Anda di halaman 1dari 20

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 68/PUU-XII/2014 DIKAITKAN DENGAN


MATERI HATAH MENGENAI PERKAWINAN CAMPURAN

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:


Hukum Antar Tata Hukum C Reguler

Disusun Oleh:
Kelompok 7
Adera Sembodo Titis (1506676802)
Griselda Megantami (1506676172)
Natasya Afditami (1506676462)
Elisabeth Barasanti (1506676001)
Woro Nastiti (1506726006)
Sarah Rizki Nabila (1506726914)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA


DEPOK
NOVEMBER 2017
1. Fakta Hukum
 Bahwa para pemohon yang mengajukan permohonan pengujuan pengujian
konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) Undang Undang No 1 Tahun 1974 yakni
Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, dan Lutfi
Sahputra.
 Bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas
Pasal 2 ayat (1) Undang Undang No 1 Tahun 1974 terhadap Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Menurut para Pemohon, norma dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang No 1
Tahun 1974 membuka ruang penafsiran dan pembatasan sehingga tidak dapat
menjamin terpenuhinya hak atas kepastian hukum yang adil dan bertentangan
dengan ketentuan kebebasan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
 Bahwa berdasarkan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, menyatakan “...
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bahwa ideologi negara Indonesia yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa juga
dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Prinsip Ketuhanan yang
diamanatkan dalam UUD 1945 tersebut merupakan perwujudan dari pengakuan
keagamaan. Sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka
tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh warga negara mempunyai
hubungan yang erat dengan agama. Salah satu tindakan atau perbuatan yang
terkait erat dengan negara adalah Perkawinan.
 Bahwa perkawinan merupakan salah satu bentuk perwujudan hak konstitusional
warga negara yang harus dihormati dan dilindungi oleh setiap orang dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hak konstitusional
perkawinan tersebut terkandung kewajiban penghormatan atas hak
konstitusional orang lain.
 Bahwa para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya untuk melangsungkan
perkawinan dan membentuk keluarga terlanggar dengan adanya ketentuan Pasal
2 ayat (1) Undang Undang No 1 Tahun 1974. Menurut para Pemohon, hak
untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah telah dijamin dalam
Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 sehingga dengan adanya Pasal 2 ayat (1) Undang
Undang No 1 Tahun 1974 para Pemohon merasa ada pembatasan terhadap hak
warga negara dalam melangsungkan perkawinan tersebut. Menurut Mahkamah,
dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk
terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis [Pasal 28J UUD 1945]. Sesuai dengan landasan
falsafah Pancasila dan UUD 1945, menurut Mahkamah, Undang Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta telah pula dapat menampung
segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat;
 Bahwa para Pemohon mendalilkan hak konstitusional para Pemohon dirugikan
karena Pasal 2 ayat (1) Undang Undang No 1 Tahun 1974 “memaksa” setiap
warga negara untuk mematuhi hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya dalam bidang perkawinan. Menurut Mahkamah, perkawinan
merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di
Indonesia. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara
termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk
serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan.
 Bahwa peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk
mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam
kaitannya dengan perkawinan. Perkawinan menurut Undang Undang No 1
Tahun 1974 diartikan sebagai hubungan lahir batin yang terjalin antara seorang
pria dan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status
mereka sebagai suami istri. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum
masing-masing agama atau kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan
perundang-undangan. Sebagai ikatan lahir. Ikatan lahir tersebut merupakan
hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yangs mengikatkan dirinya
maupun bagi orang lain atau masyarakat, sedangkan sebagai ikatan batin,
perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan
yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup
bersama sebagai suami istri.
 Bahwa para Pemohon mendalilkan hak untuk menjalankan agama dan hak atas
kebebasan beragama, terlanggar dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) Undang
Undang No 1 Tahun 1974 karena pasal a quo memberikan legitimasi kepada
negara untuk mencampuradukkan perihal administrasi dan pelaksanaan ajaran
agama serta untuk mendikte penafsiran agama dan kepercayaan dalam bidang
perkawinan. Menurut Mahkamah, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, agama menjadi landasan dan negara
mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan.
 Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan (petitum) antara lain sebagai
berikut :
1. Mengabulkan uji materil dan formil terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
diajukan pemohon untuk seluruhnya
2. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak
dimaknai, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sepanjang
penafsiran mengenai hukum agamanya dan kepercayaannya itu
diserahkan kepada masing-masing calon mempelai”
3. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sepanjang
penafsiran mengenai hukum agamanya dan kepercayaannya itu
diserahkan kepada masing-masing calon mempelai”
4. Memerintahkan pemuatan isi putusan dalam Berita Acara Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya
 Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum, Mahkamah berpendapat
bahwa permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
 Dalam putusan ini Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memberikan alasan
berbeda (concurring opinion) yang menyatakan bahwa usaha untuk melakukan
kodifikasi dan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tidak dapat
menciptakan suatu keadilan sosial bagi seluruh warga negara yang dijamin hak
konstitusionalnya dalam UUD 1945, terutama bagi pasangan yang akan
melangsungkan perkawinan beda agama dan kepercayaan. Oleh karena UU
Perkawinan yang dibentuk 41 tahun yang lalu maka sudah selaknya UU a quo
dapat dikaji kembali dan dipertimbangkan untuk dilakukan perubahan agar
menjadi UU yang dapat melindungi dan menjamin hak konstitusional dan hak
asasi semua warga negara. Namun permohonan pemohon yang menyatakan
bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai,
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, sepanjang penafsiran mengenai hukum
agamanya” adalah tidak beralasan menurut hukum. Penyelesaian terhadap
masalah perkawinan beda agama dan kepercayaannya tidak akan tercapai hanya
dengan menambahkan frasa “sepanjang penafsiran mengenai hukum
agamanya” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Justru frasa tersebut akan
membuat suatu ketidakpastian hukum dan menimbulkan berbagai penafsiran,
oleh karena penafsiran mengenai hukum agamanya dan kepercayaan itu
diserahkan kepada masing-masing calon mempelai, sehingga akan timbul
penafsiran yang lebih bervariasi.
2. Amar Putusan
Bahwa berdasarkan semua pertimbangan di atas, Majelis Hakim dengan amar
putusan menyatakan
“menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”
3. Pokok Permasalahan
Bagaimana analisis putusan MK Nomor 68/PUU-XII/2014 tentang perkawinan
campuran dikaitkan dengan materi Hukum Antar Tata Hukum?
4. Peraturan Perundang-undangan yang ditelaah
- Undang-Undang Dasar 1945
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
5. Analisis Kelompok
Berikut merupakan analisis Putusan MK Nomor 68/PUU-XII/2014 tentang
Perkawinan Campuran yang dikaitkan dengan materi HATAH
5.1. Perkawinan Campuran
A. Perkawinan Beda Agama
Hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai
perkawinan beda agama. Mengenai sah atau tidaknya sebuah perkawinan,
ditentukan dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974, dinyatakan sah ketika
sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Sedangkan, agama-
agama yang secara sah diakui di Republik Indonesia, dalam ajarannya tidak ada
yang membenarkan perkawinan beda agama secara sah.1
Di dalam hukum perkawinan hanya ditentukan yang ada dalam pasal 2
ayat (1) UUP dan bahwasanya perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan mengenai pencatatan
perkawinan ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (PP No.
9/1975). Jika perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan
dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32
tahun 1954. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut

1
Usman Suparman, Perkawinan antar Agama dan Problematika Hukum di Indonesia, cet. Pertama,
(Semrang: Saudara 1995), hlm. 50
agama dan kepercayaan di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada
Kantor Catatan Sipil (pasal 2 PP No. 9/1975).
Undang-Undang Perkawinan memang tidak mengatur larangan
perkawinan beda agama. Namun secara implicit UU ini menyerahkan urusan
perkawinan kepada masing-masing agama. Negara menyerahkan keabsahan
dari sebuah perkawinan tersebut dari agama dan kepercayaan masing-masing.
Dengan begitu, maka apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak
tersebut memperbolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama atau
tidak. Dengan adanya ketidaktegasan UU Perkawinan ini banyak terjadi
perdebatan dari berbagai kalangan.

B. Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan Campuran

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan, pengaturan mengenai perkawinan khususnya perkawinan
campuran didahului dengan Gemengde Huwelijken Regeling (GHR). Dalam
pasal 1 dinyatakan bahwa perkawinan campuran adalah “perkawinan antara
orang-orang yang, di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan,”
melalui pasal ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan campuran tidak
hanya perkawinan yang dilakukan antara warga negara Indonesia dan warga
negara asing, namun mengandung pengertian yang lebih luas, yakni jika
perkawinan tersebut dilaksanakan di Indonesia dan pihak-pihaknya tunduk pada
hukum yang berlainan. Sehingga pasal ini dapat diinterpretasikan pula bahwa
perkawinan campuran merupakan perkawinan antara orang-orang yang
memiliki perbedaan kewarganegaraan dan/atau perbedaan agama.2

Namun, setelah diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974, pengertian


perkawinan campuran mengalami perubahan makna. Berdasarkan Pasal 57 UU
No. 1 Tahun 1974, yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah

2
“Sistem Perkawinan Campuran dalam Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia”,
http://digilib.uinsby.ac.id/11344/5/Bab2.pdf, diakses 17 November 2017.
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perkawinan
campuran menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah perkawinan antara kedua
orang yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda, tidak lagi termasuk
3
perkawinan berbeda agama dalam pengertiannya Sehingga secara tidak
langsung perkawinan berbeda agama tidak diakui secara konstitusional lagi,
setidaknya dalam perkara UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam
pasal 66 ayat (1) juga dinyatakan bahwasanya dengan berlakunya UU
Perkawinan ini, maka ketetuan yang ada dalam GHR sudah tidak dapat
diberlakukan lagi. Dengan berlakunya UU Perkawinan yang menyempitkan
istilah perkawinan campuran ini, maka perkawinan beda agama aturannya
menjadi tidak jelas di Indonesia. Namun persoalan perkawinan beda agama ini
tetap masuk ke dalam ruang lingkup HATAH.

Hukum Aantar Tata Hukum atau dikenal dengan hukum perselisihan


terjadi ketika terdapat dua atau lebih sistem hukum yang bertemu. Dalam hal
perkawinan berbeda agama, terdapat dua hukum agama. Maka inilah yang
menyebabkan peristiwa HATAH atau dikenal juga dengan titik pertalian
primernya. Untuk menentukan hukum mana yang berlaku, digunakan titik
pertalian sekunder. Namun jika merujuk lagi ke UU Perkawinan, perkawinan
beda agama tidak dapat dibenarkan. UU Perkawinan, perlu ditekankan kembali,
mengembalikan keabsahan perkawinan kepada agama masing-masing,
sedangkan tidak ada agama yang memperbolehkan perkawinan beda agama ini.

Mengenai hal ini seringkali menjadi persoalan, karena pada nyatanya


banyak masyarakat Indonesia yang memiliki niat untuk menikah walaupun
kedua pihak tunduk pada agama yang berbeda. Terkait perubahan pengertian
perkawinan campuran yang ada pada Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974, pada 4 Juli
2014 beberapa pihak Pemohon, yaitu:

3
Danu Aris Setiyanto, “Tinjauan Yuridis Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014
tentang Perkawinan Beda Agama,” Tesis Magister UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 2016.
1. Damian Agata Yuvens, sebagai Pemohon I;
2. Rangga sujud Widigda, sebagai Pemohon II;
3. Varida Megawati Simarmata, sebagai Pemohon III;
4. Anbar Jayadi, sebagai Pemohon IV;
5. Luthfi Saputra, sebagai Pemohon V.
Mengajukan permohonan perkara kepada Mahkamah Konstitusi RI
dengan petitum sebagai berikut:

1. Mengabulkan uji materiil dan formil terhadap ketentuan Pasal 2 ayat


(1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang diajukan oleh para
Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3019) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, sepanjang penafsiran mengenai
hukum agamanya dan kepercayaannya itu diserahkan kepada
masing-masing calon mempelai.”;
3. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3019) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
sepanjang penafsiran mengenai hukum agamanya dan
kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-masing calon
mempelai.”;
4. Memerintahkan pemuatan isi putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Produk yang dihasilkan dari pengajuan permohonan pengujian undang-
undang ini adalah Putusan No. 68/PUU-XII/2014. Pokok permohonan ini
adalah para Pemohon mengajukan permohonan untuk dilakukannya pengujian
materil UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945.
Norma-norma UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian adalah:

1. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945


Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya.
2. Pasal 28B ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.
3. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
4. Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
5. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
6. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.
7. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, para Pemohon mengklaim bahwa Pasal
2 UU No. 1 Tahun 1974 bertentangan dengan beberapa hak masyarakat
Indonesia yang dijamin pada pasal-pasal tersebut dalam UUD 1945, yaitu:

1. Hak beragama yang diakui melalui Pasal 28E ayat (1) dan (2),
Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, karena Negara
memaksa tiap warga negara untuk melangsungkan perkawinan
sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya;
2. Hak untuk melangsungkan perkawinan yang sah dan hak untuk
membentuk keluarga sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (1)
UUD 1945, karena Negara telah membatasi masyarakat dalam
melangsungkan perkawinan antara kedua orang yang berbeda
agama;
3. Hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena Pasal 2 UU No. 1 Tahun
1974 membuka ruang penafsiran yang luas sehingga
memungkinkan terjadinya timbul ketidakpastian hukum;
4. Hak atas persamaan di hadapan hukum yang terkandung dalam
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan mengenai
kebebasan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif karena
menyebabkan negara melalui aparaturnya memperlakukan warga
negaranya secara berbeda dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
5. Tidak sesuai dengan konsep pembatasan terhadap hak dan
kebebasan yang ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memang
tidak secara rinci mengatur tentang perkawinan beda agama. Mengenai sanksi
atau implikasi dari pelaksanaan perkawinan beda agama pun tidak dijelaskan
secara rinci. Hal ini menyebabkan ketidakpastian untuk orang-orang yang
melakukan perkawinan beda agama. Walaupun dijelaskan bahwa merujuk ke
agamanya masing-masing dan nyatanya hanya ada beberapa agama yang
memperbolehkan sedangkan mayoritas agama melarang, ternyata hal ini tidak
mencegah terjadinya perkawinan antara kedua orang yang berbeda agama.
Hanya saja, dengan diberlakukannya UU Perkawinan ini, negara seolah terlihat
ikut campur dalam hubungan yang seharusnya bersifat pribadi.

Namun dalam putusannya, MK membantah dengan alasan bahwa dalam


kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,
agama adalah landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal
perkawinan. Agama berperan sebagai landasan bagi individu dalam menjalin
hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa serta turut bertanggung jawab
terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan menjamin
keberlangsungan hidup manusia. Bersamaan dengan ini, Negara juga berperan
memberikan pedoman agar terjamin kepastian hukum kehidupan bersama
dalam tali ikatan perkawinan. Maka dari itu negara berperan untuk memberikan
perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah yang merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan
hidup manusia. Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal saja,
tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial.
Jika perkawinan beda agama ini dilarang atau tidak sah, nyatanya
terdapat berbagai macam cara untuk tetap melangsungkan perkawinan ini. Hal
ini dikenal dengan penyelundupan hukum. Yang pada intinya, menimbulkan
ketidakpastian hukum lagi. Dengan penyelundupan ini, perkawinan beda agama
akan sah di mata hukum, yang mana bertentangan dengan pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan.

