Anda di halaman 1dari 20

AKIBAT HUKUM PEMALSUAN AKTA OTENTIK OLEH

PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH TERHADAP


KUALITAS KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA
DAN SANKSI KODE ETIK PPAT

ARTIKEL ILMIAH

Oleh:
NURUL CAHYA NOVIATI
NIM: E2B021004

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET


DAN TEKNOLOGI
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2023
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
Alamat: Jl. HR Bunyamin No. 708 Dukuhbandong, Grendeng, Purwokerto
Utara, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah 53122
Telp: (0281) 638339, Faks: (0281) 627203
Laman: www.fh.unsoed.ac.id, Email: fh@unsoed.ac.id

1. Judul Skripsi : AKIBAT HUKUM PEMALSUAN AKTA


OTENTIK OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA
TANAH TERHADAP KUALITAS KEKUATAN
PEMBUKTIAN AKTA DAN SANKSI KODE
ETIK PPAT
2. Pelaksana Penelitian
a. Nama : Nurul Cahya Noviati
b. NIM : E2B021004
3. Pembimbing/Penguji I : Prof. Dr. Angkasa, S.H., M. Hum.
4. Pembimbing/Penguji II Dr. Tedi Sudrajat S.H., M.H.
5. Penguji III : Dr. Sulistyandari, S.H., M.Hum.
6. Penguji IV : Prof. Dr. Tri Lisiani Prihatinah, S.H., M.A., Ph.D.
7. Penguji V : Dr. Budiyono, S.H., M.Hum.
Program Studi : Magister Kenoktariatan
RINGKASAN

Akibat Hukum Pemalsuan Akta Otentik Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
Terhadap Kualitas Kekuatan Pembuktian Akta Dan Sanksi Kode Etik PPAT

Pembuktian perkara adalah untuk menentukan hubungan hukum yang


sebenarnya terhadap pihak-pihak yang berperkara. Dalam perspektif pembuktian,
akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna, lengkap, dan mengikat,
yang mengindikasikan bahwa kebenaran dari informasi yang tercatat dalam akta
tersebut harus diakui oleh hakim. Namun demikian, tidak jarang PPAT sebagai
Pejabat Umum berurusan dengan proses hukum pidana seperti dimintai keterangan
sebagai saksi atau tersangka berkaitan dengan isi akta yang dibuat olehnya. Salah
satu kasus pemalsuan akta otentik yang terjadi adalah pada Pengadilan Negeri
Cilacap Perkara Nomor 44/Pid.B/2021/PN Clp. Tindak pidana pemalsuan akta
otentik yang dilakukan oleh Terdakwa SA selaku PPAT telah didakwa melakukan
pemalsuan surat berupa akta hibah. Dengan melihat hal tersebut muncul
permasalahan tentang begaimana akibat hukum dari akta otentik palsu yang dibuat
oleh PPAT terhadap kualitas kekuatan pembuktian dan akibat hukum bagi PPAT
yang melakukan pemalsuan akta otentik dari perspektif Kode Etik PPAT. Metode
penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif dengan
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil penelitian ini
menjelaskan bahwa akibat hukum pemalsuan akta otentik terhadap kekuatan
pembuktiannya adalah akta otentik tersebut mengalami penurunan mutu sebagai
alat bukti dan mempunyai cacat hukum yang menyebabkan akta tersebut batal atau
tidak sah.

Kata kunci: Pemalsuan, kekuatan pembuktian, kode etik PPAT.


SUMMARY

Legal Consequences Of Falsification Of Authentic Deeds By The Land Deed


Official Concerning The Quality Of Deed Evidence And Code Of Sanctions
Ethics PPAT

