Anda di halaman 1dari 71

Jaminan dan Pengikatan 

Jaminan
 

A.                 PENDAHULUAN

Di dalam dalam pemberian kredit, Bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat
termasuk resiko yang harus dihadapi atas pengembalian kredit. Untuk memperoleh keyakinan
sebelum memberikan kredit, Bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha Debitur. Agunan merupakan salah satu unsur
jaminan kredit agar Bank dapat memperoleh tambahan keyakinan atas kemampuan Debitur
untuk mengembalikan utangnya.

Yang dimaksud dengan Jaminan dalam arti luas adalah jaminan yang bersifat materil maupun
yang bersifat immateril. Jaminan yang bersifat materil misalnya bangunan, tanah, kendaraan,
perhiasan, surat berharga. Sedangkan jaminan yang bersifat immateril misalnya jaminan
perorangan (borgtocht).

Dari sifat dan wujudnya benda menurut hukum dapat dibedakan atas benda bergerak (roerende
goederen) dan benda tidak bergerak (onroerende goederen).

Pendapat lain membagi benda bergerak menjadi Berwujud dan Tidak Berwujud. Berwujud
artinya sifatnya sendiri menggolongkannya kedalam golongan itu yaitu segala barang yang dapat
dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, misalnya barang-barang inventaris kantor,
kendaraan bermotor dan sebagainya. Sedangkan Tidak Berwujud adalah karena Undang-
Undang menggolongkannya kedalam golongan itu, misalnya cek, wesel, saham, obligasi dan
tagihan.

B.                  JAMINAN KEBENDAAN

Dalam Hukum mengenai pengikatan jaminan, penggolongan atas benda bergerak dan tidak
bergerak mempunyai arti yang penting sekali. Adanya perbedaan penggolongan tersebut juga
akan menentukan jenis lembaga jaminan/pengikatan jaminan mana yang dapat dibebankan atas
benda jaminan yang diberikan untuk menjamin pelunasan. Sifat perjanjian jaminan adalah
accessoir, yaitu tergantung pada perjanjian pokoknya.

Pemberian jaminan dari Debitur kepada Kreditur menimbulkan 2 (dua) sifat hak jaminan yang
dikenal secara umum, yaitu:

1. Hak jaminan yang bersifat umum, yaitu jaminan yang diberikan oleh Debitur kepada
Kreditur, tanpa memberikan hak saling mendahului (konkuren)  antara kreditur yang satu
dengan kreditur lainnya.
2. Hak jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan yang diberikan oleh Debitur kepada
Kreditur, dengan memberikan hak mendahului dari kreditur lainnya, sehingga ia
berkedudukan sebagai kreditur privillege (preferent).

Pemberian Jaminan oleh Debitur kepada Kreditur semata-mata hanya sebagai jaminan dalam
pengembalian fasilitas kredit yang telah dinikmati oleh Debitur apabila Debitur wanprestasi.
Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengambil hasil dari penjualan barang jaminan
tersebut. Sehingga konsep dasar pemberian jaminan oleh Debitur adalah bukan untuk dimiliki
oleh Kreditur. Namun untuk mengantisipasi praktek perbankan, dalam UU Perbankan No. 7
tahun 1992 tanggal 25 Maret 1992 (“UU Perbankan”) Pasal 12A disebutkan bahwa Bank dapat
membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan
berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk
menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Debitur tidak memenuhi kewajibannya
kepada Bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.

B.1.      BENDA TETAP/TIDAK BERGERAK


 

Yang dimaksud dengan benda tetap atau barang tidak bergerak adalah suatu benda atau barang
yang tidak dapat bergerak atau tidak dapat dipindahkan secara fisik, yaitu misalnya tanah dan
bangunan, pekarangan dan apa yang didirikan diatasnya, pohon dan tanaman ladang, mesin yang
melekat pada tanah dimana mesin tersebut berada, kapal laut serta kapal terbang.

Tanah Yang Dapat Dijadikan Jaminan

Menurut pasal 4 Undang-undang No.4 tahun 1996 tanggal 9 April 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang berkaitan Dengan Tanah  (“UUHT”) Tanah
yang dapat dijadikan jaminan adalah:

1. Tanah Hak Milik


2. Tanah Hak Guna Usaha (“HGU”)
3. Tanah Hak Guna Bangunan (“HGB”)
4. Tanah Hak Pakai atas tanah Negara

Pengikatan jaminan atas tanah hak tersebut di atas adalah dengan Akta Pembebanan Hak
Tanggungan (“APHT”) yang meliputi pula seluruh bangunan dan tanaman yang berada
diatasnya dan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan.  Hanya apabila benar-
benar diperlukan yaitu dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir di hadapan PPAT
dapat dipergunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (“SKMHT”) yang harus
diberikan langsung oleh pemberi Hak Tanggungan.  Undang-undang mengatur bahwa SKMHT
juga dapat dipergunakan dalam hal hak atas tanah belum bersertifikat serta khusus untuk
pemberian kredit program. 

B.2.      BENDA BERGERAK


Yang dimaksud dengan benda bergerak atau barang bergerak adalah barang yang karena sifatnya
dapat berpindah atau dipindahkan, yaitu misalnya kendaraan bermotor, deposito, barang-
persediaan (inventory), barang-barang inventaris kantor, mesin, hewan ternak, tagihan, hak tagih
atas klaim asuransi, dan sebagainya.

Benda-benda tersebut di atas dapat dijadikan jaminan atas pelunasan utang Debitur. Sedangkan
pengikatan jaminan atas benda-benda tersebut di atas adalah dengan Gadai atau Fidusia.

JAMINAN NON KEBENDAAN

Selain jaminan kebendaan, jaminan lain yang dapat diterima sebagai jaminan kredit adalah
jaminan non kebendaan, yaitu Penanggungan.

Sesuai Pasal 1820 KUH Perdata Penanggungan adalah suatu persetujuan pihak ketiga guna
kepentingan Kreditur mengikatkan diri untuk membayar utang Debitur bila Debitur tidak
memenuhi kewajibannya. Jaminan penanggungan biasanya diberikan dalam bentuk :

 Jaminan Perorangan
 Jaminan Perusahaan
 Bank Garansi
 Standby Letter Of Credit (“SBLC”).

Jaminan Perorangan atau Perusahaan diberikan oleh seseorang atau Perusahaan untuk menjamin
hutang pihak ketiga. Jaminan Perorangan atau Jaminan Perusahaan ini biasanya hanya
merupakan jaminan tambahan dari jaminan pokok, artinya selain jaminan ini Bank biasanya
meminta jaminan lainnya.  Demikian pula dalam melakukan eksekusi, Bank akan mendahulukan
jaminan pokok dulu sebagai pelunasan hutang, apabila ternyata masih belum cukup barulah
Bank melakukan eksekusi terhadap jaminan perorangan atau perusahaan.

PENGIKATAN JAMINAN

D.1.      Hak Tanggungan

1. Hak Tanggungan diatur dalam UUHT.  Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut setiap benda yang merupakan bagian dan
kesatuannya, untuk pelunasan suatu utang tertentu dan memberikan kedudukan yang
diutamakan/preferent kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur lain.
2. Ciri-ciri Hak Tanggungan

(i)         Memberikan kedudukan diutamakan (preferent) kepada Krediturnya;

(ii)        Selalu mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada (droit de
suite);
(iii)       Memenuhi asas spesialitas dan publisitas;

(iv)       Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya;

(v)        Tidak dapat dibagi-bagi;

(vi)       Bersifat accessoir/merupakan ikatan pada perjanjian pokok yakni perjanjian yang
menimbulkan hubungan hukum hutang-piutang.

1. Obyek Hak Tanggungan

(i)         Hak Milik

(ii)        HGB

(iii)       HGU

(iv)       Hak Pakai atas Tanah Negara

Hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas dapat dibebani Hak Tanggungan karena memenuhi 2
syarat, yaitu :

1. Terdaftar dalam buku tanah di Kantor Pertanahan (memenuhi asas publisitas); dan
2. Dapat dipindahtangankan.

Hak Pakai atas Tanah Negara yang diberikan kepada instansi Pemerintah, Badan Keagamaan dan
Sosial dan Badan Perwakilan Negara Asing yang tidak dibatasi jangka waktunya dan diberikan
selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu wajib didaftarkan, tetapi karena menurut
sifatnya tidak dapat dipindah tangankan bukan merupakan obyek Hak Tanggungan, sedangkan
Hak Pakai atas Tanah Negara yang diberikan kepada orang perorangan dan badan-badan hukum
perdata, karena memenuhi kedua persyaratan tersebut di atas, dapat dijadikan obyek Hak
Tanggungan.

1. Hapusnya Hak Tanggungan

(i)         Hapusnya hutang sebagaimana diatur dalam pasal 1381 KUH Perdata yang dijamin
dengan Hak Tanggungan;

(ii)        Dilepasnya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;

(iii)       Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan
Negeri;
(iv)       Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam
Undang-undang No.5 tahun 1960 tertanggal 24 September 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria (“UUPA”).

Namun untuk tanah HGU, HGB dan Hak Pakai yang diperpanjang sebelum tanggal jatuh tempo,
Hak Tanggungan yang dibebankan atasnya tetap berlanjut/tidak gugur.

Apabila Hak Tanggungan hapus karena hutang telah dibayar lunas atau karena sebab-sebab
sebagaimana telah disebut di atas, maka Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan atau
roya catatan Hak Tanggungan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam waktu
7 (tujuh) hari kerja atas permintaan pihak yang berkepentingan.
D.2.      SKMHT

SKMHT merupakan akta yang bersifat pemberian kuasa oleh pemilik tanah/bangunan kepada
Kreditur untuk melakukan pembebanan Hak Tanggungan atas tanah/bangunan yang dijadikan
jaminan utang.

Pada dasarnya SKMHT bukanlah pengikatan jaminan, tetapi hanya sekedar kuasa untuk
membebankan Hak Tanggungan dan karenanya Kreditur belum mendapatkan hak-hak yang
seluasnya.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam SKMHT (pasal 15 UUHT) adalah:

1. Hanya diperkenankan dalam keadaan khusus, yakni apabila pemberi Hak Tanggungan
tidak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT untuk membuat APHT;
2. Harus berbentuk Akta Notaril yang dibuat oleh Notaris/PPAT;
3. Isi SKMHT hanya memuat perbuatan hukum membebankan Hak Tanggungan;
4. Tidak memuat kuasa substitusi;
5. Tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali
karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya;
6. Jangka waktu berlakunya:

 Untuk tanah yang sudah terdaftar : 1 bulan


 Untuk tanah yang belum terdaftar : 3 bulan;

1. SKMHT untuk menjamin pelunasan Kredit Usaha Kecil, berlaku sampai saat berakhirnya
masa perjanjian pokok.

D.3       Gadai

1. Dasar Hukum

Pasal 1150 sampai dengan  pasal 1160 KUH Perdata.

 
1. Pengertian Gadai

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang Kreditur atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang Debitur atau oleh seseorang lain atas namanya, dan yang
memberikan kekuasaan kepada si-Kreditur itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut
secara didahulukan daripada Kreditur lainnya.

1. Syarat Gadai

Barang yang digadaikan harus berada dalam penguasaan fisik Penerima Gadai atau orang lain
yang ditunjuk oleh pemegang/penerima gadai, namun tidak boleh meliputi hak untuk memakai
barang tersebut dengan ancaman batal demi hukum.

1. Obyek Gadai

Barang bergerak seperti: kendaraan, mesin, logam mulia, surat saham, surat berharga lainnya dan
lain lain.

1. Bentuk Pengikatan Gadai

Dapat dilakukan secara akta Otentik/Notaril atau dibawah tangan.

1. Sifat Gadai
1. Mempunyai hak preferent
2. accessoir

D.4.      Fidusia
 

a.   Pengertian Fidusia

Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-undang No.42 tahun 1999 tertanggal 30 September 1999
tentang  Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”). Fidusia dahulu dikenal dengan istilah Fiduciair
Eigendoms Overdracht (FEO).

 
Fidusia adalah pengalihan hak milik atas benda sebagai jaminan atas dasar kepercayaan,
sedangkan bendanya sendiri tetap berada dalam tangan si-Debitur, dengan kesepakatan bahwa
Kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada Debitur bilamana hutangnya
telah dibayar lunas.

1. Obyek Fidusia

Obyek Fidusia terdiri dari:

(i)   Benda-benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud;

(ii)  Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan Hak
Tanggungan berdasarkan UUHT.

1.  Yang dapat Memberi Fidusia

(i)   Harus Pemilik Benda

(ii)  Jika Benda tersebut milik Pihak Ketiga, maka pengikatan Jaminan Fidusia tidak boleh
dengan kuasa substitusi, tetapi harus langsung oleh pemilik Benda/Pihak Ketiga yang
bersangkutan.

1. Bentuk Pengikatan Fidusia

Harus dilakukan secara akta Otentik/Notaril sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU Fidusia.

1. Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu  Penerima atau kepada
Kuasa atau Wakil Penerima Fidusia. Ketentuan ini dimaksudkan dalam rangka
pembiayaan kredit konsorsium.

1. Larangan melakukan Fidusia Ulang terhadap Benda Obyek Jaminan Fidusia yang
sudah terdaftar

(i)   Apabila benda obyek jaminan Fidusia sudah terdaftar, berarti menurut hukum Obyek
Jaminan Fidusia telah beralih kepada Penerima Fidusia;
(ii)  Sehingga pemberian Fidusia Ulang merugikan kepentingan Penerima Fidusia.

g.    Sifat Fidusia

(i)   Asas Droit De Suite :

Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi Obyek Jaminan Fidusia dalam tangan
siapapun benda itu berada.

(ii)  Asas Hak Preferent:

1. Dengan didaftarkannya Jaminan Fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia, memberikan


kedudukan HAK YANG DIDAHULUKAN kepada Penerima Fidusia (Kreditur) terhadap
Kreditur lainnya.
2. Kualitas HAK DIDAHULUKAN Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya Kepailitan
dan atau Likuidasi.

D.5.      Hipotek

1. Dasar Hukum

Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata

           

1. Pengertian

Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak yang diperoleh oleh penagih
untuk mengambil  penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan dan yang dianggap
sebagai jaminan atas utang yang dipinjamkannya kepada pemilik benda tersebut.  Hipotek
menyebabkan penagih mempunyai hak pembayaran uang yang didahulukan dari pada pelunasan
atau pembayaran hutang orang lain.

1. Syarat Hipotek

(i)   Atas benda tetap


(ii)  Dengan akta Notaris

(iii) Didaftarkan di Kantor Balik Nama (Kodester)

1. Sifat  Umum Hipotek

(i)         Hipotek adalah hak kebendaan, yang bersifat absolut, hak itu mengikat bendanya dan
memberi wewenang yang luas kepada si pemilik benda serta jangka waktu hak yang tidak
terbatas.

(ii)        Merupakan perjanjian Accessoir.

(iii)       Droit de Preference atau hak yang didahulukan dari piutang lainnya.

(iv)       Mudah dieksekusi.

(v)        Objeknya benda tetap, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.

(vi)       Hanya berisi hak untuk melunasi hutang, dan tidak memberi hak untuk menguasai
bendanya.

(vii)    Dibebankan atas benda milik orang lain.

(viii)   Pinjaman Hipotek tak dapat di bagi-bagi.

(ix)       Openbaar atau bersifat terbuka.

(x)        Specialitas.

D.6.      Penanggungan
 

a.   Dasar Hukum

Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata

 
1. Pengertian

Penanggungan adalah suatu persetujuan pihak ketiga guna kepentingan Kreditur mengikatkan
diri untuk membayar utang Debitur bila Debitur tidak memenuhi kewajibannya. Jaminan
penanggungan biasanya diberikan dalam bentuk: Jaminan Perorangan, Jaminan Perusahaan,
Bank Garansi, SBLC.

1. Sifat Penanggungan

(i)   Sifat Umum

 Bersifat Accessoir.
 Bentuk umumnya tertulis, dapat di bawah tangan / Notaril.
 Pelepasan hak-hak istimewa yang diberikan oleh seorang penanggung sebagaimana
diatur dalam pasal 1832 KUH Perdata.

(ii)  Sifat penanggungan secara Personal Guarantee/Borgtocht

 Perorangan
 Harus disertai Persetujuan Suami/Istri dari Debitur/Penjamin
 Penanggungan berpindah kepada ahli warisnya

(iii) Sifat penanggungan secara Company Guarantee

 Suatu perjanjian dimana suatu badan hukum, guna kepentingan si Debitur (berhutang),
mengikatkan diri untuk memenuhi kewajiban si Debitur manakala si Debitur tersebut
wanprestasi.
 Harta kekayaan  badan hukum tersebut yang dijadikan jaminan.
 Para pihak yang berwenang sesuai dengan AD Perseroan.
 Persetujuan Komisaris perseroan (apabila disyaratkan dalam AD Perseroan)

1. Pelepasan Hak-hak Istimewa

Beberapa hak istimewa dari penjamin yang diberikan oleh undang-undang, adalah:

1. Meminta agar harta benda Debitur disita dan dilelang terlebih dahulu (Pasal 1831
KUH Perdata). Sita dan lelang terhadap harta kekayaan penjamin akan tiba gilirannya
apabila hasil lelang terhadap harta kekayaan Debitur belum mencukupi untuk melunasi
seluruh kewajibannya kepada Bank, yang dengan demikian hak ini akan menimbulkan
kewajiban bagi penjamin untuk menunjukkan harta kekayaan Debitur yang akan
dikenakan sita atau dilelang;
2. Meminta pemecahan utang (Pasal 1837 KUH Perdata). Dalam hal penjamin terdiri
dari beberapa subyek hukum untuk satu Debitur dan untuk satu utang, maka masing-
masing penjamin dapat bertangung jawab secara proporsional;
3. (i) Menuntut pembayaran kembali dari Debitur atas jumlah yang telah dibayarnya
kepada Kreditur (Pasal 1839 KUH Pedata), dan lebih dari itu memungkinkan penjamin
untuk (ii) menerima pengalihan hak dari Kreditur  (subrogasi) atas seluruh hak
Kreditur (Pasal 1840 KUH Perdata), seperti hak Kreditur atas hak tanggungan atau
fidusia, mengingat apabila penjamin telah melakukan pembayaran atau telah memenuhi
kewajibannya maka secara hukum hak Kreditur berupa pelunasan utang dari Debitur
beralih kepada penjamin;
4. Menuntut Debitur untuk mengganti kerugian atau dibebaskan dari penanggungan
sebelum penjamin membayar kewajibannya (Pasal 1843 KUH Perdata), karena
sebab-sebab: (i) apabila penjamin digugat di pengadilan untuk membayar, (ii) Debitur
berjanji membebaskan penjamin pada waktu tertentu, (iii) utang sudah dapat ditagih
karena lewatnya waktu yang ditetapkan untuk penjaminannya, atau (iv) jangka waktu
penjaminan lebih dari 10 tahun, dalam hal perjanjian pokok tidak menetapkan batas
waktu pengakhiran perjanjian. Menurut hemat kami, Pasal ini masih dapat diperdebatkan,
mengingat sebelum penjamin melakukan pembayaran apapun, maka: (i) akan sulit untuk
meminta ganti kerugian kepada Debitur, dan (ii) permintaan penjamin untuk dibebaskan
dari penangungan hendaknya dimintakan kepada Kreditur (bukan kepada Debitur),
mengingat Kreditur adalah pihak yang menerima penanggungan;
5. Mengajukan keberatan menyangkut penanggungan yang diberikannya (Pasal 1847
KUH Perdata), dan bukan keberatan menyangkut keadaan Debitur. Sebagai contoh,
penjamin tidak diperkenankan mengajukan keberatan sehubungan dengan adanya
perubahan susunan pengurus dari Debitur;
6. Meminta kepada Kreditur untuk dibebaskan dari kewajibannya, apabila (i) Kreditur
telah menghilangkan hak-hak istimewa dari Kreditur (Pasal 1848 KUH Perdata), seperti
hak yang timbul dari hak tanggungan, atau (ii) Kreditur secara sukarela menerima
kekayaan Debitur sebagai pembayaran utang Debitur (Pasal 1849 KUH Perdata).