5.2. Hukum Antar Golongan

Pengertian Hukum Antar Golongan menurut Prof. Gautama adalah


keseluruhan peraturan-peraturan dan keputusan hukum yang menujukkan
stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika
hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga negara dalam satu
negara, satu tempat, dan satu waktu tertentu, meperlihatkan titik-titik pertalian
dengan stelsel-setelsel kaidah-kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan-
lingkungan kuasa-pribadi dan soal-soal. Hukum ini mengatur dua orang atau
lebih yang masing-masing tunduk pada hukum yang berbeda. Sebelum adanya
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, perkawinan diatur dalam GHR
(Regeling Of de Gemengde Huwelijken). Dalam GHR tersebut juga diatur
mengenai perkawinan campuran, dimana pengertian perkawinan campuran
tidak sama dengan UU No. 1 Tahun 1974. Perkawinan campuran yang
dimaksud dalam GHR tertera pada Pasal 1 yang memiliki pengertian
perkawinan yang dilakukan oleh antara orang Indonesia yang tunduk kepada
hukum yang berlainan. Pengertian perkawinan campuran ini tidak hanya
sebatas pada perbedaan nasionalitas seperti pengertian pada UU No. 1 Tahun
1974. Perkawinan campuran ini termasuk pula perkawinan yang dilaksanakan
antar orang berbeda golongan. Berdasarkan Pasal 6 ayat 1 GHR, perkawinan
campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku untuk si suami, kecuali
izin dari kedua belah pihak bakal mempelai. Hal ini berarti apabila terjadi
perkawinan yang dilakukan oleh pihak yang berasal dari golongan berbeda,
maka perkawinan tersebut dilaksanakan menurut hukum adat si suami jika
suami merupakan golongan Bumiputera, atau berdasarkan hukum golongan
Eropa jika si suami berasal dari golongan Eropa atau Timur Asing. Kemudian,
dalam Pasal 7 ayat 2 GHR, dinyatakan bahwa perkawinan campuran ini,
perbedaan agama, bangsa, atau asal sama sekali tidak menjadi halangan untuk
melangsungkan perkawinan. Begitu pula terhadap aturan perkawinan yang
berlaku sekarang, yaitu Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang
tidak mempermasalahkan pelaksanaan perkawinan antar orang yang yang
berbeda golongan. Pandangan Van Den Berg tentang hukum antargolongan,
yakni bahwa hukum yang berlaku untuk sesuatu golongan tak dapat dinikmati
oleh golongan lain. Dalam hukum perkawinan, usaha melakukan unifikasi
belum dapat dilakukan sepenuhnya dan masih terbuka lapangan untuk hukum
antar golongan dengan aturan semacam GHR, HOCI, dan sebagainya. Bahkan
keberadaan hukum antargolongan ini penting daripada diadakannya
pembaharuan hukum.

Dalam putusan ini, permasalahan yang dibahas adalah terkait


perkawinan beda agama yang tidak diperkenankan oleh UU No.1 Tahun 1974.
Tidak disinggung permasalahan mengenai perkawinan yang dilaksanakan oleh
kedua pihak yang berasal dari golongan yang berbeda. Pada kenyataanya pula,
UU No.1 Tahun 1974 tidak memberikan larangan terhadap hal tersebut,
sehingga perkawinan antar golongan dapat dilakukan. Hanya saja, masalah
yang akan timbul adalah mengenai hukum mana yang akan dipakai jika terjadi
perkawinan antar golongan. Jadi, hukum antar golongan sebagai jawaban dari
persoalan tersebut.

5.3. Pilihan Hukum


Pilihan hukum adalah dimana para pihak dapat memilih sendiri hukum yang
harus dipakai untuk kontrak (perjanjian) dengan pembatasan, yaitu sepanjang
tidak melanggar ketertiban umum dan tidak boleh menjelma menjadi
penyelundupan hukum. 4 Prof. Dr. Soedargo Gautama S.H. dalam bukunya

4
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet. 6 (Bandung: Penerbit Binacipta,
2012), hlm. 168-170.
“Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia” juga mengatakan bahwa ada
empat macam pilihan hukum dalam Hukum Perdata Internasional, yaitu:
1) Pilihan hukum secara tegas, di mana di dalam klasula kontrak tersebut
terdapat pilihan hukum yang dinyatakan secara tegas. Contohnya: “This
contract shall be governed by the laws of Republic of Indonesia”. Dari
klausula ini, jelas terllihat bahwa pilihan hukum para pihak adalah hukum
negara Indonesia.
2) Pilihan hukum secara diam-diam. Pada jenis ini para pihak memilih
hukum yang berlaku secara diam-diam. Maksud dari para pihak mengenai
pilihan hukum seperti ini disimpulkan dari sikap mereka, isi dan bentuk
perjanjian tersebut
3) Pilihan hukum yang dianggap atau yang disebut juga “presumptio iuris”.
Hakim menerima telah terjadi suatu pilihan hukum berdasarkan dugaan-
dugaan hukum belaka. Dalam hukum antar tata hukum (HATAH) intern
Indonesia dikenal lembaga penundukan hukum secara dianggap.
4) Pilihan hukum secara hipotetis. Di sini, sebenarnya tidak ada satu
kemauan dari para pihak untuk memilih pilihan hukum. Hakimlah yang
melakukan pilihan hukum.