Proving a case is to determine the actual legal relationship between the parties
involved. From an evidentiary perspective, an authentic deed is a perfect, complete,
and binding means of evidence, indicating that the truth of the information recorded
in the deed must be recognized by the judge. However, it is not uncommon for
PPATs as Public Officials to deal with criminal legal processes, such as being
questioned as a witness or suspect regarding the contents of deeds made by them.
One of the cases of forgery of authentic deeds that occurred was at the Cilacap
District Court, Case Number 44/Pid.B/2021/PN Clp. The criminal act of forgery of
an authentic deed committed by the Defendant SA as PPAT has been charged with
forgery of a letter in the form of a grant deed. By seeing this, the problem arises
regarding the legal consequences of fake authentic deeds made by PPAT on the
quality of the strength of the evidence and the legal consequences for PPATs who
falsify authentic deeds from the perspective of the PPAT Code of Ethics. The
research method used in this writing is normative juridical with a statue approach
and a case approach. The results of this research explain that the legal
consequences of falsifying an authentic deed on the strength of the evidence are
that the authentic deed experiences a decline in quality as evidence and has legal
defects that cause the deed to be canceled or invalid.

Keywords: Falsification, strength of evidence, PPAT code of ethics.


A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
PPAT yang dalam Bahasa Belanda disebut dengan land titles
registrar, mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting didalam
kehidupan berbangsa dan bernegara karena pejabat ini diberi kewenangan
oleh negara, untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah di negara
Republik Indonesia. 1
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa :
“PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat
akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas
Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.”
PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum. Perbuatan
hukum yang dimaksud diatas adalah jual-beli, tukar-menukar, hibah,
pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama,
pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik, pemberian
hak tanggungan, dan pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.2
Akta otentik yang dibuat oleh PPAT memiliki kekuatan hukum yang
sangat kuat mengingat akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna,
maka tidak jarang berbagai peraturan perundangan mewajibkan peraturan
hukum tertentu dibuat dalam bentuk akta otentik, seperti dalam Pasal 95
ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 jo. Pasal 2 Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan

1
Salim, HS., Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2016, hlm. 85
2
A. P. Parlindungan, Pendaftaran T anah di Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm.
180.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, menyebutkan:
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan
dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai berikut:
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas tanah Hak
Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan;
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
PPAT dalam melakukan suatu tindakan hukum harus senantiasa
bertindak secara hati-hati agar PPAT sebelum membuat akta, harus meneliti
semua fakta yang relevan dalam pertimbangannya berdasarkan kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meneliti semua kelengkapan
dan keabsahan alat bukti atau dokumen yang diperlihatkan kepada PPAT,
serta mendengar keterangan atau pernyataan para penghadap wajib
dilakukan sebagai dasar pertimbangan untuk dituangkan di dalam akta.
Apabila PPAT kurang teliti dalam memeriksa fakta-fakta penting, itu berarti
PPAT bertindak tidak hati-hati.
Tidak jarang PPAT sebagai Pejabat Umum berurusan dengan proses
hukum pidana seperti dimintai keterangan sebagai saksi atau tersangka
berkaitan dengan isi akta yang dibuat olehnya. Seperti kasus yang
melibatkan PPAT yang dilaporkan ke Kepolisian tentang adanya tindak
pidana, seperti dugaan adanya tindak pidana pemalsuan, atau memasukan
keterangan palsu, sebagaimana diatur dalam Buku II BAB XII KUHP
tentang pemalsuan surat dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 276. Tindak
pidana pemalsuan yang dapat dituntutkan kepada PPAT selaku pejabat yang
berwenang membuat akta otentik, biasanya adalah pemalsuan terhadap akta
otentik sebagaimana diatur di dalam Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP atau
perbuatan menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta
otentik Pasal 266 ayat (1) KUHP atau tindak pidana pemalsuan pada
umumnya yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP berupa membuat
surat palsu atau memalsukan surat.
Berkaitan dengan tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh
PPAT, dikemukakan oleh LS, AM, dan DAW, bahwa sama halnya dengan
Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP, pada pokoknya berbicara tentang
keterangan palsu dalam akta otentik dan penggunaan dari keterangan palsu
tersebut yang dapat menimbulkan kerugian bagi yang menggunakannya,
karena tidak menyadari bahwa keterangan tersebut adalah palsu. Dalam hal
ini PPAT secara sengaja atau tidak disengaja bersama-sama dengan
pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk
menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan
penghadap yang lain harus dibuktikan di Pengadilan.3
Salah satu kasus pemalsuan akta otentik merupakan kasus tindak
pidana pemalsuan akta otentik yang dilakukan oleh PPAT yaitu pada
pokoknya terdakwa SA selaku PPAT telah didakwa melakukan pemalsuan
surat berupa akta hibah Nomor 15/2013 tanggal 12 Desember 2013 berupa
akta hibah atas sebidang tanah dari pemberi hibah Ny. TM dan Tuan ST
kepada penerima hibah Tuan RY. Kasus tersebut telah diputus oleh
Pengadilan Negeri Cilacap Perkara Nomor 44/Pid.B/2021/PN Clp.
Pengadilan Negeri Cilacap yang berwenang memeriksa dan mengadili
perkara terdakwa SA telah melakukan pemalsuan surat pada akta-akta
otentik. Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan
alternatif, Pertama perbuatan terdakwa SA telah didakwa melakukan tindak