Pelepasan beberapa hak istimewa dari penjamin, yang disepakati oleh penjamin dan Bank
dalam perjanjian penanggungan, mengandung akibat-akibat sebagai berikut:

a.       Pelepasan Pasal 1831 KUH Perdata.


Dalam hal Debitur lalai memenuhi
kewajibannya, maka Kreditur dapat
langsung meminta penjamin untuk
memenuhi kewajiban dari Debitur, dan
apabila penjamin tidak memenuhi kewajiban
yang diminta Kreditur maka Kreditur dapat
mengajukan permohonan sita dan lelang
langsung terhadap harta kekayaan penjamin.
 

b.      Pelepasan Pasal 1837 KUH Perdata.


Dalam hal penjamin terdiri dari beberapa
subyek hukum, maka masing-masing
penjamin terikat untuk seluruh utang (tidak
proporsional) dan apabila terdapat penjamin
lain yang tidak mampu memenuhi
kewajibannya, maka penjamin lain akan
menjadi penjamin atas porsi kewajiban dari
penjamin yang tidak mampu tersebut.
 

c.       Pelepasan Pasal 1430 KUH Perdata.


Penjamin untuk mengurangi besarnya
penanggungan atau besarnya kewajiban
yang harus dibayarnya, dapat meminta
antara Kreditur dengan Debitur
memperjumpakan utangnya (set-off) terlebih
dahulu, dalam hal Kreditur ternyata
memiliki kewajiban kepada Debitur. Dengan
dilepaskannya hak ini, tentunya penjamin
tidak diperkenankan untuk meminta
perjumpaan utang antara Kreditur dan
Debitur.
 

d.      Pelepasan Pasal 1843 KUH Perdata.


Penjamin tidak diperkenankan menuntut
ganti kerugian atau meminta kepada Debitur
untuk dibebaskan dari perikatan
penanggungan, dengan alasan-alasan yang
diuraikan dalam butir 2.4 di atas.
 

e.      Pelepasan Pasal 1848 dan 1849 KUH


Perdata. Apabila harta kekayaan Debitur,
yang nantinya akan menjadi jaminan untuk
penjamin, telah dialihkan oleh Debitur
karena Kreditur sebelumnya telah
melepaskan haknya terhadap harta
kekayaan dimaksud atau bahkan harta
kekayaan dimaksud telah diterima oleh
Kreditur sebagai pembayaran kewajiban
Debitur, maka penjamin akan kehilangan
(kesempatan terhadap) harta kekayaan
Debitur yang akan/dapat menjadi jaminan
atau sumber pelunasan kewajiban Debitur
kepada penjamin nantinya.
 

D.7.      SBLC

1. Pengertian

SBLC atau sering disebut Clean L/C merupakan pernyataan janji bayar dari Bank penerbit untuk
membayar saat diminta oleh Bank penerima berkenaan dengan:

(i)   Kewajiban pemohon sebagai debitur

(ii)  Kewajiban pemonohon sebagai garantor

(iii) Kewajiban lainnya dari pemohon

1. Pedoman SBLC

(i)   Uniform Customs And Practice For Documentary Credits 500 (“UCP”)

1. Karakteristrik SBLC

(i)   Irrevocable, yaitu tidak dapat dibatalkan.

(ii)  Primary Obligatoir, yaitu penerbit tidak dapat meminta pemohon untuk memenuhi
kewajibannya terlebih dahulu.

(iii) bersifat tidak accessoir.

(iv) Saat klaim diajukan dapat mensyaratkan dokumen atau tidak.


SBLC tidak accessoir dengan perjanjian pokoknya, karena dalam UCP 500 pasal 3 disebutkan
bahwa SBLC adalah transaksi yang terpisah dari perjajian lainnya yang menjadi dasar penerbitan
SBLC.

                                   

1. Syarat Formal SBLC

(i)         Jenis SBLC (yang diterima dan diterbitkan hanya Irrevocable SBLC)

(ii)        Mata uang dan jumlah uang jaminan

(iii)       Jangka waktu berlakunya penjaminan

(iv)       Transaksi yang dijamin

(v)        Cara pembayaran bila SBLC diklaim

(vi)       Ketentuan yang mengatur SBLC

(vii)    Tempat pembayaran klaim SBLC

                                               

Pembahasan mengenai SBLC secara umum juga dibahas dalam BAB VII mengenai Letter of
Credit.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
1. Kansil, C.S.T, Prof, Drs, S.H. dan Christine S.T.Kansil, S.H, M.H, Modul Hukum
Perdata (termasuk Asas-asas Hukum Perdata), Cetakan Ketiga (edisi revisi), PT Pradnya
Paramita, Jakarta.
2. Budi Untung, H, S.H, M.M, Kredit Perbakan di Indonesia, Andi Yogyakarta.
3. Subekti, R, Prof, S.H dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Cetakan ke-31, PT Pradnya Paramita, Jakarta.

 
Peraturan
1. Undang-Undang No. 5 tahun 1960, tanggal 24 September 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
2. Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tanggal 25 Maret 1992 tentang Perbankan
3. Undang-Undang No. 4 tahun 1996, tanggal 9 April 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
4. Undang-Undang No. 42 tahun 1999, tanggal 30 September 1999 tentang Jaminan
Fidusia.
5. Uniform Customs And Practice For Documentary Credits 500

Share this:

 StumbleUpon
 Reddit

4 Responses to Jaminan dan Pengikatan Jaminan

1. Ndri says:

5 March 2013 at 8:49 am

1 Votes

Jika pengikatan jaminan dengan warmaking,,,kuat gak jika suatu saat nasabh bermasalah
Reply

o bagaskara says:

11 September 2013 at 4:35 pm

Rate This

merupakan jenis perjanjian dibawah tangan, namun sepanjang diakui para pihak
maka akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat pihak2 yang
menandatanganinya.

Reply

2. sawong says:

21 September 2013 at 5:08 am

2 Votes
siang, mau share, saudara saya meminhjamkan sertifikat untuk usahanya dan dialihkan ke
anaknya, lalu sertifikat tersebut dianggunkan kebank bersama suaminya dan terialisasi
untuk pknya atas nama suaminya, kenyataan di dalam perjalan ada masalah dengan
suaminya lalu menggugat cerai istrinya dan mengetahui itu suami langsung pergi tak
pernah pulang dan tidak bertanggung jawab atas jaminan tersebut, lalu pihak sudah
mengalihkan nama sertifikat ke orang lain,
1. bgmn untuk bisa mengambil kembali aset tersebut ke bank
2.. caranya bagaimana
3. langkah apa dulu supaya pihak bank bisa mengembalikan aset tersebut karena orang
tua bertanggungjawab dengan satu catatan take over
mohon petunjuk segera !!!!!
demikian infonya !!!!

Reply

3. maya says:

27 December 2013 at 7:52 am

1 Votes

Mau tanya.. kalo penulisan nama di sertifikat dan di ht ada perbedaan 1 huruf bagaimana

Reply

Leave a Reply
 EBOOK Hukum Asuransi hukum jaminan Hukum Perjanjian hukum perusahaan

Perbankan Tak Berkategori


Legal Banking
The Twenty Ten Theme. Create a free website or blog at WordPress.com.
Follow

Follow “Legal Banking”

Get every new post delivered to your Inbox.

Join 646 other followers

Build a website with WordPress.com


 Kamis, 30 Oktober 2014

 Beranda
 Indeks
 Tentang Kami
 Dunia Tender
 Polhukam
 Rubrik Konsultasi
 Hubungi Kami

Perjanjian Kredit dan Permasalahannya


Oleh Hendri Mahdi 27 Jan, 2011

Penulis:

Feby Maranta Sukatendel

Pengantar

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia terkadang membutuhkan bantuan dana baik untuk
pemenuhan kebutuhannya maupun untuk modal usahanya. Bantuan dana tersebut bisa diperoleh
melalui pinjaman dari bank atau lembaga pembiayaan seperti leasing. Adapun pinjaman dari
bank atau lembaga pembiayaan inilah yang disebut dengan kredit. Pemberian kredit oleh bank
atau lembaga pembiayaan didasarkan pada perjanjian yaitu perjanjian kredit. Suatu perjanjian
kredit melibatkan para pihak yang terdiri dari pihak yang meminjamkan atau kreditur dan pihak
yang meminjam atau debitur. Perjanjian kredit itu sendiri berakar dari perjanjian pinjam-
meminjam.. Dalam pemberian kredit terkandung resiko yaitu pihak yang meminjam atau debitur
tidak mampu melunasi kredit pada waktunya dan untuk memperkecil resiko itu biasanya kreditur
meminta jaminan kepada debitur. Jaminan inilah yang kemudian menjadi sumber dana bagi
pelunasan kredit dalam hal debitur tidak mampu melunasi kredit yang diterimanya.

Berikut ini akan diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek dari kegiatan kredit
sehingga pembaca akan mendapat pemahaman lebih lanjut.

Aspek-Aspek Yang Perlu Diketahui Masyarakat Perihal Perjanjian Kredit dan


Permasalahannya

Pengertian Kredit

Kredit dilihat dari sudut bahasa berarti kepercayaan, dalam arti bahwa apabila seseorang
mendapatkan fasilitas kredit, maka orang atau badan usaha tersebut telah mendapatkan
kepercayaan dari pemberi kredit. Pengertian kredit menurut Pasal 1(11) UU No.10/1998 tentang
Perubahan Atas UU No. 7/1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), sebagai berikut:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga”.

Dari pengertian diatas, dapat ditemukan adanya unsur-unsur dalam kredit yaitu antara lain:

(1) Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit tersebut akan dibayar
kembali oleh si penerima kredit dalam jangka waktu tertentu yang telah diperjanjikan.

(2) Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit dengan pembayaran kembali tidak dilakukan pada
waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh tenggang waktu.
(3) Resiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit mempunyai resiko akibat adanya jangka waktu
yang memisahkan antara pemberian kredit dengan pembayaran kembali. Semakin panjang
jangka waktu kredit semakin tinggi resiko kredit tersebut.

(4) Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat
berbentuk barang atau jasa. Namun dalam obyek kredit yang menyangkut uanglah yang sering
dijumpai dalam praktek perkreditan.

Jenis-Jenis Kredit

Dalam praktek saat ini, secara umum ada 2 jenis kredit yang diberikan kepada para masyarakat,
yaitu:

(1) Kredit ditinjau dari segi tujuan penggunaannya dapat berupa:

(a) Kredit Produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang menghasilkan barang
dan jasa sebagai kontribusi daripada usahanya.

Kredit ini terdiri dari:

§ Kredit Modal Kerja, yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai kebutuhan usaha-usaha,
termasuk guna menutup biaya produksi dalam rangka peningkatan produksi atas penjualan.

§ Kredit Investasi, yaitu kredit yang diberikan untuk pengadaan barang modal maupun jasa yang
dimaksudkan untuk menghasilkan suatu barang dan ataupun jasa bagi usaha yang bersangkutan.

(b) Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan kepada orang-perorangan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi masyarakat umumnya.

(2) Kredit ditinjau dari jangka waktunya dapat berupa:

(a) Kredit Jangka Pendek, yaitu kredit yang diberikan dengan tidak melebihi jangka waktu 1
tahun.

(b) Kredit Jangka Menengah, yaitu kredit yang diberikan dengan jangka waktu lebih dari 1 tahun
tetapi tidak lebih dari 3 tahun.

(c) Kredit Jangka Panjang, yaitu kredit yang diberikan dengan jangka waktu lebih dari 3 tahun.

Perjanjian Kredit

Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pemberi kredit dan penerima kredit wajib
dituangkan dalam bentuk perjanjian yaitu perjanjian kredit. Dalam Pasal 1313 Kitab UU Hukum
Perdata (KUHPer) menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Dari perjanjian tersebut timbul suatu hubungan hukum antara dua pihak yang membuatnya yang
dinamakan perikatan. Hubungan hukum yaitu hubungan yang menimbulkan akibat hukum yang
dijamin oleh hukum atau undang-undang. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi hak dan
kewajiban secara sukarela maka salah satu pihak dapat menuntut melalui pengadilan.

Sedangkan yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang
atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan
pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut sesuatu disebut
kreditur sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan disebut debitur.

Istilah perjanjian kredit secara definitif tidak dikenal di dalam UU Perbankan, namun bila
ditelaah lebih lanjut mengenai pengertian kredit dalam UU Perbankan tercantum kata-kata
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam. Kata-kata tersebut menegaskan bahwa
hubungan kredit adalah hubungan kontraktual (hubungan yang berdasar pada perjanjian) yang
berbentuk pinjam-meminjam. Perjanjian kredit itu sendiri mengacu pada perjanjian pinjam-
meminjam.

Pasal 1754 KUHPer

“Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan
kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah
yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”

Walaupun perjanjian kredit berakar dari perjanjian pinjam-meminjam, tetapi perjanjian kredit
berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam dalam KUHPer.

Perbedaan Perjanjian Kredit Dengan Perjanjian Pinjam Meminjam, Sewa Beli, dan Jual
Beli Dengan Angsuran

Perbedaan Perjanjian Kredit dengan Perjanjian Pinjam Meminjam

Berdasarkan rumusan Pasal 1754 HUHPer, perjanjian pinjam-meminjam mensyaratkan barang


yang menjadi obyek perjanjian adalah barang yang dapat habis karena pemakaian. Apabila
obyek dalam suatu perjanjian adalah barang yang tidak dapat habis karena pemakaian, maka
perjanjian tersebut bukanlah perjanjian pinjam-meminjam melainkan jenis perjanjian lainnya
sehingga menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula dari perjanjian pinjam-meminjam.

Akibat Hukum dari Perjanjian Pinjam Meminjam adalah:

(1) Perjanjian pinjam-meminjam menyebabkan terjadinya perpindahan hak atas kepemilikan dari
barang yang menjadi obyek perjanjian. Hal tersebut menyebabkan ‘pihak peminjam’ memiliki
kekuasaan penuh atas barang obyek perjanjian dan menimbulkan konsekuensi baginya bahwa
apabila barang obyek perjanjian tersebut rusak atau musnah ketika barang tersebut telah berada
pada kekuasaannya, maka segala kerusakan dan musnahnya barang obyek perjanjian tersebut
menjadi tanggungannya (Pasal 1755 KUHPer).
(2) Pihak yang meminjamkan bertanggungjawab terhadap cacad-cacad yang terdapat pada
barang obyek perjanjian yang diketahuinya telah ada sebelum penyerahan barang terjadi. Dalam
keadaan tersebut, pihak yang meminjamkan berkewajiban untuk mengganti barang obyek
perjanjian yang cacad tersebut dengan barang yang sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan
(Pasal 1762 KUHPer).

(3) Dalam hal obyek perjanjiannya adalah uang, maka pihak peminjam hanya berkewajiban
mengembalikan uang atas jumlah yang disebutkan dalam perjanjian (Pasal 1756 KUHPer).

(4) Jika terjadi kenaikan atau penurunan/kemunduran terhadap nilai mata uang yang menjadi
obyek perjanjian, maka kewajiban dari pihak peminjam adalah sebesar nilai mata uang yang
bersangkutan pada saat pelunasan (pasal 1756 KUHPer), kecuali telah ditegaskan pada perjanjian
bahwa pihak peminjam berkewajiban untuk mengembalikan uang yang telah dipinjamnya
dengan menggunakan mata uang yang sama (pasal 1757 KUHPer).

(5) Apabila obyek perjanjian adalah barang yang berupa emas, perak atau barang-barang
perdagangan lainnya, maka pihak peminjam berkewajiban untuk mengembalikan barang sesuai
dengan jenis, jumlah dan mutu yang sama dengan apa yang telah dipinjamnya tanpa
mengindahkan naik atau turunnya harga dari barang yang bersangkutan (pasal 1758 KUHPer).

(6) Pihak yang meminjamkan tidak boleh meminta barang yang telah dipinjamkannya sebelum
lewat jangka waktu pengembalian sesuai yang telah disepakati dalam perjanjian. (Pasal 1759
KUHPer).

(7) Pihak Peminjam berkewajiban untuk mengembalikan barang pinjaman dalam jumlah dan
keadaan yang sama, dan pada waktu yang telah ditentukan. Jika pihak peminjam tidak mampu
memenuhi kewajibannya tersebut, maka pihak peminjam berkewajiban untuk membayar harga
barang yang telah dipinjamnya tersebut sesuai dengan harga pada waktu dan tempat
pengembalian sesuai dengan perjanjian (Pasal 1763-1764 KUHPer).

(8) Pihak Peminjam berkewajiban untuk membayar bunga apabila bunga tersebut diperjanjikan
(Pasal 1766 KUHPer).

Perbedaan antara perjanjian kredit dengan perjanjian pinjam-meminjam terletak pada beberapa
hal, antara lain:

(a) Perjanjian kredit selalu bertujuan, dan tujuan tersebut biasanya berkaitan dengan program
pembangunan, biasanya dalam pemberian kredit sudah ditentukan tujuan penggunaan uang yang
akan diterima. Sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan
debitur dapat menggunakan uangnya secara bebas.

