9-30-2021
Pembuatan Akta Jual Beli Tanpa Kehadiran Para Pihak Dan Saksi
Di Hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi Putusan
Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 633/PDT/2019/PT.BDG)
Kinanti Justi Andika
KinantiJA@gmail.com
Part of the Commercial Law Commons, Contracts Commons, Land Use Law Commons, and the Legal
Profession Commons
Recommended Citation
Andika, Kinanti Justi (2021) "Pembuatan Akta Jual Beli Tanpa Kehadiran Para Pihak Dan Saksi Di
Hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 633/PDT/
2019/PT.BDG)," Indonesian Notary: Vol. 3, Article 47.
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/notary/vol3/iss3/47
This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been
accepted for inclusion in Indonesian Notary by an authorized editor of UI Scholars Hub.
Pembuatan Akta Jual Beli Tanpa Kehadiran Para Pihak Dan Saksi Di Hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor
633/PDT/2019/PT.BDG)
Abstrak
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam menjalankan jabatannya harus bertanggung
jawab penuh atas akta yang telah dibuat. Hal ini disebabkan apabila PPAT tidak menjalankan
kewajibannya dalam pembuatan akta sehingga akta yang dibuat tidak sesuai dengan bentuk dan tata
cara pengsian akta, maka akta tersebut memiliki akibat hukum. Penelitian ini memiliki pembahasan
tentang pembuatan Akta Jual Beli (AJB) yang seharusnya dalam pembuatan akta dihadiri oleh para
pihak dan saksi di hadapan PPAT. Permasalahan dalam penelitian ini adalah akibat hukum terhadap
AJB yang dibuat tanpa kehadiran para pihak dan saksi di hadapan PPAT dan tanggung jawab PPAT
atas pembuatan AJB tanpa kehadiran para pihak dan saksi. Penelitian ini merupakan penelitian
berbentuk yuridis normatif dan tipe penelitian deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian ini
diperoleh simpulan bahwa akibat hukum terhadap AJB yang dibuat tanpa kehadiran para pihak dan
saksi di hadapan PPAT adalah AJB tersebut tidak dapat dijadikan dasar sebagai pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah, tanggung jawab PPAT atas pembuatan AJB yang dibuat tanpa
kehadiran para pihak dan saksi dapat diberikan sanksi administratif, kode etik, dan perdata.
Kata Kunci : Pejabat Pembuat Akta Tanah, Akta Jual Beli, Tanggung Jawab
Abstract
The Land Deed Making Official (PPAT) in carrying out his position must be fully responsible for
the deed that has been made. This is because if the PPAT does not carry out its obligations in
making the deed so that the deed made is not in accordance with the form and procedure for filling
the deed, then the deed has legal consequences. This study has a discussion about the making of the
Sale and Purchase Deed (AJB) which should be in the making of the deed attended by the parties
and witnesses before PPAT. The problem in this study is the legal consequences of AJB which were
made without the presence of the parties and witnesses before PPAT and PPAT's responsibility for
the manufacture of AJB without the presence of the parties and witnesses. This research is a
normative juridical research and descriptive analytical research type. Based on the results of this
study, it was concluded that the legal consequences for AJB that were made without the presence of
the parties and witnesses before PPAT were that the AJB could not be used as the basis for
registering changes to land registration data, PPAT's responsibility for making AJB made without
the presence of the parties and witnesses administrative sanctions, codes of ethics, civil and
criminal sanctions may be imposed.
Keywords : Land Deed Maker Official, Sale and Purchase Deed, Responsibility
2
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam melaksanakan tugas dan jabatannya
dalam pembuatan akta harus menjalankan kewajibannya dengan baik dan benar serta tidak
melakukan perbuatan yang dilarang oleh peraturan-peraturan yang mengaturnya.
Disimpanginya kewajiban PPAT dalam melaksanakan tugas dan jabatannya dalam
membuat akta mengakibatkan akta PPAT tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai alat
bukti untuk dijadikan dasar sebagai pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.
Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah (selanjutnya disebut PP No. 24 Tahun 1997) menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan membuat akta-akta tanah tertentu.1 Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya
disebut PP No. 37 Tahun 1998) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.2
Peran PPAT yaitu sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta
pemindahan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah dan akta-akta lain yang diatur
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membantu Kepala Kantor
Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan
dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. 3 Akta merupakan sebuah
tulisan yang memuat suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang di atasnya
dibubuhkan tanda tangan dan tulisan tersebut sejak awal pembuatannya memang sengaja
untuk digunakan sebagai alat bukti.4
Akta mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu akta sebagai fungsi formal yang mempunyai
arti bahwa suatu perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta.
Fungsi alat bukti yaitu akta sebagai alat pembuktian dimana dibuatnya akta tersebut oleh
para pihak yang terkait dalam suatu perjanjian ditujukan untuk pembuktian di kemudian
hari.5
1 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN No. 52
Tahun 1998, TLN No. 3746, Ps. 1 angka 24.
