Anda di halaman 1dari 53

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI BAGI DEBITUR ATAS

KREDIT DI KANTOR CABANG BANK MANDIRI PINRANG

(STUDI PUTUSAN NOMOR 3/Pdt.G.S/2021/PN.Pin)

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:

NURUL AFIFAH MUKHLISAH

18 03 022

PRODI S1 ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

INSTITUT ILMU SOSIAL DAN BISNIS

ANDI SAPADA

PAREPARE

2022
AKIBAT HUKUM WANPRESTASI BAGI DEBITUR ATAS

KREDIT DI KANTOR CABANG BANK MANDIRI PINRANG

(STUDI PUTUSAN NOMOR 3/Pdt.G.S/2021/PN.Pin)

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:

NURUL AFIFAH MUKHLISAH

18 03 022

FAKULTAS HUKUM PRODI S1 ILMU HUKUM

INSTITUT ILMU SOSIAL DAN BISNIS

ANDI SAPADA

PAREPARE

2022
ii

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI BAGI DEBITUR ATAS

KREDIT DI KANTOR CABANG BANK MANDIRI PINRANG

(STUDI PUTUSAN NOMOR 3/Pdt.G.S/2021/PN.Pin)

PROPOSAL PENELITIAN

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH)


di Fakultas Hukum Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada

Diajukan Oleh :

NURUL AFIFAH MUKHLISAH

18 03 022

Telah Disetujui Oleh :

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Dr. SUNARDI PURWANDA.S.H., M.H. MUH. AKBAR FHAD SYAHRIL.S.H., M.H.


NIDN. 0903068802 NIDN. 0910119401
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..........................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah..........................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................4

C. Tujuan Penulisan....................................................................................5

D. Kegunaan Penelitian...............................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................5

A. Tinjauan Umum tentang Peristiwa Hukum..............................................6

1. Peristiwa Hukum..............................................................................6

2. Akibat Hukum...................................................................................8

3. Wujud Akibat Hukum........................................................................9

B. Tinjauan Umum tentang Debitur..............................................................9

1. Pengertian Debitur...........................................................................9

2. Prinsip Mengenal Debitur...............................................................10

C. Tinjauan Umum tentang Kredit dan Perjanjian Kredit Bank...................10

1. Pengertian Kredit............................................................................10

2. Pengertian Perjanjian Kredit...........................................................13

3. Subjek dan Objek Perjanjian Kredit................................................16

4. Syarat Sah Perjanjian.....................................................................17

5. Asas-asas Dalam Hukum Perjanjian.............................................18

6. Bentuk-bentuk Perjanjian...............................................................21

7. Hapusnya Perjanjian Kredit Bank...................................................22

8. Unsur-unsur kredit..........................................................................23
iv

9. Jenis-jenis Kredit............................................................................24
10. Prinsip Pemberian Kredit................................................................25

D. Tinjauan Umum tentang Wanprestasi...................................................26

1. Pengertian Wanprestasi.................................................................26

2. Unsur-unsur Wanprestasi...............................................................28

E. Tinjauan Umum tentang Bank...............................................................28

1. Pengertian Bank.............................................................................28

2. Jenis-jenis Bank.............................................................................30

F. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum......................................31

1. Pengertian Perlindungan Hukum....................................................31

2. Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum..............................................33

BAB III METODE PENELITIAN...........................................................................35

A. Jenis Penelitian.....................................................................................35

B. Pendekatan Penelitian..........................................................................35

C. Bahan Hukum.......................................................................................36

1. Bahan Hukum Primer.......................................................................36

2. Bahan Hukum Sekunder...................................................................36

3. Bahan Hukum Tersier.......................................................................36

D. Analisis Bahan Hukum..........................................................................36

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................37
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bank merupakan salah satu sumber permodalan bagi berbagai

usaha, suatu bank didefinisikan sebagai badan usaha yang menghimpun

dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada

masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka

meningkatkan taraf hidup orang banyak (Kasmir, 2011: 1). Berdasarkan

pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi bank pada umumnya

adalah menerima berbagai bentuk simpanan dari masyarakat, memberikan

kredit baik bersumber dari dana yang diterima dari masyarakat maupun

dana yang diterima dari pemilik Bank (pemegang saham), pemerintah

maupun Bank Indonesia (BI).

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,

kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan

itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar

pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga

(Kasmir, 2011: 5).

Bank sebagai lembaga keuangan yang sangat berpengaruh dalam

pertumbuhan ekonomi suatu negara karena dapat memberikan kredit atau

pinjaman kepada masyarakat, haruslah memperhatikan berbagai hal

sebelum memberikan kredit tersebut. Pemberian fasilitas kredit yang

1
2

tertuang dalam perjanjian kredit oleh bank kepada debitur bukanlah tanpa

resiko, resiko mungkin saja terjadi karena debitur tidak wajib membayar

utangnya secara lunas atau tunai. Melainkan debitur diberi kepercayaan

oleh Undang-Undang dalam perjanjian kredit untuk melakukan

pembayaran secara cicilan atau bertahap. Resiko yang umumnya terjadi

adalah kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan kredit (Badriyah

Harun, 2010: 2).

Kredit macet atau problem loan adalah kredit yang mengalami

kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor atau unsur kesengajaan

atau kondisi di luar kemampuan debitur. Salah satu faktor penyebab

terjadinya kredit macet adalah debitur mengalami kebangkrutan dalam

usahanya, sehingga debitur tidak dapat mengembalikan kredit yang

digunakan sebagai modal usahanya. Selain itu, kredit macet juga dapat

terjadi karena kurangnya usaha-usaha yang dilakukan Bank untuk

meningkatkan pembinaan terhadap masalah kredit macet . (Kasmir, 2011:

92).

Dalam pemberian kredit, pihak bank perlu adanya keyakinan atas

kemampuan atau kesanggupan debitur dapat membayar. Untuk itu dalam

memberikan fasilitas kredit, bank terlebih dahulu memberikan penilaian

terhadap nasabah dengan menggunakan prinsip 5 C berdasarkan pada

asas kehati-hatian yaitu Character (karakter), capacity (kemampuan),

capital (modal), condition of economic (kondisi ekonomi), dan collateral

(jaminan) (Tan Kamelo, 2004: 184).

Namun setelah proses kredit telah berjalan dan pihak debitur telah

menikmati hasil dari kredit yang diberikan oleh pihak bank, maka pihak
3

kreditur dalam hal ini bank, meminta kepada pihak debitur untuk pemenuhan

kewajibannya yaitu pengembalian kredit tepat pada waktunya. Akan tetapi,

tidak semua keinginan kreditur atau bank selalu dapat dipenuhi oleh pihak

debitur. Walaupun telah menilai debitur dengan menggunakan prinsip 5 C

atau yang dikenal dengan sebutan the five of credit analysis dengan

seksama namun tidak bisa terlepas dari kemungkinan si debitur

wanprestasi yaitu tidak memenuhi kewajibannya membayar atau melunasi

hutangnya sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan kepada kreditur

(bank), dan hal ini yang menimbulkan kredit bermasalah yang dapat

mendorong terjadinya kredit macet di bank-bank. Seorang debitur baru

dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau

juru sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur

atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak

membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan

memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak (Salim, H.S, 2019:

99).

Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata dan Pasal 1243 KUH

Perdata. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si

berutang (debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi

perjanjian yang telah disepakati antara keduanya (Salim, H.S, 2019: 96).

