Anda di halaman 1dari 95

HUKUM DAGANG

—-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bab I. Hukum Asuransi

1. Hukum Asuransi dari Sisi Hukum Publik dan Hukum Privat


a. Hukum Publik
➢ Administrasi di bidang perusahaan asuransi.
➢ Izin mendirikan perusahaan asuransi.
➢ Syarat-syarat mendirikan perusahaan asuransi.
➢ Pengawasan dan pembinaan industri asuransi.
b. Hukum Privat
➢ Hak dan kewajiban.
➢ Pembentukan perjanjian asuransi.
➢ Pelaksanaan perjanjian asuransi.
➢ Perkembangan hukum timbulnya perjanjian.
➢ Prinsip perjanjian asuransi.

2. Pengertian Asuransi
a. Asuransi sebagai Lembaga Peralihan
Tujuan diadakan asuransi secara umum adalah untuk mengalihkan kemungkinan
risiko yang diderita oleh tertanggung kepada penanggung dan penanggung segera
mengganti kerugian apabila terjadi peristiwa tidak pasti. Dalam asuransi dikenal
dengan risk transfer (pengalihan risiko).
b. Pasal 246 KUHD
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang
penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu
premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya
karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
c. Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan
pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan
asuransi sebagai imbalan untuk:

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 1


a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau
pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau
pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang
besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

3. Perjanjian Asuransi vs Perjanjian Untung-Untungan


Berdasarkan Pasal 1774 BW, suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan
yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, bergantung pada suatu
kejadian yang belum tentu. Dalam BW, perjanjian asuransi digolongkan sebagai
perjanjian untung-untungan, padahal sebenarnya hal itu tidak tepat karena:
➢ Apabila peristiwa tidak pasti itu tidak terjadi, maka penanggung tidak akan
membayar klaim dan disini penanggung merasa untung karena mendapat
pembayaran premi dari tertanggung.
➢ Apabila peristiwa tidak pasti itu terjadi, maka penanggung akan merasa rugi karena
harus membayar uang asuransi terhadap klaim dari tertanggung.
➢ Dalam perjanjian untung-untungan, pemenuhan prestasinya tidak seimbang (kapan
harus bayar dan berapa pembayaran ganti rugi) sehingga sering menimbulkan
masalah karena menyangkut hak dan kewajiban para pihak, yaitu antara tertanggung
dan penanggung.

Perjanjian Asuransi Perjanjian Untung-Untungan

Teknik menangani risiko yang tidak dapat


Transaksi asuransi adalah memindahkan diasuransikan, seperti perlindungan
risiko yang dapat dijamin dengan asuransi. terhadap penurunan harga produk
pertanian dan bahan baku.

Hanya memindahkan risiko tetapi tidak


Asuransi dapat menurunkan risiko menurunkan risiko, misalnya risiko
terhadap penanggung dengan menerapkan fluktuasi harga hanya dipindahkan kepada
The Law of Large Numbers. spekulator karena dapat menciptakan
keuntungan.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 2


4. Asuransi vs Perjudian
➢ Asuransi merupakan salah satu teknik menangani risiko murni yang ada, sedangkan
perjudian menciptakan risiko spekulasi baru yang sebelumnya tidak ada.
➢ Asuransi secara sosial produktif karena posisi pemberi asuransi dan penerima
asuransi. Tidak ada yang dirugikan karena sama-sama memiliki kepentingan yang
sama dalam mencegah kerugian. Sedangkan perjudian secara sosial tidak produktif
karena keuntungan pemenang adalah kerugian bagi bandar judi.

5. Asuransi dan Risiko


Dalam suatu perjanjian asuransi, terdapat suatu pengalihan risiko dari tertanggung
kepada penanggung atas kemungkinan risiko yang mungkin terjadi atas suatu peristiwa
tidak pasti. Risiko adalah ketidaktentuan atau uncertainty yang mungkin melahirkan
kerugian (loss).
a. Ketidaktentuan yang Mendatangkan Kerugian
➢ Ketidaktentuan ekonomi (economy uncertainty), yaitu kejadian yang timbul
sebagai akibat dari perubahan sikap konsumen, misalnya perubahan teknologi.
➢ Ketidaktentuan yang disebabkan oleh alam (uncertainty of nature), misalnya
gempa bumi, kebakaran, banjir, dll.
➢ Ketidaktentuan yang disebabkan oleh perilaku manusia (human uncertainty),
misalnya pencurian, pembunuhan, dll.
b. Klasifikasi Risiko
➢ Speculative Risks
Risiko yang bersifat spekulatif yang bisa mendatangkan rugi atau laba, misalnya
pedagang bisa untung atau rugi dalam usahanya.
➢ Pure Risks
Risiko yang selalu menyebabkan kerugian. Perusahaan asuransi beroperasi
dalam bidang pure risks (kematian, kapal tenggelam, kebakaran, dsb.)
c. Risiko Pribadi dan Risiko Keluarga (Personal and Family Risk)
➢ Kehilangan Pendapatan (Loss Income)
Seseorang atau keluarga bisa kehilangan pendapatannya disebabkan kematian,
cacat permanen, cacat sementara, dan pengangguran.
➢ Kehilangan Hak Milik (Loss of Property)

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 3


Kerugian hak milik disebabkan karena hal-hal seperti kebakaran, badai, gempa
bumi, banjir, dll.

6. Hukum Bilangan Besar dalam Asuransi (The Law of Large Numbers)


Risiko yang dipertanggungkan harus dalam jumlah besar.

7. Karakter Khusus dalam Asuransi


a. Pengumpulan Kerugian atau Saling Berbagi Kerugian (Polling of Losses)
Pooling is the spreading of losses incurred by the few over the entire group, so that
in the process, average loss is substituted for actual loss. Maksud dari pooling
adalah pengelompokkan unit-unit yang terancam risiko dalam jumlah yang sangat
besar sehingga “The Law of Large Numbers” dapat beroperasi memprediksi
kerugian yang terjadi di masa yang akan datang secara akurat. Pada hakikatnya,
pooling adalah berbagi kerugian antar anggota kelompok besar dan prediksi
kerugian yang akan terjadi di masa depan yang akurat berdasarkan “The Law of
Large Numbers”.
b. Pembayaran Kerugian (Payment of Fortuitous Losses)
Kerugian yang diderita harus bersifat accidental (kecelakaan) yang tidak disengaja.
Jadi “The Law of Large Numbers” harus didasarkan pada asumsi bahwa kerugian
yang terjadi adalah karena kecelakaan dan terjadi secara acak.
c. Pemindahan Risiko (Risk Transfer)
Pemindahan risiko berarti risiko murni dipindahkan dari pihak tertanggung kepada
pihak penanggung yang biasanya mempunyai posisi keuangan yang lebih kuat untuk
membayar kerugian yang diderita si tertanggung.
d. Ganti Rugi, Perlindungan terhadap Kerugian (Idemnitification)
Masalah ganti rugi merupakan karakter yang sangat penting karena apabila
tertanggung telah mengalihkan risiko atas suatu peristiwa tidak pasti karena
penanggung sehingga apabila tertanggung mengalami kerugian, maka si tertanggung
berhak meminta kepada penanggung untuk mengganti kerugian yang dideritanya.

8. Subjek Hukum Asuransi dengan Hak dan Kewajiban


a. Tertanggung (Verzekerde)
Orang yang mempertanggungkan jiwanya atau dirinya untuk diasuransikan (dalam
asuransi jiwa) atau orang yang membayar premi kepada perusahaan asuransi.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 4


Tertanggung ini bisa dirinya sendiri atau orang ketiga yang harus disebutkan dalam
polis (Pasal 267 KUHD).
➢ Hak Tertanggung
❖ Menuntut agar polis ditandatangani oleh penanggung (Pasal 259 KUHD).
❖ Menuntut agar polis segera diserahkan oleh penanggung (Pasal 260
KUHD).
❖ Meminta ganti kerugian kepada penanggung karena pihak yang disebut
terakhir lalai menandatangani dan menyerahkan polis sehingga
menimbulkan kerugian kepada tertanggung.
❖ Menuntut pengembalian premi, baik seluruhnya maupun sebagian, apabila
perjanjian asuransi batal atau gugur dengan catatan tertanggung beritikad
baik, sedangkan penanggung belum menanggung risiko (Pasal 281 KUHD).
❖ Menuntut ganti kerugian apabila peristiwa yang diperjanjikan dalam polis
terjadi.
➢ Kewajiban Tertanggung
❖ Membayar premi kepada penanggung (Pasal 246 KUHD).
❖ Memberikan keterangan yang benar kepada penanggung mengenai objek
yang diasuransikan (Pasal 251 KUHD jo. Pasal 31 ayat (2) UU
Perasuransian).
❖ Mengusahakan atau mencegah agar peristiwa yang dapat menimbulkan
kerugian terhadap objek yang diasuransikan tidak terjadi atau dapat
dihindari (Pasal 283 KUHD).
❖ Memberitahukan kepada penanggung bahwa telah terjadi peristiwa yang
menimpa objek yang diasuransikan, berikut usaha pencegahannya.
b. Penanggung (Verzekeraar)
Perusahaan asuransi yang menerima pembayaran premi dari tertanggung dan
mengganti kerugian yang diderita tertanggung atas suatu peristiwa tidak pasti yang
dialami tertanggung.
➢ Hak Penanggung
❖ Menuntut pembayaran premi kepada tertanggung sesuai perjanjian.
❖ Meminta keterangan yang benar dan lengkap kepada tertanggung yang
berkaitan dengan objek yang diasuransikan kepadanya.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 5


❖ Memiliki premi dan bahkan menuntutnya dalam hal peristiwa yang
diperjanjikan terjadi, tetapi disebabkan oleh kesalahan tertanggung sendiri
(Pasal 276 KUHD).
❖ Memiliki premi yang sudah diterima dalam hal asuransi batal atau gugur
yang disebabkan oleh perbuatan curang dari tertanggung (Pasal 282
KUHD).
❖ Melakukan asuransi kembali (reinsurance, herveszekering) kepada
penanggung yang lain dengan maksud untuk membagi risiko yang
dihadapinya (Pasal 271 KUHD).
➢ Kewajiban Penanggung
❖ Memberikan ganti kerugian atau memberikan sejumlah uang kepada
tertanggung apabila peristiwa yang diperjanjikan terjadi, kecuali jika
terdapat hal yang dapat menjadi alasan untuk bebas dari kewajiban.
❖ Menandatangani dan menyerahkan polis kepada tertanggung (Pasal
259-260 KUHD).
❖ Mengembalikan premi kepada tertanggung jika asuransi batal atau gugur
dengan syarat tertanggung belum menanggung risiko sebagian atau
seluruhnya (Pasal 281 KUHD).
c. Ahli Waris
Orang yang menerima uang asuransi dari perusahaan asuransi atas suatu peristiwa
tidak pasti yang dialami oleh tertanggung dan masih ada hubungan kekeluargaan.

9. Sifat Perjanjian Asuransi


a. Konsensuil
Secara hukum, perjanjian asuransi terbentuk sejak adanya kata sepakat atau
konsensus antara pihak tertanggung dengan penanggung. Konsensus perjanjian yang
bersifat konsensuil, khususnya dalam perjanjian asuransi, tidak dapat ditentukan
secara pasti kapan terjadinya tetapi dapat disimpulkan dari serangkaian perbuatan
masing-masing pihak dalam rangka pembentukan perjanjian asuransi. Sifat
konsensuil dapat diketahui dalam Pasal 257 ayat (1) KUHD yang menyatakan
bahwa perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup; hak-hak dan
kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggung mulai
berlaku semenjak itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani.
b. Timbal Balik

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 6


Sejak terbentuknya kata sepakat diantara tertanggung dengan penanggung, maka
saat itu timbul hak dan kewajiban secara timbal balik (asas resiprositas).
Konsekuensi adanya kata sepakat antara tertanggung dan penanggung menimbulkan
kewajiban diantara para pihak. Untuk itu, setelah terjadi suatu kesepakatan dalam
perjanjian asuransi, maka harus diikuti pelaksanaan perjanjian asuransi, dimana
pelaksanaan perjanjian asuransi tersebut terwujud dalam bentuk suatu hak dan
kewajiban tertanggung dan penanggung. Misalnya kewajiban tertanggung
membayar premi yang telah disepakati dalam polis asuransi, sedangkan kewajiban
penanggung menjamin penggantian kerugian pada pihak tertanggung apabila
peristiwa tidak pasti terjadi. Hak tertanggung menjadi kewajiban penanggung,
sedangkan hak penanggung menjadi kewajiban tertanggung.
c. Pelayanan Berkala
Sifat pelayanan berkala sebagai suatu sifat yang temporer atau sifat yang hanya
sekali-kali atau insidentil. Pada sifat demikian, tidak ada hubungan tetap antara
penanggung dengan tertanggung. Sifat ini menimbulkan hubungan kesederajatan
antara pihak tertanggung dengan pihak penanggung (tidak ada kedudukan pihak
yang lebih tinggi atau lebih rendah). Oleh karena kedudukan para pihak adalah sama
tinggi, perjanjian asuransi mempunyai sifat yang gecoordineerd.

10. Pembentukan Perjanjian Asuransi


a. Ketentuan dalam KUHD
Perjanjian asuransi bersifat konsensuil sebagaimana diatur dalam Pasal 257 ayat (1)
KUHD, ketika premi yang menjadi kewajiban tertanggung telah dibayar.
Pembentukan perjanjian asuransi tidak digantungkan pada ada atau tidaknya polis
asuransi. Dengan demikian, adanya polis dalam suatu perjanjian asuransi bukan
suatu keharusan sehingga perjanjian asuransi dapat dilaksanakan tanpa adanya polis
asuransi. Dalam Pasal 255 ayat (1) KUHD, disebutkan bahwa suatu pertanggungan
harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Kedua pasal ini
terlihat kontradiktif tetapi sebenarnya tidak karena polis adalah akta yang memuat
kesepakatan para pihak untuk mengatur pelaksanaan hak dan kewajiban dari
perjanjian yang sudah terbentuk pada saat kata sepakat tercapai. Oleh karenanya,
polis selain memuat hal-hal yang ditentukan oleh UU memuat pula kesepakatan para
pihak dalam hubungannya dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Setiap polis pada

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 7


dasarnya berfungsi sebagai dasar pelaksanaan perjanjian, alat bukti tulisan (Pasal
258 KUHD), dan sebagai dasar tuntutan serta penghitungan ganti rugi.

Terkandung 2 permulaan dalam perjanjian asuransi, yaitu:


1) Permulaan Formil (Pasal 257 KUHD)
Berkaitan dengan pembentukan perjanjian asuransi.
2) Permulaan Materiil (Pasal 255 KUHD)
Berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing pihak atas
perjanjian asuransi.

b. Ketentuan dalam BW
Perjanjian asuransi agar sah selain harus memenuhi ketentuan dalam KUHD juga
harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW.
➢ Syarat Subjektif
Berkaitan dengan subjek atau orang yang mengadakan perjanjian.
❖ Sepakat mereka yang mengikatkan diri (toestemming)
Kata sepakat menunjukkan adanya kesesuaian kehendak di antara kedua
subjek hukum yang mengadakan perjanjian (tanpa kekhilafan, paksaan, atau
penipuan).
❖ Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (bekwaamheid)
Kesepakatan tersebut harus dibuat oleh orang yang cakap bertindak
menurut hukum, yaitu orang yang telah dewasa atau cukup umur dan tidak
berada di bawah pengampuan serta semua orang yang oleh UU dilarang
melakukan perbuatan tertentu.
➢ Syarat Objektif
Berkaitan dengan objek dari perbuatan hukum itu sendiri.
❖ Suatu hal tertentu (bepaaldvoorwerp)
Apa yang diperjanjikan sebagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua
belah pihak jika timbul suatu perselisihan harus ditentukan dengan jelas.
❖ Suatu sebab yang halal (geoorloofde oorzaak)
Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh UU, berlawanan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum → Pasal 1337 BW.
Berdasarkan Pasal 1320 BW, maka perjanjian asuransi yang dibuat tertanggung dan
penanggung menganut asas kebebasan berkontrak dengan batasan tertentu.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 8


Implementasi Pasal 1320 BW dalam perjanjian asuransi lebih bersifat enunsiatif,
yaitu selain syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW,
maka penanggung dalam perjanjian asuransi dapat pula menambahkan syarat lain
yang diperlukan untuk sahnya perjanjian asuransi.

11. Penggolongan Asuransi


a. Asuransi Kerugian (Schade Verzekering)
Penanggung mengikatkan dirinya untuk melakukan prestasi dalam bentuk
mengganti rugi sepanjang kerugian yang timbul karena adanya peristiwa tidak pasti
yang terjadi. Pada asuransi kerugian, aspek terpenting yang dikedepankan adalah
adanya asas indemnitas yang merupakan aspek terpenting dan ciri khas dari asuransi
kerugian yang pada dasarnya hanya menutup kerugian secara riil atau nyata yang
diderita oleh tertanggung. Adanya asas indemnitas ini juga mencegah tertanggung
mendapatkan keuntungan secara finansial terhadap musibah yang dideritanya.
Contoh : asuransi kebakaran, asuransi pengangkutan, asuransi banjir, dll.
b. Asuransi Sejumlah Uang atau Asuransi Jiwa (Sommen Verzekering)
Penanggung mengikatkan diri untuk melakukan prestasi guna memberikan sejumlah
uang yang besarnya telah ditentukan sebelumnya. Pemberian sejumlah uang yang
telah ditentukan sebelumnya ini berkaitan dengan hidup dan matinya seorang atau
jiwa seseorang serta kesehatannya (kesehatan manusia). Jika tertanggung kuat dalam
membayar premi yang dikenakannya dan penanggung mempunyai kemampuan dan
sanggup membayar santunan atau ganti rugi, maka tertanggung bebas untuk
meminta ganti rugi dan penanggung bebas pula menyetujui adanya klaim asuransi
jiwa atau sejumlah uang sebesar ganti rugi yang telah disepakati bersama.
Perhitungan premi asuransi jiwa biasanya didasarkan pada angka statistik kematian
dan kelahiran penduduk serta jumlah penduduk yang ada sehingga perhitungan
dapat dilakukan secara matematis oleh aktuaris.
Contoh : asuransi jiwa dalam asuransi kredit, asuransi jiwa untuk mahasiswa, dll.
Variasi dari asuransi jiwa ini adalah asuransi kesehatan.
c. Asuransi Sosial atau Asuransi Wajib
Bentuk asuransi yang memberikan jaminan biaya kepentingan rakyat pada umumnya
dengan jumlah pemberian santunan yang telah ditetapkan oleh UU. Asuransi sosial
ini didasarkan pada asas kepantasan dan kepatutan yang lazim berlaku di masyarakat
(social adequacy) daripada menurut jumlah iuran yang diberikan oleh

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 9


masing-masing peserta (individual adequacy). Banyak program yang disajikan
dalam asuransi sosial atau wajib yang hingga saat ini berkembang pesat di
Indonesia, yaitu Taspen (Tabungan Pensiun), Asabri (Asuransi ABRI), Jamsostek
(Jaminan Sosial Tenaga Kerja), dll. Konstruksi lebih lanjut dari asuransi sosial ini
adalah bahwa asuransi ini lebih bersifat wajib, sehingga semua asuransi yang
mengandung unsur wajib digolongkan sebagai asuransi sosial yang dikelola oleh
pemerintah dan diberlakukan juga produk hukum dari pemerintah.

12. Asas Perjanjian Asuransi


a. Asas Indemnitas/Keseimbangan (Pasal 253 KUHD)
Jumlah kerugian yang harus diganti oleh penanggung besarnya seimbang dengan
kerugian yang diderita oleh Tertanggung sebagai akibat dari adanya peristiwa tidak
pasti. Sifat penanggung disini adalah memberikan ganti rugi yang besarnya dihitung
menurut perbandingan antara risiko yang dihadapi dengan kerugian yang diderita.
Ganti rugi diberikan sesuai dengan jumlah riil objek yang rusak/hilang/terbakar
apabila peristiwa tidak pasti terjadi. Apabila kerugian yang ditimbulkan karena
adanya unsur kesengajaan, maka tertanggung tidak berhak untuk mendapatkan ganti
rugi karena sifat dalam asuransi tidak diperbolehkan adanya unsur atau tujuan yang
mengharapkan keuntungan yang besar karena suatu peristiwa yang telah diharapkan
terjadi. Tertanggung dalam posisi seperti semula dan tidak ditujukan agar supaya
tertanggung menjadi lebih baik posisinya setelah mendapat ganti rugi dari
penanggung.

b. Asas Kepentingan/Insurable Interest (Pasal 250 KUHD)


Kepentingan harus ada pada tergugat pada saat mengadakan pertanggung terhadap
objek asuransi. Setiap kerugian yang timbul dalam perjanjian asuransi adalah
merupakan kewajiban penanggung untuk membayar sejumlah uang ganti rugi
kepada tertanggung dengan syarat kerugian tersebut diakibatkan oleh peristiwa tidak
pasti dan bahwa si tertanggung mempunyai kepentingan untuk kerugian tersebut.
Ketentuan pada pasal ini jangan diartikan bahwa kepentingan tersebut harus ada
pada saat mengadakan perjanjian asuransi atau pembentukan perjanjian asuransi,

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 10


tetapi pada saat terjadinya peristiwa tidak pasti. Hal ini disebabkan kepentingan
tertanggung bukanlah unsur pokok pembentukan perjanjian asuransi. Dengan
demikian, apabila risiko terjadi tetapi tertanggung tidak mempunyai kepentingan
atas objek asuransi, maka penanggung tidak wajib membayar ganti rugi. Ada atau
tidaknya kepentingan tertanggung baru dicari atau dipermasalahkan pada saat
terjadinya peristiwa tidak pasti untuk mana asuransi digantungkan. Kalau pada saat
terjadinya peristiwa tidak pasti ada kepentingan tergugat, maka penanggung wajib
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh tertanggung sesuai kerugian
yang benar-benar diderita tertanggung. Menurut Pasal 268 KUHD, tidak semua
kepentingan tertanggung dapat dijadikan objek asuransi, melainkan objek yang
dapat dinilai dengan uang, dapat diancam oleh bahaya, dan tidak dikecualikan oleh
undang-undang.
c. Asas Itikad Baik/Utmost Good Faith (Pasal 251 KUHD jo. Pasal 31 ayat (2) UU
No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian)
Tertanggung maupun penanggung harus mempunyai itikad baik dalam perjanjian
asuransi. Pada Pasal 251 KUHD, hanya tertanggung yang diharuskan mempunyai
itikad baik. Namun mengacu pada Pasal 31 ayat (2) UU Perasuransian, baik
tertanggung maupun penanggung harus mempunyai itikad baik. Tertanggung pada
saat mengajukan form aplikasi penutupan asuransi wajib memberitahukan secara
jelas dan teliti mengenai fakta penting yang berkaitan dengan dirinya atau objek
yang diasuransikan serta tidak berusaha mengambil untung dari penanggung.
Penanggung wajib memberikan informasi yang benar kepada tertanggung terkait
risiko, manfaat, kewajiban, dan pembebanan biaya terkait dengan produk asuransi
yang ditawarkan.
d. Asas Subrogasi (Pasal 284 KUHD)
Apabila diperhatikan sebab-sebab timbulnya kerugian yang diderita oleh
Tertanggung, maka akan terdapat kemungkinan bahwa Tertanggung selain mendapat
ganti rugi dari Penanggung, juga masih mempunyai tuntutan terhadap pihak ke-3
yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian pada Tertanggung. Meskipun
bertentangan dengan asas indemnitas, tidak adil apabila pihak ke-3 yang
menimbulkan kerugian tidak dituntut untuk mengganti kerugian. Pihak ke-3 dapat
dituntut hanya saja hak menuntut dilimpahkan kepada pihak Penanggung.

