Anda di halaman 1dari 25

TINJAUAN HUKUM HIPOTEK KAPAL LAUT

DALAM HUKUM JAMINAN

OLEH
SELVI NUR AFRIYANTI
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang ………………………………………………………... 4
Rumusan Masalah …………………………………………………….. 5

BAB II KEDUDUKAN HUKUM HIPOTEK KAPAL LAUT DALAM


JAMINAN KEBENDAAN
Pengertian Hipotek …………………………………………………… 6
Kapal Laut Sebagai Jaminan Hipotek ………………………………… 8
Proses Pendaftaran Kapal Laut ……………………………………… 11
Dasar Hukum Jaminan Hipotek Atas Kapal Laut di Indonesia.………14

BAB III PROSEDUR EKSEKUSI KAPAL LAUT SEBAGAI


OBJEK JAMINAN HIPOTEK DI INDONESIA ………………… 17
Upaya yang Dapat Ditempuh Oleh Kreditur Bila Debitur
Wanprestasi ……………………………………………………….…. 18

BAB IV PENUTUP
Kesimpulan ………………………………………………………….. 23
Saran ………………………………………………………………… 23
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….……… 24

2
ABSTRAK
Nama : Selvi Nur Afriyanti
NPM : XXXXX
Program Studi : XXXX
Judul : Tinjauan Hukum Hipotek Kapal Laut dalam Hukum Jaminan

Kapal laut dapat dijadikan sebagai objek jaminan guna menjamin pelunasan suatu hutang.
Lembaga jaminan atas kapal laut adalah hipotek. Namun hanya kapal yang terdaftar dalam suatu
register umum sajalah yang dapat dijadikan jaminan hutang. Makalah ini membahas mengenai
proses penjaminan kapal laut menurut hukum Indonesia.. Hasil penelitian ini membahas
mengenai proses penjaminan kapal laut di Indonesia yang terdiri dari tiga tahap yaitu: tahap
perjanjian kredit, tahap perjanjian pembebanan hipotek kapal laut, dan tahap pendafataran
hipotek kapal laut. Dengan menggunakan metode penelitian normatif dengan tipologi penelitian
deskriptif, dapat disimpulkan:
(1) Dasar hukum jaminan Hipotek diatur dalam berbagai peraturan perundangan antara lain
dalam KUHPerdata, KUHD, Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan,
dan khususnya dasar hukum Hipotek Kapal Laut hanya didasarkan pada KUHD dan
UndangUndang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, bahwa secara formil, ketentuan-
ketentuan lama yakni KUHD diberlakukan, tetapi secara materiil lebih banyak mengacu
pada ketentuan Undang-Undang No. 17 Tahun 2008.
(2) Hipotek kapal laut sebagai jaminan kebendaan atas benda tidak bergerak merupakan
hubungan hukum perjanjian atau kontrak yang menimbulkan konsekuensi hukum dalam
pemenuhan hak dan kewajiban pada pihak. Tidak dipenuhinya kewajiban atau prestasi,
berakibat pada terjadinya wanprestasi dengan kewajiban pemenuhan pelunasan utang oleh
debitor kepada kreditor (lembaga perbankan) yang dapat terjadi pelelangan Hipotek oleh
karena terjadi kredit macet

Kata kunci: Hipotek, Kapal Laut, Mortgage, Vessel Mortgage, Ship Mortgage

3
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pembangunan nasional melalui pembangunan ekonomi merupakan
salah satu upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat berdasarkan Undang-
Undang Dasar 1945. Industri pelayaran merupakan salah satu industry yang
berperan penting bagi perekonomian suatu negara.1 Terutama bagi Indonesia
yang merupakan negara maritime dengan sebagian besar wilayahnya dikelilingi
oleh laut, maka peran kapal laut menjadi mutlak untuk meningkatkan roda
perekonomian nasional.
Dalam industri pelayaran, aset yang bernilai dan dapat dijadikan
jaminan adalah kapal. Kredit yang diperoleh untuk membeli kapal, diharapkan
dapat dijamin dengan kapal itu sendiri dengan cara pembebanan hipotek atas
kapal. Sementara, pihak lembaga perbankan atau lembaga keuangan non-bank
dengan berbagai alasan cukup enggan menerima jika hanya terdapat unit kapal
sebagai jaminan sehingga pihak lembaga pembiayaan membutuhkan jaminan
tambahan yang menghambat pertumbuhan industri angkutan laut dengan skala
kecil atau baru tumbuh (startup).2
Untuk mendorong industri pelayaran, Pemerintah telah melakukan
berbagai upaya hukum antara lain melalui deregulasi di bidang angkutan laut
dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang
Pelayaran (UU Pelayaran), Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang
Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional (Inpres 5/2005) dan Peraturan
Presiden Nomor 44 tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional
Tentang Piutang Maritim dan Mortgage. Dengan ratifikasi ini, terutama bidang
pelayaran maka Indonesia dapat berpartisipasi memberdayakan industri
pelayaran nasional dan internasional serta menguatkan upaya menyusun

1
International Chamber of Shipping, “Shipping and World Trade” https://www.ics-
shipping.org/shipping-facts/shipping-and-world-trade, diakses 27 September 2019.
2
Syukri Hidayatullah, “Kedudukan Hukum Hipotek Kapal Laut dalam Hukum Jaminan dan
Penetapan Hipotek Kapal Laut Sebagai Jaminan Perikatan,” Yuriska 7 No. 2 (2015), hlm. 132.