(b) Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau lembaga
pembiayaan, dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu. Sedangkan dalam perjanjian
pinjam-meminjam pemberian pinjaman dapat diberikan oleh individu.
(c) Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam meminjam.
Bagi perjanjian pinjam-meminjam berlaku ketentuan umum dari buku III dan bab XIII buku III
KUHPer. Sedangkan bagi perjanjian kredit akan berlaku ketentuan dalam UUD 1945, ketentuan
bidang ekonomi, ketentuan umum KUHPer khususnya buku III, UU Perbankan, Paket
Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Bidang Ekonomi terutama bidang Perbankan, Surat Edaran
Bank Indonesia (SEBI), dan sebagainya.

(d) Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman itu harus disertai
bunga, imbalan atau pembagian hasil. Sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam hanya
berupa bunga saja dan bunga inipun baru ada apabila diperjanjikan.

(e) Pada perjanjian kredit, bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan debitur untuk
melunasi kredit yang diformulasikan dalam bentuk jaminan baik materiil maupun immaterial.
Sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam jaminan merupakan pengamanan bagi kepastian
pelunasan hutang dan inipun baru ada bila diperjanjikan.

Perbedaan Perjanjian Kredit dengan Perjanjian Sewa Beli

Dalam Hire-purchase Act (1965), perjanjian sewa-beli dikontruksikan sebagai suatu perjanjian
sewa-menyewa dengan hak opsi dari si penyewa untuk membeli barang yang disewanya.

Dalam BW Belanda, sewa-beli dikontruksikan sebagai jual-beli dengan cicilan, dengan


penangguhan pemindahan hak miliknya.

Pada dasarnya Perjanjian Sewa Beli sama dengan Perjanjian Jual Beli yaitu tertuju pada
perolehan hak milik atas suatu barang di satu pihak (pihak pembeli) dan perolehan sejumlah
uang sebagai imbalannya (harga) dilain pihak (pihak penjual). Namun, pihak penjual pada
perjanjian sewa beli memerlukan jaminan bahwa barangnya (yang menjadi obyek perjanjian)
tidak akan dijual lagi oleh pihak pembeli sebelum dibayar lunas.

Akibat Hukum dari Perjanjian Sewa Beli adalah:

(1) Penyerahan hak milik baru akan dilakukan pada waktu dibayarnya angsuran terakhir.
Penyerahan dapat dilakukan dengan suatu pernyataan saja karena barangnya sudah berada dalam
kekuasaan si pembeli dalam kedudukan sebagai penyewa.

(2) Perjanjian Sewa Beli gugur demi hukum apabila barang yang disewakan musnah karena
suatu kejadian yang tidak disengaja sebelum penyerahan hak milik. Kerugian akibat musnahnya
barang yang disewakan dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan.

(3) Perjanjian Sewa Beli tidak hapus apabila pihak yang menyewakan ataupun pihak yang
menyewa meninggal (Pasal 1575 KUH Perdata).

(4) Pihak yang menyewakan dapat melakukan pembatalan perjanjian jika penyewa memakai
barang untuk keperluan yang lain dari tujuannya sehingga menimbulkan kerugian pada pihak
yang menyewakan (Pasal 1561 KUHPer).
(5) Pihak penyewa bertanggungjawab atas segala kerusakan pada barang yang disewa selama
waktu sewa, kecuali dapat dibuktikan bahwa kerusakan itu terjadi diluar kesalahannya (pasal
1564 KUHPer).

(6) Pihak penyewa tidak diperbolehkan mengulang-sewakan barang yang disewanya atau
melepaskan sewanya kepada orang lain, kecuali diijinkan dalam Perjanjian Sewa Beli.

(7) Pihak yang menyewakan tidak diperkenankan merubah ujud maupun tataan barang yang
disewakan selama waktu sewa (Pasal 1554 KUHPer).

(8) Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewanya selama masa sewa belum
selesai, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya (Pasal 1579 KUHPer).

(9) Pihak yang menyewakan maupun pihak penyewa tidak diperkenankan untuk menjual barang
obyek perjanjian selama waktu sewa berlangsung.

Perbedaan antara perjanjian kredit dengan perjanjian sewa beli terletak pada beberapa hal, antara
lain:

(a) Dalam perjanjian kredit, salah satu pihaknya telah ditentukan yaitu Bank atau lembaga
pembiayaan yang pendiriannya dan syarat-syarat berdirinya mengacu pada ketentuan-ketentuan
di bidang ekonomi yang berlaku. Sedangkan dalam perjanjian sewa-beli, tiap individu maupun
badan hukum memiliki kebebasan untuk menjadi para pihak dalam perjanjian.

(b) Obyek dalam perjanjian kredit adalah sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU
perbankan, yaitu uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu. Sedangkan dalam
perjanjian sewa-beli, obyek perjanjian dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak
bergerak tanpa pembatasan yang spesifik mengenai hal tersebut.

(c) Dalam perjanjian kredit, prestasi dari debitur (pihak yang meminjam) terdiri dari
pengembalian uang (barang) dalam jumlah yang sama ditambah dengan bunga. Sedangkan
dalam perjanjian sewa-beli, prestasi pihak pembeli selaku pihak yang menyewa adalah
membayar harga angsuran berupa harga sewa yang jumlahnya diatur melalui perjanjian.

(d) Perjanjian kredit memerlukan jaminan sebagai dasar penilaian keyakinan akan kemampuan
debitur untuk melunasi hutangnya. Sedangkan perjanjian sewa beli tidak memerlukan jaminan
karena kepemilikan barang belum berpindah.

(e) Perjanjian kredit dibatasi oleh Ketentuan Umum BUKU KETIGA KUHPer dan BAB XIII
BUKU KETIGA KUHPer, dan juga tunduk pada ketentuan-ketentuan bidang ekonomi seperti
UU Perbankan, Paket Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Bidang Ekonomi terutama bidang
Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI), dan sebagainya. Sedangkan tidak ada aturan
khusus mengenai perjanjian sewa-beli sehingga segala sesuatunya sebaiknya dicantumkan dalam
perjanjian.

Perbedaan Perjanjian Kredit dengan Perjanjian Sewa Guna Usaha


Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan
Pembiayaan, Perjanjian Sewa Guna Usaha dapat dikontruksikan sebagai suatu perjanjian
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik dengan hak opsi (Finance Lease)
maupun tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee)
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.

Pada dasarnya Kegiatan Sewa Guna Usaha dilakukan dalam bentuk pengadaan barang modal
bagi penyewa guna usaha (Lesse). Perbedaan mendasar antara Perjanjian Sewa Guna Usaha
dengan Hak Opsi (Finance Lease) dan Tanpa Hak Opsi (Operating Lease) adalah Hak untuk
membeli barang modal tersebut, dimana Penyewa Guna Usaha dalam Finance Lease memiliki
hak untuk membeli barang modal tersebut, sedangkan Penyewa Guna Usaha dalam Operating
Lease tidak memiliki hak untuk membeli barang modal tersebut.

Akibat Hukum dari Perjanjian Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi (Finance Lease) adalah:

(1) Pembiayaan dalam Finance Lease harus merupakan pembiayaan untuk barang modal untuk
kegiatan usaha Lessee.

(2) Sepanjang perjanjian Finance Lease masih berlaku, hak milik atas barang modal obyek
transaksi Finance Lease berada pada perusahaan pembiayaan (Lessor).

(3) Hak milik atas barang modal obyek transaksi Finance Lease beralih kepada Lessee setelah
terpenuhinya seluruh pembayaran angsuran dan berakhirnya perjanjian Finance Lease.

(4) Pihak yang menyewakan dapat melakukan pembatalan perjanjian jika Lessee memakai
barang untuk keperluan yang lain dari tujuannya sehingga menimbulkan kerugian pada Lessor.

(5) Lessee bertanggungjawab atas segala kerusakan pada barang modal obyek transaksi Finance
Lease.

(6) Pengadaan barang modal dalam Finance Lease dapat juga dilakukan dengan cara membeli
barang milik Lessee yang kemudian di-sewagunausaha-kan kembali.

(7) Lessor tidak dapat menghentikan sewanya selama masa sewa belum selesai, kecuali jika telah
diperjanjikan sebaliknya.

(8) Lessor maupun Lesse tidak diperkenankan untuk menjual barang obyek perjanjian selama
waktu sewa berlangsung.

Perbedaan antara perjanjian kredit dengan perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance
Lease) terletak pada beberapa hal, antara lain:

(a) Obyek dalam perjanjian kredit adalah sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU
perbankan, yaitu uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu. Sedangkan dalam
perjanjian Finance Lease, obyek perjanjian adalah barang modal yang dapat berupa barang
bergerak maupun barang tidak bergerak tanpa pembatasan yang spesifik mengenai hal tersebut.
(b) Dalam perjanjian kredit, prestasi dari debitur (pihak yang meminjam) terdiri dari
pengembalian uang (barang) dalam jumlah yang sama ditambah dengan bunga. Sedangkan
dalam perjanjian Finance Lease, prestasi pihak pembeli selaku pihak yang menyewa adalah
membayar harga angsuran berupa harga sewa yang jumlahnya diatur melalui perjanjian.

(c) Perjanjian kredit memerlukan jaminan sebagai dasar penilaian keyakinan akan kemampuan
debitur untuk melunasi hutangnya. Sedangkan perjanjian Finance Lease tidak memerlukan
jaminan karena kepemilikan barang belum berpindah.

Perbedaan Perjanjian Kredit dengan Perjanjian Jual Beli Dengan Angsuran

Perjanjian Jual-Beli adalah suatu perjanjian timbal balik dimana pihak yang satu (Penjual)
berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya
(Pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari
perolehan hak milik tersebut.

Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual-beli adalah barang dan harga.

Dalam perjanjian jual-beli dengan angsuran, harga tersebut dibayar oleh pihak pembeli dengan
cara angsuran atau cicilan.

Akibat Hukum dari Perjanjian Jual Beli Dengan Angsuran adalah:

(1) Jual beli telah terjadi pada saat penjual dan pembeli sepakat mengenai barang dan harga.

(2) Penjual berkewajiban menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan.

(3) Pembayaran harga pembelian barang (obyek perjanjian) dilakukan dengan cara angsuran
yang disepakati dalam perjanjian.

(4) Hak milik atas barang beralih dari penjual kepada pembeli pada saat terjadinya penyerahan
barang (levering). Penjual bertanggung jawab terhadap barang tersebut sampai dengan terjadinya
levering.

(5) Penjual menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut (obyek perjanjian) dan
menanggung terhadap cacad-cacad yang tersembunyi. (vrijwaring, warranty).

(6) Pihak pembeli masih memilki kewajiban berupa hutang yaitu harga atau sebagian dari harga
yang belum dibayarnya, meskipun telah memiliki hak atas barang yang dibelinya.

Perbedaan antara perjanjian kredit dengan perjanjian jual beli dengan angsuran terletak pada
beberapa hal, antara lain:

(a) Perjanjian kredit tidak bersifat konsesual, sehingga kesepakatan saja belum menimbulkan hak
bagi para pihak untuk menuntut. Sedangkan perjanjian jual-beli dengan angsuran adalah
perjanjian konsesual, dimana kesepakatan telah menimbulkan hak dan kewajiban bagi para
pihak.

(b) Dalam perjanjian kredit, salah satu pihaknya telah ditentukan yaitu Bank atau lembaga
pembiayaan yang pendiriannya dan syarat-syarat berdirinya mengacu pada ketentuan-ketentuan
di bidang ekonomi yang berlaku. Sedangkan dalam perjanjian sewa-beli, tiap individu maupun
badan hukum memiliki kebebasan untuk menjadi para pihak dalam perjanjian.

(c) Obyek dalam perjanjian kredit adalah sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU
perbankan, yaitu uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu. Sedangkan dalam
perjanjian jual-beli dengan angsuran, obyek perjanjian dapat berupa barang bergerak maupun
barang tidak bergerak tanpa pembatasan yang spesifik mengenai hal tersebut.

(d) Dalam perjanjian kredit, prestasi dari debitur (pihak yang meminjam) terdiri dari
pengembalian uang (barang) dalam jumlah yang sama ditambah dengan bunga. Sedangkan
dalam perjanjian jual-beli dengan angsuran, prestasi pihak pembeli adalah membayar harga
angsuran barang yang diperjanjikan, yang jumlahnya diatur melalui perjanjian.

(e) Dalam perjanjian kredit, jaminan diperlukan bank sebagai dasar penilaian atas keyakinan
akan kemampuan debitur untuk melunasi kredit. Sedangkan dalam perjanjian jual-beli dengan
angsuran, jaminan merupakan pengamanan bagi kepastian pelunasan pembayaran harga barang
yang harus diperjanjikan sebelumnya.

(f) Perjanjian kredit dibatasi oleh Ketentuan Umum BUKU KETIGA KUHPer dan BAB XIII
BUKU KETIGA KUHPer, dan juga tunduk pada ketentuan-ketentuan bidang ekonomi seperti
UU Perbankan, Paket Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Bidang Ekonomi terutama bidang
Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI), dan sebagainya. Sedangkan perjanjian jual-beli
dengan angsuran mengacu pada aturan-aturan dari perjanjian jual-beli yang mendasarinya, yang
diatur dalam BAB V BUKU KETIGA KUHPer.

Syarat Sahnya Perjanjian Kredit

Pembuatan suatu perjanjian kredit harus memenuhi syarat-syarat supaya perjanjian tersebut
diakui dan mengikat para pihak yang membuatnya.

Pasal 1320 KUHPer menentukan 4 (empat) syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:

(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya: Maksudnya bahwa para pihak yang membuat
perjanjian telah sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang dibuat.
Kesepakatan itu dianggap tidak ada apabila sepakat itu diberikan karena kekeliruan/kekhilafan
atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.

(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan: Maksudnya cakap adalah orang yang sudah
dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk
melakukan suatu perbuatan tertentu. Orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk melakukan
perbuatan hukum yaitu:
(a) Orang-orang yang belum dewasa. Menurut Pasal 1330 KUHPer jo. Pasal 47 UU No. 1/1974
tentang Perkawinan, orang belum dewasa adalah anak dibawah umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan pernikahan ;

(b) Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan. Menurut Pasal 1330 jo. Pasal 433 KUHPer
yaitu orang yang telah dewasa tetapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan pemboros ;

(c) Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu,
misalnya orang yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan.

Jika pihak dalam suatu perjanjian kredit adalah suatu perseroan terbatas (PT) maka syarat
kecapakan ini terpenuhi apabila PT tersebut telah disahkan oleh Menteri Kehakiman dan telah
didaftarkan dalam daftar perusahaan serta diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI.

(3) Suatu hal tertentu ; Artinya dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas
sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan.

(4) Suatu sebab yang halal; Artinya suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal atau
yang diperbolehkan oleh undang-undang. Kriteria atau ukuran sebab yang halal adalah perjanjian
yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Syarat 1 dan 2 dinamakan syarat subyektif, karena mengenai subyek yang mengadakan
perjanjian. Sedangkan syarat ke 3 dan 4 dinamakan syarat obyektif, karena mengenai obyek yang
diperjanjikan dalam perjanjian. Kalau syarat-syarat subyektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya
dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap, atau yang memberikan
kesepakatan secara tidak bebas. Selama tidak dibatalkan perjanjian tersebut tetap mengikat.
Sedangkan kalau syarat-syarat obyektif yang tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi
hukum yang artinya dari semula dianggap tidak pernah ada sehingga tiada dasar untuk saling
menuntut di muka hakim (pengadilan).

Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kredit

Adapun pihak-pihak dalam perjanjian kredit antara lain:

(1) Pihak Pemberi Kredit atau kreditur.

Pihak pemberi kredit atau kreditur adalah bank atau lembaga pembiayaan lain selain bank
misalnya perusahaan leasing;

(2) Pihak Penerima Kredit atau debitur.

Pihak penerima kredit atau debitur adalah pihak yang dapat bertindak sebagai subyek hukum.
Subyek hukum adalah sesuatu badan yang mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan
suatu perbuatan hukum, baik perbuatan sepihak maupun perbuatan dua pihak.

Pada dasarnya subyek hukum terdiri dari:


(a) manusia (person)

(b) badan hukum (rechtpersoon) misalnya Perseroan Terbatas (PT).

Pasal 1(2) UU Perbankan:

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Fungsi Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian yang khusus baik oleh kreditur maupun oleh
debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian,
pengelolaan maupun penatalaksanaan kredit itu sendiri.

Fungsi dari perjanjian kredit, yaitu:

(1) Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok: Artinya perjanjian kredit merupakan
sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya
perjanjian pengikatan jaminan;

(2) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di
antara kreditur dan debitur;

(3) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.

Bentuk Perjanjian Kredit

Dalam prakteknya ada 2 bentuk perjanjian kredit, yaitu:

(1) Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan, atau dinamakan akta di bawah tangan. Artinya
perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya hanya dibuat diantara mereka
(kreditur dan debitur) tanpa notaris. Namun pada prakteknya dalam perjanjian kredit bank, akta
dibawah tangan ini disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitur
untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah
menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standar yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya
disiapkan terlebih dahulu secara lengkap yang kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon
debitur untuk diketahui dan dipahami dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit tersebut.
Jadi calon debitur mau atau tidak mau, dengan terpaksa atau sukarela, harus menerima semua
persyaratan yang tercantum dalam formulir kredit walaupun ia tidak setuju terhadap pasal-pasal
tertentu. Hal tesebut dikarenakan calon debitur sangat membutuhkan kredit atau berada pada
posisi lemah.

(2) Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris, yang dinamakan akta otentik atau
akta notariil. Pihak yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris, namun
dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh kreditur kemudian
diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang notaris dalam membuat
perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau
akta otentik.

Pasal 1874 KUHPer:

Akta dibawah tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui
perantaraan pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti.

Beberapa hal yang perlu diketahui dalam perjanjian yang dibuat di bawah tangan (akta di bawah
tangan) dan di hadapan notaris (akta otentik atau notariil), yaitu:

§ Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Artinya akta otentik dianggap
sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan pihak-pihak
tersebut. Apabila akta otentik diajukan sebagai alat bukti di depan hakim kemudian pihak lawan
membantah akta tersebut maka pihak pembantah yang harus melakukan pembuktian kebenaran
bantahannya.

§ Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian seperti juga akta otentik, jika
tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatangani. Untuk pembuktian
di depan hakim, jika salah satu pihak mengajukan bukti akta di bawah tangan, dan akta tersebut
dibantah oleh pihak lawannya, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu yang
harus mencari bukti tambahan (misalnya saksi-saksi). Ini dimaksudkan untuk membuktikan
bahwa akta di bawah tangan yang diajukan sebagai alat bukti tersebut benar-benar
ditandatangani oleh pihak yang membantah. Supaya akta di bawah tangan tidak mudah dibantah
atau disangkal kebenaran tanda tangan yang ada dalam akta tersebut dan untuk memperkuat
pembuktian di depan hakim, maka akta yang dibuat dibawah tangan sebaiknya dilakukan
legalisasi. Dengan adanya legalisasi oleh notaris atas akta di bawah tangan maka kekuatan
hukum pembuktian akta tersebut seperti akta otentik.

Pasal 1868 KUHPer:

Akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat
oleh atau dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, ditempat dimana akta
dibuatnya Yang dimaksud dengan pegawai yang berkuasa atau pegawai umum antara lain
notaris, hakim, juru sita pada pengadilan, pegawai catatan sipil atau pegawai Kantor Urusan
Agama (KUA), Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Legalisasi artinya menyatakan kebenaran ialah pernyataan benar dengan jalan memberi
pengesahan oleh pejabat yang berwenang (notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Bupati Kepala
Daerah dan Walikota) atas akta dibawah tangan meliputi tanda tangan, tanggal dan tempat
dibuatnya akta dan isi akta.

Komposisi Perjanjian Kredit


Komposisi perjanjian kredit pada umumnya terdiri dari 4 bagian, yaitu :

(1) Judul: Judul dalam suatu akta perjanjian kredit mutlak adanya, sehingga setiap orang yang
berkepentingan melihat akan dengan mudah mengetahui bahwa akta yang mereka lihat adalah
suatu akta perjanjian kredit.

(2) Komparisi: Komparisi yaitu bagian dari suatu akta yang memuat keterangan tentang
orang/pihak yang bertindak mengadakan perbuatan hukum. Penuangannya adalah berupa uraian
terperinci tentang identitas, yang meliputi nama, pekerjaan dan domisili para pihak; dasar hukum
yang memberi kewenangan yurudis untuk bertindak dari para pihak dan kedudukan para pihak.

(3) Isi: Isi merupakan bagian dari perjanjian kredit yang di dalamnya dimuat hal-hal yang
diperjanjikan para pihak. Hal-hal yang perlu diatur dalam perjanjian kredit antara lain mencakup:

(a) jumlah kredit;

(b) jangka waktu kredit;

(c) bunga kredit;

(d) penggunaan kredit;

(e) cara pengembalian kredit;

(f) jaminan kredit;

(g) kelalaian debitur atau wanprestasi;

(h) hal-hal yang harus dilakukan debitur;

(i) pembatasan terhadap tindakan;

(j) asuransi barang jaminan;

(k) pernyataan dan jaminan;

(l) perselisihan dan penyelesaian sengketa;

(m) keadaan memaksa;

(n) pemberitahuan dan komunikasi;

(o) perubahan dan pengalihan.


(4) Penutup: Merupakan bagian atau tempat dimuatnya hal-hal antara lain: pilihan domisili
hukum para pihak, tempat dan tanggal perjanjian ditandatangani dan tanggal mulai berlakunya
perjanjian.

Klausul-Klausul dalam Perjanjian Kredit yang Memberatkan Nasabah Debitur

Dalam proses pengajuan kredit, biasanya pihak yang memberikan kredit telah
menyediakan standar dan form-form yang sudah baku, tidak bisa ditawar atau
dinegosiasikan. Sebelum mengajukan kredit, atau mengisi form-form yang
dipersyaratkan, ada baiknya Anda menghubungi lembaga swadaya masyarakat atau
lembaga bantuan hukum untuk membantu anda dalam proses negosiasi. Dalam
praktiknya, debitur menghadapi resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan
kreditur di dalam perjanjian kredit, namun debitur perlu mempersiapkan diri
untuk mengetahui segala aspek dan masalah kredit agar mengetahui posisi hukum
yang sebenarnya yang berguna juga dalam berhubungan dan menghadapi pihak
pemberi kredit dan para tukang tagihnya dan untuk itu perlu pemahaman,
ketelitian, dan kehati-hatian dalam proses pengajuan kredit.

Beberapa klausul dalam perjanjian kredit yang memberatkan Nasabah Debitur antara lain:

1. Kewenangan bank untuk sewaktu-waktu tanpa alasan apapun dan tanpa pemberitahuan
sebelumnya secara sepihak menghentikan izin tarik kredit.

Klausul ini mengenai kewenangan bank secara sepihak menolak penarikan kredit dengan atau
tanpa diikuti tindakan menghentikan perjanjian kredit sebelum jangka waktu berakhir, tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu kepada nasabah debitur.

Klausul yang demikian memperlihatkan bank selaku kreditur berada dalam posisi yang kuat,
namun dalam pelaksanaannya dapat saja digugat oleh nasabah debitur.

Contoh Kasus:

KS menggugat Bank X dengan alasan bahwa Bank X telah melakukan perbuatan melawan
hukum, yaitu secara sepihak memutuskan perjanjian kredit sebelum jangka waktunya dan
melelang barang agunan walaupun kredit belum jatuh tempo. Dalam perkara No.
286/PDT/988/PT-MDN di Pengadilan Tinggi Medan, hakim berpendapat bahwa klausul
perjanjian kredit yang memberikan kewenangan kepada Bank untuk secara sepihak mengakhiri
perjanjian kredit sebelum waktunya telah menempatkan bank di posisi yang lebih kuat daripada
nasabah debitur, bertentangan dengan itikad baik di dalam Pasal 1338 KUH Perdata dan
menyinggung rasa keadilan.

2. Bank berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam proses
penjualan barang agunan akibat kredit nasabah debitur macet.

Semestinya sesuai dengan asas kepatutan dan itikad baik, bank tidak menentukan sendiri harga
jual atas barang-barang agunan melainkan penafsiran harga dilakukan oleh suatu appraisal
company (perusahaan jasa penilai) yang independen dan telah mempunyai reputasi baik.
Disamping itu juga undang-undang telah menentukan cara untuk menjual barang-barang agunan
berdasarkan bentuk pengikatan jaminannya. Terhadap hal tersebut, nasabah debitur dapat saja
menggugat pihak kreditur.

Contoh kasus:

MB, Presiden Direktur PT SMS, memiliki kredit macet di Bank X sehingga dilakukanlah
pelelangan barang agunan. Kemudian MB mengajukan keberatan terhadap hasil pelelangan
barang agunan yang dilakukan oleh Badan Urusan Piutang Negara melalui Kantor Lelang
Negara karena hasil pelelangan barang agunan tersebut jauh dibawah harga pasar. Atas gugatan
tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa BUPN telah melakukan perbuatan melawan hukum
dan oleh karena itu lelang yang telah dilakukan oleh Kantor Lelang Negara pada tanggal 9
November 1991 dinyatakan batal demi hukum.

3. Kewajiban nasabah debitur untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank yang
telah ada dan yang masih akan ditetapkan kemudian oleh bank.

Klausul ini bertentangan dengan aturan dasar yang harus diperhatikan bagi mengikatnya syarat-
syarat suatu perjanjian. Dengan dicantumkannya klausul tersebut pada perjanjian kredit maka
klausul tersebut adalah tidak sah dan karenanya tidak mengikat bagi nasabah debitur. Petunjuk
dan peraturan bank mengikat nasabah debitur apabila telah disampaikan terlebih dahulu untuk
diketahui dan dipahami oleh debitur. Tanpa terlebih dahulu diketahui dan dipahami meskipun
nasabah debitur membubuhkan tanda tangannya, maka perjanjian itu tidak mengikat.

4. Kuasa nasabah debitur yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank untuk dapat melakukan
segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank.

Pembuatan kuasa tersebut harus dengan tegas dan khusus menyebutkan tindakan-tindakan dan
kewenangan apa saja yang boleh dilakukan oleh kreditur. Kreditur harus dengan itikad baik
menjalankan kuasa tersebut dan tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan debitur
sepanjang kebijaksanaan kreditur tidak mengurangi kemampuan nasabah debitur untuk melunasi
utangnya. Misalnya pemberian kuasa umum untuk melakukan segala tindakan sehubungan
dengan perbuatan hukum penjualan barang agunan seperti menjual rumah dari pemberi kuasa
(debitur). Sekalipun di dalam kuasa itu terkandung pula kuasa untuk menetapkan harga oleh
penerima kuasa (kreditur), tetapi penerima kuasa tidak berhak untuk menetapkan harga yang
sedemikian rendahnya sehingga merugikan pemberi kuasa.

5. Pencantuman klausul-klausul eksemsi (pembebasan) yang membebaskan bank dari tuntutan


ganti kerugian oleh nasabah debitur atas terjadinya kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat
tindakan bank.

Klausul ini tidak dapat serta merta mengikat nasabah debitur sekalipun nasabah debitur telah
menandatangani perjanjian kredit. Asas kepatutan dalam KUH Perdata menghendaki agar hakim
tetap mempertimbangkan masalahnya secara kasus per kasus.

6. Pencantuman klausul eksemsi (pembebasan) mengenai tidak adanya hak nasabah debitur
untuk dapat menyatakan keberatan atas pembebanan bank terhadap rekeningnya.
Sekalipun pembukuan bank merupakan bukti yang kuat untuk menentukan jumlah-jumlah yang
dipertikaikan, tetapi mengingat pembukuan bank bukan merupakan bukti otentik, maka apabila
nasabah debitur keberatan mengenai jumlah-jumlah dari pembukuan tersebut hendaknya nasabah
debitur harus tetap mempunyai peluang untuk dapat membuktikan kebenaran sebaliknya. Hak
nasabah debitur untuk dapat membuktikan kebenaran sebaliknya dari catatan-catatan pembukuan
bank adalah karena memang sudah sering terjadi kesalahan dalam pembukuan bank dan juga
sudah sering diketahui mengenai terjadinya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh petugas
bank yang merugikan nasabah debitur.

7. Pembuktian secara sepihak oleh Bank perihal Kelalaian Nasabah Debitur.

Pencantuman Klausul dalam Perjanjian Kredit yang memberikan kewenangan kepada Bank
secara sepihak dalam membuktikan Kelalaian Nasabah Debitur merupakan ketentuan yang
bersifat memaksa dan bertentangan dengan asas hukum pembuktian sehingga klausul tersebut
batal demi hukum. Asas Hukum Pembuktian menurut KUH Perdata dan Hukum Acara Perdata
mewajibkan Pihak yang mendalilkan sesuatu untuk membuktikan dalilnya tersebut. Berdasarkan
asas hukum pembuktian tersebut, maka Bank harus membuktikan kelalaian Debitur apabila bank
merasa debitur telah lalai dalam melaksanakan kewajibannya.

Selain klausul-klausul dalam Perjanjian Kredit yang dapat memberatkan nasabah Debitur, perlu
diperhatikan juga dokumen-dokumen lain yang menjadi acuan dan referensi dari Perjanjian
Kredit, namun sering terjadi dokumen tersebut tidak mudah di-akses oleh Debitur. Contoh
dokumen-dokumen yang terkait dengan Perjanjian Kredit adalah “Persyaratan Umum Pemberian
Kredit oleh Bank” atau “Persyaratan Umum Pembukaan Rekening”. Dalam prakteknya, biasanya
dokumen-dokumen tersebut disimpan oleh Bank dan dapat dilihat sewaktu-waktu oleh nasabah
Debitur. Debitur perlu memperhatikan dokumen-dokumen tesebut secara teliti untuk
menghindari dan mengantisipasi adanya klausul-klausul yang memberatkan Debitur, dan oleh
karena itu sebaiknya Debitur meminta salinan dokumen-dokumen tersebut kepada Bank untuk
dapat dipelajari dan dikonsultasikan.

Beberapa Hal Yang Perlu Diperhatikan Debitur Dalam Mempertimbangkan Klausul-


Klausul Dalam Perjanjian Kredit

Debitur perlu mempelajari dan memahami Klausul-klausul dalam Perjanjian Kredit dan
mempertimbangkan serta melakukan konsultasi sebelum melakukan penandatanganan Perjanjian
Kredit sehingga Perjanjian Kredit tersebut tidak memberatkan posisi Debitur.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan oleh Debitur dalam mempertimbangkan
klausul-klausul dalam Perjanjian Kredit adalah:

1. Evaluasi dan Negosiasi

Debitur harus melakukan evaluasi atas klausula-klausula yang dibebankan terhadapnya dan
memproyeksikan dengan kondisi keuangan, praktik bisinis dan kebutuhan pertumbuhan bisnis,
dengan melakukan negosiasi untuk penghapusan klausula-klausula tertentu.
2. Penegasan terhadap klausula yang bersifat membatasi.

Dalam mengevaluasi akibat dari klausula-klausula yang bersifat membatasi, Debitur perlu
meminta penegasan dari Kreditur. Klausula yang bersifat membatasi akan menutup ruang gerak
Debitur.

Contoh klausula yang membatasi adalah perihal pembayaran lebih awal dari yang diperjanjikan.
Apabila Debitur tidak meminta penegasan kepada Kreditur terhadap klausula tersebut, maka
Kreditur akan membebankan penalty terhadap Debitur akabat pembayaran lebih awal dari yang
diperjanjikan.

3. Tersedianya Kreditur yang memberi dukungan dana bagi Debitur.

Dalam hal terdapat lebih dari satu Kreditur yang mendukung pendanaan, Debitur perlu untuk
mengkaji hubungan yang ada diantara para Kreditur.

4. Peluang untuk mengakhiri perjanjian.

Klausula ini pada umumnya dihindari oleh Kreditur karena dapat merugikan pihak Kreditur.
Namun Debitur dapat melakukan negosiasi dengan Kreditur perihal klausula ini untuk mencapai
solusi secara bijaksana.

5. Referensi silang.

Debitur harus bersikap hati-hati terhadap klausula-klausula yang tidak saja mendasarkan
terhadap hal-hal yang ada dalam perjanjian tetapi terhadap dokumen-dokumen lainnya seperti
dokumen Persyaratan Umum Pemberian Kredit oleh Bank atau dokumen Persyaratan Umum
Pembukaan Rekening.

6. Penggunaan kata-kata sifat yang tidak tergambarkan.

Debitur perlu menegosiasikan penggunaan kata-kata sifat yang memiliki fleksibilitas dan tidak
tergambarkan yang dapat mengakibatkan kesalah-pahaman dalam pelaksanaan perjanjian.

Contoh kata sifat yang tidak tergambarkan antara lain: kata “layak”, “material”, “penting”, dan
lainnya.

7. Masa Tenggang atau Grace Periods.

Debitur perlu merundingkan dengan Kreditur untuk menciptakan suatu periode pemulihan, yaitu
suatu periode atau masa dimana Kreditur mengijinkan Debitur untuk memperbaiki pelanggaran-
pelanggaran yang dibuat oleh Debitur dan tidak dengan segera menyatakan sebagai suatu
peristiwa kelalaian (default).

8. Fleksibilitas
Debitur perlu memiliki fleksibilitas dalam merundingkan dana kredit yang diterimanya sehingga
dapat memberikan manfaat bagi peningkatan kondisi keuangan dan aplikasi dalam kegiatan
bisnisnya.

9. Pengalihan Manajemen

Dalam masa Perjanjian Kredit, Debitur terikat untuk tidak melakukan perubahan-perubahan
manajemen. Klausul tersebut harus diperhatikan dan dirundingkan oleh Debitur untuk
memperoleh solusi secara bijaksana.

Pengakhiran Perjanjian Kredit

Pengakhiran perjanjian kredit mengacu pada ketentuan di dalam Pasal 1381 KUHPer, yaitu
mengenai hapusnya perikatan. Namun dari sekian alasan hapusnya perikatan yang dimaksud
dalam Pasal 1381 KUHPer, pada prakteknya hapusnya atau berakhirnya perjanjian kredit lebih
banyak disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :

(1) Pembayaran: adalah kewajiban debitur secara sukarela untuk memenuhi perjanjian yang telah
diadakan.

(2) Subrogasi: Menurut Pasal 1400 KUHPer disebutkan sebagai penggantian hak-hak si
berpiutang (kreditur) oleh seorang pihak ketiga yang membayar kepada si berpiutang itu
(kreditur).

(3) Pembaharuan Utang atau Novasi : adalah dibuatnya perjanjian kredit yang baru untuk atau
sebagai pengganti perjanjian kredit yang lama. Sehingga dengan demikian yang hapus atau
berakhir adalah perjanjian kredit yang lama. Dalam Pasal 1413 KUHPer disebutkan ada 3 cara
untuk terjadinya novasi yaitu:

§ Membuat perjanjian baru yang bertujuan mengganti kreditur lama dengan kreditur baru;

§ Membuat perjanjian baru yang bertujuan mengganti debitur lama dengan debitur baru;

§ Membuat perjanjian baru yang bertujuan untuk memperbaharui atau merubah obyek atau isi
perjanjian. Pembaharuan obyek perjanjian ini terjadi jika kewajiban tertentu dari debitur diganti
dengan kewajiban lain.

(4) Perjumpaan Utang atau Kompensasi : Menurut Pasal 1425 KUHPer adalah suatu keadaan di
mana pihak kreditur dan debitur memperjumpakan atau memperhitungkan utang-piutang
sehingga perjanjian kredit tersebut menjadi hapus.

Grosse Akta Pengakuan Utang

Dalam praktek pemberian kredit, bank atau kreditur selain membuat perjanjian kredit sebagai
alat bukti adanya utang dan sekaligus mengatur hak-hak dan kewajiban secara lengkap, bank
atau kreditur juga membuat grosse akta pengakuan utang notariil.
Secara umum Grosse akta pengakuan utang diatur dalam ketentuan Pasal 224 HIR.

Pengertian Grosse akta pengakuan utang ialah suatu salinan atau kutipan (secara pengecualian)
dari minuta akta (naskah asli) yang di atasnya (di atas judul akta) memuat kata-kata: “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan di bawahnya dicantumkan kata-kata:
“Diberikan sebagai Grosse Pertama”, dengan menyebut nama dari orang, yang atas
permintaannya grosse itu diberikan dan tanggal pemberiannya.

Grosse akta pengakuan utang dibuat karena alasan-alasan sebagai berikut:

(1) Perjanjian kredit tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sehingga jika debitur wanprestasi
maka kreditur tidak dapat melakukan eksekusi langsung terhadap jaminan yang ada tetapi harus
melakukan gugatan melalui Pengadilan Negeri lebih dahulu kepada debitur;

(2) Akta pengakuan utang merupakan perjanjian sepihak, didalamnya hanya dapat memuat suatu
kewajiban untuk membayar utang sejumlah uang tertentu. Akta pengakuan utang yang dibuat di
hadapan Notaris sesuai Pasal 224 HIR/258 RBG mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti
keputusan hakim yang tetap yang berarti akta pengakuan hutang mempunyai kekuatan
eksekutorial;

(3) Untuk mempercepat eksekusi jaminan secara langsung tanpa memerlukan gugatan terlebih
dahulu kepada debitur.