2 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No.
37 Tahun 1998, LN No. 52 Tahun 1998, TLN No. 3746, Ps. 1 angka 1.
3 Waskito dan Hadi Arnowo, Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2019), hlm. 61.
4 Hatta Isnaini Wahyu Utomo, Memahami Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Jakarta:
Kencana, 2020), 163.
5 Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 121-
122.
3
6 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No.
37 Tahun 1998, LN No. 52 Tahun 1998, TLN No. 3746, Ps. 2 Ayat 1.
7 Salim HS, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), hlm. 44.
4
dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum
yang gelap yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi).8
Akta Jual Beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi
pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya.
Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak,
maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang
haknya yang baru.
Ada pun dengan membuat suatu perjanjian jual beli, para pihak bermaksud untuk
membuat suatu perjajian dalam rangka proses peralihan hak milik atas tanah. Dalam
perjanjian jual beli para pihak mengutarakan keinginannya serta memuat janji-janji untuk
melakukan transaksi jual beli hak milik atas tanah. Perjanjian jual beli yang dituangkan ke
dalam Akta Jual Beli harus memenuhi 4 (empat) syarat yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata mengenai syarat sah perjanjian, dengan dipenuhinya syarat ini maka
perjanjian itu berlaku sah, syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.9
Akta PPAT dibuat sesuai dengan bentuk dan tata cara pengisian yang telah
ditentukan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Perkaban No. 8
Tahun 2012). Pembuatan akta PPAT harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan
data yang benar serta didukung dengan dokumen sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam pembuatan akta PPAT tidak diperbolehkan memuat kata-kata “sesuai atau menurut
keterangan para pihak”, kecuali didukung dengan data formil, PPAT berwenang menolak
pembuatan akta yang tidak didasari data formil.10
Pembuatan akta PPAT juga wajib mengikuti ketentuan peraturan yang berlaku
sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangangan mengenai
pembuatan akta PPAT. Salah satu ketentuan peraturan tersebut sebagaimana dalam Pasal
38 Ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 yaitu pembuatan akta PPAT dihadiri oleh para pihak
yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Selain pembuatan akta PPAT dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan
hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi,
8 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. 9, (Jakarta: Sinar Grafika,
2018), hlm. 77.
9 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio, (Jakarta: Balai Pustaka, 2014), Ps. 1320.
10 Utomo, Memahami Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, hlm. 242.
5
dalam pembuatan akta PPAT terdapat prosedur pembacaan akta yang merupakan kewajiban
PPAT dalam melaksanakan tugasnya dalam membuat akta, sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 22 PP No. 37 Tahun 1998 dikatakan bahwa “Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan
isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi
sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.” 11
Berdasarkan ketentuan tersebut, akta PPAT wajib dibacakan atau dijelaskan isinya kepada
para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum
ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
Bentuk dan tata cara pengisian akta PPAT diatur dalam ketentuan hukum yang
memaksa, artinya bentuk dan tata cara pengisian akta itu harus diikuti dan tidak boleh
menyimpang. Penyimpangan dari bentuk dan tata cara pengisian akta PPAT akan
membawa akibat hukum terhadap akta yang dibuat oleh PPAT.
Saat ini sudah banyak PPAT yang membuat akta tidak sesuai dengan bentuk dan
tata cara pengisian akta PPAT sehingga PPAT terjerat perkara di pengadilan. Putusan
Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg merupakan salah satu Putusan
yang di dalamnya memuat perkara yang menjerat PPAT di pengadilan, di mana adanya
gugatan terhadap PPAT atas terbitnya AJB yang dibuatnya.
Kasus bermula pada saat Para Pembanding mengajukan gugatan mengenai objek
sengketa tanah yang beralih kepemilikannya dari Para Pembanding kepada Terbanding I
dengan adanya AJB Nomor XXX/2015 yang dibuat oleh PPAT atas objek SHM Nomor
XXXX/Kel.Cicaheum yang telah dilakukan proses balik nama menjadi Terbanding I jauh
sebelum diajukannya gugatan oleh Para Pembanding ke pengadilan. Dalam kasus ini, Para
Pembanding merasa tidak pernah hadir menghadap PPAT untuk melakukan transaksi jual
beli sebagaimana yang tercantum dalam akta yang diterbitkan oleh PPAT. Berdasarkan
fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan kemudian diketahui bahwa pada saat
pembuatan AJB tersebut para pihak dan saksi tidak hadir di hadapan PPAT oleh karena
perbuatan PPAT yang hanya menitipkan AJB yang sudah diisi dan dibuatnya untuk
ditandatangani para pihak dan saksi.
Pada awalnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri menolak seluruh gugatan yang
diajukan, menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri walaupun para pihak dan saksi tidak
hadir di hadapan PPAT dalam pembuatan AJB Nomor XXX/2015, akta tersebut adalah sah.