Sebagaimana kasus yang terjadi di Kabupaten Pinrang, Sulawesi

Selatan, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Pinrang Nomor

3/Pdt.G.S/2021/PN Pin berkaitan dengan adanya permasalahan

wanprestasi pada perjanjian kredit antara salah satu bank yang ada di

Kabupaten Pinrang dengan debitur nya. Pada perjanjian tersebut, memuat


4

kesepakatan antara kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam perjanjian,

dalam perjanjian kredit tersebut bank sebagai kreditur memberikan kredit

kepada debitur, untuk pembiayaan modal kerja, kredit yang diberikan oleh

bank kepada debitur dikenakan penambahan bunga dan denda pertahun,

yang selanjutnya harus dibayar sesuai dengan jangka waktu yang telah

ditetapkan bank tersebut. Namun selama proses kredit berlangsung debitur

tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik, debitur telah melalaikan

kewajibannya untuk membayar pinjaman angsuran kredit (pokok dan

bunga) kepada bank, dan mengabaikan surat somasi dari pihak bank,

dalam hal ini debitur dikatakan telah melakukan perbuatan wanprestasi.

Maka bank sebagai pemberi kredit atau kreditur akhirnya mengajukan

gugatan kepada Pengadilan Negeri Pinrang terhadap debitur yang telah

melakukan wanprestasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, terkait dengan

wanprestasi debitur dalam kredit bank terdapat rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana akibat hukum putusan perkara nomor

3/Pdt.G.S/2021/PN.Pin bagi debitur wanprestasi dalam perjanjian

kredit di kantor cabang Bank Mandiri Pinrang?

2. Bagaimana perlindungan hukum akibat wanprestasi putusan perkara

nomor 3/Pdt.G.S/2021/PN.Pin bagi debitur dalam kredit di kantor

cabang bank mandiri Pinrang?


5

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka

tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui akibat hukum putusan perkara nomor

3/Pdt.G.S/2021/PN.Pin bagi debitur wanprestasi dalam perjanjian

kredit di kantor cabang Bank Mandiri Pinrang.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum akibat wanprestasi putusan

perkara nomor 3/Pdt.G.S/2021/PN.Pin bagi debitur dalam kredit di

kantor cabang bank mandiri Pinrang.

D. Kegunaan Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan

kegunaan sebagai berikut:

1. Kegunaan Secara Teoretis

Diharapkan bahwan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan

pemikiran bagi perkembangan imu hukum keperdataan khususnya

mengenai akibat hukum dan peristiwa hukum.

2. Kegunaan Secara Praktis

Penelitian ini merupakan kesempatan bagi penulis untuk dapat

menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama menjalani perkuliahan

serta memperluas wahana berpikir secara ilmiah dalam bidang Ilmu

Hukum Keperdataan, terutama bagi yang berhubungan dengan

wanprestasi dalam perjanjian kredit.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umun Tentang Peristiwa Hukum

1. Peristiwa Hukum

Peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang

menggerakkan suatu peraturan hukum tertentu, sehingga ketentuan-

ketentuan yang tercantum didalamnya lalu diwujudkan. Suatu peraturan

hukum yang mengatur tentang kewarisan karena kematian akan tetap

merupakan rumusan kata-kata yang diam sampai ada seseorang yang

meninggal dan menimbulkan masalah kewarisan. Kematian orang itu

merupakan suatu peristiwa hukum. Secara lebih terperinci kita bisa

mengatakan sebagai berikut: apabila dalam masyarakat timbul suatu

peristiwa, sedangkan peristiwa itu sesuai dengan yang dilukiskan dalam

peraturan hukum, maka peraturan hukum itupun lalu dikenakan kepada

peristiwa tersebut (Satjipto Raharjo, 2012: 35).

Menurut Chainnur Arrasjid, Peristiwa hukum adalah suatu kejadian

dalam masyarakat yang dapat menimbulkan akibat hukum yang dapat

menggerakkan peraturan-peraturan tertentu sehingga peraturan yang

tercantum di dalamnya dapat berlaku kongkrit (Chainnur Arrasjid, 2008:

132).

Satjipto Rahardjo menyimpulkan bahwa tidak setiap peristiwa bisa

menggerakkan hukum. Apabila A mengambil sepeda motor miliknya

sendiri, maka timbullah suatu peristiwa. Peristiwa ini tidak menggerakkan

hukum untuk bekerja, lain halnya apabila yang diambil oleh A adalah

6
7

sepeda motor orang lain. Di sini hukum digerakkan untuk bekerja, oleh

karena hukum memberikan perlindungan terhadap orang lain yang

mempunyai sepeda motor tersebut. Oleh karena itu hanya peristiwa-

peristiwa yang dicantumkan dalam hukum saja yang bisa menggerakkan

hukum dan untuk itu ia disebut sebagai peristiwa hukum (Satjipto Raharjo,

1991: 35).

Menurut Soedjono Dirdjosisworo, demikian pula dengan perkawinan

antara pria dan wanita akan membawa bersama dari peristiwa hukum itu,

hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik untuk pihak laki-laki yang kemudian

bernama suami dengan serangkai hak-hak dan kewajibannya. Demikian

pula dengan pihak wanita yang kemudian bernama istri dengan

serangkaian hak dan kewajibannya. Maka perkawinan ini hakikatnya

adalah suatu peristiwa hukum (Soedjono Dirdjosisworo, 2007: 134).

Peristiwa hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (Muhamad

Sadi, 2017: 89):

a. Peristiwa hukum karena perbuatan subjek hukum adalah semua


perbuatan yang dilakukan manusia atau badan hukum yang
dapat menimbulkan akibat hukum. Contoh peristiwa pembuatan
surat wasiat dan peristiwa tentang penggibahan barang;
b. Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subjek hukum, adalah
semua peristiwa hukum yang tidak timbul karena perbuatan
subjek hukum, akan tetapi apabila terjadi dapat menimbulkan
akibat-akibat hukum tertentu. Contoh; Kelahiran seorang bayi,
kematian seseorang, dan kedaluwarsa (aquisisi tief yaitu
kedaluwarsa yang menimbulkan hak dan exinctief yaitu
kedaluwarsa yang melenyapkan kewajiban).
Adapun menurut hukum, peristiwa hukum dibagi menjadi dua, yaitu

(Muhammad Sadi, 2017: 89):

a. Peristiwa hukum yang bersegi satu, ialah peristiwa hukum yang


hanya ditimbulkan oleh satu pihak saja. Contoh; pembuatan surat
wasiat, pemberian hibah. Peristiwa hukum bersegi satu ini sama
dengan peristiwa hukum karena perbuatan subjek hukum;
b. Peristiwa hukum bersegi dua ialah peristiwa hukum yang
8

perikatan.

Begitu juga dengan perbuatan hukum dapat dibedakan menjadi dua

jenis, yaitu (Muhammad Sadi, 2017: 90):

a. Perbuatan hukum yang bersegi satu adalah setiap perbuatan yang


berakibat hukum (rechtsgvlog) dan akibat hukum yang ditimbulkan
oleh kehendak satu subjek hukum, yaitu satu pihak saja (yang
telah melakukan perbuatan itu). Misalnya perbuatan hukum yang
disebut dalam Pasal 132 KUH Perdata (hak seorang istri untuk
melepaskan haknya atas barang yang merupakan kepunyaan
suami istri berdua setelah mereka kawin, benda perkawinan),
perbuatan hukum yang disebut dalam Pasal 875 KUH Perdata
(Perbuatan mengadakan testamen adalah suatu perbuatan hukum
yang bersegi satu), perbuatan hukum yang mendirikan yayasan
(stichthingshandhandeling);
b. Perbuatan hukum yang bersegi dua adalah setiap perbuatan
hukum yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dua
subjek hukum, yaitu dua pihak atau lebih. Setiap perbuatan hukum
bersegi dua merupakan perjanjian (overeenkomst) seperti yang
tercantum dalam Pasal 1313 KUH Perdata: “Perjanjian itu suatu
perbuatan yang menyebabkan satu orang (subjek hukum) atau
lebih mengikat dirinya pada seorang (subjek hukum) lain atau
lebih”.

Akibat Hukum
2.
Akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan

hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun

akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu yang

oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap

sebagai akibat hukum. Atau akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk

memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur

oleh hukum. Singkatnya akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh

peristiwa hukum (Muhammad Sadi, 2015: 90).

Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum

(Ishaq, 2008: 86). Karena suatu peristiwa hukum disebabkan oleh

perbuatan hukum, sedangkan suatu perbuatan hukum juga dapat


8

melahirkan suatu
9

hubungan hukum, maka akibat hukum juga dapat dimaknai sebagai suatu

akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu perbuatan hukum dan/atau

hubungan hukum.

3. Wujud Akibat Hukum


Menurut Soeroso akibat hukum dapat berwujud sebagai berikut

(R.Soeroso, 2005: 296):

a. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum.


b. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum,
antara dua atau lebih subyek hukum, di mana hak dan kewajiban
pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak
yang lain.
c. Dijatuhkannya sanksi apabila dilakukannya tindakan yang
melawan hukum.

B. Tinjauan Umum Tentang Debitur

1. Pengertian Debitur

Debitur adalah orang atau pihak yang mempunyai utang atau

pinjaman ke pihak lain, karena adanya suatu perjanjian atau Undang-

Undang yang dijanjikan debitur untuk dibayar kembali pelunasannya pada

masa yang akan mendatang. Pemberian pinjaman biasanya memerlukan

jaminan atau agunan dari pihak debitur. Bagi debitur, jika utang dalam

bentuk pinjaman dari lembaga keuangan, maka debitur disebut peminjam.

Jika utang dalam bentuk sekuritas, maka debitur disebut sebagai penerbit

(Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, 2008: 650).

Debitur merupakan pihak yang membutuhkan dana, atau pihak yang

mendapat pinjaman dari pihak lain (Ismail, 2018: 95). Berdasarkan Pasal 1

angka 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepalitan

dan Penundaan Pembayaran Utang, maka Kreditur adalah orang

yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang


10

dapat ditagih di muka pengadilan, sedangkan Debitur adalah orang

yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang yang

pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

Menurut kamus perbankan, debitur adalah orang atau badan yang

mempunyai simpanan atau pinjaman pada bank. Debitur menggunakan

jasa bank, dimana debitur telah dewasa yang diperbolehkan mengambill

pembiayaan. Hal ini disebabkan karena resiko bank yang sangat besar

dalam pemberian kredit (Saladin Djaslim, 2002: 7).

2. Prinsip Mengenal Debitur

Untuk mencegah terjadinya pembiayaan bermasalah dikemudian hari

penilaian bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu pengajuan

pembiayaan dilakukan dengan berpedoman kepada formula 5C, yaitu

(Hermansyah, 2007: 64):

a. Character, bahwa calon debitur memiliki watak, sifat dan karakter


yang baik. Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk menilai
tingkat kejujuran, integritas dan kemauan dari calon debitur untuk
memnuhi kewajibannya terkait pembiayaan.
b. Capacity, kapasitas dalam hal ini adalah kemampuan calon
debitur untuk mengelola kegiatan usahanya dan mampu melihat
prospektif masa depan, sehingga usaha tersebut tetap berjalan
sebagaimana mestinya.
c. Capital, dalam hal ini, pihak bank harus terlebih dahulu melakukan
analisa terhadap modal yang dimiliki oleh calon debitur.
d. Collateral, jaminan untuk persetujuan pemberian pembiayaan
merupakan sarana pengaman atas resiko yang mungkin terjadi
atas wanprestasinya debitur dikemudian hari.
e. Condition, dalam pemberian kredit oleh perbankan, kondisii
ekonomi secara umum dan dan kondisi sektor usaha pemohon
ditimbulkan.

C. Tinjauan Umum Tentang Kredit dan Perjanjian Kredit Bank

1. Pengertian Kredit
Istilah kredit sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yakni credere
11

yang mempunyai arti percaya atau kepercayaan. Percaya bahwa antara

pemberi kredit dan yang menerima kredit telah bersepakat atas dasar

kepercayaan tadi bahwa si pemberi kredit sanggup menyediakan sejumlah

dana kepada si peminjam dan si peminjam sanggup memenuhi

kewajibannya tepat pada waktunya sesuai jangka waktu yang telah

diperjanjikan (Sutardjo Tui, 2013: 38).

Kredit merupakan suatu pembayaran angsuran yang menjadi

kewajiban penerima kredit ditentukan sejak awal. Angsuran tersebut

dibayarkan oleh anggota. Angsuran ini untuk transaksi pertukaran ada

yang dibayarkan pada akhir perjanjian secara sekaligus dan ada yang

dibayarkan secara angsuran (Fatturahman Djamil, 2012: 18).

Landasan yuridis pemberian kredit, secara khusus (lex specialis)

adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

dalam Pasal 13 bagi Bank Perkreditan Rakyat. Dalam kedua pasal tersebut

ditegaskan bahwa kredit merupakan salah satu kegiatan usaha yang dapat

dilakukan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Sedangkan

definisi kredt menurut ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang

Perbankan tersebut yang berbunyi:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan


dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu dengan pemberian
bunga.”
Dilihat dari Sudut Ekonomi, kredit diartikan sebagai penundaan

pembayaran karena pengembalian atas penerimaan uang dana atau suatu

barang tidak dilakukan bersamaan pada saatnya menerima, melainkan

pengembaliannya dilakukan pada masa tertentu yang akan datang


12

(Johannes Ibrahim, 2004: 17).

Kredit yang diberikan oleh bank kepada calon peminjam didasarkan

atas kepercayaan, karena itu untuk menjaga keamanannya dalam

menyalurkan dana tersebut pihak bank seharusnya benar-benar yakin

bahwa peminjam akan mampu mengembalikan pinjaman yang telah

diterimanya, sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan.

Sehingga harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian

(prudential principles) agar terjaga keamanannya dan mendapatkan

keuntungan dari kredit yang disalurkan oleh bank itu (Heru Supraptomo,

1998: 98).

Dari rumusan tersebut dapat diketahui ruang lingkup pengertian

kredit dibatasi dalam hubungan bank dengan nasabahnya. Kredit sebagai

penyediaan uang yang dilakukan oleh bank untuk dipinjamkan kepada

nasabahnya dengan menarik keuntungan berupa bunga. Bunga

merupakan sebuah keharusan untuk pemberian kredit karena merupakan

imbalan jasa bagi bank yang merupakan keuntungan perusahaan (Gatot

Supramono, 2009: 153).

Dapat dikatakan bahwa kreditur dalam hubungan perkreditan dengan

debitur dalam waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui bersama, dapat

mengembalikan atau dapat membayar kembali kredit yang bersangkutan

(Rachmadi Usman, 2001: 236).

Dalam bahasa sehari-hari kata kredit sering diartikan memperoleh

barang dengan membayar cicilan atau angsuran dikemudian hari atau

memperoleh pinjaman uang yang pembayarannya dilakukan di kemudian

hari dengan cicilan atau angsuran sesuai dengan perjanjian. Artinya kredit
13

dapat berbentuk barang atau berbentuk uang. baik kredit berbentuk barang

maupun kredit berbentuk uang dalam hal pembayarannya dengan

menggunakan metode angsuran atau cicilan tertentu (Kasmir, 2000: 72).

2. Pengertian Perjanjian Kredit

Di dalam suatu perjanjian, para pihak mempunyai hak dan kewajiban

masing-masing yang harus dipenuhi. Perjanjian adalah suatu peristiwa

dimana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal

atau dapat dikatakan suatu persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau

lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam

persetujuan itu. Berdasarkan peristiwa itu timbul suatu hubungan hukum

diantara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Hubungan

hukum yang merupakan suatu perikatan itu menjadi dasar bagi salah satu

pihak untuk menuntut suatu prestasi dari pihak lain yang berkewajiban

untuk memenuhi tuntutan dari pihak lain atau sebaliknya (Johannes

Ibrahim, 2004: 19).

Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata bahwa

perjanjian adalah suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Pasal ini menerangkan secara sederhana mengenai pengertian perjanjian

yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang mengikatkan diri.