4
Prolegnas dalam Rancangan Undang-Undang tentang Klaim Maritim yang
Didahulukan dan Hipotek atas Kapal.
Pengaturan mengenai hipotek kapal laut di Indonesia diatur dalam
Pasal 1162 KUHPerdata, Pasal 314 KUHD, Pasal 60 sampai Pasal 64 UU
Pelayaran, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 14/1996 tentang
Penyederhanaan Tata Cara Pengadaan dan Pendaftaran Kapal, Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran
Nasional, dan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Convention on Maritime Liens and Mortages 1993.3
Unifikasi tentang regulasi hipotek kapal tentu sudah seharusnya dibuat
guna menjamin kepastian hukum dan mengembangkan sektor industri
pelayaran Indonesia. Dalam prakteknya, hanya kapal laut dengan kategori
tertentu yang dapat diberikan beban hipotek dengan memperhatikan kedudukan
hukum serta karakterisktik suatu kapal laut.
Pengaturan tentang Hukum Jaminan dan Hipotek pada umumnya serta
Hipotek Kapal Laut pada khususnya menunjukkan perusahaan dan
perkembangannya dalam sistem hukum nasional, mengingat dasar hukumnya
sudah ada sejak zaman kolonial ketika berlakunya beberapa Kitab Kodifikasi
yang mengaturnya sebagaimana telah penulis kemukakan.4 Titik pokok tinjauan
yuridis inilah yang diangkat sebagai permasalahan penting dalam penelitian dan
penulisan ini, dengan lebih menekankan tinjauan yuridis terhadap Hipotek
kapal laut dan akibat hukumnya.

2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana kedudukan hukum pengaturan hipotek kapal laut dalam hukum
jaminan di Indonesia?
2) Bagaimana prosedur eksekusi kapal laut sebagai objek jaminan hipotek di
Indonesia?

3
Tazkya Putri Amelia, “Perbandingan Hukum Kapal Laut Sebagai Objek Jaminan Utang
(Studi Perbandingan antara Indonesia dan Singapura)” Tesis Magister Universitas Indonesia,
Depok 2018, hlm. 5-6.
4
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, cet. 3, (Jakarta: Raja Grafindo,
2007), hlm. 197

5
BAB II
KEDUDUKAN HUKUM HIPOTEK KAPAL LAUT
DALAM JAMINAN KEBENDAAN

1. Pengertian Hipotek
Berdasarkan Pasal 1162 KUHPerdata, hipotek adalah suatu hak
kebendaan atas suatu benda yang tidak berberak yang bertujuan untuk
mengambil penggantian bagi pelunasan suatu perikatan atau suatu hutang.5
Merujuk rumusan tersebut, dapat dikatakan bahwa hipotek merupakan hak
kebendaan atas benda tudak bergerak yang timbul karena perjanjian, yaitu suatu
bentuk jaminan yang harus diperjanjikan terlebih dahulu. Hipotek sebagai hak
kebendaan hanya terbatas pada hak untuk mengambil penggantian dari benda
tidak bergerak bersangkutan untuk pelunasan suatu perikatan saja.6
Hipotek sebenarnya merupakan lembaga jaminan untuk benda tidak
bergerak yang diatur dalam KUHPerdata. Benda tidak bergerak yang dapat
dijaminkan oleh hipotek adalah kapal laut yang berukuran 20 m3 (dua puluh
meter kubik) isi kotor dan juga tanah. Namun dalam perkembangannya,
jaminan atas tanah sebagai salah satu benda tidak bergerak diatur dalam
lembaga tersendiri yaitu lembaga hak tanggungan, semenjak diundangkannya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT).
Namun disamping itu, berdasarkan Pasal 314 ayat (3) KUHD dan UU
Pelayaran, kapal laut dengan bobot 20 m3 ke atas dapat dijaminkan melalui
lembaga hipotek.
Hipotek memiliki lima unsur yaitu sebagai berikut:
a. Harus ada benda yang dijaminkan
b. Bendanya adalah benda tidak bergerak
c. Dilakukan oleh orang yang berhak memindahtangankan benda
jaminan

5
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 25, (Jakarta: Intermasa, 1995), hlm. 82.
6
Hartono Hadisoeprapti, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, (Yogyakarta:
Liberty, 1984), hlm. 61.

6
d. Ada sejumlah uang tertentu dalam perjanjian pokok dan ditetapkan
dalam suatu akta yaitu akta otentik
e. Benda/objek jaminan bukan untuk dimiliki, melainkan hanya
sebagai jaminan hutang.

Hipotek memiliki sifat dari hak kebendaan pada umumnya yaitu:7


a. Absolut, yaitu hak yang dapat dipertahankan terhadap tuntutan
siapapun.
b. Droit de suite, yaitu hipotek memiliki hak yang senantiasa
mengikuti bendanya di tangan siapapun benda tersebut berada.8
c. Droit de Preference, yaitu seseorang mempunyai hak untuk
didahulukan pemenuhan piutangnya di antara orang berpiutang
lainnya.9 Dalam hal ini hak jaminan kebendaan tidak berpengaruh
oleh kepailitan ataupun oleh penyitaan yang dilakukan atas benda
yang bersangkutan.

Sedangkan asas-asas yang terkandung dalam hipotek adalah sebagai


berikut:10

a. Asas Publiciteit, berarti bahwa pengikatan hipotek harus


didaftarkan dalam register umum agar masyarakat khususnya pihak
ketiga dapat mengetahuinya. Pendaftaran yang dimaksud adalah
pendaftaran akta hipotek pada Pejabat Kantor Badan Pertanahan
Nasional. Namun setelah berlakunya UUHT, hipotek tidak
didaftarkan lagi pada Kantor BPN. Pendaftaran akta hipotek kapal
laut didaftarkan atau dicatatkan dalam daftar induk setelah dibuat
akta hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama
Kapal.11

7
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak yang Memberi Jaminan, cet.
2, (Jakarta: Ind-Hill-Co, 2005), hlm. 95.
8
Pasal 1163 jo. Pasal 1198 KUHPerdata
9
Pasal 1133, 1134 ayat (2) KUHPerdata.
10
Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata…, Hlm. 96.
11
Kementerian Perhubungan, Peraturan Menteri Perhubungan tentang Pendaftaran dan
Kebangsaan Kapal, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 39 Tahun 2017, Ps. 30 ayat (3).

7
b. Asas Specialiteit, berarti bahwa pengikatan hipotek hanya dapat
dilakukan atas benda-benda yang ditunjuk secara khusus, misalnya:
bendanya berwujud apa, dimana letaknya, berapa besarnya atau
luasnya, berbatasan dengan apa atau siapa, dan sebagainya.