Ketika diajukan banding, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi memberikan pertimbangan
yang berbeda, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa oleh karena para pihak
tidak hadir di hadapan PPAT, maka AJB yang dibuat oleh PPAT dinyatakan mengandung
cacat hukum sehingga akta tersebut tidak sah.
Melihat adanya perbedaan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Negeri dan Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi dalam memutus perkara terhadap akta yang dibuat oleh PPAT,
maka menarik untuk diteliti. Penelitian ini membahas mengenai akibat hukum terhadap
AJB yang dibuat tanpa kehadiran para pihak dan saksi di hadapan PPAT, serta tanggung
11 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah,
PP Nomor 37 Tahun 1998, Ps. 22.
6
jawab PPAT atas pembuatan AJB tersebut dengan judul “Pembuatan Akta Jual Beli
Tanpa Kehadiran Para Pihak Dan Saksi Di Hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(Studi Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg).”
2. Pembahasan Pembuatan Akta Jual Beli Tanpa Kehadiran Para Pihak Dan Saksi
Di Hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi Putusan Pengadilan Tinggi
Bandung Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg)
Kasus ini bermula pada saat adanya gugatan oleh Tuan DK dan Nyonya EK selaku
Para Pembanding dahulu Para Penggugat yang merupakan sepasang suami isteri yang
sebelumnya memiliki harta bersama dimana salah satunya adalah tanah dan bangunan
dengan Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor XXXX/Kel.Cicaheum atas nama Tuan DK
yang pada saat gugatan ini diajukan telah beralih kepemilikannya menjadi atas nama
Nyonya DM selaku Terbanding I dahulu Tergugat I berdasarkan Akta Jual Beli (AJB)
Nomor XXX/2015 yang dibuat oleh Terbanding II dahulu Tergugat II selaku Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu PPAT DS. Dalam kasus ini, Tuan DK dan Nyonya EK
mengajukan gugatan bahwa terhadap peralihan hak milik atas tanah berdasarkan AJB
Nomor XXX/2015, dibuat tanpa sepengetahuan dan tanpa dihadiri Tuan DK dan Nyonya
EK.
Tuan DK mengatakan pada awalnya ia hanya menitipkan SHM kepada Nyonya
DM yang merupakan teman dekatnya yang sedang diizinkan untuk menempati tanah dan
bangunan miliknya. Tuan DK dan Nyonya EK mengatakan terhadap terbitnya AJB
tersebut PPAT DS sejatinya tidak menerapkan prosedur hukum yang berlaku sebagaimana
ketentuan Pasal 38 Ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 mengenai pembuatan akta harus
dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk
bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum tersebut dan Pasal 22 PP No. 37 Tahun
1998 di mana akta PPAT harus dibacakan atau dijelaskan isinya kepada para pihak dengan
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu
juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
7
Nyonya DM.
Berdasarkan keterangan pihak biro jasa Notaris/PPAT para pihak yang akan
melakukan pembuatan AJB sepakat akan melakukan penandatanganan AJB di kantor biro
jasa Notaris/PPAT sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Namun pada saat waktu
yang telah ditentukan PPAT DS hanya menitipkan blangko AJB yang sudah diisi dan
dibuatnya di kantor biro jasa Notaris/PPAT untuk ditandatangani para pihak.
Pihak biro jasa Notaris/PPAT mengatakan bahwa pihak yang pertama kali
menandatangani akta adalah pihak penjual yaitu Tuan DK dan Nyonya EK, kemudian di
lain waktu yang berbeda pihak pembeli yaitu Nyonya DM menandatangani akta, tidak ada
saksi-saksi akta dan tidak ada dokumentasi fotonya. Oleh karena tidak ada PPAT DS
maka tidak ada pembacaan akta. Setelah AJB ditandatangani para pihak, AJB tersebut
diambil kembali oleh PPAT DS yang kemudian oleh pegawainya diberikan kepada saksi-
saksi akta untuk ditandatangani. Berdasarkan keterangan salah satu saksi akta,
penandatanganannya pun tidak dilakukan di hadapan PPAT DS. Pihak biro jasa
Notaris/PPAT menerangkan, dalam pembuatan AJB Nomor XXX/2015 para pihak
memang tidak hadir di hadapan PPAT DS karena PPAT DS hanya menitipkan blangko
AJB.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 8/Pdt.G/2019/PN.Bdg, Majelis
Hakim Pengadilan Negeri menolak gugatan Tuan DK dan Nyonya EK. Majelis Hakim
Pengadilan Negeri berpendapat, walaupun pada saat pembuatan akta dan penandatanganan
akta tersebut para pihak dan saksi tidak hadir di hadapan PPAT, AJB tersebut adalah sah.
Menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri, peralihan hak atau balik nama SHM Nomor
XXXX/Kel.Cicaheum melalui jual beli yang dibuktikan dengan AJB Nomor XXX/2015
telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Tuan DK dan Nyonya EK yang merasa keberatan terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Bandung Nomor 8/Pdt/2019/PN.Bdg mengajukan banding terhadap pertimbangan
Majelis Hakim yang menyatakan bahwa peralihan hak atau balik nama SHM Nomor
XXXX/Kel.Cicaheum melalui jual beli berdasarkan AJB Nomor XXX/2015 telah sesuai
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah. Menurut Tuan DK dan Nyonya EK Majelis Hakim Pengadilan Negeri dalam
pertimbangannya didasarkan pada pertimbangan yang tidak cukup karena tidak
mempertimbangkan kembali proses sebelum penerbitan AJB oleh PPAT DS dan proses
penandatanganan AJB yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya tidak sependapat
dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat
bahwa akta yang dibuat oleh PPAT DS mengandung cacat hukum, dengan pertimbangan
AJB merupakan akta autentik yang harus ditandatangani di hadapan yang membuat dan
menerbitkan akta dan sebelum ditandatangani terlebih dahulu dibacakan untuk dimengerti
dan dipahami. Oleh karena dalam kasus ini para pihak dan saksi tidak hadir di hadapan
PPAT pada saat pembuatan akta, dengan demikian PPAT tidak membacakan AJB kepada
9
2.1 Akibat Hukum Terhadap Akta Jual Beli Yang Dibuat Tanpa Para Pihak Dan
Saksi Di Hadapan Pejabat Pembuat Aka Tanah (Studi Putusan Pengadilan Tinggi
Bandung Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg).
Akta jual beli adalah akta yang dibuat oleh para pihak di muka dan/atau di hadapan
PPAT, yang memuat tentang hak dan kewajiban para pihak, dimana pihak penjual
menyerahkan hak atas tanah dan/atau hak milik atas satuan rumah susun dan menerima
uang, sedangkan pihak pembeli berkewajiban untuk menyerahkan uang dan berhak untuk
menerima hak atas tanah dan/atau hak milik atas satuan rumah susun.12 Sebelum pembuatan
AJB, PPAT wajib melakukan pemeriksaan kesesuaian/keabsahan Sertipikat di Kantor
Pertanahan setempat, kewajiban ini merupakan bagian dari pelaksanaan tugas jabatan
PPAT guna memastikan kebenaran formil dan data-data objek transaksi yang disampaikan
oleh para penghadap.
Pembuatan AJB dibuat sesuai dengan bentuk dan tata cara pengisian yang telah
ditentukan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Perkaban No. 8
Tahun 2012). Pembuatan akta PPAT harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan
data yang benar serta didukung dengan kelengkapan dokumen sesuai peraturan perundang-
undangan. Berdasarkan Pasal 54 Ayat (2) Perkaban No. 1 Tahun 2006, dalam pembuatan
akta ini PPAT tidak diperbolehkan untuk memuat kata-kata “sesuai atau menurut
keterangan para pihak” kecuali dengan di dukung oleh data formil. Apabila tidak terdapat
data formil yang menjadi dasar pembuatan akta, maka PPAT berwenang untuk menolak
pembuatan akta tersebut.13
Sebagaimana Pasal 38 Ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997, pembuatan AJB oleh PPAT
dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat bertindak
sebagai saksi dalam perbuatan hukum. Dalam Pasal 53 Ayat (3) dan Ayat (4) Perkaban No.
1 Tahun 2006 dinyatakan kembali bahwa pembuatan akta PPAT dilakukan dengan
disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang telah memenuhi syarat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Saksi-saksi tersebut memberi kesaksian mengenai:14
12 Salim HS, Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), (Depok: Rajawali
Pers, 2019), hlm. 115.
13 Utomo, Memahami Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, hlm. 242.
14 Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, Perkaban No. 1 Tahun 2006, Ps. 53 Ayat (3).
10
15 Boedi Harsono, Hukum Agraria, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2013), hlm. 296.
11
ditandatangani terlebih dahulu dibacakan untuk dimengerti dan dipahami. Oleh karena
pembuatan AJB Nomor XXX/2015 dibuat tanpa kehadiran para pihak dan saksi di hadapan
PPAT sehingga pada saat pembuatan akta tersebut PPAT tidak membacakan akta kepada
para pihak, dengan demikian AJB Nomor XXX/2015 dinyatakan mengandung cacat hukum
yang kemudian dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.
Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, akta autentik adalah suatu akta yang dibuat
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan di hadapan pegawai-
pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat di mana akta itu dibuatnya. Sebelum
akta PPAT dapat dikatakan sebagai akta autentik, harus memenuhi unsur-unsur
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata secara kumulatif, jika
dikaitkan dengan unsur-unsur akta autentik dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah sebagai
berikut.