Pengertian di atas sudah jelas bahwa dalam perjanjian itu terdapat satu

pihak mengikatkan dirinya kepada pihak lain (Ahmadi Miru, dan Sakka Pati,

2011: 63).

R. Subekti, mengatakan bahwa perjanjian adalah suatu

peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua
14

orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal yang

menimbulkan hubungan hukum antara dua pihak yang dinamakan

Perikatan (Subekti, 1983: 1).

Menurut R. Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian, yaitu

Perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara

dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau danggap berjanji untuk

melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan

janji itu (R. Wirjono Prodjodikoro, 2011: 4).

Menurut R. Setiawan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan

hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling

mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih (R. Setiawan, 1979: 49).

Adapun yang menjadi dasar perjanjian adalah kesepakatan para

pihak yang akan melakukan prestasi, apabila salah satu pihak tidak

memenuhi syarat perjanjian maka akan menimbulkan ingkar

janji/wanprestasi, jika memang dapat dibuktikan bukan karena overmacht

atau keadaan yang memaksa (Nindyo Pramono, 2003: 221).

Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan diatas, maka dapat

disebutkan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak

atau lebih dimana pihak yang satu berjanji untuk melaksanakan sesuatu

hal dan pihak yang lain berhak menuntut hal (prestasi) tersebut.

Sedangkan perjanjian kredit adalah perjanjian antara Bank dengan pihak

lain sebagai pinjaman atau berhutang, dimana pihak peminjam atau

berhutang memberikan jaminan atau agunan kepada pihak bank atau

kreditur dan selain itu bank harus memperhatikan terhadap watak,

kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitur dan
15

nasabah debitur harus mengembalikan sejumlah uang yang telah

diterimanya dari pihak Bank atau berpiutang beserta bunga yang telah

ditetapkan bersama Perjanjian dimana telah ditetapkan batas waktu

pengembalian pinjaman antara bank dan peminjam.

Rumusan dan pengertian tentang perjanjian kredit belum secara jelas

tercantum dalam perundang-undangan. Namun Demikian dalam Pasal 1

angka 11 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa:

“kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan


dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga”.

Berdasarkan pengertian tersebut, perjanjian kredit dapat diartikan

sebagai perjanjian pinjam-meminjam antara bank sebagai kreditur dengan

pihak lain sebagai debitur yang mewajibkan debitur untuk melunasi

utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Pemberian istilah “perjanjian kredit” memang tidak tegas dinyatakan

dalam peraturan perundang-undangan, namun berdasarkan Surat Edaran

Bank Indonesia No.03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970 yang

ditujukan kepada segenap Bank Devisa saat itu, pemberian kredit

diinstruksikan harus dibuat dengan surat perjanjian kredit sehingga

perjanjian pemberian kredit tersebut sampai saat ini disebut Perjanjian Kredit.
15

Gatot Supramono juga menyatakan bahwa perjanjian kredit

merupakan perjanjian pinjam mengganti, namun juga merupakan perjanjian

khusus, karena di dalamnya terdapat kekhususan dimana pihak kreditur

selaku bank dan objek perjanjian berupa uang (secara umum diatur oleh

KUH Perdata dan secara khusus diatur oleh Undang-undang Perbankan

(Priyo
16

Handoko, 2006: 106).

Menurut Remy Sjahdeini perjanjian kredit memiliki pengertian secara

khusus, yaitu perjanjian antara bank sebagai kreditor dengan nasabah

debitor mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan

dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitor untuk melunasi

hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan,

atau pembagian hasil keuntungan (Sutan Remy Sjahdeini, 1993:

158).

3. Subjek dan Objek Perjanjian Kredit

Subjek hukum dalam perjanjian kredit ialah phak-pihak yang

mengikatkan diri di dalam hubungan hukum. Di dalam perjanjian kredit

mencakup dua pihak yaitu kreditur yang merupakan orang atau badan

yang memiliki uang, barang, atau jasa yang bersedia untuk meminjamkan

kepada pihak lain (pemberi kredit) dan debitur yang merupakan pihak yang

membutuhkan atau meminjam uang, barang, atau jasa (pemohon kredit)

(Johannes Ibrahim, 2004: 53).

Pihak kreditur dalam perjanjian kredit bank adalah lembaga bank

yang dapat menyalurkan kredit sebagaimana diatur Undang-Undang

Perbankan yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat. Pihak debitur

dalam perjanjian kredit bank dapat pribadi atau manusia (naturlijk persoon)

yang secara tegas menurut Undang-Undang dinyatakan cakap hukum dan

badan hukum (rechtpersoon). Dalam Pasal 1 Angka 11 dan 12 Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, obyek kredit berbentuk

uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu dan tidak

berbentuk barang .
16

Dengan demikian dalam hukum Indonesia dewasa ini kredit


17

perbankan obyeknya selalu dalam bentuk uang atau tagihan dan apabila

dalam perjanjian kredit berkaitan dengan pembelian barang (misalnya

kredit pemilikan rumah, atau kredit kendaraan bermotor), maka akan

merupakan kredit yang bertujuan untuk membeli barang atau benda

tersebut.

4. Syarat Sah Perjanjian

Perjanjian dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum

yang mengikat apabila telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian,

yang telah ditentukan oleh undang-undang. Perjanjian yang memenuhi

syarat yang ada dalam undang-undang dan diakui oleh hukum, Sebaliknya

perjanjian yang tidak memenuhi syarat tidak diakui oleh hukum walaupun

diakui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Syarat sahnya suatu perjanjian

diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu (Salim H.S, 2010: 33):

a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak


b. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
c. Adanya objek perjanjian
d. Adanya causa yang halal.

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif karena

mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,

sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif

karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum

yang dilakukan itu (Subekti, 2002: 17).

Dalam setiap perjanjian terdapat 2 (dua) macam subjek yaitu

pertama seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat beban

kewajiban untuk sesuatu dan kedua seorang manusia atau suatu badan

hukum yang mendapat hak yang mendapat hak atas pelaksanaan

kewajiban itu (Ridwan Khairandy, 2014: 13).


18

Subjek perjanjian sama dengan subjek perikatan yaitu pihak-pihak

yang terdapat dalam perjanjian. Subjek bisa seseorang manusia atau

suatu badan hukum, objek dalam perjanjian berupa prestasi, yang

berwujud memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.

Mengenai objek perjanjian, diperlukan beberapa syarat untuk

menentukan sahnyasuatu perikatan, yaitu: Objeknya harus tertentu,

harus diperbolehkan, dapat dinilai dengan uang, harus mungkin

(Purwahid Patrik, 1994: 4).

Dapat diketahui bahwa dalam perjanjian lazimnya memiliki beberapa

unsur perjanjian yaitu (Handri Raharjo, 2009: 46):

a. Esensialia, yaitu bagian-bagian dari perjanjian yang tanpa itu


perjanjian tidak mungkin ada.
b. Naturalia, yaitu bagian-bagian yang oleh undang-undang
ditemukan sebagai peraturan-peraturan yang bersifat mengatur.
c. Accidentalia, yaitu bagian-bagian yang oleh para pihak
ditambahkan dalam perjanjian, dimana undang-undang tidak
mengaturnya.

5. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian

Dalam perjanjian dikenal beberapa asas penting yang merupakan

dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas

tersebut diantaranya adalah sebagai berikut (Salim H.S, 2019: 9):

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: ’’Semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-

Undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang

memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:


19

1) membuat atau tidak membuat perjanjian,


2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,dan persyaratannya,
4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
b. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme adalah kesepakatan, maka asas ini

menetapkan bahwa terjadinya suatu perjanjian setelah terjadinya

kata sepakat dari kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian.

Dengan kesepakatan maka perjanjian menjadi sah dan mengikat

kepada para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka (Gatot Supramono, 2009:164).