3
Lysanza Salawati, Abdul Manan, dan Dhody A.R Widjajaatmadja, “Akibat Hukum Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) Karena Adanya Gugatan Terkait Dokumen Palsu Dan Keterangan Palsu
Dalam Pembuatan Akta”, Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 9, Nomor 3, Tahun 2022,
hlm. 686-687
pidana pemalsuan akta otentik sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP atau Kedua perbuatan terdakwa SA
didakwa melakukan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP.
Kasus tersebut telah dilakukan pemeriksaan dan diputus oleh
Pengadilan Negeri Cilacap, Terdakwa yang berprofesi sebagai Notaris dan
PPAT dengan wilayah Kerja Kabupaten Cilacap, oleh Majelis Hakim dalam
putusannya dinyatakan bahwa terdakwa SA telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Pemalsuan Akta Otentik"
Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dakwaan Penuntut
Umum kesatu dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut oleh
karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan. Berdasarkan
uraian di atas penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul:
“Akibat Hukum Pemalsuan Akta Otentik Oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah Terhadap Kualitas Kekuatan Pembuktian Akta Dan
Sanksi Kode Etik PPAT”
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1) Bagaimana akibat hukum dari akta otentik palsu yang dibuat oleh
PPAT terhadap kualitas kekuatan pembuktian atas akta otentik?
2) Bagaimana akibat hukum bagi PPAT pelaku pemalsuan akta
otentik dari perspektif penerapan sanksi Kode Etik PPAT?
3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan perumusan masalah
tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini pada pokoknya adalah:
1) Menganalisis akibat hukum dari akta otentik palsu yang dibuat
oleh PPAT terhadap kualitas kekuatan pembuktian atas akta
otentik.
2) Menganalisis akibat hukum bagi PPAT pelaku pemalsuan akta
otentik dari perspektif penerapan sanksi Kode Etik PPAT.
4. Kegunaan Peneilitian
a. Kegunaan Teoritis
Kegunaan secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
menambah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis,
menjadi rujukan terhadap penelitian yang akan datang, khususnya yang
berhubungan dengan akibat hukum bagi PPAT pelaku pemalsuan akta
otentik.
b. Kegunaan Praktis
1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah
untuk mengambil kebijakan terkait peraturan hukum yang mengatur
PPAT, menjadi masukan agar PPAT berhati-hati dalam pembuatan
akta otentik.
2) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan
masukan kepada masyarakat tentang hak-hak yang dapat diperoleh
apabila berperan sebagai salah satu pihak dalam pembuatan akta
otentik oleh PPAT.

B. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian : Yuridis Normatif
2. Metode Pendekatan : Pendekatan perundang-undangan (Statue Approach)
dan pendekatan kaksus (Case Approach)
3. Spesifikasi Penelitian : Preskriptif
4. Sumber Data : Data sekunder
5. Metode Pengumpulan Data : Studi Pustaka (Library Research)
6. Metode Penyajian Data : Naratif
7. Metode Analisis Data : Normatif kualitatif
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Akibat Hukum Dari Akta Otentik Yang Dibuat Oleh PPAT Terhadap
Kualitas Kekuatan Pembuktian Atas Akta Otentik
Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban,
menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari
terjadinya sengketa. Dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, akta
otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberi
sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.4
Pembuktian perkara adalah untuk menentukan hubungan hukum yang
sebenarnya terhadap pihak-pihak yang berperkara. Pembuktian dilakukan
tidak saja terhadap peristiwa-peristiwa atau kejadian kejadian saja,
melainkan juga terhadap adanya sesuatu hak juga dapat dibuktikan. Pada
dasarnya hanya hal-hal yang menjadi perselisihan saja yang perlu
dibuktikan.5
Berdasarkan Akta Hibah nomor 15/2013 tanggal 12 Desember 2013
yang dibuat oleh terdakwa sebagai Notaris PPAT telah dilakukan balik nama
atau perubahan kepemilikan pada Sertipikat Tanah Hak Milik nomor 385 /
Adiraja di Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Cilacap yang sebelumnya
atas nama TM menjadi atas nama RY. Bahwa perbuatan terdakwa tersebut
bertentangan dengan Pasal 38 ayat (1) PP No.24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah yang menyatakan : Pembuatan akta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) PP No.24 Tahun 1997 dihadiri oleh para
pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan
oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk
bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu.
Terdakwa sebagai seorang Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa para pihak yang
menghadap/hadir dan melakukan perbuatan hukum yang dibuatkan Akta

4
Pramono, Dedy. "Kekuatan pembuktian akta yang dibuat oleh notaris selaku pejabat umum
menurut hukum acara perdata di Indonesia." Lex Jurnalica 12.3, 2015, hal. 249
5
Loc.cit
olehnya haruslah orang yang berhak memenuhi syarat untuk bertindak
demikian. Bahwa sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib
menolak untuk membuat aktanya sebagaimana dimaksud Pasal 39 ayat (1)
huruf c PP No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : PPAT menolak
untuk membuat akta, jika : salah satu atau para pihak yang akan melakukan
perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) PP No.24 Tahun 1997 tidak berhak atau
tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian.
Notaris/PPAT dalam melakukan suatu tindakan hukum harus
senantiasa bertindak secara hati-hati agar notaris sebelum membuat akta,
harus meneliti semua fakta yang relevan dalam pertimbangannya
berdasarkan kepada perundang-undangan yang berlaku. Notaris dalam
menjalankan tugas dan jabatannya harus menerapkan Prinsip kehati-hatian
sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Jabatan Notaris yang dimana untuk mewajibkan
Notaris/PPAT bertindak secara amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak
berpihak, dan menjaga kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan
hukum. Pemaknaan kata saksama dalam pasal tersebut berarti cermat, teliti
dan hati-hati.
Umumnya, kekuatan pembuktian akta yang dibuat oleh PPAT sebagai
akta otentik, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1870 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, sering dianggap setara dengan kekuatan
pembuktian penuh sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata.
Namun, seringkali pengaturan terkait Peraturan Jabatan PPAT dan status
akta PPAT sebagai akta otentik diabaikan, yang seharusnya disesuaikan
dengan hukum tanah nasional yang diatur dalam Dasar Pokok-Pokok
Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang mencabut
UU 5/1960, khususnya mengenai sistem pendaftaran tanah.
Berbagai uraian diatas jika dihubungkan dengan permasalahan yang
terdapat pada Putusan Nomor 44/Pid.B/2021/PN Clp. Pengadilan Negeri
Cilacap yang memiliki yurisdiksi dalam mengadili kasus melibatkan
terdakwa SA telah menyatakan bahwa terdakwa melakukan pemalsuan
dokumen dalam akta-akta autentik.
Sistem pembuktian Indonesia yaitu menggunakan alat bukti tertulis
yang dijadikan sebagai alat bukti yang utama ataupun primer, karena alat
bukti tertulis menyandang tingkatan yang utama diantara bukti lainnya
sebagaimana dikemukakan oleh undang-undang sementara pengutamaan
alat bukti tertulis dikarenakan alat bukti tertulis dijadikan pembuktian.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata akta otentik ialah suatu akta
yang diterbitkan yang bentuknya telah diatur dalam undang-undang,
diterbitkan oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkompeten di bidang
itu ditempat atau dimana dibuatnya akta, dan adapun pejabat umum yang
berkompeten menerbitkan akta otentik yaitu seorang Notaris maupun
PPAT.6
Dalam perspektif pembuktian, akta otentik merupakan alat
pembuktian yang sempurna, lengkap, dan mengikat, yang mengindikasikan
bahwa kebenaran dari informasi yang tercatat dalam akta tersebut harus
diakui oleh hakim. Karenanya, akta otentik yang termasuk dalam kategori
akta partai, karena berisikan keterangan dari berbagai pihak yang menjadi
dasar pembuktian akta otentik, dianggap sebagai fakta yang benar. Dalam
situasi ini, timbul permasalahan jika isi akta partai tersebut tidak sesuai
dengan realitas, karena pihak yang terlibat memberikan keterangan palsu
kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang menjadi dasar dalam
pembuatan akta autentik.
Bila penyebab permasalahan timbul akibat kelalaian baik sengaja
maupun tidak sengaja dari PPAT maka, berakibat akta tersebut mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, atau menjadi batal demi
hukum, yang mana dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita
kerugian menuntut penggantian kepada PPAT. Permasalahan sebenarnya