1. Akta autentik harus dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
Unsur pertama akta dikatakan sebagai akta autentik apabila bentuk akta tersebut
ditentukan oleh undang-undang. Bentuk akta PPAT diatur dalam ketentuan sebagai
berikut.
a. Pasal 38 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur dengan Peraturan Menteri
Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional (yang saat ini telah berubah menjadi
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia).16
b. Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Negara/Kepala
Badan Pertanahan Nasional (yang saat ini telah berubah menjadi Menteri Negara
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia).17
c. Pasal 95 Permenag/KaBPN No. 3 Tahun 1997 dan Pasal 96 Permenag/KaBPN No.
3 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012
Ketentuan ini merumuskan mengenai bentuk-bentuk akta tanah yang dibuat oleh
PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, di
antaranya adalah Akta Jual Beli, Akta Tukar Menukar, Akta Hibah, Akta
Pemasukan ke Dalam Perusahaan, Akta Pembagian Hak Bersama, Akta Pemberian
Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik dan
Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik. Sebelum Pasal 96
Permenag/KaBPN disempurnakan dan diubah, Pasal 96 Ayat (2) mensyaratkan
pembuatan akta harus dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan
bentuk yang ditentukan dan disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN),
16 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, Ps. 38 Ayat
(2).
17 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No.
37 Tahun 1998, Ps. 21.
12
18 Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang
Berkaitan Dengan Tanah, UU No. 4 Tahun 1996, LN No. 42 Tahun 1996, TLN No. 3632 Tahun 1996, Ps. 1
angka 4.
19 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai
Atas Tanah, PP No. 40 Tahun 1996, LN No. 58 Tahun 1996, TLN No. 3643 Tahun 1996, Ps. 1 angka 5.
20 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP Nomor 24 Tahun 1997, Ps. 1
angka 24.
21 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP
Nomor 37 Tahun 1998, Ps. 1 angka 1.
13
22 Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, Perkaban No. 1 Tahun 2006, Ps. 1 angka 1.
23 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No.
37 Tahun 1998, Ps. 12.
24 Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, Perkaban No. 1 Tahun 2006, Ps. 1 angka 1.
14
menerbitkan akta dan sebelum ditandatangani terlebih dahulu dibacakan untuk dimengerti
dan dipahami, maka tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata
yang merumuskan bahwa “suatu akta otentik dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang”. Ketidaksesuaian tersebut dikarenakan bentuk akta PPAT tidak
ditentukan oleh undang-undang, melainkan oleh Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Menteri.
Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa terdapat perbedaan pendapat
Majelis Hakim Pengadilan Negeri dan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi terhadap
keabsahan AJB Nomor XXX/2015 yang dibuat oleh PPAT. Menurut Majelis Hakim
Pengadilan Negeri walaupun para pihak tidak hadir menghadap PPAT pada saat
pembuatan akta, AJB yang dibuat oleh PPAT adalah sah karena telah memenuhi syarat
sah perjanjian. Dalam hal ini Majelis Hakim Pengadilan Negeri tidak mempermasalahkan
mengenai ketidakhadiran para pihak di hadapan PPAT, selama akta tersebut telah
memenuhi syarat sah perjanjian, maka akta tersebut dinyatakan sah sekalipun akta tersebut
tidak dibacakan oleh PPAT dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
saksi.
Akan tetapi, menurut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi, oleh karena para pihak
tidak hadir di hadapan PPAT DS dan tidak dibacakannya AJB kepada para penghadap
dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi, maka AJB Nomor
XXX/2015 dinyatakan mengandung cacat hukum. AJB Nomor XXX/2015 dinyatakan
mengandung cacat hukum oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi sehingga dinyatakan
tidak sah dan batal demi hukum karena AJB yang dibuat PPAT DS tidak memenuhi syarat
suatu akta sebagai akta autentik.
Untuk menentukan keabsahan Akta Jual Beli, hal yang paling utama ditentukan
adalah syarat materil jual beli tanah dan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang
ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata. Pada dasarnya, suatu akta yang dibuat oleh PPAT
berisi perjanjian di mana para pihak saling sepakat atau berjanji untuk melakukan suatu
perbuatan hukum dan perjanjian tersebut dituangkan oleh PPAT selaku pejabat yang
berwenang ke dalam akta atas permintaan dari para pihak.
Akta Jual Beli termasuk salah satu akta yang dibuat oleh PPAT yang di dalamnya
memuat perjanjian jual beli tanah antara para pihak untuk saling mengikatkan diri dan
berisikan perbuatan hukum para pihak. Berpijak pada syarat-syarat perjanjian yang diatur
pada Pasal 1320 KUHPerdata dikaitkan dengan ketentuan Pasal 39 Ayat (1) PP No. 24
Tahun 1997, maka syarat materil dari prosedur pembuatan akta PPAT harus memenuhi
syarat subjektif (subjek hak atau para pihak yang menghadap) dan syarat objektif (objek
yang dialihkan) dalam pembuatan akta PPAT. Apabila syarat subjektif dan syarat objektif
dilanggar, maka akta PPAT tersebut dapat dimintai pembatalan dan/atau dinyatakan batal
demi hukum.