Namun dalam prakteknya, pemanfaatan grosse akta pengakuan utang yang mempunyai kekuatan
eksekutorial sebagai dasar untuk melakukan eksekusi jaminan menjadi tidak mudah bahkan tidak
dapat dilaksanakan, karena kadangkala debitur mengajukan bantahan melalui pengadilan agar
membatalkan eksekusi berdasarkan grosse akta pengakuan utang tersebut.

Jaminan Kredit

Secara umum jaminan kredit diartikan sebagai penyerahan kekayaan atau pernyataan
kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu utang. Jadi pada dasarnya
seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan dan diperuntukkan bagi pemenuhan kewajiban
kepada semua kreditur secara bersama-sama, sebagaimana diatur pada Pasal 1131 KUHPer yang
berbunyi: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan”.

Jaminan kredit sangat diperlukan dalam pemberian kredit untuk menghindarkan resiko debitur
tidak melunasi kreditnya. Selain jaminan berupa keyakinan atas kemampuan debitur untuk
melunasi utangnya, bank juga mengutamakan agunan dalam pemberian kredit sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 (23) UU Perbankan yang berbunyi: “agunan adalah jaminan tambahan
yang diserahkan nasabah debitur dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah”.
Agunan diperlukan oleh kreditur (bank) karena merupakan salah satu upaya untuk
mengantisipasi resiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan
pelunasan kredit tersebut. Bila debitur lalai melunasi kredit yang diberikan maka bank dapat
menarik kembali dana yang disalurkan dengan memanfaatkan agunan tersebut. Agunan atau
jaminan tambahan ini dapat berupa :

1. Jaminan materiil (berwujud), yang berupa barang-barang bergerak atau benda tetap misalnya
tanah dan bangunan, mesin, kapal laut, mobil, perhiasan dan lain-lain.

2. Jaminan immateriil (tak berwujud), misalnya tagihan piutang, sertifikat deposito, tabungan,
obligasi, saham, dan lain-lain.

Kreditur dan pemilik jaminan harus membuat perjanjian untuk penyerahan jaminan kredit yang
disebut perjanjian pengikatan jaminan. Semua perjanjian pengikatan jaminan bersifat accessoir
artinya eksistensi atau keberadaan perjanjian pengikatan jaminan tergantung pada perjanjian
pokoknya yaitu perjanjian kredit. Perjanjian pengikatan jaminan bukan merupakan perjanjian
yang berdiri sendiri tetapi tergantung pada perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok sehingga
perjanjian kredit harus dibuat terlebih dahulu baru kemudian perjanjian pengikatan jaminan. Jika
perjanjian kredit berakhir karena kreditnya telah dilunasi atau berakhir karena sebab lain maka
berakhir pula perjanjian pengikatan jaminan. Namun jika perjanjian pengikatan jaminan cacat
dan batal karena suatu sebab hukum, misalnya barang jaminan musnah atau dibatalkan karena
pemberi jaminan tidak berhak menjaminkan, maka perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok
tidak batal dan debitur tetap harus melunasi hutangnya sesuai perjanjian kredit.

Jenis-Jenis Pengikatan Jaminan Kredit

Jenis-jenis jaminan yang diterima kreditur/ bank yaitu:

(1) Jaminan Perorangan yaitu penanggungan utang atau borgtoch dan indemnity:;

(2) Jaminan Kebendaan, antara lain:

(a) Jaminan atas benda bergerak seperti Gadai dan Fidusia

(b) Jaminan atas benda tidak bergerak seperti Hipotik dan Hak Tanggungan

Penanggungan Utang (Borgtocht)

Dasar hukum penanggungan utang atau borgtocht diatur dalam Pasal 1820-1850 KUHPer.
Pengertian penanggungan utang atau borgtocht menurut Pasal 1820 KUHPer dapat diartikan
sebagai suatu perjanjian dimana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang (kreditur)
mengikatkan diri untuk memenuhi perjanjian si berutang (debitur) manakala orang ini sendiri
(debitur) tidak memenuhinya (wanprestasi). Untuk memudahkan pengertian borgtocht dapat
dilihat dari ilustrasi sebagai berikut:
Bank (kreditur) memberikan kredit sebesar 1 miliar rupiah kepada PT X (debitur) berdasar
perjanjian kredit dengan jangka waktu 1 tahun. Untuk menjamin atau menanggung pembayaran
kembali hutang PT X, Bank (kreditur) meminta kepada pihak ketiga yaitu komisaris bernama A
dan direktur bernama B untuk menjadi penjamin atau penganggung utang PT X. Kemudian BTN
mengadakan perjanjian penjaminan atau penanggungan utang (borgtocht) dengan A dan B untuk
menjamin atau menanggung utang PT X jika PT X lalai membayar utangnya.

Jenis-jenis penganggungan utang atau borgtocht antara lain:

(1) Personal guaranty atau jaminan perorangan: yaitu jika yang ditunjuk sebagai penjamin atau
penanggung adalah orang perorangan. Dalam hal penjaminan dilakukan oleh suami/istri maka
harus mendapat persetujuan dari istri/suaminya. Pengadilan dapat membatalkan penanggungan
jika tanpa persetujuan tersebut. Namun dalam hal terdapat pemisahan harta antara suami dan istri
maka tidak diperlukan persetujuan suami/istri.

(2) Corporate guaranty: yaitu jika yang ditunjuk sebagai penjamin berbentuk perusahaan
misalnya Perseroan Terbatas (PT), koperasi atau badan usaha lainnya. Dalam hal ini penjaminan
atau penanggungan dimungkinkan jika telah mendapat persetujuan dari komisaris atau Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS).

Jaminan dalam bentuk jaminan perorangan (borgtocht) yang diatur dalam KUHPer mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut:

(1) Jaminan borgtocht mempunyai sifat accessoir, artinya jaminan borgtocht bukan hak yang
berdiri sendiri tetapi lahirnya, keberadaannya, atau hapusnya tergantung dari perjanjian
pokoknya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian hutang.

(2) Borgtocht tergolong jaminan perorangan, yaitu adanya pihak ketiga (orang pribadi atau badan
hukum) yang menjamin untuk melunasi utang debitur bila debitur wanprestasi.

(3) Borgtocht tidak memberikan hak preferent (diutamakan) Artinya bila seorang penjamin atau
penanggung tidak dengan sukarela melunasi hutang debitur maka harta kekayaan penjamin itu
yang harus dieksekusi. Harta kekayaan si penanggung atau penjamin bukan semata-mata untuk
menjamin hutang debitur kepada kreditur tertentu saja tetapi sebagai jaminan hutang kepada
semua kreditur. Kalau harta kekayaan si penjamin dilelang maka hasilnya dibagi kepada para
kreditur yang ada secara proporsional kecuali penjamin tidak memiliki kreditur lain.

(4) Besarnya penjaminan atau penanggungan tidak melebihi atau syarat-syarat yang lebih berat
dari perikatan pokok. Maksudnya penjamin hanya menjamin pelunasan hutang debitur yang
besarnya telah ditegaskan dalam perjanjian penjaminan. Misalnya sebesar hutang pokok saja atau
sebesar hutang pokok ditambah dengan bunga. Hal ini diatur pada Pasal 1822 KUHPer.

(5) Penjamin memiliki hak-hak istimewa dan tangkisan-tangkisan. Artinya, seorang penjamin
adalah cadangan dimana penjamin baru membayar hutang debitur jika debitur tidak memiliki
kemampuan lagi.
Adapun hak-hak istimewa yang dimiliki oleh penjamin tercantum dalam Pasal 1832 KUHPer,
yaitu:

(a) Hak untuk menuntut agar harta kekayaan debitur disita dan dieksekusi terlebih dahulu untuk
melunasi hutangnya. Apabila hasil eksekusi tidak cukup untuk melunasi hutangnya maka baru
kemudian harta kekayaan penjamin yang dieksekusi;

(b) Hak tidak mengikatkan diri bersama sama dengan debitur secara tanggung-menanggung.
Maksud hak ini adalah ada kemungkinan penjamin telah mengikatkan diri bersama-sama debitur
dalam suatu perjanjian secara jamin-menjamin. Penjamin yang telah mengikatkan diri bersama-
sama debitur dalam satu akta perjanjian dapat dituntut oleh kreditur untuk tanggung menanggung
bersama debiturnya masing-masing untuk seluruh hutang;

(c) Hak untuk mengajukan tangkisan (Pasal 1849 dan 1850 KUHPer). Penjamin mempunyai hak
untuk mengajukan tangkisan yang dapat dipakai debitur kepada kreditur kecuali tangkisan yang
hanya mengenai pribadinya debitur (Pasal 1847 KUHPer). Hak mengajukan tangkisan
merupakan hak penjamin yang lahir dari perjanjian penjaminan. Tangkisan dapat diajukan
misalnya perjanjian terjadi karena kesesatan;

(d) Hak untuk membagi hutang. Bila dalam perjanjian penjaminan ada beberapa penjamin yang
mengikatkan diri untuk menjamin satu debitur dan hutang yang sama maka masing-masing
penjamin terikat untuk seluruh hutang;

(e) Hak untuk diberhentikan dari penjamin. Seorang penjamin berhak minta kepada kreditur
untuk diberhentikan atau dibebaskan dari kedudukannya sebagai seorang penjamin jika ada
alasan untuk itu.

(6) Kewajiban penjamin bersifat subsider. Maksudnya, kewajiban pemenuhan utang debitur
terjadi manakala debitur tidak memenuhi hutangnya.

(7) Perjanjian borgtocht bersifat tegas, tidak dipersangkakan. Maksudnya, seorang penjamin
harus menyatakan secara tegas dalam perjanjian borgtocht untuk menjamin utang seorang
debitur.

(8) Penjaminan beralih kepada ahli waris. Maksudnya, jika penjamin meninggal dunia maka
kewajibannya akan berpindah kepada ahliwarisnya.

Tahap-tahap perjanjian penjaminan atau penanggungan adalah rangkaian perbuatan hukum dari
dibuatnya perjanjian pokok berupa perjanjian kredit dan perjanjian penjaminan. Tahap-tahap
perjanjian penjaminan adalah sebagai berikut:

(1) Tahap pertama: penandatanganan perjanjian kredit.

Tahap ini didahului dengan dibuatnya perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit antara kreditur
dan debitur.
(2) Tahap kedua: penandatanganan akta borgtocht.

Tahap ini merupakan tahap lanjutan setelah dibuatnya perjanjian pokok yaitu tahap pembuatan
akta borgtocht antara kreditur dengan pihak ketiga yang mengikatkan diri sebagai penjamin atau
penanggung hutang. Akta borgtocht memuat ketentuan seperti identitas para pihak, data-data
dari perjanjian pokok, nilai penjaminan, dan lain-lain.

Hapusnya kewajiban penjamin disebabkan peristiwa-peristiwa sebagai berikut:

(1) Hapusnya perjanjian penjaminan/penganggungan (borgtocht) tergantung dari perjanjian


kredit atau perjanjian hutang lainnya sebagai perjanjian pokok. Kalau perjanjian kredit hapus
maka perjanjian penjaminan juga turut hapus;

(2) Hapusnya penjaminan juga dapat disebabkan penjamin dibebaskan atau diberhentikan dari
kewajiban sebagai penjamin;

(3) Jika kreditur dengan sukarela telah menerima pembayaran dari penjamin berupa benda-benda
bergerak atau tidak bergerak sebagai pembayaran atas hutang debitur.

Indemnity

Dasar hukum tentang Indemnity diatur dalam Pasal 1316 KUHPer. Indemnity dapat diartikan
sebagai suatu perjanjian pemberian jaminan oleh penjamin kepada kreditur untuk membayar atau
mengganti kerugian kreditur apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya. Indemnity
merupakan perjanjian pokok yang berdiri sendiri, terlepas dari perjanjian pemberian kreditnya.

Indemnity memiliki kemiripan dengan borgtocht sebagai perjanjian penjaminan, namun memiliki
beberapa perbedaan yang mendasar sebagai berikut:

1. Indemnity merupakan perjanjian pokok dan bukan perjanjian accesoir,, sedangkan borgtocht
merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok;

2. Indemnity tetap eksis dan tidak batal apabila perjanjian kredit batal, sedangkan borgtocht
menjadi batal apabila perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok batal;

3. Penjamin dalam Indemnity bertanggung jawab untuk mengganti kerugian kreditur apabila
perjanjian kredit antara kreditur dan debitur batal, sedangkan penjamin dalam borgtocht tidak
memiliki tanggung jawab untuk mengganti kerugian kepada kreditur apabila perjanjian kredit
batal;

4. Penjamin dalam indemnity bertanggung jawab untuk membayar kewajiban Debitur kepada
Kreditur apabila Debitur tidak membayar kewajibannya, sedangkan penjamin dalam borgtocht
hanya bisa ditagih apabila Debitur sudah tidak bisa ditagih dan tidak memiliki harta kekayaan
lagi yang bisa disita untuk pembayaran kewajibannya.

Gadai
Dasar hukum tentang gadai diatur pada Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPer.
Pengertian gadai menurut Pasal 1150 KUHPer adalah suatu hak yang diperoleh seorang
berpiutang/kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang
berhutang/debitur atau oleh orang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si
berpiutang/ kreditur untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan
daripada orang-orang berpiutang/kreditur lainnya, dengan perkecualian biaya untuk melelang
barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu
digadaikan, biaya mana harus didahulukan.

Jaminan gadai mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

(1) Jaminan gadai mempunyai sifat accessoir (perjanjian tambahan). Artinya, jaminan gadai
bukan hak yang berdiri sendiri tetapi keberadaannya tergantung perjanjian pokok yaitu perjanjian
kredit yang dijamin dengan gadai;

(2) Jaminan gadai memberikan hak preferent.

Maksudnya, kreditur sebagai penerima gadai mempunyai hak yang didahulukan (hak preferen)
terhadap kreditur lainnya. Artinya, bila debitur dinilai cidera janji atau lalai, maka kreditur
penerima gadai mempunyai hak untuk menjual jaminan gadai tersebut dan hasil penjualan
digunakan terutama untuk melunasi hutangnya. Apabila terdapat kreditur lain yang juga
memiliki tagihan kepada debitur tersebut, kreditur belakangan ini tidak akan mendapat pelunasan
sebelum kreditur yang pertama mendapat pelunasan;

(3) Jaminan gadai mempunyai hak eksekutorial.

Maksudnya, pemegang gadai atas kekuasaan sendiri mempunyai hak untuk menjual benda yang
digadaikan apabila debitur cidera janji dan hasil penjualan tersebut digunakan untuk melunasi
hutang debitur. Penjualan harus dilakukan dimuka umum dengan cara pelelangan. Bila hasil
lelang mencukupi untuk membayar hutang dan terdapat kelebihan maka kelebihan dikembalikan
kepada debitur. Sedangkan jika hasil penjualan belum mampu melunasi hutangnya maka
kekurangannya tetap harus dilunasi debitur;

(4) Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi.

Maksudnya, dengan dilunasi sebagian hutang maka tidak menghapus sebagian hak gadai. Hak
gadai tetap melekat untuk seluruh bendanya;

(5) Benda gadai dalam kekuasaan kreditur;

(6) Hak Gadai berisi hak untuk melunasi hutang dari hasil penjualan benda gadai.

Sifat ini sesuai sifat jaminan pada umumnya yaitu hak yang bersifat memberikan jaminan untuk
pelunasan utang apabila si berutang atau debitur cidera janji dengan mengambil pelunasan dari
hasil penjualan benda jaminan itu, bukan hak untuk memiliki benda yang dijaminkan. Segala
janji yang memberikan hak kepada kreditur untuk memiliki benda gadai adalah batal demi
hukum.

Obyek atau benda yang dapat digadaikan adalah semua benda bergerak yang berwujud maupun
benda bergerak tidak berwujud, yaitu:

(1) Benda bergerak berwujud. Contohnya seperti: kendaraan bermotor seperti mobil, sepeda
motor, mesin-mesin, perhiasan, lukisan berharga, kapal laut yang berukuran di bawah 20m³, dan
barang bergerak lain yang memiliki nilai.

(2) Benda bergerak tidak berwujud. Contohnya seperti tabungan, deposito berjangka, sertifikat
deposito, wesel, obligasi, saham, surat piutang dan lain-lain.

Tata cara pembebanan gadai dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

(1) Tahap Pertama. Tahap ini didahului dengan dibuatnya perjanjian pokok berupa perjanjian
kredit atau perjanjian utang. Dalam perjanjian kredit harus dirumuskan utang yang pelunasannya
dengan gadai.

(2) Tahap Kedua. Suatu jaminan gadai harus dituangkan dalam akta gadai yang ditandatangani
oleh kreditur sebagai penerima gadai dengan debitur sebagai atau pihak ketiga (bukan debitur)
sebagai pemberi gadai. Dalam akta gadai harus diuraikan mengenai benda yang menjadi objek
gadai secara jelas dan rinci meliputi identifikasi benda tersebut.

(3) Tahap Ketiga. Tahap ini merupakan tahap paling penting dalam gadai yaitu benda yang
digadaikan harus ditarik dari kekuasaan pemberi gadai/debitur dan kemudian benda yang
digadaikan berada dalam kekuasaan kreditur sebagai pemegang/penerima gadai. Gadai tidak sah
jika benda yang menjadi obyek gadai tidak ditarik dari kekuasaan debitur dan tetap berada dalam
kekuasaan pemberi gadai/debitur.

Hapusnya hak gadai disebabkan peristiwa-peristiwa sebagai berikut:

(1) Hutang telah dilunasi. Jika perjanjian kredit berakhir karena hutang telah dilunasi maka gadai
juga menjadi hapus sesuai sifat accesoir dari hak gadai yaitu keberadaan gadai tergantung
perjanjian kreditnya.

(2) Benda yang menjadi jaminan gadai keluar dari kekuasaan kreditur sebagai penerima gadai.

(3) Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan gadai.

