Anda di halaman 1dari 5

1.

Pengertian Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata


Hukum perdata adalah rangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan antar
orang satu dengan lain, yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorrangan
(menurut kansil)
Hukum acara perdata adalah sekumpulan peraturan yang mengatur tentang bagaimana
cara mengajukan tuntutan hak, mengadili, memutus dan melaksanakan dari pada
putusannya.
Hubungan Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata sering disebut sbg hukum formil yang tujuannya
mempertahankan hak dan kewajiban perdata yang sudah diatur dalam hukum perdata
materil.
2. Wewenang absolut baik pada peradilan umum mamupun peradilan Agama
berikut dasar hukumnya masing-masing
PERADILAN UMUM: Berdasarkan UU no 2 tahun 1986 tentng peradilan umum dan
pasal 50 UU no 2 tahun 1999 lingkungan Peradilan Agama secara tegas semula
ditentukan dalam pasal 49 dan 50 UU Nomer 7 Tahun 1989 dan UU Nomer 3 Tahun
2006.
1) Pasal 49 UU Nomer 7 Tahun 1989, berbunyi:
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang :
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam;
c. Wakaf dan shodaqoh.
2) Bidang Perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf (a) ialah
hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai
perkawinan yang berlaku.
3) Bidang Kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b, ialah
penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris.
Pasal 49 UU Nomer 3 Tahun 2006, berbunyi bahwa “pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam dibidang: Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah”.