6
Septianingsih, Komang Ayuk, I. Nyoman Putu Budiartha, and Anak Agung Sagung Laksmi Dewi.
"Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik Dalam Pembuktian Perkara Perdata." Jurnal Analogi Hukum 2.3,
2020, hal. 337-338.
bukan muncul dari kesalahan PPAT, melainkan muncul karena adanya
ketidakjujuran klien terkait kebenaran syarat administrasi sebagai dasar
pembuatan akta, yang berakibat akta tersebut dibatalkan demi hukum.
Penyimpangan perilaku Terdakwa SA sebagai Notaris/PPAT dalam
kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya
mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu obyek.
Dilihat dari sudut pandang Hukum Pidana yang berkaitan dengan aspek
formal pembuatan akta otentik oleh Terdakwa SA telah melakukan tindakan
hukum membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat
palsu/yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1), (2) KUHP) dan melakukan
pemalsuan (Pasal 264 KUHP).
Akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna,
namun apabila melanggar ketentuan tertentu akan terdegradasi nilai
pembuktiannya menjadi kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan. Suatu akta di bawah tangan nilai pembuktiannya mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna sepanjang para pihak mengakuinya,
sedangkan suatu akta yang dinyatakan batal demi hukum, maka akta
tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dibuat.7
Dengan demikian, mengacu pada ketentuan Pasal 1320 terbut, Akta
hibah yang menjadi obyek sengketa yang tidak memenuhi syarat kausa yang
halal karena terdapat keterangan palsu yang mana melanggar ketentuan
Pasal 294 KUHP atau kausanya tidak diperbolehkan. Akibat dari perbuatan
pemalsuan Akta Hibah obyek sengketa tersebut ialah menjadi batal demi
hukum. Dalam hal ini, Akta Hibah yang batal demi hukum dapat menjadi
alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian
biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
Dalam hal pembuktian materiil segala keterangan maupun pernyataan
yang disampaikan kepada PPAT yang ada dalam akta tersebut haruslah