13. Kedudukan Polis dalam Perjanjian Asuransi

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 11


Polis merupakan kesepakatan para pihak untuk mengatur pelaksanaan hak dan kewajiban
masing-masing pihak secara timbal balik yang timbul dari adanya konsensus dalam
perjanjian asuransi yang ditulis dalam akta tertulis. Polis secara umum adalah akta yang
memuat kesepakatan para pihak untuk mengatur pelaksanaan hak dan kewajiban dari
perjanjian yang sudah terbentuk pada saat kata sepakai tercapai.
a. Kedudukan Hukum Polis
Pasal 255 KUHD menyatakan bahwa suatu pertanggungan harus dibuat secara
tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis.
➢ Adanya polis bukan merupakan syarat di dalam pembentukan suatu perjanjian
asuransi, melainkan keharusan adanya polis adalah untuk mengatur pelaksanaan
hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang timbul dari adanya
perjanjian asuransi tersebut.
➢ Keharusan adanya polis dalam Pasal 255 KUHD tidak bersifat mutlak. Ada
kebebasan bagi kedua belah pihak untuk membuat polis berdasarkan perjanjian
yang sudah disepakati. Hal ini terbukti dengan adanya suatu perjanjian asuransi
yang telah mereka bentuk tidak dihubungkan dengan kebatalan pada perjanjian
asuransinya. Meskipun demikian, menurut UU ada kewajiban bagi Penanggung
untuk membuat, menandatangani, dan menyerahkan polis pada Tertanggung
(Pasal 257 KUHD). Apabila keharusan ini tidak dilaksanakan oleh Penanggung,
maka Penanggung harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
Tertanggung sebagai akibat tidak diadakannya polis atau tidak diserahkannya
polis atau keterlambatan penyerahan polis.
➢ Keharusan adanya polis dalam perjanjian asuransi dapat disimpangi atau
ditiadakan oleh Pasal 256-261 KUHD.
b. Fungsi dan Kewajiban Polis bagi Penanggung dan Tertanggung
Pada dasarnya, polis dalam asuransi berfungsi untuk mengatur pelaksanaan hak dan
kewajiban kedua belah pihak, dasar tuntutan dan penghitungan ganti rugi, serta alat
bukti.
➢ Fungsi bagi Tertanggung
❖ Bukti tertulis atas jaminan Penanggung untuk mengganti kerugian yang
mungkin dideritanya.
❖ Bukti (kwitansi) pembayaran premi kepada Penanggung.
❖ Bukti otentik untuk menuntut Penanggung apabila lalai atau tidak
memenuhi jaminannya.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 12


➢ Fungsi bagi Penanggung
❖ Bukti (tanda terima) premi asuransi Tertanggung.
❖ Bukti tertulis atas jaminan yang diberikannya kepada Tertanggung untuk
membayar ganti rugi yang mungkin diderita Tertanggung.
❖ Bukti otentik untuk menolak tuntutan ganti rugi (klaim) apabila yang
menyebabkan kerugian tidak memenuhi syarat-syarat polis.
➢ Kewajiban bagi Penanggung
❖ Menjamin atas kerugian yang diderita Tertanggung.
❖ Wajib membuat dan menandatangani polis serta menyerahkan kepada
Tertanggung.
❖ Kewajiban untuk membayar ganti rugi apabila terjadi PTP.
➢ Kewajiban bagi Tertanggung
❖ Adanya itikad baik dengan memberikan pernyataan yang benar (Pasal 251
KUHD jo. Pasal 31 ayat (2) UU Perasuransian).
❖ Mencegah terjadinya kerugian (Pasal 283 KUHD).
❖ Membayar premi.
c. Sistem Pembuatan Polis Asuransi
➢ Sistem Konvensional
Polis ini memuat jenis-jenis bahaya tertentu sebagai akibat kerugian yang
ditimbulkan nantinya menjadi beban tanggung jawab Penanggung, artinya
Penanggung tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
barang-barang yang diasuransikan yang bahayanya tidak disebutkan dalam polis
asuransinya. Penutupan asuransi atas bahaya tertentu yang disebutkan dalam
sistem konvensional ini termasuk bahaya tertentu yang dikecualikan oleh UU.
➢ Sistem Semua Risiko
Penanggung menjamin terhadap kemungkinan risiko yang diderita oleh
Tertanggung sebagai akibat terjadinya bahaya apapun yang mungkin
mengancam barang yang diasuransikan. Polis asuransi dalam pendekatan ini
memuat bahaya-bahaya tertentu yang akibat kerugiannya bukan menjadi
tanggung jawab Penanggung. Sistem ini termasuk bahaya-bahaya tertentu yang
dikecualikan oleh UU. Bahaya yang dikecualikan oleh UU tidak ditanggung
walaupun UU mengecualikan Penanggung tidak bertanggung jawab atas
kerugian.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 13


14. Objek Bahaya dan Objek Asuransi
Dalam Pasal 1320 BW, salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya objek
tertentu. Pada perjanjian asuransi, objek yang dimaksud adalah objek bahaya. Suatu
perjanjian asuransi yang tidak ada objek bahaya maka menjadi tidak sah dan bukan
termasuk objek asuransi.
a. Objek Bahaya
Segala sesuatu yang dapat dikenai bahaya dimana untuk bahaya tersebut asuransi itu
diadakan dan bahaya itulah yang kemudian disebut sebagai peristiwa tidak pasti.
Objek bahaya berupa suatu hal, tidak selalu harta benda atau harta kekayaan
seseorang, tetapi segala sesuatu yang dapat dikenai bahaya.
b. Objek Asuransi
Kepentingan seseorang yang melekat pada objek bahaya yang dapat menderita
kerugian karena terjadinya bahaya pada objek bahaya. Objek asuransi selalu berupa
kepentingan seseorang yang melekat pada objek bahaya. Objek asuransi adalah harta
kekayaan yang merupakan pokok pertanggungan yang dapat diancam oleh suatu
bahaya (peristiwa tidak pasti).
Dengan berkembangnya zaman, perjanjian asuransi dapat diadakan bukan saja terhadap
harta kekayaan atau barang yang secara nyata ada, namun terhadap barang yang belum
ada pun dapat diadakan perjanjian asuransi. Kalau terjadi PTP untuk mana asuransi
digantungkan yang menimpa objek bahaya, maka yang menderita kerugian adalah
kepentingan tertanggung yang melekat pada objek bahaya tersebut. Apabila semua
kepentingan tertanggung melekat pada objek bahaya tersebut diasuransikan, maka
penanggung bertanggung jawab atas kerugian pada objek asuransi tersebut. Namun,
kalau kepentingan tertanggung yang melekat pada objek asuransi tersebut tidak
diasuransikan semuanya, maka penanggung hanya bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh kepentingan yang diasuransikan saja (objek asuransi). Berdasarkan Pasal
268 KUHD, kepentingan yang dapat menjadi objek asuransi harus memenuhi syarat
sebagai berikut.
➢ Dapat dinilai dengan uang.
➢ Dapat diancam oleh suatu bahaya.
➢ Tidak dikecualikan oleh undang-undang.
Contoh : pada asuransi jiwa, objek bahaya adalah jiwa seseorang dan objek asuransi
adalah sejumlah uang asuransi yang telah diperjanjikan pada saat penutupan perjanjian
asuransi.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 14


15. Tanggung Jawab Penanggung dan Pelaksanaan Pembayaran Ganti Rugi
Perjanjian asuransi yang telah memenuhi syarat umum ataupun khusus dalam arti sah
menurut hukum dan tidak terkandung suatu hal yang menyebabkan batalnya perjanjian
tidaklah selalu diakhiri dengan pemenuhan kewajiban pembayaran ganti rugi oleh
penanggung. Setiap kerugian yang timbul dalam perjanjian asuransi adalah kewajiban
penanggung untuk membayar sejumlah uang yang disebut ganti rugi (verzekerde som)
kepada tertanggung dengan syarat kerugian tersebut diakibatkan oleh PTP yang telah
disepakati dan terbukti bahwa tertanggung benar-benar berkepentingan untuk kerugian
tersebut (tidak semua kerugian yang timbul secara otomatis menjadi tanggung jawab
penanggung, harus dilakukan penelitian terlebih dahulu).
a. Kriteria Penentu Apakah Penanggung Harus Memenuhi Kewajibannya
➢ PTP yang terjadi secara wajar tidak dapat diharapkan terjadinya meskipun
peristiwa tersebut telah diperjanjikan lebih dulu terjadinya.
➢ Kerugian yang terjadi benar-benar diakibatkan oleh PTP yang diperjanjikan
dalam perjanjian asuransi yang dimuat dalam polis.
➢ Penanggung tidak wajib membayar ganti rugi bila kerugian disebabkan oleh
cacat atau kebusukan barang sendiri (Pasal 249 KUHD).
➢ Penanggung tidak wajib membayar ganti rugi bila kerugian timbul dari
kesalahan tertanggung sendiri.
b. Hal yang Membatasi Tanggung Jawab Penanggung
➢ Barang atau Objek Bahaya
Mengenai cacat pada barang yang dijadikan objek bahaya yang diatur dalam
Pasal 249 KUHD, bahwa ada 3 hal yang dimana penanggung bebas dari
tanggung jawabnya, yaitu:
❖ Kerusakan atau kerugian diakibatkan oleh cacat barang itu sendiri.
❖ Barang busuk sendiri.
❖ Sifat umumnya pada barang tersebut.
➢ Bebas dari Pihak Tertanggung
Tanggung jawab penanggung bisa dibatasi dengan cara membuat
klausul-klausul pada saat penutupan perjanjian asuransi. Dalam praktik,
klausula yang sering dipakai adalah klausula “all risk”, sedangkan untuk
asuransi laut dikenal dengan adanya molest (Pasal 637 KUHD).

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 15


c. Alasan yang Dapat Digunakan Penanggung untuk Menolak Ganti Rugi
Tertanggung
➢ Utmost Good Faith dari tertanggung pada saat mengadakan perjanjian asuransi
(Pasal 251 KUHD).
➢ Kepentingan pada tertanggung pada perjanjian asuransi tersebut (Pasal 250
KUHD).
➢ Cacat sendiri pada barang atau orang yang diasuransikan (Pasal 249 KUHD).
➢ Kesalahan tertanggung secara sengaja dengan tujuan mendapatkan pembayaran
asuransi (Pasal 267 jo. Pasal 307 KUHD).

16. Reasuransi
Reasuransi adalah jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh
perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya. Secara
umum, reasuransi berarti mengasuransikan kembali apa yang telah diasuransikan oleh
Tertanggung kepada perusahaan reasuransi.
a. Alasan Dilakukannya Reasuransi
➢ Adanya kemungkinan dimana penanggung pertama menerima perlindungan
risiko yang besar dengan aman tanpa ancaman dan ketidakseimbangan solvensi.
➢ Memungkinkan penanggung pertama untuk tetap menjaga stabilitas usaha tanpa
rasa khawatir terhadap adanya tuntutan klaim bersamaan, klaim besar yang tidak
diantisipasi, yang dapat membahayakan perusahaan.
➢ Dapat membagi dampak ekonomi yang disebabkan oleh terjadinya peristiwa
besar pada beberapa negara.
Biasanya perusahaan reasuransi adalah suatu jenis usaha yang bersifat internasional,
yang ruang lingkup dan jangkauan usahanya sangat luas.
b. Persamaan dan Perbedaan Asuransi dengan Reasuransi

Asuransi Reasuransi

Perjanjian yang diadakan oleh pihak Perjanjian yang diadakan oleh pihak
pertama (perusahaan asuransi) sebagai pertama (perusahaan asuransi) sebagai
penanggung pertama dengan pihak penanggung pertama dengan pihak
kedua yang berkepentingan kedua (perusahaan reasuransi) sebagai

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 16


(masyarakat, perorangan, lembaga, penanggung ulang.
badan usaha, dll.)

Perusahaan asuransi sebagai Perusahaan reasuransi sebagai


penanggung pertama secara langsung penanggung ulang dalam reasuransi
berhubungan dengan konsumen jasa sehingga tidak berhubungan langsung
asuransi yang mempunyai kepentingan dengan konsumen jasa asuransi,
untuk diasuransikan. melainkan perusahaan asuransi.

Tidak semua jenis perjanjian asuransi Perjanjian reasuransi pada hakikatnya


tunduk pada asas indemnitas. tunduk pada asas indemnitas.

Bab II. Hukum Perbankan

1. Dasar Hukum Perbankan


➢ UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
➢ UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.

2. Perbedaan Perbankan dengan Bank


a. Pasal 1 angka 1 UU Perbankan
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya.
b. Pasal 1 angka 2 UU Perbankan
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Perbankan bukan hanya sekedar bank, tetapi semua hal terkait dengan bank. Dapat
ditafsirkan bahwa perbankan merupakan suatu sistem di dalam bank, antara lain
misalnya tentang bentuk hukumnya, proses pendiriannya, organ-organnya, organisasi
perusahaannya, tata cara perekrutan SDM, penilaian kerja SDM, dll. Sedangkan bank
merupakan suatu bentuk kegiatan, khususnya kegiatan menghimpun dana milik

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 17


masyarakat untuk kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan
dalam bentuk pemberian pinjaman atau kredit.

3. Fungsi Utama Perbankan Indonesia


Pasal 3 UU Perbankan menyatakan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia adalah
sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Melalui pasal ini, dapat ditafsirkan
bahwa bank menjadi pengelola dana masyarakat. Bank dalam melaksanakan kegiatan
usahanya tidak menggunakan dana milik bank, melainkan menggunakan dana milik
masyarakat. Hal ini menyebabkan bank berbeda dengan badan-badan usaha lainnya yang
harus memiliki dan mengelola modal sendiri dengan tujuan akhir untuk memperoleh
keuntungan.

4. Prinsip Kehati-hatian
a. Pasal 2 UU Perbankan
Mengingat dana yang digunakan bank adalah dana milik masyarakat, maka
masyarakat harus menanggung risiko jika terjadi suatu peristiwa yang tidak
diinginkan karena bank tidak menjamin hal tersebut. Oleh sebab itu, dalam Pasal 2
UU Perbankan ditegaskan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Prinsip
ini diartikan sebagai pikiran dasar yang bersifat umum dan abstrak sehingga tidak
dapat diterapkan secara langsung pada suatu peristiwa dan karena itu asas hukum
harus dikonkritisasi (yang diterapkan adalah pasal yang mengandung prinsip atau
asas hukum tersebut). Seluruh peraturan bagi kegiatan bank harus dan wajib
bersandar pada prinsip kehati-hatian sehingga dapat ditafsirkan bahwa prinsip
kehati-hatian menjadi barometer untuk menilai ketentuan-ketentuan bidang
perbankan telah dibuat dan diberlakukan dengan semangat kehati-hatian.
Contoh : Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan menyatakan bahwa bank wajib
memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal,
kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain
yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai
dengan prinsip kehati-hatian.
b. Konkritisasi Prinsip Kehati-hatian
➢ Saat akan mendirikan suatu bank, maka yang menjadi perhatian adalah besarnya
modal. Bank didirikan dengan modal awal yang besarnya ditentukan jauh di atas

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 18


yang telah ditentukan di dalam UU Perseroan Terbatas. Dalam UU Perseroan
Terbatas ditentukan bahwa untuk mendirikan PT perlu modal dasar minimal 50
juta rupiah. Saat didirikan, modal yang disetor minimal besarnya adalah 25%
dari modal dasar, yaitu 12,5 juta rupiah. Untuk mendirikan bank umum, wajib
menyediakan modal yang disetor besarnya 3 triliun rupiah sehingga modal dasar
bank umum minimal 12 triliun rupiah. Untuk mendirikan bank digital, wajib
menyediakan modal yang disetor besarnya 10 triliun rupiah sehingga modal
dasar bank digital minimal 40 triliun rupiah.
➢ Terkait kepengurusan, diatur berbeda pula antara bank dengan UU Perseroan
Terbatas. Dalam UU Perseroan Terbatas diatur bahwa Direksi PT terdiri dari
seorang direktur atau lebih dari seorang direktur. Untuk bank, jumlah anggota
Direksi tidak boleh kurang dari 3 direktur dan setidaknya 50% harus sudah
memiliki pengalaman sebagai pejabat eksekutif bank. Diatur pula secara khusus
bahwa 1 dari antara anggota Direksi berkedudukan sebagai Direktur Kepatuhan.
Selain itu, untuk menjadi Direksi bank harus terlebih dahulu lulus Fit & Proper
Test yang akan dilakukan oleh otoritas bidang perbankan.
➢ Dalam menjalankan fungsinya, bank diikat dengan ketentuan-ketentuan yang
mewajibkan bank harus bertindak hati-hati. Saat bank menerima setoran dana
dari masyarakat, maka dalam batas jumlah tertentu diwajibkan kepada
masyarakat untuk menyebutkan sumber dana. Demikian juga, jika ada transaksi
oleh nasabah yang dinilai mencurigakan, menjadi kewajiban bagi bank untuk
melapor kepada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)
dalam waktu paling lama 3 hari setelah transaksi.

5. Prinsip Perbankan
a. Prinsip Kepercayaan (Fiduciary Principle)
Diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan. Kepercayaan menjadi hal yang
fundamental karena kepercayaan nasabah terhadap bank merupakan keyakinan
bahwa bank dapat melaksanakan pelayanan jasa di bidang keuangan yang baik bagi
nasabah.
b. Prinsip Kerahasiaan (Confidentiality Principle)
Diatur dalam Pasal 40 sampai Pasal 47A UU Perbankan. Bank wajib merahasiakan
segala keterangan nasabah yang berhubungan dengan penyimpanan dan

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 19


simpanannya, kecuali ditentukan lain dalam UU, seperti pajak, utang piutang bank,
kepentingan pengadilan, dsb.
c. Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principle)
Diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan. Bank harus bersikap
hati-hati dalam melaksanakan kegiatannya sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat agar keuangan bank selalu dalam keadaan sehat dan bank dapat
melaksanakan kegiatannya dengan baik serta dapat mematuhi peraturan
perundang-undangan terkait.
d. Prinsip Mengenal Nasabah (Know How Customer Principle)
Diatur dalam Peraturan BI No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah. Diterapkan oleh bank untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah,
mengidentifikasi transaksi nasabah, dan melaporkan setiap transaksi yang dianggap
mencurigakan.

6. Kategori Nasabah Bank dan Hubungan Hukum dengan Bank


a. Nasabah Kreditur
Nasabah yang menyimpan dana atau nasabah deposan. Hubungan antara bank
dengan nasabah penyimpan dana diwujudkan dengan adanya simpanan. Pasal 1
angka 5 UU Perbankan menyatakan bahwa simpanan adalah dana yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan
dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dengan demikian, perbuatan hukum yang
dilakukan bank adalah menerima simpanan dana milik masyarakat.
b. Nasabah Debitur
Nasabah yang meminjam dana dari bank. Hubungan antara bank dengan nasabah
peminjam dana diwujudkan dengan adanya kredit. Pasal 1 angka 11 UU Perbankan
menyatakan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Dengan demikian, perbuatan hukum yang dilakukan bank adalah memberi pinjaman
dana kepada masyarakat.

7. Bank sebagai Lembaga Kepercayaan

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 20


Bank sebagai lembaga kepercayaan manakala dilihat hubungan antara bank dengan
nasabah penyimpan dana, bukan dengan nasabah peminjam dana. Dasar masyarakat
menyimpan uang yang utama adalah kepercayaan terhadap bank yang kemudian
diwujudkan dalam bentuk perjanjian penyimpanan dana. Selain itu, tidak ditegaskan
adanya kewajiban bank untuk mengembalikan dana simpanan. Berbeda saat bank
memberikan kredit, tidak didahului adanya kepercayaan kepada nasabah. Selain itu,
diatur secara tegas adanya kewajiban masyarakat yang menerima kredit untuk
mengembalikan atau melunasi kredit yang telah diterimanya. Dasar masyarakat
menyimpan dana di bank karena adanya kepercayaan yang ditegaskan dalam Pasal 29
ayat (3) UU Perbankan yang menyatakan bahwa dalam memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank
wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang
mempercayakan dananya kepada bank. Mengingat bank terutama bekerja dengan dana
dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus
menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya. Berbeda saat
masyarakat yang membutuhkan dana dari bank atau nasabah kreditur, UU Perbankan
tidak merumuskan adanya unsur kepercayaan seperti halnya pada saat nasabah
penyimpan dana memberikan dananya kepada bank untuk disimpan. Ditegaskan dalam
UU Perbankan bahwa antara bank dengan nasabah debitur terikat perjanjian pinjam
meminjam uang atas dasar kesepakatan, selain juga ada ditegaskan kewajiban nasabah
debitur untuk mengembalikan pinjaman yang telah diterimanya.

