Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sekarang ini telah berkembang sistem perbankan dan berbagai bentuk jasa
lainnya, sehingga hal ini sangat mendukung dalam munculnya banyak jenis layanan jasa
yang ditawarkan. Tidak hanya sekedar jasa penitipan uang maupun barang, bahkan jasa
untuk menjamin kejadian tidak terduga di masa depan, seperti halnya asuransi. Di
samping itu, untuk mendapatkan modal juga disediakan suatu bentuk peminjaman dalam
bentuk pegadaian, dengan menjadikan suatu benda sebagai barang jaminan. Semua itu
dilakukan karena peluang untuk membuka layanan jasa sangat besar dan juga
dikarenakan modernisasi yang membuat orang lebih memilih untuk menggunakan
layanan jasa. Sekilas mungkin terlihat bahwa semua penyediaan jasa tersebut sangat
membantu dalam kehidupan sehari-hari, namun juga perlu dipertimbangkan bagaimana
tinjauan hukum Islam dalam hal ini.

B. Rumusan Masalah
1. Asuransi dalam Islam
2. Mendefenisikan Asuransi dan Pegadaian Syariah
3. Memahami Prinsip Operasionalisasi Asuransi dan Pegadaian Syari’ah

C. Tujuan
1. Mengetahui Asuransi dalam Islam
2. Mengetahui definisi Asuransi dan Pegadaian Syari’ah
3. Mengetahui Prinsip Operasionalisasi Asuransi dan Pegadaian Syari’ah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asuransi dalam Islam


Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam.
Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:

Pertama, Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi
jiwa. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania),
Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang
mereka kemukakan ialah:

o Pada dasarnya Asuransi itu sama atau serupa dengan judi


o Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pastian.
o Asuransi mengandung riba.
o Asuransi bersifat eksploitasi karena jika peserta tidak sanggup melanjutkan
pembayaran premi sesuai dengan perjanjian maka premi hangus/ hilang atau
dikurangi secara tidak adil (peserta dizalimi);
o Premi yang diterima oleh perusahaan diputar atau ditanampada investasi yang
mengandung bunga/ riba
o Asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar menukar uang
dengan tidak tunai;
o Asuransi menjadikan hidup atau mati seseorang sebagai objek bisnis, yang
berarti mendahului takdir Allah.

Pendapat pertama ini mengarah pada praktik asuransi konvensional yang


mengandung gharar (ketidak pastian), maisir (untung-untungan), riba dan menempatkan
posisi peserta sebagai pihak yang terzalimi karena adanya los premium.

Kedua, pendapat yang membolehkan asuransi, termasuk asuransi jiwa dalam


praktiknya sekarang. Pendapat ini didukung oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad
Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad
Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd.

2
Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Alasan mereka
memperbolehkannya adalah:

a. Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.


b. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
c. Mengandung kepentingan umum, sebab premi –premi yang terkumpul bisa
diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan
d. Asuransi termasuk akad mudharabah, artinya akad kerja sama bagi hasil antara
pemegang polis (pemilik modal) dan pihak perusahaan asuransi yang memutar
modal atas dasar profit and loss sharing
e. Asuransi termasuk koperasi
f. Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun

Ketiga, pendapat bahwa asuransi bersifat Syubhat. Para ulamayang berpendapat


seperti ini beralasan karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan
atau menghalalkannya.1

Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam
masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-
raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada
ketentuan hukum yang benar. Landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada
syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun dasar
hukum yang dipakai adalah Surat Al Baqarah : 283

            
          
          
  

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak “
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa menyembunyikannya, maka
1 Khoril Anwar., opcit. Hal 25-26

3
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa
”yang kamu kerjakan

Hadits Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah ra.
‫ ٍد‬D‫ا ِم ْن َح ِدي‬DD‫هُ ِدرْ ًع‬Dَ‫ا َو َرهَن‬D‫و ِديٍّ طَ َعا ًم‬Dُ‫لَّ َم ِم ْن يَه‬D‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬
َ ِ ‫ت ا ْشت ََرى َرسُو ُل هَّللا‬
ْ َ‫ع َْن عَائِ َشةَ قَال‬.
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan
menggadaikannya dengan besi”.