Dalam Putusan MK Nomor 68/PUU-XII/2014 aspek terkait pilihan hukum


HATAH Intern dapat ditinjau melalui dua hal yaitu perkawinan beda agama
dan yang kedua adalah melalui putusan itu sendiri.
Dalam perkawinan beda agama, apabila merujuk kepada hukum positif
Indonesia, maka dimungkinkan adanya pilihan hukum. Seperti dalam Pasal 2
ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan secara implisit bahwa sahnya
perkawinan dikembalikan lagi kepada syarat-syarat menurut agama yang dianut.
Oleh karena itu harus dirujuk kembali kepada agama para pihak yang akan
menikah. Pilihan hukum itu dapat berwujud sebagai pilihan untuk pindah
agama bagi satu pihak yang akan melangsungkan pernikahan, ataupun pilihan
hukum untuk menggunakan stelsel hukum luar negeri yang mengesampingkan
hukum nasional.
Putusan MK Nomor 68/PUU-XII/2014 menyatakan menolak secara tegas
permohonan peninjauan materil Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Maka dengan
demikian putusan ini tidak memungkinkan adanya pilihan hukum.

5.4. Penyelundupan Hukum


Berdasarkan konsep Hukum Perdata Internasiona, penyeludupan hukum
adalah perbuatan yang dilakukan di suatu negara asing dan diakui sah di negara
asing itu, akan dapat dibatalkan oleh forum atau tidak diakui oleh forum jika
perbuatan itu dilaksanakan di negara asing yang bersangkutan dengan tujuan
untuk menghindaran diri dari aturan-aturan lex fori (hukum pengajuan perkara)
yang akan melarang perbuatan semacam itu dilaksanakan di wilayah forum.5
Tujuan dari perbuatan ini adalah agar hubungan hukum yang bersangkutan
dilakukan hukum yang lain daripada apa yang seharusnya akan digunakan jika
tidak diambil tindakan pengelakan tersebut serta untuk menghindarkan suau
6
akibat hukum yang tidak dikendaki. Menurut Purnandi Purbacaraka
penyelundupan hukum terjadi bilamana ada seseorang atau pihak-pihak yang
mempergunakan cara-cara yang tidak benar dengan maksud untuk menghindari
berlakunya hukum nasional.7
Berkaitan dengan putusan MK Nomor 68/PUU-XII/2014 mengenai
permohonan judicial review terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 terlihat bahwa masyarakat Indonesia khususnya yang hendak
melangsungkan perkawinan tanpa megikuti hukum agama dan kepercayaannya
telah beradaptasi secara negatif untuk dapat menghindari keberlakuan pasal
tersebut yaitu dengan cara melakukan penyelundupan hukum. Penyelundupan
hukum dalam bidang perkawinan, khususnya perkawinan beda agama dan
kepercayaan banyak dilakukan agar perkawinan yang dilangsungkan adalah sah
serta agar perkawinan tersebut dicatatkan. Secara umum penyelundupan hukum