8. Nasabah Kreditur sebagai Kreditur Konkuren


Bank tidak pernah secara tegas memberikan asetnya untuk menjamin dana yang
diterimanya sebagai simpanan, sekalipun bank merupakan kegiatan usaha yang
beroperasi dengan menggunakan dana milik nasabah penyimpan dana. Nasabah
penyimpan dana semata-mata mengandalkan rasa percaya kepada bank bahwa bank akan
mampu mengembalikan dana yang disimpan itu saat nasabah mengambilnya kembali.
Dengan tidak adanya aset milik bank yang dijadikan jaminan bagi dana yang disimpan di
bank, menunjukkan bahwa simpanan nasabah penyimpan dana di bank bukan merupakan
piutang yang diistimewakan, artinya piutang yang tidak dijamin dengan hak jaminan
apapun sehingga kedudukan nasabah kreditur hanyalah seorang kreditur konkuren.
Menurut Sutan Remy Syahdeini, kreditur konkuren memiliki tingkat prioritas sebagai
berikut.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 21


➢ Berkedudukan lebih rendah daripada kreditur preferen sepanjang menyangkut hasil
penjualan harta milik tertentu dari bank yang dijadikan barang agunan yang diikat
dengan hak jaminan yang memberikan hak preferen kepada kreditur-kreditur yang
bersangkutan.
➢ Harus berbagi secara proporsionil menurut perbandingan besarnya piutang
masing-masing dengan sesama para kreditur konkuren atas hasil penjualan harta
milik bank yang tidak dijadikan barang agunan yang diikat dengan hak jaminan
yang memberikan hak preferen.
Dengan bersandar pada Pasal 1131 BW jo. Pasal 1132 BW, nasabah penyimpan dana
dengan aset milik bank secara umum, artinya tidak menunjuk pada aset tertentu, dan oleh
karena itu penjaminannya pun secara umum, artinya berbagi dengan kreditur konkuren
lainnya seimbang dengan besarnya piutang atau simpanan masing-masing. Dari
kedudukannya sebagai kreditur konkuren inilah dapat ditafsirkan bahwa kepercayaan
nasabah penyimpan dana kepada bank merupakan jaminan utama.

9. Analisa Kredit oleh Bank dalam Memberikan Kredit


Dalam Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan, dinyatakan bahwa dalam memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan
berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan
Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud
sesuai dengan yang diperjanjikan. Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
oleh bank mengandung risiko sehingga dalam pelaksanaannya bank harus
memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang
sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan
merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Analisa 5 C (The Five C’s
of Credit) adalah sebagai berikut.
➢ Watak (Character)
Menganalisis dari segi kepribadian atau karakter nasabah calon peminjam/debitur.
➢ Kemampuan (Capacity)
Menilai kemampuan nasabah calon debitur dalam mengelola usaha yang dimilikinya
(lebih ditekankan pada kemampuan manajerial nasabah calon debitur).
➢ Modal (Capital)

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 22


Kemampuan terkait kondisi aset dan kekayaan atau aset investasi lainnya yang
dimiliki oleh nasabah calon debitur.
➢ Agunan (Collateral)
Satu-satunya unsur jaminan yang memiliki nilai ekonomis secara langsung sebab
ketika debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam mengembalikan pinjaman,
maka pihak bank dapat menyita aset yang telah dijaminkan.
➢ Prospek Usaha (Condition)
Analisis terhadap faktor di luar diri nasabah calon debitur.
Mengingat bahwa agunan merupakan salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila
berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah
debitur mengembalikan pinjaman, agunan hanya dapat berupa barang, proyek, atau hak
tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya
didasarkan pada hukum dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Bank
tidak wajib meminta agunan tambahan berupa barang yang tidak berkaitan langsung
dengan objek yang dibiayai. Jaminan berbeda dengan agunan, sebab jaminan adalah
tanggungan atas pinjaman yang diterima atau garansi atau janji seseorang untuk
menanggung utang atau kewajiban tersebut jika tidak dipenuhi, sedangkan agunan adalah
jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka
pemberian fasilitas kredit.

Bab III. Hukum Perseroan

1. Sifat Badan Usaha


a. Komersial dan Non-Komersial
➢ Komersial
Menjadikan perolehan keuntungan sebagai tujuan utama didirikannya badan
usaha tersebut.
➢ Non-Komersial
Perolehan keuntungan bukan menjadi tujuan utama, melainkan demi
mendukung kelangsungan kegiatan usaha.
b. Perorangan dan Kerjasama
➢ Perorangan
Kegiatan usaha dilakukan sendiri, tanpa melibatkan pihak-pihak lain.
➢ Kerjasama

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 23


Kegiatan usaha dilakukan dengan cara melibatkan pihak-pihak lain.
c. Badan Hukum dan Bukan Badan Hukum
➢ Badan Hukum
Perbuatan yang dilakukan dalam rangka kegiatan usaha dipandang sebagai
perbuatan badan itu tersendiri, terlepas dari pribadi (badan hukum sebagai
subjek hukum).
➢ Bukan Badan Hukum
Perbuatan yang dilakukan dalam rangka kegiatan usaha dipandang sebagai
perbuatan pribadi perorangannya. Konsekuensinya adalah segala akibat menjadi
tanggung jawab pribadi orang tersebut.

2. Badan Hukum sebagai Subjek Hukum


Subjek hukum (rechtsubject) adalah pendukung hak dan kewajiban, yang dapat berwujud
manusia (natuurlijke persoon) atau badan hukum (recht persoon). Badan hukum adalah
suatu badan yang diakui dan dianggap sebagai pendukung hak-hak dan
kewajiban-kewajiban seperti halnya manusia. Badan hukum merupakan subjek hukum
menurut konsep “yuridis”, sebagai gejala hidup bermasyarakat, merupakan ciptaan
manusia berdasarkan hukum. Berbeda dengan manusia yang dapat melakukan sesuatu
kecuali yang dilarang oleh hukum, badan hukum tidak dapat melakukan apapun kecuali
yang diperkenankan oleh hukum. Contoh badan hukum adalah PT, Yayasan, dan
Koperasi.
a. Teori Badan Hukum
➢ Teori Fiksi (Von Savigny)
Badan hukum hanyalah fiksi, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi
orang yang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subjek hukum yang
dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Menurut alam, hanya
manusia selaku subjek hukum, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya,
badan hukum selaku subjek hukum diperhitungkan sama dengan manusia.
➢ Teori Organ (Otto von Gierke)
Badan hukum bukan abstrak (fiksi) belaka, melainkan sebagai suatu kenyataan
yang ada dalam masyarakat. Badan hukum membentuk kehendaknya dengan
perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut (misalnya
anggota-anggota atau pengurus badan hukum tersebut).
➢ Teori Kenyataan Yuridis (Meijers)

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 24


Badan hukum merupakan suatu realitas dan konkrit, bukan khayal tetapi
kenyataan yuridis. Badan hukum sebagai realitas yuridis, adanya badan hukum
itu ditentukan oleh hukum sedemikian itu.
➢ Teori Konsesi (Gierke)
Badan hukum dalam negara tidak memiliki kepribadian hukum, kecuali
diperkenankan oleh hukum dan dalam hal ini berarti negara.
b. Karakteristik Badan Hukum
➢ Merupakan organisasi.
➢ Dapat melakukan perbuatan hukum.
➢ Memiliki harta kekayaan sendiri.
➢ Mempunyai hak dan kewajiban sendiri.
➢ Mempunyai pengurus.
➢ Dapat digugat maupun menggugat.
Badan hukum merupakan suatu wadah usaha yang memiliki harta kekayaan sendiri,
yang dengan harta kekayaan itu, badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum
sendiri, sekaligus bertanggung jawab sendiri dalam rangka mencapai tujuannya.
Namun, mengingat badan hukum tidak mempunyai bentuk, maka tetap dibutuhkan
orang perseorangan sebagai pengurus, untuk mewakili badan hukum dalam
melaksanakan aktivitas lalu linta hukum.

3. Badan Usaha Bukan Badan Hukum : Maatschap atau Persekutuan


a. Induk dari Firma dan CV
Menurut doktrin atau ajaran hukum klasik, Maatschap adalah bentuk
induk/umum/genus dari Firma dan CV yang adalah bentuk khusus/varian/species
dari Maatschap sehingga akibat hukumnya adalah ketentuan-ketentuan yang
mengatur Maatschap berlaku pula untuk Firma dan CV. Secara formal, tentang
berlakunya ketentuan hukum Maatschap untuk Firma dan CV didasarkan pada Pasal
1 jo. Pasal 15 KUHD.
b. Pengertian Maatschap
Pasal 1618 BW, persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau
lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan
maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya. Sekalipun dirumuskan
bahwa tujuan didirikannya Maatschap adalah untuk membagi keuntungan, namun di

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 25


dalam praktek Maatschap digunakan untuk kegiatan yang berhubungan dengan
pekerjaan profesi sehingga tidak lepas dari unsur sosial.
Contoh : Pasal 20 ayat (1) UU Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris dapat
menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata dengan tetap
memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakan dalam menjalankan jabatannya.
c. Maatschap sebagai Badan Usaha Bukan Badan Hukum
Salah satu unsur dari Maatschap adalah memasukkan sesuatu ke dalam (inbreng)
yang diatur dalam Pasal 1619 BW yang menyatakan bahwa masing-masing sekutu
diwajibkan memasukkan uang, barang-barang lain ataupun kerajinannya ke dalam
perseroan itu. Oleh karena Maatschap bukan sebagai badan hukum, Maatschap
tidak memiliki kekayaan sendiri. Harta yang dimasukkan ke dalam adalah milik
sekutu dan hanya penggunaanya saja untuk sekutu. Oleh karena itu, harta menjadi
tanggung jawab pribadi masing-masing sekutu.
d. Pendirian dan Pendaftaran Maatschap
Diatur dalam Permenkumham No. 17 Tahun 2018. Maatschap didirikan dengan
membuat akta pendirian dengan memenuhi persyaratan pendirian agar akta tersebut
dapat disahkan. Penandatanganan akta dilakukan di hadapan notaris sebagai
perjanjian antara para sekutu persekutuan. Kemudian, didaftarkan melalui SABU
(Sistem Administrasi Badan Usaha) untuk penerbitan SKT (Surat Keterangan
Terdaftar) yang menjadi tanda bukti pendaftaran Persekutuan Perdata secara sah.
e. Pertanggungjawaban Maatschap
Pada asasnya, Maatschap diadakan oleh UU semata-mata untuk hubungan intern
diantara para pesero, tanpa berpengaruh secara ekstern. Artinya, ikatan Maatschap
bersifat intern sehingga sekalipun ada pesero yang melakukan perbuatan hukum atas
nama Maatschap, hal itu tidak mengikat pesero lain yang tidak turut melakukan
perbuatan hukum tersebut. Namun, berdasarkan Pasal 1642 - Pasal 1644 BW,
dimungkinkan perbuatan ekstern dari seorang pesero akan mengikat pesero yang
lain dalam hal:
➢ Perbuatan yang dilakukan oleh pesero pelaku didasarkan atas kuasa pesero
non-pelaku.
➢ Perbuatan yang dilakukan pesero pelaku memberikan manfaat bagi Maatschap.
f. Kepengurusan Maatschap
Semua pesero dalam Maatschap adalah pengurus, jadi semua berhak menjabat
sebagai direktur, kecuali dijanjikan lain diantara para pesero. Dirumuskan dalam

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 26


Pasal 1639 alinea kesatu BW bahwa jika tidak ada janji-janji khusus mengenai
cara-caranya mengurus, maka para sekutu dianggap secara bertimbal balik telah
memberikan kuasa supaya yang satu melakukan pengurusan bagi yang lainnya. Pada
prinsipnya, semua pesero adalah direktur tetapi tidak dilarang jika satu atau lebih
diantara para pesero tersebut melepaskan haknya untuk mengurus atau yang
bersangkutan tidak bersedia menjadi direktur. Terdapat 2 teknis bagi pesero yang
ingin melepaskan haknya mengurus, yaitu:
➢ Gerant Statutair
Dicantumkan dalam akta pendiriannya, khususnya dalam Anggaran Dasar. Jadi,
hak melepaskan untuk mengurus sudah diputuskan sejak awal, yaitu sejak saat
didirikan.
➢ Gerant Mandatair
Dicantumkan dalam akta yang terpisah dari Anggaran Dasar karena hak
melepaskan untuk mengurus dilakukan kemudian setelah didirikan atau setelah
perusahaan berjalan.
Kewenangan direktur bertindak hanya menyangkut perbuatan beheren (perbuatan
pengurusan) saja, sedangkan untuk perbuatan beschikking tetap harus ada
persetujuan atau diketahui semua pesero, termasuk pesero yang sudah melepaskan
haknya untuk mengurus, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1639 alinea keempat
BW.
g. Pembagian Keuntungan Para Sekutu dalam Maatschap
Maatschap bersifat profit oriented dan pembagian keuntungan melalui perjanjian
pembagian keuntungan para sekutu yang bersifat intern. Pendapatan yang masuk
dikelola bersama dan dibagi berdasarkan perimbangan yang berdasarkan pada
kesepakatan atau inbreng yang dimasukkan para sekutu.
➢ Pasal 1633 BW
(1) Jika di dalam perjanjian persekutuan tidak telah ditentukan bagian
masing-masing sekutu dalam untung dan ruginya persekutuan maka bagian
masing-masing adalah seimbang dengan apa yang ia telah masukkan dalam
persekutuan.
(2) Terhadap si sekutu yang hanya memasukkan kerajinannya, bagian dari
untung rugi ditetapkan lama dengan bagian si sekutu yang memasukkan
uang atau barang paling sedikit.
➢ Pasal 1635 BW

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 27


Janji dengan mana kepada salah seorang sekutu dijanjikan semua keuntungan,
adalah batal. Namun itu adalah diperbolehkan untuk memperjanjikan bahwa
semua kerugian semata-mata akan dipikul oleh salah seorang sekutu atau lebih.
h. Berakhirnya Maatschap
Diatur dalam Pasal 1646 BW.
➢ Dengan lewatnya waktu untuk mana persekutuan telah diadakan.
➢ Dengan musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok
persekutuan.
➢ Atas kehendak semata-mata dari beberapa atau seorang sekutu.
➢ Jika salah seorang sekutu meninggal atau ditaruh di bawah pengampuan atau
dinyatakan pailit.

4. Badan Usaha Bukan Badan Hukum : Firma (Vennootschap Onder een Firma)
a. Pengertian Firma
Firma merupakan bentuk khusus dari Maatschap. Dalam Pasal 16 KUHD, yang
dinamakan perseroan firma ialah tiap-tiap perserikatan yang didirikan untuk
menjalankan sesuatu perusahaan di bawah satu nama bersama. Kata “firma” berarti
nama yang dipakai untuk berdagang atau berusaha bersama-sama itu sama dengan
nama bersama yang akan digunakan untuk melakukan perbuatan hukum.
b. Pertanggungjawaban Firma
Pertanggungjawaban Fa diatur dalam Pasal 18 KUHD yang menyatakan bahwa
dalam perseroan firma adalah tiap-tiap pesero secara tanggung-menanggung
bertanggung jawab untuk seluruhnya atas segala perikatan dari perseroan.
Berdasarkan pasal tersebut, dapat ditafsirkan terdapat 2 bentuk tanggung jawab,
yaitu:
➢ Tanggung jawab renteng, yaitu tanggung menanggung atau saling bertanggung
jawab di antara para pesero.
➢ Tanggung jawab penuh, yaitu tanggung jawab senilai perikatan sehingga jika
dari harta yang terkumpul dalam Fa tidak mencukupi, maka diambilkan dari
harta kekayaan pribadi.
Dengan demikian, tanggung jawab pesero dalam Fa tidak bersifat perorangan,
melainkan saling menanggung atau tanggung menanggung hingga harta kekayaan
pribadi. Tanggung jawab renteng memberikan atau menimbulkan konsekuensi
sebagai berikut.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 28


➢ Jika salah seorang pesero melakukan perbuatan hukum, maka pesero yang lain
menjadi terikat.
➢ Jika salah seorang pesero telah memenuhi kewajiban, maka pesero yang lain
menjadi bebas.
➢ Jika kewajiban tidak memenuhi, maka pihak ketiga dapat menggugat pesero
pelaku dan atau pesero yang lain.
Di dalam praktek, yang akan dipertanggungjawabkan terlebih dahulu adalah harta
kekayaan pesero-pesero yang dihimpun dalam Fa, jika ternyata tidak mencukupi
baru akan diambil dari harta kekayaan pribadi pesero-pesero. Harta kekayaan Fa
yang dipertanggungkan terlebih dahulu tersebut harus diartikan sebagai himpunan
atau kumpulan harta kekayaan pribadi-pribadi para firmantennya, bukan harta
kekayaan Fa sebagai suatu badan.
c. Kepengurusan Firma
Tidak berbeda dengan Maatschap, pesero Fa pun secara otomatis menjadi direktur
Fa, kecuali yang bersangkutan melepaskan haknya untuk menjadi pengurus. Pasal
17 alinea 1 KUHD menyatakan bahwa tiap-tiap pesero yang tidak dikecualikan dari
satu sama lain, berhak untuk bertindak, untuk mengeluarkan dan menerima uang
atas nama perseroan, pula untuk mengikat perseroan itu dengan pihak ketiga dan
pihak ketiga dengannya. Namun, untuk perbuatan beschikking tetap membutuhkan
persetujuan semua pesero, termasuk pesero yang telah melepaskan haknya untuk
mengurus.
d. Perbedaan Firma dengan Maatschap
Maatschap disediakan oleh UU semata-mata untuk hubungan intern di antara para
sekutu, tanpa berpengaruh secara ekstern. Jadi, sekalipun ada sekutu yang
melakukan perbuatan hukum dengan mengatasnamakan Maatschap, hal itu tidak
mengikat sekutu lainnya yang tidak turut melakukan perbuatan tersebut. Berbeda
dengan Firma, ikatan para sekutu bersifat intern dan ekstern sehingga berakibat
hukum jika ada satu sekutu Fa melakukan perbuatan hukum, maka demi hukum juga
mengikat sekutu-sekutu lainnya yang tidak turut melakukan perbuatan hukum
tersebut .

5. Badan Usaha Bukan Badan Hukum : CV (Commanditaire Vennootschap)


a. Pengertian CV

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 29


Menurut pandangan klasik, Firma adalah bentuk umum dari CV atau dengan kata
lain CV adalah bentuk khusus dari Firma. Berdasarkan Pasal 19 alinea 1 KUHD,
perseroan secara melepas uang yang juga dinamakan perseroan komanditer,
didirikan antara satu orang atau beberapa pesero yang secara tanggung-menanggung
bertanggung jawab untuk seluruh pada pihak satu, dan satu orang atau lebih sebagai
pelepas uang pada pihak lain.
b. Jenis Sekutu dalam CV
➢ Sekutu Aktif (Komplementer)
Sekutu/pesero yang bertanggung jawab renteng antara satu sekutu/pesero
dengan sekutu/pesero yang lain, dan penuh senilai perikatan.
➢ Sekutu Pasif (Komanditer)
Sekutu pelepas uang, yaitu sekutu/pesero yang sifatnya hanya melepaskan uang
saja. Sekutu/pesero yang demikian bertanggung jawab terbatas sampai pada
bagiannya (inbreng) yang dimasukkan. Menurut Pasal 20 KUHD, terdapat sifat
sekutu/pesero diam, yaitu:
❖ Nama pesero pelepas uang tidak boleh digunakan untuk nama CV.
❖ Tidak boleh melakukan pekerjaan pengurusan sekalipun dikuasakan untuk
hal tersebut.
❖ Tanggung jawab terbatas.
c. Pertanggungjawaban CV
➢ Tanggung Jawab Sekutu Aktif
Tanggung jawab bersifat renteng dan penuh, artinya di antara pesero aktif akan
saling bertanggung jawab atas perbuatan masing-masing yang dilakukan atas
nama perseroan. Selain itu, bertanggung jawab penuh artinya penuh senilai
perikatannya. Jika dari aset yang terkumpul dalam CV ternyata tidak mencukupi
untuk memenuhi perikatan, maka pesero aktif harus memenuhinya dari aset
yang tidak turut ditanamkan dalam CV (harta kekayaan pribadi).
➢ Tanggung Jawab Sekutu Pasif
Tanggung jawab terbatas hanya pada bagiannya dalam CV, sebagaimana diatur
dalam Pasal 20 alinea 3 KUHD. Sekutu pasif tidak memikul kerugian yang
lebih daripada jumlah uang yang telah dimasukkan olehnya sebagai modal
dalam perseroan.
d. Kepengurusan CV

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 30


Pesero aktif dalam CV berhak mengurus sebagaimana sekutu dalam Fa. Namun,
pesero pasif dalam CV dilarang untuk mengurus sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 20 alinea 2 KUHD yang menyatakan bahwa sekutu pasif tak diperbolehkan
melakukan perbuatan-perbuatan pengurusan atau bekerja dalam perusahaan
perseroan, sekalipun ia dikuasakan untuk itu. Larangan ini berkaitan dengan
tanggung jawab pesero pasif yang terbatas sehingga tidak menimbulkan kerugian
bagi pihak ketiga, maka pengurusan dalam CV hanya dapat dilakukan oleh pesero
aktif yang memiliki tanggung jawab hingga kekayaan pribadi. Namun, untuk
perbuatan yang bersifat beschikking tetap membutuhkan persetujuan pesero
komanditer. Namun, apabila pesero pasif melakukan pengurusan, maka KUHD
menetapkan bahwa pesero pasif yang bersangkutan bertanggung jawab sama halnya
dengan tanggung jawab pesero aktif yang dirumuskan dalam Pasal 21 KUHD.
Dengan demikian, jika pesero pasif melakukan tindakan pengurusan, maka tanggung
jawabnya sama sebagaimana tanggung jawab pesero aktif, artinya renteng dan
hingga kekayaan pribadi.

