Anda di halaman 1dari 72

BAB III

KETENTUAN HUKUM POSITIP TENTANG SITA MARITAL DALAM


PERKARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA APABILA TERJADI
PERCERAIAN SUAMI ISTRI

A. Sita Marital Pada Umumnya


1. Pengertian Sita Marital dan Tujuan Sita Marital
Sita Marital (Maritaal Beslag) adalah suatu tindakan hukum Pengadilan atas
benda bergerak ataupun benda tidak bergerak milik Tergugat atas permohonan
Penggugat

untuk

diawasi

atau

diambil

untuk

menjamin

agar

tuntutan

Penggugat/Kewenangan Penggugat tidak menjadi hampa atau dalam pengertian yang


lainnya dapat diterjemahkan bahwa, sita marital adalah mengambil atau menahan
barang-barang (harta kekayaan dari kekuasaan suami/istri) dilakukan berdasarkan
atas penetapan dan perintah Ketua Pengadilan/Ketua Majelis.
Menurut Retno Wulan Sutantio, sita marital adalah sita yang dimohonkan
oleh pihak istri terhadap barang-barang suami, baik yang bergerak maupun tidak
bergerak, sebagai jaminan untuk memperoleh bagiannya sehubungan dengan gugatan
perceraian, agar supaya selama proses berlangsung barang-barang tersebut jangan
dihilangkan oleh suami.109

109

Retno Wulan Sutantio dan Oeripkartawinata Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori
dan Praktek, (Bandung : Penerbit CV. MandarMaju Bandung,2005), hal.52.

Universitas Sumatera Utara

Sita marital ini merupakan salah satu jenis dari sita jaminan (Conservatoir
Beslag), sehingga pengaturannya berlaku sepenuhnya pada sita marital. UndangUndang mengatur bahwa permohonan sita marital dapat dilakukan, bila diajukan oleh
Penggugat selama pemeriksaan perkara berlangsung. Namun demikian, sebenarnya
Penggugat dapat memohonkan dilakukannya sita marital secara langsung dalam surat
gugatan.
Pengajuan sita marital memiliki tenggang waktu selama putusan belum
dijatuhkan pada Pengadilan Tingkat Pertama, atau selama belum memperoleh
kekuatan hukum tetap. Dengan pengertian bahwa jika perkaranya sudah di Tingkat
Banding, maka permohonan diajukan pada Tingkat Banding. Kemudian, jika
perkaranya di Tingkat Kasasi, maka permohonannya diajukan pada Pengadilan
Tingkat Pertama. Dalam hal ini, bergantung pada pendapat Hakim yang
bersangkutan, mengingat adanya perbedaan pendapat tentang sita ini. Yaitu pertama,
sita merupakan kewenangan mutlak Pengadilan Tingkat Pertama. Kedua, Pengadilan
Tinggi-lah yang berwenang memerintahkan sita kepada Pengadilan Tingkat
Pertama.110
Sita marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan
barang, melainkan menjamin agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya
adalah untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di
Pengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau

110

Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2007), hal.130-131.

Universitas Sumatera Utara

membekukan barang-barang yang disita, agar jangan sampai jatuh ditangan pihak
ketiga.
Sita marital tidak meliputi harta pribadi, walaupun pengertian Maritaal Beslag
meliputi seluruh harta kekayaan perkawinan (jadi termasuk harta pribadi dan harta
kekayaan bersama), namun tujuan pokok sita marital ditujukan ke arah harta
kekayaan bersama dalam perkawinan. Harta kekayaan bersama ini yang perlu
diperlindungi keutuhannya selama proses perkara perceraian masih berlangsung.
Terhadap harta kekayaan pribadi, sita marital tidak perlu memperlindungi
keselamatan dan keutuhannya. Sepanjang mengenai harta pribadi, masing-masing
pihak, berhak sepenuhnya untuk mengatur dan menyelamatkannya.
Jadi sita marital tidak meliputi harta pribadi masing-masing sepanjang harta
pribadi itu tidak berada di tangan pihak Tergugat. Jika harta pribadi Penggugat berada
di tangan Tergugat, sita marital dapat menjangkaunya. Misalnya istri mengajukan
gugatan perceraian yang dibarengi dengan permohonan sita marital. Kebetulan
sebagian harta bersama maupun harta pribadi istri (Penggugat) dikuasai oleh suami
(Tergugat). Dalam kasus yang demikian, sita marital dengan sendirinya :111
1. Meliputi harta bersama baik yang berada di tangan suami dan istri;
2. Serta sekaligus juga meliputi harta pribadi istri yang dikuasai suami;
3. Tetapi tidak termasuk harta pribadi istri yang berada di bawah kekuasaannya.

111

M.Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag,


Op.Cit., hal. 148-149.

Universitas Sumatera Utara

Dengan adanya penyitaan terhadap harta bersama, baik Penggugat ataupun


Tergugat, dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk
transaksi.112
Dengan demikian pembekuan harta bersama dibawah penyitaan, berfungsi
untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas
tindakan yang tidak bertanggung jawab dari Tergugat. Sehubungan dengan itu titik
berat penilaian yang harus dipertimbangkan Pengadilan atas permintaan sita marital
adalah pengamanan atau perlindungan atas keberadaan harta bersama. Penilaian ini
jangan terlampau dititikberatkan pada faktor dugaan atau persangkaan akan adanya
upaya Tergugat untuk menggelapkan barang tersebut, tetapi lebih diarahkan pada
masalah pengamanan dan perlindungan harta bersama.
2. Pengaturan Sita Marital
Pengaturan sita marital dapat ditemukan dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, antara lain yang terdapat dalam :113
a. Pasal 190 KUHPerdata, yang berbunyi :
Sementara perkara berjalan dengan ijin Hakim, istri boleh mengadakan tindakantindakan untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak dihabiskan atau
diboroskan
Ketentuan tersebut dulunya berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing Cina.
Tetapi sejak UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 berlaku, Pasal 66 menegaskan

112
113

Sudikno Mertokusuma, Op.Cit., hal. 164.


R. Sardjono, Op.Cit., hal. 32-33.

Universitas Sumatera Utara

segala ketentuan KUHPerdata mengenai Perkawinan dinyatakan tidak berlaku


lagi. Namun demikian ketentuan Pasal 190 KUHPerdata tersebut, dapat dijadikan
bahan orientasi sebagai kedudukan dalam hukum adat tertulis.
b. Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975, yang berbunyi :
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau
tergugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barangbarang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Akan tetapi ketentuan ini lebih tegas dari Pasal 190 KUHPerdata, karena
didalamnya terdapat perkataan menjamin terpeliharanya harta bersama. Namun
terlepas dari itu, hampir tidak ada perbedaan diantara keduanya. Sama-sama
bermaksud mengamankan keberadaan dan keutuhan harta bersama agar tidak
jatuh kepada pihak ketiga.
c. Pasal 78 huruf c UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Bunyi dalam pasal ini persis sama dengan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor 9
Tahun 1975 atau dapat juga dikatakan bahwa isi dan ketentuannya ditransfer dari
Pasal PP Nomor 9 Tahun 1975 yang dimaksud.
Berdasarkan Pasal 78 huruf c, lingkungan Peradilan Agama pun telah memiliki
aturan positip lembaga sita marital. Bahkan sita marital tersebut dalam
lingkungan Peradilan Agama tidak hanya diatur dalam Pasal 78 huruf c UU
Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006

Universitas Sumatera Utara

tentang Peradilan Agama tetapi juga dalam Pasal 136 ayat (2) huruf b Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Yang sama bunyinya dengan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP
Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 78 huruf c UU Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Dengan demikian, landasan penerapan sita marital dalam lingkungan Peradilan
Agama telah diatur dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.114
d. Pasal 823-830 RV
Pasal ini merupakan salah satu diantara beberapa pasal lainnya yang mengatur
tentang sita marital. Ketentuannya mulai dari Pasal 823-830 RV115. Maka dapat

114

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,


Op.Cit., hal. 65.
115
Pasal 823-823j RV :
a. Pasal 823 : Tindakan-tindakan yang boleh dilakukan sehubungan dengan Pasal 190 KUHPerdata
adalah penyegelan, pencatatan harta kekayaan dan penilaian barang-barang bergerak bersama atau
kepunyaan istri dan penyitaan jaminan atas barang-barang tetap bersama, sesuai ketentuan dari sepuluh
pasal berikut.
b. Pasal 823a : Izin untuk mengambil satu atau lebih tindakan ini dapat diminta kepada Raad Van
Justitie pada saat atau sesudah mengajukan surat permohonan seperti yang dimaksud dalam Pasal 820.
Ketua Raad Van Justitie memberi izin itu, jika ia menganggap perlu, dapat memanggil si suami.
c. Pasal 823b : Terhadap penyitaan atas barang-barang bergerak bersama atau atas barang-barang
bergerak dari istri berlaku kalimat kedua alinea kesatu dan ketiga Pasal 444, Pasal 447, Pasal 448,
Pasal 448a, Pasal 448b, Pasal 451, Pasal 452, alinea kesatu Pasal 454, Pasal 456, Pasal 457, Pasal 458
dan Pasal 726 ayat (1).
d. Pasal 823c : Dalam sita tidak termasuk barang-barang bergerak yang oleh pihak terkena sita
ditunjuk sebagai tidak termasuk dalam barang-barang bernama atau bukan kepunyaan si istri,
semuanya, kecuali yang menjadi hak masing-masing, dapat diserahkan pada keputusan dari hakim
berdasarkan Pasal 823d maupun berdasarkan penerapan alinea terakhir dari Pasal 823e.
e. Pasal 823d : Seseorang yang menerangkan pemilik dari barang-barang yang disita atau sebagian
daripadanya, dapat mengajukan keberatan terhadap penyitaan itu dengan cara seperti yang dimaksud
dalam Pasal 470 ayat (1).
f. Pasal 823e : Keputusan hakim yang memuat penolakan terhadap tuntutan akan pemisahan
memerintahkan juga pengangkatan penyitaan. Pada pengabulan terhadap pemisahaan, sita berakhir
dengan pembagian sungguh-sungguh dari barang-barang bersama atau dengan pemberian pada istri
barang-barangnya.
g. Pasal 823f : Terhadap sita atau barang-barang tetap bersama berlaku ketentuan dalam alinea kesatu
Pasal 763b, Pasal 726 berlaku juga pada sita ini.
h. Pasal 823g : Pencatatan terhadap sita barang-barang tetap dicoret di daftar-daftar umum.

Universitas Sumatera Utara

dilihat bahwa pengaturan sita marital dalam RV sangat luas. Sebaliknya dalam
UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 hanya terdiri dalam satu 1
(satu) pasal. Sedangkan dalam HIR dan Rbg sama sekali tidak diatur mengenai
sita marital.
3. Lingkup Penerapan Sita Marital
Jika bertitik tolak secara sempit dari ketentuan Pasal 190 KUHPerdata
maupun Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975, penerapan lembaga sita
marital hanya terbatas pada perkara gugatan perceraian (huwelijksontbinding). Akan
tetapi dalam arti luas, penerapannya meliputi beberapa sengketa yang timbul diantara
suami istri.116
a. Pada Perkara Perceraian
Penerapan sita marital yang paling utama pada perkara perceraian. Apabila
terjadi perkara perceraian antara suami istri, maka hukum akan memberi
perlindungan kepada suami atau istri atas keselamatan keutuhan harta bersama.

i. Pasal 823h : Pengangkatan sita atas barang-barang bergerak atau tidak bergerak tetap, baik
seluruhnya maupun sebagian diperintahkan oleh hakim yang memeriksa atau seharusnya memeriksa
tuntutan akan pemisahan dengan jaminan yang cukup atas permohonan si suami. Izin untuk menjual
atau menjaminkan barang-barang yang disita dapat diberikan oleh hakim yang sama dengan syaratsyarat sedemikian yang dipandang perlu olehnya untuk mencegah agar kepentingan istri tidak
dirugikan karenanya.
j. Pasal 823i : Sita yang diperintahkan atas keputusan hakim atas barang-barang bergerak atau barangbarang tetap menghalang-halangi penyitaan dan pemanfaatannya oleh pihak-pihak ketiga karena
utang-utang yang terjadi sebelum dilakukan penyitaan.
k. Pasal 823j : Sita yang diperintahkan atas keputusan hakim mengenai barang-barang bergerak atau
tidak bergerak atau barang-barang tetap tidak menghalangi si suami untuk memanfaatkan
penghasilannya dengan tidak mengurangi kewajiban terhadap si istri menurut perundang-undangan
atau karena perjanjian perkawinannya.
116
Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Himpunan Karya Tentang Hukum Jaminan, (Yogyakarta :
Penerbit Liberty,1982), hal. 49-51.

Universitas Sumatera Utara

Dengan cara meletakkan sita diatas seluruh harta bersama untuk mencegah
perpindahan harta bersama kepada pihak ketiga.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 190 maupun Pasal 125 KUHPerdata,
hak untuk mengajukan sita marital hanya diberikan kepada istri. Hal ini sesuai
dengan latar belakang yang digariskan Pasal 105 KUHPerdata yang memberi
kedudukan matriale macht (kepala persekutuan) kepada suami, dan sekaligus
memberi hak dan wewenang kepada suami untuk mengurus dan menguasai harta
kekayaan bersama dan harta istri dalam perkawinan. Berarti dalam praktiknya,
penguasaan harta bersama berada di tangan suami. Kalau begitu layak dan sejalan
memberi hak kepada istri untuk meminta sita marital agar suami tidak leluasa
menghabiskan harta bersama selama proses perkara masih berjalan.
Berdasarkan apa yang digariskan KUHPerdata tersebut, maka tidak ada alasan
memberi hak kepada suami untuk meminta sita marital, karena harta bersama
seluruhnya berada ditangannya sendiri.117
b. Pada Perkara Pembagian Harta Bersama
Pada dasarnya persoalan atas harta bersama diperlukan apabila terjadi perkara
antara suami dan istri. Secara hukum perkara yang mungkin timbul diantara
suami istri yang erat kaitannya dengan harta bersama bukan hanya pada perkara
perceraian tetapi juga pada perkara pembagian harta bersama. Seperti seorang
suami yang mengajukan gugatan perceraian tanpa dibarengi tuntutan pembagian
harta bersama. Terhadap gugatan itu, istri (selaku Tergugat) tidak mengajukan
117

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

gugatan rekonvensi, menuntut pembagian harta bersama, selanjutnya gugatan


perceraian dikabulkan. Dalam keadaan seperti itu apabila mantan suami atau istri
ingin membagi harta bersama hanya dapat dilakukan melalui gugatan tentang
pembagian harta bersama.
Untuk menjamin keutuhan dan keselamatan harta bersama selama proses
perkara berlangsung, hanya dengan cara meletakkan proses sita marital diatasnya.
Hal ini jika ditinjau dari segi penjaminan keberadaan harta bersama dalam
pembagian harta bersama, sangat urgen meletakkan sita proses sita marital selama
proses pemeriksaan berlangsung. Oleh karena itu sangat relevan menerapkan sita
marital dalam perkara pembagian harta bersama.118
c. Pada Perbuatan Yang Membahayakan Harta Bersama
Sita marital yang dimaksudkan diatas diterapkan dalam perkara pembagian
harta bersama. Sesuai hukum positip yang berlaku di Indonesia, harta bersama
dibagi dengan seimbang antara suami dan istri. Apabila tidak dilakukannya
perjanjian perkawinan mengenai pisah harta oleh pasangan suami istri yang
dilakukan sebelum dan saat berlangsungya pernikahan. Berkaitan dengan hal
tersebut yakni dimana kekuasaan suami atas harta bersama adalah sangat luas,
maka hukum positip memberikan perlindungan hukum yang berupa peletakkan
sita jaminan terhadap harta bersama jika dikhawatirkan pihak suami melakukan
kecurangan, seperti mengalihkan sebagian besar harta bersama kepada pihak
118

Oetari Darmabrata, Hukum Perdata I dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


tentang Undang-Undang Perkawinan, Bagian I dan II, Catatan Kuliah, disusun oleh O.P.P.U, 1980,
hal. 25.

