PENDAHULUAN
“perintah dan larangan tuhan yang berhubungan dengan tingkah laku kehidupan
manusia”
Dengan demikian,shari’ah hanya bersentuhan dengan hukum syara’yang bersifat
praktis dan tidak menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan akidah.ketika kata maqasid di
nisbatkan pada kata shari’ah maka yang segera terlintas dalam benak pikiran adalah
tujuan-tujuan hukum shara’ (fiqh),baik maqosid shari’ah sebagai teori penggalian hukum
(al-ijtihad al-maqasidi) maupun sebagai contoh penerapan hukum dengan basis maqasid
al-shari’ah.menurut abd al-majid al-najjar,seharusnya wilayah kajian maqasid al-syari’ah
menyentuh apa saja yang dapat di katakana sebagai perintah dan larangan tuhan.baik
dalam tataran tingkah laku manusia maupun dalam akidah aspek-aspek lainnya dalam
kehidupan manusia.setiap perintah manusia tentu memiliki tujuan (maqsid) yang
menuntut untuk di realisasikan,baik di dunia maupun di akhirat.perintah beriman kepada
allah swt’misalnya,bertujuan untuk merealisasikan kenangan jiwa di dunia sebelum
mendapat kenikmatan surgawi di akhirat.berkaitan dengan tujuan ini,allah menegaskan
bahwa al-ra’d ayat 28: ala bi dzikr allah tatmainn al qulub (ketahuilah,dengan mengingat
allah hati menjadi tenang).
Sebelum al-tahir bin ashur,maqosid as’syariah belum di definisikan oleh tokoh
maqasid,termasuk oleh al-shatibi,konseptor maqashid pertama dalam karyanya,al-
muwafaqat. Adapun alasan mengapa al-shatibi mengesampingkan definisi maqasid as-
syari’ah,menurut musfir bin ali al-qahtani,ada dua kemungkinan pertama’bahwa al-
muwafaqat yang di tulis al-shatibi hanya untuk konsumsi kalangan ulama yang betul-
betul mendalam dan punya perhatian terhadap ilmu syariat.oleh karena itu,dia tidak
merasa butuh untuk memberikan defenisi sesuatu yang udah sama-sama di ketahui oleh
kalangan ulama yang betul-betul mendalam dan punya perhatian terhadap ilmu
syariat.oleh karena itu,dia tidak merasa butuh untuk memberikan definisi sesuatu yang
sudah sama-sama di ketahui oleh kalangan ulama:kedua,focus kajian al-syatibi dalam al-
muwafaqat adalah membangun teori maqasid yang belum terjamah oleh ulama
sebelumnya.walaupun secara khusus al-syatibi tidak mendefinisikannya,penjelasan detail
yang ia paparkan mengantarkan pembaca pada defenisi maqasid as’syariah.
Setelah al-syatibi,konsep maqasid al-syariah mengalami perkembangan pesat,dan
para ulama sadar bahwa kajian yang mereka kaji perlu di defenisikan sedemikian
rupa,sesuai kaidah-kaidah baku dalam memberikan defenisi,yaittu jami’ dan
mani’(konprehensif).menurut al-rausuni sebagaimana di kutib oleh imam
mawardi,syari’ah adalah “sejumlah hukum amaliyah yang di bawa oleh agama islam baik
yang berkaitan dengan konsepsi akidah maupun legislasi hukum islam.”definisi yang di
sebutkan para ulama ketika itu,tujuan-tujuan hukum,makna-makna hukum.definisi
tersebut secara berurutan di sampaikan oleh al-bannani,al-asnawi dan al-
samarkandi.sementara al-ghazali,al-amidi,dan ibn al-hajib mendefinisikannya dengan
“menggapai manfaat dan menolak mafsadat”.dengan demikian,ada kaitan erat antara
maqasid as-syariah dengan hikmah,illat,tujuan atau niat,dan kemaslahatan.pengertian
maqasid al-syariah yang lebih komprensif di kemukakan oleh ibn ‘ashur dan alal al-fasi.
Menurut ibn ashur, maqasid al-tashri al-amah adalah:
“makna-makna dan hikmah-hikmah yang di perhatikan dan di pelihara oleh shari’ dalam
setiap setiap bentuk penentuan hukumnya. Hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-jenis
hukum tertentu sehingga masuklah dalam cakupannya segala sifat, tujuan umum, dan
makna syariat yang terkandung dalam hukum serta masuk pula di dalamnya makna-
makna hukum yang tidak di perhatikan secara keseluruhan tetapi di jaga dalam banyak
bentuk hukum”.
