Anda di halaman 1dari 5

#NovelZilza

#Likuifaksi

#KisahNyataBencanaLembahPalu

#Part 12

SEPENGGAL KISAH DARI BALIK BENCANA GEMPA, LIKUIFAKSI, DAN TSUNAMI PALU, DONGGALA, SIGI
(12)

"Kakakmu ke mana, Nak!!?. Kakakmu di mana!!?"

"Itu suara mama kak!! "

Sampai di sini, Wiwi kembali berhenti sejenak. Menarik nafas pelan. Lalu mengeluarkannya dengan
satu hembusan. Seperti hendak menghempaskan semua beban dan rasa sesak yang menghimpit rongga
dadanya sejak tadi.

Saya sendiri begitu mengetahui kalau perempuan yang menepuk pundaknya sambil menanyakan
keadaan si Dede itu, ternyata mama, seperti diliputi rasa lega yang tiba-tiba. Rasa lega yang teramat
sangat. Bercampur keharuan. Bayangan-bayangan mengerikan akan kehilangan mama, seketika sirna.
Berganti rasa lapang. Yang seperti menyeruak begitu tiba-tiba. Di seluruh rongga dada. Begitu
lapangnya. Selebihnya keharuan pun tak terhindarkan. Tak terlukiskan pula rasa senangnya.

"Seketika mendengar suara yang begitu dikenal itu, saya langsung berbalik", Wiwi kembali melanjutkan.

Ketika berbalik dan melihat kalau yang di depan saya itu benar-benar mama, saya tidak mampu lagi
berkata apa-apa kak. Saya seperti tercekat oleh kegembiraan yang luar biasa. Rasa gembira yang
membuat saya hanya bisa menangis sambil menyebut-nyebut mama dengan suara lirih.
"Mamapun begitu. Sejenak seperti tak dapat berbuat lain, kecuali merangkul dan memeluk saya. Hanya
sejenak kemudian, mama setengah berbisik berkata: "Alhamdulillaah nak, kita selamat. Allah masih
melindungi kita. Allah masih memberi kesempatan hidup untuk kita".

Mendengar kata-kata mama demikian, membuat saya makin dicekam rasa haru. Sekaligus gembira dan
syukur tak terhingga.

Namun seperti tiba-tiba sadar akan sesuatu, mama merenggangkan pelukannya. Lalu serta merta
mengulurkan tangannya ke Dede. Yang sejak tadi seperti terus diam tak bergerak di dalam gendongan
saya. Mama meraba-raba selimut bayi yang masih merah itu. Seperti hendak memastikan sesuatu. Tak
puas dengan hanya meraba begitu, mama dengan nada suara sangat khawatir, mengulangi
pertanyaannya. Pertanyaan yang sudah dia ajukan ketika tadi pertama kali menepuk pundak saya: " si
Dede masih bernafas, nak? "

Pertanyaan mama itu membuat saya seketika seperti tersadar pula. Sejak tadi ketika mengambil si Dede
dari gendongan mama di teras masjid yang rubuh itu, saya benar-benar hanya fokus berlari
sekencangnya. Berusaha sedapat-dapatnya menyelamatkan diri dari terjangan lumpur. Tanpa sempat
lagi memeriksa keadaan si Dede. Yang anehnya sejak pertama kejadian, tak sedikitpun terdengar
mengeluarkan suara. Apalagi suara tangisan."

"Belum lagi sempat saya menjawab atau memeriksa keadaan si Dede, mama dengan gerak tak sabar
segera mengambil alih si Dede dari gendongan saya. Menggendong dengan setengah mengangkatnya.
Mendekatkan hidung lalu dada si dede ke telinganya. Benar-benar ingin memastikan keadaan si Dede.
Seperti mengerti maksud neneknya, bayi mungil itu memberi respon dengan gerakan halus dari balik
selimutnya. Gerakan pertanda kehidupan itu, terlihat cukup jelas dibantu sorotan lampu ratusan
kendaraan di sekitar kami yang masih terjebak macet. Mengetahui keadaan si Dede sepertinya baik-baik
saja, mama terlihat begitu lega. Saya pun tentu ikut lega. Sangat lega."

"Alhamdulillah cucuku tidak apa-apa", kata mama kemudian dengan penuh suka cita.

"Ayo nak, kita ke sana. Inka, Rangga, dan bundanya tadi ada di sana."

"Sambil berkata demikian, mama memberi isyarat kepada saya untuk berjalan mengikutinya ke arah
Selatan. Ke arah pomba bensin. Beriringan kami melangkah ke arah yang ditunjukkan mama. Si Dede
kini sepenuhnya dalam gendongan mama. Masih seperti sebelumnya. Tenang. Begitu tenang." Kali ini
seperti ada sedikit nada ceria dari suara adik bungsu saya itu. Dan dengan nada suara yang sama, ia
kembali melanjutkan:
"Berjalan dengan bayi di gendongan seperti itu, mama seperti tidak merasa lelah. Padahal usia mama
saat ini sudah genap 70 tahun. Sudah pula mengidap penyakit jantung. Yang hampir rutin setiap bulan
kontrol ke dokter spesialis. Rasa gembira dan syukur yang demikian besar agaknya telah mengalahkan
semua rasa lelah, letih, bahkan penyakit kronis sekalipun.

