Anda di halaman 1dari 24

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

TERHADAP KESALAHAN KONSTRUKSI HUKUM DALAM


PENGALIHAN HARTA WARIS YANG BELUM TERBAGI
(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3693K/PDT/2019)

Gedalya Iryawan Kale, Yuli Indrawati, Liza Priandhini


Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
gedalyakale95@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini membahas mengenai pengalihan hak atas tanah yang merupakan harta waris
yang belum terbagi dan dialihkan secara sepihak oleh salah satu ahli waris tanpa persetujuan ahli
waris lainnya dengan akta jual beli yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pada harta waris
yang dialihkan terdapat Hak bersama yang muncul setelah meninggalnya pewaris, menimbulkan
hak bersama yang terikat pada hak atas tanah yang dialihkan. Adapun permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini adalah: (a)tanggung jawab PPAT terhadap kesalahan kosntruksi
hukum serta (b)status kepemilikan objek harta waris yang belum terbagi dan telah dialihkan.
Pembahasan penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan dan analisis Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3693k/PDT/2019. Metode penelitian yuridis
normatif, tipologi penelitian yang digunakan adalah penelitian preskriptif. Hasil analisa bahwa:
(a) PPAT lalai sehingga menyebabkan kesalahan konstruksi hukum dalam pengalihan harta waris
yang belum terbagi dan kelalaian tersebut berdasarkan Permen ATR/BPN Nomor 2 Tahun 2018
tentang Pembinaan dan Pengawasan PPAT, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat
dengan ancaman sanksi diberhentikan dengan tidak hormat.(b) Mengenai status kepemilikan atas
harta waris tersebut, karena telah dilakukan balik nama oleh Kantor Pertanahan, maka sampai
perkara berjalan status objek merupakan milik dari pembeli, kendati merupakan hak bersama
yang dimiliki oleh seluruh ahli waris berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata. Saran yang dapat
diberikan adalah: dalam pembuatan akta, PPAT harus meminta seluruh dokumen pelengkap
sebagai dasar sehingga dapat menilai keabsahan dan kewenangan penghadap dalam membuat
akta. Untuk ahli waris sesaat setelah warisan terbuka agar menginventaris kekayaan pewaris dan
mengurus dokumen seperti akta kematian dan surat keterangan ahli waris

Kata kunci: Konstruksi Hukum, Pengalihan Hak, Harta Waris


Abstarct

Land transfer on undivided inherited property by one of the heir, without other consent the
focus of this research. Collective rights that the heir are entitled to, began when the original
owner passed away. Focus point on this research are (a) Land Deed Official responsibility for
mistaken the legal contruction on land transfers and (b) ownership status on transferred
undivided inherited property without consent by the rest of the heir. Method used in this
research is juridis normative, research type is prescriptive. Result shown in this research are:
(a) All of the heirs consent are essential in the undivided inherited property transfer. The Deed
of transfer made by Land Deed Official are open for cancel by the court. The Land Deed
Official are responsible for the deed by law. Acording to Land Minister Regulation number 2
year 2018, the Land Deed Official could be dishonorably dismissed. (b) And for the ownership
status of the property, for the property is undivided common rights, the property ownership
suppose to originally transfer to all of the heir by then it can be divided by the heir. The
common property concept is written in Indonesian Marital Act. and by law, the property itself
belong to the heir when the original owner is passed that written in article 832 Indonesian Civil
Code. Suggestion based on this research are:(a) Land Deed Official are obligated to making
the deed based on legal document for that can show the legality and authorization of the subject
and object in the deed.(b)The heir must manage the inherited property and legal document such
as death certificate and letter of heir statement.

Keywords: Legal Construction, Land Transfer, Co Property


1. PENDAHULUAN
Pada bagian pendahuluan, akan diuraikan hal yang menjadi latar belakang penelitian, juga
permasalahan yang akan uraikan pada bagian Pembahasan serta argumentasi hukum terhadap
permasalahan yang dibahas.

1.1. Latar Belakang


Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat
akta mengenai perbuatan hukum tertentu berkaitan dengan pertanahan. PPAT dalam
menjalankan jabatannya dituntut untuk selalu berhati-hati, cermat, teliti dan saksama.
Kewnangan PPAT dalam membuat Akta diikuti dengan tanggung jawab untuk membuat akta
sesuai dengan bentuk yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Akta yang
dibuat PPAT akan menjadi akta otentik yang digunakan sebagai alat bukti suatu perbuatan
hukum dilakukan atas tanah dan menjadi bentuk kepsatian hukum bagi para pihak dalam
perbuatan hukum tersebut. Esensi akta PPAT dalam konsepsi ini, yaitu fungsi akta sebagai alat
pembuktian juga mengenai akibat hukum. Akta PPAT dikatakan sah apabila akta yang
dibuat oleh PPAT telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan. Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut akan mengakibatkan suatu akta PPAT
menjadi dapat dibatalkan atau batal demi hukum dan merugikan pihak terkait.
Dalam pelaksanaan tugas dan jabatannya, PPAT hanya diberi kewenangan untuk
membuat akta autentik didalam wilayah daerah kerjanya, kecuali dalam hal-hal khusus yang
memerlukan izin Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi. Berdasarkan
Peraturan Jabatan PPAT, tugas utama dari PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan
dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh suatu
perbuatan hukum itu.1
Dalam membuat akta, PPAT yang merupakan pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta tanah harus memiliki kecakapan, ketelitian, serta kemampuan dalam bidang
hukum tanah, agar akta-akta yang dibuatnya tidak menimbulkan permasalahan di kemudian
hari bagi para pihak yang bersangkutan, karena kekeliruan atas akta PPAT dapat menyebabkan
tercabutnya hak seseorang atau terbebaninya seseorang atas suatu kewajiban
Akta PPAT merupakan salah satu wujud kepastian hukum terhadap para pihak yang
melakukan perbuatan hukum tertentu atas tanah dan juga dipakai sebagai dasar untuk
melakukan pendaftaran tanah. Akta PPAT merupakan akta autentik yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2016 tentang Perubahan
Peraturan Jabatan PPAT menjelaskan yang dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.2 untuk dapat dikatagorikan
sebagai akta dengan kekuatan pembuktian yang autentik, maka akta tersebut harus memenuhi
tiga syarat:

1. Akta dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang;


2. Akta dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) pegawai-pegawai umum.
Pengawai umum disini mengacu pada pengertian pejabat umum (openbaar
ambtenaar). Kata “dihadapan” menunjukkan bahwa akta tersebut dibuat atas
permintaan seseorang, sedangkan akta yang dibuat “oleh” pejabat umum karena
adanya suatu kejadian, pemeriksaan, keputusan dan sebagainya (berita acara rapat,
protes wesel, dan lain-lain);

1
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP Nomor 37 Tahun
1998, LN No. 52 Tahun 1998, TLN No. 3746, Ps. 2 Ayat 1.
2
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 24 Tahun 2016, LN No. 120 Tahun
2016, TLN No. 5893, Ps. 1 butir 4.
3. Bahwa akta itu dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk membuat akta autentik
ditempat akta tersebut dibuat. Hal ini mengacu pada kewenangan pejabat itu untuk
membuat akta autentik. 3
Jika dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria, hak atas tanah merupakan unsur
yang utama terhadap kegiatan tertentu yang berkaitan dengan tanah. Hak atas tanah merupakan
hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan
bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh,
wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi
kriteria atau tolak pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum
tanah.4 Adapun hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria adalah:
1. Hak Milik;
2. Hak Guna Usaha;
3. Hak Guna Bangunan;
4. Hak Pakai;
5. Hak Sewa;
6. Hak Membuka Tanah;
7. Hak Memungut Hasil Hutan;
8. Hak-hak lain yang tidak termasuk hak-hak di atas yang akan ditetapkan dengan
undang-undang dan hak-hak yang sifatnya sementara. 5
Hak atas tanah dibuktikan dengan surat tanda bukti hak, yang saat ini kita kenal dengan
istilah sertipikat. Sertipikat memuat data data yuridis mengenai alas hak atas tanah dan
menjadi alat bukti yang kuat. Sebelum melaksanakan kewenangannya dalam membuat akta
mengenai pemindahan ataupun pembebanan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah
susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada kantor pertanahan mengenai
kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan
dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan
sertipikat asli.6
Hak atas tanah sebagai harta tidak bergerak, dapat dialihkan dari pihak yang satu ke
pihak yang lain. Adapun peralihan hak atas tanah terjadi karena adanya suatu perbuatan hukum
atau karena peristiwa hukum. Peralihan hak atas tanah yang terjadi karena perbuatan hukum
diantaranya adalah jual beli, hibah dan pembagian hak bersama. Selain itu peralihan hak atas
tanah juga dapat terjadi karena suatu peristiwa hukum, yaitu pewarisan. Pada saat pemilik hak
atas tanah meninggal dunia, demi hukum segala kebendaan miliknya menjadi milik ahli
warisnya yang sah7 sebagaimana dimuat dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Akta-akta autentik berkaitan dengan tanah yang dapat dibuat oleh PPAT ada delapan
macam akta, antara lain:
1. Akta jual-beli;
2. Akta tukar menukar;
3. Akta hibah;
4. Akta inbreng atau akta pemasukan dalam perusahaan;
5. Akta pembagian hak bersama;
6. Akta pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah hak milik;
7. Akta pemberian hak tanggungan, dan
8. Akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.
3
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, cet. 2, (Jakarta: Erlangga, 1982), hlm. 48.

Budi Harsono Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria Isi dan
4

Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 283.

Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN. No. 104 Tahun 1960, TLN.
5

No. 2043, Ps. 16.