6. Badan Usaha Bukan Badan Hukum : UD (Usaha Dagang)


Usaha dagang merupakan usaha perorangan. Pendiri, pengurus, dan penanggung jawab
merupakan satu orang yang sama, lebih lanjut nama yang ditulis dalam SIUP, NPWP,
TDP serta dokumen-dokumen lainnya terkait bidang usaha UD. Tidak ada ketentuan
hukum yang secara khusus mengatur UD karena UD lahir dan berkembang dari
kebiasaan dalam praktik.

7. Badan Usaha Berbadan Hukum : PT (Perseroan Terbatas)


a. Pengertian Perseroan Terbatas
Diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana yang
telah diubah beberapa ketentuannya dalam UU Cipta Kerja. Dalam Pasal 1 angka 1
menyatakan bahwa Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah
badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
saham atau badan hukum perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai usaha mikro
dan kecil.
b. PT sebagai Badan Hukum

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 31


PT adalah subjek hukum yang mandiri sehingga perbuatan yang dilakukan oleh
perusahaan yang PT dianggap sebagai perbuatan badan itu sendiri, terlepas dari
pribadi. PT memiliki tanggal kelahiran, nama sendiri, domisili sendiri, dan kegiatan
usaha sendiri yang tercantum dalam Anggaran Dasar PT. PT memiliki harta
kekayaan sendiri yang dimana PT dapat melakukan perbuatan hukum sekaligus
bertanggung jawab atas harta kekayaannya sendiri dalam rangka mencapai
tujuannya. Selain itu, PT memiliki hak dan kewajiban sendiri berupa:
➢ Melakukan transaksi atas nama PT.
➢ Memiliki nomor rekening atas nama PT.
➢ Dapat berkedudukan sebagai penggugat atau tergugat di Pengadilan.
Berdasarkan Pasal 7 UU PT, Perseroan memperoleh status badan hukum pada
tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum
Perseroan. Namun, hal tersebut telah diubah dalam UU Cipta Kerja, dimana
Perseroan memperoleh status badan hukum setelah didaftarkan kepada Menteri dan
mendapatkan bukti pendaftaran.
c. PT merupakan Persekutuan Modal
Modal dasar tertulis secara tegas dalam Akta Pendirian PT. Modal dasar tak harus
ada seluruhnya saat PT didirikan, minimal yang harus ada adalah sebesar 25%.
Modal dapat berwujud uang atau barang bergerak atau tidak bergerak. Modal dasar
lebih lanjut dikeluarkan dalam wujud saham. Keutuhan modal yang terhimpun wajib
dijaga. Pemegang saham yang tidak ingin meneruskan penyertaannya, dilarang
menarik dana langsung dari PT. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mekanisme
yang benar, yaitu dengan cara menjual sahamnya.
d. Pertanggungjawaban PT
Sebagai suatu badan hukum, PT memiliki kemandirian dalam kedudukannya sebagai
subjek hukum sehingga PT bertanggung jawab terhadap semua perbuatan yang
dilakukan atas nama PT (diatur dalam Anggaran Dasar PT). Namun, UU PT
mengatur pertanggungjawaban PT secara berjenjang.
➢ Belum Sah sebagai Badan Hukum
Mengingat Akta Pendirian belum disahkan, maka PT tersebut belum
memperoleh status badan hukum. Dalam kondisi seperti ini, yang berwenang
melakukan perbuatan hukum adalah Pendiri, semua anggota Direksi dan semua
anggota Dewan Komisaris. Oleh karena itu, mereka bertanggung jawab secara
tanggung renteng, demikian yang ditentukan dalam Pasal 14 ayat (1) UU PT.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 32


Berdasarkan Pasal 14 ayat (3) UU PT, tanggung jawab tersebut demi hukum
beralih kepada PT setelah PT sah sebagai badan hukum. Jika perbuatan hukum
dilakukan hanya oleh Pendiri, maka menjadi tanggung jawab pribadi Pendiri
dan tidak mengikat PT. Namun, perbuatan hukum tersebut tetap dapat mengikat
dan menjadi tanggung jawab PT jika disetujui oleh semua pemegang saham
yang semuanya hadir dalam RUPS yang penyelenggaraannya paling lambat 60
hari setelah PT memperoleh status badan hukum, demikian yang diatur dalam
Pasal 14 ayat (2) dan (4) UU PT.
➢ Sah sebagai Badan Hukum
Sebagai suatu badan hukum, PT bertanggung jawab sendiri dan mandiri sebagai
suatu institusi, terlepas dari pemegang saham, Direksi, dan Komisaris. Namun
sebagai organ PT, maka keberadaan pemegang saham , Direksi, dan Komisaris
tidak dapat terlepas sama sekali dari suatu tanggung jawab terkait keberadaan,
tugas maupun tanggung jawabnya.
❖ Pemegang Saham
Pada prinsipnya, pemegang saham bertanggung jawab terbatas sampai pada
jumlah kepemilikan sahamnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1)
UU PT yang menyatakan bahwa pemegang saham Perseroan tidak
bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama
Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi
saham yang dimiliki. Namun, dalam Pasal 3 ayat (2) UU PT diatur
kemungkinan pemegang saham tidak lagi bertanggung jawab terbatas,
melainkan bertanggung jawab hingga harta kekayaan pribadi, yaitu dalam
hal-hal sebagai berikut.
➔ Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak
terpenuhi.
➔ Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk
kepentingan pribadi.
➔ Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam PMH yang
dilakukan oleh Perseroan.
➔ Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan
menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 33


Peniadaan tanggung jawab terbatas bagi pemegang saham dilatarbelakangi
konsep “Piercing The Corporate Veil”. Konsep ini lahir karena banyak
pihak yang memilih bentuk PT untuk kegiatan usahanya hanya sekedar
ingin memanfaatkan tanggung jawab terbatas, baik untuk PT sebagai suatu
subjek hukum yang mandiri maupun tanggung jawab terbatas bagi
pemegang saham. Oleh sebab itu, konsep ini lahir untuk memberikan
perlindungan hukum kepada para kreditur PT dengan alasan bahwa
kedudukan kreditur sangat bertumpu pada kekayaan PT. Dengan adanya
peniadaan tanggung jawab terbatas bagi pemegang saham, ada harapan
bahwa tagihan-tagihan kreditur tidak hanya dibayar dari kekayaan PT saja,
melainkan juga harta kekayaan pribadi para pemegang sahamnya.
❖ Direksi
Direksi hanya bertanggung jawab pribadi manakala dalam melaksanakan
tugasnya tidak sesuai atau menyimpang dari UU PT, Anggaran Dasar, dan
peraturan perundang-undangan yang lain. Hal ini dinyatakan dalam Pasal
97 ayat (1) sampai ayat (3) UU PT.
➔ Pasal 97 ayat (1) UU PT
Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
➔ Pasal 97 ayat (2) UU PT
Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan
setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
➔ Pasal 97 ayat (3) UU PT
Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas
kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
Tanggung jawab Direksi meliputi sebagai berikut.
➔ Pasal 37 ayat (3) UU PT
Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat
pembelian kembali yang batal karena hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
➔ Pasal 104 ayat (2) UU PT

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 34


Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi
karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup
untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan
tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung
jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dan harta pailit
tersebut.
❖ Komisaris
Dewan Komisaris tidak bertanggung jawab pribadi sepanjang telah
melaksanakan tugas dengan itikad baik, kehati-hatian dan bertanggung
jawab, dalam rangka tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada
Direksi, demikian yang ditentukan dalam Pasal 114 ayat (2) dan ayat (5)
UU PT. Namun, jika terjadi kerugian pada PT karena kesalahan atau
kelalaian Dewan Komisaris maka anggota Dewan Komisaris bertanggung
jawab pribadi dan renteng, demian yang ditentukan dalam Pasal 114 ayat
(3) dan ayat (4) UU PT. Ada pula kemungkinan Dewan Komisaris
bertanggung jawab renteng bersama-sama Direksi, yakni sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 69 ayat (3) UU PT, yaitu dalam hal laporan
keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan.
Perhitungan tahunan yang dihasilkan harus mencerminkan keadaan yang
sebenarnya dari aktiva, kewajiban, modal dan hasil usaha PT. Direksi dan
Dewan Komisaris mempunyai tanggung jawab penuh akan kebenaran isi
perhitungan tahunan PT pada khususnya dan laporan tahunan pada
umumnya. Selain itu, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 115 ayat (1) UU
PT, bahwa dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan dan kelalaian
Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang
dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk
membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap
anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab
dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.
e. Kepengurusan PT
PT sebagai badan hukum, maka dalam pengelolaannya akan tetap dilaksanakan oleh
orang perorangan. Namun, orang perorangan dalam hal ini merupakan suatu organ,
yang menurut UU PT terdiri dari 3, yaitu RUPS, Direksi, dan Komisaris.
➢ Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 35


❖ Pengertian RUPS
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU PT, RUPS adalah Organ Perseroan yang
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan
Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau
anggaran dasar. Pasal 75 ayat (1) UU PT menyatakan bahwa RUPS
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan
Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini
dan/atau anggaran dasar. RUPS adalah suatu forum (rapat) tempat
berkumpulnya para pemegang saham untuk memberikan suaranya yang
timbul dari adanya pemilikan saham. Pasal 75 ayat (2) UU PT menyatakan
bahwa dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh
keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dan Direksi dan/atau Dewan
Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak
bertentangan dengan kepentingan Perseroan.
❖ Jenis RUPS
Berdasarkan Pasal 78 UU PT.
➔ RUPS Tahunan
Menurut ketentuan Pasal 78 ayat (2) UU PT, RUPS Tahunan wajib
diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 bulan setelah tahun buku
berakhir. Agenda rapat sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU
PT, yaitu laporan tahunan yang disampaikan Direksi kepada RUPS
setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris.
➔ RUPS Luar Biasa
Menurut ketentuan Pasal 78 ayat (4) UU PT, RUPS Luar Biasa
diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan
Perseroan. Agenda rapat terkait semua hal diluar materi Laporan
Tahunan, misalnya perubahan Anggaran Dasar, penggantian anggota
Direksi dan atau anggota Dewan Komisaris, perubahan pemegang
saham, penggabungan, peleburan, pengambilalihan maupun
pemisahan.
➢ Direksi
❖ Pengertian Direksi
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU PT, Direksi adalah Organ Perseroan yang
berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 36


kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta
mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar.
❖ Sistem Kolegial
Dalam Pasal 98 ayat (2) UU PT ditentukan bahwa dalam hal anggota
Direksi terdiri lebih dari 1 orang, yang berwenang mewakili Perseroan
adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam Anggaran
Dasar. Dalam Anggaran Dasar ditentukan bahwa yang berwenang mewakili
Perseroan adalah Direktur Utama, namun jika Direktur Utama berhalangan,
maka anggota Direksi lainnya berwenang mewakili. Dalam bagian
penjelasan Pasal 98 ayat (2) UU PT, ditegaskan bahwa UU PT memilih
sistem perwakilan kolegial, tetapi untuk kepentingan praktis,
masing-masing anggota Direksi berwenang bertindak untuk dan atas nama
Direksi serta mewakili PT. Adapun rumusan dalam Anggaran Dasar sebagai
berikut.
➔ Direktur Utama berhak dan berwenang bertindak untuk dan atas nama
Direksi serta mewakili Perseroan.
➔ Dalam hal Direktur Utama tidak hadir atau berhalangan karena sebab
apapun juga, yang tidak perlu dibuktikan kepada pihak ketiga, maka
salah seorang anggota Direksi lainnya berhak dan berwenang bertindak
untuk dan atas nama Direksi serta mewakili Perseroan.
❖ Tugas dan Wewenang Direksi
Pasal 92 ayat (1) UU PT menyatakan bahwa Direksi menjalankan
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan.
➢ Komisaris
❖ Pengertian Dewan Komisaris
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU PT, Dewan Komisaris adalah Organ
Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau
khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
❖ Sistem Majelis
Berbeda dengan Direksi, menurut Pasal 108 ayat (4) UU PT, Dewan
Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 orang anggota merupakan majelis

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 37


dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri,
melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris.
❖ Tugas dan Wewenang Komisaris
Secara umum, tugas Komisaris ditentukan dalam Pasal 108 ayat (1) UU PT,
yaitu melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya
pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha
Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi. Selain itu, dapat ditetapkan
dalam Anggaran Dasar terkait wewenang Dewan Komisaris, antara lain:
➔ Memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam
melakukan perbuatan hukum tertentu (Pasal 117 UU PT).
➔ Dapat melakukan tindakan pengurusan PT dalam keadaan tertentu
untuk jangka waktu tertentu (Pasal 118 UU PT).
f. Pembubaran PT
Diatur dalam Pasal 142 UU PT.
➢ Berdasarkan keputusan RUPS.
➢ Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah
berakhir.
➢ Berdasarkan penetapan pengadilan.
➢ Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk
membayar biaya kepailitan.
➢ Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan
insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
➢ Karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan
melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

8. Badan Usaha Berbadan Hukum : Yayasan


a. Pengertian Yayasan
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16
Tahun 2001 tentang Yayasan, Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di
bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 38


b. Yayasan sebagai Badan Hukum
Menurut Pasal 11 UU Yayasan, Yayasan sah sebagai badan hukum sejak akta
pendiriannya disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Sebelum berlakunya UU
Yayasan, kedudukan Yayasan sebagai badan hukum telah diakui. Dalam
pertimbangan Putusan MA No. 124K/Sip/1973 tanggal 27 Juni 1973, bahwa
pengurus mewakili Yayasan di dalam dan di luar pengadilan dan Yayasan
mempunyai harta sendiri. MA memutuskan Yayasan merupakan badan hukum dan
putusan tersebut menjadi yurisprudensi. Dengan berlakunya UU Yayasan, secara
tegas dirumuskan bahwa Yayasan merupakan badan hukum.
c. Yayasan terdiri atas Harta Kekayaan yang Dipisahkan
Harta kekayaan yayasan merupakan kekayaan yang telah dilepaskan oleh
pemiliknya. Seketika setelah kekayaan dilepaskan, saat itu putus hubungan
kepemilikan harta yang dilepaskan dengan pemilik kekayaan. Dengan kata lain,
antara pihak yang telah melepaskan kekayaannya dengan kekayaan yang telah
dilepaskannya, tidak ada hubungan hukum lagi sehingga berakibat hukum pada tidak
timbul hak apapun atas pelepasan kekayaan tersebut.
d. Tujuan Yayasan Bersifat Non-Profit Oriented
Yayasan tidak bersifat profit oriented sehingga tidak dimaksudkan untuk mencari
keuntungan, melainkan lebih merupakan sarana dan wahana untuk melaksanakan
kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Untuk mengamankan hakikat Yayasan
sebagai wadah usaha yang bersifat non-komersial, terdapat ketentuan dalam Pasal 5
ayat (1) yang menyatakan bahwa kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang,
maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini,
dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam
bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan
uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas. Namun, dalam ayat (2) disebutkan
bahwa pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dikecualikan dengan ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus
menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan:
➢ Bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan
Pengawas.
➢ Melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 39


Namun, UU Yayasan memberikan kemungkinan kepada Yayasan untuk mencari
penghasilan dan atau keuntungan guna menutup biaya-biaya dalam rangka mencapai
maksud dan tujuannya, yaitu:
➢ Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud
dan tujuan Yayasan.
➢ Yayasan dapat melakukan penyertaan pada perusahaan lain yang bersifat
prospektif dengan catatan paling banyak 25% dari seluruh harta kekayaan
Yayasan.
e. Pertanggungjawaban Yayasan
Berdasarkan Pasal 13A UU Yayasan, perbuatan hukum yang dilakukan oleh
Pengurus atas nama Yayasan sebelum Yayasan memperoleh status badan hukum
menjadi tanggung jawab Pengurus secara tanggung renteng.
➢ Pengurus
Pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk
kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam
maupun di luar Pengadilan. Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad
baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan,
demikian diatur dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU Yayasan. Namun,
dalam ayat (5) dinyatakan bahwa setiap Pengurus bertanggung jawab penuh
secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak
sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang mengakibatkan kerugian
Yayasan atau pihak ketiga. Selain itu, dalam hal kepailitan terjadi karena
kesalahan atau kelalaian Pengurus dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk
menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap Anggota Pengurus
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut, kecuali
Anggota Pengurus dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya (Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU Yayasan).
➢ Pengawas
Diatur dalam Pasal 47 UU Yayasan. Dalam hal kepailitan terjadi karena
kesalahan atau kelalaian Pengawas dalam melakukan tugas pengawasan dan
kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan
tersebut, setiap anggota Pengawas secara tanggung renteng bertanggung jawab
atas kerugian tersebut, kecuali anggota Pengawas Yayasan dapat membuktikan
bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 40


f. Kepengurusan Yayasan
Pasal 2 UU Yayasan menyatakan bahwa Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas
Pembina, Pengurus, dan Pengawas.
➢ Pembina
Diatur dalam Pasal 28 sampai Pasal 30 UU Yayasan. Pembina adalah organ
Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus
atau Pengawas oleh Undang-undang ini atau Anggaran Dasar. Kewenangan
Pembina meliputi:
❖ Keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar.
❖ Pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas.
❖ Penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan.
❖ Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan.
❖ Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan.
➢ Pengurus
Diatur dalam Pasal 31 sampai Pasal 39 UU Yayasan. Pengurus adalah organ
Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan. Anggota Pengurus tidak
berwenang mewakili Yayasan apabila:
❖ Terjadi perkara di depan pengadilan antara Yayasan dengan anggota
Pengurus yang bersangkutan.
❖ Anggota Pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang
bertentangan dengan kepentingan Yayasan.
Dalam hal terdapat keadaan demikian, yang berhak mewakili Yayasan
ditetapkan dalam Anggaran Dasar. Selain itu, Pengurus juga tidak berwenang:
❖ Mengikat Yayasan sebagai penjamin utang.
❖ Mengalihkan kekayaan Yayasan kecuali dengan persetujuan Pembina.
❖ Membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihak lain.
Anggaran Dasar dapat membatasi kewenangan Pengurus dalam melakukan
perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan. Pengurus juga dilarang
mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan,
Pembina, Pengurus, dan/atau Pengawas Yayasan, atau seseorang yang bekerja
pada Yayasan. Namun, larangan tersebut tidak berlaku dalam hal perjanjian
tersebut bermanfaat bagi tercapainya maksud dan tujuan Yayasan.
➢ Pengawas

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 41


Diatur dalam Pasal 40 sampai Pasal 47 UU Yayasan. Pengawas adalah organ
Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada
Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan. Yayasan memiliki Pengawas
sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Pengawas yang wewenang, tugas, dan
tanggung jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar.
Yayasan tidak mempunyai anggota. Pendiri, pembina, dan pengawas maupun
pengurus bukan merupakan anggota Yayasan.

