untuk
diawasi
atau
diambil
untuk
menjamin
agar
tuntutan
109
Retno Wulan Sutantio dan Oeripkartawinata Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori
dan Praktek, (Bandung : Penerbit CV. MandarMaju Bandung,2005), hal.52.
Sita marital ini merupakan salah satu jenis dari sita jaminan (Conservatoir
Beslag), sehingga pengaturannya berlaku sepenuhnya pada sita marital. UndangUndang mengatur bahwa permohonan sita marital dapat dilakukan, bila diajukan oleh
Penggugat selama pemeriksaan perkara berlangsung. Namun demikian, sebenarnya
Penggugat dapat memohonkan dilakukannya sita marital secara langsung dalam surat
gugatan.
Pengajuan sita marital memiliki tenggang waktu selama putusan belum
dijatuhkan pada Pengadilan Tingkat Pertama, atau selama belum memperoleh
kekuatan hukum tetap. Dengan pengertian bahwa jika perkaranya sudah di Tingkat
Banding, maka permohonan diajukan pada Tingkat Banding. Kemudian, jika
perkaranya di Tingkat Kasasi, maka permohonannya diajukan pada Pengadilan
Tingkat Pertama. Dalam hal ini, bergantung pada pendapat Hakim yang
bersangkutan, mengingat adanya perbedaan pendapat tentang sita ini. Yaitu pertama,
sita merupakan kewenangan mutlak Pengadilan Tingkat Pertama. Kedua, Pengadilan
Tinggi-lah yang berwenang memerintahkan sita kepada Pengadilan Tingkat
Pertama.110
Sita marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan
barang, melainkan menjamin agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya
adalah untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di
Pengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau
110
Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2007), hal.130-131.
membekukan barang-barang yang disita, agar jangan sampai jatuh ditangan pihak
ketiga.
Sita marital tidak meliputi harta pribadi, walaupun pengertian Maritaal Beslag
meliputi seluruh harta kekayaan perkawinan (jadi termasuk harta pribadi dan harta
kekayaan bersama), namun tujuan pokok sita marital ditujukan ke arah harta
kekayaan bersama dalam perkawinan. Harta kekayaan bersama ini yang perlu
diperlindungi keutuhannya selama proses perkara perceraian masih berlangsung.
Terhadap harta kekayaan pribadi, sita marital tidak perlu memperlindungi
keselamatan dan keutuhannya. Sepanjang mengenai harta pribadi, masing-masing
pihak, berhak sepenuhnya untuk mengatur dan menyelamatkannya.
Jadi sita marital tidak meliputi harta pribadi masing-masing sepanjang harta
pribadi itu tidak berada di tangan pihak Tergugat. Jika harta pribadi Penggugat berada
di tangan Tergugat, sita marital dapat menjangkaunya. Misalnya istri mengajukan
gugatan perceraian yang dibarengi dengan permohonan sita marital. Kebetulan
sebagian harta bersama maupun harta pribadi istri (Penggugat) dikuasai oleh suami
(Tergugat). Dalam kasus yang demikian, sita marital dengan sendirinya :111
1. Meliputi harta bersama baik yang berada di tangan suami dan istri;
2. Serta sekaligus juga meliputi harta pribadi istri yang dikuasai suami;
3. Tetapi tidak termasuk harta pribadi istri yang berada di bawah kekuasaannya.
111
112
113
tentang Peradilan Agama tetapi juga dalam Pasal 136 ayat (2) huruf b Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Yang sama bunyinya dengan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP
Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 78 huruf c UU Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Dengan demikian, landasan penerapan sita marital dalam lingkungan Peradilan
Agama telah diatur dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.114
d. Pasal 823-830 RV
Pasal ini merupakan salah satu diantara beberapa pasal lainnya yang mengatur
tentang sita marital. Ketentuannya mulai dari Pasal 823-830 RV115. Maka dapat
114
dilihat bahwa pengaturan sita marital dalam RV sangat luas. Sebaliknya dalam
UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 hanya terdiri dalam satu 1
(satu) pasal. Sedangkan dalam HIR dan Rbg sama sekali tidak diatur mengenai
sita marital.