2. Kapal Laut Sebagai Objek Hipotek


Kapal dapat digunakan sebagai benda jaminan atau objek jaminan baik
untuk pelunasan hutang pembayaran harga perolehan kapal itu sendiri maupun
untuk pelunasan hutang lain.12 Hipotek dijaminkan pada kapal dengan volume
20 m3 tanpa harus menyerahkan kapal yang dijadikan objek jaminan hipotek.
Pada asasnya, menurut Pasal 510 KUHPer, kapal adalah benda bergerak namun
apabila sebuah kapal didaftarkan, maka statusnya berubah menjadi benda tidak
bergerak dan apabila dijaminkan, maka lembaga yang harus digunakan adalah
hipotek.
Definisi hipotek kapal tercantum dalam Pasal 1 angka 12 UU
Pelayaran, yaitu hak agunan kebendaan atas kapal yang terdaftar untuk
menjamin pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain. Kapal laut yang
dapat dijaminkan dengan hipotek haruslah kapal Indonesia.13 Sedangkan untuk
memperoleh identitas sebagai kapal Indonesia, maka kapal tersebut harus
memenuhi ketentuan dalam Pasal 158 ayat (2) UU Pelayaran:
a. Kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya 7 Gross
Tonage;
b. Kapal milik WNI atau badan hukum Indonesia yang didirikan
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
c. Kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha
patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh WNI.
Dalam hipotek kapal laut terdapat dua pihak yang terlibat yaitu pemberi
hipotek dan penerima hipotek. Pemberi hipotek adalah mereka yang

12
Anis Idham, Pranata Jaminan Kebendaan Hipotek Kapal Laut, cet. 1, (Bandung:
Penerbit Alumni, 1995), hlm. 103.
13
Yang dimaksud dengan kapal Indonesia merujuk Pasal 311 KUHD, adalah setiap kapal
yang dianggap sebagai kapal Indonesia oleh Undang-Undang yaitu kapal yang didaftarkan di
Indonesia.

8
memberikan suatu hak kebendaan (zakelijke recht) sebagai jaminan atas
bendanya yang tidak bergerak dan biasanya merupakan pihak yang meminjam
uang atau debitur. Pasal 1 angka 13 PM No. 39 Tahun 2017 memberikan
definisi pemberi hipotek yaitu pihak pemilik kapal yang dibuktikan dengan akta
pendaftraran atau baliknama.14 Sedangkan penerima hipotek merupakan pihak
yang menerima suatu hak kebendaan (hipotek) dan biasanya merupakan pihak
yang meminjamkan uang atau kreditur. Biasanya yang menjadi penerima
hipotek adalah lembaga perbankan dan lembaga keuangan non-bank.15
Penerima hipotek atas kapal antara lain terdiri atas:16
a. Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing;
b. Bank Nasional atau Internasional;
c. Lembaga keuangan nasional atau internasional; atau
d. Lembaga non keuangan nasional atau internasional.
Pada perjanjian hipotek terdapat janji atau klausul yang berfungsi
melindungi kreditur agar tidak dirugikan dan janji-janji tersebut harus jelas
dicantumkan dalam akta pembebanan hipotek. Janji-janji dalam hipotek antara
lain:
a. Janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri.17
b. Janji sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1185 KUH Perdata
yang mengacu pada ketentuan Pasal 1576 yaitu jual beli tidak
memutuskan sewa.
c. Janji tentang asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 297
KUHD.
d. Janji untuk tidak dibersihkan jaminan hipotek yang dibebankan
pada suatu benda yang akan dialihkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1210 KUH Perdata.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, hipotek memiliki sifat droit de
preference. Dalam hal ini hak jaminan kebendaan tidak berpengaruh oleh
kepailitan ataupun oleh penyitaan yang dilakukan atas benda yang

14
Kementerian Perhubungan, Peraturan Menteri tentang Pendaftaran…., Ps. 1 angka 13.
15
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan…., hlm. 200.
16
Kementerian Perhubungan, Peraturan Menteri tentang Pendaftaran…., Ps. 1 angka 14.
17
Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata.

9
bersangkutan. Namun berdasarkan Pasal 318 KUHD jo. Pasal 66 ayat (1) UU
Pelayaran, menyebutkan bahwa pembayaran piutang pelayaran diutamakan dari
pembayaran piutang gadai, hipotek dan piutang yang terdaftar, Piutang
pelayaran yang didahulukan adalah:18
a. Untuk pembayaran upah dan pembayaran lainnya kepada Nahkoda,
Anak Buah Kapal, dan awak pelengkap lainnya dari kapal dalam
hubungan dengan penugasan mereka di kapal, termasuk biaya
repatriasi dan kontribusi asuransi social yang harus dibiayai;
b. Untuk membayar uang duka atas kematian atau membayar biaya
pengobatan atas luka badan, baik yang terjadi di darat maupun di
laut yang berhubungan langsung dengan peroperasian kapal;
c. Untuk pembayaran biaya salvage kapal;
d. Untuk biaya pelabuhan dan alur-pelayaran lainnya serta biaya
pemanduan; dan
e. Untuk membayar kerugian yang ditimbulkan oleh kerugian fisik
atau kerusakan yang disebabkan oleh pengoperasian kapal selain
dari kerugian atau kerusakan terhadap muatan, peti kemas, dan
barang bawaan penumpang yang diangkut kapal.
Suatu kapal dapat dibebani lebih dari satu hipotek dan peringkat
masing-masing hipotek ditentukan sesuai dengan tanggal dan nomot urut akta
hipotek.19 Selain itu hipotek kapal juga dapat dialihkan dari penerima hipotek
kepada penerima hipotek yang lain yang dilakukan dengan membuat akta
pengalihan hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal.20
Atas kapal yang tidak lagi dijadikan jaminan utang dengan pembebanan hipotik
atas kapal maka dilakukan pencoretan hipotek (roya) yang dilakukan oleh
Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal atas permintaan tertulis dari
penerima kapal. Jika permintaan pencoretan hipotek diajukan oleh pemberi
hipotek, maka permintaan tersebut dilampiri dengan surat persetujuan
pencoretan dari penerima hipotek.21

18
Indonesia, Undang Undang Pelayaran, UU Nomor 17 Tahun 2008, Ps. 65 ayat (2)
19
Ibid., Ps. 61 ayat (1) dan (2)
20
Ibid., Ps. 62.
21
Pasal 63 ayat (1) dan (2) UU Pelayaran jo. Pasal 35 PP No. 51/2002 jo. Pasal 37 PM No.
39/2017.