Universitas Sumatera Utara

ketiga dengan maksud ketika perceraian telah terjadi, harta bersama yang di dapat
pihak yang melakukan kecurangan tersebut akan lebih banyak dari yang
seharusnya.Jadi penerapannya bertitik tolak dari adanya perkara antara suami
istri. Seolah-olah jika terjadi perkara atau pembagian harta bersama, sita marital
tidak berfungsi dan tidak dapat diterapkan dalam penegakkan hukum diantara
suami istri.119
Akan tetapi, jika berorientasi kepada ketentuan hukum UU Nomor 1 Tahun
1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 yang ada maka :
3. Sita Marital dapat diterapkan penegakkanya diluar proses perkara perceraian
atau pembagian harta bersama;
4. Oleh karena itu, dimungkinkan menerapkannya di luar proses perkara, apabila
terjadi tindakan yang membahayakan keberadaan harta bersama.
Penerapan yang demikian dapat berorientasi kepada ketentuan Pasal 186
KUHPerdata. Menurut Pasal 186 KUHPerdata tersebut :
1. Selama perkawinan berlangsung suami atau istri (lazimnya hanya ditujukan
kepada istri), dapat mengajukan permintaan sita marital terhadap Hakim;
2. Namun permintaan itu harus berdasarkan alasan bahwa harta bersama berada
dalam keadaan bahaya karena :

119

H.A. Damahuri HR, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, (Bandung:
Penerbit CV. Mandar Maju,2007), hal. 27.

Universitas Sumatera Utara

a) Adanya tindakan atau perbuatan dari suami atau istri yang nyata-nyata
memboroskan harta bersama serta dapat menimbulkan akibat bahaya
keruntuhan keluarga dan rumah tangga (Pasal 186 ayat (1) KUHPerdata);
b) Tidak adanya ketertiban dalam mengelola dan mengurus harta bersama
yang dilakukan suami atau istri yang dapat membahayakan eksistensi dan
keutuhan harta bersama sebagaimana mestinya (Pasal 186 ayat (2)
KUHPerdata).

B. Penerapan Sita Marital Dalam Pembagian Harta Bersama


1. Persengketaan Harta Perkawinan
Persengketaan harta perkawinan dalam perceraian memang riskan untuk
terjadi, terlebih bila tidak ada perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan.
Kadangkala, masing-masing pihak mengklaim bahwa harta bersama menjadi harta
bawaan atau harta perolehan. Jika tidak paham betul, salah satu pihak terutama pihak
yang paling lemah, dapat saja terkecoh dengan pola pembagian harta bawaan, harta
bersama dan harta perolehan. Ditambah lagi realita di masyarakat, kebanyakan orang
tidak pernah memisahkan dengan sengaja harta-harta yang mereka miliki, terutama
harta bersama dan harta perolehan, serta tidak menutup kemungkinan juga pada harta
bawaan. Karena pada umumnya, tidak pernah ada orang/pasangan yang
memprediksikan apalagi merencanakan untuk bercerai, dan akan berakhir pada
persengketaan pembagian harta. Dengan demikian, banyak pasangan suami istri yang
umumnya tidak membuat perjanjian perkawinan, atau tidak melakukan pencatatan

Universitas Sumatera Utara

pemisahan atas jenis harta yang dimiliki. Belajar dari hal ini, sudah selayaknya jika
setiap pasangan suami istri melakukan pemisahan, atau minimal pencatatan atas harta
bawaan, harta bersama dan harta perolehan. Bukankah dalam hidup ini, juga harus
mempertimbangkan segala kemungkinan terburuk yang bakal di hadapi?120
Selanjutnya, kadangkala di sisi lain, salah satu pihak berhadapan dengan
keadaan di mana pihak yang lain telah mengatasnamakan kepemilikan harta bersama
yang dibeli selama perkawinan berlangsung. Karena itu, sangat penting untuk
membuat fotokopi setiap dokumen yang berkaitan dengan harta bersama. Seperti
sertifikat kepemilikan tanah, rumah, mobil dan kekayaan keluarga lainnya. Hal ini
akan sangat membantu dalam proses peradilan. Jika belum juga memiliki dokumen
tersebut, maka hal yang dapat dilakukan adalah menguasai secara fisik harta benda
tersebut. Ini merupakan strategi agar pihak lawanlah yang mengajukan gugatan atas
harta bersama, sehingga beban pembuktian ada di pihak lawan.
Selain itu, belum lagi apabila selama proses perceraian tersebut, terdapat
kemungkinan salah satu pihak mengaburkan asal usul harta perkawinan yang
disengketakan. Misalnya dengan menjual ataupun mengalihkannya kepada pihak lain
yang tidak bersangkutan. Kemudian, untuk menjamin keutuhan terpeliharanya harta
bersama, dapat dilakukan dengan meletakkan sita marital, yang penjagaannya
diserahkan kepada istri.
Permintaan sita marital dapat diajukan bersamaan dalam gugatan cerai/
gugatan pembagian harta bersama. Sistem yang memberi hak kepada tergugat untuk
120

Budi Susilo, Op.Cit, hal. 128-129.

Universitas Sumatera Utara

mengajukan permintaan sita marital dalam perkara perceraian, melalui gugatan


rekonvensi. Apabila ternyata penggugat menguasai seluruh atau sebagian besar harta
bersama maka satu-satunya cara yang diberikan hukum untuk menyelamatkan
keutuhan dan keberadaannya, dengan jalan meletakkan sita marital diatasnya. Jalan
yang tepat ditempuh tergugat untuk itu, ialah dengan mengajukan gugatan rekonvensi
yang berisi tuntutan pembagian harta bersama dan tuntutan itu dibarengi dengan
permintaan sita harta bersama atas seluruh harta tersebut.121
Ditinjau dari segi hukum dan keutuhan kehidupan rumah tangga, permintaan
sita marital yang berdiri sendiri tanpa digantungkan pada perkara perceraian atau
pembagian harta bersama, dianggap sangat bermanfaat. Pada satu sisi, suami atau istri
tetap mempertahankan keutuhan eksistensi ikatan perkawinan. Namun pada sisi lain,
perlu dilakukan tindakan prevensi atas keselamatan harta bersama dari pemborosan
yang dilakukan oleh suami atau istri. Misalnya, suami penjudi atau pemabuk.
Meskipun demikian untuk tegaknya kehidupan rumah tangga dalam ikatan
perkawinan, istri tetap tabah menghadapinya sehingga menghindari pengajuan
gugatan perceraian. Namun pada sisi lain, istri ingin mempertahankan keselamatan
harta bersama, agar kesejahteraan rumah tangga tetap terpenuhi. Dalam hal yang
demikian, sangat beralasan dan realistis memberi hak kepada istri mengajukan
permintaan sita marital, dengan ketentuan istri dapat membuktikan tindakan
pemborosan yang dilakukan sang suami. Sebagai landasan hukumnya, pengadilan
121

M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,


Pembuktian dan Putusan Pengadilan Cetakan Ketujuh,, (Jakarta : Penerbit Sinar Grafika,2008), hal.
372.

Universitas Sumatera Utara

dapat mempedomani dan memodifikasi ketentuan Pasal 186 KUHPerdata dan Pasal
95 KHI dalam menerapkan sistem ini.122
2. Pelaksanaan Sita Marital Dalam Pembagian Harta Bersama Menurut
Undang-Undang
Perlu diketahui lebih dahulu permasalahan sita marital, sangat erat kaitannya
dengan sengketa :
1. Perceraian;
2. Pembagian harta bersama;
3. Pengamanan harta perkawinan.
Berkaitan dengan kedudukan harta benda dalam perkawinan, pengaturan harta
tersebut diatur dalam Pasal 35 juncto Pasal 36 juncto Pasal 37 UU Perkawinan.
Pada Pasal 35 UUP dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa terdapat 2 (dua)
penggolongan harta benda dalam perkawinan, yaitu :
3. Harta bersama (Pasal 35 ayat (1)).
4. Harta bawaan yang dibedakan atas harta bawaan masing-masing suami dan istri
dan harta bawaan yang diperoleh dari hadiah atau warisan (Pasal 35 ayat (2)).
Berdasarkan

penggolongan

jenis-jenis

harta

tersebut

maka

sebagai

konsekuensinya terdapat dua macam penggolongan hak milik terhadap harta yaitu:
3. Adanya hak milik secara kolektif atau bersama khusus mengenai harta yang
digolongkan sebagai harta hasil dari mata pencaharian, pengaturannya adalah hak
kepemilikan terhadap harta tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh pasangan

122

Ibid, hal. 374.

Universitas Sumatera Utara

suami istri. Dengan adanya hak kepemilikan secara kolektif ini tentunya
wewenang dan tanggung jawab terhadap harta bersama tersebut berada di tangan
suami dan istri. Apabila suami hendak menggunakan harta bersama maka si
suami harus mendapat persetujuan dari istri, demikian juga sebaliknya.
4. Adanya hak milik pribadi secara terpisah.
Pada harta yang digolongkan sebagai jenis harta yang kedua yaitu harta bawaan
dan jenis harta ketiga yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan tetapi tidak
berasal dari mata pencaharian, terhadap keduanya pengaturan terhadap hak milik
dilakukan pada dasarnya dilakukan secara terpisah, yaitu masing-masing suami istri
mempunyai hak milik secara terpisah terhadap harta yang dimilikinya sebelum
terjadinya perkawinan. Dengan kata lain harta-harta yang dimiliki oleh pasangan
suami istri sebelum perkawinan terjadi tidak menjadi bercampur kepemilikannya atau
kepemilikan terhadap harta bawaan tersebut tidak menjadi kepemilikan secara
kolektif. Akan tetapi hak kepemilikan mengenai jenis harta ini dapat ditentukan
menjadi hak kepemilikan bersama atau kolektif bagi suami dan istri. Dasar hukum
dalam hal ini adalah Pasal 35 ayat (2) yang menyatakan ... adalah dibawah
penguasaan masing-masing pihak sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Hal
ini mengandung arti yaitu apabila suami dan istri menghendaki terjadinya
percampuran salah satu atau kedua jenis harta tersebut, maka percampuran harta ini
dapat dimungkinkan dengan perjanjian sebelumnya.123

123

Mochammad Djaiis, Op.Cit, hal. 50.

Universitas Sumatera Utara

Dalam UUP jo PP No 9 Tahun 1975 , sita marital hanya diatur dalam Pasal 24
ayat (2) huruf c, di dalam ketentuan pasal tersebut tidak menyebutkan secara jelas
dengan kalimat SITA MARITAL, kemudian dalam HIR juga tidak mengatur
mengenai sita marital. Oleh karena pengaturan sita marital dalam UUP dan PP No. 9
Tahun 1975, hanya terdiri dari satu pasal saja dan itupun tidak mengatur mengenai
bagaimana cara melaksanakan sita marital tersebut. Apakah cara melaksanakan sita
marital itu dilaksanakan sama dengan cara melaksanakan sita-sita pada umumnya
(sita jaminan, sita revindicatoir) ditambah cara melaksanakan sita marital itu
mempergunakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal Reglemen Acara
Perdata/RV (Reglement Op de Rechtsvordering Staatsblad 1847 No. 52 Jo 1849
No.63).
Seperti diketahui bahwa proses pelaksanaan sita marital ternyata tidak diatur
dalam UUP jo PP No. 9 Tahun 1975 maupun dalam HIR, namun proses tata cara
pelaksanaan sita marital banyak diatur dalam ketentuan yang ada pada Reglemen
Acara Perdata/RV (Reglement Op de Rechtsvordering Staatblad 1847 No. 52 Jo 1849
No. 63) Pasal 823 sampai dengan Pasal 830 RV. Dalam kebutuhan praktek untuk
kepentingan beracara (proses doelmatigheid) tidak ada salahnya dapat menerapkan
atau berpedoman pada ketentuan pasal-pasal Reglemen Acara Perdata/RV
(Reglement Op de Rechtsvordering Staatblad 1847 No. 52 Jo 1849 No. 63) untuk
melaksanakan sita marital karena sita marital itu merupakan bentuk sita khusus yang
hanya diletakkan atas harta perkawinan, dengan tujuan untuk membekukan harta
bersama suami istri, agar tidak berpindah ke pihak ketiga selama proses

Universitas Sumatera Utara

perceraian/pembagian harta bersama berlangsung sehingga ada permintaan sita


marital maka proses pelaksanaan (tata cara melaksanakan sita marital) tidak mengacu
pada tata cara pelaksanaan sita-sita pada umumnya yang diatur dalam HIR, namun
dapat berpedoman ketentuan Pasal 823 sampai dengan Pasal 830 RV, yang pada
artinya cara melaksanakan sita marital melalui tahap-tahap adanya :124
1. Penyegelan;
2. Pencatatan;
3. Penilaian harta bersama;
4. Penyitaan harta bersama.
Dengan demikian selama masa sita tidak dapat dilakukan peralihan harta
bersama untuk kepentingan keluarga kecuali dengan izin dari Pengadilan. Jadi dalam
pelaksanaan sita marital menurut ketentuan yang ada dalam RV (Reglement Op de
Rechtsvordering Staatblad 1847 No. 52 Jo 1849 No. 63) adalah tindakan yang
mendahului dari sita marital itu sendiri.
Adapun upaya peletakkan sita marital yang diajukan bersamaan dengan
gugatan harta bersama dalam perkara perceraian dapat melalui prosedur sebagai
berikut :
1. Permohonan
Permohonan sita marital diajukan kepada Ketua Pengadilan yang wilayah
hukumnya meliputi kediaman pihak yang memegang barang objek sita. Hari
124

M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,


Pembuktian dan Putusan Pengadilan Cetakan Ketujuh,, Op.Cit, hal. 378.