6
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, Ps.38.
7
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti
dan R. Tjitrosudibio. Cet ke-34 (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), Ps. 830.
Akta PPAT merupakan alat untuk membuktikan telah dilakukannya suatu perbuatan
hukum. Oleh karena itu apabila perbuatan hukum itu batal atau dibatalkan, akta PPAT yang
bersangkutan tidak berfungsi lagi sebagai bukti perbuatan hukum tersebut. Dalam pada itu
apabila suatu perbuatan hukum dibatalkan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan
sedangkan perbuatan hukum itu sudah didaftar di Kantor Pertanahan, maka pendaftaran tidak
dapat dibatalkan. Perubahan data pendaftaran tanah menurut pembatalan perbuatan hukum itu
harus didasarkan atas alat bukti lain, misalnya putusan Pengadilan atau akta PPAT mengenai
perbuatan hukum yang baru. Berkaitan dengan fungsi akta PPAT, Sudikno Mertokusumo
memberikan pengertian akta secara umum, bahwa akta mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi formil (formalitas causa) yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau
sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat suatu
akta, disini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum;
2. Fungsi alat bukti (probationis causa) bahwa akta itu dibuat sejak semula dengan
sengaja untuk pembuktian dikemudian hari, sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam
bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian, tetapi hanyalah agar dapat
digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari. 8
Dari pendapat Sudikno, Mertokusumo tersebut, akta yang mempunyai fungsi formil
bukan untuk sahnya perbuatan hukum, begitu pula dalam ketentuan PP No. 10 Tahun 1961
pada Pasal 19 tidak menyebutkan akta PPAT sebagai syarat yang menentukan keabsahan
perjanjian pengalihan hak atas tanah, namun adanya akta tersebut dimaksudkan sebagai alat
bukti sempurna tentang adanya pengalihan hak tersebut.9
Ketentuan kewajiban bagi PPAT mengatur agar PPAT melaksanakan jabatannya secara
jujur, teliti, bertanggung jawab, dan tidak berpihak.10 PPAT bertanggung jawab untuk
memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan, seperti
mencocokan data yang terdapat dalam sertipikat dengan daftar-daftar yang ada di Kantor
Pertanahan.
Larangan bagi PPAT dalam melaksanakan jabatannya dalam membuat akta dimuat
dalam Pasal 4 Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah. Larangan bagi PPAT dalam
menjalankan jabatannya ialah tidak menjalankan kewajibannya sebagai PPAT sebagaimana
telah diatur baik dalam Kode Etik maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Adapun
pelanggaran terhadap larangan-larangan yang dimaksud didalam kode etik maupun
pelanggaran hukum yang dilakukan PPAT sudah diatur mengenai sanksi bagi PPAT yang
bersangkutan. Pengaturan tersebut dimuat dalam Pasal 6 Kode Etik PPAT dan juga termuat
dalam Lampiran II Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2018 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Apabila terdapat pelanggaran terhadap larangan tersebut, maka PPAT yang
bersangkutan dapat diberi sanksi. Sanksi yang diberikan bagi PPAT yang melakukan
pelanggaran, akan bergantung pada pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT. Dalam Kode Etik
PPAT bentuk sanksi-sanksi dimuat dalam Pasal 6 adalah:
1. teguran;
2. peringatan;
3. schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT;
4. onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT; dan
5. pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan IPPAT.11
Dalam hal pembuatan akta, maka berdasarkan ketentuan Pasal 96 ayat (4) Peraturan
8
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke -8, Cetakan Pertama, (Bandung:
Liberty, 2009), hlm. 161-162.
9
Herlin Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Hukum Perjanjian
Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia), Cet. Ke-2, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2015), hlm. 263.
10
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia,
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 112/KEP-4.1/IV/2017
tentang Pengesahan Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Kode Etik PPAT, Ps. 3 huruf f.

11
Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Ps. 6.
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012, PPAT diberikan kewenangan untuk
menyiapkan dan membuat akta sebagaimana dimaksud yang dilakukan oleh masing- masing
PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara atau PPAT Khusus. Dalam melaksanakan
kewenangannya menyiapkan dan membuat akta maka PPAT diwajibkan untuk memastikan
terpenuhinya syarat-syarat formil dan materiil suatu perbuatan hukum yang berkaitan dengan
tanah. Dalam memastikan syarat-syarat perbuatan hukum atas tanah yang dimaksud, PPAT
dalam menyiapkan akta, wajib untuk meminta kelengkapan dokumen yang berkaitan dengan
perbuatan hukum yang akan dibuatkan aktanya seperti kelengkapan identitas para pihak dan
kelengkapan dokumen objek. Dokumen kelengkapan identitas diantaranya ialah Kartu Tanda
Penduduk, Kartu Keluarga, dan Kutipan Akta Perkawinan apabila penghadap yang akan
melakukan perbuatan hukum memiliki pasangan dan atau objek merupakan harta bersama.
Apabila pemilik atau salah satu pemilik sudah meninggal dunia, maka dokumen terkait
identitas penghadap juga harus dilengkapi dengan Akta Kematian, Surat Keterangan AhliWaris
dan surat atau akta lain yang ada sebagai bukti keabsahan penghadap. Dokumen yang terkait
dengan objek ialah, Sertipikat sebagai tanda bukti hak, Surat Penerimaan Pajak Terhutang
Pajak Bumi dan Bangunan (SPPTPBB) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan dokumen
lain yang menunjuk keabsahan objek.
Setelah memperoleh dokumen-dokumen tersebut, maka PPAT diwajibkan untuk
melakukan pengecekan/clearance sertipikat pada Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten setempat
dimana objek tersebut berada.Pengecekan yang dilakukan ialah untuk memeriksa keabsahan
dan kesesuaian data dengan buku tanah pada Kantor Pertanahan. Apabila pengecekan sudah
dilakukan dan hasil pengecekan sudah sesuai dengan buku tanah, maka barulah akta dapat
ditandatangani. Dalam membuat akta, PPAT juga harus memastikan kewenangan para pihak
yang akan menandatangani akta. Kewenangan yang dimaksud ialah berkaitan dengan syarat
sahnya suatu perjanjian yaitu kecakapan bertindak hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(KUHPerdata).
Pengalihan hak merupakan beralihnya hak milik seseorang kepada orang lain, dengan
jalan jual beli atau tukar-menukar atau dengan cara lain yang dibenarkan oleh hukum. Hak
milik dapat dipindahkan haknya kepada pihak lain (dialihkan) dengan cara jual-beli, hibah,
tukar-menukar, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk memindahkan hak milik.
Pengalihan hak atas tanah umumnya terjadi karena perbuatan hukum atau karena
peristiwa hukum.Pengalihan hak yang terjadi karena perbuatan hukum diantaranya jual beli,
tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, pembagian hak bersama dan perbuatan
hukum lainnya. Sedangkan untuk pengalihan hak atas tanah yang disebabkan karena peristiwa
hukum ialah yang disebabkan karena kematian atau pewarisan. Beberapa macam peralihan hak
atas tanah diantaranya sebagai berikut:
1. Jual beli tanah menurut Hukum Adat, adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas
tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak
tersebut harus dilakukan dihadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang
menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga
perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan
pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak.
2. Jual beli tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria, dalam Undang-Undang
Pokok Agraria istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26 Undang-Undang
Pokok Agraria, yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-
pasal lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai
dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja
untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah,
tukar menukar, dan hibah wasiat. Jadi, meskipun dalam pasal hanya disebutkan
dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas
tanah karena jual beli.12
3. Penghibahan tanah, hibah tanah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain
dengan tidak ada penggantian apa pun dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada
kontraprestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan
pada saat si pemberi masih hidup. Inilah yang berbeda dengan waris, yang mana
waris diberikan sesudah si pewaris meninggal dunia.
4. Pewarisan tanah, perolehan hak milik atas tanah dapat juga terjadi karena pewarisan
dari pemilik kepada ahli waris sesuai dengan Pasal 26 Undang-Undang Pokok
Agraria. Pewarisan dapat terjadi karena ketentuan undang-undang ataupun karena
wasiat dari orang yang mewasiatkan.13
Salah satu sebab peralihan hak atas tanah adalah karena pewarisan. Pewarisan sendiri
terjadi karena terdapat orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaannya yang
beralih kepada ahli waris. Pembahasan tentang hukum waris pada dasarnya menyangkut 3
(tiga) hal pokok, yaitu apa yang merupakan objek pewarisan (harta peninggalan), siapa yang
berhak atas itu (ahli waris), dan bagaimana aturan pembagiannya. 14 Hukum waris di Indonesia
masih bersifat pluralistis mengingat beraneka ragamnya corak budaya, agama, sosial, dan adat
istiadat serta sistem kekeluargaan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia.
Hukum waris di Indonesia berbeda-beda, antara lain:
1. Adanya hukum waris islam yang berlaku untuk segolongan penduduk Indonesia yang
beragama Islam;
2. Adanya hukum waris menurut hukum perdata barat yang berlaku untuk golongan
penduduk yang tunduk pada hukum Waris Perdata;
3. Adanya hukum adat yang di sana sini berbeda-beda, tergantung pada daerah masing-
masing, yang berlaku bagi orang-orang yang tunduk kepada Hukum Adat.
Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,
mengemukakan bahwa hukum waris adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang
mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. 15
Kewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memperlihatkan beberapa unsur,
yaitu:
a. Seorang peninggal warisan atau erflater yang pada wafatnya meninggalkan
kekayaan;
b. Seseorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak menerima
kekayaan yang ditinggalkan itu;
c. Harta Warisan (nalatenschap), yaitu ujud kekayaan yang ditinggalkan dan beralih
kepada ahli waris.
Syarat-syarat untuk memperoleh warisan yaitu :
1. Syarat yang berhubungan dengan pewaris
Untuk terjadinya pewarisan maka si pewaris harus sudah meninggal dunia/mati,
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
2. Syarat yang berhubungan dengan ahli waris
Orang-orang yang berhak/ahli waris atas harta peninggalan harus sudah ada atau
masih hidup saat kematian si pewaris.
Ahli waris dimungkinkan untuk mewaris dengan ketentuan:
12
Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN. No. 104 Tahun 1960, TLN. No.
2043, Ps. 26.
13
Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal.71.

14
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris. (Bandung: Alumni, 1993), hal.47.