10
Hipotek kapal sebagai lembaga jaminan bersifat accesoir berdasarkan
Pasal 315b KUHD dan Pasal 1162 KUH Perdata yang menegaskan bahwa
perjanjian hipotek merupakan perjanjian lanjutan dari perjanjian hutang.
Dengan demikian, hapusnya hipotek tergantung pada perjanjian pokoknya.
Selama perjanjian pokok masih ada, maka hipotek yang diperjanjikan tetap ada
dan utuh. Sebaliknya hapus atau batalnya perjanjian pokok mengakibatkan
hapus atau batalnya perjanjian hipotek.

3. Proses Pendaftaran Kapal Laut


Pendaftaran kapal laut diatur dalam Pasal 314 ayat (1) KUHD,22 Pasal
158 ayat (1) UU Pelayaran,23 dan PP 51/2002 dalam Bab V tentang Pendaftaran
dan Baliknama Kapal. Namun saat ini ketentuan mengenai pendaftaran kapal
telah diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan khusus yaitu Peraturan Menteri
Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 39 Tahun 2017 tentang
Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal (PM 39/2017).
Pendaftaran kapal laut penting karena hanya kapal yang terdaftar yang
dapat dibebankan hipotik. Adapun sistem pendaftaran yang dianut di Indonesia
adalah sistem pendaftaran tertutup, karena hanya kapal yang dimiliki oleh WNI
atau badan hukum Indonesia yang dapat didaftarkan.
Tujuan pendaftaran kapal adalah:
a. Untuk memperoleh Surat Tanda Kebangsaan Kapal (STKP)
b. Status hukum kepemilikan kapal menjadi jelas
c. Dapat dibebankan hipotik
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PM 39/2017, pendaftaran kapal meliputi:
a. Pendaftaran hak milik
b. Pembebanan hipotik
c. Pendaftaran hak kebendaan lainnya atas kapal.

22
Pasal 314 ayat (1) KUHD: “Kapal-kapal Indonesia yang berukuran paling sedikit 20 m3
(dua puluh meter kubik) isi kotor, dapat dibukukan di dalam suatu register kapal menurut ketentuan
yang ditetapkan oleh undang-undang tersendiri”
23
Pasal 518 ayat (1) UU Pelayaran: “kapal yang telah diukur dan mendapat surat ukur dapat
didaftarkan di Indonesia oleh pemilik kepada Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal yang
ditetapkan oleh Menteri.”

11
Tata cara pendaftaran hak milik kapal yang diatur dalam UU
Perkapalan Tahun 2017, PM 39/2017, dan PP 51/2002 yaitu sebagai berikut:

a. Hak milik atas kapal yang telah diukur dan mendapat surat ukur
dapat didaftarkan di Indonesia oleh pemilik kepada Pejabat
Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal.24
b. Pengukuran kapal dapat dilakukan menurut 3 (tiga) metode:25
1) Pengukuran dalam negeri untuk kapal yang berukuran panjang
kurang dari 24 meter;
2) Pengukuran internasional untuk kapal yang berukuran panjang
kurang dari 24 meter atau lebih; dan
3) Pengukuran khusus kapal yang akan melalui terusan tertentu.
c. Kapal yang dapat didaftarkan kepemilikannya di Indonesia yaitu:26
1) Kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7
(tujuh Gross Tonnage)
2) Kapal milik WNI atau Badan Hukum yang didirikan
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
3) Kapal milik Badan hukum Indonesia yang merupakan usaha
patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki WNI
d. Pendaftaran hak milik atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta
pendaftaran dan dicatat dalam daftar kapal Indonesia. Daftar kapal
ini terdiri dari daftar harian, daftar induk, dan daftar pusat.27
e. Pendaftaran hak milik atas kapal dibedakan dalam 3 (tiga) kategori
yaitu kapal laut, kapal nelayan, dan kapal pedalaman. Kapal yang
dapat didaftarkan dengan kategori sebagai kapal laut meliputi:28
1) Kapal angkutan laut
2) Kapal angkutan penyebrangan
3) Kapal lainnya yang digunakan di laut
f. Pendaftaran hak milik atas kapal wajib deilengkapi dengan:29

24
Pasal 5 ayat (1) PM 39/2017
25
Pasal 155 UU Pelayaran jo. Pasal 11 PP 51/2002
26
Pasal 5 ayat (2) PM 39/2017
27
Pasal 5 ayat (5) dan (6) PM 39/2017
28
Pasal 6 ayat (1) PM 39/2017
29
Pasal 7 ayat (1) PM 30/2017