Jika dilihat dari fakta-fakta hukum persidangan dan pertimbangan Majelis Hakim
yang ada di dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg,
apabila dikaitkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sah perjanjian yang
tertuang dalam AJB Nomor XXX/2015 adalah sebagai berikut.
15
25 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No.
37 Tahun 1998, Ps. 1 angka 4.
26 Ibid., Ps. 2 Ayat (1)
16
Bentuk, isi dan cara pembuatan akta PPAT telah diatur dalam Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Bentuk dan tata cara pengisian akta
PPAT pada awalnya diatur dalam Pasal 96 Permenag/KaBPN No. 3 Tahun 1997 yang
kemudian diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun
2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Perkaban No. 8 Tahun 2012) yang
menjelaskan secara rinci mengenai bentuk akta yang dipergunakan di dalam pembuatan
akta-akta PPAT dan tata cara pengisian dibuat sesuai dengan Lampiran Perkaban No. 8
Tahun 2012.
Apabila akta-akta PPAT pembuatannya tidak sesuai dengan bentuk dan tata cara
pengisian akta yang telah ditentukan dalam Lampiran Perkaban No. 8 Tahun 2012, maka
akan menimbulkan akibat hukum terhadap akta yang dibuat oleh PPAT tersebut.
Berdasarkan Pasal 96 Ayat (3) Perkaban No. 8 Tahun 2012, pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah tidak dapat dilakukan jika pembuatannya tidak seusai dengan bentuk dan
tata cara pengisian akta PPAT, kemudian berdasarkan Pasal 96 Ayat (5) Perkaban No. 8
Tahun 2012 Kepala Kantor Pertanahan menolak pendaftaran akta PPAT yang tidak sesuai
dengan pembuatannya.
Seperti yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, bahwa proses pembuatan AJB
dimulai dari pengecekan sertipikat ke Kantor Pertanahan yang dilakukan oleh PPAT.
Dalam kasus ini, berdasarkan keterangan pihak biro jasa Notaris/PPAT bahwa SHM Nomor
XXXX/Kel.Cicaheum yang diperoleh dari Tuan DK yang kemudian diberikan kepada
PPAT DS telah diperiksa keasliannya di Kantor Pertanahan Kota Bandung oleh PPAT DS,
dan telah sesuai dengan daftar yang ada di Kantor Pertanahan.
Pada saat pembuatan AJB Nomor XXX/2015 para pihak yang namanya tercantum
dalam AJB tidak hadir di hadapan PPAT oleh karena perbuatan PPAT yang hanya
menitipkan AJB untuk ditandatangani para pihak kepada pihak biro jasa Notaris/PPAT,
pembuatan AJB Nomor XXX/2015 juga tidak disaksikan oleh sekurang-kurangnya (2)
orang saksi oleh karena saksi-saksi dalam akta hanya menerima AJB dari pegawai PPAT
DS untuk ditandatangani dan penandatanganannya pun tidak dilakukan di hadapan PPAT
DS.
Dengan demikian, PPAT tidak berhadapan langsung dengan para penghadap dan
saksi-saksi pada saat pembuatan AJB Nomor XXX/2015. PPAT tidak membacakan akta
yang dibuatnya kepada para penghadap dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. AJB
Nomor XXX/2015 yang dibuat tanpa hadirnya para pihak dan saksi di hadapan PPAT dan
tidak dibacakannya akta kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2
(dua) orang saksi dalam putusan ini merupakan hal yang bertentangan dengan bentuk, isi
dan tata cara pengisian akta PPAT yang telah diatur sedemikian rupa dalam Perkaban No. 8
Tahun 2012.
Mengenai akibat hukum terhadap Akta Jual Beli yang dibuat tanpa kehadiran para
pihak dan saksi di hadapan PPAT sehingga dibuat tidak sesuai bentuk dan tata cara
pengisian akta PPAT maka harus dibedakan antara ketentuan bentuk dan tata cara pengisian
17
akta PPAT dengan ketentuan perjanjian jual beli yang dituangkan di dalam akta,
dikarenakan fungsi AJB hanyalah sebagai alat bukti dan sebagai dasar untuk pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah, bukan sebagai penentu keabsahan perbuatan hukum
dalam akta. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, AJB Nomor XXX/2015 telah
memenuhi syarat sah perjanjian yang dituangkan ke dalam akta.
