Anda di halaman 1dari 26

Indonesian Notary

Volume 3 Indonesian Notary Article 47

9-30-2021

Pembuatan Akta Jual Beli Tanpa Kehadiran Para Pihak Dan Saksi
Di Hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi Putusan
Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 633/PDT/2019/PT.BDG)
Kinanti Justi Andika
KinantiJA@gmail.com

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/notary

Part of the Commercial Law Commons, Contracts Commons, Land Use Law Commons, and the Legal
Profession Commons

Recommended Citation
Andika, Kinanti Justi (2021) "Pembuatan Akta Jual Beli Tanpa Kehadiran Para Pihak Dan Saksi Di
Hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 633/PDT/
2019/PT.BDG)," Indonesian Notary: Vol. 3, Article 47.
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/notary/vol3/iss3/47

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been
accepted for inclusion in Indonesian Notary by an authorized editor of UI Scholars Hub.
Pembuatan Akta Jual Beli Tanpa Kehadiran Para Pihak Dan Saksi Di Hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor
633/PDT/2019/PT.BDG)

Cover Page Footnote


Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN No. 52 Tahun
1998, TLN No. 3746, Ps. 1 angka 24. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 Tahun 1998, LN No. 52 Tahun 1998, TLN No. 3746, Ps. 1 angka 1.
Waskito dan Hadi Arnowo, Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2019), hlm. 61. Hatta Isnaini Wahyu Utomo, Memahami Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, Jakarta: Kencana, 2020), 163. Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum Suatu Pengantar,
(Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 121-122. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 Tahun 1998, LN No. 52 Tahun 1998, TLN No. 3746, Ps. 2 Ayat 1.
Salim HS, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), hlm. 44. Adrian Sutedi, Peralihan Hak
Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. 9, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), hlm. 77. Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2014), Ps. 1320. Utomo, Memahami Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, hlm. 242.
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP Nomor 37
Tahun 1998, Ps. 22. Salim HS, Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), (Depok:
Rajawali Pers, 2019), hlm. 115. Utomo, Memahami Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, hlm.
242. Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah, Perkaban No. 1 Tahun 2006, Ps. 53 Ayat (3). Boedi Harsono, Hukum Agraria, Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional,
(Jakarta: Universitas Trisakti, 2013), hlm. 296. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran
Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, Ps. 38 Ayat (2). Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 Tahun 1998, Ps. 21. Indonesia, Undang-Undang tentang
Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah, UU No. 4 Tahun 1996,
LN No. 42 Tahun 1996, TLN No. 3632 Tahun 1996, Ps. 1 angka 4. Indonesia, Peraturan Pemerintah
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah, PP No. 40 Tahun 1996, LN No.
58 Tahun 1996, TLN No. 3643 Tahun 1996, Ps. 1 angka 5. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang
Pendaftaran Tanah, PP Nomor 24 Tahun 1997, Ps. 1 angka 24. Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP Nomor 37 Tahun 1998, Ps. 1 angka 1. Badan
Pertanahan Nasional, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, Perkaban No. 1 Tahun 2006, Ps. 1 angka 1. Indonesia, Peraturan Pemerintah
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 Tahun 1998, Ps. 12. Badan
Pertanahan Nasional, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, Perkaban No. 1 Tahun 2006, Ps. 1 angka 1. Indonesia, Peraturan Pemerintah
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 Tahun 1998, Ps. 1 angka 4. Ibid., Ps.
2 Ayat (1) Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tentang Pembinaan Dan Pengawasan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, PermenATR/KaBPN No. 2 Tahun 2018, Ps. 12 Ayat (2). Kementrian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Keputusan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional tentang Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Nomor: 112/KEP-4.1/
IV/2017, Ps. 3. Ibid., Ps. 6 Ayat (1). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Balai Pustaka, 2014), Ps. 1874.

This article is available in Indonesian Notary: https://scholarhub.ui.ac.id/notary/vol3/iss3/47


PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANPA KEHADIRAN PARA PIHAK DAN
SAKSI DI HADAPAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
(STUDI PUTUSAN PENGADILAN TINGGI BANDUNG NOMOR
633/PDT/2019/PT.BDG)
Kinanti Justi Andika
1906411100

Abstrak

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam menjalankan jabatannya harus bertanggung
jawab penuh atas akta yang telah dibuat. Hal ini disebabkan apabila PPAT tidak menjalankan
kewajibannya dalam pembuatan akta sehingga akta yang dibuat tidak sesuai dengan bentuk dan tata
cara pengsian akta, maka akta tersebut memiliki akibat hukum. Penelitian ini memiliki pembahasan
tentang pembuatan Akta Jual Beli (AJB) yang seharusnya dalam pembuatan akta dihadiri oleh para
pihak dan saksi di hadapan PPAT. Permasalahan dalam penelitian ini adalah akibat hukum terhadap
AJB yang dibuat tanpa kehadiran para pihak dan saksi di hadapan PPAT dan tanggung jawab PPAT
atas pembuatan AJB tanpa kehadiran para pihak dan saksi. Penelitian ini merupakan penelitian
berbentuk yuridis normatif dan tipe penelitian deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian ini
diperoleh simpulan bahwa akibat hukum terhadap AJB yang dibuat tanpa kehadiran para pihak dan
saksi di hadapan PPAT adalah AJB tersebut tidak dapat dijadikan dasar sebagai pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah, tanggung jawab PPAT atas pembuatan AJB yang dibuat tanpa
kehadiran para pihak dan saksi dapat diberikan sanksi administratif, kode etik, dan perdata.

Kata Kunci : Pejabat Pembuat Akta Tanah, Akta Jual Beli, Tanggung Jawab

Abstract

The Land Deed Making Official (PPAT) in carrying out his position must be fully responsible for
the deed that has been made. This is because if the PPAT does not carry out its obligations in
making the deed so that the deed made is not in accordance with the form and procedure for filling
the deed, then the deed has legal consequences. This study has a discussion about the making of the
Sale and Purchase Deed (AJB) which should be in the making of the deed attended by the parties
and witnesses before PPAT. The problem in this study is the legal consequences of AJB which were
made without the presence of the parties and witnesses before PPAT and PPAT's responsibility for
the manufacture of AJB without the presence of the parties and witnesses. This research is a
normative juridical research and descriptive analytical research type. Based on the results of this
study, it was concluded that the legal consequences for AJB that were made without the presence of
the parties and witnesses before PPAT were that the AJB could not be used as the basis for
registering changes to land registration data, PPAT's responsibility for making AJB made without
the presence of the parties and witnesses administrative sanctions, codes of ethics, civil and
criminal sanctions may be imposed.

Keywords : Land Deed Maker Official, Sale and Purchase Deed, Responsibility
2

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam melaksanakan tugas dan jabatannya
dalam pembuatan akta harus menjalankan kewajibannya dengan baik dan benar serta tidak
melakukan perbuatan yang dilarang oleh peraturan-peraturan yang mengaturnya.
Disimpanginya kewajiban PPAT dalam melaksanakan tugas dan jabatannya dalam
membuat akta mengakibatkan akta PPAT tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai alat
bukti untuk dijadikan dasar sebagai pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.
Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah (selanjutnya disebut PP No. 24 Tahun 1997) menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan membuat akta-akta tanah tertentu.1 Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya
disebut PP No. 37 Tahun 1998) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.2
Peran PPAT yaitu sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta
pemindahan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah dan akta-akta lain yang diatur
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membantu Kepala Kantor
Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan
dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. 3 Akta merupakan sebuah
tulisan yang memuat suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang di atasnya
dibubuhkan tanda tangan dan tulisan tersebut sejak awal pembuatannya memang sengaja
untuk digunakan sebagai alat bukti.4
Akta mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu akta sebagai fungsi formal yang mempunyai
arti bahwa suatu perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta.
Fungsi alat bukti yaitu akta sebagai alat pembuktian dimana dibuatnya akta tersebut oleh
para pihak yang terkait dalam suatu perjanjian ditujukan untuk pembuktian di kemudian
hari.5