Sumber hukum Acara Perdata yang berlaku di peradilan umum serta peradilan
agama:
Berlaku di lingkungan Peradilan Umum juga berlaku di lingkungan Peradilan Agama.
Sumber Hukum Acara pada Peradilan Agama, yaitu :
a. UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 48 Tahun 2009
b. UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
c. UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama.
SUMBER Hukum Acara yang berlaku di Lingkungan Peradilan Umum:
1) HIR (Het herziene Inlands Reglement) atau di sebut juga RIB (Reglemen
Indonesia yang diperbarui) staatsblad 1948 berlaku untuk Jawa dan Madura.
2) Rbg (Rechts Reglement Buitengewesten) atau Reglemen untuk Daerah seberang
Staatsblad 1927 Nomor 227, berlaku untuk Luar Jawa dan Madura.
3) Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yaitu Hukum Acara Perdata
yang
berlaku di Raad Van Justitie yaitu berlaku bagi golongan Eropa.
4) BW (Burgerlijke Wetboek) khususnya di BUKU IV tentang pembuktian dan
daluwarsa.
5) UU Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
6) UU Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2
Tahun 1986
Tentang Peradilan Umum.
Undang-undang yang sama-sama berlaku baik di Peradilan Umum maupun
Peradilan Agama, yaitu :
1) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
2) UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
3) PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun
1974.
4) UU Nomor 20 Tahun 1947 Tentang Apel (Peradilan Ulangan) / Banding.
5) UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
6) UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Custom (kebiasaan) temasuk di dalam Hukum Adat dimaksudkan adalah
Hukum Acara Peradilan Islam yang belum terdapat dalam Undang-undang
atau kebiasaan Hakim dalam mengadili suatu perkara.
a) Yurisprudensi (Putusan-putusan Pengadilan).
b) Doktrin (Ilmu Pengetahuan) terutama ilmu pengetahuan tentang Hukum Acara
Peradilan Islam atau Pendapat Para Ahli.
3. Sumber hubungan hukum yaitu:
a) Sumber hukum formiil adalah sumber hukum yang memiliki bentuk atau forma
tersendiri yang berlaku secara umum dan telah diketahui atau berlaku umum.
Adapun yang menjadi sumber hukum formal adalah undang-undang, kebiasaan/
adat-istiadat/ tradisi, traktat/ perjanjian antarnegara, yurisprudensi, dan doktrin.
b) Sumber hukum materiil adalah sumber-sumber yang melahirkan isi (materi) suatu
hukum sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung. Biasanya yang
menjadi sumber-sumber hukum materil adalah aneka gejala yang ada dalam
kehidupan masyarakat, baik yang telah menjelma menjadi peristiwa maupun yang
belum menjelma menjadi peristiwa.
4. Syarat isi gugatan dan dasar hukumnya:
Berdasarkan pasal 8 sub. 3 RV, isi gugatan adalah:
a) Identitas para pihak.
b) Posita (uraian kejadian/peristiwa/duduknya perkara dan hubungan hukum
yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan)
c) Petitum (tuntutan: pokok, tambahan)
Upaya menjamin hak dalam gugatan:
Hukum Acara Perdata menyediakan upaya untuk menjamin hak, yaitu dengan
penyitaan (arrest, beslag). Dalam pengetahuan hukum acara perdata dikenal tiga
macam sita (beslag), yaitu: Sita Jaminan (conservatoir beslag), Sita revindikatoir
(Revindikatoir beslag), dan sita Marital (maritaal beslag).
a) Sita Jaminan
Yang dimaksud sita ialah menahan dan menyimpan barang-barang milik
Tergugat atas dasar hukum ketetapan hakim. Agar barang yang ditahan dan
disimpan itu sebagai jaminan jumlah tagihan Penggugat, apabila gugatan
dimenangkan atau dikabulkan dan putusan itu dapat dilaksanakan (M. Yahya
Harahap, 1977:378).
b) Revindicatoir Beslag
Perkataan Revindicatoir yang artinya mendapatkan. Sedangkan perkataan
“Revindone Beslag” penyitaan untuk mendapatkan hak kembali. Revindicatoir
Beslag ialah sita terhadap barang bergerak milik Penggugat yang berada dalam
kekuasaan Tergugat. (Pasal 226 HIR, 260 Rbg). Misalnya A mempunyai
mobil, sedangkan mobil milik A disewa oleh B, ternyata pada waktu
berakhirnya sewa, B tidak mau mengembalikan kepada A. Maka A dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan disertai mohon penyitaan terhadap mobil
miliknya yang berada dalam kekuasaan B.
c) Sita Maritaal
Sita ini bukan menjamin suatu tagihan utang atau penyerahan barang, akan
tetapi sita ini agar barang tidak dijual. Sita maritaal ini diajukan oleh
istri/suami terhadap barang-barang yang merupakan kesatuan harta kekayaan
atau harta gono gini (harta bersama) agar selama proses perceraian diperiksa
di pengadilan untuk mencegah agar lawannya tidak mengalihkan atau
mengasingkan barangnya tersebut. ( Pasal 190 BW, 832 Rv). Misalnya A dan
B suami Istri, selama berumah tangga telah memperoleh harta bersama (gono
gini). Kemudian A mengajukan perceraian terhadap B di Pegadilan, agar harta
bersama itu tidak di alihkan oleh B, maka A dapat mengajukan penyitaan
terhadap harta bersama (Gono gini)nya.
5. Intervensi ada 3:
a) Voeging, yaitu ikut sertanya pihak ketiga atas inisiatif sendiri dalam
pemeriksaan sengketa perdata untuk membela salah satu pihak penggugat atau
tergugat.
b) Tussenkomst, yaitu ikut sertanya pihak ketiga atas inisiatif sendiri dalam
pemeriksaan sengketa perdata, akan tetapi tidak memihak salah satu pihak,
baik penggugat atau tergugat, tetapi demi membela kepentingannya sendiri.
c) Vrijwaring atau penjaminan, yaitu ikut sertanya pihak ketiga dalam
pemeriksaan sengketa perdata karena ditarik oleh salah satu pihak untuk ikut
menanggungnya.
6. Apabila Penggugat tidak menghadiri persidangan, utamanya di sidang pertama, maka
Hakim dapat memutuskan Gugatan gugur karena dinilai Penggugat tidak menunjukan
keseriusannya terhadap gugatan yang telah diajukan oleh dirinya. Hakim diberi
wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara meskipun tergugat/para tergugat
seluruhnya tidak hadir di persidangan pada tanggal yang ditentukan dan tidak
meminta pihak lain untuk mewakilinya meskipun telah dipanggil secara patut,
sebagaimana diatur dalam Pasal 125 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Pasal 149
ayat (1) Reglement voor de Buitengewesten (RBg) dan Pasal 78 Reglement op de
Rechtvordering (RV).
7. Eksepsi
a) Eksepsi adalah suatu sanggahan atau bantahan dari pihak tergugat terhadap
gugatan penggugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang
berisikan tuntutan batalnya gugatan. isi eksepsi:
1) objek keberatan
2) alasan keberatan
b) Rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang maknanya rekonvensi adalah
gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan
yang diajukan penggugat kepadanya. syarat formil gugatan yaitu:
1) menyebut dengan tegas subjek yang ditarik sebagai tergugat
rekonvensi;
2) merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa
penegasan dasar hukum (rechtsgrond) dan dasar peristiwa
(fijteljkegrond) yang melandasi gugatan;
3) menyebut dengan rinci petitum gugatan.
8. Gugatan
a) Gugatan atau permohonan di sampaikan secara tertulis diajukan ke Pengadilan
Negeri/Agama yang sewilayah hukum dengan tempat tinggal tergugat.
Apabila tergugat ternyata tidak berada di tempat tinggalnya, maka gugatan
atau permohonan diajukan ke Pengadilan negeri/Agama sewilayah hukum
dengan tempat senyatanya tergugat tinggal atau diam (pasal 118 (1) HIR. Jika
tergugatnya lebih dari satu orang, masing-masing tergugat tidak bertempat
tinggal dalam satu wilayah hukum Pengadilan negeri/agama, maka gugatan
diajukan ke Pangadilan negeri/Agama yang sewilayah hukum dengan salah
satu tempat tinggal tergugat. Jika tergugatnynya lebih dari seorang, seorang
tergugat sebagai berutang (debitur) sedang tergugat yang lain sebagi penjamin
(borg) hutangnya, maka gugatan diajukan ke Pangadilannegeri/ Agama
sewilayah hukum dengan si berutang (debitur). (pasal 118 (2) HIR)
b) pasal 66 ayat (2) terdapat dua ketentuan: pertama permohonan talak oleh
suami diajukan ke pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman istri (Termohon). Kedua, kecuali bila Termohon dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman yang telah ditentukan bersama tanpa ijin
Pemohon. Maka permohonan talak oleh suami diajukan ke pengadilan agama
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman hukum suami (pemohon).
Pasal 73 ayat (1) terdapat dua ketentuan, yaitu pertama, gugatan perceraian
diajukan oleh istri (penggugat) ke pengadilan agama yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman isteri (penggugat). Kedua, kecuali apabila istri
(penggugat) dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang telah
ditentukan bersama tanpa ijin suami (tergugat). Maka gugatan perceraian oleh
istri diajukan ke pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman hukum Tergugat (suami). Pengajukan gugatan perceraian yang
dimaksud pasal 73 ayat (2), misalnya B (istri) berkediaman diluar negeri,
maka gugatan perceraian diajukan oleh B (istri) ke pengadilan agama yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman hukum A (suami)

Anda mungkin juga menyukai