Keabsahan AJB ditentukan oleh syarat sahnya perjanjian jual beli tanah yang
tertuang di dalamnya. Apabila AJB tersebut telah memenuhi syarat sah perjanjian, maka
AJB tersebut adalah sah. Akan tetapi, mengenai ketentuan pembuatan akta PPAT yang
harus sesuai dengan bentuk dan tata cara pengisian akta PPAT adalah ketentuan yang
secara tegas diatur dalam Pasal 96 Ayat (1) Perkaban No. 8 Tahun 2012, sehingga apabila
tidak dibuat sesuai dengan bentuk dan tata cara pengisian yang telah diatur maka
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 96 Ayat (3) Perkaban No. 8 Tahun 2012 berakibat akta
tersebut tidak dapat dijadikan dasar perubahan pendaftaran perubahan data pendaftaran
tanah dan sebagaimana Pasal 96 Ayat (5) Perkaban No. 8 Tahun 2012 Kantor Pertanahan
setempat akan menolak pendaftarannya.
2.2 Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Atas Pembuatan Akta Jual Beli
Tanpa Kehadiran Para Pihak Dan Saksi (Studi Putusan Pengadilan Tinggi
Bandung Nomor 633/Pdt/2019/PT.Bdg).
2.2.1 Tanggung Jawab Secara Administratif Dan Kode Etik
Tanggung jawab PPAT terkait kesengajaan, kealpaan dan/atau kelalaiannya dalam
melaksanakan tugas dan jabatannya dalam pembuatan akta yang menyimpang dari
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat
Akta Tanah dapat dikenakan sanksi administratif. Sanksi administratif merupakan sanksi
yang dikenakan kepada PPAT yang berupa:
1. “Teguran tertulis;
2. Pemberhentian sementara;
3. Pemberhentian dengan hormat; atau
4. Pemberhentian dengan tidak hormat.”27
Jenis pelanggaran dan sanksi PPAT lebih lanjut tercantum dalam Lampiran II
PermenATR/KaBPN No. 2 Tahun 2018). Dalam Lampiran II PermenATR/KaBPN No. 2
Tahun 2018. PPAT dapat dikenakan sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat
apabila melakukan pelanggaran berat dalam pelaksanaan tugas dan jabatannya dalam
pembuatan akta, pelanggaran berat yang dapat memberhentikan PPAT secara tidak hormat
dari jabatannya di antaranya adalah sebagai berikut.
1. PPAT membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau
konflik pertanahan;
2. PPAT melakukan pembuatan akta sebagai permufakatan jahat yang mengakibatkan
27 Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tentang Pembinaan Dan Pengawasan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, PermenATR/KaBPN No. 2 Tahun 2018, Ps. 12 Ayat (2).
18
PPAT terutama dalam hal pembuatan akta, maka hal tersebut merupakan suatu
pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan PPAT DS dalam menjalankan tugas dan
jabatannya termasuk ke dalam pelanggaran berat sebagaimana tercantum dalam Lampiran
II PermenATR/KaBPN No. 2 Tahun 2018, perbuatan yang dilanggar oleh PPAT DS
dalam pembuatan AJB Nomor XXX/2015 merupakan pelanggaran berat yang berupa
pembuatan akta tanpa dihadiri oleh pihak yang berwenang dan saksi. PPAT DS juga
melanggar melakukan pelanggaran berat yang berupa PPAT tidak membacakan akta
kepada para pihak dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta
sebelum akta ditandatangani para pihak. Dengan dilakukannya pelanggaran berat oleh
PPAT DS sebagaimana tercantum dalam Lampiran II PermenATR/KaBPN No. 2 Tahun
2018, maka sebagaimana Pasal 12 Ayat (2) huruf f PermenATR/KaBPN No. 2 Tahun
2018 PPAT DS dapat dikenakan sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari
jabatannya selaku PPAT.
Berkaitan dengan kode etik PPAT, saat ini Kode Etik PPAT diatur dalam
Lampiran Keputusan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 112/KEP-4.1/IV/2017 tentang Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah yang disahkan pada tanggal 27 April 2017. Kode etik profesi disusun oleh
organisasi PPAT yang pada saat ini adalah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT).
Dalam kode etik tersebut memuat seluruh hak, kewajiban, larangan dan tata cara
penjatuhan sanksi bagi PPAT yang melakukan pelanggaran. Pelanggaran adalah semua
jenis perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh perkumpulan IPPAT yang dapat
menurunkan keluruhan harkat dan martabat jabatan PPAT. Sehubungan dengan perbuatan
yang dilakukan oleh PPAT DS maka hal tersebut termasuk dalam pelanggaran.