Sekira 250 meter kami berjalan ke arah selatan, kami akhirnya bertemu dengan teh Susi, Inka dan
Rangga. Kedua anak itu, berdiri mengapit bundanya. Dengan gestur tubuh seperti berjaga-jaga. Kalau-
kalau sesuatu terjadi. Pada bundanya yang masih dengan botol infus melekat di lengannya itu.

Bertemu kembali dengan teh Susi, Inka, dan Rangga, membuat kami semua merasa sangat lega. Namun
tak pelak juga mama tetap saja bertanya:

"Neng tidak apa-apa"?.

Pertanyaan mama seperti mewakili kekhawatiran kami semua. Tentang kondisi teh Susi. Setelah tadi
terpaksa harus berlari sekuat tenaga. Menjauh dari terjangan lumpur. Sambil menghindari reruntuhan
bangunan. Hal yang mestinya tak dilakukan oleh seorang ibu yang baru saja usai melahirkan. Resiko fatal
yang dapat mengancam jiwa, minimal pendarahan , bisa saja terjadi."

"Jadi keadaan teteh sekarang bagaimana?".

Dengan perasaan yang tak kalah khawatirnya, serta merta saya menyergah. Suasana di sekitar kami saat
itu, masih juga seperti tadi. Macet total. Berbagai jenis kendaraan masih terus berdatangan. Dari segala
arah. Suara kendaraan dan manusia bercampur jadi satu. Membuat suasana hiruk pikuk di sekitar kami
tak terhindarkan. Sumber cahaya di sekitar kami, hanya berasal dari lampu kendaraan-kendaraan itu.
Itupun terbatas hanya di jalanan itu. Beberapa meter di sekitar kami, suasananya gelap. Listrik sejak tadi
sudah padam total. Hampir bersamaan dengan guncangan besar pertama.

Dalam suasana seperti itu, berdua kami masih berjalan pelan ke arah Selatan. Menuju tempat neng Susi,
mama, Inka, Rangga, dan Dede kini berada.

"Jadi teteh sekarang bagaimana?".

Saya kembali bertanya dengan tak sabar. Wiwi yang harus menghindari tabrakan dengan seorang laki-laki
yang berjalan dengan tergesa-gesa dari arah berlawanan itu, memang tidak bisa langsung menjawab
pertanyaan saya.

"Syukurlah teteh tidak apa-apa, kak. Hanya masih lemes saja. Tapi tadi sudah sempat minum. Ada bapak-
bapak tadi yang kasih air mineral. Bapak itu ngasih air ke teteh setelah melihat saya baru saja mencabut
infus dari tangan teteh. Saya terpaksa beranikan diri cabut infusnya kak. Takut karena infusnya tidak lagi
berfungsi normal, malah membuat darah keluar dari tangan teteh."

"Alhamdulillah". Ucapan itu seperti refleks keluar dari mulut saya. Lega rasanya setelah mendengar
semua orang-orang tercinta bisa selamat. Meskipun belum lagi sempat bertemu. Mereka kini hanya
tinggal berjarak puluhan meter dari kami. Hanya belum lagi terlihat. Tertutup oleh tumpukan kendaraan
dan lalu lalang orang. Juga oleh suasana gelap. Tapi setidaknya sudah ada kepastian. Mereka semua
selamat. Sangat lega rasanya.

"Hanya mama, kak". Saya yang baru saja dihinggapi rasa lega, mendengar Wiwi kembali berkata dengan
nada agak aneh seperti itu, segera pula seperti tersentak.

"Kenapa mama!!?", saya bertanya setengah menyergah. Rasa khawatir kembali menyeruak.

"Tadi setelah selesai saya melepas infus dari tangan teteh, mama terus-menerus bertanya tentang kakak.
Mama sangat takut kalau kakak tidak bisa menyelamatkan diri. Karena seingat mama, posisi terakhir
kakak ketika kami semua berlari menyelamatkan diri dari terjangan lumpur itu, masih berada di dalam
RS. Mengambil kursi untuk tempat duduk teteh. Kami masih sempat melihat kakak. Mengangkat sebuah
kursi sambil berusaha menghindari bertabrakan dengan orang-orang yang berlarian dari arah lapangan
itu. Mama sangat menyesal telah menyuruh kakak masuk lagi ke dalam RS untuk mengambil kursi itu.
Sebelum saya ke sini tadi, mama terus-terusan bertanya:

"Kakakmu kemana, Nak!!. Kakakmu di mana!!. Kenapa juga tadi mama suruh lagi dia ambil kursi ke
dalam RS. Kakakmu nak!!. Kakakmu di mana dia sekarang".

Bersambung ke Part 13

Anda mungkin juga menyukai