Universitas Sumatera Utara

pertama persidangan akan sangat menentukan sah atau tidaknya permohonan sita
marital, sehingga dapat disimpulkan bahwa permohonan sita diajukan sebelum
hari pertama sidang. Apabila pada hari pertama gugatan diterima maka penyitaan
akan dilanjutkan, sebaliknya apabila gugatan ditolak maka sita akan diangkat.
Pada prakteknya permohonan sita marital pada umumnya diajukan bersama-sama
dengan pengajuan gugatan ke Pengadilan. Namun hal ini tidak menutup
kemungkinan permohonan sita diajukan pada sebelum atau pada pertengahan
proses pemeriksaan perkara. Pada kenyataannya pasal 227 ayat (1) HIR juga
memberikan kemungkinan bahwa sita marital dapat dimohonkan sesudah adanya
putusan tapi putusan tersebut belum dapat dijalankan. Contoh permohonan ini
adalah dalam hal telah dijatuhkan putusan verstek, dimana putusan verstek
tersebut Tergugat masih mengajukan perlawanan, atau dalam hal telah dijatuhkan
putusan contradictoir sedangkan yang bersangkutan mengajukan permohonan
banding.125
2. Pemeriksaan
Pada sita hak milik sifatnya pemeriksaannya sangat sumir, termohon sita tidak
perlu didengar karena pada dasarnya pemohon adalah pemilik sah atas barang
yang dimohonkan sita tersebut. Sebagai konsekuensinya maka pihak termohon
tidak perlu didengar dalam proses ini. Sementara pada sita jaminan, pemeriksaan
lebih rumit karena melibatkan upaya pembuktian unsur adanya sangka yang

125

Ibid, hal. 399.

Universitas Sumatera Utara

beralasan bahwa Tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barangbarangnya untuk menghindari gugatan Penggugat. SEMA Nomor 5 Tahun 1975
mengatur bahwa dalam setiap penetapan sita jaminan disebut alasan-alasan yang
menyebabkan sita jaminan tersebut dikabulkan, yang berarti bahwa sebelum
dikeluarkan penetapan yang mengabulkan sita jaminan tersebut, maka harus
diadakan penelitian terlebih dahulu tentang ada tidaknya alasan yang
dikemukakan pemohon. Dengan adanya sifat sumir yang ada pada pemeriksaan
permohonan sita jaminan, maka penetapan sita jaminan merupakan kewenangan
diskresional Hakim. Tidak mudah untuk memberikan karakter yang bersifat baku
terhadap indikator dikabulkannya sita jaminan dan oleh karena itu penetapannya
akan sangat tergantung kepada kasus per kasus. Adapun upaya hukum yang dapat
ditempuh adalah sebagai berikut : 126
a. Perlawanan pihak tersita
HIR sama sekali tidak mengatur upaya hukum khusus bagi pihak tersita untuk
melawan instrument sita jaminan (termasuk sita marital didalamnya). Pada
dasarnya sita jaminan tidak ditujukan untuk melakukan eksekusi atau
penjualan terhadap objek sita dan sekedar melarang tersita untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap barang tersebut. Namun, sita jaminan tersebut tetap
dapat menimbulkan kerugian terhadap tersita. Sebaliknya RV justru memuat
ketentuan yang secara khusus mengatur perlawanan terhadap sita jaminan,

126

Ida Iswoyokusumo, Peraturan Baru Hukum Pembuktian Dalam Penyelesaian Perkara


Perdata, (Jakarta : Penerbit Bina Yustisia,1994), hal. 57-60.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 724 dan Pasal 725 RV memberikan kesempatan bagi tersita untuk
mengajukan bantahan baik dengan sidang singkat dihadapan Ketua
(Pengadilan) maupun dihadapan sidang. Perlawanan ini diajukan dalam suatu
pemeriksaan atas sah dan berharga atau tidaknya sita jaminan. Perlawanan ini
diajukan dalam suatu pemeriksaan atas sah dan berharga atau tidaknya sita
jaminan, yang harus diadakan 8 hari setelah sita ditetapkan. Pihak tersita dapat
mengajukan :
1) Gugat rekonvensi terhadap pemohon sita.
Gugat ini berisi permohonan kepada Majelis Hakim untuk menjatuhkan
putusan sela untuk mengangkat atau merubah sita jaminan tersebut
2) Permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk mengangkat
atau merubah sita tersebut.
b. Perlawanan pihak ketiga
Pada dasarnya baik HIR, Rbg atau RV tidak mengatur prosedur perlawanan
terhadap sita jaminan, baik terhadap sita jaminan, maupun sita hak milik.
Konsep dasar dari perlawanan pihak ketiga adalah perlawanan yang
didasarkan kepada hak milik. Oleh karenanya pelawan harus dapat
membuktikkan bahwa ia adalah pemilik dari barang yang disita, apabila
terbukti barang tersebut adalah miliknya, maka pelawan tersebut akan
dinyatakan sebagai pelawan yang benar dan sita akan diperintahkan untuk
diangkat, sebaliknya, apabila tidak terbukti maka pelawan akan dinyatakan
sebagai pelawan yang tidak jujur dan sita akan dipertahankan. Dari konsep ini,

Universitas Sumatera Utara

maka pelawan terhadap sita conservatoir tidak akan dapat memenuhi kriteria
perlawanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (6) HIR, karena
jelas bahwa perlawanan tersebut bukan atas dasar hak milik. Namun pada
prakteknya, yurisprudensi perlawanan pihak ketiga selaku pemilik barang
yang disita dapat diertima, juga dalam hal sita jaminan ini belum disyahkan
terhadap sita jaminan yang bersifat jaminan dapat diterima. Berdasarkan Pasal
207 ayat (1) HIR, perlawanan diajukan kepada Ketua Pengadilan yang telah
memutuskan dilakukannya penyitaan. Pemeriksaan terhadap perlawanan
dilakukan melalui acara biasa, dimana kedua belah pihak didengar dan
dipanggil secara patut.
c. Ganti rugi
HIR maupun Rbg sama sekali tidak mengatur mekanisme tuntutan ganti
kerugian terhadap sita jaminan yang kemudian diangkat karena Pengadilan
menolak pokok perkara. HIR maupun Rbg juga tidak mensyaratkan pemohon
sita jaminan untuk menyerahkan jaminan sebagai syarat dikabulkannya sita
jaminan, sehingga praktis tidak terdapat suatu jaminan yang siap dieksekusi
kepada tersita atas kemungkinan kerugian yang mungkin terjadi akibat sita
tersebut. Sementara HIR dan Rbg tidak mengatur mekanisme ganti rugi, RV
justru memberikan kesempatan ganti rugi bagi tersita apabila sita jaminan
tersebut kemudian diangkat. Pasal 732 RV mengatur bahwa kreditur atau
pemohon sita dapat dihukum untuk membayar biaya-biaya, kerugian-kerugian
dan bunga jika terdapat alasan untuk itu. Mahkamah Agung pernah memutus

Universitas Sumatera Utara

bahwa kewajiban ganti rugi oleh kreditur atau pemohon didasarkan pada
konsep perbuatan melawan hukum dan menegaskan :
1) Sita jaminan hanya dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum
(PMH) jika sita tersebut meliputi benda yang secara tegas dikecualikan
dari sita, misalnya Pasal 197 ayat (8) HIR.127
2) PMH tidak otomatis terjadi jika Pengadilan kemudian mengangkat sita
tersebut.128
Kedudukan suami istri pada konsep sita marital adalah seimbang dan berlaku
bagi suami istri. Secara hukum hal ini diatur dengan tegas seperti yang tersebut dalam
UUP dan KHI.
Salah satu ketentuan umum yang berlaku untuk semua jenis penyitaan adalah
adanya hak untuk meminta pengangkatan sita. Ketentuan ini juga berlaku pada sita
marital. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 823 huruf h RV dan dapat dijadikan
sebagai pedoman, yaitu suami atau istri dapat mengajukan permintaan pengangkatan
sita marital, permintaan pengangkatan dapat diajukan terhadap semua atau sebagian
harta yang disita.129 Namun permintaan dan pengabulan atas pengangkatan disertai
syarat yang harus dipenuhi yaitu pemohon memberi jaminan yang cukup dan jaminan
yang cukup ini disetujui pihak lain.

127

Putusan Mahkamah Agung Nomor 206 K/Sip/1955, tanggal 19 Januari 1957


Putusan Mahkamah Agung Nomor 124 K/Sip/1975, tanggal 15 Mei 1975
129
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan Ketujuh, Loccit, hal. 378.
128

Universitas Sumatera Utara

Adapun yang menjadi prinsip dalam sita marital apabila dikabulkan dalam
gugatan yakni130:
a. Penjagaan dan pemanfaatan barang sitaan
Penjagaan dan pemanfaatan barang dalam sita harta bersama merujuk kepda
ketentuan Pasal 197 ayat (9) HIR dan Pasal 823 j RV.
1. Penjagaan barang sitaan
Menurut ketentuan umum yang digariskan Pasal 197 ayat (9) HIR, penjagaan
barang sitaan diserahkan kepada tersita. Ketentuan umum tersebut,
sepenuhnya berlaku terhadap sita marital. Oleh karena itu, sesuai dengan
prinsip tersebut, juru sita harus menetapkan dan mencantumkan dalam berita
acara sita, hal-hal berikut :
a). Menetapkan dan menyerahkan penjagaan barang yang disita dari suami
kepada suami, dan
b). Menetapkan dan menyerahkan penjagaan barang yang disita dari istri
kepada istri.
Penjagaan tidak boleh diserahkan kepda pihak ketiga atau kepala desa. Juga
dilarang menyerahkan penjagaan seluruh barang sitaan kepada suami atau istri
saja, tetapi diserahkan kepada masing-masing sesuai dengan jumlah harta
bersama yang disita dari yang bersangkutan.
2. Pemanfaatan barang yang disita

130

Ibid, hal. 376-380.

Universitas Sumatera Utara

Mengenai hal ini, dapat dimodifikasi ketentuan Pasal 823 j RV sesuai ajaran
process doelmatigheid. Menurut pasal tersebut :
a). Peletakkan sita marital atas barang bergerak atau tidak bergerak, tidak
menghalangi suami atau istri untuk memanfaatkan apa-apa yang
dihasilkan barang tersebut;
b). Namun pemanfaatan itu, tidak boleh mengurangi pemenuhan fungsi dan
kewajiban yang ditentukan Undang-Undang, seperti membayar biaya
pendidikan, kesejahteraan keluarga dan anak-anak, atau tidak boleh
mengusir pihak lain dari rumah kediaman semula;
c). Dan juga atas pemanfaatan hasil itu satu pihak dibebani kewajiban untuk
membagi hasil itu kepada pihak yang lain.
Penggarisan yang mewajibkan membagi hasil yang timbul dari harta itu,
bertitik tolak dari prinsip bahwa harta bersama merupakan milik bersama
suami istri, oleh karenanya kedua pihak sama-sama berhak untuk
menikmatinya. Patokan pembagian atas hasil itu ialah masing-masing
pihak mendapat setengah bagian atasnya.
b. Permintaan izin menjual atau mengagunkan barang sitaan
Kebolehan menjual barang yang berada dalam sita marital, dianggap memiliki
urgensi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga atau tersita. Mengenai bentuk
pengajuan izin, tergantung kepada keadaan yang mengikuti sita marital, dengan
acuan sebagai berikut :
1. Berbentuk permintaan tertulis atau lisan

Universitas Sumatera Utara

Apabila permintaan izin diajukan dalam proses pemeriksaan perkara


perceraian dan pembagian harta bersama, maka :
a). permohonan dapat diajukan selama proses pemeriksaan berlangsung di
sidang pengadilan,
b). Bentuk permohonan boleh lisan atau tulisan, dan
c). Atas permintaan dapat dilakukan pemeriksaan yang khusus untuk itu dan
putusan atas pengabulan atau penolakan dituangkan dalam putusan sela.
2. Bentuk gugatan voluntair
Apabila permintaan itu berkaitan dengan sita marital disebabkan pemborosan,
bentuk permohonan dituangkan dalam bentuk gugatan voluntair. Namun
demikian, meskipun pada prinsipnya proses pemeriksaan bersifat ex parte,
agar pemberian izin memenuhi syarat formil yang digariskan Pasal 823 h RV,
pengadilan harus memanggil dan mendengar pendapat pihak lain, suami atau
istri.
c. Sita harta bersama, menghalangi penyitaan pihak ketiga
Tentang hal ini dimodifikasi pedomannya dari ketentuan Pasal 823 i RV, yang
menggariskan :
1. Sita marital yang telah diletakkan di atas harta bersama, berakibat
terhalangnya permintaan sita jaminan (conservatoir beslag) yang diminta
pihak ketiga untuk menjamin pembayaran utang suami istri kepadanya;

Universitas Sumatera Utara

2. Larangan atau ketidakbolehan sita jaminan tersebut tetap berlaku, meskipun


untuk menjamin utang-utang yang terjadi sebelum sita harta bersama
diletakkan.
Ketentuan ini sama dengan prinsip sita penyesuaian (vergelijkende beslag) yang
digariskan Pasal 436 RV. Oleh karena itu, jika ada permintaan sita jaminan dari
pihak ketiga untuk menjamin pembayaran utang suami atau istri maupun utang
keluarga (utang bersama suami dan istri) terhadap harta bersama setelah diatasnya
diletakkan sita marital, maka yang dapat dikabulkan hanya sebatas sita
penyesuaian saja.
Kemudian yang menjadi prinsip dalam sita marital apabila tidak dikabulkan
dalam gugatan yakni berakhirnya sita harta bersama. Mengenai hal ini dapat
dimodifikasi pedoman yang diatur dalam beberapa pasal RV. Dari ketentuanketentuan itu dapat dikemukakan hal-hal yang dapat mengakhiri sita bersama, yaitu
sebagai berikut131 :
a. Tuntutan perceraian atau pembagian harta bersama ditolak pengadilan (Pasal 823
e RV). Penolakan gugatan mesti dibarengi dengan :
1. Pengangkatan sita harta bersama, serta
2. Pencoretan, pendaftaran dan pengumumannya pada buku register (Pasal 830
RV).
b.

