..

c. Pernyataan Dikehendaki Namun Tidak dalam Arti yang Dimaksudkan


Pihak Lawan
1) Pernyataan Tidak Cukup Jelas atau Disalahartikan
Secara umum dapat dikatakan bahwa pernyataan tidak cukup jelas atau
disalahartikan mengakibatkan tidak terbentuknya perjanjian karena tidak adanya
kesepakatan. Hanya jika pihak, kepada siapa pernyataan disampaikan tidak memiliki
alasan untuk tidak menerima atau adanya kesan bahwa demikianlah kehendak
sebagaimana telah dinyatakan, maka terjadilah perjanjian. Singkatnya, perjanjian hanya
terjadi jika salah mengerti seluruhnya adalah pada pihak yang telah tidak jelas atau
dubius telah menyatakan atau karena kurang ketelitian atau keteledoran di dalam
memberi penjelasan pada waktu menyatakan kehendaknya. Perlu diperhatikan terhadap
salah pengertian dalam artian pernyataan yang disalahartikan yang berbeda dengan salah
mengerti terhadap motif atas mana perjanjian dilakukan. Dalam keadaan demikian,
diterapkan ajaran berkenaan dengan cacat pada kehendak yaitu cacat yang terjadi karena
kekeliruan. Salah pengertian dapat diselesaikan dengan mengacu pada penafsiran
perjanjian (Pasal-pasal 1342-1351 KUHPerd).

2) Pernyataan Sampai pada Orang Lain dari yang Dimaksudkan


Surat penawaran yang sedianya adalah untuk A ternyata disampaikan kepada B.
Apakah dalam hal ini, jika B menerima penawaran tersebut dapat terbentuk
perjanjiannya? Apakah B seharusnya mengerti bahwa penawaran tersebut adalah bukan
untuknya? Sebenarnya tidak ada kekeliruan dari pihak yang menyatakan jika yang
bersangkutan yakin bahwa telah disampaikannya penawaran kepada pihak yang benar.
Ajaran cacat pada kata sepakat karena kekeliruan harus diterapkan di sini.

12
C.Asser-L.E.H.Rutten, Verbintenissenrecht, Algemene Leer der Overeenkomsten, W.E.J. Tjeenk
Willink, Zwolle 1975, hlm. 77.
Yurisprudensi di Nederland (sejak 1926) telah mengakui sahnya akta-akta perjanjian baku/standar dan
orang tidak dapat menyangkal akan hal tidak diketahui apa yang telah ditandatangani.

13
d. Pernyataan Sesuai dengan yang Dimaksudkan, Namun Tidak
Menginginkan Akibat Hukumnya
1) Maksud yang Ditahan (Reservatio Mentalis)
Orang yang menyatakan sesuatu maksud namun sebenarnya tidak menginginkan
akibatnya (dan hanya disimpan di dalam hatinya sendiri). Pada kenyataannya telah ada
pernyataan sehingga orang terikat pada pernyataan yang telah diberikan, sedangkan pihak
lawan berpegang pada kepercayaan yang ditimbulkan dari pernyataan yang diterima
bahwa memang demikianlah kehendak dari yang bersangkutan. Dalam hal demikian,
berdasarkan teori Kepercayaan telah terbentuk perjanjian.

2) Senda Gurau yang Tidak Diketahui Pihak Lawan


Pernyataan yang diberikan sebagai senda gurau pada dasarnya akan diterima
sebagaimana adanya. Guyonan dianggap sukses jika senda gurau tersebut baru setelah
beberapa waktu menyebabkan orang baru sadar dan mulai curiga, ragu-ragu apakah
pernyataan tersebut benar atau main-main. Tergantung pada pihak lawan apakah
pernyataan tersebut diterima secara serius atau seyogianya ia harus lebih bijak di dalam
menerima ”penawaran” itu. Penilaian harus dilakukan apakah kita berhadapan dengan
senda gurau yang jelas atau senda gurau yang samar-samar dan tidak jelas. Senda gurau
yang diragukan tersebut harus dianggap sama dengan keadaan mengenai reservatio
mentalis.

3) Perbuatan Pura-pura (Simulasi)


Perbuatan pura-pura sebenarnya merupakan penyimpangan dengan tujuan tertentu
untuk timbulnya akibat hukum. Penyimpangan terhadap “kesepakatan yang tercapai”
telah dilakukan di antara para pihak untuk secara diam-diam dan secara sadar melakukan
tindakan hukum tertentu yang bertentangan dengan keadaan yang terjadi. Dapat
dikatakan, bahwa terjadi “persekongkolan” di antara para pihak. Pada umumnya, secara
yuridis-teknis ada sejumlah perbuatan dimana dua pihak atau lebih menimbulkan kesan
seolah-olah telah terjadi suatu tindakan hukum tertentu, sedangkan secara diam-diam
disepakati bahwa akibat hukum perjanjian tersebut adalah tidak berlaku bagi mereka
sehingga sebenarnya terjadi pertentangan antara kehendak dan pernyataan yang tidak