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320

ayat (1) KUH Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa

salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata

kesepakatan antara kedua belah pihak.

c. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)


Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas

kepastian hukum. Baik dalam sistem terbuka yang dianut oleh

hukum perjanjian ataupun bagi prinsip kekuatan mengikat, kita

dapat merujuk pada Pasal 1374 ayat (1) BW (lama) atau Pasal

1338 ayat (1) KUH Perdata: “Semua persetujuan yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.” Adagium (ungkapan) pacta sunt servanda diakui

sebagai aturan bahwa semua persetujuan yang dibuat oleh

manusia secara timbal-balik pada hakikatnya bermaksud untuk


19

dipenuhi dan jika perlu dapat dipaksakan, sehingga secara hukum

mengikat (Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2007: 98).


20

Dengan kata lain, perjanjian yang diperbuat secara sah

berlaku seperti berlakunya undang-undang bagi para pihak yang

membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata.

Artinya, para pihak harus mentaati apa yang telah mereka

sepakati bersama.

d. Asas itikad baik

Asas itikad baik Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata,
disebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik. Sebenarnya itikad baik yang disebut dalam bahasa Belanda
dengan te goeder trouw, yang sering juga diterjemahkan dengan
kejujuran, dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu: (1) Itikad
baik pada waktu akan mengadakan perjanjian; dan (2) Itikad baik
pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
timbul dari perjanjian tersebut (Wirjono Prodjodikoro, 1979: 56).

Adapun suatu perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik


atau tidak, akan tercermin pada perbuatan-perbuatan nyata orang
yang melaksanakan perjanjian tersebut. Meskipun itikad baik
dalam pelaksanaan perjanjian itu terletak pada hati sanubari
manusia yang sifatnya subjektif, tetapi itikad baik itu pun dapat
diukur juga secara objektif.

e. Asas Kepribadian (Personalitas)


Asas kepribadian tercantum dalam Pasal 1340 KUH
Perdata: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada
pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat
manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal
1317” (Subekti dan Tjitrosudibio, 1976: 338)

Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan: “Pada umumnya

seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian


21

selain untuk dirinya sendiri.” Namun demikian, ketentuan itu

terdapat pengecualiannya sebagaimana pengantar dalam Pasal

1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian

diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian

yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang

lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Sedangkan di

dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian

untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya

dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

6. Bentuk-bentuk Perjanjian

Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis

dan lisan. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak

dalam bentuk tertulis.Sedangkan perjanjian lisan suatu perjanjian yang

dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (kesepakatan para pihak). Ada

tiga bentuk perjanjian tertulis, yaitu (Salim H.S, 2019: 42):

a. Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak


yang bersangkutan saja. Perjanjian itu hanya mengikat para pihak
dalam perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak
ketiga. Dengan kata lain, jika perjanjian tersebut disangkal pihak
ketiga maka para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian itu
berkewajiban mengajukan bukti-bukti yang diperlukan untuk
membuktikan bahwa keberatan pihak ketiga dimaksud tidak
berdasar dan tidak dapat dibenarkan.
b. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan
para pihak. Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-
mata hanya untuk melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak.
Akan tetapi, kesaksian tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan
hukum dari isi perjanjian. Salah satu pihak mungkin saja
menyangkal isi perjanjian. Namun, pihak yang menyangkal itu
adalah pihak yang harus membuktikan penyangkalannya.
c. Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk
akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hadapan
dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang
berwenang untuk itu adalah notaris, camat, PPAT, dan lain-lain.
22

Jenis dokumen ini merupakan alat bukti yang sempurna bagi para
pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga

Dari ketiga bentuk atau jenis perjanjian tersebut, dapat dilihat bahwa

perjanjian yang dibuat notaris artau di muka notaris merupakan perjanjian

yang mempunyai kekuatan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan

secara hukum atau yuridis.

7. Hapusnya Perjanjian Kredit Bank

Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 tidak memuat

ketentuan mengenai hapusnya perjanjian kredit. Sesuai dengan asas lex

specialis derogat lex generalis maka ketentuan mengenai hapusnya

perjanjian kredit menggunakan ketentuan dalam Buku III Bab IV KUH

Perdata Pasal 1381 mengenai hapusnya suatu perikatan.

Dalam KUHPerdata tidak diatur secara khusus tentang berakhirnya

perjanjian. Walaupun demikian, ketentuan tentang hapusnya perikatan

tersebut juga merupakan ketentuan tentang hapusnya perjanjian karena

perikatan yang dimaksud dalam Buku III Bab IV KUHPerdata adalah

perikatan pada umumnya baik itu lahir dari perjanjian maupun lahir dari

perbuatan melanggar hukum (Ahmadi Miru, 2007: 87).

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua

pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

pihak yang lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi

tuntutan itu (R. Subekti, 2005:1).

Berdasarkan Pasal 1381 KUH Perdata yang mengatur tentang

berakhirnya suatu perikatan, maka dapat disimpulkan bahwa pasal tersebut

merupakan hapusnya suatu perjanjian, karena perjanjian merupakan


23

bagian dari suatu perikatan. Pasal 1381 KUH Perdata yang menyatakan

hapusnya perikatan, yaitu:

a. Karena pembayaran.
b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti
dengan penyimpanan atau penitipan.
c. Karena pembaharuan utang.
d. Karena perjumpaan utang atau kompensasi.
e. Karena pencampuran utang.
f. Karena pembebasan utangnya.
g. Karena musnahnya barang yang terutang.
h. Karena kebatalan atau pembatalan.
i. Karena berlakunya suatu syarat batal.
j. Karena lewatnya waktu.

8. Unsur-unsur kredit
Kredit yang diberikan oleh suatu lembaga perbankan disasarkan atas

kepercayaan, sehingga pemberian kredit merupakan pemberian

kepercayaan. Hal ini berati bahwa suatu lembaga perbankan, akan

memberikan kredit betul-betul yakin bahwa si penerima kredit akan

mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam kredit yaitu (Muhammad

Djumhana, 1996: 231):

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa


prestasi yang diberikan akanbenar-benar diterima nya kembali
dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang,
b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara
pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima
pada masa yang akan datang.
c. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai
akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara
pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima
dikemudian hari.
d. Prestasi, prestasi atau obyek kredit tidak saja diberikan dalam
bentuk uang, akan tetapi juga dalam bentuk barang atau jasa.
24

9. Jenis-jenis Kredit

Kredit yang diberikan bank umum dan bank perkreditan rakyat terdiri

dari berbagai jenis. Jenis-jenis kredit dapat dilihat dari berbagai segi antara

lain Kasmir (2016:103):

a. Dilihat dari segi kegunaan


1) Kredit investasi, kredit yang digunakan untuk keperluan
perluasan usaha atau membangun proyek/pabrik baru atau
keperluan rehabilitasi
2) Kredit modal kerja, kredit yang digunakan untuk meningkatkan
produksi dalam operasional seperti membeli bahan baku,
membayar gaji pegawai dan biaya lainnya.
b. Dilihat dari segi tujuan kredit
1) Kredit produktif, kredit yang digunakan untuk peningkatan
usaha atau produksi atau investasi, misalnya kredit untuk
membangun pabrik yang nantinya menghasilkan barang.
2) Kredit konsumtif, kredit yang digunakan untuk konsumsi pribadi,
misalnya kredit untuk perumahan, kredit mobil pribadi dan
lainnya.
3) Kredit perdagangan, kredit yang digunakan untuk perdagangan,
biasanya untuk membeli barang dagangan yang
membayarannya diharapkan dari hasil penjualan barang
tersebut. Misalnya kredit ekspor dan impor.
c. Dilihat dari segi waktu
1) Kredit jangka pendek adalah kredit yang berjangka waktu
maksimal 1 tahun. Seperti kredit peternakan ayam dan
pertanian. Seperti peternakan kambing.
2) Kredit jangka menengah adalah kredit yang berjangka waktu
antara 1 tahun sampai 3 tahun, biasanya untuk investasi.
3) Kredit jangka panjang Adalah kredit yang berjangka waktu 3
tahun sampai 5 tahun, kredit ini biasanya digunakan untuk
perkebunan karet dan kelapa sawit.
d. Dilihat dari segi jaminan
1) Kredit dengan jaminan adalah kredit yang diberikan dengan
suatu jaminan, jaminan tersebut dapat berupa barang berwujud
atau tidak berwujud atau jaminan orang.
2) Kredit tanpa jaminan adalah kredit yang diberikan tanpa
jaminan barang atau orang tertentu.
e. Dilihat dari sektor usaha
1) Kredit pertanian, adalah kredit yang dibiayai untuk sektor
perkebunan atau pertanian rakyat.
25