Berdasarkan penetapan pengangkatan sita yang dikeluarkan pengadilan atas


permohonan salah satu pihak (Pasal 823 c dan Pasal 823 h RV).
131

Ibid

Universitas Sumatera Utara

c. Gugatan percerain dan pembagian harta bersama dikabulkan, kemudian


berdasarkan keputusan itu, telah dilaksanakan pembagian harta bersama.
Apabila penyitaan atas barang tidak bergerak sudah sempat didaftarkan dan
diumumkan sesuai dengan ketentuan Pasal 198 ayat (1) HIR maka dengan
berakhirnya sita marital, hukum mewajibkan juru sita untuk mencoret pendaftaran
dan pengumuman itu dari buku register yang bersangkutan. Bahkan yang dianggap
lebih sempurna, apabila pencoretan itu diikuti dengan menempatkan kutipan putusan
penolakan atau penetapan pengangkatan maupun pengabulan itu dalam surat kabar.
Atau sebaliknya, agar putusan pengabulan atas penyitaan lebih sempurna, kutipan
putusan dapat ditempatkan atau diumumkan dalam surat kabar.
Cara yang demikian dianggap bermanfaat melindungi pihak ketiga.
Sehubungan dengan itu dalam pembaruan hukum acara, perlu diperhatikan ketentuan
Pasal 826 RV yang mewajibkan mengumumkan putusan pengadilan mengenai
pembagian harta bersama dengan cara :
a. menempatkan kutipan putusan tersebut dalam surat kabar;
b. kutipan memuat, tanggal putusan, amar putusan pengabulan gugatan, nama dan
tempat tinggal suami istri.
Alasan dan dasar pertimbangan putusan, tidak boleh dimuat dalam kutipan,
karena dalam perkara perceraian dan pembagian harta bersama hal tersebut dianggap
bersifat konfidensial. Masyarakat umum dianggap tidak layak atau tidak etis untuk
mengetahuinya.

Universitas Sumatera Utara

3. Pelaksanaan Sita Marital Dalam Pembagian Harta Bersama Menurut Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Pada ketentuan Pasal 215 KUHPerdata, sita marital adalah perwujudan sita
jaminan. Dalam kalimat terakhir dari Pasal 215 KUHPerdata disebutkan tak
mengurangi keleluasaan istri untuk mengamankan haknya dengan mempergunakan
upaya-upaya seperti yang telah diatur dalam ketentuan hukum acara perdata. Jika hal
ini dikaitkan dengan salah satu upaya yang dapat mengamankan dan menyelamatkan
hak seorang istri atas harta kekayaan perkawinan selama proses perkara masih
berlangsung ialah maritaal beslag. Upaya ini yang distrukturkan dalam hukum acara
perdata yang berfungsi menyelamatkan gugatan atas pihak yang berkepentingan dari
kemungkinan illusoir.
Bagaimana masalah sita marital dalam UUP. Apakah dimungkinkan
meletakkan sita terhadap harta perkawinan? Didalam Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No.
9 Tahun 1975. Walaupun rumusannya tidak tegas, namun isi yang terkandung di
dalamnya merupakan isyarat adanya hak bagi istri atau suami untuk mengajukan
permintaan sita terhadap harta perkawinan selama proses perkara perceraian
berlangsung.132
Ada sesuatu hal yang dianggap terlalu sempit dalam peraturan Pasal 24 ayat
(2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975, karena permintaan pengajuan sita marital ke
pengadilan hanya terbatas jika ada perkara perceraian, seolah-olah tanpa adanya
sengketa perceraian, tidak dimungkinkan mengajukan sita marital. Namun hal ini

132

R. Wirjono Prodjodikoro, Loccit.

Universitas Sumatera Utara

berbeda dengan apa yang diatur pada KUHPerdata. Berdasarkan Pasal 186
KUHPerdata, bisa saja istri mengajukan permintaan sita marital kepada Pengadilan
apabila istri mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayaan (harta perkawinan).
KUHPerdata memperkenankan permintaan sita marital di luar gugatan perceraian.
Dapat diajukan permintaan sita marital berdasar gugatan pemisahan harta
perkawinan.
Dari ketentuan Pasal 186 KUHPerdata tersebut memberi hak kepada istri
untuk :
1. Mengajukan sita marital diluar gugatan perceraian
2. Mengajukan permintaan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan yang
masih utuh, apabila :
a. Kelakuan suami secara nyata memboroskan harta kekayaan keluarga yang
bisa mendatangkan malapetaka kehancuran rumah tangga, atau
b. Cara pengurusan suami atas harta kekayaan tidak tertib, sehingga tidak
terjamin keselamatan dan keutuhan harta kekayaan bersama.
Ketentuan yang diatur seperti dalam Pasal 186 KUHPerdata, nampaknya tidak
dijumpai dalam UUP maupun PP No. 9 Tahun 1975, padahal aturan seperti ini sangat
penting, guna melindungi hak istri terhadap harta bersama pada satu sisi dan
melindungi keutuhan harta perkawinan pada segi kelalaian pembuat Undang-Undang
mengatur hal yang demikian, merupakan hambatan bagi seorang istri membela
haknya terhadap suami yang boros dan berkelakuan tidak baik, karena hak untuk
mengajukan sita marital hanya diperkenankan apabila ada sengketa perceraian.

Universitas Sumatera Utara

Bahkan lebih tragis lagi, jika di telaah ketentuan mengenai pemisahan harta
perkawinan. Sebab menurut Undang-Undang dan praktek pengadilan, pengajuan
gugatan pemisahan atau pembagian harta perkawinan, baru dapat diajukan setelah
putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Seolah-olah selama
perkawinan masih berjalan, tidak dimungkinkan mengajukan pemisahan harta
perkawinan.133
Padahal dilihat dari segi kepentingan istri atau suami adalah layak memberi
hak mengajukan pemisahan harta perkawinan dalam suatu perkawinan masih utuh,
apabila secara nyata suami atau istri menghamburkan harta kekayaan bersama.
Namun dapat diambil kesimpulan, bahwa anggapan seperti tersebut diatas adalah
keliru dan terlampau sempit. Sekalipun dalam UUP dan PP No. 9 Tahun 1975 tidak
mengaturnya, bukan berarti dilarang mengajukan sita marital dan pemeriksaan harta
perkawinan di luar perceraian apabila secara nyata dan salah satu pihak bertindak
boros dan tidak tertib mengurus harta kekayaan bersama.
Pengadilan dapat mempedomani ketentuan Pasal 186 KUHPerdata sebagai
aturan hukum pemisahan harta perkawinan di luar perceraian. Cukup alasan untuk
membenarkan praktek hukum yang demikian. Berapa banyak keluarga dan
pendidikan anak terlantar, akibat tindakan boros yang dilakukan suami atau istri.
Kemalangan dan kesengsaraan yang demikian masih mungkin dapat dihindari dengan
jalan pemisahan harta perkawinan. Karena dengan di pisahnya harta perkawinan

133

Mulyadi, Loccit.

Universitas Sumatera Utara

dapat berfungsi sebagai katup penyelamat menjamin terhindarnya keludesan harta


perkawinan dari tindakan suami yang boros dan penjudi.134
Namun bila dibandingkan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) masalah
sita jaminan termaktub secara tegas dalam Pasal 95 KHI dinyatakan bahwa 135:
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor 9 Tahun
1975 dan Pasal 136 ayat (2) KHI, suami atau istri dapat meminta Pengadilan
Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya
permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang
merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan
sebagainya.
2. Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan
keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Adapun jenis-jenis harta bersama di dalam Pasal 91 KHI dinyatakan sebagai
berikut :
1. Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 di atas dapat berupa benda
berwujud atau tidak berwujud.
2. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda
bergerak dan surat-surat berharga.
3. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
4. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas
persetujuan pihak lainnya.
Hal yang perlu dicatat lagi bahwa KHI (pasal 95 tersebut) telah
mengantisipasi apabila salah satu pihak (suami atau istri) terjadi pemborosan, judi,
mabuk dan lain-lain yang merugikan dan membahayakan harta kekayaan. Dalam hal
demikian, pihak suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk melakukan
134

Ronny Junaidi Kasalang, Sita Jaminan Terhadap Harta Bersama di Luar Sengketa
Perceraian Dalam Hukum Perceraian, 8 April 2011, diperoleh dari www.legalitas.org, terakhir kali
diakses pada tanggal 12 Juni 2012.
135
Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
di Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit Binacipta,1978), hal. 36-37.

Universitas Sumatera Utara

sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan cerai. Selama masa sita
tersebut dapat dilakukan penjualan harta bersama untuk kepentingan keluarga, rumah
tangga, istri dan anak-anaknya, maka dipandang Hakim memiliki otoritas untuk
menangani dan menjaga agar harta tersebut diamankan dengan meletakkan sita
jaminan. Selain itu, otoritas yang diberikan kepada Hakim tersebut adalah untuk
mengendalikan atau setidak-tidaknya mengurangi kebiasaan suami atau istri
melakukan perbuatan yang tidak disukai oleh syariat Islam.136
Secara yuridis dogmatik, eksistensi Pasal 95 KHI tersebut sangat bermanfaat,
tetapi pada level implementasinya akan menghadapi beberapa kendala, diantaranya :
1. Dengan dibukanya kesempatan bagi suami atau istri untuk mengajukan sita
jaminan terhadap harta bersama dalam kondisi perkawinan yang masih utuh,
sekecil apapun akan berdampak pada keutuhan perkawinan itu sendiri, karena
dengan penyitaan seperti itu akan memicu dan memacu munculnya perselisihan
dalam rumah tangga.
2. Sita jaminan itu terkesan berdiri sendiri, padahal sita jaminan yang dipraktekkan
selama ini khususnya di lingkungan Pengadilan Agama assesoir dengan perkara
pokok yang diajukan oleh para pihak. Artinya, sita jaminan itu ada karena adanya
perkara pokok yang lain.
3. Walaupun KHI secara tersurat sudah menegaskan bahwa sita jaminan adalah
wewenang absolut Pengadilan Agama tetapi masih ada yang mempertanyakan.
Karena kalau mengacu pada Pasal 49 dan Penjelasan UU Nomor 7 Tahun 1989
136

H.A. Damahuri HR, Op.Cit, hal. 31-32.

Universitas Sumatera Utara

sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan


Agama, tidak ada satu pun kalimat yang menegaskan bahwa ketentuan sita
jaminan itu sendiri itu bukan merupakan suatu sengketa sehingga ia bukan
merupakan perkara.
4. Kesulitan dalam menerapkan cara sita jaminan tersebut, apakah dapat
dilaksanakan secara sendiri tanpa dikaitkan dengan perkara lain, karena praktek
sita jaminan selama ini tidak seperti itu. Oleh karena itu, baik dari sisi
administrasi maupun teknis peradilan akan mengalami hambatan-hambatan dalam
pelaksanannya.
Walaupun secara yuridis, KHI lemah karena hanya berupa Instruksi Presiden,
tetapi pada prakteknya ia digunakan sebagai pedoman oleh Pengadilan Agama dalam
menerima, memeriksa dan memutus sengketa antara umat Islam di bidang
perkawinan, kewarisan dan wakaf karena didasarkan pada kondisi bahwa KHI
merupakan hukum yang hidup (living law) yaitu sebuah hukum yang dipatuhi oleh
masyarakat karena memang sesuai dengan kondisi dan kesadaran masyarakat.137

137

Aulawi Wasit dan Sastromodjo Asro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Penerbit
Bulan Bintang,1981), hal. 67.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
DASAR PENGAJUAN SITA MARITAL OLEH ISTRI SELAKU
PENGGUGAT DALAM PERKARA PERDATA DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 390/K/Pdt/2002

A. Kasus Posisi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor


390/K/Pdt/2002
Penggugat (Nyonya Felicia Juliati) sebagai mantan istri menggugat mantan
suaminya Tergugat (Tuan Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An) ke Pengadilan
Negeri Bandung, pada tanggal 29 Mei 1978 sesuai kutipan Akta Perkawinan yang
dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kotamadya Bandung. Dalam perkawinan
tersebut dilahirkan 3 (tiga) orang anak, yaitu:
1. Sandy Suryadi Gunawan, anak laki-laki, dilahirkan di Bandung, pada tanggal 29
Mei 1979 (yang pada saat itu lebih dari 21 tahun);
2. Laurencia Levina, anak perempuan, dilahirkan di Bandung, pada tanggal 5 Maret
1982 (yang pada saat itu 18 tahun);
3. Martinus Raymond, anak laki-laki, dilahirkan di Bandung, pada tanggal 31 Maret
1985 (yang pada saat itu 15 tahun).
Bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah putus karena perceraian
dengan segala akibat hukumnya berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA
Bandung, Register Nomor 155/Pdt.G/1999/PN.Bdg, tanggal 25 Mei 1999 yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap jo Kutipan Akta Perceraian Nomor 54/199,
tanggal 5 Juli 1999 yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kotamadya Bandung.

Universitas Sumatera Utara

Penggugat menggugat Tergugat karena keberatan atas perbuatan Tergugat


yang mempunyai sifat buruk yaitu suka berjudi, bermabuk-mabukan dan berfoyafoya. Akibat sifat buruknya tersebut, Tergugat telah menghabiskan banyak harta
diantaranya 5 (lima) buah mobil yang diberikan kepada anak-anaknya untuk dipakai
keperluan sekolah, dan lain-lain, serta sekitar 2 (dua) tahun sebelum perceraian,
Tergugat berjanji secara lisan bahwa tanah dan rumah di Jalan Wanbi Nomor 19,
Bandung boleh dipergunakan untuk tempat tinggalnya selamanya oleh Felicia Juliati
dan ketiga anaknya tersebut diatas serta dijanjikan tidak akan dijual oleh dan alasan
apapun juga.
Namun Tergugat tidak mempertimbangkan lagi kepentingan anak-anaknya
yakni tidak memberikan nafkah atau biaya pendidikan dan kehidupan anak-anaknya
serta tidak mempertimbangkan salah satu anakanya cacat mental yang dalam situasi
yang tidak mungkin dipindahkan dari rumah di Jalan Wanbi Nomor 19, Bandung
tersebut sejak Penggugat mendaftarkan gugatan pembagian harta kekayaan di
Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung Nomor 221/Pdt/G/2000/PN.Bdg, tanggal 25
Juli 2000.
Permohonan Penggugat kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara ini memutuskan sebagai berikut, terdapat harta bersama sebagai
berikut :
Primair
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;

Universitas Sumatera Utara

2. Menghukum Tergugat untuk membayar seluruh nafkah sekaligus bagi Laurencia


Levina sebesar Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah);
3. Menghukum Tergugat untuk memberikan seluruh nafkah sekaligus bagi Martinus
Raymond sejumlah Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);
4. Menghukum Tergugat untuk memberikan tempat tinggal yang tetap bagi anaknya
Martinus Raymond berupa tanah dan rumah di Jalan Wanbi Nomor 19, Bandung
untuk seumur hidup sampai ia meninggal dunia;
5. Melarang Tergugat untuk menjual tanah dan rumah di Jalan Wanbi Nomor 19,
Bandung, selama tanah dan rumah tersebut dipergunakan oleh Martinus Raymond
tersebut;
6. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas tanah dan rumah di Jalan Wanbi
Nomor 19, berturut-turut :
6.1 Sertifikat Hak Milik Nomor 345/Kel.Garuda, Gambar Situasi tanggal 6
Oktober 1993 Nomor 7219/1993 seluas 69-M2, tertulis atas nama Iwan
Gunawan d/h Tjioe Kok An;
6.2 Sertifikat Hak Milik Nomor 122/Kel.Garuda, Gambar Situasi tanggal 7
Oktober 1990 Nomor 1035/1990 seluas 124-M2, tertulis atas nama Iwan
Gunawan d/h Tjioe Kok An;
6.3 Sertifikat Hak Milik Nomor 130/Kel.Garuda, Gambar Situasi tanggal 14
Oktober 1989 Nomor 1249/1989 seluas 177-M2, tertulis atas nama Iwan
Gunawan d/h Tjioe Kok An;