7
Anugerah Yunus, M. Syukri Akub dan Anwar Borahima, “Pertanggungjawaban Notaris Atas
Penempatan Keterangan Palsu Dalam Akta Otentik”, Jurnal Analisis, Volume 3, Nomor 2,
Desember 2014, hlm. 192.
benar dan dimuat dalam akta tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa isi dari akta otentik menjadi pembuktian bagi para pihak maupun
para ahli waris dan mempunyai suatu kepastian hukum.
Dengan demikian berdasarkan hukum positif yang berlaku, maka akta
yang dibuat terdakwa SA mengandung unsur-unsur tindak pidana surat
palsu, perbuatan tersebut melanggar Pasal 263 dan 264 KUHP, sehingga
sesuai Pasal 1320 KUHPerdata ayat (4), apabila di dalam suatu perjanjian
tidak terpenuhinya syarat obyektif akibat hukum perjanjian dalam isi akta
tersebut adalah batal demi hukum atau batal sejak perjanjian tersebut dibuat
(nitiegbaarheid) dan akta yang dibuat oleh notaris tersebut menjadi
terdegradasi nilai kekuatan pembuktiannya menjadi sebatas seperti akta di
bawah tangan saja.
2. Akibat Hukum Bagi PPAT Pelaku Pemalsuan Akta Autentik Dari
Perspektif Penerapan Sanksi Kode Etik PPAT
Pejabat Pembuat Akta Tanah atau yang bisa disingkat dengan PPAT
adalah pejabat yang berwenang membuat akta daripada perjanjian-
perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan
sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang
dengan hak atas tanah sebagai tanggungan. Sedangkan pengertian Pejabat
umum menurut Boedi Harsono adalah seseorang yang diangkat oleh
Pemerintah dengan tugas dan kewenangan memberikan pelayanan kepada
umum dibidang tertentu.8
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 112/KEP-4.1/IV/2017 menjelaskan bahwa
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang PPAT memiliki Kode Etik

8
Maharani, Afirna Dias, Budi Santoso, and Fifiana Wisnaeni. "Tanggung Jawab Pejabat Pembuat
Akta Tanah Terhadap Pelanggaran Kode Etik Dalam Menjalankan Profesinya." Notarius Vol. 114,
No. 1: 39-40.
yang wajib ditaati. Kode Etik ini berlaku bagi seluruh PPAT dan bagi para
PPAT Pengganti, baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan (khusus
bagi yang melaksanakan tugas jabatan PPAT) ataupun dalam kehidupan
sehari-hari. Pasal 1 ayat (2) Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 112/KEP-4.1/IV/2017
menjelaskan bahwa:
“Kode Etik PPAT adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh
perkumpulan berdasarkan keputusan Kongres dan/atau yang ditentukan
oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh anggota
perkumpulan PPAT dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan
sebagai PPAT, termasuk di dalamnya para PPAT Pengganti”
Notaris/PPAT diharuskan agar jujur, adil dan juga transparan saat
membuat suatu akta agar terjamin seluruh pihak terkait akta otentik, hal ini
dikarenakan seorang notaris mencakup kewenangannya tidaklah semata-
mata untuk keperluan perorangan tetapi juga untuk keperluan masyarakat
dan notaris juga memiliki kewajiban dalam menjaminkan keabsahan atas
akta yang dibuat olehnya. Selain itu, notaris juga harus berpegang teguh dan
tidak melanggar kode etik jabatan notaris.9
Terkait dalam notaris melaksanakan suatu tindakan yang melawan
hukum didasarkan pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Kode etik PPAT digunakan sebagai pedoman bersama organisasi
PPAT dalam rangka menetapkan sanksi terhadap anggota organisasi IPPAT
yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan sesuai
dengan ketentuan dalam kode etik. Kode etik ini berlaku bagi seluruh PPAT
dan bagi para PPAT Pengganti, baik dalam rangka melaksanakan tugas
jabatan (khusus bagi yang melaksanakan tugas jabatan PPAT) ataupun
dalam kehidupan sehari-hari.10

