Anda di halaman 1dari 27

TUGAS MAKALAH ACARA PERDATA

“ANATOMI PERKARA DI PENGADILAN NEGERI”

DISUSUN OLEH :

ANDREW FOSTER HAREFA (170200260)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan YME karena berkatdan


rahmat-Nya makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun tujuan dari
pengerjaan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen
mata kuliah Hukum Acara Perdata .

Makalah ini membahas tentang TAHAPAN BERACARA PERDATA


dengan judul “ANATOMI PERKARA DIPENGADILAN NEGERI” yang
merupakan salah satu bahasan dalam materi Hukum Acara Perdata di setiap
perguruan tinggi di Indonesia. Makalah ini saya susun dengan semaksimal
mungkin dan oleh bantuan dari beberapa referensi buku maupun web resmi
mengenai Hukum Acara Perdata.

Kami memohon maaf apabila pada makalah ini terdapat kesalahan yang
disengaja maupun yang tidak disengaja. Saran dari pembaca akan kami terima
dengan baik untuk kebaikan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi diri kami sendiri maupun pembacanya.

Medan, Januari 2020

Andrew Foster Harefa


DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB 1 ..................................................................................................................... 4
Latar Belakang .................................................................................................... 4
BAB 2 ..................................................................................................................... 7
Proses Beracara Perkara Perdata ......................................................................... 7
I. TATA CARA PELAKSANAAN PERMOHONAN PENDAFTARAN
PERKARA PERDATA ................................................................................... 7
II. PROSES BERACARA PERKARA PERDATA ..................................... 9
1) PERKARA PERMOHONAN .................................................................. 9
2) GUGATAN ............................................................................................ 12
3) PEMBUKTIAN ...................................................................................... 20
4) KESIMPULAN ...................................................................................... 21
5) PUTUSAN / EKSEKUSI ....................................................................... 21
BAB 3 ................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 27
BAB 1
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sengketa perdata merupakan perselisihan kepentingan yang terjadi antar
subjek hukum, baik orang pribadi (naturlijk person) maupun badan hukum (recht
person), yaitu: Antar orang pribadi, antara individu dan badan hukum dan antar
badan hukum.

Namun, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum, dalam hal ini


hukum perdata menyebabkan mereka kesulitan menyelesaikan perkara perdata
yang dihadapi. Belum lagi rumitnya bahasa hukum yang sulit dicerna oleh
masyarakat awam, minimnya sosialisasi pemerintah perihal peraturan perundang-
undangan, adanya makelar kasus, dan penyimpangan yang mungkin dilakukan
oleh aparat penegak hukum menjadi kendala.

Seringkali, walaupun pokok perkaranya benar namun apabila cara


membuat gugatannya tidak tepat atau keliru, hal tersebut akan membuat gugatan
menjadi kandas di tengah jalan. Demikian pula dalam kasus tertentu bila tidak
dapat memberikan analisa hukum yang tepat atau keliru sehingga dalam membuat
gugatan atau jawabannya tidak sempurna atau keliru, hal ini tentunya merugikan
kepentingan penggugat.

Diperlukan pengetahuan mengenai hukum acara perdata, baik secara teori


maupun pengalaman dalam praktik di pengadilan. Penulis mencoba memberikan
suatu pemahaman bagi pembaca untuk lebih mematangkan wawasan dalam
menganalisa serta memahami secara matang permasalahan hukum yang akan
dihadapinya.

Untuk menanggulangi hal tersebut, diperlukan pengetahuan terhadap


masalah-masalah dasar yang akan sering dijumpai dalam melakukan praktik
beracara perdata di pengadilan dan cara menghadapi permasalahan tersebut.

Lembaga peradilan sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi setiap


warga negara merupakan badan yang berdiri sendiri (independen) dan
otonom,salah satu unsur penting dalam lembaga peradilan adalah Hakim.Hal ini
dikarenakan seorang hakim mempunyai peran yang besar dalam memberikan
keadilan kepada setiap orang yang berperkara di persidangan. Sehingga
diharapkan seorang hakim di dalam memeriksa, menyelesaikan, dan memutus
suatu perkara juga harus bebas dari pengaruh apa atau siapapun untuk
memberikan putusan yang seadil-adilnya kepada setiap orang yang berperkara di
pengadilan.

Oleh karena itu hakim sebagai penegak hukum harus benar-benar


meguasai hukum dalam hal ini hukum acara perdata. Sesuai dengan sistem yang
dianut Indonesia bahwa dalam suatu sidang itu harus dipimpin oleh seorang
hakim, dan hakim harus aktif bertanya, maksud dari hal tersebut adalah untuk
menemukan kebenaran.

Pembuktian adalah sebagai salah satu cara hakim untuk mengetahui suatu
peristiwa yang sebenarnya. Hakim menilai pembuktian terhadap fakta-fakta dalam
sengketa tersebut. Dengan adanya pembuktian tersebut hakim dapat menentukan
putusannya.

Dalam sengketa yang diajukan dimuka persidangan tersebut para pihak


yang bersengketa mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan. Hakim harus
memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil-dalil
manakah yang tidak benar. Dalam melakukan pemeriksaan ini, hakim harus
mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian yang merupakan hukum
pembuktian.