3. Lingkup Penerapan Sita Marital
Jika bertitik tolak secara sempit dari ketentuan Pasal 190 KUHPerdata
maupun Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975, penerapan lembaga sita
marital hanya terbatas pada perkara gugatan perceraian (huwelijksontbinding). Akan
tetapi dalam arti luas, penerapannya meliputi beberapa sengketa yang timbul diantara
suami istri.116
a. Pada Perkara Perceraian
Penerapan sita marital yang paling utama pada perkara perceraian. Apabila
terjadi perkara perceraian antara suami istri, maka hukum akan memberi
perlindungan kepada suami atau istri atas keselamatan keutuhan harta bersama.
i. Pasal 823h : Pengangkatan sita atas barang-barang bergerak atau tidak bergerak tetap, baik
seluruhnya maupun sebagian diperintahkan oleh hakim yang memeriksa atau seharusnya memeriksa
tuntutan akan pemisahan dengan jaminan yang cukup atas permohonan si suami. Izin untuk menjual
atau menjaminkan barang-barang yang disita dapat diberikan oleh hakim yang sama dengan syaratsyarat sedemikian yang dipandang perlu olehnya untuk mencegah agar kepentingan istri tidak
dirugikan karenanya.
j. Pasal 823i : Sita yang diperintahkan atas keputusan hakim atas barang-barang bergerak atau barangbarang tetap menghalang-halangi penyitaan dan pemanfaatannya oleh pihak-pihak ketiga karena
utang-utang yang terjadi sebelum dilakukan penyitaan.
k. Pasal 823j : Sita yang diperintahkan atas keputusan hakim mengenai barang-barang bergerak atau
tidak bergerak atau barang-barang tetap tidak menghalangi si suami untuk memanfaatkan
penghasilannya dengan tidak mengurangi kewajiban terhadap si istri menurut perundang-undangan
atau karena perjanjian perkawinannya.
116
Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Himpunan Karya Tentang Hukum Jaminan, (Yogyakarta :
Penerbit Liberty,1982), hal. 49-51.
Dengan cara meletakkan sita diatas seluruh harta bersama untuk mencegah
perpindahan harta bersama kepada pihak ketiga.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 190 maupun Pasal 125 KUHPerdata,
hak untuk mengajukan sita marital hanya diberikan kepada istri. Hal ini sesuai
dengan latar belakang yang digariskan Pasal 105 KUHPerdata yang memberi
kedudukan matriale macht (kepala persekutuan) kepada suami, dan sekaligus
memberi hak dan wewenang kepada suami untuk mengurus dan menguasai harta
kekayaan bersama dan harta istri dalam perkawinan. Berarti dalam praktiknya,
penguasaan harta bersama berada di tangan suami. Kalau begitu layak dan sejalan
memberi hak kepada istri untuk meminta sita marital agar suami tidak leluasa
menghabiskan harta bersama selama proses perkara masih berjalan.
Berdasarkan apa yang digariskan KUHPerdata tersebut, maka tidak ada alasan
memberi hak kepada suami untuk meminta sita marital, karena harta bersama
seluruhnya berada ditangannya sendiri.117
b. Pada Perkara Pembagian Harta Bersama
Pada dasarnya persoalan atas harta bersama diperlukan apabila terjadi perkara
antara suami dan istri. Secara hukum perkara yang mungkin timbul diantara
suami istri yang erat kaitannya dengan harta bersama bukan hanya pada perkara
perceraian tetapi juga pada perkara pembagian harta bersama. Seperti seorang
suami yang mengajukan gugatan perceraian tanpa dibarengi tuntutan pembagian
harta bersama. Terhadap gugatan itu, istri (selaku Tergugat) tidak mengajukan
117
Ibid.
ketiga dengan maksud ketika perceraian telah terjadi, harta bersama yang di dapat
pihak yang melakukan kecurangan tersebut akan lebih banyak dari yang
seharusnya.Jadi penerapannya bertitik tolak dari adanya perkara antara suami
istri. Seolah-olah jika terjadi perkara atau pembagian harta bersama, sita marital
tidak berfungsi dan tidak dapat diterapkan dalam penegakkan hukum diantara
suami istri.119
Akan tetapi, jika berorientasi kepada ketentuan hukum UU Nomor 1 Tahun
1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 yang ada maka :
3. Sita Marital dapat diterapkan penegakkanya diluar proses perkara perceraian
atau pembagian harta bersama;
4. Oleh karena itu, dimungkinkan menerapkannya di luar proses perkara, apabila
terjadi tindakan yang membahayakan keberadaan harta bersama.
