Anda di halaman 1dari 4

4.

1 Jaminan Hipotik Kapal Laut dalam Perundang-undangan

Hipotik Kapal pada mulanya diatur dalam Buku Kedua KUHD pada Pasal 314 ayat (3) yang
menyatakan “Atas kapal-kapal yang dibukukan dalam register kapal, kapal-kapal dalam
pembukuan dan andil-andil dalam kapal-kapal dan kapal-kapal pembuatan seperti itu dapat
diletakkan hipotik.”

Menurut Pasal 49 ayat (1) Undang-undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, disebutkan
bahwa “Kapal yang telah didaftar dapat dibebani hipotik.” yang kemudian dirubah dengan Pasal
60 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, menyatakan bahwa :

(1) Kapal yang telah didaftarkan dalam Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan
utang dengan pembebanan hipotek atas kapal.
(2) Pembebanan hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta hipotek oleh
Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat
dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.
(3) Setiap akta hipotek diterbitkan 1 (satu) Grosse akta Hipotek yang diberikan kepada
penerima hipotek.
(4) Grosse Akta Hipotek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
(5) Dalam hal Grosse Akta Hipotek hilang dapat diterbitkan Grosse Akta pengganti
berdasarkan penetapan pengadilan

Hipotik kapal laut pada dasarnya mengandung arti sebagai suatu pengikatan atau pembebanan
dalam rangka mendapatkan dana dari lembaga perbankan. Jaminan Hipotik kapal laut ini
mempunyai arti yang sama dengan jaminan kebendaan misalnya Hak Milik atas tanah, hak milik
atas rumah yang dijadikan jaminan dengan dibebani Hak Tanggungan, oleh karena salah satu
prinsip utama lembaga perbankan ialah bahwa bank tidak menyalurkan dana tanpa adanya
jaminan. Berkaitan dengan pembebanan hipotik, menurut Pasal 60 UU No.17 Tahun 2008
Tentang Pelayaran, status pendaftaran dilakukan dihadapan Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik
Nama Kapal dan kemudian tercatat di Daftar Kapal Indonesia, dalam rangka mendapatkan
Grosse Akta Hipotek yang diberikan kepada penerima hipotek yang juga berlaku sebagai bukti
hak milik kapal laut.Grosse Akta ini lah yang menjadi jaminan utang.
Sebagai sebuah perikatan dengan pembebanan hipotik pada kapal laut tentu menimbulkan akibat
hukum bagi para pihak yang terlibat. Berdasarkan pada akibat hukum Hipotik kapal laut, maka
secara formil, asas-asas atau prinsip-prinsip dalam Hukum Perjanjian dan Hukum Perbankan,
masih mendasarkan pada ketentuan-ketentuan di dalam KUH. Perdata, akan tetapi secara
materiil, ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam wanprestasi Hipotik kapal laut adalah KUHD,
UndangUndang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, serta ketentuan Hukum Perbankan,
khususnya berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana
telah dirubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Ketentuan-ketentuan Hipotik menurut KUHD
tidak pernah diganti atau dirubah oleh peraturan perundangan berikutnya, sedangkan
UndangUndang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, hanya lebih menegaskan ketentuan-
ketentuan Hipotik menurut KUHD. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan Hipotik atas
benda-benda tetap (tidak bergerak) menurut KUH. Perdata yang diteruskan atau dikecualikan
pencabutannya oleh UUPA.