Pelanggaran yang dimaksud yaitu pelanggaran terhadap Kode Etik IPPAT. Dalam Pasal 4
Kode Etik IPPAT, memuat mengenai larangan PPAT dalam melaksanakan tugas dan
jabatannya salah satiunya ialah mengirim minuta kepada klien-klien untuk ditandatangani
oleh klien-klien tersebut.28 Berdasarkan salah satu larangan PPAT dalam melaksanakan
tugas dan jabatannya sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 4 Kode Etik IPPAT, maka
dalam hal ini PPAT DS telah melanggar Pasal 4 Kode Etik IPPAT dimana PPAT DS
terbukti mengirim minuta kepada klien untuk ditandatangani. Dalam Kode Etik IPPAT,
PPAT dilarang mengirim minuta kepada klien-klien untuk ditandatangani oleh klien-klien
tersebut. Berdasarkan pelanggaran yang dilakukan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal
6 Kode Etik IPPAT, bagi anggota perkumpulan IPPAT yang melakukan pelanggaran
Kode Etik dapat dikenakan sanksi berupa teguran, peringatan, schorsing, onzetting
(pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT dan pemberhentian dengan tidak
hormat dari perkumpulan IPPAT.29
30 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio, (Jakarta: Balai Pustaka, 2014), Ps. 1874.
21
Perbuatan PPAT DS yang hanya menitipkan blangko AJB kepada pihak biro jasa
Notaris/PPAT untuk ditandatangani Tuan DK, Nyonya EK, dan Nyonya DM yang
kemudian diberikan kepada saksi-saksi untuk ditandatangani sehingga akta tersebut
tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai alat bukti karena dibuat tidak sesuai dengan
bentuk dan tata cara pengisian akta PPAT, maka terdapat hubungan kausal antara
perbuatan PPAT dan kerugian yang timbul bagi pihak yang merasa dirugikan.
Untuk mengabulkan suatu gugatan perbuatan melawan hukum unsur-unsur
perbuatan melawan hukum tersebut harus dipenuhi secara kumulatif. Unsur-unsur
perbuatan melawan hukum harus dijelaskan secara rinci agar seseorang dapat dikatakan
telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Dengan demikian, tanggung jawab PPAT secara perdata dalam hal PPAT membuat
akta jual beli tanpa kehadiran para pihak dan saksi, sehingga akta tersebut tidak dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, maka PPAT
DS dapat dituntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga oleh pihak yang merasa
dirugikan yang memiliki kebutuhan terhadap akta yang dibuat oleh PPAT.
3. PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Akibat hukum terhadap Akta Jual Beli yang dibuat tanpa kehadiran para pihak dan
saksi di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah AJB tersebut tidak dapat
dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan
oleh karena pembuatannya tidak sesuai dengan ketentuan mengenai bentuk dan tata
cara pengisian akta sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
2. Tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah atas pembuatan Akta Jual Beli tanpa
kehadiran para pihak dan saksi secara administratif dan kode etik adalah sanksi
pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya selaku PPAT karena telah
melakukan pelanggaran berat dalam melaksanakan tugas jabatannya sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018 dan sanksi kode etik berupa teguran sampai
dengan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan Ikatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Secara perdata PPAT dapat dituntut untuk ganti
rugi, biaya dan bunga oleh pihak yang merasa dirugikan.
3.2 Saran
Di samping simpulan yang telah dipaparkan di atas, terdapat saran. Saran yang
dapat diberikan adalah sebagai berikut.
1. Sudah seharusnya terdapat undang-undang yang mengatur mengenai kedudukan akta
PPAT sebagai akta autentik beserta kewenangan, hak, kewajiban, dan larangan bagi
22
seorang PPAT dalam menjalankan fungsinya sebagai pejabat umum agar tidak
menimbulkan berbagai tafsiran mengenai akta-akta yang dibuat oleh PPAT dan
pelaksanaan tugas bagi seorang PPAT. Undang-undang tersebut juga harus berisikan
mengenai akibat hukum terhadap akta yang dibuat tidak sesuai dengan undang-undang
yang mengaturnya dan sanksi-sanksi yang timbul ketika PPAT melanggar ketentuan
dalam undang-undang tersebut, sebagaimana halnya dengan ketentuan akta Notaris
beserta kewenangan, hak, kewajiban, dan larangan bagi seorang Notaris yang
ditentukan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
2. PPAT dalam melaksanan tugas jabatannya wajib menjunjung tinggi profesionalitasnya.
Seorang PPAT harus senantiasa menjalankan jabatannya dengan penuh tanggung jawab
dan pengabdian terhadap kepentingan umum, senantiasa mematuhi kode etik profesi
dan peraturan perundang-undangan dalam pembuatan akta. Hal ini untuk untuk
menjamin kepastian hukum perbuatan yang dilakukan oleh para pihak sehingga tidak
menimbulkan konflik atau sengketa di kemudian hari.
23
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan
_______. Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah,
PP No. 37 Tahun 1998, LN No. 52 Tahun 1998, TLN No. 3746.
_______. Peraturan Pemerintah tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak
Pakai Atas Tanah, PP No. 40 Tahun 1996. LN No. 58 Tahun 1996. TLN No. 3643 Tahun
1996.
B. Buku
Sutedi, Adrian. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. 9. Jakarta: Sinar
Grafika, 2018.
Utomo, Hatta Isnaini Wahyu. Memahami Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Jakarta: Kencana, 2020.
_______. Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Depok: Rajawali
Pers, 2019.