15
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hal. 84.
a. Hidup secara nyata, yaitu dia menurut kenyataan memang benar-benar masih hidup,
dapat dibuktikan dengan panca;
b. Hidup secara hukum, yaitu dia tidak diketahui secara kenyataan masih hidup. Dalam
hal ini termasuk juga bayi dalam kandungan ibunya.
Asas-asas Hukum Waris Perdata yaitu:
a. Hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda
saja yang dapat diwariskan.
b. Adanya Saisine bagi ahli waris, yaitu : sekalian ahli waris dengan sendirinya
secara otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan
segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia.
c. Asas Kematian, yaitu ; Pewarisan hanya karena kematian.
d. Asas Individual, yaitu : Ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan
kelompok ahli waris.
e. Asas Bilateral, yaitu : Seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga dari pihak
ibu.
f. Asas Penderajatan, yaitu : Ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris
menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.
Terdapat 2 (dua) cara untuk mendapatkan suatu warisan, yaitu:
a. “Pewarisan secara Ab Intestato (pewarisan berdasarkan undang-undang)
b. Pewarisan secara Testamenter (pewarisan karena ditunjuk dalam surat wasiat atau
testamen).”16
Pewarisan berdasarkan undang-undang adalah suatu bentuk pewarisan di mana hubungan
darah merupakan faktor penentu dalam hubungan pewarisan antara pewaris dan ahli waris.
Ada 2 (dua) cara mewaris berdasarkan undang-undang (Ab- Intestato) yakni mewaris
berdasarkan kedudukannya sendiri (uit eigen hoofde) dan berdasarkan penggantian (bij
plaatvervulling).
Mewaris berdasarkan kedudukannya sendiri (uit eigen hoofde) disebut juga dengan mewaris
langsung. Ahli warisnya adalah mereka yang terpanggil untuk mewaris berdasarkan
haknya/kedudukannya sendiri. Dalam pewarisan berdasarkan kedudukan sendiri pada asasnya
ahli waris mewaris kepala demi kepala (terdapat di dalam Pasal 852 ayat (2) Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata).
Mewaris berdasarkan penggantian yakni pewarisan di mana ahli waris mewaris
menggantikan ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah meninggal dunia lebih
dahulu dari Pewaris. Dalam mewaris berdasarkan penggantian tempat, mewaris pancang demi
pancang (mewaris berdasarkan penggantian tempat diatur dalam Pasal 841 sampai dengan
Pasal 848 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan,
sedangkan ahli waris adalah orang yang berhak atas harta kekayaan dari orang meninggal.
Harta kekayaan yang ditinggalkan bisa immaterial maupun material, harta kekayaan material
antara lain tanah, rumah ataupun benda lainnya. 17 Menurut hukum perdata, jika pemegang
sesuatu hak atas tanah meninggal dunia, hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli
warisnya. Pengalihan tersebut kepada ahli waris, yaitu siapa-siapa yang termasuk ahli waris,
berapa bagian masing-masing dan bagaimana cara pembagiannya, diatur oleh Hukum Waris
almarhum pemegang hak yang bersangkutan.
Menurut Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berhak menjadi ahli
waris adalah keluarga sederajat baik sah maupun luar kawin yang diakui, serta suami istri yang
hidup terlama.19 Jika keluarga sedarah maupun suami istri tidak ada, maka segala harta
peninggalan si pewaris jatuh kepada negara, yang mana wajib melunasi segala hutang,
sepanjang nilai harga dari harta peninggalan itu mencukupi untuk itu. Terdapat empat macam

Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat: Pewarisan Menurut Undang-
16

undang, (Jakarta:Kencana Prenada Media Grup), hlm.16.


17
Eka Puji Setiyarini, ”Akibat Hukum Peralihan Hak Atas Tanah Karena Pewarisan Yang Tidak Didaftarkan
Pada Kantor Pertanahan Menurut Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”,
Jurnal Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya Fakultas Hukum Malang, hal.12.
golongan ahli waris:
1. Dalam golongan pertama adalah suami atau istri dan keturunan.
2. Dalam golongan kedua adalah orang tua, saudara, dan keturunan saudara.
3. Dalam golongan ketiga adalah leluhur lain.
4. Golongan keempat adalah sanak keluarga lainnya dalam garis menyimpang sampai
dengan derajat ke enam. 18
Mengenai pembagian harta waris, besarnya bagian waris yang akan diterima oleh anak
sah diatur di dalam Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:
Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan
sekalipun, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek atau semua keluarga sedarah
mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki atau
perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran terlebih dahulu. Mereka mewaris
kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat ke
satu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri; mereka mewaris pancang
demi pancang, jika sekalian mereka atau sekedar sebagian mereka bertindak sebagai
pengganti.
Anak-anak yang mewaris dalam derajat pertama, artinya mereka mewaris kepala demi kepala.
Mereka masing-masing mempunyai bagian yang sama besar. Anak-anak atau sekalian
keturunan mereka mewaris dari Pewaris, meskipun mereka lahir dari perkawinan yang lain.
Harta peninggalan pewaris diistilahkan dengan sebutan boedel waris. Boedel waris adalah
harta peninggalan pewaris yang belum dibagi, muncul hak dan kewajiban ahli waris terhadap
boedel waris termasuk didalamnya kepentingan pihak ketiga. Boedel waris adalah seluruh
aktiva dan pasiva yang dimilki pewaris semasa hidupnya dan kemudian setelah pewaris
meninggal dunia maka segala harta peninggalannya menjadi suatu boedel yang murni dan
belum terbagi.
Harta adalah barang yang menjadi kekayaan. Sedangkan harta warisan adalah barang atau
benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris, setelah
dikurangi untuk kepentingan biaya perawatan jenasah, hutang-hutang dan wasiat. Dalam
pengertian ini antara harta peninggalan dengan harta warisan dapat dibedakan. Harta
peninggalan seluruh barang atau benda yang ditinggalkan oleh seseorang telah meninggal
dunia, dalam arti barang tersebut milik orang pada saat meninggal dunia, sedangkan harta
warisan ialah harta yang berupa barang atau benda yang berhak diterima oleh ahli waris.
Kasus yang dibahas adalah mengenai kesalahan konstruksi hukum dalam pengalihan
harta waris yang belum terbagi. Nyonya OT bertindak sebagai penjual dalam Akta Jual Beli
Nomor 1XXX/2010 yang dibuat dihadapan PPAT ZA, mengalihkan Hak Guna Bangunan
(HGB) Nomor 1XXX/Jatipulo yang terdaftar atas nama nyonya OT kepada nyonya Ml P yang
bertindak sebagai pembeli. Akta ditandatangani para pihak kemudian dilakukan balik nama
oleh Kantor Pertanahan Jakarta Barat. Belakangan diketahui bahwa objek Jual Beli yaitu HGB
Nomor 1XXX/Jatipulo merupakan harta waris yang belum terbagi. Pengalihan hak atas tanah
tersebut kemudian memunculkan sengketa antara ahli waris yang diajukan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
Putusan Nomor 3693K/PDT/2019.
HGB Nomor 1XXX/Jatipulo terdaftar atas nama Ny. OT, dahulu merupakan harta
bersama antara Ny. OT dan almarhum tuan MP yang telah meninggal dunia pada tahun 2008.
Almarhum tuan MP merupakan seorang mantan prajurit TNI yang setelah pensiun menjadi
pengusaha. Almarhum tuan MP memiliki banyak asset berupa tanah dan bangunan, salah
satunya adalah HGB Nomor 1XXX/Jatipulo yang terdaftar atas nama nyonya OT tersebut.
Almarhum tuan MP semasa hidupnya menikah sebanyak 2 (dua) kali. Pernikahannya yang
pertama yaitu dengan almarhumah nyonya JBS yang lebih dahulu meninggal dunia pada tahun
1995. Dari perkawinan almarhum tuan MP dan almarhumah nyonya JBS, terdapat 6 (enam)
orang anak.
18
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat: Pewarisan Menurut Undang-
undang, hlm. 49.
Pada tahun 1965 almarhum tuan MP menikah untuk ke 2 kalinya dengan nyonya OT.
Perkawinannya dengan nyonya OT berlangsung tanpa terlebih dahulu bercerai dari
almarhumah nyonya JBS Sehingga sampai dengan tahun 1995 saat almarhumah nyonya JBS
meninggal dunia, almarhum tuan MP terikat perkawinan dengan almarhumah nyonya JBS dan
nyonya OT. Dari perkawinannya dengan nyonya OT, almarhum tuan MP memiliki 2 (dua)
orang anak. Baik dari perkawinan yang pertama maupun perkawinan yang kedua, tidak pernah
dibuat perjanjian perkawinan atau perjanjian mengenai pemisahan harta oleh almarhum tuan
MP.
Pada tahun 1983 almarhum tuan MP melakukan upaya penundukan diri ke hukum
perdata dengan mencatatkan perkawinannya dengan nyonya OT ke Kantor Catatan Sipil
Jakarta. Kemudian pada tahun 1994, tuan MP berpindah agama mengikuti agama nyonya OT.
Pada tahun 2008 tuan MP meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris istri (nyonya OT)
dan 8 (delapan) orang anak dari dua perkawinan semasa hidupnya.
Pada tahun 2010, setelah meninggalnya almarhum tuan MP, nyonya OT mengalihkan
HGB Nomor 1XXX/Jatipulo dengan membuat akta jual beli Nomor 1XXX/2010 di hadapan
PPAT ZA di Jakarta Barat. Setelah pembuatan akta jual beli tersebut, kemudian terhadap HGB
Nomor 1XXX/Jatipulo dilakukan balik nama oleh Kantor Pertanahan Jakarta Barat. HGB
Nomor 1XXX/Jatipulo tersebut kemudian beralih dan terdaftar atas nama nyonya Ml P yang
merupakan anak dari alamrhum tuan MP dan nyonya OT.
Ahli waris almarhum tuan MP dari perkawinan pertama dengan almarhumah nyonya
JBS setelah mengetahui hal tersebut beberapa tahun kemudian pada tahun 2016 mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan tersebut berlangsung terus ke tingkat
banding sampai kasasi ke Mahkamah Agung. Ahli waris tuan MP dari perkawinan dengan
almarhumah nyonya JBS dalam gugatannya meminta untuk dibatalkan Akta Jual Beli Nomor
1XXX/2010 yang dibuat dihadapan PPAT ZA dan meminta untuk membatalkan balik nama
yang dilakukan Kantor Pertanahan Jakarta Barat terhadap HGB 1XXX/Jatipulo.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui putusan Nomor 113/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel.
tidak membatalkan Akta Jual Beli Nomor 1XXX/2010 maupun balik nama yang dilakukan
terhadap HGB Nomor 1XXX/Jatipulo tersebut, melainkan memutuskan untuk membagi HGB
Nomor 1XXX/Jatipulo secara in natura kepada seluruh ahli waris almarhum tuan MP atau
menjual dengan cara lelang objek tersebut kemudian membagi hasilnya secara pro rata.
Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Daerah Khusus Ibukota Jakarta melalui putusan
nomor 180/PDT/2018/PT.DKI membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Kemudian pada tingkat Kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui putusan Nomor
3693K/PDT/2019 tidak membatalkan Akta Jual Beli Nomor 1XXX/2010 maupun balik nama
yang dilakukan terhadap HGB Nomor 1XXX/Jatipulo tersebut, melainkan memutuskan untuk
membagi HGB Nomor 1XXX/Jatipulo secara in natura kepada seluruh ahli waris almarhum
tuan MP atau menjual dengan cara lelang objek tersebut kemudian membagi hasilnya secara
pro rata.