12
1) Bukti hak milik atas kapal
2) Identitas pemilik
3) Nomor Pokok Wajib Pajak
4) Surat Ukur
5) Bukti pelunasan bea balik nama kapal sesuai dengan petentuan
peraturan perundang-undangan
g. Jika seluruh syarat yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) PM 39/2017
telah terpenuhi maka untuk mendaftarkan hak milik atas kapalnya,
pemilik mengajukan permohonan kepada Pejabat Pendaftar dan
Pencatat Baliknama Kapal di salah satu tempat pendaftaran kapal
melalui Sistem Pendaftaran Kapal Elektronik (SPKE), selanjutnya
Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal meneliti
kelengkapan persyaratan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari
kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. Jika semua
persyaratan telah terpenuhi maka Pejabat Pendaftar dan Pencatat
Baliknama Kapal membuat minuta akta dan Akta Pendaftaran
Kapal dalam jangka waktu tiga hari kerja. Minuta akta pendaftaran
disimpan oleh Pejabat dan Pencaatat Baliknama Kapal.30
h. Akta Pendaftaran Kapal ditandatangani oleh pemilik kapal, Pejabat
Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal, dan Pegawai Pembantui
Pendaftaran dan Baliknama Kapal dan setiap akta pendaftaran yang
telah ditandatangani harus dibuatkan daftar induk paling lama 24
jam setelah akta ditandatangani.31
i. Kapal yang telah didaftar wajib dipasang Tanda Pendaftaran oleh
pemilik kapal. Pemasangan Tanda Pendaftaran dilakukan dengan
dibuatkan Berita Acara Pemasangan Tanda Pendaftaran oleh
Syahbandar. Tanda Pendaftaran merupakan rangkaian angka dan
huruf yang menunjukkan: tahun pendaftaran, kode pengukuran dari
tempat kapal didaftar, nomor urut akta pendaftaran dan kode
kategori pendaftaran kapal.32

30
Pasal 8 ayat (1), (2), (5), (6) PM 39/2017
31
Pasal 10 ayat (2) dan (3) NPM 39/2017
32
Pasal 12 ayat (1) jo Pasal 13 ayat (1) PM 39/2017

13
j. Sebagai bukti hak milik atas kapal telah terdaftar, kepada pemilik
diberikan grosse akta pendaftaran kapal yang berfungsi sebagai
bukti hak milik atas kapal yang telah terdaftar.

4. Dasar Hukum Jaminan Hipotek Atas Kapal Laut di Indonesia


Berdasarkan hukum positif, landasan hukum hipotek kapal laut di
Indonesia telah diatur pada peraturan perundang-undangan sejak zaman Hindia
Belanda hingga saat ini. Ketentuan mengenai hipotek kapal laut diatur dalam:
a. KUH Perdata Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232.
b. KUHD Pasal 314 sampai dengan Pasal 315e.
c. Peraturan Pendaftaran Kapal Stbl. 1933 No.48 (Peraturan
Pelaksanaan dari Pasal 314 KUHD).
d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pasal 60
s/d 66.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2002 tentang Perkapalan
Pasal 33 dan Pasal 35.
f. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Convention on Maritime Liens and Mortgages 1993.
g. Peraturan Menteri Perhubungan RI No. PM 39 Tahun 2017 tentang
Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal Pasal 28 sampai dengan Pasal
39.

Pemerintah Indonesia meratifikasi International Convention on


Maritime Liens and Mortgages 1993 untuk memberi rasa aman dan menarik
perhatian investor, terutama asing agar mau memberikan pembiayaan bagi
industri pelayaran nasional.33 Dengan diratifikasinya konvensi ini, maka semua
negara peserta harus mengakui hipotek kapal di Indonesia dan demikian
sebaliknya, Indonesia juga harus mengakui hipotek kapal di semua negara
anggota peserta konvensi. Konvensi ini mengatur antara lain:

33
Felicia Rahma Fitri, “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Benda Tetap
Berupa Hipotek Atas Kapal Laut dan Hak Tanggungan Atas Tanah Dalam Hal Terjadi Kepailitan”
Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2015, hlm. 29.

14
a. Mortgage, hipotek dan piutang yang dapat didaftarkan dalam
bentuk apapun yang dibebankan atas kapal niaga harus diakui dan
diberlakukan di negara-negara peserta bila telah dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan Negara tempat kapal
didaftarkan.
b. Penjenjangan dari mortgage, hipotek dan piutang-piutang tersebuty
diantaranya ketiganya serata akibat-akibatnya terhadap pihak
ketika, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan konvensi harus
ditetapkan berdasarkan hukum negara tempat kapal didaftarkan.
c. Negara peserta konvensi tidak boleh melakukan deregistrasi kapal
kecuali apabila semua mortgage, hipotek dan piutang yang telah
terdaftar dihapuskqan terlebih dahulu atau setelah memperoleh
persetujuan tertulis dari pemegang ha katas mortgage, hipotek atau
piutang.
d. Negara peserta konvensi tidak boleh mendaftarkan kapal yang
masih terdaftar di negara peserta konvensi lainnya kecuali:
1. Telah ada deletion certificate dari negara tempat kapal semula
terdaftar.
2. Telah ada sertifikat dari negara tempat kapal pendaftar yang
menyatakan bahwa deletion certificate akan segera diterbitkan
pada saat pendaftaran baru mulai berlaku.
3. Jenis piutang pelayaran yang didahulukan.
4. Piutang pelayaran memliki prioritas di atas mortgage, hipotek
dan piutang yang terdaftar.

Sampai saat ini, ketentuan tentang hipotek kapal yang telah disebutkan
di atas masih berlaku karena belum ada undang-undang yang secara khusus
mengatur mengenai hipotek kapal. Pengaturan dalam UU Pelayaran dan PP
51/2002 hanya berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pembebanan hipotek
atas kapal dan jenis piutang pelayaran yang didahulukan. Dengan demikian
belum ada kepastian hukum terhadap eksekusi hipotek kapal.34

34
Tazkya Putri Amelia, Perbandingan Hukum Kapal Laut…, hlm. 39.

15
Berangkat dari permasalahan ini, pemerintah tengah menyiapkan PUU
Hipotek kapal dengan mengadopsi berbagai ketentuan International
Convention on Maritime Liens and Mortgages 1993 serta bahan yang disusun
oleh tim dari INSA dan Departemen Perhubungan. Beberapa ketentuan yang
diatur secara lebih tegas dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Hipotek
Kapal antara lain mengenai definisi hipotek kapal, kekuatan eksekutorial
Grosse Akta Hipotek kapal, sanksi terhadap Pejabat Pendaftar dan Pencatat
Baliknama Kapal.35

Dalam rangka melengkapi dan menyempurnakan peraturan perundang-


undangan tentang hipotek kapal dan mengakomodasi ketentuan Internasional,
RUU Hipotek harus segera diselesaikan dan disahkan menjadi UU. Kemudian
untuk melengkapi Undang-Undang Hipotek Kapal dan untuk memudahkan
pelaksanaan eksekusi atas kapal yang dibebani hipotek harus segera
diselesaikan proses ratifikasi International Convention on Arrest of Ship dan
dilanjutkan dengan membuat Undang-Undang Penahanan Kapal.36

35
Ramlan Ginting, Tinjauan Terhadap RUU tentang Hipotek Kapal, Buletin Hukum
Perbankan Dan Kebanksentralan Vol. 6 No. 2, (Agustus 2008), hlm. 24-34.
36
Immanuel A. Indrawan, Ship Arrest In Indonesia And Cross-Border Maritime Dispute,
Indonesian Journal of International Law Vol. 14 No. 4, (2017), hlm 474-475.