14
diketahui oleh pihak luar atau pihak ketiga. Dengan kata lain, jika seseorang dengan
sadar mengusulkan tindakan hukum yang tidak sesuai dengan kenyataannya maka terjadi
simulasi, yaitu adanya pernyataan yang tidak didukung dengan kehendak. Menurut
pengertian yuridis dikatakan telah terjadi perbuatan simulasi atau telah terjadi tindakan
hukum pura-pura. yang dilakukan dan dituangkan di dalam perjanjian pura-pura atau
perjanjian simulasi. Di dalam praktik perjanjian pura-pura (simulasi) dikenal sebagai
perjanjian nominee
Untuk terjadinya perbuatan simulasi, diperlukan adanya penyimpangan antara
kehendak dan pernyataan yang menimbulkan kesan seolah-olah telah terjadi suatu
perjanjian tertentu, sedangkan secara rahasia oleh para pihak diakui tidak terjadi akibat
hukum atau diatur lebih lanjut akibat hukum lain dari perjanjian yang telah dilakukannya.

Beberapa contoh perjanjian nominee


Pada jual beli saham yang diikuti dengan perjanjian nominee bahwa sebenarnya
saham-saham (dalam rangka penanaman modal) yang dibeli tersebut adalah bukan
miliknya tetapi milik WNI/WNA, maka perjanjian nominee telah melanggar syarat
objektif, yakni mengandung kausa yang terlarang (Pasal 1335 KUHPerd)13, dalam hal ini
telah melanggar Undang-undang RI Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
tetapi juga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (UUPT).
Apabila perjanjian simulasi atas saham tersebut adalah antara WNI-WNI, maka akibatnya
adalah bahwa saham-saham perseroan berdasarkan perjanjian simulasi akan bertentangan
dengan Pasal 48 ayat (1) jo. Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 30 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) sehingga “pemilik saham”
tidak dapat menjalankan hak-haknya sebagai pemegang saham sebagaimana disebutkan
di dalam Pasal 52 ayat (1) UUPT 14.
Khusus di dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) disebutkan:
13
Pasal 1335 KUHPerd: “Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab
yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.”
14
Pasal 52 ayat (1) UUPT: (1) Saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk: a. Menghadiri dan
mengeluarkan suara dalam RUPS; b. Menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; c.
Menjalankan hak lainnya berdasarkan Undang-Undang ini.”

15
“(1) Penaman modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan
penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat
perjanjian yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan
terbatas untuk dan atas nama orang lain;
(2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat
perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian
dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.”

Berarti, perjanjian nominee antara WNI-WNI atau WNI-WNA berkaitan dengan


pemilikan saham dalam rangka UUPM, berakibat batal demi hukum.
Di dalam praktik ditemukan perjanjian nominee berkaitan dalam hal pemilikan
tanah hak oleh WNA/badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia, yang dilarang undang-undang untuk memiliki Hak Milik atas
tanah (Pasal 21 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 30) atau Hak Guna Bangunan (Pasal 36
ayat (1) UUPA) . Selain larangan pemilikan hak atas tanah tersebut, Pasal 26 ayat (2)
UUPA dengan jelas melarang:
“Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-
perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang
disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau
kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud
dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat
dituntut kembali.”

Pada perjanjian nominee yang berkaitan dengan pemilikan rumah tempat tinggal
atau hunian berkaitan dengan Orang Asing pada umumnya diperjanjikan bahwa tanah
hak menggunakan nama dari WNI yang keuangannya adalah dari pihak WNA dan
adanya pernyataan dari pihak WNI bahwa sebenarnya tanah hak tersebut adalah milik
WNA dan dikuti dengan pemberian kuasa “penuh (mutlak)” kepada WNA tersebut 15.
Perhatikan kalimat Pasal 26 ayat (2) UUPA:
“(...) perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak
langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga
negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai

15
Baca Majalah Tempo, “Investigasi mengenai Jual Beli Pulau-pulau Kecil, Pemburu Pulau dari
Seberang, Transaksi di Lahan Konservasi, Berburu Pantai Merah Jambu”, 2-9 Nopember 2014, hlm. 64-
74.

16
kewarganegaraan asing (...), adalah batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada
Negara”.