Pada hakekatnya yang harus dibuktikan adalah peristiwanya dan bukan


hukumnya. Oleh karena itu yang wajib membuktikan peristiwanya atau
mengajukan alat bukti adalah para pihak, sedangkan hakim harus menentukan
hukumnya terhadap peristiwa yang telah terbukti tersebut. Jadi hakim di dalam
proses perkara perdata harus menetapkan dan menemukan kebenaran peristiwa
atau hubungan hukumnya terhadap peristiwa yang telah ditetapkan itu.

Meskipun peristiwa ataupun faktanya itu disajikan oleh para pihak, hakim
harus tahu pasti akan peristiwa yang diajukannya itu. Hakim harus mengkonstatir
yang berarti bahwa hakim harus mengakui kebenaran peristiwa yang
bersangkutan. Dan kebenaran peristiwa ini hanya dapat diperoleh dengan
pembuktian. Segala peristiwa yang menimbulkan sesuatu hak harus dibuktikan
oleh yang menuntut hak tersebut, sedangkan peristiwa yang menghapuskan hak
harus dibuktikan oleh pihak yang menyangkal hak tersebut.
BAB 2
PEMBAHASAN

Proses Beracara Perkara Perdata

I. TATA CARA PELAKSANAAN PERMOHONAN PENDAFTARAN


PERKARA PERDATA
A. PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT
PERTAMA

1. Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan gugatan yang


ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri pada Pengadilan Negeri di
Meja 1 bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus
dipenuhi :
a. Surat Permohonan / Gugatan ;
b. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat);
2. Gugatan dan Surat Kuasa Asli harus mendapat persetujuan dari Ketua
Pengadilan Negeri;
3. Setelah mendapat persetujuan, maka Penggugat / Kuasanya membayar
biaya gugatan / SKUM di Kasir;
4. Memberikan SKUM yang telah dibayar ke Meja 2 dan menyimpan bukti
asli untuk arsip.
5. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugatan dari Meja 2.
6. Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan Negeri yang
disampaikan oleh Juru Sita Pengganti.
7. Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan

B. PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT BANDING

1. Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada


Pengadilan Negeri di Meja 3 bagian Perdata, dengan beberapa
kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
a. Surat Permohonan Banding;
b. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat);
c. Memori Banding
2. Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan/SKUM di Kasir;
3. Memberikan SKUM yang telah dibayar ke Meja 3 dan menyimpan bukti
asli untuk arsip.
4. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan dari Meja 3.
5. Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon
diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri
setempat untuk mempelajari berkas.
6. Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Banding dan salinan
Kontra Memori Banding.
7. Menunggu kutipan putusan dari Pengadilan Tinggi yang akan disampikan
oleh Juru Sita Pengganti.

C. PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT KASASI

1. Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada


Pengadilan Negeri di Meja 3 bagian Perdata, dengan beberapa
kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
a. Surat Permohonan Kasasi;
b. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat);
c. Memori Kasasi
2. Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir;
3. Memberikan SKUM yang telah dibayar ke Meja 3 dan menyimpan bukti
asli untuk arsip.
4. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan dari Meja 3.
5. Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon
diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri
setempat untuk mempelajari berkas.
6. Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Kasasi dan salinan
Kontra Memori Kasasi.
7. Menunggu kutipan putusan dari Mahkamah Agung yang akan
disampaikan oleh Juru Sita Pengganti.

II. PROSES BERACARA PERKARA PERDATA

a) Permohonan
b) Gugatan
c) Pembuktian
d) Kesimpulan
e) Eksekusi/Putusan

1) PERKARA PERMOHONAN

Permohonan harus diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani


oleh pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri, tempat tinggal pemohon.

Permohonan disampaikan kepada Pengadilan Negeri, kemudian


didaftarkan dalam buku Register dan diberi Nomor urut, setelah pemohon
membayar persekot biaya perkara, yang besarnya sudah ditentukan oleh
Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR).

Bagi pemohon yang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara,


hal mana harus dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala Desa yang
bersangkutan, dapat mengajukan permohonannya secara prodeo.
Pemohon yang tidak bisa menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan
dihadapan Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat permohonan
tersebut (pasal 120 HIR).

Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi volunter.


Berdasarkan permohonan yang diajukan itu, Hakim akan memberi suatu
penetapan. Ada permohonan tertentu yang harus dijatuhkan berupa putusan oleh
Pengadilan Negeri, misalnya dalam hal diajukan permohonan pengangkatan anak
oleh seorang Warga Negara Asing (WNA) terhadap anak Warga Negara
Indonesia (WNI), atau oleh seorang Warga Negara Indonesia (WNI) terhadap
anak Warga Negara Asing (WNA). (SEMA No. 6/1983). Tidak semua
permohonan dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri
hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan, apabila hal itu
ditentukan oleh suatu peraturan perundang-undangan atau yurisprudensi.