16
BAB III
PROSEDUR EKSEKUSI KAPAL LAUT SEBAGAI OBJEK JAMINAN
HIPOTEK DI INDONESIA

Hipotik merupakan pengikatan jaminan yang dibuat dengan tujuan


melindungi kepentingan kreditur serta debitur.37 Dalam proses eksekusi, kreditur
harus beritikad baik, artinya ia berkeyakinan bahwa tidak akan merugikan pemilik
kapal, dalam hal penagihan tersebut misalnya sampai berakibat penyitaan atas kapal
yang mungkin kemudian dilelang maka pemilik dapat mencegah hal demikian itu
dengan membayarnya hutang dari pengusaha.38
UU Pelayaran, PP 51/2002 dan PM 39/2017 tidak mengatur mengenai
mekanisme eksekusi hipotik atas kapal laut bila debitur wanprestasi. Oleh karena
itu eksekusi hipotik kapal laut tetap mengacu pada ketentuan dalam HIR dan KUH
Perdata.
Eksekusi terhadap grosse akta hipotik dan grosse akta pengakuan hutang
merupakan eksekusi pengecualian yang diatur berdasarkan Pasal 224 HIR dan Pasal
258 RBG, yakni isi perjanjian yang dibuat para pihak yang merupakan
penyimpangan dan pengecualian eksekusi terhadap putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Hal ini dikarenakan perjanjian grosse akta dipersamakan
dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga
mempunyai kekuatan eksekutorial.39
Grosse akta merupakan Salinan pertama dari minuta akta yang merupakan
asli akta pendaftaran kapal.40 Di bagian kepala grosse akta harus memuat irah-irah
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan di bagian bawah
grosse akta harus dicantumkan kata-kata “diberikan sebagai grosse pertama
dengan menyebutkan nama dari orang yang atas permintaannya grosse itu diberikan
dan tanggal pemberiannya.”

37
Sutan Remy Sjahdeini, Seri Dasar Hukum Ekonomi 4 Hukum Jaminan IndonesiaL
Penegakan Hukum Dari Transaski Berjaminan Proses Litigasi dan Eksekusi Jaminannya,
(Jakarta: Elips, 1998), hlm 217.
38
Ibid.
39
Tazkya Putri Amelia, Perbandingan Hukum Kapal Laut…, hlm. 49.
40
Indonesia, Undang-Undang Pelayaran, UU Nomor 17 Tahun 2008…, Ps. 158 ayat (3).

17
Tujuan dari adanya kepala grosse akta dan kata-kata penutup tersebut
adalah untuk memberikan kekuatan eksekutorial sehingga dapat dilakukan eksekusi
tanpa melalui proses perkara di pengadilan, sebab grosse akta itu disamakan dengan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.41 Berdasarkan
Pasal 224 HIR/258 Rbg42, diketahui bahwa hanya grosse akta hipotik dan surat
utang yang dibuat dalam akta notariil saja yang dapat disamakan dengan vonis
pengadilan dan dapat dieksekusi tanpa melalui proses persidangan atau dengan kata
lain memiliki kekuatan eksekutorial.43
Grosse akta merupakan perjanjian accesoir dari suatu perjanjian pokok.
Oleh karena itu dari segi hukum, ikatan grosse akta adalah perjanjian tambahan
yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada kreditur terhadap
perjanjian pokok semula, yaitu debitur rela mengikatkan diri kepada kreditur
dengan perjanjian tambahan yaitu:44
a. Pihak debitur memberi benda sebagai jaminan khusus kepada pihak
kreditur;
b. Sifat perjanjian tambahan berupa perjanjian jaminan tersebut
memberikan hak kepada pihak kreditur bahwa barang jaminan dapat
langsung dimintakan eksekusinya tanpa melalui proses gugat biasa
apabila debitur wanprestasi.

Upaya Yang Dapat Ditempuh Oleh Kreditur Bila Debitur Wanprestasi


Jika suatu utang yang dijamin pelunasannya dengan grosse akta hipotik
atas kapal dan dikemudian hari debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya atau

41
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta Dalam Pembuktian dan
Eksekusi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993) hlm. 137.
42
Pasal 224 HIR/258 Rbg:
“Grosse dari akta hipotik dan surat utang yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan
yang bagian kepalanya memakai perkataan “atas nama undang-undang” berkekuatan sama dengan
keputusan hakim, jika surat itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka perihal menjalankannya
dilangsungkan dengan perintah dan pimpinan Ketua Pengadila Negeri di daerah hukum orang yang
berutang itu diam atau tinggan atau memilih tempat tinggalnya.”
43
Situmorang dan Sitanggang, Grosse Akta Dalam…, hlm. 140.
44
Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta: SInar
Grafika, 2006), hlm. 204.

18
wanprestasi, maka upaya-upaya yang dapat ditempuh oleh kreditur untuk
mendapatkan pelunasan kembali piutangnya adalah:45
1. Menggugatnya secara perdata (Pasal 118 HIR)
Setelah adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan jika
ternyata debitur tidak melaksanakan putusan itu secara sukarela, atas
permohonan kreditur, Ketua Pengadilan Negeri (KPN) memerintahkan
penyitaan terhadap kekayaan debitur termasuk benda yang menjadi jaminan
hipotik. Benda-benda itu kemudian dijual lelang melalui Kantor Lelang Negara.
Dari hasil penjualan lelang tersebut, kreditur baru dapat mengambilnya untuk
melunasi utang debitur terutama dari hasil obyek yang menjadi jaminan hipotik
atas kapal. Namun ada kemungkinan debitur yang digugat dan dikalahkan akan
melakukan upaya hukum, sehingga memerlukan waktu yang lama dengan biaya
yang relative besar.