Universitas Sumatera Utara

6.4 Sertifikat Hak Milik Nomor 108/Kel.Garuda, Gambar Situasi tanggal 21


Maret 1990 Nomor 854/1990 seluas 8-M2, tertulis atas nama Iwan Gunawan
d/h Tjioe Kok An;
6.5 Sertifikat Hak Milik Nomor 159/Kel.Garuda, Gambar Situasi tanggal 4
Desember 1990 Nomor 7438/1990 seluas 42-M2, tertulis atas nama Iwan
Gunawan d/h Tjioe Kok An;
7. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada bantahan,
banding, kasasi atau upaya hukum lainnya (uit voorbaar bij vooraad);
8. Biaya menurut hukum dibebankan kepada Tergugat.
Subsidair
Mohon putusan lain yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);
Di lain pihak, Tergugat mengajukan eksepsi yang pada pokoknya adalah sebagai
berikut :
-

Bahwa gugatan yang diajukan Penggugat a quo kabur dan tidak jelas arah
tujuannya, karena jika melihat petitum gugatan yang diajukan ternyata Penggugat
telah menuntut biaya nafkah untuk kelangsungan hidupnya, namun di dalam
posita gugatannya Para Penggugat telah mengemukakan dalil-dalil serta alasanalasan yang belum pasti terjadi, seperti niat untuk biaya pendidikan, untuk
mengambil program Master di Amerika, biaya untuk perkawinan dan lain
sebagainya yang hal ini belum pasti akan terjadi, sehingga dalil posita gugatannya
banyak didasarkan pada khayalan semata-mata. Padahal menurut hukum tuntutan
biaya nafkah harus riil dan rasional, sehingga jika melihat materi gugatan yang

Universitas Sumatera Utara

diajukan Penggugat antara posita dan petitumnya tidak sejalan, oleh karenanya
sangat wajar dan beralasan sekali jika gugatan Penggugat ditolak atau setidaktidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.
Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Nomor 241/PDT.G/2000/PN.BDG
adalah :
Dalam Eksepsi :
-

Menolak Eksepsi dari Tergugat;

Dalam Pokok Perkara :


-

Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

Menyatakan sah dan berharga sita jaminan/sita persamaan yang dilakukan oleh
jurusita Pengadilan Negeri Bandung tanggal 1 September 2000 Nomor
241/Pdt/G/2000/PN.Bdg yaitu masing-masing :
a. Penyitaan jaminan terhadap : tanah berikut bangunan yang berdiri diatasnya
yang

lebih

lanjut

diuraikan

dalam

Sertifikat

Hak

Milik

Nomor

345/Kel.Garuda, Gambar Situasi tanggal 6 Oktober 1993 Nomor 7219/1993


seluas 69-M2, tertulis atas nama Iwan Gunawan d/h Tjioe Kok An;
b. Penyitaan persamaan terhadap tanah berikut bangunan yang berdiri diatasnya,
yang lebih lanjut diuraikan dalam :
1. Sertifikat Hak Milik Nomor 122/Kel. Garuda, Gambar Situasi tanggal 7
Oktober 1990 Nomor 1035/1990, seluas 124-M2, tertulis atas nama Iwan
Gunawan d/h Tjioe Kok An;

Universitas Sumatera Utara

2. Sertifikat Hak Milik Nomor 130/Kel.Garuda, Gambar Situasi tanggal 14


Oktober 1989 Nomor 1249/1989 seluas 177-M2, tertulis atas nama Iwan
Gunawan d/h Tjioe Kok An;
3. Sertifikat Hak Milik Nomor 108/Kel.Garuda, Gambar Situasi tanggal 21
Maret 1990 Nomor 854/1990 seluas 8-M2, tertulis atas nama Iwan
Gunawan d/h Tjioe Kok An;
4. Sertifikat Hak Milik Nomor 159/Kel.Garuda, Gambar Situasi tanggal 4
Desember 1990 Nomor 7438/1990 seluas 42-M2, tertulis atas nama Iwan
Gunawan d/h Tjioe Kok An;
-

Menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah terhadap anak-anaknya


sebesar Rp.3.500.000,- (tiga juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap bulannya;

Menghukum Tergugat untuk memberikan tempat tinggal yang tetap bagi


Penggugat dan anak-anaknya (terutama Martinus Raymond) berupa tanah dan
rumah di Jalan Wanbi Nomor 19, Bandung dan melarang Tergugat untuk menjual
tanah dan rumah tersebut selama dipergunakan oleh Martinus Raymond;

Membebankan Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini
yang hingga saat ini dianggarkan sebesar Rp.1.414.000,- (satu juta empat ratus
empat belas ribu rupiah);

Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.

Universitas Sumatera Utara

Keputusan menurut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Nomor 80/PDT/2001/PT.BDG


adalah :
-

Menerima permohonan banding dari Pembanding/Tergugat tersebut;

Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Bandung tanggal 31 Oktober 2000


Nomor 241/PDt.G/2000/PN.BDG

B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik


Indonesia Nomor 390/K/Pdt/2002
Keputusan menurut Majelis Hakim Mahkamah Agung Nomor 390/K/Pdt/2002
adalah:
Dalam Eksepsi :
-

Bahwa Judex Factie telah salah dalam penerapan hukumnya sebagaimana terbukti
dalam pertimbangan hukumnya halaman 19 jo halaman 4 pertimbangan hukum
Pengadilan Tinggi :
a. Bahwa

kesalahan

dalam

penerapan

hukum

tersebut

tercemin

dari

pertimbangan hukum Hakim Tingkat Banding yang membenarkan dan


menyetujui pendirian Hakim Tingkat Pertama yang berdasarkan alasan-alasan
yang terurai dalam pertimbangan hukum putusannya tersebut adalah sudah
tepat dan benar menurut hukum, sehingga oleh karena itu pertimbangan
Hakim Tingkat Pertama tersebut diambil oleh dan dijadikan sebagai alasan
pertimbangan hukum sendiri dari tingkat banding dalam pemeriksaan dan
mengadili perkara ini, padahal jelas-jelas pertimbangan hukum Majelis
Tingkat Pertama tersebut telah salah penerapan hukumnya;

Universitas Sumatera Utara

b. Bahwa seharusnya Majelis Hakim Tingkat Pertama cermat dan teliti dalam
memeriksa dan mengadili gugatan ini, karena urgensi dari gugatan ini adalah
keinginan terselubung dari Penggugat/Termohon Kasasi untuk melegalkan
pengalihan asset-aset perkawinan akibat adanya putusan perceraian antara
Pemohon Kasasi/Tergugat dengan Termohon Kasasi/Penggugat dalam
perkara perceraian No. 155/Pdt.G/1999/PN.Bdg tertanggal 25 Mei 1999 yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
c. Padahal di satu sisi juga Termohon Kasasi/Penggugat telah mengajukan
gugatan Pembagian Harta Gono Gini yang saat ini sedang dimohonkan
pemeriksaan

kasasi

di

Mahkamah

Agung

dalam

perkara

No

221/Pdt.G/2000/PN.Bdg jo No. 212/Pdt/2001/PT.Bdg, sehingga jelas menurut


hukum bahwa gugatan yang diajukan oleh Penggugat dalam perkara No.
241/Pdt.G/2000/PN.Bdg adalah kabur dan tidak jelas. Oleh karena itu segala
pertimbangan hukum Judex Factie harus dibatalkan;
Dalam Pokok Perkara :
1. Bahwa Judex Factie telah salah dalam penerapan hukumnya sebagaimana
tercantum dalam pertimbangan hukum Judex Factie halaman 20 dan seterusnya jo
halaman 4 Putusan Pengadilan Tinggi dimana gugatan Penggugat/Tergugat
Kasasi adalah tentang tuntutan nafkah untuk kelangsungan hidup serta hal-hal lain
yang belum pasti terjadi, seperti untuk biaya pendidikan Program Master di
Amerika bagi anak-anaknya, serta biaya untuk perkawinan anak-anaknya, yang
hal ini belum pasti akan terjadi, sehingga dalil gugatan tersebut tidak riil dan tidak

Universitas Sumatera Utara

rasional menurut hukum; sehingga putusan Majelis Hakim tersebut adalah tidak
cukup untuk dipertimbangkan, sehingga putusan yang demikian harus dibatalkan;
2. Bahwa Judex Factie telah salah dalam penerapan hukum pembuktian dimana
Judex Factie tidak cermat mempertimbangkan bukti T-1 jo T-2. padahal bukti T-1
tersebut berupa Kutipan Akta Perceraian No. 54/199 tertanggal 5 Juli 1999 antara
Pemohon Kasasi/Tergugat menunjukkan bahwa status hukum perkawinan antara
Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi telah putus hubungan perkawinan dan
telah tercatat pada Kantor Catatan Sipil Kotamadya Bandung;
Sehingga segala konsekuensi hukumnya akibat perceraian tersebut diatur
tersendiri secara khusus dalam hukum. Bahwa salah satu konsekuensi hukum
tersebut berupa status hukum harta gono gini yang diperoleh dalam perkawinan
tersebut;
Bahwa Judex Factie secara jelas telah salah dalam penerapan hukum pembuktian,
dimana bukti T-2 berupa gugatan perkara perdata No. 221/Pdt.G/2000/PN.Bdg
antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi sedang dalam proses
pemeriksaan di Pengadilan Negeri Bandung mengenai pembagian harta bersama
yang diperoleh selama masa perkawinan;
Bahwa dari kedua bukti tersebut seharusnya Judex Factie mempunyai dan
memiliki keyakinan hukum bahwa kedua bukti tersebut yaitu bukti T-1 jo bukti
T-2 adalah memiliki konsekuensi hukum dan akibat hukum secara sendiri-sendiri;
Bahwa tindakan Termohon Kasasi untuk melegalkan penguasaan aset-aset
perkawinan dengan mengajukan gugatan tuntutan nafkah adalah hal yang

Universitas Sumatera Utara

mengada-ada dan kontradiktif, padahal di satu sisi Termohon Kasasi juga menjadi
pihak dalam perkara perdata pembagian harta gono gini dengan register perkara
No. 221.Pdt.G.2000.PN.BDG Jo No 212.Pdt.2001.PT.BDG dan saat ini sedang
dimohonkan pemeriksaan kasasi ke Mahkamah Agung;
3. Bahwa Judex Factie telah salah menerapkan hukum pembuktian, hal mana
terungkap dari pertimbangan Judex Factie terhadap bukti P-3A berupa surat dari
Tergugat kepada Penggugat Jo P-3B yaitu surat P-3A yang telah disalin huruf
demi huruf oleh Penggugat untuk memindahkan pembacaan;
Bahwa pertimbangan hukum Judex Factie terhadap kedua bukti tersebut P-3A Jo
P-3B yang merupakan surat dibawah tangan tersebut tidak merupakan alasan
pembenar bagi Termohon Kasasi untuk menguasai harta gono gini tersebut;
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Dalam Eksepsi :
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex
Factie tidak salah menerapkan hukum;
Dalam Pokok Perkara :
Mengenai keberatan-keberatan ke 1, ke 2 dan ke 3 :
Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena bersifat
pengulangan fakta dalam persidangan, lagipula alasan-alasan tersebut mengenai
penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal
mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena
pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan

Universitas Sumatera Utara

penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam
memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila
Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2004;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagipula ternyata
bahwa putusan Judex Factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau Undang-Undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi : Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An tersebut harus ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
ditolak, maka Pemohon Kasasi dihukum membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 14 Tahun 2004 dan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan UndangUndang No. 5 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan;
Mengadili :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Iwan Gunawan dahulu
Tjioe Kok An tersebut;
Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah).

Universitas Sumatera Utara

C. Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia


Nomor 390/K/Pdt/2002
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 390/K/Pdt/2002 dalam
pengajuan peletakkan sita marital dalam gugatannya di Penggugat yang diajukan
bersamaan dengan gugatan pembagian atas harta bersama, dari putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 390/K/Pdt/2002 ini, diketahui bahwa Penggugat
telah melangsungkan perkawinan dengan Tergugat di Bandung, yakni pada tanggal
29 Mei 1978 sesuai dengan Kutipan Akta Perkawinan yang dikeluarkan oleh Kantor
Catatan Sipil Kotamadya Bandung. Perkawinan tersebut kemudian berakhir karena
perceraian berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung Register
Nomor 155/Pdt.G/1999/PN.Bdg tanggal 25 Mei 1999 jo Akta Perceraian Nomor
54/199 tanggal 5 Juli 1999 yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kotamadya
Bandung. Terhadap tuntutan atas pembagian harta bersama, telah diajukan surat
gugatan ke Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung tanggal 25 Juli 2000 yang
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung Nomor
221/Pdt/G/2000/PN.Bdg.
Berdasarkan adanya fakta tersebut

diatas, diketahui bahwa gugatan

Penggugat yang tidak menggabungkan antara gugatan cerai dengan gugatan harta
benda perkawinan/harta bersama sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di
Indonesia. Hal ini didasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 913/K/Sip/1982 tanggal 21 Mei 1983, dalam perkara Normaine Br. Purba
melawan Jadenggan Simarmata, yang bunyinya sebagai berikut Gugatan mengenai

Universitas Sumatera Utara

perceraian tidak dapat digabungkan dengan gugatan mengenai harta benda


perkawinan. Selain itu, dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1020 L/Pdt/1986 tanggal 29 Desember 1987, disebutkan sebagai berikut
Pembagian harta bersama tidak dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian.
Jika bertitik tolak dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 2205 K/Pdt/1981138,
tidak dibenarkan menggabungkan gugatan perceraian dengan pembagian harta
bersama. Menurut putusan itu, hukum acara tidak membolehkan penggabungan
antara gugatan cerai dengan pembagian harta bersama. Alasan yang sering diajukan,
antara kedua gugatan masing-masing berdiri sendiri. Gugatan perceraian berada di
depan dan pembagian harta bersama berada di belakang. Gugatan harta bersama
berdasarkan hukum acara baru dapat muncul setelah gugatan perceraian memperoleh
putusan yang berkekuatan tetap. Dengan demikian gugatan cerai adalah ibu yang
melahirkan gugatan pembagian harta, oleh karena itu tidak boleh digabung.139
Pendapat itu tidak realistis, dan sangat formalistis. Untuk melihat keburukan
pendapat ini, dapat diberikan contoh.140 Realita yang sering terjadi, gugatan
perceraian memakan waktu antara 5 sampai 7 tahun mulai dari tingkat pertama
sampai kasasi. Bahkan ada yang lebih dari itu. Oleh karena tidak boleh digabung
berarti gugatan pembagian harta bersama baru dapat diajukan setelah putusan cerai