1 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN No. 52
Tahun 1998, TLN No. 3746, Ps. 1 angka 24.
2 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No.
37 Tahun 1998, LN No. 52 Tahun 1998, TLN No. 3746, Ps. 1 angka 1.
3 Waskito dan Hadi Arnowo, Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2019), hlm. 61.
4 Hatta Isnaini Wahyu Utomo, Memahami Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Jakarta:
Kencana, 2020), 163.
5 Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 121-
122.
3

PPAT memiliki tugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah


dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. 6
Mengenai perbuatan hukum tertentu yang dimaksud adalah:
1. “Jual beli;
2. Tukar menukar;
3. Hibah;
4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5. Pembagian hak bersama;
6. Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik;
7. Pemberian hak tanggungan;
8. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.”7
Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1)
PP No. 37 Tahun 1998 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta autentik
mengenai semua perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang telah disebutkan di atas
mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam
daerah kerjanya. Mengenai akta apa saja yang menjadi kewenangan PPAT disebutkan
dalam Pasal 95 Ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Permenag/KaBPN No. 3
Tahun 1997), yang menyatakan akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah adalah sebagai berikut.
1. Akta Jual Beli;
2. Akta Tukar Menukar;
3. Akta Hibah;
4. Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan;
5. Akta Pembagian Hak Bersama;
6. Akta Pemberian Hak Tanggungan;
7. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik;
8. Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik.
Akta Jual Beli merupakan akta yang dibuat oleh para pihak, yang memuat tentang
hak dan kewajiban para pihak, dimana pihak penjual menyerahkan hak atas tanah dan/atau
hak milik atas satuan rumah susun dan menerima uang, sedangkan pihak pembeli
berkewajiban untuk menyerahkan uang dan berhak untuk menerima hak atas tanah dan/atau
hak milik atas satuan rumah susun. Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP No. 10 Tahun 1961), jual
beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan

6 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No.
37 Tahun 1998, LN No. 52 Tahun 1998, TLN No. 3746, Ps. 2 Ayat 1.
7 Salim HS, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), hlm. 44.
4

dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum
yang gelap yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi).8
Akta Jual Beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi
pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya.
Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak,
maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang
haknya yang baru.
Ada pun dengan membuat suatu perjanjian jual beli, para pihak bermaksud untuk
membuat suatu perjajian dalam rangka proses peralihan hak milik atas tanah. Dalam
perjanjian jual beli para pihak mengutarakan keinginannya serta memuat janji-janji untuk
melakukan transaksi jual beli hak milik atas tanah. Perjanjian jual beli yang dituangkan ke
dalam Akta Jual Beli harus memenuhi 4 (empat) syarat yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata mengenai syarat sah perjanjian, dengan dipenuhinya syarat ini maka
perjanjian itu berlaku sah, syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.9
Akta PPAT dibuat sesuai dengan bentuk dan tata cara pengisian yang telah
ditentukan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Perkaban No. 8
Tahun 2012). Pembuatan akta PPAT harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan
data yang benar serta didukung dengan dokumen sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam pembuatan akta PPAT tidak diperbolehkan memuat kata-kata “sesuai atau menurut
keterangan para pihak”, kecuali didukung dengan data formil, PPAT berwenang menolak
pembuatan akta yang tidak didasari data formil.10
Pembuatan akta PPAT juga wajib mengikuti ketentuan peraturan yang berlaku
sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangangan mengenai
pembuatan akta PPAT. Salah satu ketentuan peraturan tersebut sebagaimana dalam Pasal
38 Ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 yaitu pembuatan akta PPAT dihadiri oleh para pihak
yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Selain pembuatan akta PPAT dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan
hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi,

8 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. 9, (Jakarta: Sinar Grafika,
2018), hlm. 77.
9 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio, (Jakarta: Balai Pustaka, 2014), Ps. 1320.
10 Utomo, Memahami Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, hlm. 242.
5

dalam pembuatan akta PPAT terdapat prosedur pembacaan akta yang merupakan kewajiban
PPAT dalam melaksanakan tugasnya dalam membuat akta, sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 22 PP No. 37 Tahun 1998 dikatakan bahwa “Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan
isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi
sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.” 11
Berdasarkan ketentuan tersebut, akta PPAT wajib dibacakan atau dijelaskan isinya kepada
para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum
ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
Bentuk dan tata cara pengisian akta PPAT diatur dalam ketentuan hukum yang
memaksa, artinya bentuk dan tata cara pengisian akta itu harus diikuti dan tidak boleh
menyimpang. Penyimpangan dari bentuk dan tata cara pengisian akta PPAT akan
membawa akibat hukum terhadap akta yang dibuat oleh PPAT.
Saat ini sudah banyak PPAT yang membuat akta tidak sesuai dengan bentuk dan
tata cara pengisian akta PPAT sehingga PPAT terjerat perkara di pengadilan. Putusan
Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg merupakan salah satu Putusan
yang di dalamnya memuat perkara yang menjerat PPAT di pengadilan, di mana adanya
gugatan terhadap PPAT atas terbitnya AJB yang dibuatnya.
Kasus bermula pada saat Para Pembanding mengajukan gugatan mengenai objek
sengketa tanah yang beralih kepemilikannya dari Para Pembanding kepada Terbanding I
dengan adanya AJB Nomor XXX/2015 yang dibuat oleh PPAT atas objek SHM Nomor
XXXX/Kel.Cicaheum yang telah dilakukan proses balik nama menjadi Terbanding I jauh
sebelum diajukannya gugatan oleh Para Pembanding ke pengadilan. Dalam kasus ini, Para
Pembanding merasa tidak pernah hadir menghadap PPAT untuk melakukan transaksi jual
beli sebagaimana yang tercantum dalam akta yang diterbitkan oleh PPAT. Berdasarkan
fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan kemudian diketahui bahwa pada saat
pembuatan AJB tersebut para pihak dan saksi tidak hadir di hadapan PPAT oleh karena
perbuatan PPAT yang hanya menitipkan AJB yang sudah diisi dan dibuatnya untuk
ditandatangani para pihak dan saksi.
Pada awalnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri menolak seluruh gugatan yang
diajukan, menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri walaupun para pihak dan saksi tidak
hadir di hadapan PPAT dalam pembuatan AJB Nomor XXX/2015, akta tersebut adalah sah.
Ketika diajukan banding, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi memberikan pertimbangan
yang berbeda, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa oleh karena para pihak
tidak hadir di hadapan PPAT, maka AJB yang dibuat oleh PPAT dinyatakan mengandung
cacat hukum sehingga akta tersebut tidak sah.
Melihat adanya perbedaan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Negeri dan Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi dalam memutus perkara terhadap akta yang dibuat oleh PPAT,
maka menarik untuk diteliti. Penelitian ini membahas mengenai akibat hukum terhadap
AJB yang dibuat tanpa kehadiran para pihak dan saksi di hadapan PPAT, serta tanggung

11 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah,
PP Nomor 37 Tahun 1998, Ps. 22.
6

jawab PPAT atas pembuatan AJB tersebut dengan judul “Pembuatan Akta Jual Beli
Tanpa Kehadiran Para Pihak Dan Saksi Di Hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(Studi Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg).”

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan dalam latar belakang, terdapat
pokok permasalahan terkait akibat hukum terhadap AJB yang dibuat tanpa kehadiran para
pihak dan saksi di hadapan PPAT serta tanggung jawab apa saja yang dapat diberikan
kepada PPAT atas terbitnya AJB tersebut. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan dalam
pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimana akibat hukum terhadap Akta Jual Beli yang dibuat tanpa kehadiran para
pihak dan saksi di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah? (Studi Putusan Pengadilan
Tinggi Bandung Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg).
2. Bagaimana tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah atas pembuatan Akta Jual
Beli tanpa kehadiran para pihak dan saksi? (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Bandung
Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg).