9
Septianingsih, Op.Cit., hal. 339
10
Tri Andaru Wibowo, Sunardi, Op.Cit., hal. 921
Kode etik PPAT berisikan tentang kewajiban, larangan, hal-hal yang
dikecualikan, dan sanksi serta eksekusi sanksi bagi PPAT yang melanggar
kode etik. sesuai dengan Keputusan Menteri ATR/BPN Nomor 112/KEP-
4.1/IV/2017 tentang Pengesahan Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah. Semua PPAT diwajibkan menyesuaikan praktiknya maupun perilaku
dalam menjalankan jabatannya dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam peraturan atau kode etik keputusan Menteri tersebut.
Dalam menjalankan tugas dan jabatannya, PPAT memiliki kode
kewajiban-kewajiban yang harus ditaati berdasarkan Kode Etik PPAT.
Kewajiban PPAT diatur dalam Pasal 3 Keputusan Menteri ATR/BPN
tentang Kode Etik PPAT. Selain kewajiban, PPAT juga terdapat larangan
yang mana di atur dalam Pasal 4 Keputusan Menteri ATR/BPN Nomor
112/KEP-4.1/IV/2017.
Berdasarkan Pasal di atas apabila PPAT melakukan pelanggaran Kode
Etik maka dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Keputusan
Menteri ATR/BPN Nomor 112/KEP-4.1/IV/2017 Pasal 6 (1) yaitu sebagai
berikut:
a. teguran;
b. peringatan;
c. schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan
IPPAT;
d. onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan PPAT; dan
e. pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
perkumpulan PPAT.
Akibat hukum dari pemalsuan Akta Hibah nomor 15/2013 yang dibuat
oleh Terdakwa SA berdasarkan perspektif Kode Etik PPAT dapat dikenakan
sanksi sebagaimana diatur dalam dalam Keputusan Menteri ATR/BPN
Nomor 112/KEP-4.1/IV/2017 Pasal 6 (1). Terdakwa SA tidak menjalankan
kewajibannya sebagaimana diatur dalam Kode Etik PPAT dalam Pasal 3 (f)
saat membuat Akta Hibah nomor 15/2013.
Penerapan sanksi atas pelanggaran kode etik PPAT dilakukan oleh
Majelis Kehormatan. Pasal 1 angka (8) Kode Etik PPAT menjelaskan bahwa
Majelis Kehormatan suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari
keberpihakan dalam perkumpulan IPPAT yang mempunyai tugas dan/atau
kewajiban untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan penertiban
maupun pembenahan, serta mempunyai kewenangan untuk memanggil,
memeriksa dan menjatuhkan putusan, sanksi atau hukuman kepada anggota
perkumpulan IPPAT yang melakukan pelanggaran Kode Etik.
PPAT sebagai pejabat publik, jika dalam melaksanakan tugas tidak
sesuai dengan kewenangannya bisa dikenakan tindakan sanksi administratif
sampai dengan pemberhentian dari jabatannya oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional Indonesia. Terdakwa SA yang telah diputus bersalah
oleh putusan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor 44/Pid.B/2021/PN Clp
karena telah melakukan pemalsuan Akta autentik tentang Hibah Nomor
15/2013 dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Pasal 4 huruf r
angka (1) yaitu melakukan perbuatan yang secara umum disebut sebagai
pelanggaran terhadap Kode Etik PPAT, antara lain pada pelanggaran-
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Jabatan PPAT
dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan tugas
pokok PPAT.
Selain dari ketentuan-ketentuan di atas, Kode Etik IPPAT juga
mengatur apabila terjadi pelanggaran di luar dari Keputusan Menteri
ATR/BPN Nomor 112/KEP-4.1/IV/2017 sebagaimana dalam Pasal 4 huruf
(r) ayat (1), yaitu melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum
disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik PPAT, antara lain pada
pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Peraturan
Jabatan PPAT dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang terkait
dengan tugas pokok PPAT. Berdasarkan ketentuan pada pasal tersebut, maka
selain dari sanksi administratif sebagaimana disebutkan pada Pasal 6
Keputusan Menteri ATR/BPN No. 112/KEP-4.1/IV/2017, PPAT yang
melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan lain yang
berhubungan dengan tugas jabatannya dapat dikenakan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal tersebut, apabila PPAT saat menjalankan tugas
jabatannya melakukan suatu perbuatan yang bukan termasuk larangan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 huruf a – q, namun perbuatan
tersebut bertentangan peraturan perundang-undangan, maka PPAT tersebut
dianggap telah melakukan pelanggaran Kode Etik. Salah satu tugas pokok
PPAT adalah membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau hak milik sebagaimana ketentuan pada Pasal
1 ayat (1) UU No. 24 tahun 2016 tentang Peraturan Jabatan PPAT.
Akta Hibah obyek sengketa adalah perbuatan hukum mengenai hak
atas tanah. Sehingga, dari perspektif Kode Etik IPPAT, perbuatan pemalsuan
Akta Hibah yang dilakukan terdakwa SA sebagai Pejabat PPAT telah
melanggar ketentuan Pasal 4 huruf (r).