Penerapan yang demikian dapat berorientasi kepada ketentuan Pasal 186
KUHPerdata. Menurut Pasal 186 KUHPerdata tersebut :
1. Selama perkawinan berlangsung suami atau istri (lazimnya hanya ditujukan
kepada istri), dapat mengajukan permintaan sita marital terhadap Hakim;
2. Namun permintaan itu harus berdasarkan alasan bahwa harta bersama berada
dalam keadaan bahaya karena :
119
H.A. Damahuri HR, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, (Bandung:
Penerbit CV. Mandar Maju,2007), hal. 27.
a) Adanya tindakan atau perbuatan dari suami atau istri yang nyata-nyata
memboroskan harta bersama serta dapat menimbulkan akibat bahaya
keruntuhan keluarga dan rumah tangga (Pasal 186 ayat (1) KUHPerdata);
b) Tidak adanya ketertiban dalam mengelola dan mengurus harta bersama
yang dilakukan suami atau istri yang dapat membahayakan eksistensi dan
keutuhan harta bersama sebagaimana mestinya (Pasal 186 ayat (2)
KUHPerdata).
pemisahan atas jenis harta yang dimiliki. Belajar dari hal ini, sudah selayaknya jika
setiap pasangan suami istri melakukan pemisahan, atau minimal pencatatan atas harta
bawaan, harta bersama dan harta perolehan. Bukankah dalam hidup ini, juga harus
mempertimbangkan segala kemungkinan terburuk yang bakal di hadapi?120
Selanjutnya, kadangkala di sisi lain, salah satu pihak berhadapan dengan
keadaan di mana pihak yang lain telah mengatasnamakan kepemilikan harta bersama
yang dibeli selama perkawinan berlangsung. Karena itu, sangat penting untuk
membuat fotokopi setiap dokumen yang berkaitan dengan harta bersama. Seperti
sertifikat kepemilikan tanah, rumah, mobil dan kekayaan keluarga lainnya. Hal ini
akan sangat membantu dalam proses peradilan. Jika belum juga memiliki dokumen
tersebut, maka hal yang dapat dilakukan adalah menguasai secara fisik harta benda
tersebut. Ini merupakan strategi agar pihak lawanlah yang mengajukan gugatan atas
harta bersama, sehingga beban pembuktian ada di pihak lawan.
Selain itu, belum lagi apabila selama proses perceraian tersebut, terdapat
kemungkinan salah satu pihak mengaburkan asal usul harta perkawinan yang
disengketakan. Misalnya dengan menjual ataupun mengalihkannya kepada pihak lain
yang tidak bersangkutan. Kemudian, untuk menjamin keutuhan terpeliharanya harta
bersama, dapat dilakukan dengan meletakkan sita marital, yang penjagaannya
diserahkan kepada istri.
Permintaan sita marital dapat diajukan bersamaan dalam gugatan cerai/
gugatan pembagian harta bersama. Sistem yang memberi hak kepada tergugat untuk
120
dapat mempedomani dan memodifikasi ketentuan Pasal 186 KUHPerdata dan Pasal
95 KHI dalam menerapkan sistem ini.122
2. Pelaksanaan Sita Marital Dalam Pembagian Harta Bersama Menurut
Undang-Undang
Perlu diketahui lebih dahulu permasalahan sita marital, sangat erat kaitannya
dengan sengketa :
1. Perceraian;
2. Pembagian harta bersama;
3. Pengamanan harta perkawinan.
Berkaitan dengan kedudukan harta benda dalam perkawinan, pengaturan harta
tersebut diatur dalam Pasal 35 juncto Pasal 36 juncto Pasal 37 UU Perkawinan.