2. Pembahasan Pembuatan Akta Jual Beli Tanpa Kehadiran Para Pihak Dan Saksi
Di Hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi Putusan Pengadilan Tinggi
Bandung Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg)
Kasus ini bermula pada saat adanya gugatan oleh Tuan DK dan Nyonya EK selaku
Para Pembanding dahulu Para Penggugat yang merupakan sepasang suami isteri yang
sebelumnya memiliki harta bersama dimana salah satunya adalah tanah dan bangunan
dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor XXXX/Kel.Cicaheum atas nama Tuan DK
yang pada saat gugatan ini diajukan telah beralih kepemilikannya menjadi atas nama
Nyonya DM selaku Terbanding I dahulu Tergugat I berdasarkan Akta Jual Beli (AJB)
Nomor XXX/2015 yang dibuat oleh Terbanding II dahulu Tergugat II selaku Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu PPAT DS. Dalam kasus ini, Tuan DK dan Nyonya EK
mengajukan gugatan bahwa terhadap peralihan hak milik atas tanah berdasarkan AJB
Nomor XXX/2015, dibuat tanpa sepengetahuan dan tanpa dihadiri Tuan DK dan Nyonya
EK.
Tuan DK mengatakan pada awalnya ia hanya menitipkan SHM kepada Nyonya
DM yang merupakan teman dekatnya yang sedang diizinkan untuk menempati tanah dan
bangunan miliknya. Tuan DK dan Nyonya EK mengatakan terhadap terbitnya AJB
tersebut PPAT DS sejatinya tidak menerapkan prosedur hukum yang berlaku sebagaimana
ketentuan Pasal 38 Ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 mengenai pembuatan akta harus
dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk
bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum tersebut dan Pasal 22 PP No. 37 Tahun
1998 di mana akta PPAT harus dibacakan atau dijelaskan isinya kepada para pihak dengan
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu
juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
7

Nyonya DM selaku pembeli membantah dalil-dalil gugatan Tuan DK dan Nyonya


EK mengenai peralihan hak milik atas tanah berdasarkan AJB Nomor XXX/2015 dibuat
tanpa sepengetahuan dan tanpa dihadiri Tuan DK dan Nyonya EK. Nyonya DM
mengatakan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah sebelumnya Tuan DK dan Nyonya DM
berkenalan dan menjalin hubungan pertemanan, kemudian Tuan DK meminta tolong
kepada Nyonya DM untuk menawarkan tanah dan bangunan miliknya, di mana kakak dari
Nyonya DM yaitu Nyonya RR yang tidak digugat dalam kasus ini berminat untuk
membeli tanah dan bangunan milik Tuan DK senilai Rp1.350.000.000,00 (satu miliar tiga
ratus lima puluh juta rupiah) dengan sistem pembayaran dicicil, Tuan DK pun setuju dan
sambil pembayaran cicilan tersebut Tuan DK mengizinkan keluarga Nyonya DM untuk
menempati tanah dan bangunan miliknya. Ketika pembayaran cicilan berjumlah
Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah), pada tanggal 14 Oktober 2014 dibuat surat
kesepakatan jual beli di bawah tangan antara Tuan DK dan kakak dari Nyonya DM
sebagai tanda bukti bahwa Tuan DK telah menerima uang pembayaran senilai
Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah). Pada tanggal 14 September 2015 dibayar
pelunasan jual beli senilai Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) yang
kemudian diberikan kuitansi pelunasannya oleh Tuan DK.
Sebelum pembuatan AJB untuk proses balik nama Sertipikat, Nyonya DM dan
keluarganya mengadakan musyawarah untuk menentukan pencantuman nama pembeli
dalam AJB, disepakatilah nama Nyonya DM yang akan dicantumkan dalam AJB
sehubungan adanya uang Nyonya DM yang juga digunakan untuk pembayaran jual beli
tanah, hal tersebut pun diberitahukan kepada Tuan DK dan Tuan DK tidak keberatan
apabila tindak lanjut pembuatan AJB nama pembelinya dicantumkan atas nama Nyonya
DM. Tuan DK juga memberi tahu bahwa nantinya ia akan mencarikan PPAT untuk
pembuatan AJB melalui biro jasa Notaris/PPAT.
Berdasarkan keterangan pihak biro jasa Notaris/PPAT, sekiranya pada bulan Juli
2015 ia dihubungi via telepon oleh Tuan DK yang mengutarakan keinginannya untuk
dicarikan PPAT untuk pembuatan AJB dan kemudian pihak biro jasa Notaris/PPAT
menghubungi PPAT DS untuk pembuatan AJB dan proses balik nama Sertipikat. Pihak
biro jasa Notaris/PPAT juga menerangkan bahwa sekiranya pada bulan Oktober 2015 ia
menerima berkas yang diperlukan untuk pembuatan AJB dari calon penjual berupa 1
(satu) buku SHM Nomor XXXX/Kel.Cicaheum atas nama Tuan DK, Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atas nama Tuan DK dan Nyonya EK, Kartu Keluarga (KK) dan Buku
Nikah, begitu juga persyaratan dari calon pembeli untuk pembuatan AJB. Nyonya DM
mengatakan ia tidak pernah menerima titipan Sertipikat sebagaimana yang didalilkan
dalam gugatannya oleh Tuan DK, melainkan Tuan DK sendiri yang mengirim Sertipikat
tersebut kepada pihak biro jasa Notaris/PPAT.
Setelah semua syarat-syarat untuk pembuatan AJB diterima oleh pihak biro jasa
Notaris/PPAT kemudian diteruskan kepada PPAT DS, PPAT DS melakukan pengecekan
SHM No. XXXX/Kel.Cicaheum ke Kantor Pertanahan Kota Bandung dan dinyatakan
bersih dan sesuai dengan yang ada di Kantor Pertanahan Kota Bandung. Kemudian PPAT
DS membuat draft AJB yang memuat transaksi jual beli antara Tuan DK, Nyonya EK dan
8

Nyonya DM.
Berdasarkan keterangan pihak biro jasa Notaris/PPAT para pihak yang akan
melakukan pembuatan AJB sepakat akan melakukan penandatanganan AJB di kantor biro
jasa Notaris/PPAT sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Namun pada saat waktu
yang telah ditentukan PPAT DS hanya menitipkan blangko AJB yang sudah diisi dan
dibuatnya di kantor biro jasa Notaris/PPAT untuk ditandatangani para pihak.
Pihak biro jasa Notaris/PPAT mengatakan bahwa pihak yang pertama kali
menandatangani akta adalah pihak penjual yaitu Tuan DK dan Nyonya EK, kemudian di
lain waktu yang berbeda pihak pembeli yaitu Nyonya DM menandatangani akta, tidak ada
saksi-saksi akta dan tidak ada dokumentasi fotonya. Oleh karena tidak ada PPAT DS
maka tidak ada pembacaan akta. Setelah AJB ditandatangani para pihak, AJB tersebut
diambil kembali oleh PPAT DS yang kemudian oleh pegawainya diberikan kepada saksi-
saksi akta untuk ditandatangani. Berdasarkan keterangan salah satu saksi akta,
penandatanganannya pun tidak dilakukan di hadapan PPAT DS. Pihak biro jasa
Notaris/PPAT menerangkan, dalam pembuatan AJB Nomor XXX/2015 para pihak
memang tidak hadir di hadapan PPAT DS karena PPAT DS hanya menitipkan blangko
AJB.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 8/Pdt.G/2019/PN.Bdg, Majelis
Hakim Pengadilan Negeri menolak gugatan Tuan DK dan Nyonya EK. Majelis Hakim
Pengadilan Negeri berpendapat, walaupun pada saat pembuatan akta dan penandatanganan
akta tersebut para pihak dan saksi tidak hadir di hadapan PPAT, AJB tersebut adalah sah.
Menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri, peralihan hak atau balik nama SHM Nomor
XXXX/Kel.Cicaheum melalui jual beli yang dibuktikan dengan AJB Nomor XXX/2015
telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Tuan DK dan Nyonya EK yang merasa keberatan terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Bandung Nomor 8/Pdt/2019/PN.Bdg mengajukan banding terhadap pertimbangan
Majelis Hakim yang menyatakan bahwa peralihan hak atau balik nama SHM Nomor
XXXX/Kel.Cicaheum melalui jual beli berdasarkan AJB Nomor XXX/2015 telah sesuai
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah. Menurut Tuan DK dan Nyonya EK Majelis Hakim Pengadilan Negeri dalam
pertimbangannya didasarkan pada pertimbangan yang tidak cukup karena tidak
mempertimbangkan kembali proses sebelum penerbitan AJB oleh PPAT DS dan proses
penandatanganan AJB yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya tidak sependapat
dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat
bahwa akta yang dibuat oleh PPAT DS mengandung cacat hukum, dengan pertimbangan
AJB merupakan akta autentik yang harus ditandatangani di hadapan yang membuat dan
menerbitkan akta dan sebelum ditandatangani terlebih dahulu dibacakan untuk dimengerti
dan dipahami. Oleh karena dalam kasus ini para pihak dan saksi tidak hadir di hadapan
PPAT pada saat pembuatan akta, dengan demikian PPAT tidak membacakan AJB kepada
9