2. Mengajukan permohonan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR (258 Rbg)


Dalam Pasal 224 HIR (258 Rbg) dinyatakan bahwa grosse akta hipotik
dan surat pengakuan hutang yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia yang
memuat irah-irah dipersamakan dengan putusan hakim. Seandainya debitur
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya, maka kreditur pemegang
hipotik dapat langsung meminta fiat eksekusi baik secara lisan maupun tertulis
kepada KPN berdasarkan Pasal 224 jo. 196 HIR. Atas permintaan tersebut,
KPN akan mengambil tindakan hukum sebagai berikut:
a. Memangil debitur untuk menghadiri sidang insidentil,46 yaitu
memperingatkan debitur agar memenuhi pelunasan pembayaran utang
secara sukarela dalam waktu paling lambat delapan hari;
b. Jika batas waktu lewat dan debitur tetap tidak melaksanakan pemenuhan
secara sukarela, maka menurut Pasal 197 HIR tindakan KPN yaitu:
i. Mengeluarkan Penetapan Sita Eksekusi atas barang objek hipotik;
ii. Penyitaan akan dilakukan oleh Panitera atau Juru Sita sesuai Pasal
559-657 RV, karena khusus sita eksekusi kapal tidak diatur dalam

45
Idham, Pranata Jaminan Kebendaan…., hlm. 216.
46
Pasal 196 HIR

19
HIR melainkan RV dan ketentuan ini dianggap berlaku berdasarkan
pendekatan proses doelmatingheid;
iii. Menginformasikan kepada debitur atas penyitaan dan debitur dapat
hadir pada saat pelaksanaan penyitaan;
iv. Juru sita dibantu dua orang saksi membuat berita acara penyitaan
yang ditandatangani bersama saksi tersebut;
v. Mengumumkan penyitaan dengan jalan mendaftarkannya pada
kantor pejabat yang berwenang sesuai Pasal 198 HIR. Dalam hal
hipotik kapal laut, sita eksekusinya didaftarkan di Kantor Syahbandar
yang bersangkutan.
vi. Selanjutnya KPN menerbitkan Penetapan Penjualan Lelang
berdasarkan Pasal 200 ayat (1) HIR.

3. Melalui mekanisme parate executie berdasarkan ketentuan Pasal 1178 atay


(2) KUH Perdata;
Eksekusi hipotik melalui ketentuan Pasal 224 HIR bukanlah satu-
satunya cara penyelesaian. Pasal 1178 KUH Perdata memberi kemungkinan
kepada pemegang hipotik pertama untuk meminta dicantumkannya syarat yang
lazim yang dikenal dengan nama “beding vam eigmachtige verkoop.” Pasal ini
memungkinkan kreditur pemegang hipotik pertama untuk dengan tegas minta
diperjanjikan bahwa apabila hutang pokok tidak dilunasi semestinya ataupun
apabila bunga yang terhutang tidak dibayar, kreditur akan diberi kuasa untuk
menjual objek jaminan di depan umum untuk mengambil pelunasan dari hasil
penjualan tersebut. Yang dimaksudkan dengan menjual disini adalah
melakukan penjualan sendiri melalui Kantor Lelang Negara tanpa upaya
eksekusi melakui KPN.
Adapun lelang atas kapal yang dieksekusi dilakukan juga untuk
memenuhi asa publisitas dan keadilan bagi kedua belah pihak, baik kreditur
maupun debitur dikarenakan benda yang dijadikan objek jaminan bsia saja
kurang atau melebihi jumlah utang yang harus dilunasi. Sehingga apabila
terdapat kekurangan, maka kreditur dapat meminta pemenuhan kekurangan dari
debitur, dan sebaliknya.

20
4. Melakukan penjualan bawah tangan
Pada dasarnya, eksekusi hipotik harus melalui pelelangan umum. Akan
tetapi, penjualan yang dilakukan secara lelang biasanya tidak memperoleh
harga yang tinggi dan jauh dari harga pasar yang diharapkan. Hal ini disebabkan
kurangnya peminat. Oleh karena itu, untuk mendapatkan harga yang tinggi atas
kesepakatan pemberi hipotik dan penerima hipotik, penjualan dapat dilakukan
di bawah tangan.47 Secara analogis eksekusi hipotik dapat dilakukan secara
bawah tangan dengan mengacu pada ketentuan Pasal 20 UUHT dengan syarat
sebagai berikut:
a. Harus berdasarkan kesepakatan antara kreditur dan debitur setelah
debitur melakukan wanprestasi berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUHT;
b. Bentuk kesepakatan harus tertulis;
c. Diperkirakan dapat diperoleh harga yang lebih tinggi;
d. Pelaksanaan penjualan harus berpedoman pada Pasal 20 ayat (3) UUHT,
yaitu dalam waktu 1 bulan dari tanggal pemberitahuan secara tertulis
dari pemberi atau pemegang hipotik, diumumkan dalam sedikitnya dua
surat kabar dan tidak ada pihak yang berkeberatan.
Dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, tidak ada
pengaturan mengenai penyitaan benda yang berada di luar wilayah Republik
Indonesia. Sehingga pengeksekusian terhadap benda yang berada di luar
yurisdiksi RI belum memiliki dasar hukum. Upaya yang dapat dilakukan oleh
kreditur adalah dengan mengajukan gugatan atau permohonan eksekusi kepada
pengadilan tempat kapal tersebut berada atau meminta pengadilan Indonesia
memerintahkan debitur untuk mengembalikan kapal tersebut ke Indonesia.
Selain itu, Pasal 315 huruf e KUHD mengatur bahwa terhadap kapal
yang dihipotikkan di Indonesia yang akan dilakukan lelang sita di luar wilayah
RI atas kapal-kapal tersebut tidak dibebaskan dari hipotiknya di Indonesia.48
Berdasarkan Pasal tersebut, diatur bahwa pemegang hipotrik kapal
berkebangsaan Indonesia tidak akan dirugikan jika terjadi hal-hal dibawah ini:49

47
Idham, Pranata Jaminan Kebendaan…., hlm. 218.
48
Ramlan Ginting, Tinjauan Terhadap RUU…, hlm. 24-34.
49
Idham, Pranata Jaminan Kebendaan…., hlm. 216.