Sementara menurut alal al-fasi maqasid al-syaria adalah:
“tujuan syari’at dan rahasia-rahasia yang di buat syari’ pada setiap hukum syariat itu”.
Definisi maqasid al-syariah tersebut dapat mancover dua sisi kemaslahatan, yakni
kemaslahatan umum dan khusus. Beberapa defenisi maqasid al-syariah pasca alal al-fasi
adalah pengulangan saja, walaupun redaksinya berbeda. Seperti defenisi yang di
sampaikan oleh al-rasyuni berikut:
”maqasid amah adalah tujuan-tujuan luhur yang di peroleh dari sekumpulan hukum-
hukum al-qur’an.
Sementara untuk mengetahui tujuan umum al-quran bisa dengan dua cara:
a. Di ketahui secara mansuah (di tegaskan oleh nas), yakni al-quran dengan tegas
menyebutkan tujuan-tujuan yang di kehendakinya.
Menurut al-raisuni,ada empat tujuan yang secara tegas di sebutkan dalam al-
qur’an:
pertama,mengesankan allah swt.dan beribadah kepadanya.di antara ayat yang
berbicara tentang tujuan ini adalah surah al-zumar ayat 1-2:
“kitab al-qur’an ini di turunkan oleh allah yang maha perkasa lagi maha
bijaksana.sesungguhnya kami menurunkan kepadamu kitab (al-qur’an) dengan
(membawa) kebenaran.maka sembahlah allah dengan memurnikan ketaatan kepadanya.”
Tujuan kedua adalah,petunjuk (hidayah) bagi manusia baik dalam urusan agama
maupun duniawi (maqsad al-hidayah al-diniyyah wa al-dunyawiyyah).ayat yang
berbicara tentang ini adalah surah al-baqarah ayat 1-2:
“alif laam miin. Kitab (al-quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa.”
Tujuan ketiga al-qur’an bersifat mansusah adalah penyucian diri dan mengajarkan
kebijaksanaan.ayat yang berbicara tentang ini adalah surah al-baqarah ayat 151:
“bagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat kami padamu) kami telah mengutus kepadamu
rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan
mengajarkan kepadamu al kitab dan al-hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum
kamu ketahui”.
Tujuan keempat adalah kasih saying dan kebahagiaan, ayat al-qur’an yang
berbicara adalah surah al-anbiya’ ayat 107:
“dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Tujuan kelima adalah menegakkan kebenaran dan keadilan yang secara tegas
dapat di jumpai dalam surah al-an’am ayat 115:
“telah sempurnalah kalimat tuhanmu (al-quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada
yang dapat merubah kalimat-kalimat nya dan dial ah yang maha mendengar lagi maha
mengetahui”.
b. Di ketahui melalui ijtihad, yakni tujuan-tujuan umum yang di peroleh melalui
penelitian induktif terhadap maqasid al-quran (tujuan-tujuan al-quran) dan juga
meneliti apa yang di tunjuk secara universal (dadalah kulliyah) oleh maqasid al-
quran tersebut. Penelitian di bidang ini seharusnya di lakukan oleh orang yang
memang menekuni dan mendalami seluk beluk al-quran dan hidupnya selalu dalam
naungan al-quran.beberapa nama yang di identifikasi sebagai ulama di bidang
maqasid antara lain, al-tirmizi,al-qaffal al-kabir, al-amiri al-failasuf,al-ghazali,dan
yang lainnya.
Maqasid menurut al-ghazali di bagi dalam dua kategori yaitu: tujuan penting,dan
tujuan penyempurna. Tujuan pokok dalam al-quran mencakup tiga hal: memperkenalkan
tuhan yang berhak untuk di sembah,yaitu allah swt.; memperkenalkan jalan yang
lurus,yaitu syariat islam, memperkenalkan kondisi menusia ketika bertemu dengan allah
swt, yaitu hari kiamat.