para pihak, maka dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor


633/Pdt/2019/PT.Bdg AJB Nomor XXX/2015 dinyatakan mengandung cacat hukum
sehingga dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.

2.1 Akibat Hukum Terhadap Akta Jual Beli Yang Dibuat Tanpa Para Pihak Dan
Saksi Di Hadapan Pejabat Pembuat Aka Tanah (Studi Putusan Pengadilan Tinggi
Bandung Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg).
Akta jual beli adalah akta yang dibuat oleh para pihak di muka dan/atau di hadapan
PPAT, yang memuat tentang hak dan kewajiban para pihak, dimana pihak penjual
menyerahkan hak atas tanah dan/atau hak milik atas satuan rumah susun dan menerima
uang, sedangkan pihak pembeli berkewajiban untuk menyerahkan uang dan berhak untuk
menerima hak atas tanah dan/atau hak milik atas satuan rumah susun.12 Sebelum pembuatan
AJB, PPAT wajib melakukan pemeriksaan kesesuaian/keabsahan Sertipikat di Kantor
Pertanahan setempat, kewajiban ini merupakan bagian dari pelaksanaan tugas jabatan
PPAT guna memastikan kebenaran formil dan data-data objek transaksi yang disampaikan
oleh para penghadap.
Pembuatan AJB dibuat sesuai dengan bentuk dan tata cara pengisian yang telah
ditentukan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Perkaban No. 8
Tahun 2012). Pembuatan akta PPAT harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan
data yang benar serta didukung dengan kelengkapan dokumen sesuai peraturan perundang-
undangan. Berdasarkan Pasal 54 Ayat (2) Perkaban No. 1 Tahun 2006, dalam pembuatan
akta ini PPAT tidak diperbolehkan untuk memuat kata-kata “sesuai atau menurut
keterangan para pihak” kecuali dengan di dukung oleh data formil. Apabila tidak terdapat
data formil yang menjadi dasar pembuatan akta, maka PPAT berwenang untuk menolak
pembuatan akta tersebut.13
Sebagaimana Pasal 38 Ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997, pembuatan AJB oleh PPAT
dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat bertindak
sebagai saksi dalam perbuatan hukum. Dalam Pasal 53 Ayat (3) dan Ayat (4) Perkaban No.
1 Tahun 2006 dinyatakan kembali bahwa pembuatan akta PPAT dilakukan dengan
disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang telah memenuhi syarat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Saksi-saksi tersebut memberi kesaksian mengenai:14

12 Salim HS, Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), (Depok: Rajawali
Pers, 2019), hlm. 115.
13 Utomo, Memahami Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, hlm. 242.
14 Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, Perkaban No. 1 Tahun 2006, Ps. 53 Ayat (3).
10

1. Identitas dan kapasitas penghadap;


2. Kehadiran para pihak atau kuasanya;
3. Kebenaran data fisik dan data yuridis, obyek perbuatan hukum dalam hal obyek
tersebut sebelum terdaftar;
4. Keberadaan dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta;
5. Telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.
Dalam pembuatan akta, PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang
bersangkutan dan memberikan penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan
prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Akta Jual Beli yang telah ditandatangani oleh para pihak membuktikan telah terjadi
pemindahan hak dari pembeli kepada penjual dengan disertai harganya, telah memenuhi
syarat tunai dan menunjukan secara nyata perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan
telah dilaksanakan. Akta Jual Beli membuktikan bahwa penerima hak sudah menjadi
pemegang hak yang baru.15 Setelah proses pembuatan AJB, PPAT berkewajiban untuk
menyampaikan AJB dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan
pendaftaran akta yang dibuatnya, kepada Kepala Kantor Pertanahan paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja sejak ditandatanganinya akta yang bersangkutan.
Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg dan
Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 8/Pdt.G/2019/PN.Bdg, sebagaimana fakta
hukum dalam persidangan bahwa para pihak yang namanya tercantum dalam AJB Nomor
XXX/2015 tidak hadir di hadapan PPAT sehingga saat penandatanganan AJB Nomor
XXX/2015 oleh para pihak yang terlibat di dalamnya tidak disaksikan oleh PPAT. Hal
tersebut dikarenakan PPAT hanya menitipkan blangko AJB yang sudah diisi dan dibuatnya
kepada pihak biro jasa Notaris/PPAT untuk ditandatangani para pihak yang namanya
tercantum di dalam akta.
Pada awalnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri menolak gugatan Tuan DK dan
Nyonya EK dikarenakan Tuan DK dan Nyonya EK tidak dapat membuktikan inti pokok
gugatannya. Majelis Hakim Pengadilan Negeri berpendapat, walaupun dalam kasus ini
pada saat pembuatan akta dan penandatanganan akta tersebut para pihak dan saksi tidak
hadir di hadapan PPAT DS, AJB Nomor XXX/2015 dinyatakan sah karena telah memenuhi
syarat sah perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata). Majelis Hakim Pengadilan Negeri berpendapat peralihan
hak milik atas tanah melalui jual beli yang telah dibuktikan dengan AJB Nomor XXX/2015
telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
Ketika diajukan banding, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam pertimbangan
hukumnya memberikan pendapat yang berbeda, AJB Nomor XXX/2015 dinyatakan
mengandung cacat hukum dengan pertimbangan bahwa AJB adalah akta autentik yang
harus ditandatangani di hadapan yang membuat dan menerbitkan akta dan sebelum

15 Boedi Harsono, Hukum Agraria, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2013), hlm. 296.
11

ditandatangani terlebih dahulu dibacakan untuk dimengerti dan dipahami. Oleh karena
pembuatan AJB Nomor XXX/2015 dibuat tanpa kehadiran para pihak dan saksi di hadapan
PPAT sehingga pada saat pembuatan akta tersebut PPAT tidak membacakan akta kepada
para pihak, dengan demikian AJB Nomor XXX/2015 dinyatakan mengandung cacat hukum
yang kemudian dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.
Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, akta autentik adalah suatu akta yang dibuat
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan di hadapan pegawai-
pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat di mana akta itu dibuatnya. Sebelum
akta PPAT dapat dikatakan sebagai akta autentik, harus memenuhi unsur-unsur
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata secara kumulatif, jika
dikaitkan dengan unsur-unsur akta autentik dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah sebagai
berikut.
1. Akta autentik harus dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
Unsur pertama akta dikatakan sebagai akta autentik apabila bentuk akta tersebut
ditentukan oleh undang-undang. Bentuk akta PPAT diatur dalam ketentuan sebagai
berikut.
a. Pasal 38 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur dengan Peraturan Menteri
Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional (yang saat ini telah berubah menjadi
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia).16
b. Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Negara/Kepala
Badan Pertanahan Nasional (yang saat ini telah berubah menjadi Menteri Negara
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia).17
c. Pasal 95 Permenag/KaBPN No. 3 Tahun 1997 dan Pasal 96 Permenag/KaBPN No.
3 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012
Ketentuan ini merumuskan mengenai bentuk-bentuk akta tanah yang dibuat oleh
PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, di
antaranya adalah Akta Jual Beli, Akta Tukar Menukar, Akta Hibah, Akta
Pemasukan ke Dalam Perusahaan, Akta Pembagian Hak Bersama, Akta Pemberian
Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik dan
Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik. Sebelum Pasal 96
Permenag/KaBPN disempurnakan dan diubah, Pasal 96 Ayat (2) mensyaratkan
pembuatan akta harus dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan
bentuk yang ditentukan dan disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN),