9. Badan Usaha Berbadan Hukum : Koperasi


a. Pengertian Koperasi
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian,
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum
Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus
sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan
b. Koperasi sebagai Badan Hukum
Berdasarkan Pasal 9 UU Perkoperasian, Koperasi memperoleh status badan hukum
setelah akta pendiriannya disahkan oleh Pemerintah. Untuk mendapatkan
pengesahan, para pendiri mengajukan permintaan tertulis disertai akta pendirian
Koperasi.
c. Tujuan Koperasi Bersifat Non-Profit Oriented
Koperasi tidak bersifat profit oriented. Berdasarkan Pasal 3 UU Perkoperasian,
koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
d. Bentuk Koperasi
➢ Koperasi Primer
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Perkoperasian, Koperasi Primer adalah
Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang. Koperasi
Primer dibentuk paling sedikit oleh 9 orang. Yang dapat menjadi anggota
Koperasi Primer adalah orang-seorang yang telah mampu melakukan tindakan
hukum dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Koperasi yang
bersangkutan. Hal ini dimaksudkan sebagai konsekuensi Koperasi sebagai
badan hukum. Namun demikian khusus bagi pelajar, siswa dan/atau yang

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 42


dipersamakan dan dianggap belum mampu melakukan tindakan hukum dapat
membentuk Koperasi, tetapi Koperasi tersebut tidak disahkan sebagai badan
hukum dan statusnya hanya Koperasi tercatat.
➢ Koperasi Sekunder
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Perkoperasian, Koperasi Sekunder adalah
Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan Koperasi. Koperasi Sekunder
dibentuk oleh paling sedikit 3 Koperasi. Koperasi Sekunder dapat didirikan oleh
Koperasi sejenis maupun berbagai jenis atau tingkatan. Dalam hal Koperasi
mendirikan Koperasi Sekunder dalam berbagai tingkatan, seperti yang selama
ini dikenal sebagai Pusat, Gabungan, dan Induk, maka jumlah tingkatan maupun
penamaannya diatur sendiri oleh Koperasi yang bersangkutan.
e. Keanggotaan Koperasi
Anggota Koperasi adalah pemilik dan sekaligus pengguna jasa Koperasi yang
keanggotaannya dicatat dalam buku daftar anggota. Pasal 18 UU Perkoperasian
menyatakan bahwa yang dapat menjadi anggota Koperasi ialah setiap warga negara
Indonesia yang mampu melakukan tindakan hukum atau Koperasi yang memenuhi
persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Dasar. Koperasi dapat
memiliki anggota luar biasa yang persyaratan, hak, dan kewajiban keanggotaannya
ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
➢ Hak Anggota Koperasi
❖ Menghadiri, menyatakan pendapat, dan memberikan suara dalam Rapat
Anggota.
❖ Memilih dan/atau dipilih menjadi anggota Pengurus atau Pengawas.
❖ Meminta diadakan Rapat Anggota menurut ketentuan dalam Anggaran
Dasar.
❖ Mengemukakan pendapat atau saran kepada Pengurus diluar Rapat Anggota
baik diminta maupun tidak diminta.
❖ Memanfaatkan Koperasi dan mendapat pelayanan yang sama antara sesama
anggota.
❖ Mendapatkan keterangan mengenai perkembangan Koperasi menurut
ketentuan dalam Anggaran Dasar.
➢ Kewajiban Anggota Koperasi
❖ Mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta keputusan
yang telah disepakati dalam Rapat Anggota.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 43


❖ Berpartisipasi dalam kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh Koperasi.
❖ Mengembangkan dan memelihara kebersamaan berdasar atas asas
kekeluargaan.
f. Modal Koperasi
Diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 UU Perkoperasian. Modal koperasi terdiri dari:
➢ Modal Sendiri
❖ Simpanan pokok.
❖ Simpanan wajib.
❖ Dana cadangan.
❖ Hibah.
➢ Modal Pinjaman
❖ Anggota.
❖ Koperasi lainnya dan/atau anggotanya.
❖ Bank dan lembaga keuangan lainnya.
❖ Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya.
❖ Sumber lain yang sah.
g. Perangkat Organisasi Koperasi
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU Perkoperasian, perangkat organisasi Koperasi
terdiri atas:
➢ Rapat Anggota
Rapat Anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi yang
dihadiri oleh anggota yang pelaksanaannya diatur dalam Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga. Dalam Rapat Anggota menetapkan:
❖ Anggaran Dasar.
❖ Kebijaksanaan umum dibidang organisasi manajemen, dan usaha Koperasi.
❖ Pemilihan, pengangkatan, pemberhentian Pengurus dan Pengawas.
❖ Rencana kerja, rencana anggaran pendapatan dan belanja Koperasi, serta
pengesahan laporan keuangan.
❖ Pengesahan pertanggungjawaban Pengurus dalam pelaksanaan tugasnya.
❖ Pembagian sisa hasil usaha.
❖ Penggabungan, peleburan, pembagian, dan pembubaran Koperasi.
Rapat Anggota dilakukan paling sedikit sekali dalam 1 tahun. Rapat Anggota
untuk mengesahkan pertanggungjawaban Pengurus diselenggarakan paling
lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku lampau.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 44


➢ Pengurus
Pengurus dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota.
Pengurus merupakan pemegang kuasa Rapat Anggota.
❖ Tugas Pengurus
➔ Mengelola Koperasi dan usahanya.
➔ Mengajukan rancangan rencana kerja serta rancangan rencana
anggaran pendapatan dan belanja Koperasi.
➔ Menyelenggarakan Rapat Anggota.
➔ Mengajukan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan
tugas.
➔ Menyelenggarakan pembukuan keuangan dan inventaris secara tertib.
➔ Memelihara daftar buku anggota dan pengurus.
❖ Wewenang Pengurus
➔ Mewakili Koperasi di dalam dan di luar pengadilan.
➔ Memutuskan penerimaan dan penolakan anggota baru serta
pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran
Dasar.
➔ Melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan
Koperasi sesuai dengan tanggung jawabnya dan keputusan Rapat
Anggota.
Pengurus bertanggung jawab mengenai segala kegiatan pengelolaan Koperasi
dan usahanya kepada Rapat Anggota atau Rapat Anggota Luar Biasa. Pengurus
Koperasi dapat mengangkat Pengelola yang diberi wewenang dan kuasa untuk
mengelola usaha, yang bertanggung jawab kepada Pengurus.
➢ Pengawas
Pengawas dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota.
Pengawas bertanggung jawab kepada Rapat Anggota.
❖ Tugas Pengawas
➔ Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan
pengelolaan Koperasi.
➔ Membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya.
❖ Wewenang Pengawas
➔ Meneliti catatan yang ada pada Koperasi.
➔ Mendapatkan segala keterangan yang diperlukan.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 45


h. Sisa Hasil Usaha
Diatur dalam Pasal 45 UU Perkoperasian. Sisa Hasil Usaha Koperasi merupakan
pendapatan Koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya,
penyusutan, dan kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun buku yang
bersangkutan. Sisa Hasil Usaha setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada
anggota standing dengan jasa usaha yang dilakukan oleh, masing-masing anggota
dengan Koperasi, serta digunakan untuk keperluan pendidikan perkoperasian dan
keperluan lain dari Koperasi, sesuai dengan keputusan Rapat Anggota. Besarnya
pemupukan dana cadangan ditetapkan dalam Rapat Anggota.
i. Pembubaran Koperasi
Diatur dalam Pasal 46 UU Perkoperasian, bahwa pembubaran Koperasi dapat
dilakukan berdasarkan:
➢ Keputusan Rapat Anggota.
➢ Keputusan Pemerintah.

Bab IV. Hukum Persaingan Usaha

1. Sejarah Hukum Persaingan Usaha di Indonesia


Latar belakang penyusunan UU Antimonopoli adalah perjanjian yang dilakukan antara
IMF dengan Pemerintah RI pada tanggal 15 Januari 1998. Dalam perjanjian tersebut,
IMF menyetujui pemberian bantuan keuangan kepada Indonesia sebesar US$ 43 miliar
yang bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi, akan tetapi dengan syarat Indonesia
melaksanakan reformasi ekonomi dan hukum ekonomi tertentu. Hal ini menyebabkan
diperlukannya UU Antimonopoli. Selain itu, sejak 1989 telah terjadi diskusi intensif di
Indonesia mengenai perlunya perundang-undangan antimonopoli. Reformasi sistem
ekonomi yang luas dan khususnya kebijakan regulasi yang dilakukan sejak tahun 1980,
dalam jangka waktu 10 tahun telah menimbulkan situasi yang dianggap sangat kritis.
Timbul konglomerat pelaku usaha yang dikuasai oleh keluarga atau partai tertentu dan
konglomerat tersebut dikatakan menyingkirkan pelaku usaha kecil dan menengah melalui
praktik usaha yang kasar serta berusaha untuk mempengaruhi semaksimal mungkin
penyusunan undang-undang serta pasar keuangan. Oleh sebab itu, maka disadari bahwa
pembubaran ekonomi yang dikuasai negara dan perusahaan monopoli saja tidak cukup
untuk membangun suatu perekonomian yang bersaing, tetapi pembentukan peraturan
perundang-undangan antimonopoli. Indonesia memiliki aturan hukum dalam bidang

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 46


persaingan atas inisiatif DPR menyusun RUU Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat yang kemudian disetujui menjadi UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

2. Asas dan Tujuan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia


Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha di Indonesia dalam
menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Asas ini
merupakan penjabaran Pasal 33 UUD 1945. Adapun tujuan dari UU No. 5 Tahun 1999
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 adalah untuk:
➢ Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
➢ Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi
pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
➢ Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha.
➢ Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

3. Struktur Pasar
Pasal 1 angka 11 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa struktur pasar adalah
keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yang memiliki pengaruh
penting terhadap perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar, antara lain jumlah penjual dan
pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keragaman produk, sistem distribusi, dan
penguasaan pangsa pasar. Perbedaan struktur pasar disebabkan adanya perbedaan degree
of market power (kekuatan pasar), yaitu kemampuan satu perusahaan dalam
mempengaruhi harga keseimbangan pasar.
a. Pasar Persaingan Sempurna
Perusahaan yang berada dalam pasar persaingan sempurna adalah dimana jumlah
perusahaan begitu banyak dan tidak ada perusahaan yang mampu untuk
mempengaruhi harga pasar. Karakteristik PPS adalah sebagai berikut.
➢ Banyak penjual dan pembeli (many sellers and buyers).
➢ Produknya homogen (homogenous product).
➢ Bebas masuk dan keluar pasar (free entry and free exit).

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 47


➢ Informasi sempurna (perfect knowledge).
Keempat karakteristik tersebut menimbulkan satu konsekuensi logis, yaitu
perusahaan di pasar tidak dapat menentukan harga sendiri. Perusahaan menjual
produknya dengan berpatok pada harga yang ditetapkan pasar. Setiap perusahaan
hanya akan menerima harga yang ditentukan pasar (price taker). Hal yang dapat
dilakukan perusahaan adalah menyesuaikan jumlah output untuk mencapai laba
maksimum.
b. Pasar Monopoli
Suatu industri dikatakan berstruktur monopoli bila hanya ada satu produsen atau
penjual (single firm) tanpa pesaing langsung atau tidak langsung, baik nyata maupun
potensial. Output yang dihasilkan tidak mempunyai substitusi terdekat (no close
substitute). Perusahaan tidak memiliki pesaing karena adanya hambatan (barriers to
entry) bagi perusahaan lain untuk memasuki industri yang bersangkutan.
Karakteristik pasar monopoli adalah sebagai berikut.
➢ Pasar monopoli adalah industri satu perusahaan.
➢ Tidak memiliki barang substitusi yang mirip.
➢ Tidak terdapat kemungkinan untuk masuk ke dalam pasar.
➢ Dapat menguasai penentuan harga.
➢ Promosi kurang diperlukan.
c. Pasar Persaingan Monopolistik
Struktur pasar yang memiliki kedekatan karakteristik dengan pasar persaingan
sempurna. Namun, setiap perusahaan di pasar tidak hanya menerima harga yang
berlaku di pasar, melainkan mampu menentukan sendiri harga untuk setiap produk
yang dihasilkan. Kemampuan menentukan harga sendiri ini muncul disebabkan
perusahaan tidak memproduksi barang yang homogen, melainkan memproduksi
barang yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan produk perusahaan lain.
Karakteristik pasar persaingan monopolistik adalah sebagai berikut.
➢ Banyak penjual (many sellers).
➢ Produknya terdiferensiasi (differentiated product).
➢ Bebas masuk dan keluar pasar (free entry and free exit).
Dengan demikian, perusahaan di struktur pasar persaingan monopolistik sudah
memiliki market power atau kekuatan untuk mempengaruhi harga keseimbangan.
d. Pasar Oligopoli
Karakteristik pasar oligopoli adalah sebagai berikut.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 48


➢ Terdapat beberapa penjual (free sellers).
➢ Saling ketergantungan (interdependence).

Struktur pasar persaingan usaha sehat memiliki karakteristik sebagai berikut.


1) Banyak penjual dan pembeli.
2) Heterogeneous product.
3) Harga barang mengikuti kualitas (efektif dan efisien).
4) Adanya kemudahan melakukan inovasi.
5) Tidak ada perilaku anti persaingan (discrimination product and price).
6) No dead weight loss (biaya yang ditanggung masyarakat karena pasar tidak
bekerja secara efisien).
7) Tidak ada hambatan untuk masuk dan keluar (barrier to entry).
8) Mendapat kemudahan informasi tentang keadaan pasar.

4. Pendekatan dalam Hukum Persaingan Usaha


Dalam menilai apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku bisnis melanggar UU
Persaingan Usaha, terdapat 2 metode pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:
a. Pendekatan Per Se Illegal
Metode pendekatan yang menganggap setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu
sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atau menyelidiki lebih dahulu dampak
yang ditimbulkan oleh perjanjian atau kegiatan usaha tersebut terhadap persaingan.
Pada prinsipnya, ada 2 syarat melakukan pendekatan per se illegal yaitu:
➢ Harus ditujukan kepada perilaku bisnis daripada situasi pasar, karena keputusan
melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut, misalnya
mengenai akibat dan hal-hal yang melingkupinya. Perbuatan ilegal tersebut
merupakan tindakan sengaja pelaku usaha yang seharusnya dapat dihindari.
➢ Adanya identifikasi secara cepat atau mudah terkait dengan jenis praktik atau
batasan perilaku yang terlarang. Artinya, penilaian atas tindakan dari pelaku
usaha baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan
dengan mudah.
Contoh : perjanjian penetapan harga (price fixing) yang diatur dalam Pasal 5 UU No.
5 Tahun 1999.
b. Pendekatan Rule of Reason

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 49


Metode pendekatan yang digunakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
untuk mengevaluasi akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu yang dilakukan
pelaku usaha, guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat
menghambat atau mendukung persaingan. Dengan kata lain, pendekatan rule of
reason adalah pendekatan yang menggunakan analisis pasar serta dampaknya
terhadap persaingan, sebelum dinyatakan sebagai melanggar undang-undang.
Contoh : kartel yang diatur dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999.

5. Perjanjian yang Dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999


Dalam Pasal 1313 BW, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ketentuan-ketentuan
mengenai perjanjian dalam BW merupakan asas-asas dan ketentuan-ketentuan umum
yang berlaku untuk semua perjanjian secara umum, sedangkan di samping itu suatu
undang-undang khusus dapat mengatur secara khusus yang hanya berlaku untuk
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang khusus tersebut. Berdasarkan Pasal 1 angka 7
UU No. 5 Tahun 1999, perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha
untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun,
baik tertulis maupun tidak tertulis. Dapat diketahui bahwa UU No. 5 Tahun 1999
merumuskan bahwa perjanjian dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis dan
kedua-duanya diakui sebagai alat bukti dalam kasus persaingan usaha di persidangan
(berbeda dengan BW).
a. Oligopoli
Diatur dalam Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1999.
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana
dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu.
Oligopoli merupakan salah satu bentuk struktur pasar, dimana di dalam pasar
tersebut memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi harga pasar dan

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 50


perilaku setiap perusahaan akan mempengaruhi perilaku perusahaan lainnya dalam
pasar. Pasal 4 ditafsirkan menggunakan pendekatan rule of reason sehingga
sebenarnya pelaku usaha tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa atau membuat perjanjian oligopoli selama tidak
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
dan mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima sebagai dasar pembenar dari
perbuatan mereka tersebut. Namun, pada umumnya perjanjian oligopoli dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat karena
dalam oligopoli sangat mungkin terjadi perusahaan-perusahaan yang ada akan saling
mempengaruhi untuk menentukan harga pasar, menentukan angka produksi barang
dan jasa, yang kemudian dapat mempengaruhi perusahaan lainnya, baik yang sudah
ada maupun yang masih di luar pasar.
b. Penetapan Harga
➢ Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement)
Diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga atas mutu suatu barang dan atau jasa yang harus
dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Perjanjian ini merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh para pelaku
usaha yang bertujuan untuk menghasilkan laba yang setinggi-tingginya. Dengan
adanya penetapan harga yang dilakukan di antara pelaku usaha, maka akan
meniadakan persaingan dari segi harga bagi produk yang mereka jual atau
pasarkan, yang kemudian dapat mengakibatkan surplus konsumen yang
seharusnya dinikmati oleh pembeli atau konsumen dipaksa beralih ke produsen
atau penjual. Kekuatan untuk mengatur harga, pada dasarnya merupakan
perwujudan dari kekuatan menguasai pasar dan menentukan harga yang tidak
masuk akal.
➢ Perjanjian Diskriminasi Harga (Price Discrimination Agreement)
Diatur dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu
harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama. Perjanjian ini adalah
perjanjian yang dibuat dari para pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya,

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 51


dimana untuk suatu produk yang sama dijual kepada setiap konsumen dengan
harga yang berbeda-beda. Hal ini berakibat pada pembeli yang mengalami
diskriminasi tersebut tersingkir dari pasar karena dia akan kalah bersaing
dengan pelaku usaha lainnya yang memperoleh harga yang lebih rendah.
➢ Jual Rugi atau Harga Pemangsa (Predatory Pricing)
Diatur dalam Pasal 7 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat. Predatory pricing merupakan salah satu bentuk
strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga
di bawah biaya produksi dengan tujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha
pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi
pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama. Segera setelah berhasil
membuat pelaku usaha pesaing keluar dari pasar dan menunda masuknya pelaku
usaha pendatang baru, maka selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan
memaksimalkan keuntungan yang mungkin didapatkan sehingga mampu
menutupi kerugian yang diderita selama masa predator.
➢ Pengaturan Harga Jual Kembali (Resale Price Maintenance)
Diatur dalam Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat
persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau
memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang
lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Terdapat 2 macam
penetapan harga, yaitu:
❖ Penetapan Harga secara Maksimum (Maximum Price Fixing)
Dengan penetapan harga maksimum, maka sebenarnya masih terdapat
persaingan antara pelaku usaha yang mungkin akan menguntungkan
konsumen karena yang diperjanjikan adalah larangan untuk menjual lebih
mahal atau di atas harga maksimum yang disepakati, sehingga pelaku usaha
masih bisa berkompetisi di harga jual sepanjang hal tersebut masih di atas
harga predatori.
❖ Penetapan Harga secara Minimum (Floor Price)

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 52


Kesepakatan antara pelaku usaha dimana pembeli akan menjual kembali
barang yang dia beli pada harga dimana tidak boleh di bawah harga yang
ditentukan. Dengan demikian adanya perjanjian minimum resale price
maintenance yang telah dibuat sebelumnya oleh perusahaan manufaktur
dengan perusahaan penyalurnya mengakibatkan perusahaan penyaluran
tidak lagi memiliki kebebasan untuk menjual produk yang disalurkannya
tersebut dengan harga yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan
perusahaan penyalur lainnya.
c. Pembagian Wilayah (Market Division)
Diatur dalam Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk
membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat. Melalui pembagian wilayah ini, maka para pelaku usaha dapat
menguasai wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa
harus menghadapi persaingan. Dengan demikian dia akan mudah menaikkan harga
ataupun menurunkan produksinya atau barang yang dijual untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya. Pada prinsipnya perjanjian di antara pelaku
usaha untuk membagi wilayah pemasaran di antara mereka akan berakibat kepada
eksploitasi terhadap konsumen, di mana konsumen tidak mempunyai pilihan yang
cukup baik dari segi barang maupun harga.
d. Pemboikotan (Group Boycott atau Horizontal Refusal to Deal)
Diatur dalam Pasal 10 UU No. 5 Tahun 1999.
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya,
yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama,
baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya,
untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain
sehingga perbuatan tersebut:
a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang
dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
Perjanjian ini merupakan salah satu bentuk usaha yang dilakukan para pelaku usaha
untuk mengeluarkan pelaku usaha lain dari pasar yang sama, atau juga untuk

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 53


mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam
pasar yang sama, yang kemudian pasar tersebut dapat terjaga hanya untuk
kepentingan pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan tersebut.
Pemboikotan pada umumnya dianggap antipersaingan dan biasanya mempunyai
karakteristik dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk merugikan para pesaing
baik dengan secara langsung menolak atau memaksa supplier atau konsumen untuk
menghentikan hubungan dengan kompetitor. Boikot juga bisa dilakukan dengan
menghentikan supply akan bahan pokok yang sangat diperlukan.
e. Kartel
Diatur dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan
harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Agar harga produk di pasar tidak
jatuh dan harga produk dapat memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi
pelaku usaha, pelaku usaha biasanya membuat perjanjian di antara mereka untuk
mengatur mengenai jumlah produksi sehingga jumlah produksi mereka di pasar
tidak berlebih, dan tujuannya agar tidak membuat harga produk mereka di pasar
menjadi lebih murah. Namun, terkadang praktik kartel tidak hanya bertujuan untuk
menjaga stabilitas harga produk mereka di pasar, tetapi juga untuk mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengurangi produk mereka secara
signifikan di pasar, sehingga menyebabkan di dalam pasar mengalami kelangkaan,
yang mengakibatkan konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk dapat
membeli produk pelaku usaha tersebut di pasar, atau dapat dikatakan tujuan utama
dari praktik kartel adalah untuk mengeruk sebanyak mungkin surplus konsumen ke
produsen. Oleh karena kartel menukar kompetisi dengan tindakan-tindakan yang
kolusif di antara pesaing, maka dilarang dalam hukum persaingan usaha.
f. Trust
Diatur dalam Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama
dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan
tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan
atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Gabungan antara beberapa

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 54


perusahaan (trust) yang bersaing dengan membentuk organisasi yang lebih besar
yang akan mengendalikan seluruh proses produksi dan atau pemasaran suatu barang
mengakibatkan adanya pemusatan kekuasaan, sehingga trust dianggap melanggar
hukum.
g. Oligopsoni
Diatur dalam Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1999.
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan
pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar
bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
Oligopsoni merupakan bentuk suatu pasar yang didominasi oleh sejumlah konsumen
yang memiliki kontrol atas pembelian. Struktur pasar ini memiliki kesamaan dengan
struktur pasar oligopoli hanya saja struktur pasar ini terpusat di pasar input. Dengan
demikian distorsi yang ditimbulkan oleh kolusi antar pelaku usaha akan mendistorsi
pasar input. Dalam praktik oligopsoni yang menjadi korban adalah produsen atau
penjual, bukan konsumen atau pesaing. Dalam oligopsoni, konsumen membuat
kesepakatan dengan konsumen lain dengan tujuan agar mereka secara bersama-sama
dapat menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, dan pada akhirnya dapat
mengendalikan harga atas barang atau jasa pada pasar yang bersangkutan. Terdapat
beberapa syarat agar oligopsoni berhasil, yaitu:
➢ Pelaku usaha harus setuju, baik secara tegas maupun secara diam-diam untuk
bertindak bersama.
➢ Mereka haruslah merupakan pembeli dalam jumlah yang besar atau dominan.
➢ Adanya mekanisme agar perjanjian ditaati dan tidak ada kecurangan.
➢ Mereka harus mencegah masuknya pemain baru karena apabila pemain baru
bisa masuk, maka perjanjian oligopsoni tidak akan efektif.
h. Integrasi Vertikal