2) Kredit peternakan, kredit yang digunakan untuk jangka pendek,


misalnya peternakan ayam dan jangka panjang kambing atau
sapi.
3) Kredit industry, yaitu kredit untuk membiayai industri kecil,
menengah, atau besar.
4) Kredit pertambangan, jenis usaha tambang yang dibiayai
biasanya dalam jangka panjang, seperti tambang emas, minyak
atau timah.
5) Kredit pendidikan Merupakan kredit yang diberikan untuk
membangun sarana dan prasarana pendidikan atau dapat pula
berupa kredit untuk para mahasiswa.
6) Kredit profesi, diberikan kepada para profesional seperti dosen,
dokter atau pengacara.
7) Kredit perumahan yaitu kredit untuk membiayai pembangunan
atau pembelian rumah.
8) Dan sektor-sektor lainnya.

10. Prinsip Pemberian Kredit


Untuk menentukan seseorang dapat dipercaya untuk memperoleh

kredit, pada umumnya dunia perbankan menggunakan instrument analisa

yang terkenal dengan The Fives of Credit atau 5C yaitu (Sutarni, 2005: 78):

a. Character (Watak) Watak sifat dasar yang ada dalam hati


seseorang. Watak dapat berupa baik dan jelek bahkan yang
terletak diantara baik dan jelek. Watak merupakan bahan
pertimbangan untuk mengetahui risiko. Tidak mudah untuk
menentukan watak seorang debitur apalagi debitur yang baru
pertama kali mengajukan permohonan kredit.
b. Capacity (Kapasitas) Kapasitas yang dimiliki oleh calon nasabah
untuk membuat rencana dan mewujudkan rencana tersebut
menjadi kenyataan, termasuk dalam menjalankan usahanya guna
memperoleh laba yang diharapkan. Sehingga pada nantinya
calon nasabah tersebut dapat melunasi hutangnya dikemudian
hari.
c. Capital (Dana) Kapital calon nasabah untuk menjalankan dan
memelihara kelangsungan usahanya. Adapun penilaian terhadap
capital untuk mengetahui keadaan, permodalam, sumber-sumber
dana dan penggunaannya.
d. Condition of Economi (Kondisi Ekonomi) Kondisi situasi ekonomi
pada waktu dan jangka waktu tertentu dimana kredit diberikan
oleh Bank kepada pemohon.
e. Collateral (Jaminan) Jaminan berarti harta kekayaan yang dapat
diikat sebagai jaminan guna menjamin kepastian pelunasan
hutang jika dikemudian hari debitur tidak melunasi hutangnya
sengan jalan jaminan dan mengambil pelunasan dari penjualan
harta kekayaan yang menjadi jaminan itu.
26

D. Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi

1. Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan

kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat

antara kreditur dengan debitur (Salim, H.S, 2019: 93).

Wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban sebagaimana

diterapkan perikatan atau perjanjian, tidak dipenuhinya kewajiban dalam

suatu perjanjian, dapat disebabkan dua hal, yaitu kesalahan debitur baik

disengaja maupun karena kelalaian dan karena keadaan memaksa

(Overmacht/Force Majure) (Djaja S. Meliala, 2012: 175).

Salah satu pihak berhak menuntut prestasi dari pihak lainnya dan

pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi prestasi, pihak yang

berhak menuntut prestasi dinamankan kreditur dan pihak yang

berkewajiban melaksanakan prestasi dinamakan debitur. Apabila pihak

yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi ternyata tidak melaksanakan

atau melalaikan prestasinya maka iya akan berada dalam keadaan

wanprestasi. Wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk memenuhi

kewajiban sesuai dalam perjanjian yang telah disepakati (Sri Soesiloeati

Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, Ahmad Budi Cahyono, 2005: 151).

Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah

diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita. Pengertian somasi adalah

teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berutang (debitur) agar

dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah

disepakati antara keduanya (Salim H.S, 2006: 96).

Dalam ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata yang mengatur bahwa


“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan
27

sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Tuntutan atas wanprestasi suatu perjanjian hanya dapat dilakukan

apabila si berutang telah diberi peringatan bahwa ia melalaikan

kewajibannya, namun kemudian ia tetap melalaikannya. Tentang cara

memberi teguran (sommatie) terhadap debitur jika ia tidak memenuhi

teguran itu dapat dikatakan wanprestasi, diatur dalam Pasal 1238 KUH

Perdata yang menentukan, bahwa teguran itu harus dengan surat

perintah atau akta sejenis.

Sesorang yang melakukan wanprestasi dapat digugat didepan

hukum, dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan pada

tergugat itu. Seseorang dikatakan lalai apabila ia tidak memenuhi

kewajibannya dan terlambat memenuhi tetapi tidak seperti apa yang telah

diperjanjiakan. Hal kelalaian atau wanprestasi tersebut harus dinyatakan

terlebih dahulu secara resmi yaitu dengan memberikan peringatan bahwa

dikehendakinya suatu penyelesaian perjanjian dalam jangka waktu yang

pendek (Subekti, 2003: 146).

Berdasarkan KUH Perdata, Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:

“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya


suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah
dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat
diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu
yang telah ditentukan”.

Ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata mengartikan bahwa debitur baru

dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi apabila telah ada pernyataan

lalai. Salah satu pihak yang tidak melaksanakan prestasi atau isi dari
28

perjanjian/kontrak disebut dengan wanprestasi. Wujud dari wanprestasi

tersebut dapat berupa (Djoko Trianto. 2004: 61):

a. Tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan untuk


dilaksanakan.
b. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikan tetapi tidak sama
dengan isi perjanjian.
c. Terlambat dalam melakukan kewajiban perjanjian.
d. Melakukan sesuatu yang diperjanjikan untuk tidak dilakukan.

Wanprestasi tidak terjadi serta merta pada saat debitur lalai

memenuhi kewajibannya, akan tetapi hal tersebut baru dianggap terjadi

apabila sudah ada teguran pernyataan lalai dari pihak kreditur kepada

debitur. Tenggang waktu tersebut berkaitan dengan asas itikad baik,

sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang

menyebutkan bahwa: “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad

baik”. Pasal ini memberi makna bahwa perjanjian yang telah disepakati

oleh para pihak harus dilaksanakan sesuai kepatutan dan keadilan.

2. Unsur-unsur Wanprestasi

Ada beberapa unsur-unsur wanprestasi yang dapat diketahui dalam

melakukan perjanjian, Adanya perjanjian yang sah (Pasal 1320 KUH

Perdata), adanya kesalahan (karena kelalaian dan kesengajaan), adanya

kerugian, dan adanya sanksi. Wanprestasi adalah suatu istilah yang

menunjuk pada ketiada laksanaan prestasi oleh debitur (Kartini Muljadi dan

Gunawan Widjaja, 2003: 69).

E. Tinjauan Umum tentang Bank

1. Pengertian Bank

Kata bank dapat kita telusuri dari kata banque dalam bahasa prancis,
29

dan dari banco dalam bahasa Italia, yang dapat berarti peti/lemari atau

bangku. Konotasi kedua kata ini menjelaskan dua fungsi dasar yang

dijelaskan oleh bank komersial. Kata peti atau lemari menyiratkan fungsi

sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti peti emas, peti

berlian, peti uang dan sebagainya (Arifin Zainul, 2002: 2).