Pada Pasal 35 UUP dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa terdapat 2 (dua)
penggolongan harta benda dalam perkawinan, yaitu :
3. Harta bersama (Pasal 35 ayat (1)).
4. Harta bawaan yang dibedakan atas harta bawaan masing-masing suami dan istri
dan harta bawaan yang diperoleh dari hadiah atau warisan (Pasal 35 ayat (2)).
Berdasarkan
penggolongan
jenis-jenis
harta
tersebut
maka
sebagai
konsekuensinya terdapat dua macam penggolongan hak milik terhadap harta yaitu:
3. Adanya hak milik secara kolektif atau bersama khusus mengenai harta yang
digolongkan sebagai harta hasil dari mata pencaharian, pengaturannya adalah hak
kepemilikan terhadap harta tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh pasangan
122
suami istri. Dengan adanya hak kepemilikan secara kolektif ini tentunya
wewenang dan tanggung jawab terhadap harta bersama tersebut berada di tangan
suami dan istri. Apabila suami hendak menggunakan harta bersama maka si
suami harus mendapat persetujuan dari istri, demikian juga sebaliknya.
4. Adanya hak milik pribadi secara terpisah.
Pada harta yang digolongkan sebagai jenis harta yang kedua yaitu harta bawaan
dan jenis harta ketiga yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan tetapi tidak
berasal dari mata pencaharian, terhadap keduanya pengaturan terhadap hak milik
dilakukan pada dasarnya dilakukan secara terpisah, yaitu masing-masing suami istri
mempunyai hak milik secara terpisah terhadap harta yang dimilikinya sebelum
terjadinya perkawinan. Dengan kata lain harta-harta yang dimiliki oleh pasangan
suami istri sebelum perkawinan terjadi tidak menjadi bercampur kepemilikannya atau
kepemilikan terhadap harta bawaan tersebut tidak menjadi kepemilikan secara
kolektif. Akan tetapi hak kepemilikan mengenai jenis harta ini dapat ditentukan
menjadi hak kepemilikan bersama atau kolektif bagi suami dan istri. Dasar hukum
dalam hal ini adalah Pasal 35 ayat (2) yang menyatakan ... adalah dibawah
penguasaan masing-masing pihak sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Hal
ini mengandung arti yaitu apabila suami dan istri menghendaki terjadinya
percampuran salah satu atau kedua jenis harta tersebut, maka percampuran harta ini
dapat dimungkinkan dengan perjanjian sebelumnya.123
123
Dalam UUP jo PP No 9 Tahun 1975 , sita marital hanya diatur dalam Pasal 24
ayat (2) huruf c, di dalam ketentuan pasal tersebut tidak menyebutkan secara jelas
dengan kalimat SITA MARITAL, kemudian dalam HIR juga tidak mengatur
mengenai sita marital. Oleh karena pengaturan sita marital dalam UUP dan PP No. 9
Tahun 1975, hanya terdiri dari satu pasal saja dan itupun tidak mengatur mengenai
bagaimana cara melaksanakan sita marital tersebut. Apakah cara melaksanakan sita
marital itu dilaksanakan sama dengan cara melaksanakan sita-sita pada umumnya
(sita jaminan, sita revindicatoir) ditambah cara melaksanakan sita marital itu
mempergunakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal Reglemen Acara
Perdata/RV (Reglement Op de Rechtsvordering Staatsblad 1847 No. 52 Jo 1849
No.63).