Contoh permohonan yang dapat diajukan dan ditetapkan oleh Pengadilan


Negeri adalah:

o Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa.


o Permohonan pengangkatan pengampu bagi orang dewasa yang kurang
ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi,
misalnya karena pikun.
o Permohonan dispensasi nikah bagi pria yang belum mencapai umur 19
tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun, yang dapat
diajukan kepada Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri (pasal 7
Undang-undang No.1 tahun 1974).
o Permohonan izin nikah bagi calon mempelai yang belum berumur 21
tahun (pasal 6 ayat (5) Undang-undang No. I tahun 1974).
o Permohonan pembatalan perkawinan (pasal 25, 26 dan 27 Undang-undang
No.1 tahun 1974).
o Permohonan pengangkatan anak (diperhatikan SEMA No. 6/1983).
o Perwohonan untuk memperbaiki kesalahan dalam akta catatan sipil,
misalnya apabila nama anak secara salah disebutkan dalam akta tersebut.
o Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit, oleh
karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit.
o Permohonan untuk pencatatan kelahiran, setelah lewat 1 (satu) tahun sejak
tanggal kelahiran.

Permohonan untuk menetapkan, bahwa sebidang tanah adalah milik


pemohon tidak dapat dikabulkan oleh Pengadilan Negeri. Hak Milik atas sebidang
tanah harus dibuktikan dengan sertifikat tanah atau apabila dipermasalahkan
dalam suatu gugatan, dibuktikan dengan alat bukti lain dipersidangan.
Dernikian juga permohonan untuk rnenetapkan seseorang atau beberapa orang
adalah ahliwaris almarhurn, tidak dapat diajukan. Penetapan ahli waris dapat
dikabulkan dalam suatu gugatan mengenai warisan almarhum.

Untuk mengalihkan hak atas tanah, menghibahkan, mewakafkan, menjual,


membalik nama sebidang tanah dan rumah, yang semula tercatat atas nama
almarhum atau almarhumah, cukup dilakukan:

o Bagi mereka yang berlaku Hukum Waris BW, dengan surat keterangan
hak waris, yang dibuat oleh Notaris.
o Bagi mereka yang berlaku Hukum Waris Adat dengan surat keterangan
ahliwaris yang dibuat oleh ahli waris yang bersangkutan sendiri, yang
disaksikan oleh Lurah dan diketahui Camat dari desa dan kecamatan
tempat tinggal almarhum.
o Bagi mereka yang berlaku Hukum Waris lain-lainnya, misalnya Warga
Negara Indonesia keturunan India, dengan surat keterangan ahliwaris yang
dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (perhatikan Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri, Direktur Jenderal Agraria, Kepala Direktorat Pendaftaran
Tanah, u.b. Kepala Pembinaan Hukum, R. Soepandi, tertanggal 20
Desember 1969, No. Dpt/I12/63/12/69, yang terdapat dalarn buku
Tuntunan bagi Pejabat Pembuat Akte Tanah, Dep. Dalam Negeri, Ditjen.-
Agraria, halaman 85).

Tidak dibenarkan untuk mengabulkan suatu permohonan dan rnenetapkan


seorang atau beberapa orang sebagai pemilik atau mempunyai hak atas suatu
barang. Tidaklah pula dapat dikeluarkan penetapan atas surat permohonan untuk
menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah.

Akta Dibawah Tangan Mengenai Keahliwarisan

Akta ini dibuat oleh ahli waris almarhum. Mereka membuat suatu surat
pemyataan bahwa diri mereka adalah ahli waris, dan dengan menyebutkan
kedudukan masing-masing dalam hubungan keluarga yang telah meninggal.
Pernyataan yang dibuat tersebut dapat dimintakan untuk disahkan tanda-
tangannya oleh Notaris atau Ketua Pengadilan Negeri.

Setelah dibacakan dan dijelaskan dihadapan para pihak oleh Ketua


Pengadilan Negeri atau Hakim yang ditunjuk, tanda tangan mereka disyahkan
dengan mendasarkan ketentuan pasal 2 (1) Stbld. 1916-46 dengan cara, dibawah
pernyataan tersebut dibubuhi:

Yang bertanda tangan dibawah ini, Ketua/Hakim Pengadilan Negeri


Sleman menerangkan, bahwa orang bernama_________ telah saya kenal atau
telah diperkenalkan kepada saya, dan kepadanya/mereka telah saya jelaskan isi
pernyataan dalam akta tersebut diatas, dan setelah itu ia/mereka membubuhkan
tanda tangannya di hadapan saya.Surat keterangan ahli waris tersebut hanya
berlaku untuk suatu keperluan tertentu, karena itu agar di bawahnya dicantumkan
dengan huruf-huruf besar sebagai berikut (sebagai contoh):

CATATAN:
AKTA DI BAWAH TANGAN INI YANG TELAH DISAHKAN INI
KHUSUS BERLAKU UNTUK MENGAMBIL UANG DEPOSITO DI
BANK __________ ATAS NAMA _____________

Dan kemudian dibubuhi cap Pengadilan Negeri.


Sesuai dengan pasal 3 ayat (1), akta tersebut dicatat dalam Buku Register yang
khusus disediakan untuk itu.

