Disusun Oleh:
Kelompok 7
Adera Sembodo Titis (1506676802)
Griselda Megantami (1506676172)
Natasya Afditami (1506676462)
Elisabeth Barasanti (1506676001)
Woro Nastiti (1506726006)
Sarah Rizki Nabila (1506726914)
1
Usman Suparman, Perkawinan antar Agama dan Problematika Hukum di Indonesia, cet. Pertama,
(Semrang: Saudara 1995), hlm. 50
agama dan kepercayaan di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada
Kantor Catatan Sipil (pasal 2 PP No. 9/1975).
Undang-Undang Perkawinan memang tidak mengatur larangan
perkawinan beda agama. Namun secara implicit UU ini menyerahkan urusan
perkawinan kepada masing-masing agama. Negara menyerahkan keabsahan
dari sebuah perkawinan tersebut dari agama dan kepercayaan masing-masing.
Dengan begitu, maka apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak
tersebut memperbolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama atau
tidak. Dengan adanya ketidaktegasan UU Perkawinan ini banyak terjadi
perdebatan dari berbagai kalangan.
2
“Sistem Perkawinan Campuran dalam Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia”,
http://digilib.uinsby.ac.id/11344/5/Bab2.pdf, diakses 17 November 2017.
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perkawinan
campuran menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah perkawinan antara kedua
orang yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda, tidak lagi termasuk
3
perkawinan berbeda agama dalam pengertiannya Sehingga secara tidak
langsung perkawinan berbeda agama tidak diakui secara konstitusional lagi,
setidaknya dalam perkara UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam
pasal 66 ayat (1) juga dinyatakan bahwasanya dengan berlakunya UU
Perkawinan ini, maka ketetuan yang ada dalam GHR sudah tidak dapat
diberlakukan lagi. Dengan berlakunya UU Perkawinan yang menyempitkan
istilah perkawinan campuran ini, maka perkawinan beda agama aturannya
menjadi tidak jelas di Indonesia. Namun persoalan perkawinan beda agama ini
tetap masuk ke dalam ruang lingkup HATAH.
3
Danu Aris Setiyanto, “Tinjauan Yuridis Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014
tentang Perkawinan Beda Agama,” Tesis Magister UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 2016.
1. Damian Agata Yuvens, sebagai Pemohon I;
2. Rangga sujud Widigda, sebagai Pemohon II;
3. Varida Megawati Simarmata, sebagai Pemohon III;
4. Anbar Jayadi, sebagai Pemohon IV;
5. Luthfi Saputra, sebagai Pemohon V.
Mengajukan permohonan perkara kepada Mahkamah Konstitusi RI
dengan petitum sebagai berikut:
1. Hak beragama yang diakui melalui Pasal 28E ayat (1) dan (2),
Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, karena Negara
memaksa tiap warga negara untuk melangsungkan perkawinan
sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya;
2. Hak untuk melangsungkan perkawinan yang sah dan hak untuk
membentuk keluarga sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (1)
UUD 1945, karena Negara telah membatasi masyarakat dalam
melangsungkan perkawinan antara kedua orang yang berbeda
agama;
3. Hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena Pasal 2 UU No. 1 Tahun
1974 membuka ruang penafsiran yang luas sehingga
memungkinkan terjadinya timbul ketidakpastian hukum;
4. Hak atas persamaan di hadapan hukum yang terkandung dalam
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan mengenai
kebebasan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif karena
menyebabkan negara melalui aparaturnya memperlakukan warga
negaranya secara berbeda dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
5. Tidak sesuai dengan konsep pembatasan terhadap hak dan
kebebasan yang ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memang
tidak secara rinci mengatur tentang perkawinan beda agama. Mengenai sanksi
atau implikasi dari pelaksanaan perkawinan beda agama pun tidak dijelaskan
secara rinci. Hal ini menyebabkan ketidakpastian untuk orang-orang yang
melakukan perkawinan beda agama. Walaupun dijelaskan bahwa merujuk ke
agamanya masing-masing dan nyatanya hanya ada beberapa agama yang
memperbolehkan sedangkan mayoritas agama melarang, ternyata hal ini tidak
mencegah terjadinya perkawinan antara kedua orang yang berbeda agama.
Hanya saja, dengan diberlakukannya UU Perkawinan ini, negara seolah terlihat
ikut campur dalam hubungan yang seharusnya bersifat pribadi.
4
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet. 6 (Bandung: Penerbit Binacipta,
2012), hlm. 168-170.
“Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia” juga mengatakan bahwa ada
empat macam pilihan hukum dalam Hukum Perdata Internasional, yaitu:
1) Pilihan hukum secara tegas, di mana di dalam klasula kontrak tersebut
terdapat pilihan hukum yang dinyatakan secara tegas. Contohnya: “This
contract shall be governed by the laws of Republic of Indonesia”. Dari
klausula ini, jelas terllihat bahwa pilihan hukum para pihak adalah hukum
negara Indonesia.
2) Pilihan hukum secara diam-diam. Pada jenis ini para pihak memilih
hukum yang berlaku secara diam-diam. Maksud dari para pihak mengenai
pilihan hukum seperti ini disimpulkan dari sikap mereka, isi dan bentuk
perjanjian tersebut
3) Pilihan hukum yang dianggap atau yang disebut juga “presumptio iuris”.
Hakim menerima telah terjadi suatu pilihan hukum berdasarkan dugaan-
dugaan hukum belaka. Dalam hukum antar tata hukum (HATAH) intern
Indonesia dikenal lembaga penundukan hukum secara dianggap.
4) Pilihan hukum secara hipotetis. Di sini, sebenarnya tidak ada satu
kemauan dari para pihak untuk memilih pilihan hukum. Hakimlah yang
melakukan pilihan hukum.
5
Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Buku ke 1 Edisi Keempat, (Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 128
6
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Alumni, 1973), hlm. 201
7
Purnandi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional, (Jakarta : Rajawali
Pers, 1989), hlm. 63
yang marak dilakukan bagi pasangan yang ingin melangsungkan perkawinan
beda agama dilakukan dengan cara :
a. Mengenyampingkan Hukum Nasional
Dalam hal ini biasanya pasangan yang ingin melangsungkan
perkawinan beda agama dan kepercayaan adalah dengan melangsungkan
perkawinan di luar negeri. Mereka beranggapan bahwa dengan
melangsungkan perkawinan di luar negeri hukum Indonesia tidak berlaku
lagi bagi mereka. Padahal perkawinan termasuk bagian dari status personal
setiap orang, sehingga dimanapun seseorang melangsungkan perkawinan ia
tetap terikat pada hukum perkawinan dari negara asalnya. Hal ini dipertegas
melalui Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa
“Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau
seorang warga negara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana
perkawianan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indoesia tidak
melanggar ketentuan Undang-undang ini.” Namun Pasal 56 ayat (2) UU
Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan “Dalam waktu 1 tahun setelah suami
isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat buktu perkawinan mereka
harus didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka”.
Dengan merujuk pada ketentuan tersebut seolah-olah dengan didaftarkannya
perkawinan di luar negeri maka perkawinan secara otomatis menjadi sah.
b. Mengenyampingkan Hukum Agama
Dalam hal ini salah satu dari pasangan mengikuti keyakinan agama
pasangannya dan menikah menurut agama dari pasangannya tersebut. Bagi
betul-betul secara tulus melakukan peralihan keyakinan agamanya dan
menjalankan ajarannya untuk seterusnya dalam kehidupan perkawinan dan
keluarga mereka. Untuk pasangan yang melakukan peralihan ini mungkin
tidak akan terlalu ada masalah dalam menjalankan kehidupan perkawinan
dan keluarga, terutama yang terkait dengan urusan agama. Namun yang
menimbulkan permasalahan hukum adalah pasangan yang melakukan
perpindahan agama hanya berupa proforma untuk memenuhi persyaratan
agar pernikahannya dapat dilangsungkan dan dicacatkan secara resmi, yang
kemudian setelah perkawinan tersebut berlangsung yang bersangkutan
kembali kepada keyakinan agamanya semula dan tetap menjalankan aturan
agamanya. Kasus perkawinan beda agama dengan cara seperti ini banyak
terjadi yang menyebabkan timbulnya gangguan terhadap kehidupan rumah
tangga dan keluarga di kemudian hari. Menurut Prof. Dr. Zulfa peralihan
agama dalam HATAH harus diikuti dengan peralihan sosial. Peralihan sosial
yang dimaksud yakni yang bersangkutan harus sudah diterima oleh
golongan penduduk (hukum) yang baru, tidak mempedulikan lagi golongan
hukum yang ditinggalkan, serta cara hidup yang bersangkutan diperlakukan
oleh golongan hukum baru dianggap sama. Tujuan dari peralihan sosial ini
adalah untuk mencegah peralihan agama secara pura-pura serta untuk
mencegah penyelundupan hukum.