“Dari Anas ra bahwasanya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum
dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di
Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”. (HR.Anas r.a)
Landasan hukum berikutnya adalah Ijma’ ulama atas hukum mubah (boleh) perjanjian
gadai. Tinjauan Umum Pegadaian dalam Perspektif Islam:

Dasar Hukum Gadai : Gadai hukumnya Jaiz (boleh) menurut Al-Kitab, As-Sunnah
dan Ijma’ (Sabiq, 1996:139).

a. Dalil dari Al-Qur’an : Surat Al-Baqarah ayat 283 : Artinya, “Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermualah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis , maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utang) dan hendaklah ia
bertaqwa pada Allah Tuhannya. (Q.S Al-Baqarah : 283

b. Dalil dari As-Sunnah : Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada
orang Yahudi untuk ditukar dengan gandum. Lalu orang Yahudi berkakata: “Sungguh
Muhammad ingin membawa lari hartaku”. Rasulullah kemudian menjawab: “Bohong!
Sesungguhnya aku orang yang jujur di atas bumi ini dan di langit. Jika kamu berikan
amanat kepadaku pasti aku tunaikan. Pergilah kalian dengan baju besiku
menemuinya”. (HR. Bukahri).

c. Ijma’ Ulama : Pada dasarnya para ulama telah bersepakat bahwa Gadai itu boleh. Para
ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan
hukumnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa gadai disyari’atkan pada waktu tidak
bepergian maupun pada waktu bepergian.

4
B. Definisi Asuransi dan Pegadaian Syari’ah
1. Asuransi
Asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie yang terdiri dari asal kata
assaradeor yang berarti penanggung dan geassureede yang berarti tertanggung.
Adapun menurut UU No.2 Tahun 1992 tentang perasuransian, asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikat diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab kepada pihak ketiga
yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak
pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.2
Didalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246
mendefinisikan asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian yang dengan
perjanjian tersebut penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung
untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya karena suatu
pristiwa yang tidak tertentu.
Dalam bahasa Belanda, “kata asuransi disebut assurantie yang terdiri dari asal
kata “assradeur” yang berarti penanggung dan “geassurede” yang berarti
tertanggung. Dalam bahasa prancis disebut “assurance” yang berarti menanggung
sesuatu yang pasti terjadi. Dalam bahasa Inggris kata asuransi disebut “insurance”
yang berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi.”3

Sedangkan asuransi menurut bahasa Arab adalah at-ta’min, diambil dari kata
amana yang artinya memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, bebas dari rasa
takut. Istilah lain yang sering digunakan dalam asuransi Islam atau syari’ah adalah
takaful yang berasal dari kata kafala yang berarti menanggung, menjamin.
Menurut Fatwa DSN-MUI No.21/ DSN-MUI/ X/ 2001, asuransi adalah
usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/ pihak
melalui investasi dalam bentuk asset atau tabarru’ yang memberikan pola

2 Khoril Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Maslahat, (Solo: Tiga serangkai, 2007I hal. 5-6
3 Nurul Huda, Mohammad Heykal., Lembaga /keuangan /Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010),
h.151

5
pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang
sesuai dengan syari’ah.

2. Pegadaian Syariah
Dalam istilah bahasa Arab, Gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga
dinamai al-habsu. Secara etimologis, arti rahn adalah tetap dan lama, sedangkan al-
habsu berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehinga dapat dijadikan
sebagai pembayaran dari barang tersebut.
Menurut Sabiq, rahn adalah menjadikan barang yang memiliki nilai harta
menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan
boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu.
Menurut UU hukum perdata pasal 1150, Gadai adalah suatu hak yang
diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang
bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang
mempunyai utang atau oleh seorang lain atas nama orang yang mempunyai utang.
Seorang yang mempunyai utang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang
berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk
melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat memenuhi kewajibannya
pada jatuh tempo.
Gadai dalam Fiqh Gadai (rahn) adalah perjanjian suatu barang sebagai
tanggungan utang, atau menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara
sebagai tanggungan pinjaman (marhun bih), sehingga dengan adanya tanggungan
utang ini seluruh atau sebagian utang dapat diterima.4
Dalam Ensiklopedi Indonesia, disebutkan bahwa gadai itu adalah hak atas
benda terhadap benda bergerak milik siberhutang yang diserahkan ketangan
sipemiutang sebagai jaminan pelunasan hutang siberhutang tersebut tadi (pasal
1150-1160 KUHP).5
Dapat disimpulkan, Gadai adalah akad pinjam meminjam dengan
menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang. Menjadikan harta sebagai jaminan
hutang.