Jelas bahwa perjanjian nominee atau perjanjian simulasi berkaitan dengan pemilikan
tanah oleh WNA dengan WNI bertujuan untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik atas tanah kepada orang asing.
Perjanjian nominee atau perjanjian simulasi yang dibuat di antara dua WNI (A dan
B) mengenai sebidang tanah hak yang dibeli atas nama A dan diakui sebagai milik B
tidak melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA, tetapi dapat dikategorikan sebagai
melanggar terhadap kewajiban ketentuan pembayaran PPh 16 (wajib dibayar penjual) dan
BPHTB17 (wajib dibayar pembeli) dan kemungkinan akan pelanggaran terhadap
kewajiban membayar pajak penghasilan (apabila memenuhi syarat Keputusan Direktur
Jenderal Pajak No. 161/PJ/2001). Berbeda jika salah satu pihak adalah WNA, maka akan
bertentangan, selain dengan UUPA karena subjek hukum yang dilarang memiliki tanah
hak tertentu, kausa yang dilarang serta pelanggaran terhadap kewajiban membayar pajak
penghasilan18.
Beberapa perjanjian nominee antara WNI-WNA yang ditemukan di dalam praktik
di antaranya:
 Perjanjian opsi dimana pihak WNI memberi opsi kepada WNA untuk membeli
tanah hak dan bangunan karena pembiayaan untuk pembelian tanah hak dan
bangunan adalah dari pihak WNA;
 Perjanjian sewa menyewa dengan hak opsi pada penyewa untuk memperpanjang
masa sewa;

16
Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya.
17
SSB-Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan. Menjadi pajak daerah dengan diberlakukannya Undang2 No 28 Tahun 2009
18
Berdasarkan SE-06/PJ.9/2001, kewajiban memiliki NPWP berlaku juga bagi Orang Asing yang
berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan berubah status menjadi Subjek
Pajak Dalam Negeri, serta wajib membayar Pajak Penghasilan (PPh) (Pasal 2 ayat [4] huruf a UU No.
36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan).
Aep Gunarsa, ”Kepemilikan Rumah Hunian oleh Orang Asing dalam Perspektif Asas Nasionalitas
Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian”, Thesis, Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2016, hlm. 126-127.

17
 Perjanjian utang piutang, pihak WNI utang uang pada WNA untuk pembelian tanah
dan bangunan yang dijaminkan kepada WNA sedangkan kapan pembayaran
utangnya ditentukan oleh WNA dan selama itu WNA menghuni rumah tersebut;
 Kuasa jual dengan hak substitusi atas tanah hak dan bangunan;
 Perjanjian sewa menyewa antara Orang Asing dengan pemilik tanah Hak Milik
untuk jangka waktu relatif lama misalnya, 100 (seratus) tahun dengan pemilik
memberi persetujuan kepada Orang Asing untuk mendirikan bangunan rumah di
atas tanah yang disewanya 19;
 Perjanjian antara WNI-WNA bahwa untuk menjual WNI harus mendapat
persetujuan dari WNA dan apabila dijual diatur pembagian hasil penjualannya.

Jenis perjanjian simulasi


Melihat pada keadaan yuridis dari perbuatan hukum yang ingin dikamuflasekan
atau dimanipulasi, maka perjanjian simulasi dapat dibagi menjadi perjanjian simulasi
absolut dan perjanjian simulasi relatif.
 Perjanjian simulasi absolut terjadi jika para pihak memperlihatkan dan memberi
kesan kepada pihak ketiga bahwa telah terjadi suatu perbuatan hukum tertentu
sedangkan secara rahasia diperjanjikan di antara para pihak bahwa sebenarnya tidak
terjadi perubahan dari keadaan semula sebelum perjanjian simulasi tersebut.
Misalnya, A yang dalam keadaan terancam akan dinyatakan pailit, telah menjual
barang-barangnya dengan membuat, di samping jual beli barang-barang tersebut,
juga perjanjian simulasi bahwa sebenarnya tidak terjadi peralihan hak sama sekali,
dan semua barang-barang yang telah dijualnya tersebut adalah tetap miliknya A.
Pada perjanjian simulasi absolut sebenarnya para pihak tidak menginginkan adanya
perubahan keadaan.
 Perjanjian simulasi relatif terjadi jika oleh para pihak dibuat perjanjian yang
sebenarnya menginginkan akibat hukumnya tetapi mendasarkan pada bentuk
perjanjian lain dari yang semestinya harus dilakukan. Misalnya dibuat perjanjian
19
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) PP 41/1996: ”Perjanjian dengan pemegang hak atas tanah dibuat
untuk jangka waktu yang disepakati, tetapi tidak lebih lama dari 25 (dua puluh lima) tahun.
Jangka waktu tersebut dapat diperbarui untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari 25 (dua puluh
lima) tahun, atas dasar kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian baru, sepanjang orang asing
tersebut masih berkedudukan di Indonesia.” PP 41/1996 tersebut telah dicabut dengan PP 103/2015.

18
jual beli tetapi sebenarnya yang diinginkan dan dimaksudkan oleh para pihak
(orang tua-anak) adalah perjanjian hibah sehingga sebenarnya tidak ada
pembayaran.
Pada perjanjian simulasi relatif, para pihak menginginkan perubahan keadaan atau
akibat hukumnya sehingga benar ada kehendak dan pernyataan untuk terjadinya
perubahan keadaan atau peristiwa hukumnya, namun memilih bentuk perjanjian
lain dari yang semestinya. Pembuatan perjanjian simulasi relatif seperti contoh
tersebut rentan terhadap sengketa apabila di kemudian hari pemberi hibah/penjual
(orang tua) meninggal dunia dan ada ahli waris dalam garis lurus menuntut agar jual
beli/hibah dimasukkan (inbreng) ke dalam harta peninggalan sesuai ketentuan Pasal
1086 KUHPerd.

