Namun, restrukturisasi utang hanya berlaku untuk debitur yang terkena dampak COVID-19. Selain itu, agar fasilitas
pinjaman atau pembiayaannya direstrukturisasi, debitur wajib mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan
yang terkait dan, sebagai kreditur, lembaga dimaksud memiliki diskresi penuh untuk menyetujui atau menolak
permohonan itu. Dengan demikian, tampak jelas bahwa kerangka hukum baru yang lebih longgar ini cenderung
bersifat anjuran daripada kewajiban.[4]
Terlebih lagi, saat debitur terus gagal memenuhi kewajibannya dan restrukturisasi bukanlah suatu pilihan, kreditur
dapat menggunakan haknya untuk mengeksekusi jaminan yang dibebani hak tanggungan oleh debitur yang
bersangkutan jika debitur tersebut dianggap telah cidera janji.[5] Tindakan tersebut mungkin kurang disukai dalam
situasi saat ini, tetapi pada akhirnya, tidak ilegal atau mustahil bagi kreditur untuk bertindak demikian.
Berlandaskan latar belakang tersebut, edisi Indonesian Law Digest (ILD) ini menawarkan analisis tentang eksekusi
jaminan dalam hukum Indonesia. Diskusi kali ini dikhususkan untuk membahas persoalan-persoalan berikut ini:
I. Jenis-Jenis Jaminan;
II. Cidera Janji sebagai Dasar Eksekusi;
III. Eksekusi Jaminan;
IV. Keberatan Terhadap Eksekusi yang Dapat Ditempuh.
I. Jenis-Jenis Jaminan
Jaminan (collateral), sebagai bagian dari prinsip “5C” yang digunakan kreditur dalam mengukur kelayakan kredit
calon debitur, pada dasarnya membantu debitur untuk memperoleh pinjaman karena memberikan keamanan
yang lebih besar kepada kreditur sehubungan dengan pelunasan utang.[6] Dalam hal ini, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia (“KUH Perdata”) mengakui adanya dua jenis jaminan: jaminan yang ditentukan oleh
undang-undang (jaminan umum) dan jaminan yang timbul karena perjanjian (jaminan khusus).[7]
Jaminan jenis pertama diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata,[8] yang merujuk pada segala barang-barang bergerak
dan tak bergerak milik debitur. Barang-barang tersebut tidak dibebani hak tanggungan dan setiap kreditur dari
debitur tersebut memiliki hak secara pro rata atasnya.
Sementara itu, jaminan jenis kedua diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata.[9] Jaminan jenis ini dapat dibagi lagi
menjadi jaminan perseorangan dan jaminan kebendaan.[10]
Terkait dengan bagian pendahuluan di atas, pembahasan yang dimuat dalam edisi ILD ini dibatasi pada eksekusi
jaminan-jaminan berikut:
Hak Tanggungan Suatu hak jaminan yang dibebankan pada hak Undang-Undang No. 4 Tahun 1996
atas tanah, sebagaimana dimaksud dalam tentang Hak Tanggungan Atas
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Tanah Beserta Benda-Benda yang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut Berkaitan dengan Tanah (“UU Hak
atau tidak berikut benda-benda lain yang Tanggungan”)
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan prioritas kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lain.[13]
Hipotek Awalnya, hipotek adalah suatu hak kebendaan Bab 21 Buku Kedua KUH Perdata
atas barang tak bergerak yang dijadikan
jaminan dalam pelunasan suatu perikatan.[14]
Namun, sejak diundangkannya UU Hak
Tanggungan, hipotek tidak dapat lagi
digunakan sebagai jaminan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah,
dan terutama digunakan sebagai jaminan atas
kapal yang terdaftar dengan tonase kotor
paling rendah 20 m3.[15]
Jaminan Fidusia Suatu hak jaminan atas benda bergerak, baik Undang-Undang No. 42 Tahun 1999
yang berwujud maupun yang tidak berwujud, tentang Jaminan Fidusia (“UU
dan benda tidak bergerak yang tidak dapat Jaminan Fidusia”)
dibebani hak tanggungan (sebagaimana
diatur dalam UU Hak Tanggungan), bagi
pelunasan utang tertentu, yang memberikan
prioritas kepada kreditur (selaku penerima
jaminan fidusia) terhadap kreditur lainnya.
Benda tersebut tetap berada dalam
penguasaan pemberi fidusia.[16]
Sebagai tambahan, terdapat satu jenis jaminan lagi yang tersedia, yaitu jaminan dengan sistem resi gudang.[17]
Namun jaminan tersebut sangat jarang digunakan di negara ini[18] sehingga tidak dibahas secara khusus dalam
pembahasan kali ini.