16 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, Ps. 38 Ayat
(2).
17 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No.
37 Tahun 1998, Ps. 21.
12

namun dengan diterbitkannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor


8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 (selanjutnya disebut Perkaban
No. 8 Tahun 2012), menghapus ketentuan Ayat (2) dan kemudian menambah Ayat
(4) yaitu “penyiapan dan pembuatan akta sebagaimana dimaksud Ayat (1) dilakukan
oleh masing-masing PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara, atau PPAT
Khusus”.
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, bentuk akta PPAT ditetapkan oleh Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (yang saat ini telah berubah
menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia).
2. Akta autentik harus dibuat di hadapan atau oleh pejabat umum
Suatu akta dikatakan sebagai akta autentik apabila akta tersebut dibuat oleh atau di
hadapan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta. Kedudukan
PPAT sebagai pejabat umum dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
a. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi wewenang
untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah,
dan akta pemberian kuasa Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.18
b. Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan
untuk membuat akta-akta tanah.19
c. Pasal 1 angka 24 PP No. 24 Tahun 1997
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan
untuk membuat akta-akta tanah tertentu.20
d. Pasal 1 angka 1 PP No. 37 Tahun 1998
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan
untuk membuat akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak
atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.21

18 Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang
Berkaitan Dengan Tanah, UU No. 4 Tahun 1996, LN No. 42 Tahun 1996, TLN No. 3632 Tahun 1996, Ps. 1
angka 4.
19 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai
Atas Tanah, PP No. 40 Tahun 1996, LN No. 58 Tahun 1996, TLN No. 3643 Tahun 1996, Ps. 1 angka 5.
20 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP Nomor 24 Tahun 1997, Ps. 1
angka 24.
21 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP
Nomor 37 Tahun 1998, Ps. 1 angka 1.
13

e. Pasal 1 angka 1 Perkaban No. 1 Tahun 2006


Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan
untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.22
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, hal ini menunjukkan bahwa PPAT adalah
pejabat umum yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk
membuat akta mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun.
3. Pejabat umum yang membuat akta tersebut berwenang membuat akta berdasarkan
wilayah kerjanya
Akta harus dibuat oleh PPAT yang memiliki kewenangan untuk membuat akta, di mana
kewenangan PPAT mencakup atau sesuai dengan letak objek dalam akta berada dan hal
ini berkaitan pula dengan daerah kerja PPAT. Ketentuan tentang daerah kerja PPAT
diatur dalam Pasal 12 PP No. 37 Tahun 1998 yang menyatakan “daerah kerja PPAT
adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya” 23 selain itu daerah
kerja PPAT diatur dalam Pasal 5 Perkaban No. 1 Tahun 2006 yang menyatakan “daerah
kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan” 24 daerah kerja PPAT juga
diatur dalam Pasal 12 PP No. 24 Tahun 2016 yang menyatakan daerah kerja PPAT
adalah satu wilayah Provinsi. Pemberlakuan dan pengaturan mengenai perubahan
daerah kerja PPAT baru dapat diterapkan setelah dibuat dan diterbitkannya Peraturan
Menteri yang mengatur tentang daerah kerja PPAT. Oleh karena belum diterbitkannya
Peraturan Menteri tentang daerah kerja PPAT, sehingga ketentuan daerah kerja PPAT
adalah tetap mengacu kepada satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Dari ketiga unsur-unsur suatu akta dapat dikatakan sebagai akta autentik sebagaimana yang
dijabarkan di atas, berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata akta yang dibuat oleh PPAT tidak
memenuhi unsur sebagai akta autentik. Unsur pertama yang menentukan bahwa bentuk akta
ditetapkan oleh undang-undang tidak dipenuhi, karena bentuk akta PPAT ditetapkan oleh
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Oleh karena untuk pemenuhan sifat akta
autentik harus dipenuhi secara kumulatif, maka akta PPAT tidak dapat dikatakan sebagai
akta autentik.
Jika dikaitkan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
yang menyatakan AJB Nomor XXX/2015 mengandung cacat hukum oleh karena AJB
adalah akta autentik yang harus ditandatangani di hadapan yang membuat dan

22 Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, Perkaban No. 1 Tahun 2006, Ps. 1 angka 1.
23 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No.
37 Tahun 1998, Ps. 12.
24 Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, Perkaban No. 1 Tahun 2006, Ps. 1 angka 1.
14

menerbitkan akta dan sebelum ditandatangani terlebih dahulu dibacakan untuk dimengerti
dan dipahami, maka tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata
yang merumuskan bahwa “suatu akta otentik dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang”. Ketidaksesuaian tersebut dikarenakan bentuk akta PPAT tidak
ditentukan oleh undang-undang, melainkan oleh Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Menteri.
Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa terdapat perbedaan pendapat
Majelis Hakim Pengadilan Negeri dan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi terhadap
keabsahan AJB Nomor XXX/2015 yang dibuat oleh PPAT. Menurut Majelis Hakim
Pengadilan Negeri walaupun para pihak tidak hadir menghadap PPAT pada saat
pembuatan akta, AJB yang dibuat oleh PPAT adalah sah karena telah memenuhi syarat
sah perjanjian. Dalam hal ini Majelis Hakim Pengadilan Negeri tidak mempermasalahkan
mengenai ketidakhadiran para pihak di hadapan PPAT, selama akta tersebut telah
memenuhi syarat sah perjanjian, maka akta tersebut dinyatakan sah sekalipun akta tersebut
tidak dibacakan oleh PPAT dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
saksi.
Akan tetapi, menurut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi, oleh karena para pihak
tidak hadir di hadapan PPAT DS dan tidak dibacakannya AJB kepada para penghadap
dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi, maka AJB Nomor
XXX/2015 dinyatakan mengandung cacat hukum. AJB Nomor XXX/2015 dinyatakan
mengandung cacat hukum oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi sehingga dinyatakan
tidak sah dan batal demi hukum karena AJB yang dibuat PPAT DS tidak memenuhi syarat
suatu akta sebagai akta autentik.
Untuk menentukan keabsahan Akta Jual Beli, hal yang paling utama ditentukan
adalah syarat materil jual beli tanah dan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang
ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata. Pada dasarnya, suatu akta yang dibuat oleh PPAT
berisi perjanjian di mana para pihak saling sepakat atau berjanji untuk melakukan suatu
perbuatan hukum dan perjanjian tersebut dituangkan oleh PPAT selaku pejabat yang
berwenang ke dalam akta atas permintaan dari para pihak.
Akta Jual Beli termasuk salah satu akta yang dibuat oleh PPAT yang di dalamnya
memuat perjanjian jual beli tanah antara para pihak untuk saling mengikatkan diri dan
berisikan perbuatan hukum para pihak. Berpijak pada syarat-syarat perjanjian yang diatur
pada Pasal 1320 KUHPerdata dikaitkan dengan ketentuan Pasal 39 Ayat (1) PP No. 24
Tahun 1997, maka syarat materil dari prosedur pembuatan akta PPAT harus memenuhi
syarat subjektif (subjek hak atau para pihak yang menghadap) dan syarat objektif (objek
yang dialihkan) dalam pembuatan akta PPAT. Apabila syarat subjektif dan syarat objektif
dilanggar, maka akta PPAT tersebut dapat dimintai pembatalan dan/atau dinyatakan batal
demi hukum.
Jika dilihat dari fakta-fakta hukum persidangan dan pertimbangan Majelis Hakim
yang ada di dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg,
apabila dikaitkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sah perjanjian yang
tertuang dalam AJB Nomor XXX/2015 adalah sebagai berikut.
15

1. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menimbang berdasarkan


keterangan pihak biro jasa Notaris/PPAT yang merupakan saksi persidangan di bawah
sumpah yang menerangkan bahwa pihak biro jasa Notaris/PPAT melihat Tuan DK,
Nyonya EK serta Nyonya DM menandatangani Akta Jual Beli karena
penandatanganannya dilakukan di kantor pihak biro jasa Notaris/PPAT, di mana
berdasarkan keterangan pihak biro jasa Notaris/PPAT bahwa yang pertama kali
menandatangani AJB adalah pihak penjual yaitu Tuan DK dan Nyonya EK, kemudian
di lain waktu yang berbeda pihak pembeli yaitu Nyonya DM menandatanganinya,
walaupun dalam kasus ini penandatanganan akta tersebut tidak dilakukan di hadapan
PPAT, maka seharusnya syarat subjektif berupa kesepakatan telah terpenuhi.
2. Tuan DK, Nyonya EK dan Nyonya DM adalah orang yang cakap untuk melakukan
perbuatan hukum. Maka unsur kecakapan dalam pembuatan AJB Nomor XXX/2015
telah terpenuhi.
3. Objek jual beli dalam AJB Nomor XXX/2015 adalah hak milik atas tanah beserta tanah
dan bangunan yang berdiri di atasnya, dengan Sertipikat Hak Milik Nomor
XXX/Kel.Cicaheum, yang berdasarkan keterangan pihak biro jasa Notaris/PPAT telah
diperiksa keasliannya oleh PPAT DS dan dinyatakan bersih dan telah sesuai dengan
daftar yang ada di Kantor Pertanahan Kota Bandung, maka syarat objektif berupa suatu
hal tertentu dalam kasus ini telah terpenuhi.
4. Berdasarkan keterangan pihak biro jasa Notaris/PPAT, para pihak telah
menandatangani akta, dan tidak ada unsur yang bertentangan dengan kausa yang halal.
Maka seharusnya syarat objektif mengenai kausa yang halal telah terpenuhi.
Dilihat dari syarat sahnya perjanjian tersebut, AJB Nomor XXX/2015 seharusnya telah
memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif perjanjian yang dituangkan dalam AJB.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah merumuskan bahwa akta PPAT memiliki fungsi sebagai berikut.
1. Alat bukti telah dilaksankannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau
hak milik atas satuan rumah susun.25
2. Dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan
oleh perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun.26
Fungsi AJB Nomor XXX/2015 hanya sebagai alat bukti telah dilakukannya suatu
perbuatan hukum jual beli yang tertera di dalam AJB dan sebagai syarat untuk pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah serta syarat pendaftaran peralihan hak atas tanah, bukan
untuk menentukan keabsahan perbuatan hukum yang tertuang di dalamnya. Keabsahan
AJB Nomor XXX/2015 ditentukan oleh syarat sah perjanjian yang berdasarkan uraian
sebelumnya bahwa perjanjian yang tertuang dalam AJB Nomor XXX/2015 telah sesuai
dengan Pasal 1320 KUHPerdata.

25 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No.
37 Tahun 1998, Ps. 1 angka 4.
26 Ibid., Ps. 2 Ayat (1)
16

Bentuk, isi dan cara pembuatan akta PPAT telah diatur dalam Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Bentuk dan tata cara pengisian akta
PPAT pada awalnya diatur dalam Pasal 96 Permenag/KaBPN No. 3 Tahun 1997 yang
kemudian diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun
2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Perkaban No. 8 Tahun 2012) yang
menjelaskan secara rinci mengenai bentuk akta yang dipergunakan di dalam pembuatan
akta-akta PPAT dan tata cara pengisian dibuat sesuai dengan Lampiran Perkaban No. 8
Tahun 2012.
Apabila akta-akta PPAT pembuatannya tidak sesuai dengan bentuk dan tata cara
pengisian akta yang telah ditentukan dalam Lampiran Perkaban No. 8 Tahun 2012, maka
akan menimbulkan akibat hukum terhadap akta yang dibuat oleh PPAT tersebut.
Berdasarkan Pasal 96 Ayat (3) Perkaban No. 8 Tahun 2012, pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah tidak dapat dilakukan jika pembuatannya tidak seusai dengan bentuk dan
tata cara pengisian akta PPAT, kemudian berdasarkan Pasal 96 Ayat (5) Perkaban No. 8
Tahun 2012 Kepala Kantor Pertanahan menolak pendaftaran akta PPAT yang tidak sesuai
dengan pembuatannya.
Seperti yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, bahwa proses pembuatan AJB
dimulai dari pengecekan sertipikat ke Kantor Pertanahan yang dilakukan oleh PPAT.
Dalam kasus ini, berdasarkan keterangan pihak biro jasa Notaris/PPAT bahwa SHM Nomor
XXXX/Kel.Cicaheum yang diperoleh dari Tuan DK yang kemudian diberikan kepada
PPAT DS telah diperiksa keasliannya di Kantor Pertanahan Kota Bandung oleh PPAT DS,
dan telah sesuai dengan daftar yang ada di Kantor Pertanahan.
Pada saat pembuatan AJB Nomor XXX/2015 para pihak yang namanya tercantum
dalam AJB tidak hadir di hadapan PPAT oleh karena perbuatan PPAT yang hanya
menitipkan AJB untuk ditandatangani para pihak kepada pihak biro jasa Notaris/PPAT,
pembuatan AJB Nomor XXX/2015 juga tidak disaksikan oleh sekurang-kurangnya (2)
orang saksi oleh karena saksi-saksi dalam akta hanya menerima AJB dari pegawai PPAT
DS untuk ditandatangani dan penandatanganannya pun tidak dilakukan di hadapan PPAT
DS.
Dengan demikian, PPAT tidak berhadapan langsung dengan para penghadap dan
saksi-saksi pada saat pembuatan AJB Nomor XXX/2015. PPAT tidak membacakan akta
yang dibuatnya kepada para penghadap dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. AJB
Nomor XXX/2015 yang dibuat tanpa hadirnya para pihak dan saksi di hadapan PPAT dan
tidak dibacakannya akta kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2
(dua) orang saksi dalam putusan ini merupakan hal yang bertentangan dengan bentuk, isi
dan tata cara pengisian akta PPAT yang telah diatur sedemikian rupa dalam Perkaban No. 8
Tahun 2012.
Mengenai akibat hukum terhadap Akta Jual Beli yang dibuat tanpa kehadiran para
pihak dan saksi di hadapan PPAT sehingga dibuat tidak sesuai bentuk dan tata cara
pengisian akta PPAT maka harus dibedakan antara ketentuan bentuk dan tata cara pengisian
17

akta PPAT dengan ketentuan perjanjian jual beli yang dituangkan di dalam akta,
dikarenakan fungsi AJB hanyalah sebagai alat bukti dan sebagai dasar untuk pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah, bukan sebagai penentu keabsahan perbuatan hukum
dalam akta. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, AJB Nomor XXX/2015 telah
memenuhi syarat sah perjanjian yang dituangkan ke dalam akta.
Keabsahan AJB ditentukan oleh syarat sahnya perjanjian jual beli tanah yang
tertuang di dalamnya. Apabila AJB tersebut telah memenuhi syarat sah perjanjian, maka
AJB tersebut adalah sah. Akan tetapi, mengenai ketentuan pembuatan akta PPAT yang
harus sesuai dengan bentuk dan tata cara pengisian akta PPAT adalah ketentuan yang
secara tegas diatur dalam Pasal 96 Ayat (1) Perkaban No. 8 Tahun 2012, sehingga apabila
tidak dibuat sesuai dengan bentuk dan tata cara pengisian yang telah diatur maka
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 96 Ayat (3) Perkaban No. 8 Tahun 2012 berakibat akta
tersebut tidak dapat dijadikan dasar perubahan pendaftaran perubahan data pendaftaran
tanah dan sebagaimana Pasal 96 Ayat (5) Perkaban No. 8 Tahun 2012 Kantor Pertanahan
setempat akan menolak pendaftarannya.