Akibat hukum perjanjian simulasi


Akibat dari perjanjian simulasi diatur dalam ketentuan Pasal 1873 KUHPerd yang
menyebutkan, bahwa:
“Persetujuan-persetujuan lebih lanjut, yang dibuat dalam suatu akta tersendiri
(dimaksudkan di sini perjanjian simulasi) yang bertentangan dengan akta asli,
hanya memberikan bukti di antara pihak yang turut serta, dan para ahliwarisnya
atau orang yang mendapat hak dari pada mereka tetapi tidak dapat berlaku terhadap
orang-orang pihak ketiga.”

Bagi pihak ketiga, baik pada perjanjian simulasi absolut maupun perjanjian
simulasi relatif tidak terikat pada apa yang dijanjikan di dalam perjanjian simulasi
sepanjang pihak ketiga secara itikad baik tidak mengetahui adanya perjanjian simulasi
tersebut, oleh karena itu dilindungi oleh hukum. Jika A telah membeli tanah hak dari C
dan tidak mengetahui bahwa tanah hak tersebut sebenarnya milik B, orang yang namanya
tertulis di dalam sertipikat tanah hak yang bersangkutan, maka jual beli tanah hak antara
C dengan A sepanjang A secara itikad baik tidak mengetahui adanya perjanjian simulasi
antara B dan C, maka jual beli tersebut tetap sah.
Contoh lain, jika A menjaminkan sebidang tanah kepada bank yang kemudian
dituntut oleh B yang mengaku sebagai pemilik tanah tersebut berdasarkan perjanjian
simulasi (antara A dan B), maka jaminan atas tanah hak tersebut tetap sah, atas dasar
Pasal 1873 KUHPerd. Dengan kata lain, perjanjian simulasi tersebut hanya berlaku

19
terhadap A dan B (dan para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari pada
mereka) dan tidak mengikat terhadap bank sebagai pihak ketiga, dengan ketentuan pihak
bank secara itikad baik tidak mengetahui adanya perjanjian simulasi tersebut.

Perbuatan hukum yang mirip dengan perjanjian nominee (simulasi)


Apabila seseorang yang berutang disebabkan karena perjudian dan mengatur
pembayaran utang judi tersebut dengan membuat perjanjian utang-piutang, maka dalam
hal ini terjadilah perjanjian pembaharuan utang atau novasi. Disini telah dilakukan
perjanjian untuk mengubah perbuatan hukum yang sebenarnya (judi) dengan novasi
yakni perjanjian utang piutang, namun dibuatnya novasi tidak merupakan perbuatan
hukum yang kausanya dilarang dan bukan merupakan perjanjian simulasi.
Perjanjian simulasi berbeda dengan perilaku seorang debitor yang telah melakukan
perbuatan yang tidak diwajibkan dengan nama apapun juga, yang dapat merugikan para
kreditor, asal dibuktikan, bahwa ketika perbuatan dilakukan, baik debitor maupun orang
dengan atau untuk siapa debitor itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa
akibat yang merugikan para kreditor. Misalnya, seseorang yang sedang menghadapi
kemungkinan tuntutan dari para kreditor telah menghibahkan kekayaannya kepada
saudara-saudaranya. Dalam hal ini para kreditor mempunyai kewenangan untuk menuntut
pembatalan yang dikenal dengan Actio Pauliana apabila dapat membuktikan semua unsur
yang disebutkan di dalam Pasal 1341 KUHPerd, yakni atas perbuatan debitor yang tidak
diwajibkan yang merugikan pihak kreditor.
Apabila disamping penghibahan-penghibahan tersebut dibuat perjanjian simulasi antara
pemberi hibah dan penerima hibah bahwa penghibahan tersebut hanya pura-pura, maka
perjanjian simulasi tersebut batal demi hukum.
Hal senada dalam hal perbuatan hukum yang merugikan para kreditor dilakukan
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan,
sedangkan perbuatan tersebut tidak diwajibkan dilakukan debitor dapat dimintakan
pembatalan sebagaimana diatur di dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang
tentang Kepailitan Menjadi Undang-undang.