Kreditur yang akan mengeksekusi hak atas jaminan yang dibebani hak tanggungan oleh debitur wajib terlebih
dulu memastikan bahwa debitur telah cidera janji.[19] Timbul permasalahan ketika debitur enggan dinyatakan
telah cidera janji. Dalam situasi pandemi COVID-19 saat ini, banyak pihak mengklaim bahwa kegagalan mereka
disebabkan oleh kondisi force majeure, yang artinya mereka tidak dapat dinyatakan telah cidera janji dan eksekusi
mungkin tidak dapat dilaksanakan.
Ketentuan terkait force majeure pada dasarnya diatur dalam KUH Perdata. Pada umumnya, peristiwa force
majeure dapat dipahami sebagai suatu keadaan tidak terduga yang menghalangi suatu pihak dalam memenuhi
kewajiban kontraktual yang dimilikinya. Terdapat beberapa unsur yang membentuk suatu force majeure, meliputi:
1) Kegagalan dalam pemenuhan kewajiban terkait bukan merupakan kesalahan atau niat dari debitur; 2) Peristiwa
yang mengarah pada adanya klaim force majeure bersifat tidak terduga; 3) Tanggung jawab atas peristiwa
tersebut tidak dapat dibebankan kepada debitur.[20]
Sehubungan dengan eksekusi, penting bagi kedua pihak untuk menentukan apakah debitur telah cidera janji
atau mengalami keadaan force majeure. Jika debitur meyakini bahwa ketidaksanggupan untuk terus memenuhi
kewajibannya merupakan akibat dari suatu peristiwa force majeure, misalnya akibat pandemi COVID-19 dan
pelaksanaan langkah pembatasan sosial skala besar yang mengikutinya, maka debitur tersebut diharapkan untuk
memberitahu krediturnya. Jika tidak, kreditur dapat mengganggap debitur telah cidera janji dan dapat
melakukan eksekusi.
Pada pokoknya, ambang batas penetapan cidera janji telah diatur dalam KUH Perdata. Secara khusus, KUH
Perdata menetapkan bahwa debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu, atau
berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai.
[21]
Sudah menjadi praktik umum bahwa sebelum menyatakan adanya cidera janji, kreditur terkait menerbitkan
pemberitahuan cidera janji kepada debitur sekaligus menawarkan periode perbaikan (remedy period). Dalam
periode perbaikan ini, debitur terkait dapat berargumen bahwa dirinya tidak dapat dinyatakan cidera janji dan
sebaliknya dapat mengklaim force majeure.
Terlebih lagi, eksekusi lazimnya dilakukan melalui mekanisme pelelangan. Sebagaimana didefinisikan dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (“Permenkeu 27/2016”),
pelelangan eksekusi dilakukan untuk melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan, dokumen-dokumen
lain yang dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
[22] Jika pelelangan didasari oleh atau memerlukan penetapan pengadilan, debitur terkait dapat mengajukan
perlawanan terhadap klaim cidera janji yang diajukan oleh kreditur pada saat pengadilan memeriksa permohonan
penetapan.[23]
Tambahan lagi, para pihak yang berkepentingan juga dapat mengajukan perlawanan terhadap penetapan
tersebut dengan cara:[24]
Pada umumnya, eksekusi wajib tunduk pada sifat institusi penjaminan yang bersangkutan dan hal-hal terkait
yang diatur dalam undang-undang yang relevan (misalnya, eksekusi hak tanggungan wajib tunduk pada
ketentuan dalam UU Hak Tanggungan). Ditambah lagi, eksekusi juga mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal
Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung No. 40/DJU/SK/HM.02.3. /1/2019 tentang Pedoman Eksekusi pada
Pengadilan Negeri (“Pedoman Eksekusi”).[25] Eksekusi untuk setiap jenis institusi penjaminan diuraikan lebih
lanjut di bawah ini.
A. Gadai
Gadai melibatkan penyerahan barang jaminan sehingga barang tersebut berada dalam penguasaan kreditur
yang bersangkutan. Sehubungan dengan eksekusi, Pasal 1155 (1) KUH Perdata menetapkan bahwa, dalam hal
terjadi cidera janji, kreditur terkait diberi kewenangan untuk menjual barang gadai melalui pelelangan
umum sesuai dengan kebiasaan setempat dan persyaratan yang lazim berlaku, atau melalui cara-cara yang
disepakati para pihak.