Apabila obyek jaminan gadai musnah misalnya disebabkan hilang atau penyebab lain, maka
mengakibatkan hapusnya jaminan fidusia. Namun hal tersebut tidak menghapuskan perjanjian
kredit dalam arti debitur tetap mempunyai kewajiban untuk melunasi utangnya.
Gadai menganut Larangan milik beding, yaitu apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya,
maka kreditur tidak diperkenankan memiliki barang gadai. Segala janji yang berisi milik Beding
adalah batal demi hukum.(Pasal 1154 KUHPer)

Fidusia

UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia selanjutnya disingkat UU Fidusia, merupakan dasar
hukum pengaturan Jaminan Fidusia. Sedangkan Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan
Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia diatur dalam PP No.86 Tahun 2000.

Fidusia ialah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik
benda.

Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai acuan bagi pelunasan
utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap
kreditur lainnya.

Pembebanan benda dengan jaminan fidusia harus dibuat dengan akta notaris dalam bahasa
indonesia, yang disebut akta Jaminan Fidusia.

Jaminan fidusia tidak mengenal peringkat jaminan fidusia. UU Fidusia menegaskan bahwa
obyek jaminan fidusia yang telah didaftar di Kantor Pendaftaran Fidusia tidak dibolehkan untuk
dibebani fidusia lagi atau fidusia ulang kepada kreditur lain. Apabila terjadi suatu benda dibebani
lebih dari satu perjanjian fidusia maka hak yang didahulukan diberikan kepada kreditur yang
lebih dahulu mendaftarkannya pada kantor pendaftaran fidusia.

Jaminan fidusia yang diatur dalam UU Fidusia mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

(1) Jaminan fidusia mempunyai sifat accesoir. Artinya, jaminan fidusia bukan hak yang berdiri
sendiri tetapi lahirnya keberadaannya atau hapusnya tergantung perjanjian pokoknya.

(2) Jaminan fidusia mempunyai sifat droit de suite.

Sifat droit de suite artinya penerima jaminan fidusia/kreditur mempunyai hak mengikuti benda
yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada. Hal ini berarti
bahwa dalam keadaan debitur lalai, maka kreditur sebagai pemegang jaminan fidusia tidak
kehilangan haknya untuk mengeksekusi obyek fidusia walaupun obyek tersebut telah dijual dan
dikuasai oleh pihak lain.

(3) Jaminan fidusia memberikan hak preferent. Artinya, kreditur sebagai penerima fidusia
memiliki hak yang didahulukan (preferent) terhadap kreditur lainnya untuk menjual atau
mengeksekusi benda jaminan fidusia dan hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang
dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut dalam hal debitur cidera janji atau lalai
membayar hutangnya.

(4) Jaminan fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada.

Maksudnya, utang yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai
ketentuan Pasal 7 UU Fidusia yaitu:

(a) Utang yang telah ada yaitu besarnya utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit;

(b) Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu;

(c) Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian kredit
yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.

(5) Jaminan fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang.

Maksudnya, bahwa benda jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitur kepada beberapa
kreditur yang secara bersama-sama memberikan kredit kepada seorang debitur dalam satu
perjanjian kredit. Ketentuan mengenai hal ini diatur pada Pasal 8 UU Fidusia. Ketentuan tersebut
harus dipandang berbeda dengan ketentuan Pasal 17 UU Fidusia dimana pemberi fidusia dilarang
melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek fidusia yang sudah terdaftar.

(6) Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial.

Maksudnya, Kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk mengeksekusi benda
jaminan bila debitur cidera janji. Eksekusi tersebut dapat dilakukan atas kekuasaan sendiri atau
tanpa putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 15 UU Fidusia yang pada intinya menyatakan bahwa di dalam Sertifikat Jaminan Fidusia
yang mencantumkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.

(7) Jaminan fidusia mempunyai sifat spesialitas dan publisitas.

Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai obyek jaminan fidusia dalam akta
jaminan fidusia. Sedangkan sifat publisitas adalah berupa pendaftaran akta jaminan fidusia yang
dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia.

(8) Jaminan fidusia berisi hak untuk melunasi utang.

Sifat ini sesuai dengan fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan kepada
kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan tersebut bila debitur cidera
janji dan bukan untuk dimiliki kreditur. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi debitur dari
tindakan sewenang-wenang kreditur. Seandainya debitur setuju mencantumkan janji bahwa
benda yang menjadi obyek fidusia akan menjadi milik debitur jika debitur cidera janji maka janji
semacam itu batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada.

(9) Jaminan fidusia meliputi hasil benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dan klaim asuransi.

(10) Obyek jaminan fidusia berupa benda-benda bergerak berwujud dan tidak berwujud, benda
tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan, serta benda-benda yang
diperoleh di kemudian hari.

Obyek atau benda-benda yang dapat dibebani jaminan fidusia antara lain:

(1) Benda bergerak berwujud. Contohnya: kendaraan bermotor seperti mobil, bus, truck, sepeda
motor dan lain-lain; mesin-mesin pabrik yang tidak melekat pada tanah/bangunan pabrik;
perhiasan; alat inventaris kantor; kapal laut berukuran dibawah 20m³; perkakas rumah tangga
seperti tv, tape, kulkas, mebel, dan lain-lain; alat-alat pertanian; dan lain sebagainya.

(2) Barang bergerak tidak berwujud. Contohnya: wesel; sertifikat deposito; saham; obligasi;
deposito berjangka; dan lain sebagainya.

(3) Hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan baik benda bergerak berwujud atau benda
bergerak tidak berwujud atau hasil dari benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan.

(4) Klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusia diasuransikan.

(5) Benda tidak bergerak khusunya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan, yaitu
hak milik satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas tanah negara dan bangunan rumah
yang dibangun di atas tanah orang lain.

(6) Benda-benda termasuk piutang yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun piutang
yang diperoleh kemudian hari.

Tahap-tahap pembebanan fidusia adalah sebagai berikut:

(1) Tahap Pertama merupakan tahap dimana dibuatnya perjanjian pokok yang berupa perjanjian
kredit.

(2) Tahap kedua berupa pembebanan benda dengan jaminan fidusia yang ditandai dengan
pembuatan akta jaminan fidusia. Dalam akta penjaminan fidusia memuat antara lain hari, tanggal
dan waktu pembuatan; identitas para pihak; data perjanjian pokok fidusia, uraian obyek fidusia,
nilai penjaminan, dan nilai obyek jaminan fidusia.

(3) Tahap ketiga merupakan tahap pendaftaran akta jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran
Fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia kemudian menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia yang
diserahkan kepada kreditur sebagai penerima fidusia.
Hapusnya Jaminan Fidusia disebabkan peristiwa-peristiwa sebagai berikut yaitu:

(1) Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.

(2) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia (kreditur).

(3) Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

Perlu diperhatikan juga bahwa UU Fidusia menganut larangan milik beding, dimana setiap janji
yang memberikan kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki benda yang menjadi
obyek Jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji adalah batal demi hukum.

Hak Tanggungan

Hak Tanggungan sebagai hak jaminan diatur dalam UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). Hak Tanggungan
adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No.
5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur lain.

Hak Tanggungan merupakan pengganti bentuk grosse akta atau hipotek atas tanah dan
menggantikan ketentuan mengenai credietverband yang dimaksud dalam Pasal 224 HIR.

Hak Tanggungan mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

(1) Hak Tanggungan memberikan hak preferent (Pasal 1(1) UUHT). Artinya, bila debitur cidera
janji atau lalai membayar hutangnya, maka seorang kreditur pemegang Hak Tanggungan
mempunyai hak untuk menjual jaminan dan kreditur pemegang jaminan diutamakan untuk
mendapatkan pelunasan hutang dari penjualan jaminan tersebut.

(2) Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 UUHT). Artinya, hak tanggungan
membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dari setiap bagian daripadanya. Pelunasan
sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian obyek tersebut dari beban
Hak Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan itu tetap membebani seluruh obyek Hak
Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. Sebagai contoh yaitu hutang 100 juta dijamin
dengan Hak Tanggungan atas tanah Hak Milik seluas 10.0000 m². Misalnya utang telah dibayar
sebagian sebesar 20 juta. Pelunasan utang 20 juta tersebut tidak berarti terbebasnya sebagian
tanah (misalnya 2000 m²) dari beban Hak Tanggungan yang seluruhnya 10.000 m². Namun sifat
tidak dapat dibagi-bagi dalam Hak Tanggungan tidak berlaku mutlak atau dapat dikecualikan
(misalnya dalam pemberian kredit untuk keperluan pembangunan komplek perumahan dengan
jaminan sebidang tanah proyek perumahan tersebut) asal diperjanjikan secara tegas dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan.
(3) Hak Tanggungan mempunyai sifat droit de suite (Pasal 7 UUHT). Artinya, pemegang Hak
Tanggungan mempunyai hak mengikuti obyek Hak Tanggungan, meskipun obyek Hak
Tanggungan telah berpindah dan menjadi milik pihak lain. Sebagai contoh, yaitu apabila obyek
Hak Tanggungan (tanah dan bangunan) telah dijual oleh debitur dan menjadi milik pihak lain,
maka kreditur sebagai pemegang jaminan tetap mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas
jaminan tersebut jika debitur cidera janji.

(4) Hak Tanggungan mempunyai sifat accesoir (Pasal 10 (1) dan 18 (1) UUHT). Artinya, Hak
Tanggungan bukanlah hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya, keberadaannya atau eksistensinya,
atau hapusnya tergantung perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang
lainnya. Hak Tanggungan menjadi hapus kalau perjanjian pokoknya yang menimbulkan utang-
piutang hapus yang disebabkan karena lunasnya kredit atau lunasnya utang atau sebab lain. Sifat
ikutan (accessoir) ini memberikan konsekuensi, bahwa dalam hal piutang beralih kepada kreditur
lain maka Hak Tanggungan yang menjaminnya ikut beralih kepada kreditur baru tersebut.
Pencatatan peralihan Hak Tanggungan tidak memerlukan akta PPAT tetapi cukup didasarkan
pada akta beralihnya piutang yang dijamin. Pencatatan peralihan itu dilakukan pada buku tanah
dan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan serta pada buku tanah dan sertifikat hak atas
tanah yang dijadikan jaminan.

(5) Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada.

Fungsi Hak Tanggungan adalah untuk menjamin utang yang besarnya diperjanjikan dalam
perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang dijamin hak tanggungan harus memenuhi
syarat dalam Pasal 3(1) UUHT yaitu:

(a) Utang yang telah ada, artinya besarnya utang yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit.

(b) Utang yang akan ada tetapi telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu.

(c) Utang yang akan ada tetapi jumlahnya pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan
diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian kredit atau perjanjian lain yang menimbulkan
hubungan utang-piutang.

(6) Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang.

Pasal 3(2) UUHT menegaskan bahwa Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang
berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu atau lebih yang berasal dari beberapa
hubungan hukum. Berdasarkan Pasal tersebut maka pemberian Hak Tanggungan dapat diberikan
untuk:

(a) Satu atau lebih kreditur yang memberikan kredit kepada satu debitur berdasarkan perjanjian
masing-masing secara bilateral antara kreditur-kreditur dengan debitur. Hal ini menimbulkan
Hak Tanggungan peringkat I untuk kreditur sebagai penerima Hak Tanggungan yang pertama
dan Hak Tanggungan peringkat II untuk kreditur sebagai penerima Hak Tanggungan yang
sesudahnya dan seterusnya. Sebagai contoh Bank A memberi kredit kepada PT X dengan
jaminan hak atas tanah seluas 1000 m² yang diikat Hak Tanggungan. Kemudian Bank B juga
memberikan kredit kepada PT X dengan jaminan yang sama. Hal ini menimbulkan Hak
Tanggungan peringkat I untuk Bank A dan Hak Tanggungan peringkat II untuk Bank B.

(b) Beberapa kreditur secara bersama-sama memberikan kredit kepada satu debitur berdasarkan
satu perjanjian. Sebagai contoh Bank A, Bank B, dan Bank C secara bersama-sama memberikan
kredit kepada PT X yang dimuat dalam satu perjanjian dengan jaminan Hak Tanggungan. Hak
Tanggungan tersebut menjamin ketiga kreditur dengan kedudukan dan hak yang sama untuk
mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan Hak Tanggungan jika debitur cidera janji.

(7) Hak Tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah saja.

Pada dasarnya hak tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tanah saja. Hak atas tanah yang
dapat dijadikan jaminan sesuai UUPA yaitu hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan
hak pakai atas tanah negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. (Pasal 4 (1) UUHT)

(8) Hak Tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah berikut benda diatasnya dan dibawah
tanah. Maksudnya, bahwa pembebanan Hak Tanggungan dimungkinkan meliputi benda yang ada
diatas tanah dan merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan bangunan dibawah
permukaan tanah. Bangunan atau tanaman boleh ada pada saat pembebanan Hak Tanggungan
atau yang akan ada di kemudian hari. Benda-benda yang ada di atas tanah yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah dan benda dibawah permukaan tanah ikut atau turut dibebani dengan Hak
Tanggungan maka harus dinyatakan secara tegas oleh para pihak dalam akta pembebanan Hak
Tanggungan. Sifat ini dijelaskan dalam Pasal 4 (4) UUHT.

(9) Hak Tanggungan berisi hak untuk melunasi utang dari hasil penjualan benda jaminan dan
tidak memberikan hak bagi kreditur untuk memiliki benda jaminan (Pasal 12 UUHT). Sifat ini
sesuai tujuan Hak Tanggungan yaitu untuk menjamin pelunasan utang jika debitur cidera janji
dengan mengambil hasil penjualan benda jaminan itu, bukan untuk dimiliki kreditur sebagai
pemegang Hak Tanggungan. Bila debitur setuju memberikan atau mencantumkan janji bahwa
benda jaminan akan menjadi milik kreditur jika debitur cidera janji, maka janji ini oleh UU
dinyatakan batal demi hukum.

(10) Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial (Pasal 6 UUHT). Artinya, bahwa
kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk mengeksekusi jaminan jika
debitur cidera janji. Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang
Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu
pemegang Hak Tanggungan. Hanya pemegang Hak Tanggungan yang mempunyai hak ini. Pasal
14 (1), (2) dan (3) UUHT menegaskan Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah
dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.

(11) Hak Tanggungan mempunyai sifat spesialitas dan publisitas.


Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan terinci mengenai obyek Hak Tanggungan yang
meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah, misalnya hak atas tanah hak milik atau hak
guna bangunan atau hak guna usaha, tanggal penerbitannya, tentang luasnya letaknya, batas-
batasnya dan lain sebagainya. Jadi dalam Akta Hak Tanggungan harus diuraikan secara spesifik
hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Sifat publisitas adalah Akta Hak Tanggungan harus didaftarkan di Kantor Pertanahan dimana
tanah yang dibebani Hak Tanggungan berada. (Pasal 13 (1) UUHT)

Objek Hak Tanggungan terdiri dari hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang
dengan dibebani Hak Tanggungan, yaitu:

§ Hak Milik;

§ Hak Guna Bangunan;

§ Hak Guna Usaha;

§ Hak Pakai atas tanah negara dan Hak Pakai atas Hak Milik;

Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui beberapa tahap sebagai berikut:

(1) Tahap Pertama. Merupakan tahap pembuatan perjanjian pokok berupa perjanjian kredit atau
perjanjian hutang.

(2) Tahap Kedua. Merupakan tahap pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang ditandatangani oleh kreditur sebagai penerima Hak
Tanggungan dan debitur sebagai pemilik hak atas tanah yang dijaminkan (Pasal 10 (2) UUHT).
Dalam Pasal 11(1) UUHT disebutkan bahwa APHT memuat antara lain identitas para pihak,
penunjukan secara jelas utang-utang yang dijamin, nilai Hak Tanggungan, uraian mengenai
obyek Hak Tanggungan, dan janji-janji Hak Tanggungan.

Dalam praktek perbankan, pemberian Hak Tanggungan yang ditandai dengan pembuatan APHT
ini dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu:

(a) Penandatanganan APHT dilakukan oleh pemilik jaminan bersamaan dengan


penandatanganan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok;

(b) Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).

SKMHT dibuat karena pemilik jaminan tidak segera melakukan pembebanan Hak Tanggungan
pada saat penandatanganan perjanjian kredit. SKMHT adalah surat kuasa khusus yang dibuat
oleh dan dihadapan PPAT atau Notaris yang ditandatangani pemilik jaminan. Isi SKMHT adalah
pemilik jaminan memberikan kuasa khusus kepada kreditur (bank) untuk menandatangani
APHT.
(3) Tahap Ketiga. Merupakan tahap pendaftaran APHT ke Kantor Pertanahan setempat. Kantor
Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang kemudian diserahkan kepada kreditur
sebagai pemegang Hak Tanggungan.

Hapusnya Hak Tanggungan menurut Pasal 18 UUHT disebabkan karena peristiwa-peristiwa


sebagai berikut:

§ Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.

§ Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan.

§ Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan


Negeri, yaitu hapusnya Hak Tanggungan yang terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah
yang dibebani Hak Tanggungan agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban
Hak Tanggungan.

§ Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Hapusnya hak atas tanah disebabkan
karena jangka waktu berlakunya hak atas tanah telah berakhir. Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah merupakan hak atas tanah yang memiliki jangka waktu
berlakunya.

Perlu diperhatikan juga bahwa UU Hak Tanggungan menganut larangan milik beding dalam
APHT, dimana setiap janji yang memberikan kewenangan kepada kreditor (pemegang Hak
Tanggungan) untuk memiliki obyek Hak Tanggungan secara serta merta apabila debitor cidera
janji adalah batal demi hukum.

Cessie

Dalam praktek perbankan cessie kadang-kadang dijadikan sebagai tambahan jaminan selain
jaminan pokok berupa proyek dan jaminan kebendaan lainnya. Cessie sebenarnya bukan
merupakan lembaga jaminan tetapi merupakan lembaga pengalihan piutang atas nama.

Pasal 613(1) dan (2) KUHPer

Cessie adalah pemindahan atau pengalihan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tidak
bertubuh lainnya, dari seorang yang berpiutang (kreditur) kepada orang lain, yang dilakukan
dengan akta otentik atau akta di bawah tangan, yang selanjutnya diberitahukan adanya
pengalihan piutang tersebut kepada si berutang (debitur).