20
Perjanjian nominee dan PP 103/2015
Berkaitan dengan PP 103/2015, kemungkinan terjadinya perjanjian nominee
disebabkan di antaranya, karena:
 Regulasi mengenai harga minimal pembelian rumah tinggal atau satuan rumah
susun oleh orang asing berkaitan dengan lokasinya (Lampiran Permen
ATR/KaBPN 29/2016) sedangkan rumah tinggal atau satuan rumah susun yang
dibutuhkan tidak memenuhi harga mininal;
 Jangka waktu Hak Pakai terbatas dibandingkan dengan Hak Milik;
 Orang Asing yang tidak memenuhi syarat untuk membeli rumah tempat tinggal
atau hunian (tidak memenuhi syarat izin tinggal, atau keberadaannya tidak
memberikan manfaat, tidak melakukan usaha, bekerja atau investasi);
 Orang Asing menikah dengan WNI tanpa perjanjian kawin 20;
 Keharusan bagi Orang Asing untuk membeli rumah tunggal atau satuan rumah
susun merupakan pembelian baru/unit baru yang dibeli langsung dari pihak
pengembang/pemilik tanah dan bukan merupakan pembelian dari tangan kedua
(Pasal 5 PP 103/2015);
 Batasan untuk hanya boleh memiliki satu bidang tanah per orang/keluarga dan
tanahnya paling luas 2.000 (dua ribu) meter persegi (Pasal 5 Permen ATR/KaBPN
29/2016).
Di dalam praktik para notaris/PPAT harus hati-hati di dalam memberikan nasihat
dan pembuatan akta berkaitan dengan pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian orang
asing karena dapat dikategorikan sebagai perjanjian simulasi. Perjanjian-perjanjian
simulasi tersebut “tidak mempunyai kekuatan” atau dengan kata lain batal demi hukum
karena telah melanggar syarat objektif, yakni mengandung kausa yang terlarang (Pasal
1335 KUHPerd)21. Secara umum dikatakan bahwa perjanjian simulasi yang dilakukan

20
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tanggal 27 Oktober 2016 memungkinkan
selama dalam ikatan perkawinan atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
21
Pasal 1335 KUHPerd: “Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab
yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.”

21
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, maka perjanjian
simulasi berakibat batal demi hukum karena kausanya dilarang22.

E. Penyelundupan Hukum
Sulit membedakan simulasi dengan penyelundupan hukum. Penyulundupan hukum
menggunakan seorang perantara untuk memperoleh haknya. Misalnya, ketetapan wasiat
untuk keuntungan orang yang tidak cakap untuk mewaris (karena mencoba membunuh
pewaris) tetapi menghibahwasiatkan melalui “perantara”, yakni
bapak/ibu/anak/suami/istri dari orang yang tidak cakap mewaris, adalah batal (Pasal 911
KUHPerd).
Atas penyelundupan hukum akibat hukumnya ada yang diatur di dalam ketentuan
perundang-undangan seperti:
Pasal 911 KUHPerd:
”Suatu ketetapan wasiat yang diambil untuk keuntungan seorang yang tak cakap
untuk mewaris, adalah batal, pun sekiranya ketetapan itu diambilnya dengan nama
seorang perantara. Sebagai perantara harus dianggap: bapak dan ibu dari si
takcakap, sekalian anak dan keturunan anak-anaknya dan isteri atau suaminya.”

Pasal 1468 KUHPerd:


”Para Hakim, jaksa, panitera, adpokat, pengacara, jurusita dan notaris tidak
diperbolehkan karena penyerahan menjadi pemilik hak-hak dan tuntutan-tuntutan
yang menjadi pokok perkara-perkara yang sedang bergantung pada Pengadilan
Negeri yang dalam wilayahnya mereka melakukan pekerjaan mereka, atas ancaman
kebatalan, serta penggantian biaya, rugi dan bunga;”

Pasal 1469 ayat (1) KUHPerd:


”Pegawai-pegawai yang memangku suatu jabatan umum tidak diperbolehkan, atas
ancaman yang sama, membeli untuk dirinya sendiri atau untuk orang-orang
perantara, barang-barang yang dijual oleh atau dihadapan mereka.”

Penyelundupan hukum dapat pula terjadi dalam hal pemilikan tanah hak milik oleh
real estate berbadan hukum dikemas dalam bentuk kerja sama antara pemgembang/real
estate dengan pemilik tanah hak milik yang mengandung dan memuat ciri-ciri pengikatan
22
Putusan MA 2510 K/Pdt/1991 tanggal 8 April 1993: “Seseorang notaris yang membuat akta
authentic secara pura-pura (proforma) dan materinya tersebut tidak sesuai dengan kenyataan (fakta)
yang sebenarnya, bahkan bertentangan dengan kebenaran materiil, maka akta notaris yang dibuat
demikian itu adalah tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum terhitung sejak akta tersebut
diterbitkan”.