138

Varia Peradilan Tahun II Nomor 23, Agustus 1987, Tanggal 30 Juni 1984, hal. 68.
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan Ketujuh, Op.Cit, hal. 109.
140
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,Op.Cit, hal. 266
139

Universitas Sumatera Utara

memperoleh kekuatan hukum tetap. Disisi lain dengan melihat perkembangan


globalisasi sekarang ini, Yurisprudensi MARI No.913/K/Sip/1982, dianggap tidak
memberikan suatu keputusan hukum yang berakibat menimbulkan adanya dilematis
untuk seorang suami atau istri mendapatkan keadilan hukum. Bagaimana halnya, jika
selama proses berlangsung harta bersama telah habis dijual pihak tergugat, sehingga
tidak ada lagi harta bersama yang akan digugat. Untuk menghindari keadaan yang
menyedihkan itu, sangat beralasan untuk melakukan penggabungan yang dibarengi
dengan pengajuan sita harta bersama atas keseluruhan harta bersama tersebut. Antara
gugatan cerai dengan pembagian harta bersama benar-benar terdapat hubungan erat
dan sekaligus dapat dicapai dan dituntaskan akibat hukum yang sama terhadap
penggugat dan tergugat. Penyelesaian dapat dilakukan dengan sederhana, cepat dan
biaya murah jika keduanya digabung.
Memang benar, gugatan pembagian harta bersama dianggap assesor atas
gugatan cerai. Namun sifat assesornya dapat diterapkan dalam acuan, jika gugatan
cerai ditolak, dengan sendirinya menurut hukum penolakan itu meliputi gugatan
pembagian harta bersama. Sebaliknya, apabila gugatan cerai dikabulkan, sekaligus
diselesaikan pembagian harta bersama dalam satu putusan. Penerapan seperti itu,
digariskan dalam Pasal 86 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama yang memperbolehkan secara tegas penggabungan gugatan
perceraian dengan pembagian harta bersama. Pasal 86 ayat (1) menegaskan, Gugatan
soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan

Universitas Sumatera Utara

bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian


memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selanjutnya

penjelasan

pasal

itu

menyatakan,

maksud

kebolehan

penggabungan itu, demi tercapainya prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan. Berdasarkan ketentuan itu, bukan hanya gugatan harta bersama yang dapat
digabung dengan gugatan perceraian, tetapi meliputi penguasaan anak serta nafkah
alimentasi istri dan anak. Apabila penggugat tidak menggabungnya dalam gugatan,
tergugat dapat menggabungkannya melalui gugatan rekonvensi.141
Meskipun ketentuan ini hanya diperuntukkan bagi Peradilan Agama,
jangkauan penerapannya dapat diperluas menjadi pedoman bagi Pengadilan Negeri
berdasarkan asas process doelmatigheid.142 Menerapkan ketentuan itu di lingkungan

141

M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,Op.Cit, hal. 269
Hukum positif di Indonesia tidak mengatur penggabungan gugatan/permohonan. Baik
HIR maupun R.Bg. tidak mengaturnya. Begitu juga Rv., tidak mengatur secara tegas, dan tidak pula
melarang.Yang dilarang Pasal 103 Rv., hanya terbatas pada penggabungan atau kumulasi gugatan
antara tuntutan hak menguasai (Bezit) dengan tuntutan hak milik. Dengan demikian secara a
contrario (in the apposite
sense), Rv., membolehkan penggabungan gugatan. (M.Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata, Cetakan Kedua (Jakarta : Sinar Grafika,hal. 103.).
Meskipun HIR dan R.Bg.,maupun Rv., tidak mengatur, namun Peradilan (yurisprudensi)
sudah lama menerapkannya. Soepomo (Soepomo, Hukum Acara Perdata Negeri, (Jakarta :
Pradaya Paramita, 1993, hal.26.) menunjukkan salah satu Putusan Raad Justisie Jakarta,pada
tanggal 20 Juni 1939 yang memperbolehkan penggabungan gugatan, asal antara gugatan-gugatan itu,
terdapat hubungan erat (innerlijke samenhangen); Pendapat yang sama dalam Yurisprudensi Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No.575K/Pdt/1983 dan No.880K/Sip/1970 dijelaskan antara
lain: meskipun Pasal 393 ayat (1) HIR mengatakan hukum acara yang diperhatikan hanya HIR, namun
untuk mewujudkan tercapai manfaat dari segi acara (process doelmatigheid) dimungkinkan
menerapkan ketentuan acara diluar yang diatur dalam HIR, asal dalam penerapan itu berpedoman
kepada ukuran:
1. benar-benar untuk memudahkan atau menyederhanakan proses pemeriksaan;
2. menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan .
Berdasarkan alasan itu, boleh dilakukan penggabungan (samenvoeging) atau kumulasi objektif
maupun subjektif, asal terdapat innerlijke samenhangen atau koneksitas erat di antaranya.
Penggabungan 2 (dua), 3 (tiga) atau beberapa perkara dapat dibenarkan kalau antara masingmasing gugatan tersebut terdapat hubungan erat untuk memudahkan proses dan menghindari terjadinya
142

Universitas Sumatera Utara

Peradilan Umum (PN), tidak hanya sekedar kepentingan beracara, tetapi sekaligus
untuk memenuhi ketertiban umum (public order) dan keadilan berdasarkan moral
(moral justice).143
Keterangan lain bahwa Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan
perkawinan dengan tata cara perkawinan menurut Agama Golongan Timur Asing
(Konghucu atau Buddha). Dalam hal diajukannya gugatan mengenai pembagian harta
bersama bagi agama tersebut, maka mengenai hal ini adalah merupakan kompetensi
dari Pengadilan Negeri, dimana Penggugat dalam hal ini sudah tepat mengajukan
perselisihan perkaranya ke Pengadilan Negeri di Bandung, berdasarkan tempat
kemungkinan putusan-putusan yang saling bertentangan. Penggabungan yang seperti itu , dianggap
bermanfaat ditinjau dari segi acara (procesuel doelmatig). Ada 2 (dua) manfaat dan tujuan
menggabungan gugatan, yaitu:
a. Mewujudkan Peradilan Sederhana
Melalui sistem penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan , dapat dilaksanakan penyelesaian
beberapa perkara melalui proses tunggal , dan dipertimbangkan serta diputuskan dalam satu putusan.
Sebaliknya, jika masing-masing digugat secara terpisah dan berdiri sendiri, terpaksa ditempuh proses
penyelesaian terhadap masing-masing perkara sehingga azas peradilan: sederhana, cepat dan biaya
ringan tidak ditegakkan.
Azas ini jangan hanya rumusan mati dalam Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 1970,
sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 2004 dan UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, tapi harus benar-benar diwujudkan jika ingin
menampilkan
putusan yang mengandung EDUKASI,KOREKSI,PREPENSI DAN REPRESIP.
Proses
persidangan
yang panjang dan bertele-tele mengakibatkan antara lain: kebenaran dan
keadilan hancur ditelan
masa; menimbulkan kebingungan dan keresahan yang berkepanjangan
bagi yang berperkara; dan berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat atas lembaga peradilan.
b. Menghindari Putusan yang Saling Bertentangan
Manfaat yang lain, melalui sistem penggabungan dapat dihindari munculnya putusan yang saling
bertentangan dalam kasus yang sama. Oleh karena itu, apabila terdapat koneksitas antara beberapa
gugatan, cara yang efektif untuk menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan, dengan
jalan menempuh sistem kumulasi atau penggabungan gugatan. (Subekti, Hukum Acara
Perdata,(Jakarta: Bina Cipta,1977,hal. 67.). Bahkan Subekti berpendapat, (Ibid, hal. 28) untuk
menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan mengenai kasus yang memiliki koneksitas
apabila pada PN tertentu terdapat dua atau beberapa perkara yang saling berhubungan,
serta para pihak yang terlibat sama, lebih tepat perkara itu digabung menjadi satu, sehingga
diperiksa oleh satu majelis saja.( Abdul Mujib Ay,Kumulasi Permohonan Itsbat Nikah Dengan Asal
Usul Anak (Dalam Persfektif Hukum Positif di Indonesia), hal. 1-2.)
143
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan Ketujuh, Op.Cit, hal. 111.

Universitas Sumatera Utara

kediaman dari Tergugat, yang berada di Bandung. Berdasarkan ketentuan Pasal 37


UUP, pembagian harta bersama pasca perceraian diatur menurut hukum masingmasing. Adapun yang dimaksud hukum masing-masing adalah hukum agama, hukum
adat dan hukum lainnya. Selain itu, ketentuan Pasal 37 UUP juga memberikan pilihan
hukum mengenai pembagian suatu harta bersama dilakukan menurut hukum adat.
Oleh karena pada kasus ini terlihat status kewarganegaraan dari Tergugat/mantan
suami, yang merupakan keturunan Tionghoa atau Timur Asing Cina yang kemudian
menjadi Warga Negara Indonesia, maka dapat digunakan terhadap pembagian harta
bersama dari Penggugat dan Tergugat ialah hukum adat Tionghoa.
Namun terdapat teori benturan hukum yang berlaku dalam pembagian harta
bersama pasca perceraian (Theory conflict of law), berdasarkan ketentuan-ketentuan
Pasal 37 UUP, pembagian menurut hukum masing-masing ini yang akan menjadi
benturan dalam penggunaan hukum yang berlaku yang dikenal dengan conflict of law
karena pengaturan harta benda perkawinan dan pembagian harta bersama pacsa
perceraian menurut hukum agama dan hukum adat berbeda yang memiliki aturan
masing-masing.
Penjelasan ketentuan Pasal 37 UUP memberi jalan pembagian sebagai
berikut: 144
1. Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan
kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian;

144

M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan UndangUndang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 , Op.Cit, hal. 123.

Universitas Sumatera Utara

2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut
merupakan kesadaran yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang
bersangkutan;
3. atau hukum-hukum lainnya.
Menurut pendapat M. Yahya Harahap, pikiran pembuat Undang-Undang
mengenai penyelesaian pembagian harta bersama diserahkan kepada kehendak dan
kesadaran masyarakat dan Hakim yang akan mencari dan menemukan dalam
kesadaran hukum masyarakat untuk dituangkan sebagai hukum objektif. Pendapat
kedua ia menyatakan pembuat Undang-Undang tidak usah ditentukan one way traffic
sebagai satu saluran hukum positif sebab berdasarkan kenyataan kesadaran hukum
yang hidup dalam masyarakat, tentang hal ini masih menuju perkembangan bentuk
yang lebih serasi sebagai akibat meluasnya interaksi antara segala umur kesadaran
yang sedang dialami oleh Bangsa Indonesia.145
Namun berdasarkan yurisprudensi pada keputusan-keputusan Pengadilan
tentang pembagian harta bersama pasca perceraian, harta bersama yang diperoleh
selama perkawinan harus dibagi dua bersama antara suami dan istri. Hal ini dapat
dilihat dalam pertimbangan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 389/1971 tanggal 30
Desember 1971 jo Mahkamah Agung Nomor 31 R/Sip/1972 tanggal 25 Mei 1973 jo
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 129/1972 tanggal 2 Juli 1973 jo
Pengadilan Tinggi Medan Nomor 358/1973 tanggal 2 Juli 1973 jo Pengadilan Tinggi
Tasik Malaya Nomor 44/1967 tanggal 27 Maret 1968 jo Pengadilan Tinggi Bandung
145

Ibid, hal. 126.

Universitas Sumatera Utara

Nomor 198/1969 tanggal 3 Desember 1970 jo Pengadilan Tinggi Tegal Nomor


27/1971 tanggal 16 Maret 1972.146
Dalam yurisprudensi hampir di seluruh Indonesia, mendahului ketentuan
Pasal 35 ayat (1) UUP telah menerima lembaga harta syarikat/harta bersama sebagai
suatu kenyataan kesadaran hukum yang hidup dalam stelsel kekeluargaan masyarakat
Indonesia dengan istilah yang berbeda masing-masing daerah dengan sebutan harta
Raja Kaya, harta gono-gini.147
Pada kasus ini, keputusan Majelis Hakim Mahkamah Agung yaitu Putusan
Mahkamah Agung Nomor 390K/Pdt/2002 dalam mengadili gugatan peletakan sita
marital yang diajukan bersamaan dengan gugatan pembagian harta bersama
menggunakan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1985
sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 148 tentang
Mahkamah Agung. Dimana pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung
menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok
An dengan alasan-alasan keberatan yang tidak dapat dibenarkan seperti yang diajukan
oleh Pemohon Kasasi dalam eksepsi maupun dalam pokok perkaranya.

146

Ibid, hal. 127.


Ibid, hal. 118.
148
Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa, Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi
membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena :
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
147

Universitas Sumatera Utara

Mengingat di dalam penjelasan umum UU Nomor 5 Tahun 2004 dinyatakan


bahwa berbagai substansi perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain tentang
penegasan kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman,
syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim agung serta beberapa substansi
yang menyangkut hukum acara, khususnya dalam melaksanakan tugas dan
kewenangan dalam memeriksa dan memutus pada tingkat kasasi serta dalam
melakukan hak uji terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UndangUndang. Dalam Undang-Undang ini diadakan pembatasan terhadap perkara yang
dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Pembatasan ini disamping
dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke
Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas
putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengan
nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat.
Adapun yang menjadi perhatian dalam kasus ini adalah mengenai adanya
permohonan gugatan dari Penggugat atas biaya nafkah yang nominal angka yang
cukup besar untuk anak-anaknya kepada Tergugat. Dimana dari gugatan Penggugat
tersebut, Tergugat mengajukan keberatan dalam permohonan kasasi. Menurut
Penulis, alasan Penggugat mengajukan gugatan atas biaya nafkah tersebut
dikarenakan khawatir harta bersamanya dengan Tergugat tidak aman dan tidak bisa
diselamatkan yang akibatnya akan merugikan Penggugat dan anak-anaknya
dikemudian hari.