Contoh cessie sebagai jaminan adalah sebagai berikut:

PT A mempunyai piutang terhadap B yang belum jatuh tempo. Karena PT A membutuhkan dana
untuk suatu proyek, maka PT A memohon kredit kepada Bank X dengan menyerahkan piutang
terhadap B sebagai jaminan tambahan. Dengan demikian telah terjadi peralihan kreditur dari PT
A kepada Bank X.
Dengan terjadinya pengalihan piutang atas nama tersebut, orang yang menerima pengalihan
menjadi kreditur baru sedang debiturnya tetap. Untuk memanfaatkan pengalihan piutang atas
nama (cessie) sebagai jaminan, maka perlu dituangkan dalam bentuk akta otentik atau akta
dibawah tangan yang ditandatangani oleh kreditur baru sebagai penerima piutang dan kreditur
lama sebagai penyerah piutang. Cessie sebagai jaminan bersifat accesoir di mana keberadaanya
tergantung perjanjian kredit. Jika perjanjian kredit berakhir maka cessie hapus juga. Pemegang
cessie tidak memiliki hak preferent atau didahulukan pelunasannya. Misalnya jika harta
kekayaan debitur disita pihak lain maka pemegang cessie tidak mendapatkan pelunasan
didahulukan dari hasil lelang harta kekayaan debitur.

Syarat sahnya cessie adalah sebagai berikut:

(1) Cessie dibuat dengan akta otentik atau akta dibawah tangan.

(2) Pihak yang memiliki hutang harus mengetahui (melalui pemberitahuan secara tertulis dari
pihak yang memiliki piutang) dan menyetujui serta mengakui penyerahan piutang tersebut
kepada pihak lain.

(3) Penyerahan piutang karena surat bawa harus dilakukan dengan surat tersebut, sedangan
penyerahan piutang karena surat tunjuk harus dilakukan dengan penyerahan surat tersebut yang
disertai dengan endosemen.

Dalam praktek di Indonesia saat ini, akta cessie biasa dibuat dalam bentuk assignment deed. Hal-
hal pokok yang diatur dalam assignment deed adalah:

(1) Para pihak, yaitu pihak yang memiliki piutang (Transferor) dan pihak yang akan menerima
pengalihan piutang (Transferee);

(2) Pernyataan pengalihan piutang dari Transferor kepada Transferee dan pernyataan
penerimaan pengalihan piutang tersebut oleh Transferee dari Transferor;

(3) Pemberitahuan dari Transferor kepada pihak yang berhutang dan penegasan dari pihak yang
berhutang bahwa pihak yang berhutang menerima pengalihan hutangnya (atau piutang
Transferor) kepada Transferee.

EKSEKUSI JAMINAN KREDIT

Salah satu yang diatur dalam perjanjian kredit adalah adanya jaminan yang diperlukan oleh Bank
sebagai kreditur sebagai dasar penilaian atas keyakinan akan kemampuan debitur dalam
membayar hutangnya.

Pemenuhan kewajiban debitur untuk membayar hutangnya dapat dipaksa dengan jalan eksekusi
barang jaminan melalui penjualan lelang oleh kreditur atau melalui pengadilan, apabila debitur
ingkar janji atau wanprestasi atas perjanjian
Berdasarkan Pasal 1243 jo. Pasal 1763 KUHPer, faktor cidera janji atau wanprestasi oleh debitur
adalah sebagai berikut:

1. lalai memenuhi perjanjian; atau

2. tidak menyerahkan atau membayar dalam jangka waktu yang ditentukan; atau

3. tidak berbuat sesuai yang dijanjikan dalam tenggang waktu yang ditentukan; atau

4. tidak mengembalikan pinjaman sesuai dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang ditentukan.

Dalam hal hasil eksekusi barang jaminan melebihi nilai penjaminan, maka kreditor wajib
mengembalikan kelebihan tersebut kepada debitor. Namun apabila hasil eksekusi tidak
mencukupi untuk melunasi pembayaran utang, maka debitor tetap bertanggung-jawab atas utang
yang belum terbayar. Pemenuhan kewajiban debitur atas utang yang belum terbayar tersebut
dilakukan melalui gugatan perdata sesuai ketentuan Pasal 1131 KUHPer.

Bertitik tolak dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat ini,
perjanjian kredit dilindungi dengan jaminan yang memilki hak preferensi dan separatis, yaitu :

1. Hak Tanggungan (HT) berdasarkan Undang-Undang nomor 4 tahun 1996.

2. Jaminan Fidusia (JF) berdasarkan Undang-Undang nomor 42 tahun 1999.

3. Hak Gadai (Pandrecht) berdasarkan pasal 1150 – 1161 KUHPer.

4. Hipotek Kapal berdasarkan Pasal 314 KUHD jo. Pasal 1162-1232 KUHPer.

5. Hipotek Pesawat Terbang berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang nomor 15 tahun
1995 jo Pasal 1162-1232 KUHPer.

Eksekusi Hak Tanggungan

Berdasarkan Pasal 20 UUHT, eksekusi hak tanggungan dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara,
yaitu:

1. Eksekusi Hak Tanggungan melalui pelelangan umum menurut peraturan perundang-undangan


yang berlaku;

Dasar hukum eksekusi ini adalah Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang menyatakan :

“apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :

a) Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6, atau
b) Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 14 ayat (2),

obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan
dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.”

Berdasarkan Pasal 6 UUHT, maka Pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut apabila debitor cidera janji.

Menurut ketentuan pasal 14 ayat (2) UUHT dinyatakan bahwa Sertipikat Hak Tanggungan
memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”.

Maksud dari pemberian irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN


YANG MAHA ESA” adalah untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Ketentuan eksekusi Hak Tanggungan secara umum diatur dalam Hukum Acara Perdata, dan
secara khusus diatur dalam UUHT. UUHT mengaktualkan dan mengatur tentang sistem parate
executie dan eigenmachtige verkoop yang digariskan Pasal 1178 KUHPer.

Pasal 1178 KUHPer mengatur pemberian parate eksekusi (parate executie) kepada pemegang
hipotek melalui pemberian pelaksanaan langsung bagi pemegang hipotek untuk menjual barang
obyek hipotek, tanpa melalui pengadilan. Agar hak tersebut melekat pada diri pemegang hipotek
dan pelaksanaannya sah menurut hukum, maka di dalam akta hipotek harus dicantumkan secara
tegas mengenai klausul eigenmachtige verkoop (the right to sale).

Eigenmachtige verkoop adalah pemberian hak dari debitur kepada kreditur untuk menjual
sendiri obyek hipotek tanpa melalui pengadilan apabila debitur wanprestasi, yang didasarkan atas
kesepakatan.

Parate eksekusi berdasarkan pasal 1178 KUHPer telah menyingkirkan ketentuan pasal 224 HIR
tentang campur tangan Pengadilan Negeri.

Parate Eksekusi dengan eigenmachtige verkoop dianut oleh UUHT dimana hak menjual atas
kekuasaan sendiri tersebut baru melekat apabila dinyatakan secara tegas dalam Akta Pemberian
hak Tanggungan (APHT).

Prosedur eksekusi dalam pelelangan dilakukan berdasarkan Peraturan Lelang (LN 1908-215) jo.
Pasal 200 HIR sebagai berikut :

1. Pelaksanaan dilakukan dengan cara:

§ penjualan di muka umum;


§ dilakukan dengan perantara atau bantuan kantor lelang;

§ cara penjualan dengan penawaran meningkat atau menurun;

§ penawaran secara tertulis.

2. Pemberitahuan kepada debitur paling lambat 30 (tiga puluh) hari dari tanggal pelelangan.

Penjualan melalui pelelangan dapat dihindarkan dengan pelunasan utang (yang dijamin dengan
Hak Tanggungan) dan biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan sampai sebelum saat
pengumuman untuk lelang dikeluarkan. (pasal 20 ayat (5) UUHT).

3. Eksekusi Hak Tanggungan melalui penjualan di bawah tangan (berdasarkan kesepakatan


bersama antara pihak pemberi dan pemegang Hak tanggungan)

Dasar Hukum eksekusi ini adalah Pasal 20 ayat (2) UUHT, yang menyatakan:

“Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan
dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi
yang menguntungkan semua pihak.”

Syarat dalam melakukan eksekusi hak tanggungan dengan penjualan di bawah tangan, yaitu :

1. Penjualan tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (pemberi dan
pemegang Hak Tanggungan);

2. Bentuk kesepakatan harus tertulis;

3. Diperkirakan dapat memperoleh harga yang lebih baik (the best price reasonably obtainable);

4. Pelaksanaan penjualan harus dilakukan dengan cara:

a. Pelaksanaan penjualan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan dari tanggal
pemberitahuan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-
pihak yang berkepentingan;

b. Diumumkan sedikit-dikitnya melalui 2 (dua) surat kabar setempat;

c. Tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

Eksekusi Jaminan Fidusia

Eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan dalam hal pemberi fidusia (debitor) berada dalam
keadaan cidera janji (wanprestasi).
Pemberi Fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dalam rangka
pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia. Apabila pemberi fidusia tidak menyerahkan benda yang
menjadi obyek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia berhak
mengambil benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan
pihak yang berwenang.

Pada saat eksekusi telah sah untuk dilakukan, maka undang-undang memberi hak kepada
Penerima Fidusia dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai legal owner untuk mengambil
penguasaan obyek Jaminan Fidusia.

Tata cara eksekusi jaminan fidusia dilakukan melalui :

1. Pelelangan Umum.

UU Fidusia melindungi hak penerima fidusia untuk menjual benda obyek fidusia atas
kekuasaannya sendiri sehingga tidak diperlukan adanya klausul eigenmachtige verkoop
sebagaimana terdapat dalam eksekusi hak tanggungan.

Eksekusi obyek jaminan fidusia dilaksanakan oleh penerima fidusia tanpa intervensi dari
Pengadilan Negeri. Penerima Fidusia dapat langsung melakukan penjualan obyek jaminan
fidusia. Penjualan tersebut harus dilakukan melalui pelelangan umum oleh kantor lelang/ pejabat
lelang. Penerima Fidiusia berhak mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan tersebut
dengan mengesampingkan kreditor konkuren berdasarkan hak preferen yang dimilikinya.

2. Penjualan di Bawah Tangan.

Syarat dalam melakukan eksekusi obyek jaminan fidusia melalui penjualan di bawah tangan,
yaitu :

a. Penjualan tersebut harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (pemberi dan penerima
fidusia);

b. Dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak;

c. Pelaksanaan penjualan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan
secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan;

d. Diumumkan sedikit-dikitnya melalui 2 (dua) surat kabar setempat.

Eksekusi Hak Gadai

Eksekusi Hak Gadai dapat dilakukan dalam hal:

1. Debitur cidera janji melaksanakan kewajibannya dalam tenggang waktu yang ditentukan
dalam perjanjian; atau
2. Apabila tenggang waktu pemenuhan kewajiban tidak ditentukan dalam perjanjian, debitur
dianggap melakukan cidera janji memenuhi kewajiban setelah ada peringatan untuk membayar.

Berdasarkan Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUHPer, pelaksanaan eksekusi atas barang gadai
dilakukan dengan tata cara sebagai berikut :

(1) Menjual barang gadai di muka umum;

Cara ini merupakan ketentuan dasar atas eksekusi barang gadai, yaitu :

§ Penjualan dilakukan di muka umum;

§ Cara penjualan menurut kebiasaan setempat;

§ Sesuai dengan syarat-syarat yang lazim berlaku;

§ Dari hasil penjualan, kreditur mengambil pelunasan meliputi jumlah utang pokok, bunga dan
biaya yang timbul dari penjualan.

(2) Barang perdagangan atau efek dapat dijual di pasar atau di bursa;

Penjualan eksekusi atas barang perdagangan atau efek merupakan pengecualian dari aturan
pokok penjualan di muka umum, dengan ketentuan sebagai berikut :

§ Penjualan barang-barang perdagangan dapat dilakukan di pasar (market) tempat dimana


barang-barang sejenis itu diperdagangkan;

§ Efek yang dapat diperdagangkan di bursa, penjualannya dapat dilakukan di bursa;

§ Penjualan harus dilakukan dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam
perdagangan barang-barang tersebut.

(3) Penjualan menurut cara yang ditentukan hakim.

Apabila pemberi gadai atau debitur melakukan cidera janji, maka kreditur dapat menuntut
(meminta) kepada Hakim supaya barang gadai dijual menurut cara yang ditentukan oleh hakim,
atau agar Hakim mengizinkan supaya barang gadai tetap berada di tangan kreditur untuk
menutup suatu jumlah yang akan ditentukan Hakim dalam putusan yang meliputi utang pokok,
bunga dan biaya.

Kreditur memiliki kewajiban untuk memberitahukan penjualan barang gadai kepada debitur yang
harus disampaikan selambat-lambatnya pada hari berikutnya dari tanggal penjualan melalui
telegram, pos, atau surat tercatat. Apabila kreditur lalai memberitahu kepada debitur dalam
jangka waktu yang telah ditentukan tersebut, maka kreditur dikualifikasi melakukan Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) dan debitur dapat menuntut ganti rugi kepada kreditur (Pemegang
Gadai) berdasarkan Pasal 1365 KUHPer.
Eksekusi Hipotek Kapal laut

Pemegang Hipotek Kapal Laut (Kreditor) dapat menempuh cara pemenuhan pembayaran utang
apabila debitur melakukan wanprestasi, melalui upaya hukum sebagai berikut: :

a. Proses litigasi.

Mengajukan gugatan perdata dalam bentuk gugatan kontentiosa melalui Pengadilan Negeri
sesuai dengan kompetensi relatif dalam Pasal 118 HIR.

b. Mengajukan permintaan eksekusi.

Berdasarkan Pasal 224 HIR Pasal 440 Rv, hipotek termasuk bentuk grosse akta. Apabila pada
sertifikat hipoteknya dicantumkan titel eksekutorial irah-irah DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, maka pada hipotek itu melekat
kekuatan eksekutorial (executoriale kracht) karena undang-undang sendiri mempersamakannya
dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Apabila debitur cidera janji, Kreditur dapat meminta fiat eksekusi kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang kemudian akan mengambil tindakan prosedur sesuai Pasal 196 dan Pasal 197 HIR
hingga mengeluarkan penetapan Sita Eksekusi (executoriale beslag) atas barang obyek hipotek.
Selanjutnya panitera atau juru sita akan melakukan penyitaan, membuat Berita Acara Penyitaan,
dan mengumumkan penyitaan dengan cara mendaftarkannya pada kantor pejabat yang
berwenang sesuai Pasal 198 HIR. Setelah Ketua PN menerbitkan Penetapan Penjualan Lelang
(executoriale verkoop) berdasarkan pasal 200 ayat (1) HIR, maka dilakukan penjualan lelang
dengan perantaraan Kantor Lelang.

c. Penjualan lelang oleh kreditor berdasarkan kuasa sendiri.

Hal ini dapat dilakukan apabila akta hipotek memuat klausul eigenmachtige verkoop
sebagaimana dimaksud Pasal 1178 KUHPer.

Dalam hal debitur cidera janji, kreditur dapat menjual barang hipotek tanpa memerlukan
intervensi Pengadilan Negeri, tetapi penjualannya harus dilakukan di muka umum melalui lelang
dengan bantuan dari Kantor Lelang.

d. Penjualan di bawah tangan.

Mengacu pada Pasal 224 HIR dan Pasal 1178 ayat (2) jo. Pasal 1211 KUHPer, obyek hipotek
kapal laut tidak boleh dijual oleh kreditur melalui penjualan di bawah tangan. Namun, dengan
menggunakan pendekatan secara analog terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUHT, maka dapat
dibenarkan penjualan di bawah tangan atas obyek hipotek kapal laut. Cara pelaksanaannya
sepenuhnya berpedoman pada Pasal 20 UU HT tersebut.

Eksekusi Hipotek Pesawat Terbang


Pemegang Hipotek Pesawat Terbang (Kreditor) dapat menempuh cara pemenuhan pembayaran
utang apabila debitur melakukan wanprestasi, melalui upaya hukum yang sama dengan upaya
hukum dalam Eksekusi Hipotek Kapal Laut sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian di atas.

Namun, berdasarkan Pasal 763 Rv terdapat larangan-larangan penyitaan atas pesawat terbang,
yaitu apabila:

1. Pesawat terbang yang khusus digunakan untuk keperluan negara asing, termasuk di
dalamnya :

§ Angkutan pos, tetapi dikecualikan angkutan perdagangan;

§ Pesawat terbang yang nyata-nyata digunakan pada lalu lintas udara secara teratur untuk
angkutan umum dan pesawat terbang cadangan yang mutlak khusus disediakan untuk itu.

2. Setiap pesawat terbang lain yang digunakan untuk mengangkut orang-orang atau barang-
barang dengan pembayaran, apabila pesawat terbang tersebut telah siap untuk berangkat terbang
melakukan pengangkutan, kecuali apabila tuntutan yang terjadi berupa utang yang dibuat untuk
keperluan perjalanan tersebut atau berdasarkan tuntutan yang timbul dari perjalanan.

Penyitaan pesawat terbang dapat diganti dengan jaminan yang cukup, berupa uang, barang
bergerak ataupun barang tidak bergerak dengan syarat nilai harga barang tersebut cukup
menutupi jumlah tuntutan (utang pokok dan bunga) dan barang yang diberikan mudah dijual
(marketable).

Jenis-Jenis Pembiayaan Selain Kredit

Selain pemberian pinjaman dalam bentuk kredit kepada debitur, kreditur dapat juga memberikan
dana atau barang lainnya kepada debitur dalam bentuk pembiayaan.

Subjek yang memberikan pembiayaan adalah:

- Pihak Lembaga Pembiayaan

- Bank

- Perusahaan Swasta

- Masyarakat

Jenis-jenis Pembiayaan (selain kredit) dapat berupa:

1. Sewa Guna Usaha (Leasing)


2. Anjak Piutang (Factoring)
3. Modal Ventura (Venture Capital)
4. Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance)
5. Pembiayaan dengan Kartu Kredit

Ketentuan Hukum di bidang Perusahaan Pembiayaaan diatur dalam :

- Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 Tentang Perusahaan Pembiayaan;

- Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan Pembiayaan.

Sewa Guna Usaha (Leasing)

Leasing adalah suatu kegiatan pembiayaan lewat penyediaan barang-barang modal untuk
digunakan oleh suatu perusahaan (debitur atau lessee) untuk suatu jangka waktu tertentu,
berdasarkan pembayaran secara berkala yang disertai atau tanpa disertai dengan hak pilih (hak
opsi) dari perusahaan (debitur atau lesse) untuk membeli barang-barang modal yang
bersangkutan di akhir masa leasing atau memperpanjang jangka waktu leasing tersebut
berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama.

Dasar hukum bagi suatu leasing, di samping kontrak leasing yang dibuat antara kedua belah
pihak adalah juga perundang-undangan di bidang keuangan dan pembiayaan.