Gambar 1
Sumber: Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3693K/Pdt/2019
jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
113/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel.

Berdasarkan uraian kasus tersebut, maka dapat diketahui bahwa HGB Nomor
1XXX/Jatipulo merupakan harta bersama antara almarhum tuan MP dan nyonya OT karena
diperoleh semasa perkawinan mereka. Setelah tuan MP meninggal dunia pada tahun 2008,
HGB Nomor 1XXX/Jatipulo menjadi harta waris bagi para ahli waris almarhum tuan MP. 19
Nonya OT yang bertindak sebagai penjual tidak berwenang bertindak seorang diri dalam
pembuatan Akta Jual Beli Nomor 1XXX/Jatipulo. Kesalahan konstruksi hukum yang
dimaksudkan adalah terhadap HGB Nomor 1XXX/Jatipulo seharusnya dilakukan balik nama
waris ke atas nama ahli waris terlebih dahulu, karena muncul hak bersama yang terikat terhadap
HGB Nomor 1XXX/Jatipulo. Dalil didasarkan pada ketentuan mengenai pewarisan yang
dimuat dalam Pasal 830 jo. 832 KUHPerdata, yang mengatur bahwa setelah ahli waris
meninggal dunia segala harta kekayaannya akan jatuh kepada ahli waris. Ahli waris yang
dimaksud dalam perkara ini adalah istri dan anak-anak dari almarhum tuan MP. Akta Jual Beli
Nomor 1XXX/2010 seharusnya ditandatangi oleh seluruh ahli waris almarhum tuan MP
bersama-sama.
Penelitian ini membahas mengenai tangung jawab PPAT terhadap kesalahan konstruksi
hukum dalam pengalihan harta waris yang belum terbagi dan mengenai status kepemilikann
objek harta waris tersebut. Judul penilitian ini adalah “Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta
Tanah Terhadap Kesalahan Konstruksi Hukum Dalam Pengalihan Harta Waris Yang Belum
Terbagi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indoensia Nomor
3693K/PDT/2019)”.
1.2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan dalam latar belakang, maka pokok
permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah terhadap kesalahan
konstruksi hukum dalam pembuatan akta pengalihan kepada pihak ketiga secara
sepihak atas obyek harta warisan yang belum terbagi?
b. Bagaimanakah status kepemilikan objek harta bersama yang telah dialihkan tanpa
persetujuan ahli waris lainnya?

2. PEMBAHASAN
Pada bagian ini pembahasan terhadap pokok permasalahan akan terbagi menjadi dua sub bab

19
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti
dan R. Tjitrosudibio. Cet ke-34 (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), Ps. 832s.
yang masing-masing membahas rumusan masalah (a) dan (b) secara berurutan.

2.1. Analisis Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Terhadap Kesalahan
Konstruksi Hukum Dalam Pengalihan Harta Waris Yang Belum Terbagi
Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3693 K/Pdt/2019, objek harta warisan yang
merupakan harta bersama yang belum dibagi antara almarhum Tuan MP dan Nyonya OT yaitu
sebidang Tanah Hak Guna Bangunan nomor 1XXX/Jati Pulo tertulis atas nama Ny. OTP (Ny.
OT) seluas 510 m2 beserta bangunan terletak di Kota Administrasi Jakarta Barat. Objek
tersebut telah dialihkan oleh Nyonya OT (tergugat I) kepada pihak lain, yaitu Ny. Ml P
(Tergugat II) berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 1XXX/2010 pada tanggal 08-07-2010
(delapan Juli dua ribu sepuluh) yang dibuat oleh Z A sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di
Jakarta Barat (Turut Tergugat III) tanpa sepengetahuan ahli waris lainnya dari almarhum Tuan
MP.
Permasalahan dalam kasus tersebut yaitu objek jual beli dalam Akta Jual Beli Nomor
1XXX/2010 tanggal 08-07-2010 (delapan Juli dua ribu sepuluh) yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah ZA merupakan harta bersama yang belum terbagi antara Nyonya OT dan
almarhum Tuan MP, namun telah dialihkan oleh Nyonya OT kepada Nyonya Ml P melalui jual
beli tersebut tanpa sepengetahuan ahli waris almarhum Tuan MP dengan almarhumah Nyonya
JBS.
Dalam petitumnya, para penggugat meminta kepada Mahkamah untuk membatalkan
Akta Jual Beli nomor 1XXX/2010 tanggal 08-07-2010 (delapan Juli dua ribu sepuluh) yang
dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah ZA. Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor
3693K/Pdt/2019 tidak membatalkan Akta Jual Beli tersebut, namun memutus untuk membagi
secara in natura (dalam bentuk barang) atau menjual melalui lelang kemudian membagikan
hasil penjualan lelang dengan ketentuan ½ (setengah) bagian untuk para ahli waris almarhum
Tuan MP.
Analisis:
Secara normatif, peralihan hak atas tanah melalui jual beli haruslah dilakukan secara
terang dan tunai. Terang artinya dihadapan Pejabat yang berwenang 20 dalam hal ini Pejabat
Pembuat Akta Tanah ZA, yang berkedudukan di Jakarta Barat. Tunai artinya telah dibayar
secara penuh/lunas. Pada dasarnya, jual beli tanah merupakan suatu perjanjian, oleh karena
itu harus memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata, yaitu:
a. kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu hal tertentu;
d. sebab yang halal.
Pejabat Pembuat Akta Tanah berkewajiban untuk memastikan jual-beli yang dimuat
dalam Akta Jual Beli tidak melanggar ketentuan hukum. 21 Akta jual beli yang dibuat oleh
PPAT merupakan suatu perjanjian dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Dalam mana pihak yang satu
(penjual) berjanji untuk menyerahkan hak atas tanah, sedangkan pihak yang lainnya (pembeli)
berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan
hak atas tanah tersebut.
Dalam jual beli, para pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut harus memenuhi
syarat sebagai subjek dan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang diperjual
belikan harus memenuhi syarat objek jual beli. Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab
sebelumnya, syarat materiil dalam jual beli tanah menentukan sah atau tidaknya suatu jual beli
20
Indonesia, Peraturan Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN No. 59 Tahun 1997, TLN No.
3696. Ps. 37.

Lusia Iskandar Wijaya, “Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Kaitannya Dengan Akta Jual Beli Yang
21

Memfasilitasi Jual Beli Tanah Melanggar Hukum (Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor
6K/Pdt/2017).” Indonesian Notary Volume 3 Nomor 1 (Maret 2021), hlm. 304.
tersebut, syarat ini merupakan syarat yang sangat penting, antara lain:
a. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan;
b. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan;
c. Tanah yang bersangkutan boleh diperjualbelikan menurut hukum;
d. Tanah hak yang bersangkutan tidak dalam sengketa.22
Apabila salah satu syarat materiil tidak terpenuhi, maka akibat hukumnya adalah jual beli tanah
tersebut cacat hukum dan batal demi hukum.
Proses peralihan hak atas tanah melalui jual beli menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 meliputi: pertama, persiapan pembuatan akta jual beli hak atas tanah, terlebih
dahulu Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib melakukan pemeriksaan pada kantor pertanahan
kabupaten/kota mengenai keabsahan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Kedua,
pelaksanaan pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah harus dihadiri oleh pihak yang
melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan (penjual dan pembeli) atau orang yang
dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Ketiga, pendaftaran peralihan hak, Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib
menyampaikan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan dokumen- dokumen lain yang diperlukan
untuk keperluan pendaftaran peralihan hak atas tanah yang bersangkutan kepada kantor
pertanahan kabupaten/kota selambat-lambatnya tujuh hari kerja. Keempat, penyerahan
sertipikat. Syarat sahnya peralihan hak atas tanah melalui jual beli yaitu pertama syarat materiil
dimana pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan, penjual berhak menjual tanah yang
bersangkutan, dan tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak dalam
sengketa. Kedua syarat formal yaitu ketika semua syarat materil telah dipenuhi maka Pejabat
Pembuat Akta Tanah akan membuat akta jual belinya.
PPAT juga harus menyelidiki kewenangan para pihak, baik penjual maupun pembeli dan
juga memeriksa kebenaran sertipikat asli atau surat-surat tanah yang merupakan bukti
kepemilikan yang diserahkan kepadanya oleh penjual pada waktu membuat akta jual beli.Pada
bagian komparisi Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, memuat rumusan mengenai kecakapan
dan kewenangan bertindak penghadap. Hal ini harus didukung dengan data formil. 23 Data
formil yang dimaksud ialah dokumen pendukung dari penghadap, seperti Kartu Tanda
Penduduk, Kartu Keluarga, Kutipan Akta Perkawinan, Surat Keterangan Waris dan dokumen
lainnya, yang dapat menunjukkan kecakapan dan kewenangan dari penghadap untuk
melakukan tindakan hukum yang akan dimuat dalam akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Dalam praktiknya, sebelum di tanda tangani nya akta jual beli oleh para pihak atau pada
tahap persiapan pembuatan akta jual beli, Pejabat Pembuat Akta Tanah diwajibkan melakukan
proses pengecekan sertipikat pada Kantor Pertanahan setempat dimana letak objek berada.
Selain itu pengecekan sertipikat wajib dilakukan, hal ini dimaksudkan untuk memastikan
keabsahan berkaitan dengan objek jual beli. Akan terlihat keabsahan mengenai objek jual beli,
apakah data pada sertipikat sesuai dengan buku tanah, apakah terdapat blokir terhadap objek
tersebut, dan apakah terdapat sengketa pada objek jual beli tersebut. Proses pengecekan
sertipikat pada intinya mencocokkan data pada fisik sertipikat dengan buku tanah yang terdapat
di arsip Kantor Pertanahan di Kota/Kabupaten tempat tanah tersebut berada. Sebelum
dilakukan pengecekan sertipikat, dilakukan validasi terhadap sertipikat yang dimohonkan untuk
dilakukan pengecekan sertipikat. Validasi sertipikat meliputi, validasi Persil, Validasi Surat
Ukur dan Validasi Buku Tanah.
Jika dikaitkan dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
3693K/Pdt/2019, maka Nyonya OT sebagai penjual haruslah mendapatkan persetujuan dari
Tuan MP, karena objek jual beli yaitu sebidang Tanah Hak Guna Bangunan nomor 1XXX/Jati
Pulo tertulis atas nama Ny. OTP (Ny. OT) seluas 510 m2 beserta bangunan terletak di Kota
Administrasi Jakarta Barat merupakan harta bersama antara Nyonya OT dan almarhum Tuan