Universitas Sumatera Utara

Alasan kekhawatiran, bahwa Tergugat mempunyai sifat buruk yaitu suka


berjudi, bermabukkan dan berfoya-foya, akibat sifat buruknya itu telah banyak
menghabiskan harta, diantaranya 5 (lima) buah mobil yang biasanya diberikan kepada
anak-anaknya untuk dipakai keperluan sekolah dan lain-lain dan selain alasan
tersebut pada saat Penggugat mendaftarkan gugatan pembagian harta kekayaan di
Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung, Tergugat tidak lagi memberikan nafkah/biaya
pendidikan dan kehidupan anak-anaknya serta tidak mempertimbangkan bahwa salah
satu anaknya yang cacat mental.
Tindakan Tergugat yang tidak lagi memberikan nafkah/biaya pendidikan dan
kehidupan anak-anaknya telah menyimpang dari ketentuan Pasal 41 ayat (2) UUP
menyatakan, bahwa bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak
dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
Dari bunyi ketentuan tersebut dapat kita simpulkan baik anak itu di bawah
pemeliharaan bapak atau ibu, maka yang menjamini jumlah biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak ialah bapak. Hal ini memang patut sebagai lanjutan prinsip, bahwa
bapak (suami) mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala
kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah tangga, sebagaimana
yang ditentukan Pasal 34 ayat (1) UUP. Sebab itu apabila bapak (ex. suami) ingkar
atas tanggung jawabnya, ex. istri yang kebetulan diberikan beban pemeliharaan anakanak dapat menuntut biaya tersebut kepada Pengadilan, agar menghukum ex. suami

Universitas Sumatera Utara

melakukan pembayaran biaya yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan. Jadi
pembayaran itu dapat dipaksakan melalui hukum (law enforcement) berdasar putusan
Pengadilan.
Penentuan besarnya biaya dan pendidikan anak-anak tersebut, pada prinsipnya
ditentukan oleh keadaan objektif atas dasar standar status sosial ekonomi dari ex.
suami yang bersangkutan. Jika suami itu sebagai petani, Pengadilan mengambil
ukuran sesuai dengan tingkat harta kekayaan bekas suami, dengan mengambil dasar
beras sebagai belanja pokok ditambah dengan sejumlah uang untuk biaya pendidikan,
pengobatan dan pakaian. Ukuran beras itu diselaraskan dengan kebutuhan seorang
anak perbulan.149
Apabila ternyata kemudian besarnya pembiayaan anak-anak baik hal itu atas
penetapan Pengadilan maupun atas dasar persetujuan bersama antara bekas suami
istri tersebut, nyata-nyata tidak mencukupi disebabkan keadaan inflasi moneter
misalnya, ataupun oleh karena miskin banyaknya keperluan pendidikan yang
dibutuhkan oleh anak-anak sesuai dengan tingkat pendidikan itu sendiri, maka
pelaksana pemeliharaan anak-anak menurut hukum tidak menghalangi yang
bersangkutan untuk menuntut pertambahan yang pantas yang memungkinkan dapat
mencukupi biaya rutin yang paling minimal untuk kepentingan kehidupan dan
pendidikan yang semestinya.

149

Putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar tanggal 2 September 1969 Nomor 52/1969;
Pengadilan Tinggi Medan tanggal 14 Juli 1973 Nomor 53/1973.

Universitas Sumatera Utara

Hal tuntutan pertambahan adalah tuntutan wajar sebab prinsip pembiayaan itu
sendiri ialah jumlah biaya yang memungkinkan anak-anak tersebut dapat hidup
sewajarnya dalam kehidupan lingkungan sosial serta kemungkinan kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan yang sepantasnya sesuai dengan batas-batas kemampuan
pendapatan dan kedudukan si bapak dalam masyarakat. Jadi batas ukuran yang paling
minimal ialah tuntutan biaya yang akan memberi nafkah makanan, pendidikan,
pengobatan dan pakaian adalah batas ukuran yang paling fundamental atas dasar
perbandingan pendapatan dan kedudukan sosial ekonomi si bapak. Dan atas tuntutan
pertambahan itupun sebagaimana halnya permintaan atas biaya pemeliharaan dapat
dipaksakan untuk dipenuhi si bapak berdasar keputusan Pengadilan.
Ketentuan dalam akhir kalimat Pasal 41 ayat (2) UUP, jauh sebelumnya telah
didahului oleh Yurisprudensi pada tahun 1958, yaitu Putusan Mahkamah Agung
tanggal 27 Agustus 1958 Nomor 216 K/Sip/1958, dalam pertimbangannya dapat
disimpulkan :
1. Bahwa menurut hukum adat yang parental kewajiban untuk membayar biaya
penghidupan dan pendidikan seorang anak yang belum dewasa sesudah
perceraian suami istri; tidaklah semata-mata dibebankan hanya pada ayah anak itu
saja;
2. Akan tetapi kewajiban itu juga dibebankan kepada ibu dari si anak tersebut;
3.

dan Apabila salah seorang dari orang tua (bapak dan ibu) tidak menepati
kewajibannya, maka hal itu dapat dituntut mengenai biaya selama anak itu masih
belum dewasa dan seterusnya.

Universitas Sumatera Utara

Bila di bandingkan Pasal 41 ayat (2) UUP dengan keputusan Mahkamah


Agung diatas nampak lebih tegas bunyi pertimbangan keputusan Mahkamah Agung.
Akan tetapi dalam putusan tersebut masih dibatasi kekuasaan berlakunya, terbatas
pada stelsel kekeluargaan masyarakat parental. Sedang maksud dan jiwa Pasal 41
ayat (2) UUP merupakan aturan Undang-Undang yang berlaku secara menyeluruh
untuk bangsa Indonesia bukan spesipikasi bagi stelsel keluarga yang parental saja.150
Dari alasan tersebut, Penggugat dapat membuktikan alasan untuk diajukan sita
marital atau yang disebut sebagai sita jaminan atas harta bersama, untuk itu Majelis
Hakim mengabulkan permohonan sita maritalnya. Menurut Penulis, hal ini didasari
pada sosiologis hukum dasar pertimbangannya yaitu berlaku dalam kehidupan
masyarakat sebagai dasar kemanusiaan yang sebenarnya memang sebuah kewajiban
bagi orang tua untuk memelihara anaknya dilakukan tanpa pamrih. Pasal 186
KUHPerdata salah satu dasar diajukannya permohonan sita marital adalah adanya
perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta kekayaan perkawinan seperti
salah satu contohnya adanya pemborosan atau kelalaian lain dalam menjaga harta
kekayaan perkawinan.
Penggugat mengajukan alasan adanya kekhawatiran yang beralasan terhadap
keamanan harta bersama, walaupun ada ketentuan yang mengatur bahwa harta
bersama tidak dapat dipindahtangankan ke pihak lain tanpa adanya persetujuan kedua
belah pihak, hal ini tidak memberi suatu jaminan harta bersama tidak berpindah
150

M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan UndangUndang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 , Op.Cit, hal. 167-170.

Universitas Sumatera Utara

tangan. Untuk itu, Penggugat ingin mengamankan harta bersamanya dengan Tergugat
dijamin secara legal formal yaitu dengan meletakkan sita agar Penggugat dan anakanaknya tidak dirugikan.
Konsekwensi hukum yang muncul pada saat pelaksanaan pembagian harta
perkawinan adalah harta kekayaan (keuntungan-keuntungan dan hutang-hutang)
suami dan istri yang dibawa dalam perkawinan dan harta kekayaan yang masingmasing dari mereka peroleh dengan cuma-cuma (hadiah, hibah, wasiat) sepanjang
perkawinan merupakan modal mereka, adalah milik pribadi suami atau istri dan tidak
masuk dalam persatuan. Dengan demikian ada tiga harta perkawinan, yaitu harta
milik pribadi si suami, harta milik pribadi si istri dan untung dan rugi yang masuk
dalam persatuan.
Mengenai harta milik masing-masing pribadi suami dan istri adalah di dalam
penguasaan masing-masing pribadi suami dan istri tersebut. Akan tetapi dalam
pelaksanaan pembagian harta perkawinan oleh hakim pada saat harta-harta
dikumpulkan baik harta pribadi suami, harta pribadi istri dan harta bersama suami
istri selama perkawinan sebagian besar harta pribadi baik suami maupun istri
tercampur dalam harta persatuan.151
Para pihak dapat menentukan harta persatuan apa saja yang dikuasai oleh
masing-masing pihak berdasarkan kesepakatan mereka. Walaupun tidak diperjanjikan
dalam perjanjian kawin tapi dalam pelaksanaan pembagian harta perkawinan bisa
151

Naravana, Hambatan-hambatan Dalam Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama,


diperoleh dari http://naravana.blogspot.com/2009/05/uas-haper.html, terakhir kali diakses pada tanggal
10 Juni 2012.

Universitas Sumatera Utara

dibagi berdasarkan kesepakatan para pihak dan seandainya barang-barang harta


perkawinan mudah ditaksir harganya seperti tanah, rumah, mobil, emas maka dengan
penafsiran harga barang-barang tersebut lalu akan dibagi tergantung keinginan para
pihak mau barang atau uang berdasarkan taksiran harga tersebut. Akan tetapi jika
barang-barang harta perkawinan susah ditaksir, bisa saja muncul keberatan jika salah
satu pihak berkeberatan akan taksiran harga yang telah disebutkan pihak yang lain.
Dalam mentaksir harga barang harus ada buktinya, misalnya dicari kebenaran
mengenai tanah yang disebutkan adalah milik suami atau istri, tanah tersebut adalah
hadiah, hibah atau warisan. Pembagian harta perkawinan akan menjadi rumit apabila
harta persatuan yang akan dibagi itu mengenai perabot rumah tangga karena harus
dirinci apa-apa saja barangnya dan jumlahnya berapa. Menurut Achiel Suyanto152,
pihak istri biasanya mengalami kerumitan dalam melakukan pembagian harta.
Misalnya yang menjadi harta persatuan adalah perabot rumah tangga yaitu piring
sebanyak 6 (enam) buah. Istri maunya membagi piring itu sama rata dengan suami
yaitu 3 (tiga) buah untuk masing-masing. Hal ini juga terjadi pada perabot rumah
tangga lainnya. Akan tetapi di pihak suami, biasanya dalam membagi harta
perkawinan dengan cara, masing-masing pihak (suami dan istri) memilih barangbarang apa saja yang akan mereka ambil. Misalnya istri mengambil TV 21 inch
beserta home teaternya sedangkan suami mengambil AC berdasarkan kesepakatan
bersama dan diusahakan nilainya sama atau sebanding.
Hambatan-hambatan yang muncul pada pembagian harta perkawinan adalah :
152

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

1. Pada saat eksekusi


Biasanya ada kesalahan dalam mentaksir harga barang sehingga barang yang
dibagi itu nilainya tidak sama dengan kenyataannya, misalnya harga rumah
ditaksir 400 juta akan tetapi ternyata hanya terjual 350 juta.
2. Barang sudah dijual suami tanpa sepengetahuan istri, begitu juga sebaliknya
sehingga barang tersebut tidak dapat dibagi.
3. Jika terdapat hutang bersama, terkadang salah satu pihak mengingkari janji
untuk mengangsur utang tersebut.
Ternyata diketahui bahwa dalam putusan sita marital yang telah dinyatakan
sah dan berharga dalam Putusan Nomor 241/PDT.G/2000/PN.BDG dan sudah
berkekuatan hukum tetap tidak bisa dilaksanakan pembagian harta bersamanya oleh
para pihak, apakah sita marital yang dinyatakan sah dan berharga tersebut bisa
ditingkatkan menjadi sita eksekutorial (karena dinyatakan sah dan berharga).
Berdasarkan tujuan sita marital (sita harta bersama) antara lain untuk
membekukan harta bersama suami istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah
tangan kepada pihak ketiga selama proses perceraian/pembagian harta bersama
berlangsung.153 Sedangkan fungsi dari dimohonkannya sita marital adalah untuk
melindungi hak pemohon sita marital dengan menyimpan atau membekukan barang
yang disita agar jangan sampai jatuh ditangan pihak ketiga.

153

M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,


Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan Ketujuh,Op.Cit, hal. 369.

Universitas Sumatera Utara

Tujuan atau fungsi meletakkan sita marital, bukan untuk menjamin tagihan
hutang (tagihan pembayaran hutang) dan bukan untuk menuntut penyerahan barang
milik, serta berakhirnya sita marital itu sendiri tidak dengan penyerahan barang atau
penjualan barang yang disita melalui sita eksekutorial. Namun berakhirnya sita
marital antara lain dikabulkannya gugatan perceraian dan pembagian harta bersama
berdasarkan putusan tersebut yang kemudian dilakukan pembagian harta bersama.
Oleh karena itu diketahui di dalam praktek yang terdapat dalam putusan perkara
perdata Nomor 241/PDT.G/2000/PN.BDG, tentang permohonan sita marital, yang
dikabulkan, maka dalam amar putusannya sita marital tersebut dinyatakan sah dan
berharga. Sedangkan dalam perkara perdata Nomor 241/PDT.G/2000/PN.BDG
sendiri telah berkekuatan hukum tetap sehingga amar putusan yang menyatakan sita
maritalnya sah dan berharga, tentu akan meningkat menjadi sita eksekusi (sita
eksekusi yang tidak secara langsung). Pernyataan sah dan berharga tersebut
diperlukan untuk memperoleh titel eksekutorial, akan tetapi hal tersebut sangat
bertentangan dengan sifat sita marital itu sendiri, yaitu hanya pembekuan barangbarang yang disita hingga sampai ada putusan pembagian harta bersama dan telah
dilaksanakan pembagian harta bersama tersebut. 154
Namun dalam putusan Nomor 241/PDT.G/2000/PN.BDG yang sudah
berkekuatan hukum tetap tidak juga dimohonkan eksekusi oleh pihak-pihak yang
berperkara. Jika mengacu pada Pasal 826 RV, apabila sita marital dikabulkan dalam
putusan pembagian harta bersama, mewajibkan untuk mengumumkan putusan
154

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 92.