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 55


Diatur dalam Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai
produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau
jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau
proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan
masyarakat. Integrasi antar pelaku usaha dapat dilakukan untuk saling menutupi
kelemahan dari masing-masing pelaku usaha yang melakukan integrasi tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa terkadang integrasi vertikal juga dapat menimbulkan
efek-efek negatif bagi persaingan di antara pelaku usaha, seperti:
➢ Mengurangi kompetisi di antara para penjual di tingkat hulu (upstream level).
➢ Memfasilitasi kolusi di antara pelaku usaha di tingkat hulu (upstream level).
➢ Integrasi vertikal ke arah hilir (downstream integration) dapat memfasilitasi
diskriminasi harga.
➢ Meningkatnya hambatan masuk (barriers to entry).
i. Perjanjian Tertutup (Exclusive Dealing)
Suatu perjanjian yang terjadi antara mereka yang berada pada level yang berbeda
pada proses produksi atau jaringan distribusi suatu barang atau jasa.
➢ Exclusive Distribution Agreement
Diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya
akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. Exclusive distribution
agreement membuat kepastian akan distribusi dan adanya jaminan bahan pokok,
namun di satu sisi juga adanya kemungkinan matinya suatu pelaku usaha karena
tidak mendapatkan bahan baku atau tidak mempunyai distributor yang akan
menjual produknya. Selain itu, dapat menyebabkan pula meningkatnya halangan
untuk masuk ke pasar.
➢ Trying Agreement
Diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus
bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. Tying

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 56


agreement terjadi apabila suatu perusahaan mengadakan perjanjian dengan
pelaku usaha lainnya yang berada pada level yang berbeda dengan
mensyaratkan penjualan ataupun penyewaan suatu barang atau jasa hanya akan
dilakukan apabila pembeli atau penyewa tersebut juga akan membeli atau
menyewa barang lainnya. Melalui praktik ini, pelaku usaha dapat melakukan
perluasan kekuatan monopoli yang dimiliki pada tying product (barang atau jasa
yang pertama kali dijual) ke tied product (barang
atau jasa yang dipaksa harus dibeli juga oleh konsumen). Dengan memiliki
kekuatan monopoli untuk kedua produk sekaligus (tying product dan tied
product), pelaku usaha dapat menciptakan hambatan bagi calon pelaku usaha
pesaing untuk masuk ke dalam pasar.
➢ Vertical Agreement on Discount
Diatur dalam Pasal 15 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga
tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku
usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok; atau
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejeni dari pelaku
usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Akibat yang mungkin muncul dari perjanjian di atas, khususnya mengenai
adanya kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan harga
diskon, yang kemudian diharuskan untuk membeli produk lain dari pelaku
usaha pemasok sebenarnya sama dengan akibat yang ditimbulkan oleh tying
agreement, yaitu menghilangkan hak pelaku usaha untuk secara bebas memilih
produk yang ingin mereka beli, dan membuat pelaku usaha harus membeli
produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh pelaku usaha tersebut.
Sedangkan adanya kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan
harga diskon untuk tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari
pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok dapat
mengakibatkan pelaku usaha pesaing akan mengalami kesulitan dalam menjual
produknya yang sejenis dengan pelaku usaha yang sebelumnya telah membuat
vertical agreement on discount terhadap penerima produknya di pasar.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 57


j. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Diatur dalam Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat. Dapat dikatakan pasal ini mengatur suatu keadaan
khusus apabila pelaku usaha di dalam negeri melakukan perjanjian dengan pihak
pelaku usaha di luar negeri. Permasalahan yang muncul dari rumusan pasal ini,
keharusan adanya suatu perjanjian yang dibuat antar pelaku usaha di dalam negeri
dengan pelaku usaha yang ada di luar negeri, sehingga apabila tidak ada perjanjian
di antara pelaku usaha tersebut, maka pelaku usaha yang melakukan praktik
persaingan usaha tidak sehat kemungkinan tidak dapat diproses menggunakan pasal
ini.

6. Kegiatan yang Dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999


a. Monopoli
Diatur dalam Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999.
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila :
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substansinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan
usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa monopoli adalah
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa
tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Pasal 1 angka 2
UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa praktek monopoli adalah pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 58


Dampak negatif yang timbul sehubungan dengan dilakukannya monopoli adalah
sebagai berikut.
➢ Adanya peningkatan harga produk barang maupun jasa tertentu sebagai akibat
tidak adanya persaingan sehat, sehingga dapat memicu terjadinya inflasi.
➢ Pelaku usaha mendapatkan keuntungan secara tidak wajar, dan dia berpotensi
untuk menetapkan harga seenaknya guna mendapatkan keuntungan yang
berlipat.
➢ Terjadi eksploitasi terhadap daya beli konsumen dan tidak memberikan hak pilih
pada konsumen untuk mengkonsumsi produk lainnya.
➢ Terjadi inefisiensi dan tidak efektif dalam menjalankan kegiatan usahanya yang
pada akhirnya dibebankan pada masyarakat luas/konsumen berkaitan dengan
produk yang dihasilkannya.
➢ Terjadi hambatan masuk pasar (entry barrier).
➢ Menciptakan pendapatan yang tidak merata.
b. Monopsoni
Diatur dalam Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1999.
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli
tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Monopsoni adalah suatu pembeli dominan atau pembeli tunggal yang berhadapan
dengan beberapa penjual. Dampak ekonomi dari monopsoni tergantung pada posisi
monopsonis selaku penjual pada pasar bersangkutan. Apabila pelaku monopsoni
merupakan monopolis pada pasar bersangkutan, pembatasan pembelian barang akan
berakibat pada naiknya harga yang harus ditanggung oleh pembeli. Namun apabila
pelaku monopsoni tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi harga
di pasar maka perilaku monopsonis yang membatasi pembelian dari konsumen
menjadi tidak percuma. Seorang monopsonis memiliki “buyer power” yaitu suatu
posisi menguasai pembelian atau posisi tawar yang tinggi sebagai pembeli. Pembeli

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 59


tersebut memiliki kekuatan untuk menetapkan harga yang menguntungkan bagi
dirinya. Selain itu, praktik monopsoni bisa juga mengakibatkan munculnya kartel.
c. Penguasaan Pasar
Diatur dalam Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama
pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat berupa:
➢ Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan.
➢ Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu.
➢ Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan.
➢ Melakukan praktek monopoli terhadap pelaku usaha tertentu.
Penguasaan pasar yang cukup besar oleh pelaku usaha biasanya selalu menjadi
perhatian bagi penegak hukum persaingan untuk mengawasi perilaku pelaku usaha
tersebut di dalam pasar, karena penguasaan pasar yang besar oleh pelaku usaha
tertentu biasanya dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan antipersaingan
yang bertujuan agar dia dapat tetap menjadi penguasa pasar dan mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya (maksimal).
d. Jual Rugi (Predatory Pricing)
Diatur dalam Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual
rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk
menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat. Berdasarkan sudut pandang ekonomi, praktik ini dapat dilakukan dengan
menetapkan harga yang tidak wajar, di mana harga lebih rendah dari pada biaya
variabel rata-rata. Dalam praktik penentuan biaya variabel rata-rata sangat sulit
dilakukan, oleh karenanya kebanyakan para sarjana mengatakan bahwa predatory
pricing merupakan tindakan menentukan harga di bawah harga rata-rata atau
tindakan jual rugi. Perilaku pelaku usaha yang menetapkan jual rugi atau harga
sangat rendah bertujuan untuk menyingkirkan atau mematikan usaha para
pesaingnya bertentangan dengan prinsip persaingan yang sehat.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 60


e. Kecurangan Menetapkan Biaya Produksi
Diatur dalam Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya
yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Kecurangan dalam
menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya merupakan bentuk pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk memperoleh biaya
faktor-faktor produksi yang lebih rendah dari seharusnya. Sebagai bagian dari
penguasaan pasar, maka kecurangan dalam menentukan biaya adalah salah satu
strategi yang dijalankan oleh pelaku usaha untuk mematikan pesaingnya, yaitu
dengan jalan menyatakan biaya produksinya tidak sesuai dengan biaya yang
sesungguhnya. Dengan demikian, dia bisa menjual barang atau jasanya lebih rendah
dari para pesaingnya.
f. Persekongkolan
➢ Persekongkolan Tender
Diatur dalam Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat. Persekongkolan tender (atau kolusi tender) terjadi
ketika pelaku usaha, yang seharusnya bersaing secara tertutup, bersekongkol
untuk menaikkan harga atau menurunkan kualitas barang atau jasa untuk para
pembeli yang ingin memperoleh produk atau jasa melalui suatu proses
pengadaan. Persekongkolan dalam tender dapat terjadi dalam berbagai bentuk,
di mana seluruhnya merusak upaya para pembeli untuk memperoleh barang dan
jasa pada harga yang murah. Seringkali, para pesaing setuju di muka untuk
menetapkan siapa yang memasukkan penawaran yang akan menang atas suatu
kontrak yang diberikan melalui suatu proses pengadaan yang kompetitif. Suatu
bentuk umum dari persekongkolan tender adalah untuk meningkatkan besaran
nilai pengadaan yang akan menang dan oleh karenanya dapat menikmati
keuntungan dari nilai tersebut.
➢ Persekongkolan Membocorkan Rahasia Dagang
Diatur dalam Pasal 23 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi
kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 61


sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Menurut
Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 2000, rahasia dagang adalah informasi yang
tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan atau bisnis, mempunyai nilai
ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh
pemilik rahasia dagang. Kemudian dalam Pasal 2 UU No. 30 Tahun 2000
dinyatakan bahwa lingkup perlindungan rahasia dagang meliputi metode
produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang
teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui
masyarakat umum.
➢ Persekongkolan Menghambat Perdagangan
Diatur dalam Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud
agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan
menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan.

7. Posisi Dominan dan Penyalahgunaannya dalam UU No. 5 Tahun 1999


a. Posisi Dominan
Diatur dalam Pasal 25 UU No. 5 Tahun 1999.
(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk :
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan
atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang
bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkut
(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila :
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima
puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa
tertentu; atau

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 62


b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75%
(tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau
jasa tertentu.
Dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1999, posisi dominan adalah keadaan di
mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan
dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai
posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta
kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Posisi dominan atau menjadi lebih unggul di pasar bersangkutan adalah menjadi
salah satu tujuan pelaku usaha. Oleh karena itu, setiap pelaku usaha berusaha
menjadi yang lebih unggul (market leader) pada pasar yang bersangkutan.
Penguasaan posisi dominan di dalam hukum persaingan usaha tidak dilarang,
sepanjang pelaku usaha tersebut dalam mencapai posisi dominan atau menjadi
pelaku usaha yang lebih unggul (market leader) pada pasar yang bersangkutan atas
kemampuannya sendiri dengan cara yang fair dan melalui persaingan usaha yang
sehat dan efektif.
b. Jabatan Rangkap
Diatur dalam Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa seseorang
yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada
waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada
perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut :
➢ Berada dalam pasar bersangkutan yang sama.
➢ Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha.
➢ Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu,
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
Ada beberapa bahaya yang dapat ditimbulkan oleh adanya jabatan rangkap, yaitu:
➢ Menimbulkan keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan jumlah dana
(keuangan) yang sangat signifikan kepemilikan bersama secara silang atas
saham.
➢ Dapat mempengaruhi persaingan usaha dalam berbagai cara seperti pengawasan
administratif terhadap investasi yang dapat melahirkan strategi bersama di

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 63


antara perusahaan terkait dengan masalah harga/tarif, alokasi pasar, praktik
monopoli serta kegiatan pasar lainnya.
➢ Menimbulkan perjanjian integrasi vertikal pada kegiatan yang dilakukan oleh
pemasok dan pelanggan, dapat menghilangkan semangat untuk melakukan
kegiatan usaha di daerah pesaing serta menimbulkan persetujuan timbal balik di
antara mereka.
➢ Jabatan direksi apabila tidak diawasi secara efektif, dapat digunakan sebagai alat
untuk mengontrol/mengendalikan anak perusahaan secara berlebih.
c. Kepemilikan Saham
Diatur dalam Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang
melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama atau mendirikan beberapa
perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang
sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan :
➢ Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu.
➢ Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa
tertentu.
Kepemilikan saham silang di beberapa perusahaan yang melakukan kegiatan usaha
yang sama dapat dilakukan oleh pelaku usaha dengan mengakuisisi saham
perusahaan tersebut atau melakukan kerja sama atau joint venture. Hal ini dapat
mengakibatkan hilangnya persaingan secara horizontal, karena beberapa perusahaan
tersebut dikuasai sahamnya secara mayoritas oleh pelaku usaha tertentu.

8. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)


Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999, untuk mengawasi pelaksanaan UU
No. 5 Tahun 1999 dibentuklah suatu komisi. Pembentukan ini didasarkan pada Pasal 34
UU No. 5 Tahun 1999 yang menginstruksikan bahwa pembentukan susunan organisasi,
tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres). Komisi ini
kemudian dibentuk berdasarkan Keppres No. 75 Tahun 1999 dan diberi nama Komisi
Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU. Dengan demikian, penegakan hukum
persaingan berada dalam kewenangan KPPU. Namun demikian, tidak berarti bahwa
tidak ada lembaga lain yang berwenang menangani perkara monopoli dan persaingan.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 64


Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA) juga diberi wewenang untuk
menyelesaikan perkara tersebut. PN diberi wewenang untuk menangani perkara
keberatan terhadap putusan KPPU dan menangani pelanggaran hukum persaingan yang
menjadi perkara pidana karena tidak dijalankannya putusan KPPU yang sudah inkracht.
MA diberi kewenangan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hukum persaingan
apabila terjadi kasasi terhadap putusan PN tersebut. Sebagai suatu lembaga independen,
dapat dikatakan bahwa kewenangan yang dimiliki Komisi sangat besar yang meliputi
juga kewenangan yang dimiliki oleh lembaga peradilan. Kewenangan tersebut meliputi
penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Bab V. Hak Kekayaan Intelektual

1. Sejarah Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia dan Internasional


Pada tahun 1994, masyarakat internasional mencapai kesepakatan untuk membentuk
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization). Kesepakatan itu tercapai
dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) Putaran Uruguay pada tahun
1994. Indonesia menandatangani Agreement on Establishing the World Trade
Organization pada tanggal 15 April 1994, yang kemudian mengesahkannya melalui UU
No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade
Organization. Adanya ratifikasi tersebut membawa legal consequences bagi Indonesia
untuk menaati seluruh persetujuan yang ada, salah satunya adalah Agreement on Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Dengan demikian, Indonesia
juga harus membuat hukum nasional yang mengatur mengenai HKI tersebut dengan
mengadopsi norma-norma yang berdasarkan pada standar internasional. Persetujuan
TRIPs bertujuan untuk meningkatkan perlindungan dan penegakkan hukum di bidang
Intellectual Property Rights, dalam kaitannya dengan perdagangan barang dan jasa serta
memperketat aturan mengenai barang-barang palsu. Adapun ciri-ciri TRIPs sebagai
berikut.
➢ Berbeda dengan persetujuan di bidang lain yang berkisar pada segi-segi konkret
tentang akses ke pasar dan tarif, TRIPs lebih banyak berbicara pada norma dan
standar.
➢ Persetujuan TRIPs menetapkan kesesuaian penuh (full compliance) terhadap
beberapa PI, seperti Paris Convention dan Berne Convention sebagai persyaratan
minimal.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 65


➢ Persetujuan TRIPs memuat ketentuan mengenai penegakkan hukum yang ketat
berikut mekanisme penyelesaian sengketa yang diikuti dengan hak bagi negara yang
dirugikan untuk mengambil tindakan balasan di bidang perdagangan secara silang
(cross retaliation).

2. HKI menurut Civil Law System dan Common Law System


a. Civil Law System
Pendekatan natural right justification bahwa HKI sebagai hak-hak dasar tanpa
melihat konsekuensi ekonomi dan politik yang lebih luas. Tujuannya adalah
memberikan penghargaan bagi pencipta atau penemu dan menekankan perlindungan
bagi orangnya (bukan karyanya).
b. Common Law System
Pendekatan functionalist justification bahwa HKI sebagai instrumen ekonomi dan
kebijakan melindungi HKI akan mendukung perkembangan sosial ekonomi. Tujuan
perlindungan HKI adalah sebagai incentive bagi penciptaan, penemuan, maupun
proses kreativitas lebih lanjut.

3. Terminologi dan Pengertian Hak Kekayaan Intelektual


a. Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) menjadi Hak Kekayaan Intelektual
(HKI)
Berdasarkan Pasal 8 huruf g Keputusan Presiden No. 177 Tahun 2000 tentang
Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) berubah menjadi Hak Kekayaan Intelektual (HKI), dimana terdapat
perubahan nama Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (Ditjen HAKI)
menjadi Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI).
b. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menjadi Kekayaan Intelektual (KI)
Berdasarkan Pasal 4 huruf f Perpres No. 44 Tahun 2015 tentang Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, istilah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) berubah
menjadi Kekayaan Intelektual (KI), dimana terdapat perubahan nama Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) menjadi Direktorat Jenderal
Kekayaan Intelektual (Ditjen KI).
Menurut Pasal 1 angka 6 PP No. 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.
24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, Kekayaan Intelektual adalah kekayaan yang
timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia melalui daya cipta, rasa, dan

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 66


karsanya yang dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan
sastra.

4. Karakter Hak Kekayaan Intelektual


➢ Aset tidak berwujud (intangible asset).
➢ Kekayaan personal atau individu (personal or individual property).
➢ Berbasis informasi.
➢ Hak eksklusif dan mutlak (dapat dipertahankan terhadap siapapun).
➢ Negative right.
➢ Monopoli yang legal (legalised monopoly).
➢ Hak yang diberikan negara (given by state).
➢ Standar internasional (international standard).
➢ Berbatas waktu dan ruang (in time and in space).

5. Jenis dan Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual


a. Hak Cipta dan Hak-Hak Terkait dengan Hak Cipta (Copyright and Related
Rights), diatur dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
b. Hak atas Kekayaan Industri (Industrial Property Rights)
➢ Paten (Patents), diatur dalam UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.
➢ Merek (Trademarks), diatur dalam UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis.
➢ Indikasi Geografis (Geographical of Indication), diatur dalam UU No. 20
Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
➢ Perlindungan Varietas Tanaman (Plant Variety Rights), diatur dalam UU No.
29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
➢ Rahasia Dagang (Trade Secret), diatur dalam UU No. 30 Tahun 2000 tentang
Rahasia Dagang.
➢ Desain Industri (Industrial Design), diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000
tentang Desain Industri.
➢ Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Design Lay-out of Topographic of
Integrated Circuits), diatur dalam UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu.

6. Pelaksanaan Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 67


a. Prinsip Konstitutif (First to File)
Prinsip ini diterapkan pada Hak Kekayaan Industri (kecuali Rahasia Dagang),
dimana perlindungan atas hak-hak tersebut baru akan ada ketika dilakukan
pendaftaran.
b. Prinsip Deklaratif (First to Use)
Prinsip ini diterapkan pada Hak Cipta dan Rahasia Dagang, dimana perlindungan
atas hak tersebut secara otomatis tanpa perlu didaftarkan.
Pemilik atau pemegang HKI akan memiliki hak eksklusif, yaitu hak yang hanya
diperuntukkan bagi pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan
hak tersebut tanpa izin dari pencipta. Jika seseorang menggunakan HKI orang lain tanpa
izin, maka yang bersangkutan akan terkena sanksi baik pidana ataupun perdata. Hak
eksklusif ini bersifat monopoli. Monopoli ini merupakan penghargaan (reward) ataupun
perangsang (incentive) sebagai kompensasi atas pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya
yang tidak sedikit dalam menghasilkan kreasi intelektual tersebut. Hak eksklusif ini
merupakan hak ekonomi, yang lazimnya mendatangkan royalti dan hak moral yang
mengabadikan integritasnya atas kreasi intelektual yang bersangkutan sehingga hak
tersebut termasuk sebagai kekayaan berupa benda bergerak tidak berwujud (Pasal 499
BW dan Pasal 503 BW). Di samping itu, ada manfaat sosial dan bentuk penyebarluasan,
pengkayaan, dan dukungan yang berguna bagi pengembangan SDM. Pengembangan ini
akan mempengaruhi perilaku dan dalam ruang lingkup yang lebih besar akan membentuk
suatu budaya yang mampu merubah masyarakat pengguna untuk mengembangkan
potensi dirinya sehingga diharapkan yang bersangkutan akan menjadi pencipta, inventor,
ataupun pendesain baru. Selain itu, hak tersebut dapat dialihkan dengan pewarisan,
hibah, wasiat, wakaf, perjanjian tertulis, ataupun sebab lain yang dibenarkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak tersebut pun dapat diperjualbelikan,
disewakan, ataupun dijadikan jaminan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

7. Hak Kekayaan Intelektual : Hak Cipta


Diatur dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
a. Pengertian Hak Cipta
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta, Hak Cipta adalah hak eksklusif
pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu
ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 68


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi, hak cipta adalah hak
pencipta untuk mengumumkan dan memperbanyak ciptaan serta memberi izin pihak
lain untuk mengumumkan dan memperbanyak ciptaannya di bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra (seperti buku, jurnal, film, lukisan, lagu, dll.)
b. Persyaratan Substantif Hak Cipta
Bersifat kumulatif.
➢ Unsur keaslian
Pasal 1 angka 2 UU Hak Cipta, yaitu “suatu ciptaan yang bersifat khas dan
pribadi.”
➢ Unsur kreativitas
Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta, yaitu “dihasilkan atas suatu inspirasi,
kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang
diekspresikan dalam bentuk nyata.”
➢ Unsur perwujudan
Pasal 1 angka 3 jo. Pasal 1 angka 13 UU Hak Cipta, yaitu “fiksasi adalah
perekaman suara yang dapat didengar, perekaman gambar atau keduanya, yang
dapat dilihat, didengar, digandakan, atau dikomunikasikan melalui perangkat
apapun.”
c. Siapakah yang Disebut sebagai Pencipta?
Pasal 1 angka 2 UU Hak Cipta menyatakan bahwa pencipta adalah seorang atau
beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu
ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Kemudian, dalam Pasal 1 angka 4 UU Hak
Cipta disebutkan bahwa pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak
Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain
yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.
Dalam Pasal 31 UU Hak Cipta, disebutkan bahwa kecuali terbukti sebaliknya, yang
dianggap sebagai Pencipta, yaitu Orang yang namanya:
➢ Disebut dalam Ciptaan.
➢ Dinyatakan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan.
➢ Disebutkan dalam surat pencatatan Ciptaan.
➢ Tercantum dalam daftar umum Ciptaan sebagai Pencipta.
d. Perolehan Hak Cipta
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta, dapat disimpulkan bahwa hak cipta
diperoleh secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 69


diwujudkan dalam bentuk nyata sehingga dalam hal ini tidak ada kewajiban untuk
mendaftar. Namun, Pasal 66 menyatakan bahwa pencatatan Ciptaan dan produk Hak
Terkait diajukan dengan Permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh
Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terikat, atau Kuasanya kepada
Menteri.
e. Apa Saja yang Terkandung dalam Hak Cipta dan Hak Terkait?
➢ Hak Cipta
❖ Hak Moral
Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta, hak moral
merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk:
➔ Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan
sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum.
➔ Menggunakan nama aliasnya atau samarannya.
➔ Mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat.
➔ Mengubah judul dan anak judul Ciptaan.
➔ Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi
Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan
kehormatan diri atau reputasinya.
Hak moral tidak dapat dialihkan selama Pencipta masih hidup, tetapi
pelaksanaan hak tersebut dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab yang
lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan setelah Pencipta
meninggal dunia.
❖ Hak Ekonomi
Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Hak Cipta, hak ekonomi merupakan
hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan
manfaat ekonomi atas Ciptaan. Dalam Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta,
disebutkan bahwa hak ekonomi tersebut untuk melakukan:
➔ Penerbitan Ciptaan
➔ Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya.
➔ Penerjemahan Ciptaan;
➔ Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan.
➔ Pendistribusian Ciptaan atau salinannya.
➔ Pertunjukan Ciptaan;
➔ Pengumuman Ciptaan;