Menurut O.P.Simorangkir bank merupakan salah satu badan usaha

lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa.

Adapun pemberian kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri atau

dengan dana- dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga maupun dengan

jalan memperedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang giral.

Sedangkan Sentosa Sembiring berpendapat bahwa bank adalah suatu

badan usaha yang berbadan hukum yang bergerak dibidang jasa

keuangan yang dapat menghimpun dana dari masyarakat secara langsung

dan menyalurkannya kembali ke masyarakat melalui pranata hukum

perkreditan (Sentosa sembiring, 2012: 2).

Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap

negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang

perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik

negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana

yang dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang

diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan

mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian

(Hermansyah, 2009: 7).

Jadi pengertian Bank adalah suatu lembaga yang berfungsi dan

berwenang untuk menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan


30

dana kepada masyarakat yang membutuhkan dengan tujuan untuk

mendapatkan keuntungan bersama.

2. Jenis-jenis Bank
Dari segi fungsi, bank dibedakan menjadi 4 jenis bank yaitu

(Rachmadi Usman, 2001: 64):

a. Bank Sentral, yaitu bank yang memperoleh hak untuk


mengedarkan uang logam ataupun uang kertas.
b. Bank Umum ialah bank yang didalam usahanya mengumpulkan
dana terutama menerima simpanan dalam bentuk giro dan
deposito. Didalam usahanya bank umum terutama memberikan
kredit berjangka pendek.
c. Bank Tabungan ialah bank yang di dalam usahanya
mengumpulkan dana terutama menerima simpanan dalam bentuk
tabungan dan didalam usahanya terutama memperbungakan
dananya dengan kertas – kertas berharga.
d. Bank Pembangunan ialah bank yang didalam usahanya
mengumpulkan dana terutama menerima simpanan dalam bentuk
deposito dan/atau mengeluarkan kertas – kertas berharga jangka
menengah dan panjang. Di dalam usahanya jenis bank ini
terutama memberikan kredit jangka menengah dan panjang dalam
bidang pembangunan.
e. Bank lainnya yang akan diterapkan dengan Undang – Undang
menurut kebutuhan dan perkembangan ekonomi.

Namun, setelah keluar Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 7

Tahun 1992 dan ditegaskan dengan keluarnya Undang-Undang Perbankan

Nomor 10 Tahun 1998, maka jenis perbankan terdiri dari dua jenis bank,

yaitu:

a. Bank Umum
b. Bank Perkreditan Rakyat

Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 7

Tahun 1992 tersebut mengakibatkan perubahan fungsi Bank

Pembangunan dan Bank Tabungan menjadi bank umum. Kemudian Bank

Desa, Bank Pasar, Lumbung Desa dan Bank Pegawai menjadi Bank

Perkreditan Rakyat (BPR) Pengertian Bank Umum sesuai dengan Undang-


31

undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah bank yang melaksanakan kegiatan

usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang

dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

F. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum

1. Pengertian Perlindungan Hukum

Menurut Setiono, Perlindungan Hukum adalah tindakan atau upaya

untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh

penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan

ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk

menikmati martabatnya sebagai manusia (Setiono, 2004: 3).

Philipus M Hadjon mengemukakan perlindungan hukum adalah

perlindungan akan harkat dan martabat serta pengakuan terhadap hakhak

asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan

hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah

yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal yang lainnya. Berarti hukum

memberikan perlindungan terhadap hak-hak dari seseorang terhadap sesuatu

yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut (Philipus M. Hadjon.

1987: 25).

Menurut Satjipto Rahardjo bahwa hukum hadir dalam masyarakat adalah

untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan

yang bisa bertubrukan satu sama lain. Pengkoordinasian kepentingan-

kepentingan tersebut dilakukan dengan cara membatasi dan melindungi

kepentingan-kepentingan tersebut (Satjipto Rahardjo, 2000: 53).

Hubungan antara bank dengan nasabah sebagai konsumen merupakan


31

hubungan yang timpang, karena disatu sisi bank mempunyai


32

posisi lebih kuat, sehingga nasabah berada pada posisi menerima saja. Dengan

adanya hubungan yang tidak seimbang ini, perlindungan terhadap nasabah sebagai

konsumen bank adalah menjadi sangat penting. Adanya perlindungan hukum bagi

nasabah selaku konsumen di bidang perbankan hal penting, karena secara nyatanya

kedudukan antara para pihak sering kali tidak seimbang. Perjanjian

kredit/pembiayaan dan perjanjian pembukaan rekening bank yang seharusnya

dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, karena alasan efesiensi di ubah

menjadi perjanjian yang sudah dibuat oleh pihak yang mempunyai pilihan lain

kecuali menerima atau menolak perjanjian yang diberikan oleh pihak bank

(Rumelda Silalahi, Onan Purba, 2021: 53)

Adanya kondisi demikian, melatar belakangi substansi Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen untuk

memberikan pengaturan mengenai ketentuan pencantuman klausula baku

dalam ketentuan Pasal 18 Ayat (2) yang menyatakan bahwa pelaku usaha

dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit

terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya

sulit dimengerti, dan ketentuan Pasal 18 ayat 1 huruf a Undang-undang

Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa pelaku usaha dalam

menawarkan barang dan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan

dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap

dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan

tanggungjawab pelaku usaha (Melisa Aquaria Putri S, 2020: 131).

Walaupun ketentuan mengenai klausula baku sudah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,


33

akan tetapi pada kenyataannya seringkali masih terjadi pelanggaran

sehingga akan merugikan kepentingan debitur. Dengan kerjasama yang

baik antara pihak bank dengan debitur, khususnya dalam hal adanya

perjanjian baku mengenai kredit atau pembiayaan, serta pembukaan

rekening di bank maka diharapkan akan lebih mengoptimalkan

perlindungan hukum bagi debitur, sehingga dapat meminimalisir dispute

yang berkepanjangan di kemudian hari. SUMBER

2. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum


Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim bentuk-bentuk

perlindungan hukum yaitu (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988:

102):

a. Perlindungan Hukum Preventif, pada perlindungan hukum


preventif ini, subyek dalam hukum diberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya
adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum
preventif berpengaruh besar terhadap tindak pemerintahan yang
didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya
perlindungan hukum preventif ini, maka pemerintah terdorong
untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang
didasarkan pada diskresi. Di Indonesia sendiri belum suatu
peraturan khusus mengenai mengenai bagaimana perlindungan
hukum preventif.
b. Perlindungan Hukum Represif, perlindungan hukum represif
bertujuan untuk kaitannya dengan menyelesaikan sengketa.
Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum maupun
oleh Peradilan Administrasi di Indonesia termasuk dalam kategori
perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap
tindakan pemerintah bertumpu juga bersumber dari suatu konsep
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia.

Perlindungan hukum bagi debitur kredit perbankan dari

penyalahgunaan keadaaan dalam perjanjian baku yang berbentuk preventif

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan


33

Konsumen terdapat dalam Pasal 18 Ayat (1) Huruf g dan huruf h, yang
34

mengatur pembatasan penggunaan klausul baku dalam perjanjian kredit.

Regulasi tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya pemasalahan yang

terkait dengan perjanjian kredit.

Adapun perlindungan hukum bagi debitur kredit perbankan dan

penyalahgunaan keadaaan dalam perjanjian baku yang berbentuk represif

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen terdapat dalam Pasal 18 Ayat (3 dan 4), dan Pasal 62 Ayat (1).

Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hal ini dapat diselesaikan melalui

penyelesaian sengketa konsumen secara litigasi yang merupakan penyelesaian

sengketa melalui pengadilan. Prinsip kedua yang dapat mendasari perlindungan

hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan

dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan

dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan

dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

normatif. Dimana penelitian normatif adalah penelitian yang menggunakan

teoretis-rasional dengan model penalaran logika deduktif (penarikan

kesimpulan dari umum ke khusus).