2) GUGATAN

Gugatan harus diajukan dengan surat gugat yang ditandatangani oleh


penggugat atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri. Gugatan disampaikan kepada Pengadilan Negeri, kemudian akan diberi
nomor dan didaftarkan dalam buku Register setelah penggugat membayar panjar
biaya perkara, yang besarnya ditentukan oleh Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR).
Bagi Penggugat yang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara, hal
mana harus dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala Desa yang
bersangkutan, dapat mengajukan gugatannya secara prodeo. Penggugat yang tidak
bisa menulis dapat mengajukan gugatannya secara lisan dihadapan Ketua
Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat gugatan tersebut (pasal 120
HIR).

A. KOMPETENSI RELATIF (pasal 118 (1) HIR)

Pengadilan Negeri berwenang memeriksa gugatan yang daerah hukumnya,


meliputi:

 Dimana tergugat bertempat tinggal.


 Dimana tergugat sebenarnya berdiam (jikalau tergugat tidak diketahui tempat
tinggalnya).
 Salah satu tergugat bertempat tinggal, jika ada banyak tergugat yang tempat
tinggalnya tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Negeri.
 Tergugat utama bertempat tinggal, jika hubungan antara tergugat-tergugat
adalah sebagai yang berhutang dan penjaminnya.

Penggugat atau salah satu dari penggugat bertempat tinggal dalam hal:

 tergugat tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak diketahui dimana ia


berada.
 tergugat tidak dikenal.
 Dalam hal tersebut diatas dan yang menjadi objek gugatan adalah benda tidak
bergerak (tanah), maka ditempat benda yang tidak bergerak terletak.
 (Ketentuan HIR dalam hat ini berbeda dengan Rbg. Menurut pasal
142 RBg, apabila objek gugatan adalah tanah, maka gugatan selalu dapat
diajukan kepada Pengadilan Negeri dimana tanah itu terletak).

Dalam hal ada pilihan domisili secara teI1!llis dalam akta, jika penggugat
menghendaki, ditempat domisili yang dipilih itu.
Apabila tergugat pada hari sidang pertama tidak mengajukan tangkisan
(eksepsi) tentang wewenang mengadili secara relatif ini, Pengadilan Negeri tidak
boleh menyatakan dirinya tidak berwenang. (Hal ini adalah sesuai dengan
ketentuan Pasal 133 HIR, yang menyatakan, bahwa eksepsi mengenai
kewenangan relatip harus diajukan pada permulaan sidang, apabila diajukan
terlambat, Hakim dilarang untuk memperhatikan eksepsi tersebut).

B. KUASA/WAKIL

Untuk bertindak sebagai Kuasa/Wakil dari penggugat/tergugat ataupun


pemohon, seseorang harus memenuhi syarat-syarat:

 Mempunyai surat kuasa khusus yang harus diserahkan dipersidangan. atau


pemberian kuasa disebutkan dalam surat gugatan/permohonan, atau
kuasa/wakil ditunjuk oleh pihak yang berperkara/pemohon didalam
persidangan secara lisan.
 Memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan Menkeh No. 1/1985 jo
Keputusan Menkeh tanggal 7 Oktober 1965 No. J.P.14-2-11.
 Telah terdaftar sebagai Advokat/Pengacara praktek di kantor Pengadilan
Tinggi/Pengadilan Negeri setempat atau secara khusus telah diizinkan untuk
bersidang mewakili penggugat/ tergugat dalam perkara tertentu.
 Permohonan banding atau kasasi yang diajukan oleh Kuasa/Wakil dari pihak
yang bersangkutan barus dilampiri dengan surat kuasa khusus untuk
mengajukan permohonan tersebut atau surat kuasa yang dipergunakan di
Pengadilan Negeri telah menyebutkan pemberian kuasa pula untuk
mengajukan permohonan banding atau kasasi.Untuk menjadi kuasa dari pihak
tergugat juga berlaku hal-hal tersebut diatas.
 Kuasa/Wakil Negara/Pemerintah dalam suatu perkara perdata berdasarkan
Stbl. 1922 No. 522 dan pasal 123 ayat 2 HIR, adalah:

a. Pengacara Negara yang diangkat oleh Pemerintah.


b. Jaksa.
c. Orang tertentu atau Pejabat-pejabat yang diangkat/ditunjuk oleh
Instansi-instansi yang bersangkutan.

Jaksa tidak perlu menyerahkan Surat Kuasa khusus. Pejabat atau orang yang
diangkat/ditunjuk oleh instansi yang bersangkutan, cukup hanya menyerahkan
Salinan Surat pengangkatan/penunjukan, yang tidak bermaterai.

C. PERKARA GUGUR

Apabila pada hari sidang pertama penggugat atau semua penggugat tidak
datang, meskipun telah dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya
yang sah, sedangkan tergugat atau kuasanya yang sah datang, maka gugatan
digugurkan dan penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara.

Penggugat dapat mengajukan gugatan tersebut sekali lagi dengan


membayar panjar biaya perkara lagi. Apabila telab dilakukan sita jaminan, sita
tersebut ikut gugur.

Dalam hal-hal yang tertentu, misalnya apabila penggugat tempat


tinggalnya jauh atau ia benar mengirim kuasanya, namun surat kuasanya tidak
memenuhi syarat, Hakim boleh mengundurkan dan menyuruh memanggil
penggugat sekali lagi. Kepada pihak yang datang diberitahukan agar ia
menghadap lagi tanpa panggilan.