Ayat al-qur’an yang di anggap paling representatif berkaitan dengan kaidah di atas adalah
surah an-nahl ayat 90:
“sesungguhnya allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,member kepada kaum
kerabat, dan allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Menurut al-biqa’i keseluruhan kandungan al-quran berporos pada tiga tujuan umum,
yaitu penjelasan tentang keyakinan, hukum, dan cerita\hikayat. tiga tujuan umum tersebut
manifestasi surah al-iklas.
Bagi ibn ashur tujuan umum dari al-quran adalah sebagai berikut:
Secara bahasa maslahah adalah sama dengan manfa’ah baik dari bentuk katanya maupun
maknanya.dalam terminologi usul al-fiqh, maslahah di artikan segala sesuatu yang dapat
mewujudkan kebaikan dan terhindarnya segala macam madarrah (bahaya) atau mafsadah
(kerusakan) dalam kehidupan manusia. Dengan demikian,ada atau tidaknya maslahah di ukur
dengan dua hal tersebut.
Di tinjau dari aspek di akui atau tidaknya oleh syariat, menurut al-ghazali, maslahah
terbagi dalam 3 kategori: pertama,maslahah mu’tabarah,yaitu maslahah yang sejalan dengan
kehendak allah.kedua,maslahah batilah (mulghah), yaitu maslahah yang bertentangan dengan
kehendak allah swt. ketiga,adalah kemaslahatan yang nash (teks al-qur’an maupun al-hadith)
membiarkannya tanpa ada kejelasan, apakah termasuk maslahah mu’tabarah (di benarkan
menurut syara’).
Al-ghazali juga mengklasifikasikan maslahah dari aspek adanya legalitas atau tidaknya
dari shari’ (allah dan rasul) dalam tiga kategori: pertama, maslahah mu’aththirah, yaitu
kemaslahatan yang di jelaskan secara langsung dalam teks; kedua,maslahah mulghah (sia-sia)
dan gharibah (asing), yaitu kemaslahatan yang keberadaannya di tolak oleh teks; sementara
maslahah ketiga, adalah maslahah mursalah , yaitu kemaslahatan yang tidak di nyatakan dalam
teks secara langsung namun memiliki kesesuaian spirit dengan maslahah yang di jelaskan dalam
teks.
Dalam usaha merealisasikan dan memelihara lima unsure pokok yaitu:agama, jiwa,
keturunan,akal,dan harta.syatibi membagi kemaslahatan dalam 3 kategori.
1. al-maqasid al-daruriyyat (primer,pokok).
“ sesuatu yang tidak boleh tidak harus ada dalam mewujudkan kemaslahatan agama dan dunia,di
mana apabila ada sesuatu tersebut tidak ada,maka kemaslahatan dunia tidak berjalan dengan
stabil, bahkan rusak dan binasa, dan di akhirat menyebabkan terabaikannya keselamatan (dari
murka allah), kenikmatan, dan kembali kepada allah dengan kerugian yang nyata”.pemeliharaan
terhadap maqasid al-daruriyyat ini menempati peringkat tertinggi dan paling utama di banding
dua maqasid lainnya”.
“adalah sesuatu yang di butuhkan untuk kelonggran dan menghilangkan kesempitan yang
dapat menyebabkan kesulitan, yang berikutnya juga menyebabkan terabaikannya sesuatu
yang di cari. Apabila maqasid tersebut tidak di jaga umumnya orang mukallaf terjebak
dalam kesulitan,namun tidak sampai pada tingkatan kerusakan normal yang di hindari
dalam kemaslahatan umum.”
Qasdu al-syari’fi wad’I al-shari’ah lil al-ifham (tujuan syari’ dalam menetapkan
syari’ahnya agar dapat di fahami).
Menurut al-syatibi,oleh karena al-qur’an turun dengan bahasa arab,maka untuk
dapat memahaminya dengan benar, seseorang harus menguasai betul kaidah-
kaidah bahasa arab.
Qasdu al-syari’fi wad’i al-shari’ah li al-taklifbi muqtadaha (tujuan syari’ dalam
menentukan syariat untuk di laksanakan sesuai dengan yang di tuntut oleh allah).
Berkaitan dengan hal ini,al-shatibi membagi taklif dalam dua kategori: pertama,
taklif yang di luar kemampuan manusia.setiap taklif yang berada di luar
kemampuan manusia maka secara syar’I taklif itu tidak sah meskipun akal
membolehkannya.kedua, taklif yang di dalamnya terdapat mashaqqah, kesulitan.