4 http://pawnshop-sharia.blogspot.com/2008/07/gadai.html

5 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997)hal.81

6
C. Prinsip Operasionalisasi Asuransi dan Pegadaian Syariah
1. Asuransi
Akad yang digunakan dalam asuransi syari’ah yaitu akad yang sesuai dengan
syari’ah yang tidak mengandung gharar atau penipuan, maisyir (perjudian), riba,
zhulm (penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan maksiat.
Cara pengelolaan Asuransi Syari’ah yaitu :
a. Pengelolaan Asuransi Syari’ah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang
berfungsi sebagai pemegang amanah.
b. Perusahaan Asuransi Syari’ah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana
yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
c. Perusahaan Asuransi Syari’ah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana
akad tabarru’ (hibah).
Perjanjian (akad) yang digunakan dalam asuransi takaful pada dasarnya
merupakan suatu konsep investasi. Umumnya menggunakan konsep akad
mudharabah, namun di Indonesia ada yang menggunakan konsep akad lainnya
dalam hubungan antara perusahaan asuransi takaful dengan para pesertanya, yaitu
akad mudharabah, musyarakah dan akad wakalah bil ujrah.
Akad mudharabah, musyarakah merupakan perpaduan dari akad mudharabah
dan akad musyarakah. Sedangkan akad wakalah bil ujrah adalah pemberian kuasa
dari peserta kepada perusahaan asuransi atau reasuransi untuk mengelola dana
peserta dan melakukan kegiatan lain yang merupakan objek wakalah bil ujrah
dengan pemberian ujrah. Secara rinci konsep perjanjian yang terdapat pada masing-
masing perusahaan adalah sebagai berikut :
a. Takaful Keluarga
Perusahaan takaful dan peserta mengikatkan diri pada perjanjian al-
mudharabah, al-mudharabah musyarakah, dan wakalah bil ujrah dengan hak dan
kewajiban sesuai dengan perjanjian.
b. Takaful Umum
Perusahaan takaful dan peserta mengikatkan diri pada perjanjian al-
mudharabah, al-mudharabah musyarakah dan wakalah bil ujrah dengan hak dan
kewajiban sesuai dengan perjanjian. Peserta takaful umum bersifat
perseorangan, perusahaan, atau yayasan atau lembaga badan hukum lainnya.

7
2. Pegadaian Syariah
Menurut Sayid Sabiq bahwa gadai itu dianggap sah apabila memenuhi empat
syarat, yaitu orang yang sudah dewasa, berpikiran sehat, barang yang digadaikan
sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadai itu dapat diserahkan atau
dipegang oleh pengadai.
Muhammad Anwar dalam buku Fiqh Islam menyebutkan rukun dan syarat
sahnya perjanjian gadai adalah sebagai berikut:
a. Ijab dan qabul
b. Orang yang bertransaksi
c. Adanya barang yang digadaikan
d. Marhun bih (hutang)
Di dalam buku Bidyatul Mujtahid menyebutkan rukun-rukun gadai
diantaranya adalah:
a. Orang yang menggadaikan
Orang yang mengadaikan adalah dia tidak berstatus dalam pengampuan
dan dikenal sebagai orang yang bisa melunasi hutang.
b. Akad gadai
Ulama Syafi’i berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan
memenuhi tiga syarat:
1) Harus berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan.
2) Kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang
3) Barang yang digadaikan bisa dijual
c. Barang yang digadaikan
Aturan pokok dalam mazhab maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan
untuk semua barang yang berharga dan dapat diperjual belikan.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari Pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa asuransi maupun pegadaian
yang dibolehkan dalam Islam hanyalah asuransi dan pegadaian yang pelaksanaannya
tidak menyimpang dari apa yang telah ditetapkan di dalam syari’ah. Asuransi dan
pegadaian yang dibolehkan adalah yang bebas dari segala bentuk riba. Sehingga asuransi
dan pegadaian yang dilaksanakan secara syari’ah saja yang dibolehkan dalam Islam.

B. Saran
Penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan pembaca
mengenai asuransi dan pegadaian di dalam pandangan Islam. Semoga kita sebagai umat
Islam akan dapat bersikap bijak dalam menghadapi berbagai isu dan perkembangan yang
ada.

Anda mungkin juga menyukai