D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Akibat hukum dari akta otentik palsu yang dibuat oleh PPAT
terhadap kualitas kekuatan pembuktian atas akta otentik menjadi
mengalami penurunan kualitas sebagai alat bukti. Akta autentik
yang memiliki kekuatan bukti sempurna dan mengikat, serta telah
mencukupi batas minimal alat bukti yang sah tanpa diperlukan alat
bukti lain dalam sengketa hukum mengalami kemunduran,
kemerosotan, atau penurunan mutu dalam arti menjadi lebih rendah
dalam kekuatan sebagai alat bukti lengkap dan sempurna menjadi
permulaan pembuktian seperti akta di bawah tangan dan memiliki
cacat hukum yang menyebabkan pembatalan atau tdak sahnya akta
tersebut.
2. Pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi bagi PPAT yang melakukan
pelanggaran kode etik dilakukan oleh Majelis Kehormatan Daerah
pada tingkat pertama dan Majelis Kehormatan Pusat pada tingkat
banding sesuai kewenangan masing masing sebagaimana diatur
dalam Pasal 8, Pasal 9 dan 10 Keputusan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 112/KEP-
4.1/IV/2017.
2. Saran
Saran yang dapat penulis kemukakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Diharapkan Notaris/PPAT mengedepankan rasa tanggung jawab,
mandiri, jujur, dan tidak berpihak dalam proses dan menerima
permintaan pembuatan akta serta menjunjung harkat dan martabat
sumpah dan organisasi Notaris sehingga Akta yang dibuat tidak
merugikan pihak lain dan tidak menimbulkan perkara hukum
kedepannya.
2. Notaris/PPAT diharuskan lebih berpedoman pada ketentuan-
ketentuan dalam Peraturan Jabatan PPAT dan ketentuan
perundang-undangan lainnya yang terkait dengan tugas pokok
PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya. Masyarakat harus
lebih berhati-hati dalam melakukan pembuatan akta karena
pembuatan akta dimaksudkan untuk mendapatkan pembuktian akta
otentik dalam suatu perbuatan hukum yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Salim, HS., Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2016.
Parlindungan, A. P., Pendaftaran T anah di Indonesia, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 1999.
Jurnal:
Maharani, Afirna Dias, Budi Santoso, and Fifiana Wisnaeni. "Tanggung Jawab
Pejabat Pembuat Akta Tanah Terhadap Pelanggaran Kode Etik Dalam
Menjalankan Profesinya." Notarius Volume 114, Nomor 1.
Pramono, Dedy. "Kekuatan pembuktian akta yang dibuat oleh notaris selaku pejabat
umum menurut hukum acara perdata di Indonesia." Lex Jurnalica Volume 12,
Nomor 3, 2015.
Salawati, Lysanza. Abdul Manan, dan Dhody A.R Widjajaatmadja, “Akibat Hukum
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Karena Adanya Gugatan Terkait
Dokumen Palsu Dan Keterangan Palsu Dalam Pembuatan Akta”, Salam:
Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 9, Nomor 3, Tahun 2022.
Septianingsih, Komang Ayuk, I. Nyoman Putu Budiartha, and Anak Agung Sagung
Laksmi Dewi. "Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik Dalam Pembuktian Perkara
Perdata." Jurnal Analogi Hukum Volume 2, Nomor 3, 2020.
Yunus, Anugerah. M. Syukri Akub dan Anwar Borahima, “Pertanggungjawaban
Notaris Atas Penempatan Keterangan Palsu Dalam Akta Otentik”, Jurnal
Analisis, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014.
Wibowo, Tri Andaru. Sunardi, “Kepatuhan PPAT Kabupaten Malang Terhadap
Kode Etik Oleh Majelis Pembina Dan Pengawas Pejabat Pembuat Akta Tanah
Daerah (MP2D)”, Jurnal Hukum Dan Kenotariatan Volume 6, Nomor 2, Mei
2022.

Anda mungkin juga menyukai