Menurut al-syatibi, dengan adanya taklif, shari’ tidak bermagsud menimbulkan
mashaqqah bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi sebaliknya ada manfaat
tersendiri bagi mukallaf.
Qasdu al-shari’ fi dukhul al-mukallaf tahta ahkam al-shari’ah (tujuan shari’ dalam
membawa manusia ke bawah naungan hukum).
Menurut al-syatibi,maslahah yang menjadi tujuan shariat islam adalah maslahah
yang mendukung tegaknya kehidupan dunia demi tercapainya kehidupan
akhirat.dengan demikian,maslahah yang hanya memenuhi aspek duniawi dan
mengesampingkan aspek akhirat adalah bukan tujuan shariat.
Pandangan tufi tentang maslahah sebagaimana penulis kemukakan adalah berasal dari
pembahasan hadis no 32 dari kitab al-hadith al-arba’in al-nawawiyyah. Hadith di magsud
adalah berbunyi:
“tidak boleh menyebabkan kerugian pada seseorang dan tidak boleh ada perbuatan
merugikan yang bersifat pembalasan pada seseorang”.
Menurut tufi kandungan hukum yang fundamental dari al-hadith ini adalah:
“tidak sah tindakan menyebabkan kerugian (pada orang lain) kecuali ada sebab khusus
yang men takhsis”
“(beberapa hari yang di tentukan itu ialah) bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya di
turunkan (permulaan) al-quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).karena itu, barang
siapa di antara kamu hadir (di negri tempat tinnggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuaasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang di tinggalkannya itu, pada hari-
hari lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan allah atas petunjuknya yang di berikan
kepdamu, supaya kamu bersyukur”.
“dan berjihadlah kamu pada jalan allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (ikutilah) agama orang tuamu,Ibrahim. Dia (allah) telah menamai kamu
sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam al-quran ini, supaya
rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap
manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada
tali allah. Dia adalah pelindungmu, maka dialah sebaik baik pelindung dan sebaik-baik
penolong.”
Menurut al-tufi,berdasarkan hadith tersebut, bahwa mafsadah harus di hilangkan,
yaitu dengan menghilangkan sesuatu yang bersifat umum kecuali mafsadah yang di
takhsis oleh dalil. Dengan demikian kendungan al-hadith ini harus di dahulukan dari pada
seluruh dalil-dalil hukum lainnya dalam upaya menghindari bahaya dan sekaligus untuk
mencapai maslahah, sebab lanjut al-tufi andaikan sebagian dalil mengandung usur darar
(bahaya) dan kita menghilangkannya dengan mengamalkan kendungan al-hadith tersebut
dengan metode takhsis dan bayan,maka sebenarnya kita mengamalkan dua dalil secara
bersamaan, tetapi bila kita tidak menghilangkan darar maka berarti tidak memberlakukan
salah satu dalil, yakni al-hadith tersebut.
Istilah ijtihad maqasidi (penggalian hukum islam dengan pendekatan maqasid al-shari’ah)
adalah istilah yang di gagas oleh al-shatibi dalam karyanya, al-muwafaqat fi usul al-shari’ah.
Dalam buku tersebut, al-shatibi menyusun kaidah-kaidah maqasidiyyah yang di jadikan pijakan
dalam penggalian hukum islam.menurut Abdurrahman Ibrahim al-kilani, sebagaimana di kutip
oleh imam mawardi, kaidah-kaidah maqasidiyyah yang di gagas oleh al-shatibi dapat di petakan
dalam 3 kategori:
yaitu penentuan hukum-hukum syariat adalah untuk kemaslahatan hamba,baik untuk saat ini
maupun nanti.
“yang bisa di fahami oleh penentuan tuhan adalah bahwa ketaatan dan kemaksiatan di ukur
dengan tingkat kemaslahatan dan kemafsadatan yang di timbulkannya.”
b. Berkaitan dengan kaidah berfikir maqasid sebagai upaya untuk menghilangkan kesulitan
“termasuk dari tujuan syara’ dalam setiap perbuatan adalah tetap konsistennya mukallaf atas
perbuatan tersebut”.
c. Kaidah maqasidiyyah menurut al-shatibi adalah berkaitan dengan akibat akhir dari perbuatan
yang di lakukan oleh mukallaf itu sendiri
.”menganalisis akibat akhir perbuatan hukum adalah di perintahkan oleh ayara’ baik
perbuatan itu sesuai dengan tujuan syara’ ataupun bertentangan.
Pertama,berpijak pada teks al-quran dan al-sunnah dan hukum yang terkandung di
dalamnya serta tujuan-tujuannya.langkah ini menegaskan bahwa ijtihad maqasidi tetap
menjadikan al-quran dan al-sunnah sebagai sumber dan dalil hukum. Ketika ijtihad di lakukan di
ranah nas yang dalalahnya adalah zanniy (bersifat dugaan,bukan pasti),maka ijtihad harus masih
dalam lingkup makna nas zanniy tersebut dengan berusaha secara bersungguh-sungguh untuk
mendapatkan makna yang paling dekat dengan apa yang sesungguhnya di kehendaki oleh allah
swt,dengan menjadikan maqasid al-syariah sebagai pendekatannya.
“sesungguhnya allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya allah member pengajaran dan sebaik baiknya kepadamu.
sesungguhnya allah adalah maha mendengar lagi maha melihat.
Larangan melakukan sesuatu yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang
lain dalam hadist nabi:
“tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan tidak pula yang
membahayakan orang lain”
Kedua,menegaskan bahwa seorang mujtahid ketika menemukan sebuah dalil dari al-
quran atau al-sunnah tentang suatu kasus hukum tertentu,tidak boleh begitu saja menentukan
status hukumnya hanya berdasarkan makna yang di tunjuk oleh teks, tetapi juga harus melihat
apakah pesan teks tersebut dalam penerapannya sejalan dengan al-kuliyyat dan al-amah (lima
kemaslahatan universal)dan kaidah-kaidah umum fikih, atau justru bertentangan dengannya.
Keempat, mempertimbangkan akibat hukum yang bias terjadi di kemudian hari. Langkah
keempat ini sejatinya termasuk dalam kategori melihat hukum beserta tujuan-tujuannya (al-
ahkam bi maqasidiha).namun dalam langkah keempat ini lebih menekankan pada aspek akibat
hukum yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Kelima, seluruh kemaslahatan yang menjadi pertimbangan hukum, mulai dari tahap
pertama dari langkah-langkah ijtihad maqasidi ini hingga langkah keempat harus
mempertimbangkan keterkaitan antara satu maslahah dengan maslahah lain,atau yang penulis
sebut sebagai interkoneksitas maslahah. Ketika seorang mijtahid mau menetapkan status hukum
tentang ekonomi,misalnya, di samping ia memperhatikan teks al-qur’an dan al-sunnah yang
berkaitan dengannya, ia juga harus mempertimbangkan maslahah lain di luar ekonomi, seperti
kemaslahatan agama, jiwa,akal, dan keturunan secara bersamaan.
“hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan dan tuhanmu
agungkanlah dan pakaianmu bersihkanlah.”
“hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. Makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan”.
Hadist nabi:
Kaidah kulliyah:
“adat tradisi itu dapat di jadikan pertimbangan hukum”
oleh karena ijtihad maqasidi berkaitan dengan ketentuan hukum yang terdapat dalam nas
(teks: al-qur’an dan al-sunnah) yang nota bene bahasa arab, baik secara langsung maupun tidak
maka pengetahuan secara benar tentang seluk beluk nas berikut maqasidnya adalah menjadi
keharusan bagi mujtahid.misalnya keharusan menerapkan keumuman nas selagi tidak ada dalil
lain yang men-takhsis (menjadikan khusus).
kajian tentang realitas al-waqi’ adalah hal yang paling sulit proses ijtihad maqasidi, sebab
apabila keliru dalam memvisualisasikan realitas maka hukum yang akan di sematkan padanya
akan menjadi “salah alamat”. Kerja ijtihad maqasidi bukan berkutat dalam analisis teks dan
tujuan-tujuannya,tetapi juga menuntut ketetapan dalam mendudukkan hukum dalam realitas yang
antara satu realitas dengan realitas lainnya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Jual beli
dan riba misalnya, secara nas (teks al-qur’an) sudah jelas hukumnya, yaitu halal untuk jual beli,
sedangkan riba adalah haram.
Hukum islam tidak lain agar dapat di ketahui dan di laksanakan oleh mukallaf (subjek
hukum, orang yang mendapatkan beban hukum).dan realitas (al-waqi) terjadi karena ada
keterkaitannya dengan subjek hukum. Hal terpenting dari pembahasan ini adalah tentang nalar
mukallaf. Masing-masing mukallaf memiliki nalar yang berbeda tentang nas (teks),hukum dan
maqasidnya serta juga realitas.
Sebagaimana telah di jelaskan pada bahasan maqasid al-syariah, bahwa pada dasarnya
ajaran islam, tentu juga tentang busana muslimah adalah di magsudkan untuk mendatangkan
kemaslahatan dan sekaligus menolak kemafsadatan bagi kehidupan manusia baik di dunia
maupun di akhirat kelak.
a. Untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela, baik hati perempuan yang bersangkutan
maupun hati masyarakat yang ada di sekitarnya. Dengan berpakaian secara islami, berarti
telah menutup “sebagian” peluang syetan untuk membisikkan hal-hal yang
menjerumuskan kepada perbuatan dosa melalui pandangan.
b. Sebagai perisai dari gangguan orang-orang yang tidak bermoral.
c. Sebagai symbol keislaman dan memupuk rasa malu untuk melalukan hal-hal yang
tercela. Pada dasarnya fitrah manusia adalah rasa malu bila auratnya terbuka.hal ini
terlihat dari apa yang di lakukan nabi adam dan hawa ketika tergoda memakan buah
terlarang di surge yang mengakibatkan mereka harus “hengkang” dari surge, dan
auratnya terbuka. Allah berfirman dalam surah al-a’raf ayat 22:
“maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala
keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan
mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian tuhan mereka
menyeru mereka: “bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan
aku katakana kepadamu “sesunggunya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu
berdua”
Dari uraian di atas dapat di fahami bahwa maqasid al-syariah busana muslimah
bila di kaitkan dengan maslahah dengan bingkai al-usul al-khamsah (lima hal
pokok:agama,jiwa,akal,keturunan,dan harta) adalah termasuk dalam upaya pemeliharaan
keturunan.
Quraish shihab menyatakan bahwa pakaian,tanpa membedakan antara pakaian untuk pria
dan wanita, mempunyai fungsi sebagaimana berikut:
“hai anak adam,sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup
auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan dan pakaian taqwa. Itulah yang paling baik
yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan allah, mudah-mudahan
mereka selalu ingat.”
c. Sebagai pelindung dari sengatan panas dan dingin serta sebagai benteng dari hal-hal yang
dapat mengganggu ketentraman.tersirat dalam Qs.an-nahl (16):81
“dan allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah dia ciptakan, dan dia
jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan dia jadikan bagimu
pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memeliharamu
dalam peperangan. Demikianlah allah menyempurnakan nikmatnya atasmu agar kamu
berserah diri (kepadanya).”
d. Sebagai pembeda antara seseorang dengan selainnya dalam sifat atau profesinya.
Dengan demikian, dapat di tegaskan di sini, bahwa pembahasan tentang pakaian yang di
sampaikan oleh para ulama, baik pakaian untuk laki-laki maupun perempuan, tidak di lihat
dalam hal keseluruhan,al-usul al-khamsah (lima hal pokok: agama,jiwa,akal, keturunnan, dan
harta) secara bersamaan.
Menurut nasaruddin umar, fenomena yang paling menonjol di Indonesia berkaitan
dengan pemakaian jilbab adalah karena alasan kesehatan ,trend, mode, privasi akibat akumulasi
kualitas pendidikan agama dan dakwah di masyarakat. Bahkah salah satu penelitian
menunjukkan bahwa para pelacur di nangroe aceh Darussalam menyembunyikan identitasnya
dengan memakai jilbab. Dengan uraian di atas dapat di kemukakan bahwa kemaslahatan yang
terkandung dalam busana muslimah saling terkait antara satu maslahah dengan maslahah yang
lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
abd al-raziq, ali. Al-islam wa usul al-hikam, tunis:dar al-ma’arif li al-tiba’ah, 2011.
Abadi, Muhammad shams al-haq. Awn al-ma’bud: sharh sunan abi dawud. Vol.11. bairut: dar al-
kutub al-ilmiyyah, 1990.
Abu zaid, nasr hamid. Dawair al-khawf qira’ah fi khitab al-mar’ah. Bairut: al-markaz al-thaqafi,
2000.