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 70


➔ Komunikasi Ciptaan.
➔ Penyewaan Ciptaan.
Bagi setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi tersebut wajib
mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
➢ Hak Terkait
Sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU Hak Cipta, Hak Terkait merupakan hak
eksklusif yang meliputi:
❖ Hak moral Pelaku Pertunjukan.
❖ Hak ekonomi Pelaku Pertunjukan.
❖ Hak ekonomi Produser Fonogram.
❖ Hak ekonomi Lembaga Penyiaran.
f. Lisensi
Berdasarkan Pasal 1 angka 20 UU Hak Cipta, Lisensi adalah izin tertulis yang
diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain
untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan
syarat tertentu.
g. Jangka Waktu Hak Cipta
➢ Pasal 58 UU Hak Cipta
(1) Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan:
a. buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran,
kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
g. karya arsitektur;
h. peta; dan
i. karya seni batik atau seni motif lain,
berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh
puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1
Januari tahun berikutnya.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 71


(2) Dalam hal Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki oleh 2
(dua) orang atau lebih, pelindungan Hak Cipta berlaku selama hidup
Pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung selama 70
(tujuh puluh) tahun sesudahnya, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun
berikutnya.
(3) Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) yang dimiliki atau dipegang oleh badan hukum berlaku selama
50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan Pengumuman.
➢ Pasal 59 UU Hak Cipta
(1) Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan:
a. karya fotograh;
b. Potret;
c. karya sinematografi;
d. permainan video;
e. Program Komputer;
f. perwajahan karya tulis;
g. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi,
aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
h. terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi atau modifikasi ekspresi
budaya tradisional;
i. kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca
dengan Program Komputer atau media lainnya; dan
j. kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut
merupakan karya yang asli,
berlaku selama 50 (1ima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan
Pengumuman.
(2) Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan berupa karya seni terapan berlaku
selama 25 (dua puluh lima) tahun sejak pertama kali dilakukan
Pengumuman.

8. Hak Kekayaan Intelektual : Paten


Diatur dalam UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.
a. Pengertian Paten

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 72


Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan
oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka
waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan
kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
b. Persyaratan Substantif Paten
➢ Novelty
Pasal 5 ayat (1) UU Paten, yaitu “Invensi dianggap baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut tidak
sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.”
➢ Inventive Step
Pasal 7 ayat (1) UU Paten, yaitu “Invensi mengandung langkah inventif jika
Invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang
teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.”
➢ Industrial Applicable
Pasal 8 UU Paten, yaitu “Invensi dapat diterapkan dalam industri jika Invensi
tersebut dapat dilaksanakan dalam industri sebagaimana dalam Permohonan.”
c. Lingkup Pelindungan Paten
Pasal 2 UU Paten menyatakan bahwa pelindungan Paten meliputi:
➢ Paten Biasa
Diberikan untuk Invensi yang berua, mengandung langkah inventif, dan dapat
diterapkan dalam industri.
➢ Paten Sederhana
Diberikan untuk setiap Invensi baru, pengembangan dari produk atau proses
yang telah ada, dan dapat diterapkan dalam industri (lebih praktis dari Invensi
sebelumnya).
d. Subjek Paten
Diatur dalam Pasal 10 UU Paten.
(1) Pihak yang berhak memperoleh Paten adalah Inventor atau Orang yang
menerima lebih lanjut hak Inventor yang bersangkutan.
(2) Jika Invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak atas
Invensi dimiliki secara bersama-sama oleh para Inventor yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Paten, Inventor adalah seorang atau beberapa
orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam
kegiatan yang menghasilkan Invensi.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 73


e. Cara Perolehan Paten
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU Paten, Paten diberikan berdasarkan
Permohonan yang diajukan oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Menteri secara
tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan membayar biaya. Dengan kata lain,
perolehan Paten adalah apabila invensi didaftarkan dan nantinya mendapatkan
Sertifikat Paten. Syarat dan tata cara permohonan Paten diatur dalam Pasal 24 -
Pasal 29 UU Paten.
f. Lisensi
Berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU Paten, Lisensi adalah izin yang diberikan oleh
pemegang paten, baik yang bersifat eksklusif maupun non-eksklusif, kepada
penerima lisensi berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Paten yang
masih dilindungi dalam jangka waktu dan syarat tertentu.
g. Jangka Waktu Paten
➢ Pasal 22
(1) Paten diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak
Tanggal Penerimaan.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
diperpanjang.
(3) Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu paten dicatat dan diumumkan
melalui media elektronik dan/ atau media non-elektronik.
➢ Pasal 23
(1) Paten sederhana diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung
sejak Tanggal penerimaan.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (l) tidak dapat
diperpanjang.
(3) Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu paten sederhana dicatat dan
diumumkan melalui media elektronik dan/ atau media non-elektronik.

9. Hak Kekayaan Intelektual : Merek


Diatur dalam UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
a. Pengertian Merek dan Hak atas Merek
➢ Pasal 1 angka 1 UU Merek dan Indikasi Geografis
Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo,
nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 74


dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau
lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi
oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
➢ Pasal 1 angka 5 UU Merek dan Indikasi Geografis
Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik
Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri
Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk
menggunakannya.
Merek yang dilindungi terdiri atas tanda berupa gambar, logo, nama, kata, huruf,
angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi,
suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk
membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum
dalam kegiatan; perdagangan barang dan/atau jasa.
b. Jenis-Jenis Merek
➢ Merek Dagang
Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum
untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya.
Contoh : Aqua, Sosro, Indomie, dll.
➢ Merek Jasa
Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan jasa sejenis lainnya.
Contoh : Restoran KFC, Hotel Aston, Indomaret, dll.
➢ Merek Kolektif
Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan
karakteristik yang sama mengenai sifat, ciri umum, dan mutu barang atau jasa
serta pengawasannya yang akan diperdagangkan oleh beberapa orang atau
badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/ atau
jasa sejenis lainnya.
Contoh : Larutan Cap Badak dengan Larutan Cap Kaki Tiga.
c. Cara Perolehan Hak atas Merek
Berdasarkan Pasal 3 UU Merek dan Indikasi Geografis, hak atas Merek diperoleh
setelah Merek tersebut terdaftar. Dengan kata lain, peroleh hak atas Merek harus

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 75


didaftarkan untuk mendapatkan Sertifikat hak atas Merek. Syarat dan tata cara
permohonan pendaftaran Merek diatur dalam Pasal 4 - Pasal 8 UU Merek dan
Indikasi Geografis. Untuk permohonan pendaftaran Merek Internasional diatur
dalam Pasal 52 UU Merek dan Indikasi Geografis.
d. Lisensi
Berdasarkan Pasal 1 angka 18 UU Merek dan Indikasi Geografis, Lisensi adalah izin
yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain berdasarkan
perjanjian secara tertulis sesuai peraturan perundang-undangan untuk menggunakan
Merek terdaftar. Tetapi, dalam Pasal 50 disebutkan bahwa Merek Kolektif terdaftar
digunakan oleh komunitas Merek Kolektif dimaksud dan tidak dapat dilisensikan
kepada pihak lain karena kepemilikannya bersifat kolektif dan jika ada pihak lain
yang akan menggunakan Merek tersebut tidak perlu mendapat Lisensi dari pemilik
Merek Kolektif, cukup menggabungkan diri.
e. Jangka Waktu Merek Terdaftar
Pasal 35 UU Merek dan Indikasi Geografis.
(1) Merek terdaftar mendapat pelindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun sejak Tanggal Penerimaan.
(2) Jangka waktu pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
(3) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diajukan
secara elektronik atau non-elektronik dalam bahasa Indonesia oleh pemilik
Merek atau Kuasanya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya
jangka waktu pelindungan bagi Merek terdaftar tersebut dengan dikenai biaya.
(4) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 masih dapat
diajukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah berakhirnya
jangka waktu perlindungan Merek terdaftar tersebut dengan dikenai biaya dan
denda sebesar biaya perpanjangan.

10. Hak Kekayaan Intelektual : Indikasi Geografis


Diatur dalam UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
a. Pengertian Indikasi Geografis dan Hak atas Indikasi Geografis
➢ Pasal 1 angka 6 UU Merek dan Indikasi Geografis
Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu
barang dan/atau produk yang karena. faktor lingkungan geografis termasuk

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 76


faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut
memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau
produk yang dihasilkan.
➢ Pasal 1 angka 7 UU Merek dan Indikasi Geografis
Hak atas Indikasi Geografis adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara
kepada pemegang hak Indikasi Geografis yang terdaftar, selama reputasi,
kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya pelindungan atas
Indikasi Geografis tersebut masih ada.
b. Cara Perolehan dan Pelindungan Indikasi Geografis
Berdasarkan Pasal 53 ayat (1) dan (2) UU Merek dan Indikasi Geografis, Indikasi
Geografis dilindungi setelah Indikasi Geografis didaftar oleh Menteri melalui
Permohonan yang diajukan Pemohon Indikasi Geografis kepada Menteri.
c. Jangka Waktu Indikasi Geografis
Pasal 61 UU Merek dan Indikasi Geografis.
(1) Indikasi Geografis dilindungi selama terjaganya reputasi, kualitas, dan
karakteristik yang menjadi dasar diberikannya pelindungan Indikasi Geografis
pada suatu barang.
(2) Indikasi Geografis dapat dihapus jika:
a. tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1)
hurufa.

11. Hak Kekayaan Intelektual : Perlindungan Varietas Tanaman


Diatur dalam UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
a. Pengertian PVT, Hak PVT, dan Varietas Tanaman
➢ Pasal 1 angka 1 UU PVT
Perlindungan Varietas Tanaman yang selanjutnya disingkat PVT, adalah
perlindungan khusus yang diberikan negara yang dalam hal ini diwakili oleh
Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Perlindungan Varietas
Tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman
melalui kegiatan pemuliaan tanaman.
➢ Pasal 1 angka 2 UU PVT
Hak Perlindungan Varietas Tanaman adalah hak khusus yang diberikan negara
kepada pemulia dan/atau pemegang hak Perlindungan Varietas Tanaman untuk

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 77


menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan
kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu
tertentu.
➢ Pasal 1 angka 3 UU PVT
Varietas tanaman yang selanjutnya disebut varietas, adalah sekelompok tanaman
dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan
tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik genotipe atau
kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama
oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak
tidak mengalami perubahan.
b. Kriteria Varietas Tanaman yang Dapat Diberi PVT
Dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU PVT, disebutkan bahwa Varietas yang dapat
diberi PVT meliputi varietas dari jenis spesies tanaman yang baru, unik, seragam,
stabil, dan diberi nama. Suatu varietas dianggap baru apabila pada saat penerimaan
permohonan hak PVT, bahan perbanyakan atau hasil panen dari varietas tersebut
belum pernah diperdagangkan di Indonesia atau sudah diperdagangkan tetapi tidak
lebih dari setahun, atau telah diperdagangkan di luar negeri tidak lebih dari empat
tahun untuk tanaman semusim dan enam tahun untuk tanaman tahunan.
c. Subjek Perlindungan Varietas Tanaman
Diatur dalam Pasal 5 UU PVT.
(1) Pemegang hak PVT adalah pemulia atau orang atau badan hukum, atau pihak
lain yang menerima lebih lanjut hak PVT dari pemegang hak PVT sebelumnya.
(2) Jika suatu varietas dihasilkan berdasarkan kerja, maka pihak yang memberi
pekerjaan itu adalah pemegang hak PVT, kecuali diperjanjikan lain antara kedua
pihak dengan tidak mengurangi hak pemulia.
(3) Jika suatu varietas dihasilkan berdasarkan pesanan, maka pihak yang memberi
pesanan itu menjadi pemegang hak PVT, kecuali diperjanjikan lain antara kedua
pihak dengan tidak mengurangi hak pemulia.
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU PVT, Pemulia tanaman yang selanjutnya disebut
pemulia, adalah orang yang melaksanakan pemuliaan tanaman. Sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka 4 UU PVT, bahwa pemuliaan tanaman adalah rangkaian
kegiatan penelitian dan pengujian atau kegiatan penemuan dan pengembangan suatu
varietas, sesuai dengan metode baku untuk menghasilkan varietas baru dan
mempertahankan kemurnian benih varietas yang dihasilkan.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 78


d. Cara Perolehan Perlindungan Varietas Tanaman
Berdasarkan Pasal 11 UU PVT, permohonan hak PVT diajukan kepada Kantor PVT
secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan membayar biaya yang besarnya
ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Dengan kata lain, peroleh hak PVT harus
didaftarkan untuk mendapatkan Sertifikat hak PVT.
e. Lisensi
Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU PVT, Lisensi adalah izin yang diberikan oleh
pemegang hak Perlindungan Varietas Tanaman kepada orang atau badan hukum lain
untuk menggunakan seluruh atau sebagian hak Perlindungan Varietas Tanaman.
f. Jangka Waktu Perlindungan Varietas Tanaman
Diatur dalam Pasal 4 UU PVT.
(1) Jangka waktu PVT
a. 20 (dua puluh) tahun untuk tanaman semusim;
b. 25 (dua puluh lima) tahun untuk tanaman tahunan.
(2) Jangka waktu PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal
pemberian hak PVT.
(3) Sejak tanggal pengajuan permohonan hak PVT secara lengkap diterima Kantor
PVT sampai dengan diberikan hak tersebut, kepada pemohon diberikan
perlindungan sementara.

12. Hak Kekayaan Intelektual : Rahasia Dagang


Diatur dalam UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
a. Pengertian Rahasia Dagang dan Hak Rahasia Dagang
➢ Pasal 1 angka 1 UU Rahasia Dagang
Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang
teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam
kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.
➢ Pasal 1 angka 2 UU Rahasia Dagang
Hak Rahasia Dagang adalah hak atas rahasia dagang yang timbul berdasarkan
Undang-undang ini.
b. Lingkup Rahasia Dagang
Diatur dalam Pasal 2 UU Rahasia Dagang yang menyatakan bahwa lingkup
perlindungan Rahasia Dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan,

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 79


metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang
memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.
c. Cara Perolehan dan Perlindungan Hak Rahasia Dagang
Sama halnya dengan Hak Cipta, Hak Rahasia Dagang diperoleh secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif. Perolehan Hak Rahasia Dagang tidak harus melalui
pendaftaran karena perolehan secara otomatis selama kerahasiaan tersebut dijaga
oleh pemilik. Terkait perlindungan Hak Rahasia Dagang lebih lanjut hal diatur
dalam Pasal 3 UU Rahasia Dagang.
(1) Rahasia Dagang mendapat perlindungan apabila informasi tersebut bersifat
rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya
sebagaimana mestinya.
(2) Informasi dianggap bersifat rahasia apabila informasi tersebut hanya diketahui
oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat.
(3) Informasi dianggap memiliki nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi
tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat
komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi.
(4) Informasi dianggap dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang
menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak dan patut.
d. Lisensi
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Rahasia Dagang, Lisensi adalah izin yang
diberikan oleh pemegang Hak Rahasia Dagang kepada pihak lain melalui suatu
perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk
menikmati manfaat ekonomi dari suatu Rahasia Dagang yang diberi perlindungan
dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU
Rahasia Dagang, Perjanjian Lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal
dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

13. Hak Kekayaan Intelektual : Desain Industri


Diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
a. Pengertian Desain Industri dan Hak Desain Industri
➢ Pasal 1 angka 1 UU Desain Industri
Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk konfigurasi, atau komposisi
garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan dari padanya yang
berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 80


dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai
untuk menghasilkan suatu produk, barang komoditas industri, atau kerajinan
tangan.
➢ Pasal 1 angka 5 UU Desain Industri
Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang di berikan oleh negara Republik
Indonesia kepada Pendesaian atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu
melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakan hal tersebut.
b. Lingkup Desain Industri
Diatur dalam Pasal 2 UU Desain Industri.
(1) Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru.
(2) Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal Penerimaan, Desain Industri
tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.
(3) Pengungkapan sebelum, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah
pengungkapan Desain Industri yang sebelum:
a. tanggal penerimaan; atau
b. tanggal prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas;
c. telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia.
c. Subjek Desain Industri
Diatur dalam Pasal 6 UU Desain Industri.
(1) Yang berhak memperoleh Hak Desain Industri adalah Pendesain atau menerima
hak tersebut dari Pendesain.
(2) Dalam hal Pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, Hak Desain
Industri diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika diperjanjikan
lain.
d. Cara Perolehan Hak Desain Industri
Berdasarkan Pasal 10 UU Desain Industri, Hak Desain Industri atas dasar
Permohonan. Dengan kata lain, perolehan Hak Desain Industri harus didaftarkan
melalui Permohonan yang diajukan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal untuk
mendapatkan Sertifikat Hak Desain Industri. Permohonan hanya dapat diajukan
untuk satu Desain Industri atau beberapa Desain Industri yang merupakan satu
kesatuan Desain Industri.
e. Lisensi

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 81


Berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU Desain Industri, Lisensi adalah izin diberikan oleh
pemegang Hak Desain Industri kepada pihak lain melalui suatu perjanjian
berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat
ekonomi dari suatu Desain Industri yang diberi perlindungan dalam jangka waktu
tertentu dan syarat tertentu.
f. Jangka Waktu Perindustrian Desain Industri
Diatur dalam Pasal 5 UU Desain Industri.
(1) Perlindungan terhadap hak Desain Industri diberikan untuk jangka waktu 10
(sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal Penerimaan.
(2) Tanggal mulai berlakunya jangka waktu perlindungan sebagaimana dimaksud
dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi
Desain Industri.

14. Hak Kekayaan Intelektual : Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu


Diatur dalam UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
a. Pengertian Sirkuit Terpadu, Desain Tata Letak, dan Hak DTLST
➢ Pasal 1 angka 1 UU DTLST
Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang
di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen
tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan
serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang
dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik.
➢ Pasal 1 angka 2 UU DTLST
Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari
berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen
aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan
peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit
Terpadu.
➢ Pasal 1 angka 6 UU DTLST
Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak eksklusif yang diberikan oleh
negara Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama
waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada
pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.
b. Lingkup Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 82


Diatur dalam Pasal 2 UU DTLST.
(1) Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diberikan untuk Desain Tata Letak
Sirkuit Terpadu yang orisinal.
(2) Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dinyatakan orisinal apabila desain tersebut
merupakan hasil karya mandiri Pendesain, dan pada saat Desain Tata Letak
Sirkuit Terpadu tersebut dibuat tidak merupakan sesuatu yang umum bagi para
Pendesain.
c. Subjek Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Diatur dalam Pasal 5 - Pasal 7 UU DTLST.
➢ Pasal 5
(1) Yang berhak memperoleh Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah
Pendesain atau yang menerima hak tersebut dari Pendesain.
(2) Dalam hal Pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, Hak
Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diberikan kepada mereka secara
bersama, kecuali jika diperjanjikan lain.
➢ Pasal 6
(1) Jika suatu Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dibuat dalam hubungan dinas
dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, Pemegang Hak adalah
pihak yang untuk dan/atau dalam dinasnya Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak
dengan tidak mengurangi hak Pendesain apabila penggunaan Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu itu diperluas sampai keluar hubungan dinas.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu yang dibuat orang lain berdasarkan pesanan
yang dilakukan dalam hubungan dinas.
(3) Jika suatu Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dibuat dalam hubungan kerja
atau berdasarkan pesanan, orang yang membuat Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu itu dianggap sebagai Pendesain dan Pemegang Hak, kecuali jika
diperjanjikan lain antara kedua pihak.
➢ Pasal 7
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapus Hak Pendesain untuk tetap dicantumkan namanya dalam Sertifikat
Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Daftar Umum Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu dan Berita Resmi Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 83


d. Cara Perolehan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Berdasarkan Pasal 9 UU DTLST, Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diberikan
atas dasar Permohonan. Dengan kata lain, perolehan Hak Desain Tata Letak sirkuit
Terpadu harus didaftarkan melalui Permohonan yang diajukan secara tertulis kepada
Direktorat Jenderal untuk mendapatkan Sertifikat Hak Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu.
e. Lisensi
Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU DTLST, Lisensi adalah izin yang diberikan oleh
Pemegang Hak kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada
pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari
suatu Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang diberi perlindungan dalam jangka
waktu tertentu dan syarat tertentu.
f. Jangka Waktu Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Diatur dalam Pasal 4 UU DTLST.
(1) Perlindungan terhadap Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diberikan kepada
Pemegang Hak sejak pertama kali desain tersebut dieksploitasi secara komersial
di mana pun, atau sejak Tanggal Penerimaan.
(2) Dalam hal Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu telah dieksploitasi secara
komersial, Permohonan harus diajukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung
sejak tanggal pertama kali dieksploitasi.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan selama 10
(sepuluh) tahun.
(4) Tanggal mulai berlakunya jangka waktu perlindungan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dicatat dalam Daftar Umum Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Perolehan Lama
HKI Subjek Objek
Perlindungan Perlindungan

Selama hidup
Ilmu pengetahuan,
Hak Cipta Pencipta Deklaratif Pencipta + 70
seni, dan sastra
tahun

Paten Inventor Hasil invensi di Konstitutif 10 tahun untuk

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 84


bidang teknologi Paten Biasa dan 20
tahun untuk Paten
Sederhana

Simbol dalam
Pemilik 10 tahun dan dapat
Merek perdagangan Konstitutif
Merek diperpanjang
barang dan jasa

Lembaga SDA, kerajinan


Selama terjaganya
yang tangan, atau hasil
Indikasi reputasi, kualitas,
mewakili industri yang Konstitutif
Geografis dan karakteristik
masyarakat dimiliki daerah
Indikasi Geografis
setempat setempat

20 tahun untuk
Perlindungan tanaman semusim
Pemulia
Varietas Varietas tanaman Konstitutif dan 25 tahun
Tanaman
Tanaman untuk tanaman
tahunan

Selama
Rahasia Informasi bisnis kerahasiaan
Pemilik Usaha Deklaratif
Dagang bernilai ekonomi dagang tersebut
tetap terjaga

Desain Desain industri 10 tahun dan tidak


Pendesain Konstitutif
Industri (produk) dapat diperpanjang

Desain Tata Desain 3 dimensi


Letak Sirkuit Pendesain dalam sirkuit Konstitutif 10 tahun
Terpadu terpadu

Bab VI. Hukum Surat Berharga

1. Pengertian Surat Berharga


a. Pengertian secara Luas

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 85


Surat yang memberi hak pasti atau nyata kepada pemegangnya atas suatu hak
tertentu yang secara tegas disebutkan dalam surat tersebut.
b. Pengertian secara Sempit
Surat yang dapat diperjualbelikan dan menjadi alat pembayaran dalam lalu lintas
perdagangan dan mudah dipindahtangankan.
Pasal 1 angka 11 UU No. 10 Tahun 1998, Surat Berharga adalah surat pengakuan utang,
wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain,
atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam
pasar modal dan pasar uang. Surat berharga disebut juga surat legitimasi karena memberi
legitimasi terhadap hak yang tercantum dalam surat tersebut.