22
Aartje Tehupeiory, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2012),
hlm. 43.
23
Hadi Nuskah Alhaqi, “Otentisitas Suatu Akta Notaris Tanpa Adanya Dokumen Pendukung Akta”
Indonesian Notary Vol. 1 No. 3 (Maret 2019), hlm. 4.
MP. Pada saat Akta Jual Beli Nomor 1XXX/2010 tersebut dibuat, tuan MP telah meninggal
dunia, dengan demikian, maka tindakan hukum Nyonya OT untuk menjual objek tersebut,
haruslah mendapat persetujuan ahli waris dari almarhum Tuan MP.
Tanpa persetujuan ahli waris lainnya dari almarhum Tn. MP maka pengalihan harta
bersama yang terikat yang dilakukan oleh Ny. OT tidak dapat dilakukan menurut hukum. Ny.
OT yang bertindak seorang diri, tidak berwenang mengalihkan HGB Nomor 1XXX/Jatipulo
tersebut. Karena semua ahli waris memiliki hak yang sama
Pejabat Pembuat Akta Tanah ZA harus meminta Kutipan Akta Kematian atas nama
almarhum Tuan MP dan Surat Keterangan Waris atas nama almarhum Tuan MP, tidak hanya
untuk dapat menentukan ahli waris yang seharusnya bertindak untuk memberikan persetujuan
dalam jual beli tersebut, namun sebagai bukti dokumen pendukung kewenangan bertindak dari
Nyonya OT sebagai penjual dalam Akta Jual Beli tersebut.
Pada saat pembuatan Akta Jual Beli nomor 1XXX/2010 tanggal 08-07-2010 (delapan Juli
dua ribu sepuluh), seluruh ahli waris Tuan MP harus menghadap dihadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah ZA untuk memberikan persetujuan terhadap perbuatan hukum jual beli yang
dilakukan Nyonya OT. Namun Nyonya OT melakukan Jual Beli tersebut, tanpa persetujuan
dan pengetahuan dari ahli waris Tuan MP dari perkawinan dengan almarhumah Nyonya JBS.
Bahwa berdasarkan Pasal 833 ayat 1 jo. Pasal 832 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, sejak Tuan MP meninggal dunia, para ahli waris dari almarhum Tuan MP demi hukum
menjadi pemilik dari objek jual beli tersebut.
Hal yang sepatutnya dilakukan oleh Nyonya OT adalah meminta persetujuan dari seluruh
ahli waris almarhum Tuan MP. Namun Nyonya OT sebagai penjual, tidak meminta persetujuan
dari para ahli waris almarhum Tuan MP dari perkawinannya dengan almarhumah Nyonya JBS.
Perbuatan Nyonya OT tersebut dapat diklasifikasikan perbuatan melawan hukum, karena
Nyonya OT telah melanggar hak seubjektif orang lain. Adapun yang menjadi kualifikasi
perbuatan melawan hukum adalah:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain;
3. Bertentangan dengan kesusilaan;
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. 24
Demikian pula dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah ZA yang dalam membuat Akta Jual
Beli tersebut, seharusnya meneliti dengan cermat data-data pendukung dari penghadap. Data
kelengkapan bagi penghadap, terutama dalam Jual Beli, diantaranya ialah Kartu Tanda
Penduduk, Kartu Keluarga, Kutipan Akta Nikah (apabila penghadap telah menikah). Dari
dokumen pendukung tersebut, sebenarnya sudah menjadi dasar yang kuat untuk Pejabat
Pembuat Akta Tanah menilai legal standing dari penghadap. Dalam kasus ini, apabila Tuan MP
telah meninggal dunia maka dokumen pendukung yang diminta oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah ialah Akta Kematian dan Surat Keterangan Waris dari Tuan MP. Surat Keterangan Waris
disini menjadi dokumen yang sangat penting, hal ini untuk melihat siapa saja yang perlu
dihadirkan sebagai ahli waris Tuan MP, sebagai pihak pemberi persetujuan dalam Jual Beli.
Tidak adanya Surat Keterangan Waris menjadi hal yang harus diperhatikan. Hal ini dapat
dilihat dari tidak adanya Surat Keterangan Waris dalam daftar alat bukti dalam perkara in casu.
Padahal dari Surat Keterangan Waris, Pejabat Pembuat Akta Tanah dapat melihat ahli waris dari
almarhum Tuan MP yang seharusnya memberikan persetujuan dalam Akta Jual Beli tersebut.
Para ahli waris Tuan MP dari perkawinannya dengan almarhumah Nyonya JBS tentu
dirugikan dalam hal ini, sehingga menjadi hal yang sangat wajar bagi penggugat untuk meminta
Akta Jual Beli nomor 1XXX/2010 tanggal 08-07-2010 (delapan Juli dua ribu sepuluh) yang
dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah ZA untuk dibatalkan.
Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan tersebut menegaskan telah terjadinya cacat
hukum dalam pembuatan Akta Jual Beli tersebut diantaranya, dalil Penggugat (para ahli waris
Tuan MP) bahwa Tergugat (Nyonya OT) mengalihkan harta bersama yang belum tergbagi
24
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2003), hal 117.
tersebut kepada pihak lain tanpa sepengetahuan dari penggugat, tidak dibantah oleh penggugat
(Nyonya OT), tidak adanya Surat Keterangan Waris yang menjadi alat bukti dalam persidangan,
padahal Surat Keterangan Waris seharusnya menjadi dokumen pendukung yang penting dalam
menentukan ahli waris Tuan MP.
Terdapat hak bersama yang belum terbagi terhadap objek jual beli yang tenyata
merupakan boedel waris dari almarhum Tuan MP. Seharusnya Pejabat Pembuat Akta Tanah ZA
tidak membuat Akta Jual Beli terhadap objek tersebut, melainkan harus dilakukan turun waris
terlebih dahulu baru kemudian para ahli waris bertindak secara bersama-sama. Atau para ahli
waris dapat mengakhiri hak bersama dengan membuat Akta Pembagian Hak Bersama. Adapun
kesalahan konstruksi hukum tersebut, disebabkan karena kelalaian Pejabat Pembuat Akta Tanah
ZA dalam membuat akta. Dokumen pendukung yang berkaitan dengan subjek hukum baik itu
penjual maupun pembeli adalah dokumen yang harus diperlihatkan dan diteliti oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
Produk akta Pejabat Pembuat Akta Tanah berpotensi menimbulkan masalah atau sengketa
apabila terdapat adanya penyimpangan syarat sahnya perjanjian jual beli tanah dan bangunan
serta adanya penyimpangan terhadap tata cara pembuatan akta yang menyangkut syarat materil
(baik subyek maupun obyeknya) dan syarat formil (prosedur dan persyaratan).Seorang Pejabat
Pembuat Akta Tanah dalam menjalankan tugas dan kewenangan jabatannya tersebut,
khususnya berkaitan dengan prosedur pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah ada kalanya
melakukan kesalahan, dan kesalahan tersebut bisa saja menyangkut persyaratan formil maupun
materil, misalnya: kesalahan mengenai ketidakwenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam
membuat akta otentik, yang berakibat hilangnya otensitas akta yang dibuatnya, atau kekuatan
pembuktian akta tersebut tidak lagi sebagai alat bukti yang lengkap atau sempurna, di antara
dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, melainkan menjadi akta atau surat di bawah tangan,
dimana kesalahan tersebut bisa saja dilakukan dengan sengaja maupun tidak disengaja.
Mengacu kepada syarat subjektif perjanjian, dalam kasus ini, perbuatan pengalihan
HGB Nomor 1XXX/Jatipulo tidak memenuhi syarat “sepakat”. Para pihak dikatakan sepakat
apabila dalam pembuatan Akta Jual Beli memang keinginan dari para pihak sendiri dan
dilakukan dengan sadar mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan yaitu dengan
memberikan tanda tangan sebagai tanda persetujuannya. Selain itu diantara mereka dikatakan
mencapai kesepakatan apabila terjadi tidak karena kekhilafan atau karena paksaaan atau
penipuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1321 KUHPerdata.25
Dalam kasus ini, tidak ada kesepakatan dari pihak pemilik objek yang sebenarnya.
Ahli waris almarhum tuan MP secara bersama-sama adalah pemilik yang berhak atas objek
tersebut. Sedangkan HGB Nomor 1XXX/Jatipulo dalam Akta Jual Beli Nomor 1XXX/2010
dialihkan oleh nyonya OT sebagai penjual. Hal ini menyiratkan bahwa nyonya OT tidak
berwenang bertindak sebagai penjual seorang diri. Meskipun nyonya OT memiliki Sebagian
hak atas HGB Nomor 1XXX/Jatipulo tersebut, namun secara hukum ahli waris lainnya juga
memiliki hak yang sama. Objek tersebut merupakan harta waris yang terdapat hak bersama
yang terikat padanya dan semua ahli waris almarhum tuan MP memiliki hak yang sama
terhadap objek tersebut.
Selain itu, mengacu kepada syarat objektif perjanjian, dalam kasus ini, tidak
memenuhi syarat “sebab yang halal”. Pasal 1335 KUH Perdata mengatur “suatu persetujuan
tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah
mempunyai kekuatan.” Sedangkan Pasal 1337 KUH Perdata mengatur bahwa “suatu sebab
adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan yang baik atau ketertiban umum.”