2.2 Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Atas Pembuatan Akta Jual Beli
Tanpa Kehadiran Para Pihak Dan Saksi (Studi Putusan Pengadilan Tinggi
Bandung Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg).
2.2.1 Tanggung Jawab Secara Administratif Dan Kode Etik
Tanggung jawab PPAT terkait kesengajaan, kealpaan dan/atau kelalaiannya dalam
melaksanakan tugas dan jabatannya dalam pembuatan akta yang menyimpang dari
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat
Akta Tanah dapat dikenakan sanksi administratif. Sanksi administratif merupakan sanksi
yang dikenakan kepada PPAT yang berupa:
1. “Teguran tertulis;
2. Pemberhentian sementara;
3. Pemberhentian dengan hormat; atau
4. Pemberhentian dengan tidak hormat.”27
Jenis pelanggaran dan sanksi PPAT lebih lanjut tercantum dalam Lampiran II
PermenATR/KaBPN No. 2 Tahun 2018). Dalam Lampiran II PermenATR/KaBPN No. 2
Tahun 2018. PPAT dapat dikenakan sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat
apabila melakukan pelanggaran berat dalam pelaksanaan tugas dan jabatannya dalam
pembuatan akta, pelanggaran berat yang dapat memberhentikan PPAT secara tidak hormat
dari jabatannya di antaranya adalah sebagai berikut.
1. PPAT membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau
konflik pertanahan;
2. PPAT melakukan pembuatan akta sebagai permufakatan jahat yang mengakibatkan

27 Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tentang Pembinaan Dan Pengawasan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, PermenATR/KaBPN No. 2 Tahun 2018, Ps. 12 Ayat (2).
18

sengketa atau konflik pertanahan;


3. PPAT melakukan pembuatan akta atas tanah/ Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun di
luar wilayah kerjanya kecuali karena pemekaran kabupaten/kota, pemekaran provinsi,
atau membuat akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, atau akta
pembagian bersama mengenai beberapa hak atas tanah/Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun yang tidak semuanya terletak dalam wilayah kerjanya;
4. PPAT memberikan keterangan yang tidak benar di dalam akta yang mengakibatkan
sengketa atau konflik pertanahan;
5. PPAT membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak di
luar dan atau di dalam daerah kerjanya;
6. PPAT melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT;
7. Pembuatan akta PPAT tidak dihadiri oleh para pihak yang berwenang dan sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang saksi;
8. PPAT membuat akta mengenai hak atas tanah/Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
yang objeknya masih sengketa;
9. PPAT tidak membacakan akta kepada para pihak dan memberi penjelasan mengenai
isi dan maksud pembuatan akta sebelum akta ditandatangani para pihak;
10. PPAT membuat akta di hadapan para pihak yang tidak berwenang melakukan
perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya;
11. PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian dengan hormat,
pemberhentian sementara atau dalam keadaan cuti.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 8/Pdt.G/2019/PN.Bdg dan
Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg, merupakan fakta hukum dalam
persidangan bahwa PPAT DS hanya menitipkan blangko AJB yang sudah diisi dan
dibuatnya untuk ditandatangani para pihak yang namanya tercantum dalam AJB kepada
pihak biro jasa Notaris/PPAT, sehingga pada saat pembuatan akta para pihak dan saksi
tidak hadir di hadapan PPAT DS. PPAT DS dalam kasus ini tetap menerbitkan AJB
tersebut tanpa memikirkan segala akibat hukum yang ditimbulkan dari perbuatannya.
Perbuatan yang dilakukan oleh PPAT DS terbukti tidak menjalankan kewajibannya
sebagai seorang PPAT. Ada pun kewajiban PPAT yang harus dijalankan dalam hal
pembuatan akta, yaitu dalam hal pembuatan akta harus dihadiri oleh para pihak yang
bersangkutan, pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat
untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian
antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen
yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum
tersebut oleh para pihak yang bersangkutan. Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya
kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum
ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Dalam pembuatan
AJB tersebut juga PPAT terbukti tidak menjalankan kewajibannya dalam pembuatan akta
mengenai pembacaan akta.
PPAT DS yang tidak memenuhi dan tidak menjalankan kewajibannya sebagai
19

PPAT terutama dalam hal pembuatan akta, maka hal tersebut merupakan suatu
pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan PPAT DS dalam menjalankan tugas dan
jabatannya termasuk ke dalam pelanggaran berat sebagaimana tercantum dalam Lampiran
II PermenATR/KaBPN No. 2 Tahun 2018, perbuatan yang dilanggar oleh PPAT DS
dalam pembuatan AJB Nomor XXX/2015 merupakan pelanggaran berat yang berupa
pembuatan akta tanpa dihadiri oleh pihak yang berwenang dan saksi. PPAT DS juga
melanggar melakukan pelanggaran berat yang berupa PPAT tidak membacakan akta
kepada para pihak dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta
sebelum akta ditandatangani para pihak. Dengan dilakukannya pelanggaran berat oleh
PPAT DS sebagaimana tercantum dalam Lampiran II PermenATR/KaBPN No. 2 Tahun
2018, maka sebagaimana Pasal 12 Ayat (2) huruf f PermenATR/KaBPN No. 2 Tahun
2018 PPAT DS dapat dikenakan sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari
jabatannya selaku PPAT.
Berkaitan dengan kode etik PPAT, saat ini Kode Etik PPAT diatur dalam
Lampiran Keputusan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 112/KEP-4.1/IV/2017 tentang Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah yang disahkan pada tanggal 27 April 2017. Kode etik profesi disusun oleh
organisasi PPAT yang pada saat ini adalah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT).
Dalam kode etik tersebut memuat seluruh hak, kewajiban, larangan dan tata cara
penjatuhan sanksi bagi PPAT yang melakukan pelanggaran. Pelanggaran adalah semua
jenis perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh perkumpulan IPPAT yang dapat
menurunkan keluruhan harkat dan martabat jabatan PPAT. Sehubungan dengan perbuatan
yang dilakukan oleh PPAT DS maka hal tersebut termasuk dalam pelanggaran.
Pelanggaran yang dimaksud yaitu pelanggaran terhadap Kode Etik IPPAT. Dalam Pasal 4
Kode Etik IPPAT, memuat mengenai larangan PPAT dalam melaksanakan tugas dan
jabatannya salah satiunya ialah mengirim minuta kepada klien-klien untuk ditandatangani
oleh klien-klien tersebut.28 Berdasarkan salah satu larangan PPAT dalam melaksanakan
tugas dan jabatannya sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 4 Kode Etik IPPAT, maka
dalam hal ini PPAT DS telah melanggar Pasal 4 Kode Etik IPPAT dimana PPAT DS
terbukti mengirim minuta kepada klien untuk ditandatangani. Dalam Kode Etik IPPAT,
PPAT dilarang mengirim minuta kepada klien-klien untuk ditandatangani oleh klien-klien
tersebut. Berdasarkan pelanggaran yang dilakukan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal
6 Kode Etik IPPAT, bagi anggota perkumpulan IPPAT yang melakukan pelanggaran
Kode Etik dapat dikenakan sanksi berupa teguran, peringatan, schorsing, onzetting
(pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT dan pemberhentian dengan tidak
hormat dari perkumpulan IPPAT.29