2. Pembuktian Kepemilikan Surat Berharga


Hak pasti atau hak nyata dalam arti bahwa hak yang diperoleh tersebut akan menjadi
kenyataan dan terjamin atau terlindungi secara hukum. Hak tersebut di dalam surat
berharga diberikan kepada pemegang surat berharga, siapapun orang yang memegang
atau menguasai surat berharga tersebut, terutama yang perolehannya secara jujur,
walaupun yang perolehannya secara tidak jujur terlindungi juga secara hukum. Misalnya,
seseorang yang menentukan surat berharga di jalan akan berdalih berhak atas surat
berharga tersebut sampai pemilik atau orang yang sesungguhnya berhak dapat
membuktikan sebaliknya. Tetapi kalau ia tidak dapat membuktikan maka pemeganglah
yang secara hukum berhak dianggap berhak atas surat berharga tersebut. Untuk
membuktikan hak seseorang atas sepucuk surat berharga, terdapat 2 asas sebagai berikut.
a. Asas Legitimasi Materiil
Siapapun yang merasa surat berharga adalah miliknya, maka dialah yang harus
membuktikan bahwa surat berharga tersebut adalah miliknya, bukan pemegangnya.
b. Asas Legitimasi Formal
Siapapun yang memegang atau menguasai surat berharga tersebut, maka secara
hukum dialah yang berhak atas surat berharga tersebut. Kalau ada orang lain yang
menyangkal haknya, maka orang lain itulah yang dibebani pembuktian harus dapat
membuktikan bahwa ia yang sesungguhnya berhak.
UU mengutamakan legitimasi formal daripada legitimasi materiil, adapun tujuannya
adalah sebagai berikut.
➢ Agar peredaran surat berharga tersebut tidak terhambat.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 86


➢ Agar tujuan penerbitan surat berharga tersebut tercapai sebagaimana yang
dimaksudkan.
❖ Pengganti uang.
❖ Pengganti barang.
❖ Pengganti jasa pelayanan.
➢ Agar fungsi dari surat berharga tersebut tercapai secara maksimal dalam lalu lintas
perdagangan.
❖ Alat bayar kontan.
❖ Alat bayar kredit.
❖ Mengambil barang pada pengangkut di tempat penitipan.
❖ Keanggotaan persekutuan.
➢ Bahwa hak yang diberikan oleh surat berharga tersebut adalah tertentu, yaitu:
❖ Hak atas pembayaran sejumlah uang (cek, wesel, dll.)
❖ Hak atas piutang (aksep, obligasi, dll.)
❖ Hak atas sejumlah barang (konosemen, ceel, surat penitipan barang, dll.)

3. Fungsi Surat Berharga


➢ Sebagai alat bayar kredit, artinya ada tenggang waktu antara saat penerbitan dengan
saat pembayaran surat berharga tersebut (contoh : wesel, aksep, obligasi, dll.)
➢ Sebagai alat bayar kontan, artinya kalau suatu transaksi dibayar dengan surat
berharga maka surat berharga tersebut sama dengan dibayar dengan uang kontan,
baik sesuai nominalnya ataupun tidak sesuai nominalnya.
➢ Sebagai bukti hak pengambilan barang pada orang lain (contoh : konosemen, ceel,
resi, dll.)
➢ Sebagai bukti kepemilikan atau keanggotaan suatu badan kerjasama (contoh :
saham, surat keanggotaan, dll.)
➢ Sebagai bukti kreditur atau orang yang berpiutang (contoh : obligasi, aksep, wesel,
bilyet giro dll.)
➢ Sebagai sarana pemindahbukuan (contoh : cek, bilyet giro, dll.)

4. Surat Berharga dan Surat yang Berharga (Bernilai)


a. Surat Berharga
Surat yang mempunyai harga atau nilai uang/barang dan dapat diperdagangkan atau
dipindahtangankan kepada orang lain.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 87


Contoh : cek, wesel, aksep, obligasi, konosemen, dll.
b. Surat yang Berharga (Bernilai)
Surat yang mempunyai harga atau nilai uang/barang/jasa tetapi tidak dapat
diperdagangkan lebih lanjut atau tidak dapat dipindahtangankan kepada orang lain
dan hanya memiliki nilai bagi yang namanya tercantum dalam surat tersebut.
Contoh : deposito, sertifikat tanah, BPKB, ceel, resi penitipan barang, karcis, dll.

5. Syarat Umum Surat Berharga


a. Syarat Formal
➢ Menyebutkan nama atau jenis surat berharga secara jelas.
➢ Memuat atau mengandung persyaratan suatu kesanggupan, janji, perintah atau
kewajiban yang tidak bersyarat yang isinya dapat berupa surat-surat perintah
membayar, surat hak tagih keuangan atau kebendaan, alat kredit, dan
sebagainya.
➢ Mencantumkan nama pihak yang wajib atau harus membayar.
➢ Penetapan nama tempat pembayaran.
➢ Penyebutan tanggal dan tempat surat berharga tersebut diterbitkan atau ditarik.
➢ Harus ditandatangani dengan atau tanpa stempel dari penerbit atau penarik yang
sah (tergantung kepada subjek atau siapa yang menerbitkannya, bisa individu,
badan hukum atau yayasan).
b. Syarat Materiil
➢ Adanya perikatan dasar atau sebab-sebab yang sah.
➢ Merupakan hak tagih untuk mendapatkan pembayaran uang atau penyerahan
kebendaan.
➢ Dapat dialihkan dengan cara endosemen, cessie atau pengalihan dari tangan ke
tangan.
➢ Tidak dapat dibatalkan oleh penerbit atau penarik.
➢ Tersedianya dana dan bendanya, jika pada saat penguangan atau penyerahan.

6. Bentuk-Bentuk Surat Berharga


a. Aan Toonder (atas tunjuk) : tidak mencantumkan nama yang berhak atas surat
berharga itu sendiri sehingga mudah dipindahtangankan.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 88


b. Aan Order (atas pembawa) : mencantumkan nama yang berhak atas surat berharga
itu sendiri, masih bisa dipindahtangankan asal order tidak dicoret (melalui cessie
dan endossemen).

● Cek Aan Order


Cek yang menyebutkan nama orang kepada siapa pembayaran ditujukan, baik
dengan atau tidak dengan klausula “atau order” di belakang nama orang tersebut.
Pemindahtanganan cek aan order ini harus dengan cara endossemen, kecuali
untuk cek rekta dan cek aan order setelah dibuat protes non-pembayaran harus
dengan cara cessie.
● Cek Aan Toonder
Cek yang tidak menyebutkan nama orang kepada siapa pembayaran ditujukan
(namanya dikosongkan atau kepada pembawa). Pemindahtanganan cek aan
toonder ini dengan cara penyerahan nyata atau fisik belaka.
● Wesel Aan Order
Bentuk wesel selalu harus menyebutkan nama orang kepada siapa pembayaran
ditujukan, baik dengan atau tanpa klausula “atau order”. Kalau tidak menyebutkan
nama orang kepada siapa pembayaran ditujukan, maka tidak berlaku sebagai surat
wesel. Pemindahtanganan wesel ini harus dengan cara endossemen, kecuali untuk
wesel rekta dan wesel setelah dibuat protes non-pembayaran
pemindahtanganannya harus dengan cessie.
● Aksep Aan Order
Setiap aksep harus menyebutkan nama orang kepada siapa pembayaran ditujukan.
Macam-macam aksep ini sama dengan wesel, oleh karena itu berdasarkan Pasal
176 KUHD, bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan sifat surat aksep, maka
peraturan-peraturan tentang surat wesel berlaku untuk aksep.

7. Jenis-Jenis Surat Berharga


a. Wesel
Surat berharga bertanggal dan menyebutkan tempat penerbitannya, yang merupakan
perintah tanpa syarat oleh penerbit untuk membayar kepada pihak pemegang atau
yang ditunjuk oleh pihak pemegang tersebut (tertunjuk), dimana pembayaran
dilakukan oleh pihak pembayar (tertarik).

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 89


b. Cek
Surat perintah tanpa syarat dari nasabah kepada bank yang memelihara giro nasabah
tersebut untuk membayar sejumlah uang kepada pihak yang disebutkan di dalamnya
atau kepada pemegang cek tersebut.
c. Bilyet Giro
Pasal 1 huruf d SK Direksi BI No. 28/32/KEP/DIR/1995 menyebutkan bahwa Bilyet
Giro adalah surat perintah dari nasabah kepada bank penyimpan dana, untuk
memindahbukukan sejumlah dana dari rekening yang bersangkutan kepada rekening
pemegang yang disebutkan namanya.
d. Obligasi
Surat berharga berupa pengakuan atau pernyataan utang yang diterbitkan oleh
perusahaan penerbit, baik perusahaan swasta maupun pemerintah.
e. Saham
Surat berharga yang merupakan tanda kepemilikan atau penyertaan seseorang atau
badan hukum terhadap suatu perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas.
f. Konosemen
Berdasarkan Pasal 506 KUHD, Konosemen adalah suatu surat yang bertanggal,
dalam mana si pengangkut menerangkan, bahwa ia telah menerima barang-barang
tersebut untuk diangkutnya ke suatu tempat tujuan tertentu dan menyerahkannya di
situ kepada seorang tertentu, begitu pula menerangkan dengan syarat-syarat apakah
barang-barang itu akan diserahkannya.
g. Sertifikat Bank Indonesia
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 SK Direksi BI No. 31/67/KEP/DIR Tahun 1998,
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga atas tunjuk dalam rupiah yang
diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek
dengan sistem diskonto.

8. Kedudukan Hukum Para Pihak dalam Penerbitan dan Peredaran Surat Berharga

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 90


a. A (Penarik)
Debitor yang berwajib regres utama dan akhir. Utama dalam arti penarik tidak dapat
meniadakan wajib regres dengan cara atau dengan klausula apapun, sedangkan
terakhir dalam arti sebagai berikut.
➢ Kalau sepucuk wesel dalam peredarannya kembali ke tangan penarik karena
tuntutan regres pemegang, maka berakhirlah peredaran dari wesel tersebut
walaupun masih dalam masa laku.
➢ Kalau sepucuk wesel dalam peredarannya kembali ke tangan penarik karena
pemindahtanganan dari pemegang wesel, maka penarik masih dapat
memindahtangankan wesel tersebut kepada orang lain.
➢ Kalau sepucuk cek dalam peredarannya kembali ke tangan penarik, baik karena
tuntutan regres pemegang cek ataupun karena pemindahtanganan oleh
pemegang cek, maka berakhirlah peredaran cek tersebut walaupun masih dalam
masa berlaku.
Untuk cek op naam dan cek rekta, penerbitan oleh penarik bertujuan untuk tidak
diperdagangkan atau dipindahtangankan lebih lanjut melainkan sampai pemegang
pertama saja, sehingga kalau cek tersebut kembali ke tangan penarik, baik karena
tuntutan regres pemegang atau karena pemindahtanganan, maka penarik tidak akan
memindahtangankan cek tersebut kepada orang lain (berakhirlah penggunaan cek
tersebut dalam perdagangan). Sedangkan untuk cek aan order lainnya dan cek aan
toonder, kalau cek tersebut kembali ke tangan penarik karena pemindahtanganan

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 91


atau endossemen, maka penarik masih bisa lagi mengendossemenkan cek tersebut
kepada orang lain, sedangkan kalau cek tersebut kembali ke tangan penarik karena
tuntutan regres pemegang, maka berakhirlah penggunaan cek tersebut dalam
perdagangan.
b. B (Tertarik)
Debitor yang perikatannya untuk membayar atau menolak membayar. Kalau tertarik
menolak pengunjukan pembayaran oleh pemegang, maka tertarik dapat
menggunakan segala alasan apapun, baik yuridis maupun non-yuridis. Kalau tertarik
membayar pengunjukan pembayaran oleh pemegang, maka terdapat suatu
pernyataan dari tertarik bahwa ia menyetujui untuk membayar yang disebut
akseptasi. Tertarik wesel atau cek pada dasarnya selalu berada di luar wesel atau cek,
dalam arti:
➢ Kalau tertarik menolak membayar dengan alasan apapun, maka pemegang tidak
dapat menuntut tertarik ke Pengadilan untuk dipaksa membayar oleh hakim.
➢ Tertarik cek tidak dapat terlibat atau melibatkan diri ke dalam hukum cek
dengan cara apapun atau menambah klausula apapun. Apabila tertarik cek
berjanji atau menambah klausula menjamin pembayaran misalnya atau maksud
lain, maka janji atau klausula tersebut batal demi hukum (nietig).
➢ Tertarik wesel terdapat kemungkinan terlibat atau melibatkan diri ke dalam
hukum wesel apabila tertarik memberikan akseptasi, tertarik menjadi akseptan,
memberikan jaminan aval, tertarik menjadi avalis memberikan intervensi, atau
tertarik menjadi intervenien.
c. C, D, E, F (Endossan)
Debitor yang mengalihkan wesel kepada pemegang berikutnya.
d. G (Pemegang)
Kreditor surat berharga yang berhak atas pembayaran dari tertarik dan berhak regres
kepada debitor yang berwajib regres.

9. Teori Perikatan di Antara Debitor Surat Berharga


Di dalam penerbitan dan peredaran surat berharga, timbul beberapa debitor yang akan
membayar surat berharga tersebut pada hari bayar/gugur, ataupun yang wajib menjamin
pembayaran (wajib regres) apabila tidak terjadi pembayaran pada hari bayarnya.
Terdapat 2 jenis debitor, yaitu:
➢ Debitor yang berkedudukan vertikal, yakni penarik, tertarik, dan para endossan.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 92


➢ Debitor yang berkedudukan horizontal (setara/sejajar), yakni avalis dan intervenien.

a. Tanggung Jawab Debitor


Tanggung jawab masing-masing debitor dalam hal pembayaran surat berharga
kepada kreditor (pemegang surat berharga) adalah tanggung jawab renteng dan
sekaligus tanggung jawab mandiri.
➢ Tanggung Jawab Renteng
Kalau debitor tertarik membayar pengunjukan pembayaran surat berharga, maka
tidak timbul wajib regres pada debitor lainnya dan peredaran surat berharganya
berakhir. Kalau debitor endossan yang membayar karena tuntutan regres
pemegang, maka pembayaran tersebut mengakibatkan endossan keempat,
kelima, dan seterusnya bebas dari wajib regres. Endossan ketiga yang telah
membayar berkedudukan hukum sebagai pemegang dan ia berhak regres kepada
endossan kedua, kesatu, pemegang pertama dan penarik. Kalau debitor penarik
yang membayar tuntutan regres pemegang, maka bebaslah semua debitor dari
wajib regres, sekaligus berakhirlah peredaran surat berharga tersebut.
➢ Tanggung Jawab Mandiri
Masing-masing debitor mempunyai kedudukan hukum yang pasti kepada
debitor siapa saja ia berhak regres dan kepada kreditor siapa saja ia berwajib
regres. Tidak ada kedudukan hukum maupun tanggung jawab saling menjamin,
masing-masing debitor berdiri sendiri dalam hukum dan tanggung jawabnya.
b. Teori Perikatan Surat Berharga
➢ Teori Penandatanganan (Creatie Theorie)
Terikatnya para debitor kepada pemegang surat berharga adalah karena adanya
perbuatan penandatanganan yang telah dilakukan oleh debitor pada surat
berharga tersebut, baik pada saat penerbitan ataupun saat
peredarannya/pemindahannya.
Keberatan: apabila surat berharga yang telah ditandatangani tersebut jatuh ke
tangan orang lain secara tidak jujur, maka debitor tetap terikat.
➢ Teori Kejujuran/Kepantasan (Redelijkheids Theorie)
Masih sependapat dengan teori penandatanganan, bahwa dengan perbuatan
penandatanganan yang telah dilakukan oleh debitor pada saat surat berharga
tersebut, maka debitor terikat kepada pemegang surat berharga. Tetapi debitor
hanya terikat kepada pemegang yang perolehannya secara jujur/pantas.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 93


➢ Teori Perjanjian (Overeenkomst Theorie)
Terikatnya para debitor kepada pemegang surat berharga adalah karena adanya
perjanjian diantara mereka, baik perjanjian penerbitan, perjanjian
pemindahtanganan, perjanjian penjaminan (aval/intervensi).
Keberatan:
❖ Bukankah antar penarik dengan endossan-endossan setelah pemegang
pertama dan pemegang tidak pernah ada perjanjian, tetapi mengapa penarik
berwajib regres kepada mereka.
❖ Bukankah antara pemegang pertama dengan endossan-endossan setelah
endossan langsungnya tidak pernah ada perjanjian, tetapi mengapa
pemegang pertama berwajib regres kepada mereka.
Namun, keberatan terhadap teori ini ditiadakan asal dengan tambahan hukum
positif. Dalam arti, terikatnya para debitor kepada pemegang surat berharga
adalah karena adanya perjanjian diantara mereka, tetapi di luar perjanjian
tersebut mereka terikat karena hukum positif telah mengaturnya demikian.
➢ Teori Penunjukan (Vertonings Theorie)
Terikatnya para debitor kepada pemegang surat berharga adalah pada saat
ditunjukkannya surat berharga tersebut untuk minta pembayaran pada hari
bayar/gugur.
Keberatan :
Pada wesel terdapat lembaga akseptasi dan permintaan akseptasi oleh pemegang
wesel dapat dilakukan oleh pemegang dalam tenggang akseptasi sejak tanggal
penerbitan sampai hari gugur. Kalau permintaan akseptasi oleh pemegang wesel
ditolak oleh tertarik, maka pemegang wesel dapat menggunakan hak regres
untuk minta pembayaran wesel tersebut kepada salah seorang debitor sebelum
hari gugur. Jadi, sebelum hari gugurpun debitor dapat terikat.

10. Hubungan Antara Perjanjian Dasar dengan Perjanjian Penerbitan dan Peredaran
Surat Berharga
Dalam setiap penerbitan surat berharga, pastilah ada perjanjian dasar yang mendasari
perjanjian penerbitan maupun peredaran surat berharga tersebut. Penarik memerintahkan
membayar kepada tertarik pasti ada perjanjian dasarnya, begitu pula penarik
menyerahkan surat berharga tersebut kepada pemegang pertama pasti ada perjanjian
dasarnya, demikian pula seterusnya. Tidak mungkin surat berharga diterbitkan tanpa

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 94


perjanjian dasar dan tidak mungkin pula surat berharga dipindahtangankan tanpa
perjanjian dasar. Apakah perjanjian dasar mempengaruhi perjanjian penerbitan dan
perjanjian peredaran surat berharga, dalam hal jika perjanjian dasar tidak sah, gugur,
batal, atau berakhir? Terdapat 2 teori terkait hal itu, yakni:
a. Teori Materiil Abstraksi
Tidak ada hubungan antara perjanjian dasar dengan perjanjian penerbitan dan
perjanjian peredaran surat berharga, masing-masing perjanjian tunduk pada hukum
yang berbeda. Oleh karena itu, tidak sah, batal, gugur, atau berakhirnya perjanjian
dasar sama sekali tidak berpengaruh pada perjanjian penerbitan dan perjanjian
peredaran surat berharga.
b. Teori Prosessuil Abstraksi
Adanya perjanjian peredaran surat berharga karena adanya perjanjian penerbitan
surat berharga dan adanya kedua perjanjian tersebut adalah karena adanya perjanjian
dasar. Perjanjian dasar mendasari adanya perjanjian penerbitan dan perjanjian
peredaran surat berharga.

Copyright Owned by Raynard Valere Ho 95

Anda mungkin juga menyukai