Salah satu bagian penting dalam Hipotik Kapal Laut adalah tentang kekuasaan eksekutorial
melalui Grosse Akta Hipotik Kapal Laut yang sama kekuatan hukumnya seperti putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in racht), oleh karena penguasaan
terhadap kapal yang dijadikan jaminan Hipotik pada perjanjian kredit bank sebenarnya sudah
berada pada kreditor (lembaga perbankan). Selain titel eksekutorial, hipotik kapal yang
didaftarkan berakibat melekatkan sifat kebendaan terhadap tagihan yang dijamin dengan hipotik,
menentukan tingkat hipotik dan menentukan kekuatan mengikat antara sita jaminan dengan
pendaftaran hipotik. Salinan akte hipotik memiliki konsekuensi hukum kekuatan eksekutorial,
dengan demikan dapat dilakukan eksekusi tanpa turut campur pihak pengadilan.Apabila pihak
lembaga perbankan telah menyampaikan peringatan (somasi) atas keterlambatan membayar
angsuran beserta bunganya, maka kreditor tersebut dapat meminta pelelangan kapal laut tersebut
untuk membayar utang yang telah jatuh tempo dan dinyatakan sebagai kredit macet. Adanya
jaminan kebendaan, berupa kapal laut yang dibebani dengan Hipotik kapal laut, mengandung arti
sebagai upaya pengamanan terhadap dana yang disalurkan berbentuk kredit bank, sekaligus
upaya berjaga-jaga jangan sampai pihak kreditor itu sendiri yang menderita kerugian dari
kegagalan nasabah debitor membayar utang beserta bunga yang telah diperjanjikan bersama.
Kapal laut yang dijadikan jaminan itulah yang dapat dilelang (dijual) sebagai pelunasan utang
debitor kepada kreditor, sebagaimana juga ditemukan pengaturan dan praktiknya pada
pelelangan Hak Tanggungan yang juga menggunakan mekanisme yang sama terhadap terjadinya
wanprestasi sehingga objek Hak Tanggungan tersebut dilelang untuk menutupi utang pokok
beserta bunga bank dan biaya-biaya lainnya termasuk biaya pelelangan dan lain sebagainya.

Adapun apabila dalam perjalanannya, kapal laut yang dijadikan jaminan hipotik musnah,
pastinya akan menimbulkan suatu akibat hukum. Pasal 1209 KUH Perdata mengatur bahwa
hapusnya hipotek disebabkan karena:
a) hapusnya perikatan pokoknya;
b) pelepasan hipotek oleh si berpiutang; dan
c) karena penetapan hakim.

Hal ini berarti bahwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, musnahnya kapal yang
menjadi obyek hipotek tidak termasuk dalam hal yang menyebabkan hapusnya hipotek. Oleh
karena tidak ada pengaturan yang jelas mengenai akibat hukum dari musnahnya kapal laut yang
menjadi obyek hipotek, hal tersebut tentunya dikembalikan pada kesepakatan antara debitur
dengan kreditur pada perjanjian hipotek (sebagai perjanjian accesoir) atau perjanjian kredit
(sebagai perjanjian pokok). Apabila dalam perjanjian tersebut diatur mengenai akibat hukum dari
musnahnya kapal, maka dapat pula diatur mengenai asuransi atas musnahnya kapal sebagai
jaminan terhadap pembayaran utang debitur.

Instruksi Presiden No. 5 tahun 2005 telah menginstruksikan kepada menteri yang berwenang
untuk melakukan dan merumuskan kebijakan-kebijakan sebagai berikut :

1. Setiap kapal yang dimiliki dan/atau dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional,
dan/atau kapal bekas/kapal baru yang akan dibeli atau dibangun di dalam atau di luar
negeri untuk jenis, ukuran dan batas usia tertentu wajib diasuransikan sekurang-kurangnya
untuk “Hull & Machineries” (rangka kapal);
2. Muatan/barang dan penumpang yang diangkut oleh perusahaan pelayaran nasional yang
beroperasi baik di dalam negeri maupun di luar negeri, wajib diasuransikan;
3. Menetapkan kebijakan yang mendorong perusahaan asuransi nasional untuk bergerak di
bidang asuransi perkapalan untuk menyesuaikan dengan standar kemampuan retensi
asuransi perkapalan internasional.
Dengan adanya pengaturan mengenai kewajiban asuransi bagi perkapalan sebagaimana
dimaksud di atas, diharapkan hal ini dapat memberikan jaminan kepastian pelunasan utang
terhadap kreditur dalam hal terjadi ‘sesuatu’ terhadap kapal yang dijaminkan tersebut. Namun
perlu diperhatikan bahwa kewajiban tersebut hanya sekurang-kurangnya atas rangka kapal. Oleh
karena itu, kreditur harus melakukan analisis apakah nilai pertanggungan asuransi dimaksud
mencukupi pembayaran seluruh kewajiban debitur.

Anda mungkin juga menyukai