Jika penggugat pada hari sidang pertama tidak datang, meskipun ia telah
dipanggil dengan patut, tetapi pada hari kedua ia datang dan pada hari ketiga
penggugat tidak hadir lagi, perkaranya tidak bisa digugurkan (pasal 124 HIR).

D. PUTUSAN VERSTEK

Apabila pada hari sidang pertama dan pada hari sidang kedua tergugat atau
semua tergugat tidak datang padahal telah dipanggil dengan patut dan juga tidak
mengirim kuasanya yang sah, sedangkan penggugat/para penggugat selalu datang,
maka perkara akan diputus verstek. Meskipun tergugat tidak hadir pada hari
sidang pertama atau tidak mengirim kuasanya yang sah, tetapi'jlka ia mengajukan
jawaban tertulis berupa tangkisan tentang tidak berwenang mengadili, maka
perkara tidak diputus dengan verstek.

E. TANGKISAN/EKSEPSI

Tangkisan atau eksepsi yang diajukan oleh tergugat, diperiksa dan diputus
bersama-sama dengan pokok perkaranya, kecuali jika eksepsi itu mengenai tidak
berwenangnya Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara tersebut.

Apabila diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara, dalam


pertimbangan hukum dan dalam diktum putusan, tetap disebutkan:

Dalam eksepsi:.............. (pertimbangan lengkap).


Dalam pokok perkara..... (pertimbangan lengkap).

F. PENCABUTAN SURAT GUGATAN

Gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa. Tetapi
jika perkara sudah diperiksa dan tergugat telah memberi jawabannya, maka
pencabutan perkara harus mendapat persetujuan dari tergugat (pasal 271, 272
RV).

G. PERUBAHAN/PENAMBAHAN GUGATAN

Pembahan dan/atau penambahan gugatan diperkenankan, asal diajukan


pada hari sidang pertama dimana para pihak hadir, tetapi hat tersebut harus
ditanyakan pada pihak lawannya guna pembelaan kepentingannya. Penambahan
dan/atau penambahan gugatan tidak boleh sedemikian rupa, sehingga dasar pokok
gugatan menjadi lain dari materi yang menjadi sebab perkara antara kedua belah
pihak tersebut. Dalam hal demikian, maka surat gugat harus dicabut.

H. PERDAMAIAN

Jika kedua beIah pihak hadir dipersidangan, Hakim harus berusaha


mendamaikan mereka. Usaha tersebut tidak terbatas pada hari sidang pertama
saja, melainkan dapat dilakukan meskipun taraf pemeriksaan telah lanjut (pasal
130 HIR).

Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuatlah akta perdamaian, yang


harus dibacakan terlebih dahulu oleh Hakim dihadapan para pihak, sebelum
Hakim menjatuhkan putusan yang menghukum kedua belah pihak untuk mentaati
isi perdamaian tersebut.

Akta perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan Hakim


yang berkuatan hukum tetap dan apabila tidak dilaksanakan, eksekusi dapat
dimintakan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Terhadap putusan perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum banding.


Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal mana harus dicatat dalam berita acara
persidangan, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat
gugatan dalam bahasa yang dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan
menggunakan penerjemah (pasal 131 HIR).

Khusus untuk gugat cerai:

 Apabila dalam perkawinan tersebut ada anak, agar berusaha untuk


mendamaikan kedua belah pihak dan sedapat mungkin suami-isteri harus
datang sendiri.
 Apabila usaha perdamaian berhasil, gugatan harus dicabut. Sehubungan
dengan perdamaian ini tidak bisa dibuat akta perdamaian.
 Apabila usaha perdamaian gagal, gugat cerai diperiksa dengan sidang
tertutup.

I. PENGGUGAT/TERGUGAT MENINGGAL DUNIA

Jika Penggugat atau tergugat setelah mengajukan gugatan meninggal


dunia, maka ahliwarisnya dapat melanjutkan perkara.

J. BIAYA YANG DAPAT TIMBUL DALAM PERSIDANGAN


Jika selama pemeriksaan perkara atas permohonan salah satu pihak ada
hal-hal/perbuatan yang barus dilakukan, maka biaya dibebankan kepada pemohon
dan dianggap sebagai persekot biaya perkara, yang dikemudian hari akan
diperhitungkan dengan biaya perkara yang harus dibayar oleh pihak yang dengan
putusan Hakim dihukum untuk membayar biaya perkara, biasanya pihak yang
dikalahkan.

Pihak lawan, apabila ia mau, dapat membayarnya Jika kedua belah pihak
tidak mau membayar biaya tersebut, maka hal/perbuatan yang barus dilakukan itu
tidak jadi dilakukan, kecuali jika hal/perbuatan itu menurut Hakim memang
sangat diperlukan. Dalam hal itu, biaya tersebut sementara akan diambil dari uang
panjar biaya perkara yang telah dibayar oleh Penggugat (pasal 160 HIR).