22
jual beli. Ada kalanya perjanjian kerja sama yang di dalamnya diatur hal-hal seperti ruang
lingkup perjanjian, syarat pembangunan, pembagian hasil pembangunan, bermacam-
macam kuasa antara lain, kuasa mengurus perizinan, penguasaan tanah dan pelaksanaan
pembangunan kepada pengembang/real estate, kuasa untuk menjual hak bagian
pengembang/real estate dan syarat perjanjian lainnya. Di dalam pelaksanaanya pihak
pengembang/real estate selaku pemilik bangunan dan bertindak sebagai kuasa dari
pemilik tanah berdasarkan surat kuasa yang diberikan pemilik tanah kepada real estate
tersebut nantinya bersama-sama menjual bidang tanah hak milik berikut bangunan yang
berada di atasnya kepada para konsumen.
Sebagaimana diketahui real estate berbadan hukum tidak memenuhi syarat untuk
dapat mempunyai hak milik atas tanah (Pasal 1 Peraturan Pemerintah No 38/1963 tentang
Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah). Selain
ketentuan tersebut, di dalam Bab X ayat (1) c Lampiran Keputusan Menteri Negara
Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1998 sebagai Pedoman Pengikatan Jual Beli
Rumah antara Developer selaku Penjual Rumah dan Konsumen Rumah selaku Pembeli,
dikatakan bahwa:
”Akta Jual Beli Tanah dan Bangunan rumah harus ditanda tangani oleh Penjual dan
Pembeli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam hal telah dipenuhi
aspek-aspek sebagai berikut:”:
”(...) Proses permohonan Hak Guna Banunan atas tanah sudah selesai diproses dan
sertifikat Hak Guna Bangunan terdaftar atas nama Penjual” (...)
Mendasarkan pula pada ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA, bahwa:
”(...) dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak
langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga
negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan
oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat 2, adalah batal demi hukum dan
tanahnya jatuh kepada Negara”.

F. Perjanjian nominee, penyelundupan hukum dan akibat hukum

23
Sejatinya pelanggaran terhadap persyaratan bahwa orang asing hanya dapat
memiliki properti di atas tanah Hak Pakai sesuai dengan PP 103/2015 tetapi telah
“membeli” tanah hak milik melalui konstruksi perjanjian nominee atau simulasi
merupakan penyelundupan hukum pula. Dengan tegas Pasal 26 ayat (2) UUPA tersebut
menyatakan bahwa perjanjian nominee berakibat batal karena hukum berkaitan dengan
perjanjian yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak
milik kepada Orang Asing atau badan hukum. Muatan isi yang dimaksudkan Pasal 26
ayat (2) UUPA tersebut walaupun tidak secara eksplisit menyatakannya akan tetapi
perjanjian yang dimaksudkan tidak lain adalah perjanjian nominee. Seyogianya secara
eksplisit diatur adanya larangan membuat perjanjian yang menegaskan bahwa langsung
atau tidak langsung memindahkan kepemilikan hak atas tanah ke atas nama orang lain
yang tidak memenuhi persyaratan sebagai subyek hukum untuk memiliki tanah hak
tersebut berakibat batal karena hukum. Hal sama dengan mengikuti Pasal 33 ayat (1)
UUPM yang secara tegas menyatakan larangan membuat perjanjian yang menegaskan
bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas dalam rangka penanaman modal
untuk dan atas nama orang lain yang berakibat batal karena hukum.
Terkait perjanjian nominee dalam hal pemilikan tanah oleh Orang Asing, Maria
S.E. Sumardjono mengusulkan agar terhadap pejabat umum yang memfasilitasi
perjanjian semacam itu (perjanjian nominee) perlu dikenai sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku 23.

F. Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia


tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia
(Pasal 57 UUPerk). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan
menurut UUPerk.
Oleh Pasal 58 UUPerk diatur mengenai perolehan kewarganegaraan dari suami/istrinya
dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang ditentukan
dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Selain itu

23
Maria S.W. Sumardjono, ”Properti untuk Orang Asing”, Kompas, Jumat, 24 Juli 2015, hlm. 6.

24
Pasal-pasal 60-61 UUPerk mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan dan syarat
adminstratif serta kewenangan pejabat pencatat yang berwenang melakukan pencatatan
perkawinan campuran serta sanksi kesalahan pejabat tersebut.

G. Dampak perjanjian perkawinan pada perkawinan campuran dan pemilikan


hak atas tanah

Mendasarkan pada Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 (MK 69/2015) telah


diubah ketentuan Pasal 29 ayat (1), (3) dan (4) UUPerk yang selanjutnya harus dibaca
sebagai berikut:
Pasal 29 ayat (1) :
”Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua
belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut” ;
Pasal 29 ayat (3):
” Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung, kecuali
ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”;
Pasal 29 ayat (4):
”Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta
perkawinan atau perjanjian lainnya tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan
perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga”

Dampak utama dengan adanya MK 69/2015 pada perkawinan campuran adalah


dimungkinkannya pembuatan perjanjian perkawinan selama pasangan perkawinan
campuran berada dalam ikatan perkawinan. Pasangan WNI-WNA yang ”lupa” atau
”tidak tahu” untuk membuat perjanjian perkawinan sebelum atau pada waktu perkawinan
atau karena tidak tahu adanya asas nasionalitas pada UUPA berkaitan dengan pemilikan
hak atas tanah, kini dengan membuat perjanjian perkawinan bagi pasangan pihak WNI
dapat memiliki tanah hak dengan Hak Milik (HM, Pasal 21 UUPA), Hak Guna Bangunan
(HGB, Pasal 36 UUPA dan HakGuna Usaha (HGU, Pasal 30 UUPA).
Bagi pasangan suami-istri, pihak WNA dengan adanya PP 103/2015 memungkinkan
orang asing untuk memiliki rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia dengan Hak
Pakai sebagaimana diatur dalam PP 103/2015 yo Permen ATR/KaBPN 29/2016.