Universitas Sumatera Utara

pengadilan mengenai pembagian harta bersama, dengan cara menempatkan kutipan


putusan tersebut dalam surat kabar. Hal ini dimaksudkan agar putusan pengabulan
atas penyitaan dapat lebih sempurna.
Dalam UUP ternyata diketahui tidak mengatur bagaimana caranya
melaksanakan sita marital, begitu juga baik dalam HIR/RBG yang tidak mengatur
tata cara melaksanakan sita marital. Di dalam praktek diketemukan cara
melaksanakan sita marital ternyata sama dengan melaksanakan sita jaminan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 197, 198, 199 HIR sedangkan diketahui fungsi
sita marital adalah hanya untuk melindungi, menyimpan, membekukan harta bersama
perkawinan agar tidak berpindah tangan. Fungsinya bukan sebagai jaminan
pemenuhan suatu hak. Jadi fungsi sita marital tidak sama dengan fungsi sita jaminan
pada umumnya. Oleh karena itu, menurut teori hukum sebenarnya apabila sita marital
itu dikabulkan, tidak perlu dinyatakan dengan kalimat sah dan berharga sebab apabila
sita marital itu dinyatakan sah dan berharga maka pokok perkaranya berkekuatan
hukum tetap dan sita tersebut bisa ditingkatkan menjadi sita eksekutorial, sehingga
dapat dilakukan pelelangan dan dilakukan pengosongan.
Dalam perkara perceraian karena tidak menghendaki proses perceraiannya
berkepanjangan, maka seringkali pihak istri tidak mempersoalkan pembagian harta
bersama. Sehingga kemudian timbul persoalan yang berhubungan dengan pembagian
harta bersama. Peraturan yang ada ternyata memiliki banyak kelemahan membuat
istri sering kali kesulitan menuntut nafkah yang menjadi haknya dari bekas suami

Universitas Sumatera Utara

meskipun Pengadilan sudah memutuskan suami wajib menafkahi bekas istri dan anak
yang lahir dari perkawinan tersebut.
Disamping itu, pada praktiknya banyak aturan yang ada tidak efektif,
membutuhkan biaya besar untuk mengurus agar aturan dilaksanakan dan untuk istri
dari ekonomi bahwa tidak dapat menuntut terlalu banyak karena pendapatan suami
yang tidak banyak. Upaya paksa secara hukum cenderung menjadi tidak bermanfaat
karena pendapatan suami atau harta yang akan disita petugas untuk diberikan kepada
bekas istri tidak cukup layak dibandingkan dengan biaya hukum yang dilakukan.
Sehingga diperlukan adanya peraturan yang lebih adil dalam hal nafkah karena
peraturan perundang-undangan yang ada mendukung ketergantungan istri secara
ekonomi kepada suami seperti yang diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 34 UUP.
Pada umumnya pasangan yang akan menikah tidak pernah memikirkan
persoalan mengenai harta bawaan masing-masing pihak serta harta bersama dan harta
milik yang didapat setelah perkawinan karena pada awal perkawinan tidak ada
pasangan yang berpikir untuk bercerai.155 Padahal, ketergantungan ekonomi tersebut
merupakan salah satu sebab utama terjadinya ketidakadilan terhadap pihak istri.156
Hal tersebut merupakan keterbatasan yang dapat dihindari apabila istri mempunyai
pengetahuan yang memadai mengenai perkawinan dan segala akibat yang
ditimbulkannya.

155

Fatahilla, Buat Perjanjian Dulu Sebelum Mengucapkan Saya Terima, 15 September


2009, diperoleh dari http://fatahilla.blogspot.com, terakhir kali diakses pada tanggal 15 Maret 2012.
156
Koran Kompas, Menggugat Peraturan Hukum Tentang Pengaturan Nafkah, tanggal 14
Februari 2005.

Universitas Sumatera Utara

Oleh karena itu, apabila istri hendak berperkara maka hal-hal yang perlu
diperhatikan yang memberikan perlindungan hukum terhadap istri atas masalah harta
yang dipersengketakan dalam gugatan harta bersama dalam perkara perceraian
adalah hal-hal sebagai berikut : 157
a. Mendapatkan nasehat hukum
Nasehat hukum dapat diperoleh dari pihak yang berkompeten (pengacara,
konsultan hukum atau pihak yang sudah berpengalaman). Hal ini untuk
mngetahui konsekuensi hukum atas permasalahan yang dihadapi karena
konsekuensi hukum tersebut adalah mengikat dan bersifat memaksa.
b. Mendapatkan informasi tentang proses hukum, antara lain :
1. Hal-hal yang harus dipersiapkan, apabila mewakili diri sendiri dalam sidang;
2. Apabila menggunakan jasa pengacara (kuasa hukum) di Pengadilan, seberapa
besar hal tersebut akan berpengaruh pada putusan Hakim;
3. Biaya yang harus dikeluarkan, apabila menggunakan jasa pengacara (kuasa
hukum);
4. Garis besar proses hukum yang akan dihadapi di Pengadilan;
5. Lama waktu yang dibutuhkan untuk proses hukum atas kasus yang dihadapi.
c. Mempersiapkan surat-surat penting untuk diajukan dalam gugatan harta bersama,
antara lain surat nikah asli dan fotokopinya yang telah dibubuhi materai, fotokopi
akta kelahiran anak yang dilegalisasi, fotokopi KTP, fotokopi Kartu Keluarga dan

157

Thomas Suyatno, Persiapan Menghadapi Sidang Kasus Perceraian, 6 November 2009,


diperoleh dari www.lbh-apik.or.id , terakhir kali diakses pada tanggal 15 Maret 2012.

Universitas Sumatera Utara

sebagainya yang harus juga dipersiapkan aslinya agar sewaktu dikehendaki sudah
tersedia untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam berperkara.
Untuk kasus perceraian yang disertai dengan masalah pembagian harta bersama,
juga perlu dipersiapkan surat-surat yang terkait dengan harta benda perkawinan
seperti akta jual beli, sertifikat, kwitansi, surat bukti kepemilikkan dan
sebagainya. Hal ini untuk memudahkan pemahaman persoalan hukum yang
sedang dihadapi. Setelah itu, dapat diputuskan apakah akan menggunakan
bantuan pengacara atau kuasa hukum sebagai wakil di Pengadilan atau mewakili
diri sendiri tanpa didampingi pengacara.
d. Lembaga Bantuan Hukum
Nasehat hukum dapat diperoleh dari konsultan hukum atau pengacara, dengan
kebebasan memilih untuk didampingi atau tidak oleh mereka dalam sidang
pengadilan nanti. Apabila tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar
pengacara, terdapat alternatif untuk menggunakan lembaga yang dapat diminta
bantuan dengan tanpa membebani biaya yang berlebihan. Lembaga yang sifatnya
non-komersial,

misalnya

Lembaga

Bantuan

Hukum.

Biasanya

akan

mempertimbangkan kondisi, baik kondisi ekonomi maupun psikologis.


e. Yang harus dipersiapkan sebelum ke Pengadilan :
1. Bila tanpa didampingi Pengacara :
a) Mempersiapkan surat gugatan;
b) Mempersiapkan

uang

administrasi

yang

jumlahnya

sebagaimana

ditetapkan Pengadilan yang nantinya harus dibayarkan ke bagian

Universitas Sumatera Utara

pendaftaran gugatan di Pengadilan kemudian bukti pembayarannya adalah


berupa SKUM (Surat Keterangan Untuk Membayar) setelah membayar;
c) Mempersiapkan materi yang hendak disampaikan di Pengadilan tentang
kasus yang dihadapi; dan
d) Mempersiapkan bukti-bukti dan saksi-saksi.
2. Bila didampingi Pengacara :
a) Menandatangani Surat Kuasa yang dibuat oleh Pengacara
Surat kuasa adalah surat yang menyatakan bahwa sebagai pemberi kuasa
memberikan kuasa kepada Pengacara (sebagai penerima kuasa) untuk
mewakili dalam pengurusan kasus, mulai dari pembuatan surat-surat
seperti surat dakwaan, beracara di muka sidang Pengadilan, menghadapi
institusi atau orang yang berwenang dalam rangka pengurusan kasus,
meminta salinan putusan Pengadilan dan sebagainya;
b) Mempersiapkan surat gugatan;
Apabila surat kuasa sudah ditandatangani, maka selanjutnya Pengacara
(kuasa hukum) yang akan mengurus pembuatan surat gugatan dan suratsurat lainnya yang dibutuhkan selama proses hukum berjalan;
c) Mempersiapkan uang administrasi yang jumlahnya ditetapkan Pengadilan,
yang harus dibayarkan ke bagian pendaftaran gugatan di Pengadilan.
Kemudian sebagai bukti telah melakukan pembayaran akan diterima
SKUM (Surat Keterangan Untuk Membayar);

Universitas Sumatera Utara

d) Mempersiapkan uang untuk pembayaran pengacara apabila pengacara


yang diminta bantuannya adalah pengacara yang dibayar.
f. Hal-hal yang juga harus diperhatikan adalah :
1. Persiapan mental;
2. Menghadiri persidangan tidak terlambat karena dapat mempengaruhi jalannya
sidang.
g. Di ruang sidang Pengadilan :
1. Yang mungkin ditanyakan Hakim antara lain :
a) Dalam sidang pertama, Hakim biasanya akan melakukan upaya
perdamaian. Pada sidang ini Hakim akan bertanya apakah kedua pihak
yang bersengketa akan mengadakan perdamaian atau tidak;
b) Dalam proses pemeriksaan, Hakim dapat menanyakan masalah-masalah
yang terkait dengan gugatan, apakah ada keberatan dari para pihak atau
tidak.
c) Sebelum putusan dijatuhkan Hakim, Hakim dapat bertanya apakah ada
hal-hal lain yang ingin disampaikan para pihak.
2. Yang berhak hadir di persidangan :
a) Hakim

yaitu yang memimpin jalannya sidang, memeriksa dan

memutuskan perkara;
b) Panitera yaitu yang bertugas mencatat jalannya persidangan;
c) Istri yaitu sebagai pihak yang mengajukan gugatan disebut Penggugat atau
Kuasa hukumnya;

Universitas Sumatera Utara

d) Suami yaitu sebagai pihak yang digugat disebut Tergugat / Kuasa


hukumnya.
3. Hak istri sebagai Penggugat antara lain :
a) Didampingi pengacara sebagai kuasa hukum di Pengadilan;
b) Bertanya dan menjawab mengenai perkembangan kasusnya baik kepada
kuasa hukumnya maupun kepada Hakim;
c) Mendapat

salinan surat keputusan Pengadilan (dapat melalui kuasa

hukumnya);
d) Mendapat perlakuan yang sama di muka hukum, tanpa dibedakan
berdasarkan suku, agama, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik atau
status sosialnya.
4. Lama proses berlangsung :
a) Pengadilan Tingkat Pertama
Sidang dilakukan kurang lebih 6 (enam) kali dengan jangka waktu yang
dibutuhkan maksimal 6 (enam) bulan di tingkat Pengadilan Pertama;
b) Pengadilan Tingkat Banding dan Kasasi (di Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung)
Waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian suatu perkara hingga tingkat
banding dan kasasi tidak sama. Namun secara umum dari awal proses
Pengadilan Tingkat Pertama hingga Kasasi di Mahkamah Agung bisa
memakan waktu 3 (tiga) sampai 5 (lima) tahun. Adapun bukti otentik
bahwa seseorang telah bercerai adalah dengan diterbitkannya akta cerai.

Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kedudukan hukum harta bersama dalam perkawinan menurut UUP dalam hal
terjadinya perceraian antara suami istri belum berlaku secara efektif. Keraguan
dalam menetapkan aturan hukum yang berlaku dalam bidang harta bersama tentu
akan menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya. Untuk mengatasi kesulitan
tersebut, Mahkamah Agung pada tanggal 20 Agustus 1975, mengeluarkan Surat
No.M.A/Pemb/0807/1975 tentang Petunjuk-Petunjuk M.A mengenai Pelaksanaan
UU No.1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, di mana pada sub 4 dikatakan
bahwa tentang harta benda dalam perkawinan ternyata tidak diatur dalam PP
No. 9 Tahun 1975 karenanya belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan
sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan
perundang-undangan lama. Serta pemecahan harta persatuan dalam perkawinan
mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga yang meliputi hutang persatuan
dan kedudukan kreditur sebelum dan sesudah pemecahan harta persatuan.
2. Penerapan ketentuan hukum positip tentang sita marital dalam perkara pembagian
harta bersama merupakan salah satu akibat hukum yang ditimbulkan dari
putusnya perkawinan karena perceraian. Kekhawatiran terhadap penyalahgunaan

Universitas Sumatera Utara

harta bersama selama proses gugatan perceraian di Pengadilan oleh suami atau
istri dapat diminta peletakkan gugatan sita marital. Gugatan sita marital dapat
diajukan bersamaan dalam perkara perceraian melalui jalur gugatan rekonvensi
atau dapat berdiri sendiri tanpa digantungkan pada perkara perceraian atau
pembagian harta bersama. Penerapan pelaksanaan sita marital dalam UUP dan PP
No. 9 Tahun 1975 tidak menyebutkan secara jelas cara melaksanakan sita marital
tersebut. Dalam praktek pelaksanannya, mempergunakan ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam pasal-pasal 823 sampai dengan 830 RV sedangkan dalam Pasal
186 KUHPerdata memberi hak kepada istri untuk mengajukan sita marital di luar
gugatan perceraian berdasar gugatan pemisahan harta perkawinan.
3. Dasar pengajuan sita marital oleh istri selaku Penggugat kepada Pengadilan dalam
putusan MARI Nomor 390/K/Pdt/2002 adalah kekhawatiran terhadap pembagian
harta bersama tidak aman dan tidak bisa diselamatkan yang akibatnya akan
merugikan si istri maupun keturunannya di kemudian hari yang disebabkan sifat
buruk suami yang suka berjudi, bermabukkan dan berfoya-foya yang akibatnya
telah banyak menghabiskan harta bersama dalam perkawinan. Sebab yang lain
sejak didaftarkan gugatan pembagian harta kekayaan oleh istri di Pengadilan
Negeri Kelas I-A Bandung, suami tidak lagi memberikan nafkah hidup dan
pendidikan kepada anak-anaknya. Konsekwensi hukum yang timbul adalah
putusan sita marital yang telah dinyatakan sah dan berharga dalam Putusan
Nomor 241/PDT.G/2000/PN.BDG dan sudah berkekuatan hukum tetap tidak bisa
dilaksanakan pembagian harta bersamanya oleh para pihak. Apakah sita marital

Universitas Sumatera Utara

yang dinyatakan sah dan berharga tersebut bisa ditingkatkan menjadi sita
eksekutorial. Sehingga ada hal-hal yang perlu diketahui oleh istri untuk
perlindungan hukumnya atas masalah harta yang dipersengketakan dengan
memahami proses pengajuan gugatan perceraian di Pengadilan.

B. Saran
1. Pengajuan gugatan sita marital yang berdiri sendiri tanpa adanya permintaan
pembagian harta bersama, hal ini dianggap kurang efektif dan efisien karena
seandainya gugatan perceraian dikabulkan, diperlukan lagi pengajuan gugatan
baru untuk menuntut pembagian harta bersama, sebab jika gugatan perceraian
yang diajukan suami dikabulkan dan semua harta bersama dikuasainya, suami
akan berusaha menghindari pembagian harta bersama. Agar pembagian dapat
terlaksana, istri harus mengajukan gugatan khusus menuntut pembagian. Jadi
terpaksa ditempuh dua kali proses. Hal ini telah menyimpangi prinsip peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan.
2. Meskipun terdapat UU Perkawinan, akan tetapi peraturan yang mengatur tentang
sita marital terhadap harta bersama dalam perkara perceraian atau pembagian
harta bersama hanya diatur dalam 1 pasal saja yaitu Pasal 24 ayat (2) huruf c PP
No 9 Tahun 1975, hal ini pun tidak menyebutkan secara jelas dengan kalimat sita
marital, dan tidak pula mengatur tentang bagaimana cara melaksanakan sita
marital yang dikabulkan dalam perkara perceraian atau pembagian harta bersama.
Maka perlu adanya ketentuan hukum acara perdata yang mengatur secara khusus

Universitas Sumatera Utara

tentang masalah sita marital yang selama ini berpedoman pada Reglemen acara
perdata/RV (Reglement op de Rechtsvordering staatsblad 1847 No 52 jo 1849 No
63) yang masih dipergunakan dalam praktek.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai