Anda di halaman 1dari 15

HUKUM ACARA PERDATA UAS

SITA JAMINAN

PENGERTIAN:
Sita jaminan mengandung arti, bahwa untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan di
kemudian hari, barang-barang milik tergugat bergerak maupun tidak bergerak selama
proses berlangsung, disita terlebih dahulu dengan kata lain tidak dapat dialihkan,
diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada orang lain. Bukan hanya barang-
barang tergugat saja yang dapat disita, akan tetapi juga terhadap barang-barang pihak
penggugat yang ada pada penguasaan tergugat.

MACAM-MACAM SITA
1. Sita conservatoir (to conserve → melindungi)
Perihal sita conservatoir diatur dalam pasal 227 jo. Pasal 197 HIR, pasal 261 jo.
Pasal 208 Rbg, yang inti sari pengaturannya adalah:
- Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan
dijatuhkan atau dilaksanakan akan menggelapkan atau melarikan barang-
barangnya itu.
- Barang yang disita itu adalah kepunyaan orang yang terkena artinya
bukan milik penggugat.
- Permohonan diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang memeriksa
perkara yang bersangkutan.
- Permohonan harus diajukan dengan surat tertulis.
- Sita conservatoir dapat dilakukan terhadap barang bergerak maupun tidak
bergerak
2. Sita revindicatoir (to revindicate → to reclaim → mengembalikan)
Perihal sita revindicatoir diatur dalam pasal 226 HIR, pasal 260 Rbg. perkataan
revindicatoir berasal dari perkataan revindiceer, yang berarti mendapatkan.
Perkataan revindicatoir beslag mengandung pengertian: penyitaan untuk
mendapatkan hak kembali dengan maksud agar barang yang digugat jangan
sampai dihilangkan selama proses berlangsung
Berdasarkan ketentuan pasal 226 HIR, sita revindicatoir adalah:
- Harus berupa barang bergerak
- Barang bergerak tersebut merupakan barang penggugat yang berada di
tangan tergugat
- Permintaanya harus diajukan kepada PN yang memeriksa perkara
- Permintaan dapat diajukan secara lisan maupun tertulis
- Barang tersebut harus diterangkan secara saksama, terperinci. Misal:
sebuah mobil sedan merek holden tahun 1974, Pol. No. S 11 TA, warna
biru.
3. Sita marital
Perihal sita marital dikenal dalam hukum acara perdata barat, dan diatur dalam
pasal 823-823j R.V. sita marital dimohonkan oleh pihak istri terhadap barang
suami, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, sebagai jaminan untuk
memperoleh bagiannya sehubungan dengan gugatan perceraian, agar supaya
selama proses berlangsung barang-barang tersebut tidak dihilangkan suami.

PROSEDUR PELAKSANAAN DAN KEWAJIBAN JURU SITA


Prosedur tata cara dan siapa yang harus menjalankan penyitaan , serta akibat
hukumnya suatu penyitaan diatur dalam pasal 197,198, dan 199 HIR, yang pokoknya
adalah:
a. Penyitaan dijalankan oleh panitera PN
b. Apabila panitera berhalangan, ia diganti oleh orang lain yang ditunjuk oleh ketua
PN, dalam praktik dijalankan oleh panitera luar biasa
c. Cara penunjukannya dilakukan cukup dengan penyebutan dalam perintah, ini
berarti bahwa sebelum penyitaan dilakukan harus terlebih dahulu ada surat
perintah dari ketua PN
d. Tentang dilakukannya penyitaan harus dibuat berita acaranya dan isi berita
acara harus diberitahukan kepada orang yang barangnya disita, apabila ia hadir
e. Panitera atau penggantinya dalam melakukan penyitaan harus disertai oleh dua
orang saksi, yang mana pekerjaan dan tempat tinggalnya disebutkan dalam
berita acara itu dan para saksi ikut menandatangani berita acara
f. Saksi-saksi tersebut biasanya pegawai pengadilan, setidaknya harus dewasa
dan dapat dipercaya
g. Penyitaan boleh dilakukan atas barang bergerak yang berada di tangan orang
lain, tapi hewan dan perkakas yang dipergunakan untuk menjalankan
pencaharian, tidak boleh disita
h. Barang-barang yang tidak tetap yang disita itu seluruhnya atau sebagiannya,
harus dibiarkan berada di tangan orang yang disita atau barang-barang itu
dibawa untuk disimpan di tempat yang patut
i. Dalam hal barang-barang tersebut tetap dibiarkan di tangan orang yang disita,
hal itu diberitahukan kepada pamong desa untuk ikut mengawasi agar barang-
barang tersebut tidak dipindahtangankan atau dibawa lari oleh orang tsb.
j. Bangunan rumah orang-orang indonesia yang tidak melekat kepada tanah
(opstal bumiputera), tidak boleh dibawa ke tempat lain
k. Terhadap penyitaan barang tetap, maka berita acaranya harus diumumkan,
dicatat dalam buku letter c di desa, dicatat dalam buku tanah kantor kadaster,
dan salinan berita acara dimuat dalam buku yang khusus disediakan untuk
maksud itu di kantor kepaniteraan PN, dengan menyebut jam, tanggal, hari,
bulan, dan tahun dilakukannya
l. Pegawai yang melakukan penyitaan harus memberi perintah kepada kepala
desa supaya perihal adanya penyitaan barang yang tidak bergerak itu
diumumkan sehingga diketahui oleh khalayak ramai
m. Sejak berita acara diumumkan, pihak yang disita barangnya itu tidak boleh lagi
memindahtangankan, membebankan atau menyewakan barang tetapnya yang
telah disita itu kepada orang lain
n. Apabila hal tersebut dilakukan, maka tindakan tersebut batal demi hukum.

PUTUSAN HAKIM

PENGERTIAN:
Putusan hakim ialah suatu pernyataan oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar para pihak. Putusan adalah
perbuatan hakim sebagai penguasa atau pejabat negara.

ISI DAN SISTEMATIKA PUTUSAN


1. Nomor perkara
2. Irah-irah
Bagian putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.” bagian ini memberi kekuatan eksekutorial pada putusan. Apabila
kepala putusan ini tidak dibubuhkan pada suatu putusan pengadilan, maka
hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut (pasal 224 HIR)
3. Identitas para pihak
Identitas para pihak setiap putusan harus ada identitas para pihak yang meliputi
nama, umur, alamat, dan nama kuasanya kalau ada.
4. Pertimbangan (considerans)
Pertimbangan adalah dasar putusan. Pertimbangan terdiri dari dua yaitu
pertimbangan tentang duduknya perkara dan pertimbangan tentang hukumnya.
Pertimbangan memuat alasan-alasan hakim sebagai pertanggung jawaban
kepada masyarakat mengapa ia sampai mengambil putusan demikian, sehingga
mempunyai nilai objektif
5. Amar/dictum
Amar merupakan jawaban terhadap petitum (tuntutan) daripida gugatan. Ini
berarti bahwa diktum adalah tanggapan dari petitum. Hal ini berkaitan dengan
adanya asas: “Hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan dan dilarang
menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih
daripada yang dituntut.” (pasal 178 ayat 2 dan 3, pasal 189 ayat 2 dan 3 RBg.
Amar dibagi menjadi dua yaitu deklaratif dan dispositif. Bagian deklaratif
merupakan penetapan daripada hubungan hukum yang menjadi sengketa.
Bagian dispositif yang memberikan hukumannya; yang menolak atau
mengabulkan gugatannya
6. Tanggal putusan
7. Nama hakim/ panitera pengganti
Setiap putusan pengadilan wajib ditandatangani oleh ketua, hakim anggota, dan
panitera (pasal 184 ayat 3 HIR, pasal 195 ayat 3 Rbg)
8. Keterangan hadir atau tidaknya pihak berperkara atau kuasanya saat
pembacaan
9. Perincian biaya perkara

JENIS-JENIS PUTUSAN
Pasal 185 ayat 1 HIR membedakan antara putusan akhir dan putusan sela. Putusan
akhir ialah putusan yang mengakhiri suatu sengketa/perkara dalam tingkat pengadilan
tertentu.

Sifat putusan akhir dibedakan antara lain:


1. Putusan condemnatoir
Putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi
prestasi.
Contoh: putusan hakim yang menghukum tergugat untuk mengosongkan rumah
dan tanah yang menjadi objek sengketa kepada penggugat yang dimenangkan
dalam putusan.
2. Putusan Constitutif
Putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum.
Contoh: pemutusan perkawinan (putusan perceraian)
Putusan konstitutif, pada umumnya tidak dapat dilaksanakan, karena tidak
menetapkan hak atas suatu prestasi tertentu, maka akibat hukumnya tidak
tergantung pada bantuan dari pihak lawan yang dikalahkan. Perubahan keadaan
hubungan hukum itu terjadi pada saat putusan itu diucapkan tanpa melalui upaya
paksa.
3. Putusan declaratoir
Putusan yang bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah.
Contoh: bahwa seorang anak menjadi anak angkat yang sah dari orang tua
angkatnya, atau penetapan seseorang menjadi ahli waris yang sah dari pewaris.
Pada praktiknya, putusan-putusan akhir pengadilan mengandung kombinasi dari
beberapa macam sifat putusan tersebut.

Putusan sela
Putusan sela merupakan putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir. Jenis-jenis
putusan sela diatur dalam pasal 48 RV yaitu:
1. Putusan preparatoir
Putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai pengaruh atas
pokok perkara atau putusan akhir.
Contoh: putusan untuk menggabungkan dua perkara untuk menolak
diundurkannya pemeriksaan saksi.
2. Putusan interlocutoir
Putusan -putusan yang isinya memerintahkan pembuktian.
Contoh: putusan untuk pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat
3. Putusan insidental
Putusan yang berhubungan dengan peristiwa yang menghentikan prosedur
peradilan biasa. Misalnya masalah vrijwaring, voeging, atau tussenkomst terkait
gugatan intervensi dari pihak ketiga.
4. Putusan provisional
Putusan yang menjawab tuntutan provisional, yaitu permintaan yang
bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna
kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan.

PUTUSAN SERTA MERTA

Pengertian:
Putusan serta-merta atau putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar
bij voordaad), yaitu suatu putusan hakim yang dapat dilaksanakan walaupun belum
memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Jadi, putusan ini masih bisa diajukan upaya
hukum berupa verzet, banding maupun kasasi.

Putusan serta merta diatur dalam pasal 180 ayat 1 HIR yang menentukan adanya
syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat menyatakan agar putusan dapat dijalankan
lebih dahulu, walaupun diajukan perlawanan (verzet) atau banding. Adapun syarat-
syarat tersebut sebagai berikut:
1. Adanya surat (akta) autentik atau tulis tangan yang menurut UU mempunyai
kekuatan sebagai alat bukti.
2. Adanya putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum pasti (in kracht
van gewijsde) sebelumnya yang menguntungkan pihak penggugat dan ada
hubungannya dengan gugatan yang bersangkutan.
3. Adanya gugatan provisional yang dikabulkan
4. Dalam sengketa-sengketa mengenai bezitsrecht.

Syarat-syarat tersebut tidak bersifat kumulatif, jadi apabila salah satu syarat terpenuhi,
maka dapat dijatuhkan putusan serta merta, walaupun diajukan verzet atau banding,
sedangkan hal-hal di luar itu tidak boleh dijatuhkan putusan serupa.

UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN

PENDAHULUAN
Suatu putusan hakim tidak lepas dari kemungkinan adanya kekeliruan, bahkan
memihak. Oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan, setiap putusan hakim
dimungkinkan untuk diperiksa kembali, agar kekeliruannya dapat diperbaiki. Pada
umumnya tersedia upaya hukum yaitu alat untuk mencegah atau memperbaiki
kekeliruan dalam suatu putusan.

Sifat dan berlakunya upaya hukum itu berbeda, tergantung apakah merupakan upaya
hukum biasa atau luar biasa.

Upaya hukum biasa pada asasnya terbuka untuk setiap putusan selama tenggang
waktu tertentu yang telah ditentukan oleh undang undang. Wewenang untuk
menggunakannya hapus dengan menerima putusan. Upaya hukum biasa bersifat
suspensif, yaitu menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara waktu. Contoh
upaya hukum biasa adalah verstek (verzet tegen verstek), banding dan kasasi.

Dengan memperoleh kekuatan hukum tetap suatu putusan tidak dapat diubah. Suatu
putus memperoleh kekuatan hukum tetap jika tidak tersedia lagi upaya hukum biasa.
Untuk putusan berkekuatan hukum tetap tersedia upaya hukum luar biasa

Upaya hukum luar biasa hanya boleh dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam
undang-undang. Contoh dari upaya hukum ini adalah PK (peninjauan kembali) dan
derden verzet (perlawanan pihak ketiga).

PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK (VERZET)


Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar
hadirnya tergugat (pasal 125 ayat (3) jo. Pasal 129 HIR). pada asasnya perlawanan ini
disediakan untuk pihak tergugat yang kalah (umumnya). Bagi penggugat yang
dikalahkan dengan putusan verstek tersedia banding (pasal 8 ayat 1 uu no.20 tahun
1974).
BANDING
Bagi pihak-pihak yang dikalahkan dengan putusan verstek dan perlawanan (verzet),
juga putusan biasa pengadilan negeri dan merasa tidak puas dengan putusan itu,
karena merasa hak-haknya diserang atau merasa putusannya kurang adil, maka ia
dapat mengajukan pemeriksaan di tingkat banding oleh PT, dengan harapan dijatuhkan
putusan yang berbeda atau setidaknya putusan PN menjadi mentah kembali dan
eksekusinya ditunda untuk sementara sampai putusan mendapatkan kekuatan hukum
tetap.
Notes: ketentuan untuk banding : UU 20/1947 untuk jawa dan madura, di luar itu
berlaku pasal 199-205 RBg.

Prosedur Pengajuan Banding


- Permohonan Banding harus diajukan kepada panitera PN yang menjatuhkan
putusan, dalam 14 hari terhitung mulai 1 hari setelah pengumuman putusan
kepada yang berkepentingan (pasal 7 UU no. 20 tahun 1947, pasal 199 RBg.)
- Setelah salah satu pihak menyatakan banding dan dicatat oleh panitera, maka
pihak lawan diberitahu oleh panitera tentang permintaan banding itu selambat-
lambatnya 14 hari setelah permintaan banding diterima dan kedua belah pihak
diberi kesempatan melihat surat-surat serta berkasnya di PN selama 14 hari
(pasal 11 ayat 1 UU No.20 tahun 1947, pasal 202 RBg.)
- Kedua belah pihak boleh memasukkan surat keterangan atau bukti-bukti baru,
sebagai uraian daripada alasan banding (memori banding) kepada panitera PN
atau PT yang bersangkutan, dan terbanding dapat menjawab dengan kontra
memori banding
- Kemudian salinan putusan dan surat-surat pengadilan harus dikirim ke panitera
PT yang bersangkutan, paling lama 1 bulan setelah menerima permohonan
banding

Pembuatan memori banding tidak diwajibkan jika ingin mengajukan banding beda
dengan kasasi (kalau kasasi wajib).
Kalau batas 14 hari dibolehkannya pihak bersangkutan untuk mengajukan banding
sudah lewat dan kemudian tetap ada yang mengajukan, maka PN tetap harus
menerima dan meneruskan ke PT, karena yang boleh menolak atau menerima Banding
hanya PT.
Pada asasnya, banding dimohonkan untuk pemeriksaan putusan akhir tingkat pertama,
kecuali undang-undang menentukan lain. Putusan sela tidak dapat diajukan banding,
kecuali diputus bersama-sama dengan putusan akhir. Putusan tentang tidak
berwenangnya hakim merupakan putusan akhir (pasal 9 UU No.20 tahun 1974,pasal
201 RBg.)
Dalam banding hakim boleh mengabulkan lebih dari apa yang dituntut atau memutus
hal-hal yang tidak dituntut. Putusan dalam tingkat banding berupa:
- Menguatkan putusan PN : menganggap putusan PN sudah benar
- Memperbaiki putusan PN : menganggap putusan PN kurang tepat dan harus
diperbaiki
- Membatalkan putusan PN : menganggap putusan PN tidak benar dan tidak adil
dan harus dibatalkan. Dalam hal ini PT memberikan putusan sendiri

KASASI
Semua putusan yang diberikan pada tingkat akhir dari pengadilan selain MA, juga
putusan pengadilan tingkat banding dapat dimintakan kasasi ke MA oleh yang
berkepentingan (pasal 10 ayat 3 UU No.20 tahun 1974, pasal 43 UU No.14 tahun
1985). Jika pihak yang bersangkutan belum atau tidak menggunakan hak melawan
putusan, pengadilan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat (verzet) atau hak
memohon banding ke PT, maka kasasi tidak dapat diterima, kecuali undang-undang
menentukan lain (pasal 43 UU No.14 tahun 1985)
Notes: ketentuan untuk kasasi: UU no.14/1985 diubah jadi UU no.5/2004 tentang MA

Prosedur Pengajuan Kasasi

- Kasasi dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan dapat diwakilkan
oleh orang yang diberi kuasa khusus (pasal 44 UU 14/1985)
- Permohonan Kasai harus diajukan kepada panitera PN yang memeriksa pokok
perkara. Permohonan kasasi diajukan secara lisan atau tertulis dalam tenggang
waktu 14 hari kerja setelah putusan atau penetapan pengadilan yang
dimaksudkan kepada pemohon (pasal 46 UU no. 14/1985.)
- Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonannya, dalam buku daftar
pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi (pasal 47 UU 14/1985)
- Pihak lawan berhak mengajukan jawaban terhadap memori kasasi kepada
panitera dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori
kasasi (pasal 14 ayat 3 UU No.14/1985)
- Permohonan kasasi atau penerimaan memori kasasi yang melampaui tenggang
waktu yang telah ditentukan, harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Alasan Pengajuan Kasasi


Dalam memori kasasi harus memuat keberatan-keberatan atau alasan-alasan kasasi
yang berhubungan dengan pokok perkara, sesuai dengan pasal 30 UU 14/ 1985, yaitu:
1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.
4. Putusan tidak cukup/kurang lengkap dipertimbangkan, sebagaimana terdapat
dalam yurisprudensi MARI No. 492 K/SIP/1970.]

Berdasarkan alasan-alasan tersebut diketahui kasasi diperiksa tentang hukumnya dan


bukan tentang faktanya. Penilaian hasil pembuktian tidak dipertimbangkan dalam
kasasi. MA terikat pada peristiwa yang telah diputus dalam tingkat akhir, jadi dalam
kasasi peristiwanya tidak diperiksa ulang. Demikian, kasasi bukan pengadilan tingkat
ketiga (judex factie), namun peradilan tingkat kasasi, sesuai dengan pasal 30 UU 14/
1985.

Pemeriksaan kasasi meliputi seluruh putusan hakim mengenai hukum, baik bagian
yang merugikan pemohon kasasi maupun yang menguntungkan.

PENINJAUAN KEMBALI
Putusan yang dijatuhkan dalam tingkat terakhir dan yang dijatuhkan di luar hadirnya
tergugat (verzet) dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan
perlawanan dapat ditinjau kembali atas permohonan orang yang pernah menjadi salah
satu pihak di dalam perkara yang telah diputus dan dimintakan peninjauan kembali.
Notes: ketentuan PK: UU no.14/1985, pasal 66 sampai 77

Prosedur Permohonan Peninjauan Kembali


- Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan baik secara tertulis maupun
lisan (pasal 71 UU 14/1985) oleh para pihak sendiri (pasal 68 ayat 1 UU
14/1985) kepada MA melalui Ketua PN yang memutus perkara dalam tingkat
pertama (pasal 70 UU 14/1985)
- Dalam waktu 14 hari setelah Ketua PN yang bersangkutan menerima
permohonan PK, panitera akan mengirim salinan permohonan kepada pihak
lawan.

Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan


putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat
diajukan satu kali saja (pasal 66 UU 14 tahun 1985).
MA memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir (pasal
70 UU 14/1985)

Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali


Ditentukan dalam pasal 67 UU 14/1985:
1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan bukti-bukti
yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu
2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut
4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya.
5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas
dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah
diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan
yang nyata

Sesuai dengan pasal 69 UU 14/1985, Adapun tenggang waktu pengajuan permohonan


peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana tersebut di atas adalah
180 hari untuk:
a. Yang disebut huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak
putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah
diberitahukan kepada pihak yang berperkara
b. Yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta
tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh
pejabat yang berwenang
c. Yang disebut huruf c,d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap
dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara
d. Yang disebut huruf e, sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu
memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang
berperkara.

PERLAWANAN PIHAK KETIGA (DERDEN VERZET)


Pada asasnya suatu putusan hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak
mengikat pihak ketiga (pasal 1917 BW). akan tetapi, apabila pihak ketiga haknya
dirugikan oleh suatu putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan
ini (pasal 378 RV).
Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu
dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa (pasal 379 RV).

Pihak ketiga yang hendak mengajukan perlawanan tidak cukup dengan hanya
mempunyai kepentingan saja, tetapi harus secara nyata dirugikan hak-haknya. Apabila
perlawanannya dikabulka, maka putusan yang dilawan itu diperbaiki sepanjang
merugikan pihak ketiga (pasal 328 RV).

PELAKSANAAN PUTUSAN

PENDAHULUAN
Walaupun perkara diakhiri dengan putusan, akan tetapi persoalannya belum selesai.
Putusan itu harus dapat dijalankan (dieksekusi)

MAKNA DAN PRINSIP-PRINSIP EKSEKUSI


Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan
(dieksekusi). Oleh karena itu, putusan hakim memiliki kekuatan eksekutorial, yaitu
kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh
alat-alat negara. Yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim adalah
kepala atau irah-irah putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.”

Pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakikatnya adalah realisasi dari
kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang ada dalam putusan.
Namun, tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan dalam arti kata yang
sebenarnya, yaitu secara paksa oleh pengadilan. Hanya putusan condemnatoir yang
dapat dilaksanakan, sedangkan putusan deklaratoir dan konstitutif tidak dimuat adanya
hak atas suatu prestasi, maka terjadinya akibat hukum tergantung pada bantuan atau
kesediaan dari pihak yang dikalahkan, maka oleh karena itu diperlukan sarana
pemaksa untuk menjalankannya.

Suatu putusan hakim yang telah memperoleh inkracht dapat dilaksanakan secara
sukarela oleh yang bersangkutan, yaitu pihak yang kalah. dengan demikian, selesailah
perkaranya tanpa mendapat bantuan dari pengadilan dalam melaksanakan putusan.
Namun ada kemungkinan yang sering terjadi bahwa pihak yang kalah tidak mau
melaksanakan putusan secara sukarela sehingga dibutuhkan pengadilan untuk
pelaksanaan putusan secara paksa.Jika terjadi, maka pihak yang menang dalam
putusan dapat mengajukan permohonan pelaksanaan putusan (eksekusi) kepada
pengadilan yang akan melaksanakannya secara paksa.

PRINSIP PRINSIP EKSEKUSI


Berdasarkan ketentuan pasal 195 s/d 208 HIR, perlu diketahui beberapa prinsip, yaitu:
a. putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) yang dapat dieksekusi
pada prinsipnya, jika terhadap putusan masih ada pihak yang mengajukan upaya
hukum banding atau kasasi, putusan tsb belum berkekuatan hukum tetap
sebagaimana dalam pasal 1917BW. dapat dikatakan bahwa eksekusi
merupakan paksaan yang dilakukan pengadilan dengan bantuan kekuatan
umum untuk menjalankan putusan yang sudah inkracht. jadi selama putusan
belum berkekuatan hukum tetap, putusan belum dapat dijalankan.
Adapun makna pelaksanaan eksekusi, jika tereksekusi tidak melakukan putusan
secara sukarela. oleh karena itu putusan tab harus dipaksakan pelaksanaannya
dengan bantuan kekuatan umum, yakni polisi, jika perlu, militer.
Ada beberapa pengecualian yang memperbolehkan putusan yang belum
inkracht untuk dieksekusi:

1. eksekusi terhadap putusan yang dapat dijalankan lebih dulu;

ini merupakan salah satu pengecualian dari prinsip diatas. menurut pasal 180
ayat 1 HIR, eksekusi dapat dijalankan terhadap putusan pengadilan walaupun
belum berkekuatan hukum tetap.

2. eksekusi terhadap putusan provisionil

berdasarkan pasal 180 ayat 1 HIR, gugatan provisionil yaitu tuntutan lebih dulu
yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. jika dikabulkan
gugatan provisionil oleh halim, putusan tersebut dapat dieksekusi walaupun
pokok perkaranya belum diputus.

3. eksekusi terhadap putusan perdamaian

berdasarkan pasal 130 HIR, terhadap akta van dading (perdamaian) yang dibuat
di muka persidangan boleh dikatakan sama seperti putusan yang sudah inkracht.
dengan demikian akta van dading memiliki kekuatan eksekutorial.

4. eksekusi terhadap grose akta

pengecualian lain dalam UU ini adalah eksekusi terhadap grose akta baik grose
akta hipotek maupun grose akta pengakuan hutang. sesuai dengan pasal 224
HIR yang membolehkan eksekusi terhadap perjanjian asalkan berbentuk grose
akta, karena dalam bentuk perjanjian grose akta, pasal ini menyamakannya
dengan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).

5. eksekusi atas hak tanggungan dan jaminan fidusia

Berdasarkan UU no.4/1996 tentang hak tanggungan, dan eksekusi atas jaminan


fidusia berdasarkan UU no.42/1999 tentang jaminan fidusia. terhadap kedua
lembaga ini, pihak kreditor bisa langsung meminta eksekusi atas objek barang
hak tanggungan dan jaminan fidusia jika debitor melakukan wanprestasi dalam
membayar bunga pinjaman. bahkan kreditor dimungkinkan melakukan eksekusi
penjualan lelang lewat kantor lelang tanpa campur tangan pengadilan jika
diperjanjikan klausula kuasa menjual sesuatu (eigenmachtige verkoop)

b. Putusan Bersifat Kondemnatoir yang Dapat Dieksekusi


Pada prinsipnya, hanya putusan kondemnatoir yang dapat dieksekusi, yaitu
putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur penghukuman. jika
dalam amarnya tidak mengandung unsur penghukuman maka tidak dapat
dieksekusi. adapun ciri-ciri pengindikasian untuk menentukan suatu putusan
kondemnatoir, dalam amar atau diktum putusan terdapat perintah yang
menghukum pihak yang kalah, dirumuskan dalam kalimat:

- Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan” suatu barang.


- Menghukum atau memerintahkan “pengosongan” sebidang tanah atau
rumah.
- Menghukum atau memerintahkan “melakukan” suatu perbuatan tertentu.
- Menghukum atau memerintahkan “penghentian” suatu perbuatan atau
keadaan.
- Menghukum atau memerintahkan melakukan “pembayaran” sejumlah
uang.

c. Putusan tidak dijalankan secara sukarela


Pada prinsipnya, eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pilihan untuk menjalankan putusan ada pada pihak yang kalah(tergugat) untuk
menjalaninya atau tidak, jika tergugat bersedia menaati putusan maka tidak
akan ada tindakan eksekusi. maka eksekusi hanya dapat dilakukan jika pihak
tergugat tidak menjalankan putusan secara sukarela.

d. Eksekusi dilaksanakan atas perintah Ketua PN


pada prinsipnya, eksekusi dilaksanakan atas perintah ketua PN yang memeriksa
dan memutus perkara itu di tingkat pertama. maka, jika ada putusan tingkat
pertama yang diperiksa dan diputus oleh suatu PN, maka eksekusi putusan
tersebut berada di bawah perintah ketua PN bersangkutan, sesuai dengan pasal
195 ayat 1 HIR.

JENIS-JENIS EKSEKUSI DAN KAIDAH HUKUMNYA


a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar
sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang.
Eksekusi ini diatur dalam pasal 196 HIR.
b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan.
Eksekusi ini diatur dalam pasal 225 HIR. orang tidak dapat dipaksakan untuk
memenuhi prestasi berupa perbuatan. Akan tetapi hak yang dimenangkan dapat
dimintai kepada hakim agar kepentingannya yang akan diperoleh dinilai dengan
uang.
c. Eksekusi riil merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan pada debitur
oleh putusan hakim secara langsung. Jadi eksekusi riil adalah pelaksanaan
putusan yang menuju kepada hasil yang sama seperti apabila dilaksanakan
secara sukarela oleh pihak yang bersangkutan. Dengan eksekusi riil maka yang
berhaklah yang menerima prestasi. Eksekusi riil ini diatur dalam HIR, tapi diatur
dalam pasal 1033 RV.
d. Disamping ketiga eksekusi dikenal namanya parate eksekusi atau eksekusi
langsung. Parate eksekusi terjadi apabila seorang kreditur menjual barang
tertentu milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial (pasal 1155, 1175 ayat 2
BW)

PROSEDUR FIAT EKSEKUSI

Prosedur fiat eksekusi adalah sebagai berikut:


a. Pelaksanaan putusan hakim dalam putusan perkara perdata dilakukan oleh
panitera dan juru sita dipimpin oleh Ketua PN (pasal 195 ayat 1, pasal 197 ayat 2
HIR, pasal 206 ayat 1, pasal 209 ayat 1 RBg)
b. Untuk dapat dilaksanakan suatu putusan hakim secara paksa oleh PN, maka
pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis
kepada Ketua PN yang bersangkutan supaya putusan dilaksanakan.
c. Selanjutnya, ketua pengadilan negeri berdasarkan permohonan tersebut
memanggil pihak yang dikalahkan untuk ditegur agar memenuhi putusan dalam
waktu delapan hari setelah teguran tersebut (pasal 196 HIR). dalam waktu
delapan hari tersebut pihak yang dikalahkan diberi kesempatan untuk
melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.
d. Jika sudah lewat waktu delapan hari tersebut dan yang dikalahkan belum juga
menjalankan atau memenuhi isi putusan, atau jika orang yang dikalahkan
sesudah dipanggil dengan patut tidak juga menghadap, maka ketua PN karena
jabatannya memberi perintah dengan surat penetapan supaya disita barang-
barang bergerak milik orang yang dikalahkan atau kalau tidak ada barang yang
bergerak disita barang tetap sebanyak jumlah nilai uang yang tersebut dalam
putusan untuk menjalankan putusan (pasal 197 ayat 1 HIR). jadi yang
diprioritaskan untuk disita adalah barang-barang bergerak. Baru kalau barang
bergerak yang disita itu tidak ada atau tidak mencukupi maka barang bergerak
tidak disita.

PROSEDUR SITA EKSEKUSI

PELAKSANAAN EKSEKUSI

Anda mungkin juga menyukai