25
H. Masalah pemilikan bersama hak atas tanah WNI-WNA
Di dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dikatakan:

”Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik”; dan


Pasal 21 ayat (3) UUPA:
” Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh Hak
Milik karena pewarisan tanpa waktu atau percampuran harta karena
perkawinan, demikian pula warga negeara Indonesia yang mempunyai hak
milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan
kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu
tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilang kewarganegaraan itu. Jika
sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka
hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan
ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung”.

Pasal 3 PP 103/2015 menyebutkan, bahwa:


”(1) Warga Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan dengan Orang Asing
dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan Warga Negara Indonesia
lainnya;
(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan meruupakan harta
bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan
istri, yang dibuat dengan akta notaris.”

Suatu contoh:

1) Sebidang tanah HM telah dibeli oleh seorang WNI yang telah menikah dengan WNA
tanpa dibuat perjanjian perkawinan. Dalam hal ini akan berlaku ketentuan Pasal 21
ayat (1) dan ayat (3) UUPA sehingga tanah HM tersebut wajib dilepaskan haknya
didalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Jika sesudah
jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus
karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara.
2) Apabila perjanjian perkawinan dibuat selama suami-istri WNI-WNA masih dalam
ikatan perkawinan sedangkan di dalam perjanjian perkawinan ditentukan berlakunya
sejak perkawinan berlangsung (Pasal 29 ayat (3) MK 69/2015), maka:
- Harta bersama yang telah terjadi sebelum perjanjian perkawinan dibuat harus
ditentukan mana merupakan bagian suami dan mana yang merupakan bagian istri;

26
Apabila ternyata di dalam harta bersama telah dibeli tanah Hak Milik atas nama
pihak pasangan WNI, sedangkan perjanjian perkawinan baru dibuat 2 (dua) tahun
setelah tanggal pembelian tanah hak tersebut maka berlakulah ketentuan Pasal 21
ayat (1) dan ayat (3) UUPA. Tanah HM tersebut karena telah lewat 1 (satu) tahun
sejak diperoleh pasangan perkawinan campuran, belum dilepaskan hak milik itu,
maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara.
3) Perjanjian perkawinan yang dibuat 2 (dua) tahun sejak perkawinan dilangsungkan
dan ditentukan bahwa berlaku surut sejak perkawinan berlangsung dan tanah HM
dibeli tidak lama setelah perkawinan. Dalam hal ini Pasal 21 ayat (3) UUPA akan
berlaku karena dengan jelas disebutkan bahwa jangka waktu yang ditentukan adalah 1
(satu) tahun sejak diperolehnya tanah hak tersebut.
Apabila perjanjian perkawinan dibuat oleh pasangan suami isteri WNI-WNA dalam
jangka waktu sebelum satu tahun lewat sejak diperolehnya tanah hak milik tersebut
dan dinyatakan bahwa perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan berlangsung,
maka tanah hak milik tersebut tidak jatuh pada Negara.
4) Apabila perjanjian perkawinan dibuat selama suami-istri masih dalam ikatan
perkawinan sedangkan di dalam perjanjian perkawinan ditentukan berlakunya sejak
perjanjian perkawinan dibuat (Pasal 29 ayat (3) MK 69/2015), maka pihak pasangan
WNI dengan adanya perjanjian perkawinan tersebut pihak WNI dapat membeli dan
memiliki tanah HM.
Perjanjian perkawinan menurut Pasal 29 ayat (4) putusan MK 69/2015 dapat mengenai
harta perkawinan atau perjanjian lainnya, sehingga dengan demikian oleh para pihak
dapat bebas menentukan isi perjanjian perkawinan tersebut diantaranya yang menjadi
masalah adalah hal-hal sebagai berikut:
 Dibagikannya bagian dari harta campur yang lebih besar kepada salah satu pihak,
misalnya isteri mendapat ¾ (tiga perempat) bagian dan suami ¼ (satu perempat)
bagian. Pembagian tersebut berarti telah terjadi pergeseran harta diantara suami
istri yang dapat digolongkan sebagai hibah, sedangkan hibah diantara suami istri
selama perkawinan dilarang undang-undang, kecuali hadiah atau pemberian
benda bergerak bertubuh yang harganya tidak terlalu tinggi mengingat
kemampuan si penghibah (Pasal 1678 KUHPerd);

27
 Apabila oleh suami-isteri dibuat perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan
sedangkan perjanjian tersebut dinyatakan berlaku sejak saat perkawinan maka
terhadap harta campur yang selama ini telah ada perlu diperhatikan apakah harta
benda perkawinan terdiri dari benda yang dapat dibagi atau tidak dapat dibagi.
Misalnya mereka memiliki sebuah rumah, sebuah mobil dan uang berupa
deposito/tabungan. Dalam situasi seperti itu menjadi sulit untuk membagi rumah
dan mobil tersebut sedangkan uang berupa deposito/tabungan mudah untuk
dibagi. Membagikan dan memisahkan benda tetap atau benda yang tidak dapat
dibagi, misalnya tanah hak dan rumah kepada salah seorang suami atau istri tidak
dapat dilakukan karena tidak adanya alasan untuk melakukannya berkaitan
dengan pemilikan bersama yang terikat tidak dapat setiap saat diakhiri atau
dipisahkan dan dibagikan bagian tak terbagi atas suatu kebendaan walaupun
suami-isteri setuju untuk membagikannya. Pemilikan bersama yang terikat baru
dapat diakhiri dengan meninggalnya suami atau isteri atau perceraian suami isteri
yang akan dijelaskan di bawah ini.

I. Pemilikan bersama yang terikat 24


Sejak kapan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak atas tanah HM
dihitung menurut Pasal 21 ayat (3)? UUPA? Jangka waktu 1 (satu) tahun dihirung sejak
tanggal akta jual beli yang berakibat tanah HM telah menjadi milik bersama suami isteri
WNI-WNA yang menikah tanpa perjanjian perkawinan. Dengan demikian satu tahun
dihitung sejak tanggal akta jual beli dan bukan 1 (satu) tahun sejak terjadinya cerai mati
atau cerai hidup dari suami isteri. Hal tersebut berkaitan dengan pemilikan bersama yang
terikat (gebondenmedeeigendom).
Pemilikan bersama yang terikat ialah suatu pemilikan bersama atas suatu benda
yang merupakan akibat dari suatu peristiwa hukum. Peristiwa hukum tersebut merupakan
perolehan karena titel/alas hak umum seperti pada perkawinan tanpa perjanjian
perkawinan sehingga terjadi percampuran harta (gono gini) atau karena meninggalnya
seseorang (suami atau isteri). Masing-masing memiliki bagian tak terbagi atas
kebendaannya karena hukum harta benda perkawinan (gono gini) atau harta peninggalan
24
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, buku Kesatu, 2016, hlm.
335 - 350.

28
karena hukum waris sehingga segala perbuatan hukum berkaitan dengan kebendaan milik
bersama (terikat) tersebut harus dilakukan bersama-sama oleh mereka yang berhak.
Apabila suami-isteri memiliki di dalam harta bersamanya sebidang tanah Hak Milik yang
pembeliannya dilakukan atas nama suami, maka di dalam komparisi dikatakan bahwa
suami telah mendapat persetujuan dari istri, demikian dengan mendasarkan pada
ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUPerk yang menyebutkan bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Mengenai harta bersama suami atau
isteri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1) UUPerk).
Pemilikan bersama yang terikat tidak dapat setiap saat diakhiri atau dipisahkan
dan dibagikan bagian tak terbagi atas suatu kebendaan walaupun suami-isteri setuju
untuk melakukan pemisahan dan pembagian. Dua peristiwa hukum yakni tatkala suami-
isteri bercerai atau salah seorang meninggal dunia merupakan momentum untuk dapat
mengakhiri pemilikan bersama yang terikat.
Apabila terjadi perceraian antara suami isteri maka timbullah hak (menuntut) dari
masing-masing suami isteri atas ½ (setengah) bagian tak terbagi dari tanah hak yang
dimiliki tersebut. Baru dalam hal ini masing-masing suami-isteri berhak menuntut untuk
dilakukan atau ditentukan di dalam akta pembagian harta bersama (harta benda
perkawinan) kepada siapa tanah hak tersebut akan dibagikan dan pisahkan.
Selama belum dilakukan pembagian harta bersama, maka di dalam komparisi akan
muncul masing-masing hak suami atau istri untuk dirinya sendiri:

i) suami
ii) isteri
masing-masing berhak atas ½ (setengah) bagian tak terbagi atas harta benda
perkawinan;
dan bukan yang satu memberi persetujuan kepada yang lain seperti halnya apabila
mereka masih dalam ikatan perkawinan.
Demikian pula halnya dengan adanya kematian dari suami atau istri, timbullah hak
(menuntut) atas bagian tak terbagi atas harta campur (gono gini) yang masing-masing
berhak atas ½ (setengah) bagian tak terbagi atas harta campur, sedangkan ½ (setengah)
bagiannya lagi merupakan harta peninggalan.

29
Janda/duda akan bertindak dalam dua kedudukan selama belum dilakukan pembagian
harta peninggalan yang di dalamnya termasuk harta bersama dari janda/duda dengan
almarhum, yakni:
i) untuk dirinya sendiri selaku yang berhak atas ½ (setengah) bagian tak terbagi atas
harta campur dengan almarum/almarhumah dan ;
ii) bertindak selaku ahliwaris bersama-sama dengan para ahliwaris lainnya.
Lain halnya dengan pemilikan bersama yang bebas yang terjadi karena tujuan dari
para pihak untuk bersama-sama memiliki suatu kebendaan, misalnya dua orang bersama-
sama membeli sebidang tanah. Mereka bebas setiap saat melakukan pemisahan harta
bersama.

-0-

30

Anda mungkin juga menyukai