28 Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Keputusan Menteri


Negara Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Kode Etik Ikatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, Nomor: 112/KEP-4.1/IV/2017, Ps. 3.
29 Ibid., Ps. 6 Ayat (1).
20

3.2.1 Tanggung Jawab Secara Perdata


Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT berfungsi sebagai alat untuk membuktikan
telah dilakukannya suatu perbuatan hukum. Apabila AJB yang dibuat oleh PPAT tidak
dapat menjalankan fungsinya sebagai alat bukti karena pembuatannya tidak sesuai dengan
ketentuan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan karena kesalahan yang
dilakukan oleh PPAT dan menimbulkan kerugian bagi pihak yang memiliki kebutuhan
terhadap akta yang dibuat oleh PPAT, maka PPAT dapat digugat untuk bertanggung jawab
atas perbuatannya tersebut.
Dalam Pasal 1365 KUHPerdata diatur mengenai perbuatan melawan hukum, yang
menyatakan bahwa “tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada
orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.”30 Unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat menggugat PPAT DS
telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga dapat dituntut untuk mengganti
kerugian terhadap pihak yang merasa dirugikan, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Adanya suatu perbuatan
PPAT DS tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan dalam pembuatan akta, tepatnya Pasal 38 Ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997,
dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh para pihak dan disaksikan sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang saksi kemudian akta tersebut harus dibacakan oleh PPAT
sebagaimana Pasal 22 PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Dengan demikian, PPAT DS tidak melakukan suatu perbuatan
yang merupakan kewajibannya dalam pembuatan akta, sehingga akta tersebut tidak
dapat menjalankan fungsinya sebagai alat bukti.
2. Perbuatan tersebut melawan hukum
Dalam hal ini, perbuatan PPAT DS dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar
hukum yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, di mana
perbuatannya adalah perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum PPAT DS
yang telah ditentukan oleh perundang-undangan dalam melaksanakan tugas dan
jabatannya dalam pembuatan akta.
3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku
Dalam hal ini adanya kesalahan oleh PPAT DS yang secara sengaja membuat AJB
dengan tidak melaksanakan kewajibannya dalam pembuatan akta.
4. Adanya kerugian bagi korban;
Dengan dibuatnya Akta Jual Beli tanpa kehadiran para pihak dan saksi di hadapan
PPAT, yang mengakibatkan akta tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti
sebagaimana fungsinya karena kesalahan dari PPAT maka dalam hal ini ada kerugian
yang dialami oleh salah satu pihak yang tidak dapat menggunakan akta tersebut sebagai
alat bukti.
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

30 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio, (Jakarta: Balai Pustaka, 2014), Ps. 1874.
21

Perbuatan PPAT DS yang hanya menitipkan blangko AJB kepada pihak biro jasa
Notaris/PPAT untuk ditandatangani Tuan DK, Nyonya EK, dan Nyonya DM yang
kemudian diberikan kepada saksi-saksi untuk ditandatangani sehingga akta tersebut
tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai alat bukti karena dibuat tidak sesuai dengan
bentuk dan tata cara pengisian akta PPAT, maka terdapat hubungan kausal antara
perbuatan PPAT dan kerugian yang timbul bagi pihak yang merasa dirugikan.
Untuk mengabulkan suatu gugatan perbuatan melawan hukum unsur-unsur
perbuatan melawan hukum tersebut harus dipenuhi secara kumulatif. Unsur-unsur
perbuatan melawan hukum harus dijelaskan secara rinci agar seseorang dapat dikatakan
telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Dengan demikian, tanggung jawab PPAT secara perdata dalam hal PPAT membuat
akta jual beli tanpa kehadiran para pihak dan saksi, sehingga akta tersebut tidak dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, maka PPAT
DS dapat dituntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga oleh pihak yang merasa
dirugikan yang memiliki kebutuhan terhadap akta yang dibuat oleh PPAT.

3. PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Akibat hukum terhadap Akta Jual Beli yang dibuat tanpa kehadiran para pihak dan
saksi di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah AJB tersebut tidak dapat
dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan
oleh karena pembuatannya tidak sesuai dengan ketentuan mengenai bentuk dan tata
cara pengisian akta sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
2. Tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah atas pembuatan Akta Jual Beli tanpa
kehadiran para pihak dan saksi secara administratif dan kode etik adalah sanksi
pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya selaku PPAT karena telah
melakukan pelanggaran berat dalam melaksanakan tugas jabatannya sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018 dan sanksi kode etik berupa teguran sampai
dengan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan Ikatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Secara perdata PPAT dapat dituntut untuk ganti
rugi, biaya dan bunga oleh pihak yang merasa dirugikan.

3.2 Saran
Di samping simpulan yang telah dipaparkan di atas, terdapat saran. Saran yang
dapat diberikan adalah sebagai berikut.
1. Sudah seharusnya terdapat undang-undang yang mengatur mengenai kedudukan akta
PPAT sebagai akta autentik beserta kewenangan, hak, kewajiban, dan larangan bagi
22

seorang PPAT dalam menjalankan fungsinya sebagai pejabat umum agar tidak
menimbulkan berbagai tafsiran mengenai akta-akta yang dibuat oleh PPAT dan
pelaksanaan tugas bagi seorang PPAT. Undang-undang tersebut juga harus berisikan
mengenai akibat hukum terhadap akta yang dibuat tidak sesuai dengan undang-undang
yang mengaturnya dan sanksi-sanksi yang timbul ketika PPAT melanggar ketentuan
dalam undang-undang tersebut, sebagaimana halnya dengan ketentuan akta Notaris
beserta kewenangan, hak, kewajiban, dan larangan bagi seorang Notaris yang
ditentukan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
2. PPAT dalam melaksanan tugas jabatannya wajib menjunjung tinggi profesionalitasnya.
Seorang PPAT harus senantiasa menjalankan jabatannya dengan penuh tanggung jawab
dan pengabdian terhadap kepentingan umum, senantiasa mematuhi kode etik profesi
dan peraturan perundang-undangan dalam pembuatan akta. Hal ini untuk untuk
menjamin kepastian hukum perbuatan yang dilakukan oleh para pihak sehingga tidak
menimbulkan konflik atau sengketa di kemudian hari.
23

DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan

Indonesia. Undang-Undang tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda


yang Berkaitan Dengan Tanah. UU No. 4 Tahun 1996. LN No. 42 Tahun 1996.
TLN No. 3632 Tahun 1996.

_______. Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN


No. 52 Tahun 1998, TLN No. 3746.

_______. Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah,
PP No. 37 Tahun 1998, LN No. 52 Tahun 1998, TLN No. 3746.

_______. Undang-Undang tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda


yang Berkaitan Dengan Tanah. UU No. 4 Tahun 1996. LN No. 42 Tahun 1996. TLN No.
3632 Tahun 1996.

_______. Peraturan Pemerintah tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak
Pakai Atas Tanah, PP No. 40 Tahun 1996. LN No. 58 Tahun 1996. TLN No. 3643 Tahun
1996.

Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik


Indonesia tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Perkaban No. 1 Tahun 2006.

Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Menteri


Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
tentang Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
PermenATR/KaBPN No. 2 Tahun 2018.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Diterjemahkan oleh R.


Subekti dan R. Tjitrosudibio, Jakarta: Balai Pustaka, 2014.
24

B. Buku

Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum, Cet. 1. Jakarta: Program Pascasarjana


Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.

Boedi Harsono, Boedi. Hukum Agraria, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok


Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional. Jakarta:
Universitas Trisakti, 2013.

Sutedi, Adrian. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. 9. Jakarta: Sinar
Grafika, 2018.

Waskito dan Hadi Arnowo. Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah di Indonesia. Jakarta:


Prenadamedia Group, 2019.

Utomo, Hatta Isnaini Wahyu. Memahami Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Jakarta: Kencana, 2020.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenai Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1999.

HS, Salim. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Sinar Grafika, 2018.

_______. Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Depok: Rajawali
Pers, 2019.

Anda mungkin juga menyukai