Namun, para pihak tersebut dilarang untuk mengalihkan barang yang digadaikan menjadi milik kreditur,
atau perjanjian gadai tersebut dinyatakan batal demi hukum.[26] Sebagai tambahan, jika para pihak ingin
menjual barang yang digadaikan, maka hal tersebut wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan melalui
penerbitan penetapan pengadilan.[27]
Jika para pihak sepakat untuk mengeksekusi barang yang digadaikan melalui pelelangan umum, maka
eksekusinya wajib memenuhi ketentuan Permenkeu 27/2016, serta Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan
Negara (“Direktur Jenderal”) No. 2/KN/2017 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang (“Perdirjen 2/2017”).
Pada intinya, jika eksekusi barang yang digadaikan dilakukan melalui pelelangan umum, maka debitur wajib
terlebih dahulu mengumumkan pelelangan barang yang dijaminkan. Jika tidak, pelelangan tersebut dapat
dibatalkan.[28] Sebagai tambahan, bersama dengan pengajuan permohonan pelelangan, kreditur wajib
melampirkan dokumen prasyarat berikut ini:[29]
B. Hak Tanggungan
Menurut UU Hak Tanggungan, terdapat tiga cara untuk melakukan eksekusi hak tanggungan, sebagaimana
diuraikan di bawah ini.
Parate Eksekusi
Parate eksekusi adalah kewenangan yang diberikan dalam UU Hak Tanggungan dan mengizinkan kreditur
untuk menjual barang hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa diharuskan untuk mendapat
persetujuan para pihak terlebih dahulu.[30] Seperti halnya prosedur pelelangan umum jaminan gadai, jika
kreditur memilih untuk melakukan eksekusi barang hak tanggungan dengan cara ini, maka kreditur tersebut
wajib mengumumkan pelelangan terlebih dahulu. Selanjutnya, kreditur wajib mengajukan permohonan
pelelangan umum dengan melampirkan dokumen prasyarat berikut ini:[31]
Permenkeu 27/2016 mewajibkan penjual pada pelelangan umum untuk bertanggung jawab terhadap:[32]
Titel Eksekutorial
Berbeda dengan penjualan yang dilakukan melalui pelelangan umum atas dasar parate eksekusi, penjualan
yang dilakukan melalui pelelangan umum atas dasar titel eksekutorial tetap memerlukan penetapan
pengadilan tentang eksekusi. Hal ini tercermin dalam UU Hak Tanggungan, yang menetapkan bahwa
sebelum terbitnya peraturan yang khusus mengatur eksekusi hak tanggungan atas dasar titel eksekutorial,
ketentuan terkait eksekusi hipotek berlaku juga terhadap eksekusi hak tanggungan atas dasar titel
eksekutorial.[33] Hal ini berarti bahwa eksekusi atas dasar titel eksekutorial wajib diperlakukan berbeda dari
penjualan atas dasar kewenangan untuk menjual sebagaimana telah dibahas di atas.
Eksekusi atas dasar titel eksekutorial wajib ditafsirkan sebagai eksekusi yang dibantu oleh ketua pengadilan.
[34] Pelelangan umum barang hak tanggungan yang dieksekusi dengan cara ini dilakukan dibawah
pimpinan ketua pengadilan. Pelelangan eksekusi semacam itu diatur secara khusus dalam Permenkeu
27/2016.[35]
Sebagai latar belakang, sebelum penerbitan Permenkeu 27/2016, eksekusi yang dilakukan menggunakan
cara ini pertama-tama wajib mendapatkan penetapan pengadilan terlebih dahulu. Hal ini disebabkan oleh
yurisprudensi yang diatur dalam Putusan Mahkamah Agung No. 3021 K/Pdt/1984, yang pada pokoknya
mewajibkan setiap eksekusi hipotek atas dasar titel eksekutorial untuk dilampiri dengan penetapan
pengadilan tentang eksekusi.[36] Pada akhirnya, Permenkeu 27/2016 pun diterbitkan dan mengklarifikasi
bahwa penetapan pengadilan tentang pelelangan umum barang hak tanggungan hanya diwajibkan jika
terdapat gugatan perdata yang diajukan terhadap barang hak tanggungan oleh pihak selain debitur terkait.