K. PENGGABUNGAN PERKARA

Beberapa gugatan dapat digabungkan menjadi satu, apabila antara gugatan-


gugatan yang digabungkan itu, terdapat hubungan erat atau ada koneksitas.
Hubungan erat ini harus dibuktikan berdasarkan faktanya. Penggabungan gugatan
diperkenankan apabila menguntungkan proses, yaitu apabila antara gugatan yang
gabungkan itu ada koneksitas dan penggabungan akan memudahkan pemeriksaan,
serta akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling
bertentangan.

L. VOEGING, INTERVENSI DAN VRIJWARING

HIR/RBg tidak mengenal voeging, interventie, dan vrijwaring, tetapi


apabila benar-benar dibutuhkan dalam praktek sedangkan belum terdapat kaidah
hukum yang mengaturnya, ketiga lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan
berpedoman pada Rv. (pasal 279 Rv dan seterusnya, dan pasal 70 Rv dan
seterusnya), karena pada dasarnya Hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam
hukum materiil maupun hukum formil.

Putusan Hakim bertujuan untuk memberi penyelesaian terhadap perkara


yang sedang diadilinya sedemikian rupa, sehingga apabila perkara tersebut
menyangkut pihak yang lain daripada penggugat dan tergugat, maka Hakim atas
permintaan, dapat mengabulkan permintaan pihak ketiga untuk ikut serta dalam'
proses, sehingga Hakim dapat memberi putusan bagi semua orang yang
berkepentingan.

Voeging terjadi, apabila dalam sidang datang pihak ketiga yang


mengajukan permohonan untuk bergabung pada penggugat atau tergugat.
Voeging dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela.

Interventie (tussenkomst) terjadi:

 apabila pihak ketiga merasa mempunyai kepentingan yang akan terganggu,


jika ia tidak ikut dalam proses perkara itu.
 Misalnya dalam interventie barang milik intervenient, yang diperebutkan oleh
penggugat dan tergugat. Untuk mendapatkan barang itu dan agar barang itu
dinyatakan sebagai miliknya, maka interventie diajukan. Interventie
dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela.
 Sebenamya apabila pihak yang berkepentingan itu tidak mencampuri proses
yang bersangkutan, ia dapat mempertahankan haknya dalam suatu proses
tersendiri, akan tetapi perlindungan haknya itu akan lebih mudah ditempuh
dengan cara interventie, yang hal dapat pula mencegah putusan putusan yang
saling bertentangan.

Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab.


Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan
perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis. Misalnya: Tergugat digugat oleh
penggugat, karena barang yang dibeli oleh Penggugat mengandung cacat
tersembunyi. Pada hal tergugat yang membeli barang itu dari pihak ketiga. Maka
tergugat menarik pihak ketiga ini, agar bertanggung jawab atas cacat itu.
Permohonan vrijwaring ditolak atau dikabulkan dengan putusan sela.

M. GUGATAN DALAM REKONPENSI (GUGAT BALIK ATAU GUGAT


BALASAN)
Gugatan rekonpensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban
selambat-lambatnya sebelum pemeriksaan mengenai pembuktian, baik jawaban
secara tertulis maupun lisan (pasal 132 b HIR/pasal 158 Rbg). Jika dalam
pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan dalam rekonpensi, maka
dalam pemeriksaan tingkat banding tidak diizinkan lagi untuk mengajukan
gugatan balik.

Kedua gugatan (dalam konpensi dan dalam rekonpensi diperiksa bersama-


sama dan diputus dalam satu putusan. Akan tetapi Hakim dapat memeriksa
gugatan yang satu terlebih dahulu, yaitu jika gugatan yang satu ini dapat
diselesaikan terlebih dahulu dari yang lain, yang mungkin masih menunggu saksi
yang ada diluar negeri atau saksi yang sakit, kedua perkara itu tetap diadili oleh
majelis Hakim yang sama. Antara gugatan dalam konpensi dan gugatan dalam
rekonpensi tidak diharuskan ada hubungan. Gugatan dalam rekonpensi dapat
berdiri sendiri dan oleh tergugat sebenarnya dapat diajukan tersendiri, menurut
acara biasa kapan saja. Apabila gugatan konpensi dicabut, maka gugatan
rekonpensi tidak bisa dilanjutkan

3) PEMBUKTIAN

Tahap Pembuktian merupakan tahap yang cukup penting dalam semua


proses pemeriksaan perkara, karena dari tahap ini nantinya yang akan menentukan
apakah dalil Penggugat atau bantahan Tergugat yang akan terbukti. Dari alat-alat
bukti yang diajukan Para Pihak, Majelis Hakim dapat menilai peristiwa hukum
apa yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat sehingga terjadi perkara. Dari
peristiwa hukum yang terbukti tersebut nantinya Majelis Hakim akan
mempertimbangkan hukum apa yang akan diterapkan dalam perkara dan
memutuskan siapa yang menang dan kalah dalam perkara tersebut.