PPAT ZA dalam membuat Akta Jual Beli Nomor 1XXX/2010 tidak memperhatikan
kelengkapan dokumen yang seharusnya menjadi dasar pembuatan akta yaitu Surat

25
Rita Vania Kusmayaningtias, “Pembuatan Akta Jual Beli yang Cacat Hukum oleh PPAT Karena Dibuat
Tanpa Sepengetahuan dan Persetujuan Pemilik Objek (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.
347/Pdt.G/2017/PN Jkt.Tim)”, Indonesian Notary Vol. 2 No. 4 (2020), hlm.
Keterangan Waris dari almarhum tuan MP. Dari dokumen tersebut PPAT ZA seharusnya
dapat melihat kewenangan bertindak dari nyonya OT yang sebenarnya melampaui
kewenangannya terhadap objek harta warisan yang belum terbagi (HGB Nomor
1XXX/Jatipulo). Kelalaian PPAT ZA dalam hal ini dapat dikatakan perbuatan melawan
hukum. Terlepas dari faktor lain yaitu nyonya OT sebagai penjual yang tidak meminta
persetujuan ahli waris lainnya dari almarhum tuan MP. Pengalihan atas HGB Nomor
1XXX/Jatipulo tersebut sebenarnya telah melanggar hak subjektif ahli waris lainnya dari
almarhum tuan MP serta
Syarat “sepakat” merupakan syarat subjektif, sedangkan syarat “sebab yang halal”
merupakan syarat objektif. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka berakibat perjanjian
tersebut dapat dibatalkan, dalam arti bahwa pihak yang merasa dirugikan dapat memintakan
pembatalan perjanjian tersebut kepada Hakim. Jika syarat objektif tidak terpenuhi, maka
berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum, dalam arti perjanjian tersebut dianggap tidak
pernah ada dan tidak pernah terjadi sejak semula sehingga para pihak tidak diperbolehkan
mendasarkan perbuatan hukum kepada alasan tersebut.
Dengan demikian karena tidak terpenuhinya syarat subjektif dan syarat objektif
tersebut, serta tidak memenuhi syarat materiil dari suatu jual beli, akibatnya adalah Akta Jual
Beli Nomor 1XXX/2010 yang dibuat oleh PPAT ZA dapat dibatalkan oleh pihak yang
merasa dirugikan dalam hal ini ahli waris almarhum tuan MP yang lain, dengan mengajukan
gugatan ke Pengadilan. Apabila diputus oleh Majelis Hakim bahwa akta tersebut batal dan
Putusan itu berkuatan hukum tetap, maka akta dianggap tidak pernah ada dan secara yuridis
dari semula tidak ada suatu perjanjian jual beli hak atas objek harta waris yang belum terbagi
tersebut dan tidak pernah terjadi pula suatu perikatan antara para pihak.
Suatu perbuatan hukum dapat mengandung cacat hukum apabila tidak lengkap atau
tidak sempurnanya suatu perbuatan hukum dimaksud. Pasal 55 Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nomor 1 Tahun 2006 menerangkan bahwa “PPAT bertanggung jawab secara
pribadi atas pelaksanaan tugas dan jabatannya dalam setiap pembuatan akta.” PPAT wajib
bertanggung jawab atas akta yang dibuatnya apabila dikemudian hari terjadi sengketa
berkaitan dengan akta tersebut.
Pada kasus ini, fokus pembahasan melihat tanggung jawab PPAT ZA yang salah
dalam mengkonstruksikan hukum dan kelalaiannya dalam persiapan pembuatan akta dengan
tidak meminta dokumen Surat Keterangan Waris atas nama almarhum tuan MP. Pertanggung
jawaban PPAT ZA dapat dilihat secara perdata dan juga secara administrasi, dikaitkan
dengan permasalahan hukum yang terjadi dalam putusan tersebut.
Dalam menjalankan tugas jabatannya, PPAT dapat melakukan kesalahan dalam
pembuatan aktanya. Kesalahan ini bisa meliputi kesengajaan atau kelalaian yang
mengakibatkan akta jual beli yang dibuatnya dapat dibatalkan atau dinyatakan batal demi
hukum oleh Putusan Pengadilan. Pasal 1365 KUHPerdata mengatur bahwa apabila seseorang
mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain
terhadap dirinya, maka ia dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Pengadilan Negeri.
Pengertian perbuatan melawan hukum di artikan secara luas terdiri dari 4 (empat)
kategori, yaitu:
a. Melanggar hak subjektif orang lain;
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku;
c. Bertentangan dengan kesusilaan;
d. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta kehati-hatian.26
Syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan
hukum yaitu sebagai berikut:
1. Adanya Kesalahan;
2. Adanya Kerugian bagi Penggugat;
3. Adanya Hubungan Kausal antara Perbuatan Melawan Hukum dengan
kerugian.
Oleh karena itu, suatu perbuatan (daad) bersifat melawan hukum selain bertentangan
dengan hukum, juga dapat merupakan berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang
26
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, hlm. 13-14
lain atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat, atau
bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat hati-hati sebagaimana patutnya di dalam lalu
lintas masyarakat.27 Unsur-unsur tersebut bersifat alternatif, artinya tidak harus semua unsur
tersebut terpenuhi. Apabila salah satu unsur terpenuhi, maka terpenuhilah perbuatan melawan
hukum.
PPAT dalam menjalankan jabatannya harus tunduk kepada ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk dalam ketentuan pembuatan akta yang baik, mulai dari
tahap persiapan sebelum membuat akta, sampai hal-hal yang harus dilakukan setelah
pembuatan akta, berikut objek-objek yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya. Selain itu
hendaknya seorang PPAT menjalankan jabatannya dengan jujur, tertib, cermat dan penuh
kesadaran, bertanggung jawab serta tidak berpihak”28. Oleh karena itu, PPAT harus tunduk
kepada segala peraturan yang berkaitan dengan PPAT.
Seorang PPAT hanya berwenang memeriksa kebenaran formil dari identitas dan dasar
hukum tindakan penghadap. Hal tersebut berdampak pada akta yang dibuatnya dan
berpotensi menimbulkan persoalan dalam hal bentuk pertanggungjawaban PPAT terhadap
proses pembuatan akta autentik, meski pada prinsipnya PPAT tidak dapat dituntut dan
dimintai pertanggungjawaban akan kebenaran materil dalam suatu akta, namun setidaknya
PPAT dapat menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan jabatannya.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,
Pasal 38 ayat (1), pembuatan akta peralihan hak atas tanah melalui jual beli, harus dihadiri oleh
para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Kemudian dalam Pasal 39 ayat
(1) huruf c, bahwa PPAT dilarang untuk membuat akta, apabila salah satu pihak yang akan
melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk
bertindak demikian. Akta PPAT wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar
yang kuat untuk pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan, hal ini
sebagaimana yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (1).
Dalam kasus pembuatan akta jual beli ini, pembuatan akta tidak dihadiri oleh salah satu
pihak yang berwenang, nyonya OT sebagai penjual, sudah melampaui kewenangannya terhadap
harta waris yang belum terbagi dan melakukan Tindakan pengalihan hak tanpa persetujuan ahli
waris lainnya dari almarhum tuan MP.
Mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT ZA dalam pembuatan akta jual
beli tersebut, sanksi dapat diberikan kepada PPAT ZA yang termuat dalam Pasal 62
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang tertulis:
“PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 serta ketentuan dan
petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan
administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai
PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-
pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-
ketentuan tersebut.”
Berdasarkan ketentuan sanksi diatas, maka PPAT selaku pembuat akta jual beli yang
cacat hukum dari segi administratif dapat dikenakan sanksi berupa teguran sampai kepada
pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dan dapat pula dituntut ganti kerugian oleh
pihak Penggugat sebagai pemilik objek, yang dalam hal ini dirugikan.

Selain itu, apabila dilihat dalam peraturan Kode Etik IPPAT itu sendiri, pada Pasal 6
diatur, bagi anggota perkumpulan IPPAT yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat
27
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung:
Alumni, 1996), hlm. 148.

28
Indonesia, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Perkaban Nomor 01 Tahun 2006, Ps. 34 ayat (1).
dikenai sanksi berupa teguran, peringatan, schorsing (pemecatan sementara) dari
keanggotaan perkumpulan IPPAT, onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan
IPPAT dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan IPPAT
disesuaikan dengan frekuensi dan kualitas pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota
perkumpulan IPPAT tersebut.15
Pelanggaran yang dilakukan PPAT ZA tidak hanya dapat dilihat dari ketentuan Pasal
62 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tetapi selain itu, PPAT sebagai anggota
perkumpulan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), PPAT ZA juga dapat dikenakan
sanksi, mulai dari teguran sampai pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
perkumpulan IPPAT seperti yang dijabarkan diatas berdasarkan Kode Etik IPPAT.
Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Kode Etik, akan diperika oleh Majelis
Kehormatan Daerah. Putusan dikeluarkan setelah mendengar keterangan dan pembelaan diri
dari PPAT yang bersangkutan. Kemudian anggota perkumpulan yang diperiksa dapat
melakukan upaya hukum banding, yang akan diperiksa dan diadili oleh Majelis Kehormatan
Pusat.
Perbuatan PPAT ZA juga dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap
larangan atau kewajiban yang termuat dalam Lampiran II Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018 huruf g dan huruf j yaitu:
“Pembuatan Akta PPAT tidak dihadiri oleh para pihak yang berwenang dan sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang saksi” dan huruf j “PPAT membuat akta di hadapan para pihak yang
tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya” maka sanksi yang
diberikan kepada PPAT adalah pemberhentian dengan tidak hormat. Sanksi nya dari ketentuan
tersebut yaitu PPAT dapat diberhentikan dengan tidak hormat.

2.2. Analisi status kepemilikan objek harta bersama yang telah dialihkan tanpa
persetujuan ahli waris lainnya
Hak Guna Bangunan nomor 1XXX/Jati Pulo tersebut adalah harta warisan dari almarhum
tuan MP yang merupakan harta bersama antara almarhum tuan MP dengan nyonya OT yang
belum terbagi dan telah dialihkan oleh nyonya OT melalui Akta Jual Beli tanggal 08-07-2010
(delapan Juli dua ribu sepuluh) nomor 1XXX/2010 yang dilakukan di hadapan PPAT ZAdan
telah dilakukan balik nama oleh Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat kepada
Nyonya Ml P (tergugat II).
Analisis:
Penggunaan sistem pendaftaran tanah yang digunakan di Indonesia adalah stelsel
publisitas negative (berunsur positif) namun konsep ini menunjukkan perlindungan hukum
terhadap pemegang Hak Atas Tanah terabaikan, hal mana dilihat dari pertanggungjawaban
terhadap hasil produk Sertipikat Hak Atas Tanah yaitu pertanggungjawaban yang terdapat pada
stelsel publisitas negative ada pada pejabat ambtenaari dan beralihnya menjadi stelsel
publisitas negative (berunsur positif) menjadikan tanggung jawab tidak lagi pada ambtenaar
sehingga dilihat dari tinjauan hukum penggunaan stelsel publisitas negative (berunsur positif)
ini belum memenuhi unsur penerapan dan pelaksanaan hukum dan konsep perlindungan hukum
terhadap pemegang Hak Atas Tanah tidak dapat dilepaskan dengan persoalan keadilan dalam
pelaksanaan hukum itu sendiri.
Jika Sertipikat masih terdaftar atas nama pasangan Pewaris yang masih hidup maka atas
Sertipikat tanah tersebut tidak perlu dilakukan balik nama ke seluruh Ahli Waris namun tetap
harus dibuatkan Surat Keterangan Waris (untuk golongan pribumi) oleh Lurah/Camat dan Surat
Keterangan Waris secara Notarial (untuk Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa). Jual
beli harta warisan yang dilakukan dengan itikad baik adalah jual beli yang dilakukan dengan
kejujuran dan niat tanpa ingin ada pihak yang dirugikan. Ketika pihak Pembeli ingin membeli
tanah warisan, maka Pembeli harus mengecek terlebih dahulu Sertipikat ke Kantor
Pertanahan/BPN,