Jenis-jenis leasing adalah sebagai berikut:

1. Operating Leasing; merupakan leasing dimana di akhir masa leasing tidak diberikan hak pilih
(opsi) bagi lessee untuk membeli barang leasing tersebut.
2. Financial Leasing; merupakan leasing dimana di akhir masa leasing diberikan hak pilih (opsi) bagi
lessee untuk memiliki barang modal tersebut dengan jalan membelinya dengan harga yang
ditetapkan bersama.
3. Sale and Lease Back; merupakan jenis leasing dimana barang modal berasal dari lessee sendiri
yang kemudian barang tersebut dijual kepada lessor (pemberi dana) dan selanjutnya lessor
menyewakan barang tersebut kepada lessee kembali, yang biasanya menggunakan jenis
financial leasing.

Anjak Piutang (Factoring)

Anjak piutang (Factoring) adalah pembiayaan jangka pendek tanpa kolateral. Pembiayaan
tersebut dilakukan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan/pengambilalihan serta
pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari suatu perusahaan. Tagihan tersebut berasal
dari transaksi perdagangan dalam maupun luar negeri.

Dasar hukum bagi factoring adalah kontrak factoring itu sendiri. Selanjutnya, terdapat berbagai
perundang-undangan tentang factoring dan pengaturan tentang pengalihan piutang (cessie)
dalam KUH Perdata dan perundang-undangan di bidang keuangan dan pembiayaan.

Jenis-jenis factoring adalah sebagai berikut:

1. Recourse Factoring, yaitu factoring dimana setelah transaksi factoring terjadi, pihak klien masih
bertanggung jawab.
2. Non-Recourse Factoring, yaitu factoring dimana setelah transaksi factoring terjadi, pihak klien
tidak lagi bertanggung jawab.
3. Domestic Factoring, yaitu factoring semua pihak berada dalam 1 (satu) negara.
4. International Factoring, yaitu factoring dimana pihak customer-nya berada di luar negeri.
5. Factoring dengan Account Receivables, yaitu factoring dimana yang dialihkan adalah bukti
tagihan berupa invoice dagang.

Modal Ventura (Venture Capital)

Modal Ventura (venture capital) adalah suatu pembiayaan oleh perusahaan modal ventura
(investor) dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan
pembiayaan (investee company, yaitu perusahaan pasangan pengusaha) untuk jangka waktu
tertentu, dimana setelah jangka waktu tersebut lewat, maka pihak investor akan melakukan
divestasi atas saham-sahamnya itu. Kegiatan modal ventura ini mempunyai fungsi yang
multidimensi, yaitu sebagai lembaga finansial, sebagai corporate institution (karena adanya
penyertaan equity), dan sebagai lembaga penolong pengusaha lemah.

Dasar hukum transaksi modal ventura adalah: kontrak modal ventura, perundang-undangan
perseroan terbatas, dan perundang-undangan di bidang keuangan dan pembiayaan.

Karakteristik yuridis dari modal ventura adalah sebagai berikut:

1. Pihak-pihak yang terlibat dalam modal ventura adalah: pihak perusahaan modal ventura
(investor) dan perusahaan pasangan usaha (investee company). Kadang-kadang terlibat juga
pihak penyandang dana dari pihak ketiga;
2. Adanya pemberian dana kepada perusahaan pasangan usaha (investee company);
3. Dana tersebut ditanam dalam bentuk equity ke dalam perusahaan pasangan usaha, termasuk
ikut dalam manajemen perusahaan pasangan usaha;
4. Investasi ke dalam perusahaan pasangan usaha tidak bersifat permanen dan tidak juga bersifat
jangka pendek tetapi bersifat jangka menengah atau jangka panjang. Misalnya, untuk jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun;
5. Modal ventura merupakan investasi tanpa jaminan karena itu diperlukan kehati-hatian yang
tinggi dari pihak investor;
6. Prototipe dari modal ventura adalah pembiayaan terhadap perusahaan kecil dan pemula, tetapi
memiliki potensial yang besar untuk berkembang.

Merujuk pada karakteristik dari Modal Ventura tersebut di atas, maka jenis pembiayaan ini
merupakan pilihan yang menarik untuk perusahaan kecil dan pemula khususnya untuk kegiatan
pengembangan suatu penemuan/inovasi, karena resiko Debitur dalam jenis pembiayaan ini lebih
kecil dibandingkan jenis pembiayaan lainnya dan perusahaan modal ventura sudah sangat
memahami resiko kegagalan inovasi atau usaha yang dijalankan oleh investee company, sehingga
perusahaan modal ventura kerap disebut sebagai malaikat (angel).

Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance)

Pembiayaan Konsumen merupakan kegiatan penyediaan dana bagi konsumen oleh perusahaan
pembiayaan untuk membeli barang-barang konsumsi yang pembayarannya dilakukan secara
angsuran atau berkala oleh konsumen. Jaminan hutang dari pembiayaan konsumen ini adalah
barang konsumen yang menjadi objek pembiayaan konsumen tersebut, biasanya dalam bentuk
fidusia. Pihak yang terlibat dalam transaksi pembiayaan konsumen adalah:

- Pihak Kreditur (Perusahaan Pembiayaan)

- Pihak Konsumen (Debitur)

- Pihak Supplier (Yang menyediakan barang)

Jika kegiatan ini dilakukan oleh bank, maka bentuk pinjaman yang mirip dengan pembiayaan
konsumen disebut dengan kredit konsumsi, sehingga dasar hukum bagi kredit berlaku juga bagi
pembiayaan konsumen, kecuali ketentuan tentang perbankan, tetapi ditambah dengan ketentuan-
ketentuan tentang keuangan dan pembiayaan.

Pembiayaan dengan Kartu Kredit

Kartu kredit merupakan suatu kartu yang umumnya dibuat dari bahan plastik, dengan
dibubuhkan identitas dari pemegang dan penerbitnya, yang memberikan hak terhadap siapa kartu
kredit diisukan untuk menandatangani tanda pelunasan pembayaran harga dari jasa atau barang
yang dibeli di tempat-tempat tertentu, seperti toko, hotel, restoran, dan lain-lain. Selanjutnya,
pihak penerbit kartu kredit dibebankan kewajiban untuk melunasi harga barang atau jasa tersebut
ketika ditagih oleh pihak penjual barang atau jasa. Kemudian penerbit kartu kredit berhak untuk
menagih kembali pelunasan harga tersebut dari pihak pemegang kartu kredit plus biaya-biaya
lainnya, seperti bunga, biaya tahunan, uang pangkal, dan lain-lain.

Para pihak yang terlibat dalam proses transaksi dengan kartu kredit adalah:

- Penerbit (bank atau lembaga pembiayaan)

- Pemegang Kartu Kredit

- Penjual barang/jasa

- Perantara, berupa perantara penagihan (antara penjual dengan penerbit) dan perantara
pembayaran (antara pemegang dan penerbit)

Kartu kredit ada 2 (dua) macam, yaitu:

1. Kartu kredit (credit card), dengan sistem pembayaran secara cicilan (meskipun dapat juga
dibayar lunas); dan

2. Kartu pembayaran lunas (charge card), dengan sistem pembayaran lunas ketiga ditagih.
Dasar hukum bagi pembiayaan dengan kartu kredit adalah kontrak kartu kredit (biasanya hanya
berbentuk pengisian formulir) serta perundang-undangan tentang perkreditan dan hutang-piutang
dalam KUH Perdata, dan perundang-undangan di bidang keuangan dan pembiayaan.

Penyelamatan dan Penyelesaian Kredit Bermasalah

Kredit bermasalah atau non performing loan, merupakan resiko yang terkandung dalam setiap
pemberian kredit oleh bank. Resiko tersebut berupa keadaan dimana kredit tidak dapat kembali
tepat pada waktunya.

Strategi yang dapat ditempuh oleh bank untuk mengatasi kredit bermasalah, yaitu:

(1) Penyelamatan Kredit, yaitu suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui
perundingan kembali antara kreditur dan debitur;

(2) Penyelesaian Kredit, yaitu suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga
hukum.

Penyelamatan Kredit Bermasalah

Dalam upaya penyelamatan kredit bermasalah dapat ditempuh melalui beberapa cara, sebagai
berikut:

(1) Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal
pembayaran dan atau jangka waktunya.

(2) Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat
kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan atau
persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit.

(3) Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa: penambahan
dana bank, dan/atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru,
dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan, yang
disertai dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan kembali.

Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Lembaga Hukum

Beberapa upaya penyelesaian kredit bermasalah melalui kelembagaan hukum, yaitu melalui:

(1) Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara
(DJPLN);

(2) Badan Peradilan;

(3) Arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa.


Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui PUPN dan DJPLN

PUPN dan DJPLN merupakan lembaga yang dibentuk pemerintah khusus untuk menyelesaikan
hutang-hutang kepada negara atau hutang kepada badan-badan yang secara langsung maupun
tidak langsung dikuasai negara. Lembaga ini dibentuk untuk mempercepat, mempersingkat, dan
mengefektifkan penagihan piutang negara. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka pemerintah
membentuk lembaga PUPN. Untuk menyelenggarakan operasional pengurusan piutang negara,
yaitu pelaksanaan keputusan PUPN, maka dibentuklah DJPLN yang semula bernama Badan
Urusan Piutang Negara (BUPN)/Badan Urusan Piutang Lelang Negara (BUPLN).

Mekanisme penyelesaian piutang negara dilakukan melalui beberapa tahapan, sebagai berikut:

(1) Perundingan oleh Panitia dengan penanggung hutang, dan setelah diperoleh kata sepakat
tentang jumlah hutangnya yang masih harus dibayar, termasuk bunga uang, denda, serta biaya-
biaya yang bersangkutan dengan piutang ini, maka Ketua Panitia dan penanggung
hutang/penjamin hutang membuat suatu pernyataan bersama yang memuat jumlah tersebut dan
memuat kewajiban penanggung hutang untuk melunasinya;

(2) Pernyataan bersama tersebut mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim yang
telah berkekuatan hukum tetap;

(3) Pelaksanaan dilakukan oleh Ketua Panitia dengan suatu surat paksa, melalui cara penyitaan,
pelelangan barang-barang kekayaan penanggung hutang/penjamin hutang dan penyanderaan
terhadap penanggung hutang dan pernyataan lunas piutang negara.

Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Badan Peradilan

Setiap kreditur dapat mengajukan gugatan untuk memperoleh keputusan pengadilan apabila
debitur tidak memenuhi kewajibannya. Peradilan yang dapat menyelesaikan dan menangani
kredit bermasalah, yaitu peradilan umum melalui gugatan perdata, dan peradilan niaga melalui
gugatan kepailitan.

Tujuan kreditur mengajukan gugatan kepada debitur antara lain:

(1) Untuk memperoleh perlindungan hukum dari pengadilan yaitu untuk melaksanakan haknya
menagih secara paksa kepada debitur agar membayar kembali hutangnya berdasarkan keputusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

(2) Jika debitur berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tersebut tidak
secara sukarela melunasi hutangnya, maka putusan itu dilaksanakan atas dasar perintah Ketua
Pengadilan yang memerintahkan kantor lelang untuk menyita dan melelang harta milik debitur,
baik yang dijaminkan atau harta lain yang tidak menjadi jaminan. Dari hasil pelelangan itu
kreditur memperoleh pembayaran piutangnya.

Kelemahan dari penyelesaian kredit bermasalah melalui badan peradilan adalah pelaksanaannya
kurang efektif karena memerlukan waktu yang relatif lama dan biaya yang mahal.
Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Arbitrase Atau Badan Alternatif Penyelesaian
Sengketa

Dasar penyelesaian sengketa melalui arbitrase diatur dalam UU No. 30/1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase).

Secara umum, pada bagian akhir perjanjian kredit dapat dicantumkan suatu klausula yang
menentukan bahwa apabila timbul sengketa sebagai akibat dari perjanjian tersebut, para pihak
akan memilih penyelesaian melalui arbitrase (perwasitan). Penyelesaian melalui arbitrase dapat
dijalankan apabila dalam perjanjian kredit, sebelum timbul sengketa (sebelum timbulnya kredit
bermasalah), telah dimuat klausul arbitrase, atau suatu perjanjian arbitrase sendiri yang dibuat
para pihak setelah timbulnya kredit bermasalah tersebut. Cara penyelesaian melalui arbitrase
dilakukan melalui lembaga arbitrase, yaitu suatu badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu.

Keuntungan penggunaan lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa, antara lain:

(1) Penyelesaiannya relatif tidak memerlukan waktu yang lama;

(2) Sifatnya tertutup sehingga diharapkan nama baik para pihak terjaga;

(3) Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan
adil;

(4) Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses
dan tempat penyelenggaraan arbitrase;

(5) Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan langsung dapat
dilaksanakan.

Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Debitur

Perlindungan hukum dalam bidang perkreditan merupakan faktor penting untuk


menciptakan kepastian hukum, manfaat, dan keadilan bagi para pihak dalam
Perjanjian Kredit.

Meskipun dalam prakteknya debitur menghadapi resiko yang lebih kecil


dibandingkan dengan kreditur, namun sering terjadi posisi hukum Debitur lebih
lemah di dalam perjanjian kredit dan oleh karena itu Debitur perlu memahami
Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Debitur.

Perlindungan Hukum Nasabah Debitur Dalam Undang-Undang Perbankan

UU Perbankan tidak mengatur secara langsung tentang perlindungan bagi Debitur, namun
mengatur tentang pembinaan dan pengawasan bagi Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Oleh karena di dalam UU Perbankan tidak terdapat bentuk perlindungan bagi nasabah Debitur,
maka salah satu solusi untuk memberikan perlindungan bagi nasabah Debitur dari kesulitan
keuangan untuk menyelesaikan kewajibannya kepada Bank, dilakukan dengan Program
Penyehatan Perusahaan. Program ini dilakukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan
Debitur yang dituangkan dalam suatu Perjanjian tertulis. Dalam Perjanjian ini ditentukan bahwa
apabila Program Penyehatan Perusahaan gagal atau tidak berhasil menyelamatkan atau
menyehatkan kembali perusahaan Debitur, maka Debitur menyetujui Kreditur untuk melakukan
proses eksekusi jaminan melalui pengadilan.

Program Penyehatan Perusahaan untuk memberikan perlindungan bagi nasabah Debitur dapat
dilakukan dengan cara:

1. Pemberian moratorium kepada Debitur.

Selama masa moratorium, Debitur tidak perlu membayar baik bunga maupun hutang pokoknya;

2. Melakukan penjadualan kembali pelunasan kredit (rescheduling).

Debitur diberikan perpanjangan jadual angsuran maupun jangka waktu kredit secara
keseluruhan;

3. Melakukan pensyaratan kembali perjanjian kredit (reconditioning)

Perubahan syarat-syarat perjanjian kredit, termasuk jadual angsuran dan syarat-syarat yang lain;

4. Melakukan restrukturisasi kredit (restructuring)

Debitur diberikan pengurangan jumlah hutang pokok, penurunan tingkat suku bunga, dan kalau
diperlukan diberikan tambahan hutang (kredit injeksi);

5. Melakukan konversi kredit menjadi modal perseroan;

6. Memasukkan modal baru oleh pemegang saham lama atau pemegang saham baru;

7. Menjual aktiva yang tidak produktif atau yang tidak langsung diperlukan untuk kegiatan usaha
perusahaan Debitur;

8. Mengganti pengurus/direksi dan atau pengawas/komisaris dari perusahaan Debitur;

9. Melakukan hal-hal yang dianggap perlu dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Perlindungan Hukum Nasabah Debitur Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen


UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) adalah undang-undang
payung yang akan memayungi pelbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait
dengan perlindungan terhadap konsumen.

Nasabah Debitur merupakan konsumen dari Bank atau perusahaan pembiayaan yang
menggunakan jasanya dalam transaksi kredit ataupun pembiayaan.

Salah satu upaya perlindungan konsumen yang berkaitan dengan pelayanan jasa yang diberikan
oleh Bank atau Perusahaan Pembiayaan selaku pelaku usaha tercantum dalam Pasal 18 UUPK
tentang pencantuman klausul baku.

Perlindungan hukum bagi nasabah Debitur berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUPK yaitu:

1. Pelaku Usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klusula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian
apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan
atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atas pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat
atau tidak dapat dibaca dengan jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud point (1) dan (2) di atas dinyatakan batal demi
hukum.

4. Setiap pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan UUPK.

Rujukan dan Sumber-sumber yang bermanfaat

Djumhana, Muhamad. 2000. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Harahap, M. Yahya. “Penyelesaian Sengketa Dagang Melalui Arbitrase” dalam Varia


Peradilan Tahun VIII No. 88, Januari 1993.

———–, M. Yahya. 2006. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata (Edisi
Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.

Ibrahim, Johannes. 2003. Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan


Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank. Bandung: CV. Utomo.

Rahman, Hasanuddin. 1995. Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di


Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sjahdeni, Remy Sutan. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.

Soewarso, Indrawati. 2002. Aspek Hukum Jaminan Kredit. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.

Subekti. 1979. Hukum Perjanjian (Cetakan Keenam). Jakarta: Intermasa.

———-. 1995. Aneka Perjanjian (Cetakan Kesepuluh). Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sutarno. 2004. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. Bandung: Alfabeta.

Suyatno, Thomas, et.al. 2003. Dasar-Dasar Perkreditan. Cetakan Keempat. Jakarta: Gramedia

Syahrani, Riduan. 1992. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni.

Sumber: http://marantalawyer.com

Berita Terkait :

 Rekomendasi BPK Wajib Ditindaklanjuti


 Hari Menurut KUHAP dan KUHP
 Istilah-Istilah Yang Tepat Pada Badan atau Pejabat TUN
 Perbuatan Melawan Hukum Oleh Aparatur Negara
 Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi

Cari Arsip D
Tulisan Terbaru

 Contoh Surat Gugatan Sengketa Jasa Konstruksi


 Surat Dukungan Bank atau Rekening Koran
 Surat Gugatan Untuk Menguji Persyaratan Tender
 Kumpulan Tanya Jawab Aanwijzing Merupakan Bagian Dokumen Pengadaan
 Industri Yang Diprioritas Untuk Dikembangkan
 Rekomendasi BPK Wajib Ditindaklanjuti
 Hari Menurut KUHAP dan KUHP
 Istilah-Istilah Yang Tepat Pada Badan atau Pejabat TUN
 Pertanyaan Aanwijzing Terkait Personil Inti dan Peralatan Utama
 Bangunan Sederhana, Tidak Sederhana dan Khusus
 Tanggapan Asbun LKPP Terkait Pertanyaan Tentang Personil Inti (2)

 Beranda
 Daftar isi
 Tentang Kami
 Dunia Tender
 Polhukam
 Konsultasi Masalah Tender
 Hubungi Kami

Log in | Design by Varidati

Anda mungkin juga menyukai