Untuk membuktikan suatu peristiwa yang diperkarakan, Hukum Acara


Perdata sudah menentukan alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh Para Pihak di
persidangan, yaitu disebutkan di dalam Pasal 164 HIR atau Pasal 284 Rbg yaitu:

A. Surat;
B. Saksi;
C. Persangkaan;
D. Pengakuan; dan
E. Sumpah.
4) KESIMPULAN

Pengajuan Kesimpulan oleh Para Pihak setelah selesai acara Pembuktian


tidak diatur dalam HIR maupun dalam Rbg, akan tetapi mengajukan Kesimpulan
ini timbul dalam praktek persidangan. Dengan demikian, sebenarnya jika ada
pihak yang tidak mengajukan Kesimpulan, merupakan hal yang diperbolehkan.
Bahkan terkadang, Para Pihak menyatakan secara tegas untuk tidak mengajukan
Kesimpulan, akan tetapi memohon kebijaksanaan Hakim untuk memutus dengan
seadil-adilnya. Sebenarnya, kesempatan pengajuan Kesimpulan sangat perlu
dilaksanakan oleh kuasa hukum Para Pihak, dikarenakan melalui Kesimpulan
inilah seorang kuasa hukum akan menganalisis dalil-dalil Gugatannya atau dalil-
dalil Jawabannya melalui Pembuktian yang didapatkan selama persidangan. Dari
analisis yang dilakukan itu akan mendapatkan suatu Kesimpulan apakah dalil
Gugatan terbukti atau tidak, dan kuasa Penggugat memohon kepada Majelis
Hakim agar gugatan dikabulkan. Sebaliknya kuasa Tergugat memohon kepada
Majes Hakim agar gugatan Penggugat ditolak.

Bagi Majelis Hakim yang akan memutuskan perkara, Kesimpulan sangat


membantu dalam merumuskan pertimbangan hukumnya. Majelis Hakim akan
menilai analisis hukum Kesimpulan yang dibuat oleh kuasa hukum Para Pihak,
dan akan dijadikan bahan pertimbangan dalam Putusan, apabila analisis tersebut
cukup rasional dan beralasan hukum.

5) PUTUSAN / EKSEKUSI

A. PUTUSAN

Setelah melalui beberapa proses dan tahapan persidangan, maka sampailah


pada proses dan tahapan terakhir, yaitu pembacaan Putusan. Menurut Sudikno
Mertokusumo, Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa
antara Para Pihak. Selanjutnya dikatakan, bahwa suatu putusan Hakim terdiri dari
4 (empat) bagian, yaitu:
a) Kepala Putusan;
b) Identitas Para Pihak;
c) Pertimbangan; dan
d) Amar.

Setiap Putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas


Putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Kepala Putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada Putusan. Selain
kepala Putusan pada halaman pertama dari Putusan, juga dicantumkan Identitas
Para Pihak, yaitu pihak Penggugat dan pihak Tergugat secara lengkap sesuai
dengan surat Gugatan dari Penggugat.

Selanjutnya di dalam putusan perkara perdata memuat pertimbangan.


Pertimbangan ini dibagi menjadi dua yaitu, Pertimbangan tentang duduknya
perkara dan Pertimbangan tentang hukumnya. Dalam rumusan Putusan sering
dibuat dengan huruf kapital dengan judul “TENTANG DUDUKNYA PERKARA
dan TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM“. Didalam Pertimbangan tentang
duduknya perkara memuat isi surat Gugatan Penggugat, isi surat Jawaban
Tergugat yang ditulis secara lengkap, alat-alat bukti yang diperiksa di
persidangan, baik alat bukti dari pihak Penggugat maupun alat bukti dari pihak
Tergugat. Jika terdapat saksi yang diperiksa, maka nama saksi dan seluruh
keterangan saksi tersebut dicantumkan dalam Pertimbangan ini, sedangkan
Pertimbangan hukum suatu putusan perkara perdata adalah merupakan pekerjaan
ilmiah dari seorang Hakim, karena melalui Pertimbangan hukum inilah Hakim
akan menerapkan hukum kedalam peristiwa konkrit dengan menggunakan logika
hukum. Biasanya Pertimbangan hukum ini diuraikan secara sistematis, dimulai
dengan mempertimbangkan dalil-dalil Gugatan yang sudah terbukti kebenarannya
karena sudah diakui oleh Tergugat atau setidak-tidaknya tidak dibantah oleh
Tergugat. Setelah merumuskan hal yang telah terbukti tersebut, lalu akan
dirumuskan pokok perkara berdasarkan bantahan Tergugat.

Pokok perkara akan dianalisis melalui bukti-bukti yang diajukan oleh Para
pihak. Pertama akan diuji dengan bukti surat atau akta otentik/dibawah tangan
yang diakui kebenarannya. Bukti Surat tersebut juga akan dikonfrontir dengan
keterangan saksi-saksi yang sudah didengar keterangannya. Dengan cara
demikian, maka Hakim akan mendapatkan Kesimpulan dalam pokok perkara,
mana yang benar diantara dalil Penggugat atau dalilnya Tergugat. Bila yang benar
menurut Pertimbangan hukum adalah dalil Penggugat, maka Gugatan akan
dikabulkan, dan pihak Penggugat adalah pihak yang menang perkara. Sebaliknya
berdasarkan Pertimbangan hukum putusan dalil-dalil Gugatan Pengugat tidak
terbukti, dan justru dalil Jawaban Tergugat yang terbukti, maka Gugatan akan
ditolak, sehingga pihak Tergugat yang menang dalam perkara tersebut.