Gugatan perdata tersebut menghentikan eksekusi atas dasar parate eksekusi dan mengakibatkan terjadinya
eksekusi atas dasar titel eksekutorial yang memerlukan penetapan pengadilan (fiat executie).[37]
Penjualan barang hak tanggungan secara di bawah tangan hanya diizinkan jika kedua pihak sepakat bahwa
pendekatan tersebut lebih menguntungkan dibandingkan penjualan melalui pelelangan umum dan jika
tidak ada keberatan terhadap penjualan dimaksud.[38] Sebagai tambahan, metode penjualan di bawah
tangan mewajibkan pemrakarsanya (baik pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan) untuk
memberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak terkait paling lambat satu bulan sebelum penjualan di
bawah tangan dimaksud. Selain memberitahukan kepada pihak-pihak terkait, setiap maksud untuk
melakukan penjualan di bawah tangan juga wajib diumumkan paling sedikit dalam dua surat kabar yang
beredar di daerah setempat.[39]
C. Hipotek
Pembebanan hipotek diikuti dengan penerbitan sertifikat yang memuat titel eksekutorial yang terkait. Hal ini
secara khusus diakui dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Herzien Indladsch Reglement -
“HIR”), yang substansinya diuraikan sebagai berikut:[40]
1. Baik salinan asli hipotek, serta surat utang, yang diperkuat dalam bentuk akta notaris dengan dilengkapi
frasa, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, adalah setara dengan keputusan
pengadilan berkekuatan hukum tetap;
2. Jika eksekusinya tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena debitur yang berkeberatan untuk
menyerahkan barang jaminan terkait, maka tindakan lebih lanjut harus didasari oleh putusan
pengadilan negeri.
Sebagaimana telah dibahas dalam bagian sebelumnya, eksekusi atas dasar titel eksekutorial ditafsirkan
sebagai eksekusi yang dibantu oleh ketua pengadilan. Dengan demikian, pengajuan permohonan
pelelangan umum dilakukan di bawah pimpinan ketua pengadilan. Permenkeu 27/2016 tidak mengatur
secara khusus mengenai dokumen prasyarat yang wajib disampaikan dalam eksekusi hipotek.
D. Jaminan Fidusia
Singkat kata, eksekusi jaminan fidusia hampir sama dengan eksekusi jaminan hak tanggungan. Pendekatan
ini diakui dalam UU Jaminan Fidusia sebagai berikut:[41]
Patut dicatat bahwa Mahkamah Konstitusi baru-baru ini menjatuhkan putusan No. 18/PUU-XVII/2019, yang
pada intinya mewajibkan perolehan penetapan pengadilan untuk eksekusi atas dasar titel eksekutorial
sehubungan dengan situasi peristiwa cidera janji yang tidak diatur secara jelas dalam perjanjian terkait dan
debitur yang bersangkutan berkeberatan untuk menyerahkan objek fidusia.[42]
Debitur dan pihak ketiga lainnya yang terkait berhak untuk mengajukan keberatan terhadap eksekusi barang
yang dibebani jaminan dalam situasi tertentu. Keberatan-keberatan tersebut, dalam Buku Eksekusi, dapat
dijadikan alasan untuk menghentikan proses eksekusi.
Pasal 195 (6) HIR membolehkan debitur pemilik aset dengan pembebanan yang dieksekusi untuk
mengajukan keberatan terhadap perintah eksekusi tersebut. Buku Eksekusi kemudian menerangkan bahwa
keberatan tersebut dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan berikut:[43]
Sebagai catatan, karena keberatan jenis ini hanya terbatas pada alasan-alasan di atas, debitur pertama-tama
wajib memahami bahwa kesempatan untuk membantah penetapan cidera janji sangatlah terbatas.
Pasal HIR yang sama juga mengizinkan pihak ketiga yang mengklaim kepemilikan atas objek eksekusi untuk
mengajukan keberatan terhadap eksekusi. Yurisprudensi di Indonesia menguatkan konsep ini melalui
penjatuhan Putusan Mahkamah Agung No. 3089 K/Pdt/1991, yang pada pokoknya memberikan hak kepada
pihak ketiga mengenai pengajuan keberatan (derden verzet) dan pernyataan kepemilikan atas barang sitaan.
[44]
Yurisprudensi lainnya, yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 185/Pdt.Plw/2010/PN.Slmn, menyatakan bahwa
keberatan semacam ini dapat diajukan atas dasar alasan-alasan berikut:[45]
Buku Eksekusi lebih lanjut mengklarifikasi bahwa keberatan tersebut dapat diajukan oleh pemilik sertifikat
tanah dalam bentuk Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai serta pemegang hak tanggungan
atau hak sewa.[46]
Kesimpulan
Meskipun pemerintah telah berupaya sebaik-baiknya untuk memperkenalkan kerangka aturan yang lebih longgar
kepada debitur dalam pandemi yang sedang berlangsung dengan cara menganjurkan restrukturisasi utang, pada
akhirnya, keputusan untuk memberikan kelonggaran atau tidak tetap berada di tangan kreditur. Memang, guna
menjamin berlanjutnya keberlangsungan hidup kegiatan usahanya, sejumlah kreditur bisa saja tidak memandang
restrukturisasi sebagai langkah yang sesuai sehubungan dengan debitur tertentu dan sebaliknya memilih untuk
menyatakan debitur semacam itu telah cidera janji apabila tidak dapat memenuhi kewajiban keuangannya. Dalam
kasus seperti itu, salah satu konsekuensi dari pernyataan tersebut adalah dilaksanakannya eksekusi terhadap jaminan
yang telah dibebankan oleh debitur kepada kreditur.