status tanah yang dibelinya benar-benar objek yang dimiliki pihak Penjual (Ahli Waris
perorangan atau masih terdaftar atas milik bersama) hal ini untuk mencegah lahirnya Akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang cacat hukum, mengetahui bahwa tanah warisan yang akan
dijual telah disetujui oleh seluruh Ahli Waris, dengan adanya bukti persetujuan Ahli Waris,
melihat langsung ke lokasi tanah dan memeriksa data pendukung lainnya, Ketiga pihak yaitu
Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, pihak BPN dan pihak Kelurahan dan Kecamatan adalah
pihak-pihak yang mempunyai kewenangan masing-masing yang sangat penting menyangkut
kebenaran data dalam terlaksananya jual beli harta warisan. yang sangat penting dalam menjaga
agar tidak adanya pihak yang dirugikan dalam perjanjian jual beli tanah terlebih tanah tersebut
adalah tanah warisan, oleh karenanya ketiga pihak ini harus benar-benar menjalankan
kewajiban dan tanggung jawabnya masing-masing dalam penyajian data yang benar, untuk
meningkatkan kerjasama tersebut maka masing-masing pihak harus berupaya sesuai dengan
agar jual beli khususnya terhadap harta warisan tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan (dua unsur pokok yang menyangkut subjek
yang mengadakan perjanjian yaitu unsur subjektif) dan suatu hal tertentu, suatu sebab yang
tidak terlarang (dua unsur pokok yang berhubungan dengan objek perjanjian yaitu unsur
objektif).29
Menurut Pasal 832 KUHPerdata yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga
sederajat baik sah maupun luar kawin yang diakui, serta suami istri yang hidup terlama.19 Jika
keluarga sedarah maupun suami istri tidak ada, maka segala harta peninggalan si pewaris
jatuh kepada negara, yang mana wajib melunasi segala hutang, sepanjang nilai harga dari
harta peninggalan itu mencukupi untuk itu.
Terdapat empat macam golongan ahli waris yaitu:20
1. Dalam golongan pertama adalah suami atau istri dan keturunan.
2. Dalam golongan kedua adalah orang tua, saudara, dan keturunan saudara.
3. Dalam golongan ketiga adalah leluhur lain.
4. Golongan keempat adalah sanak keluarga lainnya dalam garis
menyimpang sampai dengan derajat ke enam.
Para Ahli Waris yang merasa haknya dilanggar karena tanah milik mereka,dalam hal jual
beli tanah tersebut tidak ada persetujuan dari para Ahli Waris, maka tanah tersebut dijual oleh
orang yang tidak berhak untuk menjualnya (karena yang sekarang memegang hak milik atas
tanah tersebut yaitu para Ahli Waris). Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 1471 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata di atas, jual beli tersebut batal. Dengan batalnya jual beli tersebut,
maka jual beli tersebut dianggap tidak pernah ada, dan masing-masing pihak dikembalikan ke
keadaannya semula sebelum terjadi peristiwa “jual beli” tersebut, yang mana hak milik atas
tanah tetap berada pada Ahli Waris dan objek perkara yang dijual tanpa persetujuan dari
mereka, dapat melakukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum, sebagaimana
diatur dalamPasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Tiap perbuatan
yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.
Perjanjian jual beli tanah warisan, prosedurnya sama dengan jual beli tanah perorangan yang
membedakannya adalah tanah tersebut bersertifikat atau belum bersertifikat, hanya saja pada
tanah warisan jual belinya harus disetujui seluruh Ahli Waris yang sesuai nama-namanya dalam
daftar surat keterangan Ahli Waris yang dikeluarkan oleh Camat atau Notaris, jual beli tanah
warisan dilakukan tanpa sepengetahuan salah seorang Ahli Waris yang berhak, maka perjanjian
jual beli tanah warisan itu menjadi cacat hukum, dan Ahli Waris yang merasa dirugikan dapat
menuntut haknya, walaupun jual beli tanah tersebut telah dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang telah memenuhi syarat terang. Ahli Waris
yang tidak mengetahui jual beli tanah warisan tersebut dapat membatalkan jual beli tanah
warisan itu dengan menunjukkan bukti-bukti.
Adapun terkait status kepemilikan Hak Guna Bangunan Nomor 1XXX/Jati Pulo atas
29
Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2005), hal 286.
sebidang tanah seluas 510 m2 beserta rumah atau bangunan gedung di atasnya yang terletak di
Kelurahan Jati Pulo Tomang, Kecamatan Palmerah, Kota Administrasi Jakarta Barat. Awal
mulanya adalah harta bersama dari almarhum tuan MP dan nyonya OT. Hal ini disebabkan
karena prinsip persatuan harta yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkwainan. Objek tersebut diperoleh selama masa perkawinan almarhum tuan MP dan
nyonya OT, dan diantara keduanya tidak pernah diadakan perjanjian pisah harta. Sehingga
meskipun sertipikat Hak Guna Bangunan tersebut tertulis atas nama nyonya OT, secara yuridis,
hak guna bangunan nomor 1XXX/Jatipulo merupakan harta bersama dari almarhum tuan MP
dan nyonya OT.
Setelah tuan MP meninggal dunia, maka sebagian hak tuan MP atas tanah tersebut, beralih
kepada seluruh ahli warisnya yang sah dan objek tersebut menjadi boedel waris. Akibat
pewarisan karena kematian tuan MP, muncul hak bersama yang terikat antara para ahli waris
tuan MP. Hak bersama ini akan terus hidup sampai terdapat pembagian hak bersama. Apabila
tidak terdapat pembagian hak bersama, maka hak bersama terus hidup dan harta tersebut secara
kolektif dimiliki oleh seluruh ahli waris tuan MP.
Terhadap perbuatan hukum nyonya OT yang mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada
pihak lain tanpa persetujuan ahli waris lainnya merupakan penyimpangan dan bentuk
penyelundupan hukum. Sehingga ahli waris tuan MP dari perkawinannya dengan almarhumah
nyonya JBS, menggugat dan dalam petitumnya meminta kepada pengadilan untuk membatalkan
akta jual beli yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah ZA terhadap objek tersebut.
Berkaitan dengan syarat sahnya jual beli tanah menurut ketentuan Yurisprudensi Putusan
Mahkamah Agung Nomor 123/K/SIP/1970 yang bersifat kumulatif, yakni:
1) Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan;
Syarat ini menghendaki hanya pemegang yang sah atas hak atas tanah yang
bersangkutan, yaitu pemilik yang dapat melakukan penjualan terhadap hak atas
tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu PPAT dalam hal ini harus melakukan
pengecekan ke Badan Pertanahan Nasional guna mengetahui kesesuaian nama
pemilik dengan nama pemegang hak yang tercantum dalam sertipikat hak atas
tanah. Selain itu syarat ini juga menghendaki PPAT memastikan perlu atau
tidaknya persetujuan dari pasangan pihak penjual, persetujuan dari organ badan
hukum, ataupun persetujuan dari pemilik lainnya apabila ternyata tanah tersebut
dimiliki lebih dari 1 (satu) pihak.
2) Pembeli adalah sebagai pihak yang berhak membeli tanah yang bersangkutan;
Syarat ini menghendaki pembeli sebagai penerima hak atas tanah harus memenuhi
syarat yang ditentukan untuk dapat memperoleh hak atas tanah melalui jual beli.
Syarat penerima hak atas tanah tersebut mengacu pada ketentuan jenis hak atas
tanah yang melekat pada tanah yang diperjualbelikan.
3) Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan menurut hukum;Syarat ini
mengacu pada ketentuan UUPA yang menetapkan bahwa hak atas tanah yang boleh
diperjualkan adalah Hak Milik atas Tanah, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai atas Tanah dan Hak Atas Satuan Rumah Susun.30
Putusan Mahkamah terhadap tanah tersebut untuk dibagi secara in natura atau dijual
dengan cara lelang kemudian dibagi kepada para ahli waris dengan perhitungan ½ untuk
penggugat termasuk tergugat dan ½ untuk tergugat merupakan merupakan bentuk ratio legis
dari
hakim yang menilai bahwa status tanah tersebut merupakan harta bersama yang belum terbagi
antara almarhum tuan MP dan nyonya OT.
Pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini terhadap pertimbangan dan putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3693K/PDT/2019 adalah bahwa meskipun hak

30
Arie S. Hutagalung dan Suparjo Sujadi, “Pembeli Beritikad Baik dalam Konteks Jual Beli Menurut
Ketentuan Hukum Indonesia,” Hukum dan Pembangunan, Tahun Ke-35 No. 1 (Januari-Maret 2005), hlm. 35-36.
bersama melekat terhadap objek HGB nomor 1XXX/Jatipulo, seharusnya hakim membatalkan
akta jual beli yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah ZA. Hal ini untuk mengakomodasi
keputusan yang seadil-adilnya. Baik bagi pembeli maupun para ahli waris. Karena meskipun
terdapat kesalahan konstruksi hukum dalam pengalihan harta waris tersebut, namun akta jual
beli telah ditandatangani dan tanah tersebut telah dibalik nama oleh Kantor Pertanahan ke atas
nama nyonya Ml P. Konsekuensi hukum dari jual beli adalah berakhirnya hak dari nyonya OT
terhadap tanah tersebut, sebagai penjual nyonya OT seharusnya sudah menerima uang hasil
penjualan. Apabila telah dilakukan balik nama terhadap hak atas tanah, maka hak atas tanah
secara yuridis telah beralih kepada pembeli. Meskipun pembeli dalam hal ini merupakan salah
seorang ahli waris almarhum tuan MP, demi asas keadilan, maka seharusnya Hakim
membatalkan Akta Jual Beli nomor 1XXX/2010 yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah ZA tersebut. Dengan demikian jual beli dianggap batal dan status kepemilikan tanah
Kembali kepada keadaan semula, yaitu merupakan harta bersama yang belum terbagi yang telah
menjadi boedel waris almarhum tuan MP.
Bahwa bunyi amar putusan Mahakamah Agung Republik Indonesia yang memerintahkan
tergugat untuk membagi objek seccara in natura atau menjual dengan cara melelang hanya
sebagai peenegasan bahwa terdapat hak bersama yang pada objek tanah tersebut, namun terkait
status kepemilikan saat perkara berjalan, Hak Guna Bangungan Nomor 1XXX/Jatipulo
merupakan milik dari nyonya Ml P.