5
Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Buku ke 1 Edisi Keempat, (Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 128
6
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Alumni, 1973), hlm. 201
7
Purnandi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional, (Jakarta : Rajawali
Pers, 1989), hlm. 63
yang marak dilakukan bagi pasangan yang ingin melangsungkan perkawinan
beda agama dilakukan dengan cara :
a. Mengenyampingkan Hukum Nasional
Dalam hal ini biasanya pasangan yang ingin melangsungkan
perkawinan beda agama dan kepercayaan adalah dengan melangsungkan
perkawinan di luar negeri. Mereka beranggapan bahwa dengan
melangsungkan perkawinan di luar negeri hukum Indonesia tidak berlaku
lagi bagi mereka. Padahal perkawinan termasuk bagian dari status personal
setiap orang, sehingga dimanapun seseorang melangsungkan perkawinan ia
tetap terikat pada hukum perkawinan dari negara asalnya. Hal ini dipertegas
melalui Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa
“Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau
seorang warga negara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana
perkawianan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indoesia tidak
melanggar ketentuan Undang-undang ini.” Namun Pasal 56 ayat (2) UU
Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan “Dalam waktu 1 tahun setelah suami
isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat buktu perkawinan mereka
harus didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka”.
Dengan merujuk pada ketentuan tersebut seolah-olah dengan didaftarkannya
perkawinan di luar negeri maka perkawinan secara otomatis menjadi sah.
b. Mengenyampingkan Hukum Agama
Dalam hal ini salah satu dari pasangan mengikuti keyakinan agama
pasangannya dan menikah menurut agama dari pasangannya tersebut. Bagi
betul-betul secara tulus melakukan peralihan keyakinan agamanya dan
menjalankan ajarannya untuk seterusnya dalam kehidupan perkawinan dan
keluarga mereka. Untuk pasangan yang melakukan peralihan ini mungkin
tidak akan terlalu ada masalah dalam menjalankan kehidupan perkawinan
dan keluarga, terutama yang terkait dengan urusan agama. Namun yang
menimbulkan permasalahan hukum adalah pasangan yang melakukan
perpindahan agama hanya berupa proforma untuk memenuhi persyaratan
agar pernikahannya dapat dilangsungkan dan dicacatkan secara resmi, yang
kemudian setelah perkawinan tersebut berlangsung yang bersangkutan
kembali kepada keyakinan agamanya semula dan tetap menjalankan aturan
agamanya. Kasus perkawinan beda agama dengan cara seperti ini banyak
terjadi yang menyebabkan timbulnya gangguan terhadap kehidupan rumah
tangga dan keluarga di kemudian hari. Menurut Prof. Dr. Zulfa peralihan
agama dalam HATAH harus diikuti dengan peralihan sosial. Peralihan sosial
yang dimaksud yakni yang bersangkutan harus sudah diterima oleh
golongan penduduk (hukum) yang baru, tidak mempedulikan lagi golongan
hukum yang ditinggalkan, serta cara hidup yang bersangkutan diperlakukan
oleh golongan hukum baru dianggap sama. Tujuan dari peralihan sosial ini
adalah untuk mencegah peralihan agama secara pura-pura serta untuk
mencegah penyelundupan hukum.

Jika dikaitkan dengan putusan diatas, penyelundupan hukum yang terjadi


dalam pelaksanaan perkawinan beda agama ini mengindikasikan bentuk
ketidakpatuhan terhadap hukum serta dapat pula menjadi penanda nyata
mengenai adanya kebutuhan masyarakat yang tidak terpenuhi dengan hukum
yang ada. Menurut hemat kami UU No. 1 Tahun 1974 tidak secara tegas
mengatur tentang perkawinan beda agama. Mengenai sanksi atau implikasi dari
pelaksanaan perkawinan beda agama pun tidak dijelaskan secara rinci. Hal ini
menyebabkan ketidakpastian untuk orang-orang yang melakukan perkawinan
beda agama. Walaupun Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu” nyatanya ada beberapa agama yang memperbolehkan
sedangkan mayoritas agama melarang.

Dengan demikian guna menghindari penyelundupan hukum yang


dilakukan bagi pasangan yang hendak melakukan perkawinan beda agama
dikarenakan tidak adanya pengaturan secara tegas mengenai hal ini, maka perlu
diadakan pertimbangan serta pengkajian kembali terhadap keberadaan Undang-
Undang Perkawinan untuk dilakukan perubahan. Hal ini bertujuan agar Undang-
Undang dapat melindungi dan menjamin hak konstitusional dan hak asasi semua
warga negara terutama dalam hal pengaturan perkawinan beda agama secara
tegas dan terperinci
DAFTAR PUSTAKA

1. Suparman, Usman. Perkawinan antar Agama dan Problematika Hukum di


Indonesia, cet. Pertama. Semrang: Saudara. 1995.
2. No Author. “Sistem Perkawinan Campuran dalam Perundang-undangan di
Negara Republik Indonesia”, http://digilib.uinsby.ac.id/11344/5/Bab2.pdf,
diakses 17 November 2017.
3. Setiyanto, Danu Aris. “Tinjauan Yuridis Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 68/PUU-XII/2014 tentang Perkawinan Beda Agama”. Tesis Magister
UIN Sunan Kalijaga. Jogjakarta. 2016.
4. Hardjowahono, Bayu Seto. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Buku
ke 1 Edisi Keempat. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 2006.
5. Gautama, Sudargo. Pengantar Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Alumni.
1973.
6. Purbacaraka, Purnandi, Agus Brotosusilo. Sendi-sendi Hukum Perdata
Internasional. Jakarta: Rajawali Pers. 1989.

Anda mungkin juga menyukai