Cara melaksanakan eksekusi berbeda-beda sesuai dengan objek jaminan yang terkait, namun, satu hal yang umum
mengenai eksekusi jaminan adalah penetapan apakah debitur telah cidera janji atau tidak. Dalam praktek, kreditur
akan menyampaikan pemberitahuan telah cidera janji kepada debitur sebelum menetapkan mereka telah cidera janji
dan juga menetapkan jangka waktu bagi debitur untuk memperbaiki kegagalannya. Dalam masa pandemi yang tidak
pasti seperti sekarang, hampir dapat dipastikan bahwa debitur akan melakukan perlawanan terhadap penetapan
cidera janji dengan klaim force majeure. Namun, debitur sangat dianjurkan untuk memberitahukan adanya klaim force
majeure terlebih dahulu kepada kreditur ketika mulai mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban keuangannya
karena alasan seperti pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung. Memang, proses penetapan yang hilir-mudik
seperti itu sudah seharusnya ditempuh sebelum dimulainya pelaksanaan eksekusi.
Debitur kemudian dapat tetap berupaya menghentikan eksekusi melalui pengajuan keberatan, namun, sedikit sekali
alasan yang tersedia sehubungan dengan pengajuan keberatan tersebut. Karena itu, lebih dianjurkan untuk
menyelesaikan masalah ada atau tidaknya cidera janji sebelum memilih upaya eksekusi. VN
[1] CNN Indonesia, “Melihat ‘Basa-Basi’ Relaksasi Pembayaran Kredit Saat Corona” sebagaimana diakses melalui
[2] Untuk informasi lebih lanjut tentang peraturan ini, lihat ILB No. 3839.
[3] Untuk informasi lebih lanjut tentang peraturan ini, lihat ILB No. 3865.
[4] Tirto.id, “Relaksasi Kredit Saat Pandemi Corona: Bank & Leasing Dibuat Pusing” sebagaimana diakses melalui https://tirto.id/relaksasi-kredit-saat-pandemi-
[5] Ibid.
[6] Investopedia, “Five Cs of Credit”, sebagaimana diakses melalui https://www.investopedia.com/terms/f/five-c-credit.asp pada tanggal 12 Mei 2020.
[7] Djaja S. Meliala, “Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan” (Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2015), hlm. 24.
[8] Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada,
[9] Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa barang-barang dimaksud menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur yang terkait; hasil penjualan barang-
barang itu dibagi di antara para kreditur dengan besaran yang proporsional dengan pinjaman masing-masing, kecuali bila di antara para kreditur itu ada
[15] mondaq.com, “Indonesia: Security Rights In Indonesia At Glance”, sebagaimana diakses melalui https://www.mondaq.com/Finance-and-
[18] Koran Tempo, “Pemanfaatan Sistem Resi Gudang Sepi Peminat”, sebagaimana diakses melalui https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-
bisnis/448119/pemanfaatan-sistem-resi-gudang-sepi-peminat? pada tanggal 12 Mei 2020.
[19] Pasal 1155 (1) dan 1156 (1), KUH Perdata; Pasal 20 (1-2), UU Hak Tanggungan; Pasal 29 (1), UU Jaminan Fidusia.
[20] Untuk informasi lebih lanjut tentang konsep force majeure, lihat ILD No. 603.
[23] M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 38-40 dan 44.
[25] Untuk informasi lebih lanjut tentang Pedoman Eksekusi, lihat ILD No. 603.
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-sumut/baca-artikel/12694/LELANG-PASAL-6-UUHT-DAN-LELANG-BERDASARKAN-TITLE-EKSEKUTORIAL.html pada
[35] Ibid.
[36] Hukumonline, “Prosedur Eksekusi Hak Tanggungan Menyulitkan”, sebagaimana diakses melalui
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20929/prosedur-eksekusi-hak-tanggungan-menyulitkan/ pada tanggal 12 Mei 2020.
[42] Untuk informasi lebih lanjut tentang putusan ini, lihat ILD No. 647.
[44] Hukumonline, “Seluk Beluk Derden Verzet”, sebagaimana diakses melalui https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt516d85bd40408/seluk-beluk-
[45] Ibid.