Jadi, bila ditinjau dari menang-kalahnya Para Pihak, maka Putusan perkara
perdata dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Gugatan dikabulkan dan Gugatan
ditolak, selain kedua Putusan tersebut, terdapat 1 (satu) jenis Putusan lain, yaitu
karena kurang sempurnanya Gugatan dikarenakan tidak memenuhi formalitasnya
suatu gugatan yaitu Putusan Gugatan tidak dapat diterima. Setelah Putusan
diucapkan oleh Hakim, maka kepada Para Pihak diberitahukan akan haknya untuk
mengajukan upaya hukum jika tidak menerima Putusan tersebut.

B. EKSEKUSI PUTUSAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP

Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Negeri


yang diterima baik oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian,
putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan
Pengadilan Tinggi yang diterima baik oleh kedua belah pihak dan tidak
dimohonkan kasasi, dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.

Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam putusan, yaitu:

 putusan declaratoir
 putusan constitutief
 putusan condemnatoir.
Putusan declaratoir, yang hanya sekedar menerangkan atau menetapkan
suatu keadaan saja, tidak perlu dieksekusi, demikian juga putusan constitutief,
yang menciptakan atau menghapuskan suatu keadaan, tidak perlu dilaksanakan.

Yang perlu dilaksanakan adalah putusan condemnatoir, yaitu putusan yang


berisi penghukuman. Pihak yang kalah dihukum
untuk melakukan sesuatu.

Putusan untuk melakukan suatu perbuatan, apabila tidak dilaksanakan


secara sukarela, harus dinilai dalam sejumlah uang (pasal 225 HIR, pasal 259
RBg) dan selanjutnya akan dilaksanakan seperti putusan untuk membayar
sejumlah uang.

Putusan untuk membayar sejumlah uang, apabila tidak dilaksanakan


secara sukarela, akan dilaksanakan dengan cara melelang barang milik pihak yang
dikalahkan, yang sebelumnya harus disita (pasal 200 HIR, pasal 214 s/d pasal 224
RBg).

Putusan mana dengan tergugat dihukum untuk menyerahkan sesuatu


barang, misalnya sebidang tanah, dilaksanakan oleh jurusita, dengan disaksikan
oleh pejabat setempat, apabila perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara.
Eksekusi hendaknya dilaksanakan dengan tuntas. Apabila setelah dilaksanakan,
dan barang yang dieksekusi telah diterima oleh pemohon eksekusi, kemudian
diambil kembali oleh tereksekusi, maka eksekusi tidak bisa dilakukan kedua
kalinya.

Jalan yang dapat ditempuh oleh yang bersangkutan adalah melaporkan


tentang hal tersebut diatas itu, kepada pihak yang berwajib (pihak kepolisian) atau
mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali barang (tanah/ tanah dan rumah
tersebut).

Putusan Pengadilan Negeri atas gugatan penyerobotan, apabila diminta


dalam petitum, bisa diberikan dengan serta-merta, atas dasar hak milik yang
diserobot.
C. PENANGGUHAN EKSEKUSI

Eksekusi hanya bisa ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, yang


memimpin eksekusi. Dalam hal sangat mendesak dan Ketua Pengadilan Negeri
berhalangan, Wakil Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan, agar eksekusi
ditunda.

Dalam rangka pengawasan atas jalannya peradilan yang baik, Ketua


Pengadilan Tinggi selaku voorpost dari Mahkamah Agung, dapat memerintahkan
agar eksekusi ditunda atau diteruskan. Dalam hal sangat mendesak dan Ketua
Pengadilan Tinggi berhalangan, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi dapat
memerintahkan agar eksekusi ditunda.

Wewenang untuk menangguhkan eksekusi atau agar eksekusi diteruskan,


pada puncak tertinggi, ada pada Ketua Mahkamah Agung. Dalam hal Ketua
Mahkamah Agung berhalangan, wewenang yang sama ada pada Wakil Ketua
Mahkamah Agung.

Kepercayaan masyarakat dan wibawa Pengadilan bertambah, apabila


eksekusi berjalan mulus, tanpa rintangan.

Agar eksekusi berjalan mulus dan lancar, kerjasarna yang baik antar
instansi terkait didaerah, perlu terus menerus dibina dan ditingkatkan.
BAB 3
PENUTUP

PROSES BERACARA PERKARA PERDATA

1. Permohonan
2. Gugatan
3. Pembuktian
4. Kesimpulan
5. Eksekusi/Putusan
DAFTAR PUSTAKA

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,


2006.

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra


Aditya bakti, 1990.

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/2298/PROSES-BERACARA-
PERKARA-PERDATA.html

https://www.academia.edu/37456791/MAKALAH_Hukum_Acara_Perdata

http://pt-palembang.go.id/index.php/berita/berita-pengadilan/berita-terkini/67-
others/170-prosedur-perkara-perdata

http://www.pa-kuningan.go.id/layanan-publik/tahapan-tahapan-beracara

Anda mungkin juga menyukai