21
a. Jika terjadi perubahan nasionalitas kapal dari pembebanan hipotik kapal
di luar negeri tidak menggugurkan hak kebendaan hipotik pemegang
hipotik.
b. Privilege (hak mendahului/prioritas) pemegang hipotik tetap melekan
pada kapal sekalipun kapal yang dihipotikkan berubah nasionalitasnya.
c. Hak kebendaan dan hak privilege pemegang hipotik tetap melekat pada
kapal. Kecuali jika perubahan nasionalitasnya terjadi melalui penjualan
lelang (executorial verkoop).

22
BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dasar hukum jaminan Hipotek diatur dalam berbagai peraturan
perundangan antara lain dalam KUH. Perdata, KUHD, Undang-Undang No.
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dan khususnya dasar hukum
Hipotek Kapal Laut hanya didasarkan pada KUHD dan UndangUndang No.
17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, bahwa secara formil, ketentuan-
ketentuan lama yakni KUHD diberlakukan, tetapi secara materiil lebih
banyak mengacu pada ketentuan Undang-Undang No. 17 Tahun 2008.
Hipotek kapal laut sebagai jaminan kebendaan atas benda tidak
bergerak merupakan hubungan hukum perjanjian atau kontrak yang
menimbulkan konsekuensi hukum dalam pemenuhan hak dan kewajiban
pada pihak. Tidak dipenuhinya kewajiban atau prestasi, berakibat pada
terjadinya wanprestasi dengan kewajiban pemenuhan pelunasan utang oleh
debitor kepada kreditor (lembaga perbankan) yang dapat terjadi pelelangan
Hipotek oleh karena terjadi kredit macet.

2. Saran
Sampai dengan saat ini belum ada undang-undang yang secara
khusus mengatur mengenai hipotik kapal, sehingga masih menggunakan
ketentuan tentang hipotik kapal yang ada dalam KUHD dan KUH Perdata.
Adapun pengaturan dalam UU Pelayaran dan PP 51/2002 hanya mengenai
persyaratan dan tata cara pembebanan hipotik atas kapal dan jenis piutang
pelayaran yang didahulukan. Dengan demikian belum terdapat kepastian
hukum terhadap eksekusi hipotik kapal. Penulis berharap pemerintah segera
membentuk Undang-Undang Hipotik Kapal demi memberi kepastian
hukum bagi para pelaku bisnis pelayaran dan bagi pelaksanaan eksekusi
kapal di Indonesia.

23
DAFTAR PUSTAKA

A. PERATURAN
Indonesia. Undang-Undang Pelayaran, UU Nomor 17 Tahun 2008, LN No. 64
Tahun 2008, TLN No. 4846.
________. Peraturan Pemerintah Perkapalan, PP Nomor 51 Tahun 2002, LN
No. 95 Tahun 2002, TLN No. 4227.
Kementerian Perhubungan. Peraturan Menteri Perhubungan tentang
Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal, PM 39 Tahun 2017.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan
oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 34. Jakarta: Pradnya
Paramita, 2004.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang [Wetboek Van Koophandel].
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta:
Pradnya Paramita, 2002.

B. BUKU
Hadisoeprapto, Hartono. Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan.
Yogyakarta: Liberty, 1984.
Harahap, M. Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata.
Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi
Jaminan. Cet. 2. Jakarta: Ind-Hill-Co, 2005.
HS, Salim. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2004.
Idham, Anis. Pranata Jaminan Kebendaan hipotik Kapal Laut. Cet. 1.
Bandung: Penerbit Alumni, 1995.
Situmorang, Victor M. dan Cormentyna Sitanggang. Grosse Akta Dalam
Pembuktian dan Eksekusi. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993.
Sjahdeini, Sutan Remy. Seri Dasar Hukum Ekonomi 4 Hukum Jaminan
Indonesia: Penegakkan Hukum Dari Transaksi Berjaminan Proses
Litigasi dan Eksekusi Jaminannya. Jakarta: Elips, 1998.

24
C. INTERNET
International Chamber of Shipping. “Shipping and World Trade,”
https://www.ics-shipping.org/shipping-facts/shipping-and-world-
trade, diakses 27 September 2019.

D. JURNAL/ARTIKEL

Ginting, Ramlan. “Tinjauan Terhadap RUU tentang Hipotek Kapal”, Buletin


Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan Vol. 6 No. 2, (Agustus
2008).
Hidayatullah, Syukri. “Kedudukan Hukum Hipotek Kapal Laut dalam Hukum
Jaminan dan Penetapan Hipotek Kapal Laut Sebagai Jaminan
Perikatan,” Yuriska 7 No. 2 (2015).
Indrawan, Immanuel A. “Ship Arrest in Indonesia And Cross-Border
Maritime Dispute,” Indonesian Journal of International Law Vol.
14 No. 4, (2017).

E. SKRIPSI/TESIS/DISERTASI

Amelia, Tazkya Putri. “Perbandingan Hukum Kapal Laut Sebagai Objek


Jaminan Utang (Studi Perbandingan antara Indonesia dan
Singapura).” Tesis Magister Universitas Indonesia, Depok 2018.
Fitri, Felicia Rahma. “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Benda
Tetap Berupa Hipotek Atas Kapal Laut dan Hak Tanggungan Atas
Tanah Dalam Hal Terjadi Kepailitan.” Skripsi Sarjana Universitas
Indonesia, Depok, 2015.

25

Anda mungkin juga menyukai