3. PENUTUP
Bagian penutup ini memuat simpulan terhadap uraian pembahasan permasalahan dan saran
yang dapat diberikan berkaitan dengan penulisan artikel ini.
3.1. Simpulan
Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan yang telah disampaikan, maka dapat
disimpulan bahwa:
1. Tanggung jawab PPAT dalam pembuatan Akta Jual Beli Nomor 1XXX/2010 yang
dibuat tanpa sepengetahuan dan persetujuan ahli waris lainnya dari almarhum tuan MP,
secara perdata PPAT ZA terindikasi melakukan perbuatan melawan hukum dan
melanggar ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, karena bertentangan dengan asas
kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian serta bertentangan dengan kewajiban hukum
pelaku. PPAT ZA dalam menjalankann jabatannya kurang hati-hati dan saksama yaitu
dalam membuat Akta Jual Beli Nomor 1XXX/2010 yang menimbulkan sengeketa.
Selain itu PAT ZA sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta pertanahan
telah melakukan pelanggaran berat terhadap larangan dan kewajiban PPAT.
Pelanggaran tersebut adalah PPAT ZA membuat akta dihadapan para pihak yang tidak
berwenang melakukan perbuatann hukum dalam akta. Dalam pembuatan Akta Jual Beli
Nomor 1XXX/2010, Ny. OT yang bertindak sebagai penjual, tidak berwenang
melakukan tindakan hukum tersebut karena, objek peralihan yaitu HGB Nomor
1XXX/Jatipulo merupakan harta bersama yang belum terbagi antara para ahli waris
almarhum Tn. MP. Atas pelanggaran tersebut, PPAT ZA dapat diberhentikan dari
jabatannya sebagai PPAT dengan tidak hormat. PPAT bertanggung jawab terhadap
produk akta yang dibuatnya. Adapun terhadap kesalahan konstruksi hukum dalam
pembuatan akta terhadap objek harta
warisan yang menjadi sengketa dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 3693K/Pdt/2019, seharusnya objek HGB Nomor 1XXX/Jatipulo di balik nama
ke atas nama para ahli waris terlebih dahulu kemudian Pejabat Pembuat Akta Tanah
dapat membuat Akta Pembagian Hak Bersama apabila dikehendaki oleh para ahli waris,
karena terdapat hak bersama yang belum terbagi pada objek harta warisan tersebut.
Kesalahan konstruksi hukum seharusnya dapat dihindari apabila Pejabat Pembuat Akta
Tanah betul-betul memahami pranata hukum dan menerapkan prinsip kehati-hatian
dalam membuat akta, yaitu dengan meminta seluruh dokumen pendukung, baik yang
terkait dengan objek jual beli maupun terkait dengan kewenangan para pihak. Surat
Keterangan Waris menjadi dokumen penting yang dapat menjadi dasar bagi pejabat
umum dalam membuat akta,

manakala pemilik atau pasangannya telah meninggal dunia. Karena dapat telihat siapa
saja ahli waris yang berhak atas objek tersebut dan harus memberikan persetujuan
terhadap perbuatan hukum yang dibuatkan aktanya oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Meskipun bukan merupakan pihak dalam perjanjian, Pejabat Pembuat Akta Tanah tetap
dapat dimintakan pertanggung jawaban terhadap kesalahan atau kelalalaiannya yang
menimbulkan kerugian, baik bagi salah satu maupun para pihak. Mengenai sanksi bagi
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang terbukti lalai atau salah telah ditentukan sanksi nya
dalam Peraturan perundang-undangan maupun Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
2. Status kepemilikan objek tanah Hak Guna Bangunan Nomor 1XXX/Jatipulo adalah
pasca didaftarkannya Akta Jual Beli Nomor 1XXX/2010 yang dibuat PPAT ZA, maka
tanah tersebut merupakan milik nyonya Ml P sebagai pembeli. Meskipun ahli waris
almarhum tuan MP dari perkawinan pertama telah meminta untuk dibatalkan Akta Jual
Beli tersebut dalam petitumnya, hakim tidak membatalkan Akta Jual Beli tersebut,
sehingga Akta Jual Beli masih berlaku sampai sekarang. Namun demikian Mahkamah
Agung telah memutus untuk membagi secara in natura atau dijual dengan cara dilelang
kemudian dibagi kepada seluruh ahli waris dari almarhum tuan MP. Sehingga pasca
putusan tersebut berlaku maka secara imperative status kepemilikan atas tanah menjadi
milik seluruh ahli waris dari almarhum tuan MP.
3.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan yaitu:
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam membuat akta seharusnya dapat menghindari
potensi permasalahan hukum dengan meminta dan melihat asli dari dokumen-dokumen
pelengkap untuk pembuatan suatu akta yaitu berupa sertpikat, Surat dokumen
pendukung lainnya seperti Kartu Tanda penduduk, Kartu Keluarga, Akta Nikah, Kutipan
Akta Kematian, Surat Keterangan Ahli Waris, dan Akta Wasiat apabila ada. Setelah
melihat dan menelaah dokumen-dokumen tersebut, maka barulah PPAT harusnya
membuat Akta Jual Beli yang isinya juga sesuai, tidak hanya berdasarkan keterangan
para pihak yang hadir dihadapannya, akan tetapi juga terhadap dokumen-dokumen yang
diserahkan/diperlihatkan kepadanya. Terhadap objek HGB Nomor 1XXX/Jatipulo
tersebut, seharunya tidak dapat di proses balik nama (jual beli) tanpa persetujuan ahli
waris lainnya (pemilik) dalam Akta Jual Beli. Karena dalam peristiwa hukum pewarisan,
akan muncul Hak Bersama yang terikat. Selain itu, diperlukan suatu aturan dapat
berupa peraturan pelaksana atau petunjuk teknis sebagai standar tetap Pejabat Pembuat
Akta Tanah yang berlaku umum dan jelas untuk pembuatan akta PPAT, seperti
mewajibkan PPAT untuk melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada
Minuta Akta. Hal ini seperti salah satu kewajiban yang harus dilakukan Notaris dalam
menjalankan jabatannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Peraturan Jabatan Notaris. Hal yang demikian sudah sepatutnya
dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai suatu aturan yang wajib dilakukan PPAT
dalam pembuatan akta, karena dapat pula dipergunakan sebagai alat bukti yang sah di
luar maupun di dalam pengadilan.
2. Terhadap para ahli waris, segera setelah warisan terbuka, agar segera menginventaris
asset dan kekayaan dari pewaris, dan membuat dokumen yang akan diperlukan untuk
proses balik nama ke atas ahli waris seperti Akta Kematian, Surat Keterangan Waris,
dan sebagainya. Hal ini untuk menghindari pengalihan secara sepihak oleh salah satu
ahli waris maupun pihak yang menguasai harta waris.
DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5
Tahun 1960. LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 20143.

. Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Pendaftaran Tanah. PP No. 24 Tahun


1997. LN No. 59 Tahun 1997, TLN No. 3696.

. Peraturan Pemerintah tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. PP Nomor


37 Tahun 1998. LN No. 52 Tahun 1998, TLN No. 3746.

. Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor


37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. PP No. 24
Tahun 2016. LN No. 120 Tahun 2016, TLN No. 5893.

Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional. Peraturan
Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Tentang
Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah. PM No. 2 Tahun 2018.

. Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Tentang Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Nomor 112/KEP-4.1/IV/2017.

Kepala Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Perkaban Nomor 01 Tahun 2006.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Burgerlijke Wetboek (KUHPerdata). Diterjemahkan


oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2009.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan Nomor 3693K/PDT/2019.

B. Buku

Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Cet. 2. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan.
Bandung: Alumni, 1996.

Budiono, Herlien. Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Hukum Perjanjian
Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2015.

Lumban Tobing, G.H.S. Peraturan Jabatan Notaris, cet. 2. Jakarta: Erlangga, 1982.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberty, 2002.

Ramulyo, Idris. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab


Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta:Sinar Grafika, 2004.

Salman, Otje. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris. Bandung: Alumni,
1993.

Sjarif, Surini Ahlan dan Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan Perdata Barat: Pewarisan
Menurut Undang-undang, Jakarta:Kencana Prenada Media Grup.

Sutedi, Adrian. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Tehupeiory, Aartje. Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses,
2012.

Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2005

C. Artikel/Makalah/Laporan Penelitian

Alhaqi, Hadi Nuskah. “Otentisitas Suatu Akta Notaris Tanpa Adanya Dokumen Pendukung
Akta” Indonesian Notary Vol. 1 No. 3 (Maret 2019), hlm. 4.
Hutagalung, Arie S. dan Suparjo Sujadi. “Pembeli Beritikad Baik dalam Konteks Jual Beli
Menurut Ketentuan Hukum Indonesia.” Hukum dan Pembangunan Vol. 35 No. 1,
(Januari-Maret 2005). hlm. 27-47.

Kusmayaningtias, Rita Vania. “Pembuatan Akta Jual Beli yang Cacat Hukum oleh PPAT
Karena Dibuat Tanpa Sepengetahuan dan Persetujuan Pemilik Objek (Studi Kasus
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 347/Pdt.G/2017/PN Jkt.Tim)”,
Indonesian Notary Vol. 2 No. 4 (2020), hlm.

Setiyarini, Eka Puji. ”Akibat Hukum Peralihan Hak Atas Tanah Karena Pewarisan Yang Tidak
Didaftarkan Pada Kantor Pertanahan Menurut Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor
24tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”, Jurnal Magister Kenotariatan, Universitas
Brawijaya Fakultas Hukum Malang, hlm.12.

Wijaya, Lusia Iskandar. “Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Kaitannya Dengan Akta Jual Beli
Yang Memfasilitasi Jual Beli Tanah Melanggar Hukum (Analisis Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 6K/Pdt/2017).” Indonesian Notary Volume 3 Nomor 1
(Maret 2021), hlm. 304.

Anda mungkin juga menyukai