B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam peneleitian ini adalah pendekatan

Perundang-undangan (statue approach), dan pendekatan kasus (case

approach).

Pendekatan Perundang-undangan adalah pendekatan yang

dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani (Peter

Machmud, 2011: 93).

Adapun pendekatan kasus (case approach) adalah salah satu jenis

pendekatan dalam penelitian hukum normatif, yang peneliti mecoba

membangun argumentasi hukum dalam perspektif kasus konkrit yang

terjadi di lapangan, hal ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus-

kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Kasus yang

ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan

berkekuatan hukum tetap (Sunaryati Hartono, 2006: 139).

35
36

C. Bahan Hukum

Adapun Bahan Hukum yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian


ini adalah:
1. Bahan Hukum Primer, terdiri atas aturan Perundang-undangan,
catatan resmi seperti naskah akademik dan risalah rapat
pembentukan peraturan Perundang-undangan, dan putusan-putusan
hakim baik yang ada pada tingkat Pengadilan Negeri maupun tingkat
Mahkamah Agung.
2. Bahan Hukum Sekunder, terdiri atas dokumen-dokumen yang
terpublikasi, tetapi tidak dalam bentuk resmi. Meliputi buku-buku teks
hukum, jurnal-jurnal hukum, makalah hukum, majalah hukum, koran,
kamus, ensiklopedi, indeks kumulatif dan sebagainya.
3. Bahan Hukum Tersier Terdiri atas bahan diluar hukum, semisal buku-
buku dari ilmu di luar bidang hukum yang dapat membantu peneliti
menjawab permasalahannya (buku atau jurnal-jurnal, makalah
majalah-majalah dari disiplin ilmu ekonomi, politik, budaya, dan
sebagainya).

D. Analisis Bahan Hukum

Menggunakan penalaran logika deduktif. Penelitian hukum normatif


menggunakan “analisis” dan “argumentasi” yang logis dan preskriptif.
Penelitian hukum normatif secara umum bersifat kualitatif. Dibolehkan juga
menggunakan analisis dan argumentasi bersifat kuantitatif, semisal berupa
angka statistik seperti tabel, diagram, bagan, dan gambar sebagai bahan
pelengkap (sekunder) penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ahmadi Miru dan Sakka Pati. 2011. Hukum Perikatan (Penjelasan Makna
Pasal 1233 sampai 1456 BW). Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.

Ahmadi Miru. 2007. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak Edisi


Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Badriyah Harun. 2010. Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah Solusi


Hukum dan Alternatif Penyelesaian Segala Jenis Kredit Bermasalah.
Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Djaja S. Melial. 2012. Hukum Perikatan dalam Prespektif BW. Bandung:


Nuansa Aulia.

Djoko Trianto. 2004. Hubungan Kerja di Perusahaan Jasa Konstruksi,


Bandung: Mandar Maju.

Fatturahman Djamil. 2012 . Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di


Bank Syariah. Jakarta: Remaja Rosdakarya.

Gatot Supramono. 2009. Perbankan dan Masalah Kredit: Suatu Tinjauan di


Bidang Yuridis. Jakarta: Rineka Cipta.

Handri Raharjo. 2009. Hukum Perjanjian di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka


Yustisia.

Hermansyah. 2007. Hukum Perbankan Nasional. Jakarta: Kencana.

Hermansyah. 2009. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta


Kencana.

Heru Supraptomo. 1998. Segi-Segi Hukum Yang Berkaitan Dengan


Penyelesaian Kredit Macet. Jakarta: Sinar Grafika.

Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada. 2022. Pedoman Penulisan
Skripsi dan Penyelenggaraan Ujian Akhir Program Sarjana.
Parepare: Fakultas Hukum.

37
38

Ishaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Ismail. 2018. Manajemen Perbankan Dari Teori Menuju Aplikasi. Jakarta:


Prenadamedia Grup.

Johannes Ibrahim, dan Lindawaty Sewu. 2007. Hukum Bisnis Dalam


Persepsi Manusia Modern. Cetakan 2. Bandung: Refika Aditama.

Johannes Ibrahim. 2004. Cross Default dan Cross Collateral Sebagai


Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah. Bandung: Revika Aditama.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2003. Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kasmir 2011. Manajemen Perbankan. Jakarta: Rajawali Pers.

Kasmir. 2000. Manajemen Perbankan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

. 2016. Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1988. Hukum Tata Negara Indonesia.
Jakarta: Sinar Bakti.

Muhamad Sadi. 2015. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prenadamedia Grup.

Muhammad Djumhana. 1996. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung:


PT Citra Aditya Bakti.

Nindyo Pramono. 2003. Hukum Komersil. Jakarta: Pusat Penerbitan.

Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum, cetakan ke-11. Jakarta:


Kencana.

Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia.


Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya. Penanganan oleh
Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan
Peradilan Administrasi Negara. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Priyo Handoko. 2006. Menakar Jaminan Atas Tanah Sebagai Pengaman


Kredit Bank. Jember: Center for Society Studies

Purwahid Patrik. 1994. Dasar-Dasar Hukum Perikatan. Bandung: Mandar


Maju.
39

R. Setiawan. 1979. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta

R. Soeroso. 2005. Pengantar Ilmu Hukum. Cet.VII. Jakarta: Sinar Grafika.

R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio. 1976. Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata: Burgerlijk Wetboek. Cetakan 8. Jakarta: Pradnya Paramita.

R. Subekti. 1983. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa.

. 2002. Hukum Perjanjian cetakan 19. Jakarta: PT Intermasa.

. 2003. Pokok – Pokok Hukum Perdata Cetakan 31. Jakarta: PT


Intermasa.

. 2005. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa.

R. Wirjono Prodjodikoro. 2011. Azas-azas Hukum Perjanjian. Bandung: CV


Mandar Maju.

Rachmadi Usman. 2001. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di


Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Ridwan Khairandy. 2014. Pokok-Pokok Hukum Dagang. Yogyakarta:


Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press.

Saladin Djaslim. 2002. Manajemen Pemasaran. Bandung: Linda Karya.

Salim.H.S. 2006. Hukum Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.

2010. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak


cetakan ketujuh. Jakarta: Sinar Grafika.

2019. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak


cetakan keempat belas. Jakarta: Sinar Grafika.

Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sentosa Sembiring. 2012. Hukum Perbankan. Bandung: Mandar Maju.

Setiawan R. 1979. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.


40

Sri Soesiloeati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, Ahmad Budi Cahyono. 2005.
Hukum Perdata Suatu Pengantar. Jakarta: Gitama Jayakarta.

Sunaryati Hartono. 2006. Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad


20. Bandung: Alumni.

Sutan Remy Sjahdeini. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan


yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di
Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.

Sutardjo Tui. 2013. Proposal Kelayakan Usaha UMKM Untuk


Perbankan. Yogyakarta: Pressindo.

Sutarni. 2005. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. Bandung:


Penerbit Alfabeta.

Sutarno. 2003. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank. Bandung:


Alfabeta.

Tan Kamelo. 2004. Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang


Didambakan. Bandung: PT Alumni.

Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal. 2008. Islamic Financial


Management. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Wirjono Prodjodikoro. 1979. Azas-Azas Hukum Perdata, Cetakan 7.


Bandung: Sumur Bandung.

Non-Buku

Melisa Aquaria Putri S. Klausula Baku Dalam Suatu Perjanjian


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Jurnal diterbitkan oleh: Jurnal Gagasan
Hukum, ISSN: 2714-8688. 2(2). Desember 2020.

Rumelda Silalahi, Onan Purba. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP


NASABAH BANK DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1999. Jurnal diterbitkan oleh: Social Opinion: Jurnal Ilmiah Ilmu
Komunikasi. 6(1). April 2021.

Setiono. 2004. Rule of Law (Supremasi Hukum). Tesis Magister


Ilmu Hukum. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.
41

Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepalitan dan Penundaan


Pembayaran Utang.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Surat Edaran Bank Indonesia No.03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember


1970.

Anda mungkin juga menyukai