Seperti diketahui bahwa proses pelaksanaan sita marital ternyata tidak diatur
dalam UUP jo PP No. 9 Tahun 1975 maupun dalam HIR, namun proses tata cara
pelaksanaan sita marital banyak diatur dalam ketentuan yang ada pada Reglemen
Acara Perdata/RV (Reglement Op de Rechtsvordering Staatblad 1847 No. 52 Jo 1849
No. 63) Pasal 823 sampai dengan Pasal 830 RV. Dalam kebutuhan praktek untuk
kepentingan beracara (proses doelmatigheid) tidak ada salahnya dapat menerapkan
atau berpedoman pada ketentuan pasal-pasal Reglemen Acara Perdata/RV
(Reglement Op de Rechtsvordering Staatblad 1847 No. 52 Jo 1849 No. 63) untuk
melaksanakan sita marital karena sita marital itu merupakan bentuk sita khusus yang
hanya diletakkan atas harta perkawinan, dengan tujuan untuk membekukan harta
bersama suami istri, agar tidak berpindah ke pihak ketiga selama proses
pertama persidangan akan sangat menentukan sah atau tidaknya permohonan sita
marital, sehingga dapat disimpulkan bahwa permohonan sita diajukan sebelum
hari pertama sidang. Apabila pada hari pertama gugatan diterima maka penyitaan
akan dilanjutkan, sebaliknya apabila gugatan ditolak maka sita akan diangkat.
Pada prakteknya permohonan sita marital pada umumnya diajukan bersama-sama
dengan pengajuan gugatan ke Pengadilan. Namun hal ini tidak menutup
kemungkinan permohonan sita diajukan pada sebelum atau pada pertengahan
proses pemeriksaan perkara. Pada kenyataannya pasal 227 ayat (1) HIR juga
memberikan kemungkinan bahwa sita marital dapat dimohonkan sesudah adanya
putusan tapi putusan tersebut belum dapat dijalankan. Contoh permohonan ini
adalah dalam hal telah dijatuhkan putusan verstek, dimana putusan verstek
tersebut Tergugat masih mengajukan perlawanan, atau dalam hal telah dijatuhkan
putusan contradictoir sedangkan yang bersangkutan mengajukan permohonan
banding.125
2. Pemeriksaan
Pada sita hak milik sifatnya pemeriksaannya sangat sumir, termohon sita tidak
perlu didengar karena pada dasarnya pemohon adalah pemilik sah atas barang
yang dimohonkan sita tersebut. Sebagai konsekuensinya maka pihak termohon
tidak perlu didengar dalam proses ini. Sementara pada sita jaminan, pemeriksaan
lebih rumit karena melibatkan upaya pembuktian unsur adanya sangka yang
125
beralasan bahwa Tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barangbarangnya untuk menghindari gugatan Penggugat. SEMA Nomor 5 Tahun 1975
mengatur bahwa dalam setiap penetapan sita jaminan disebut alasan-alasan yang
menyebabkan sita jaminan tersebut dikabulkan, yang berarti bahwa sebelum
dikeluarkan penetapan yang mengabulkan sita jaminan tersebut, maka harus
diadakan penelitian terlebih dahulu tentang ada tidaknya alasan yang
dikemukakan pemohon. Dengan adanya sifat sumir yang ada pada pemeriksaan
permohonan sita jaminan, maka penetapan sita jaminan merupakan kewenangan
diskresional Hakim. Tidak mudah untuk memberikan karakter yang bersifat baku
terhadap indikator dikabulkannya sita jaminan dan oleh karena itu penetapannya
akan sangat tergantung kepada kasus per kasus. Adapun upaya hukum yang dapat
ditempuh adalah sebagai berikut : 126
a. Perlawanan pihak tersita
HIR sama sekali tidak mengatur upaya hukum khusus bagi pihak tersita untuk
melawan instrument sita jaminan (termasuk sita marital didalamnya). Pada
dasarnya sita jaminan tidak ditujukan untuk melakukan eksekusi atau
penjualan terhadap objek sita dan sekedar melarang tersita untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap barang tersebut. Namun, sita jaminan tersebut tetap
dapat menimbulkan kerugian terhadap tersita. Sebaliknya RV justru memuat
ketentuan yang secara khusus mengatur perlawanan terhadap sita jaminan,
126
Pasal 724 dan Pasal 725 RV memberikan kesempatan bagi tersita untuk
mengajukan bantahan baik dengan sidang singkat dihadapan Ketua
(Pengadilan) maupun dihadapan sidang. Perlawanan ini diajukan dalam suatu
pemeriksaan atas sah dan berharga atau tidaknya sita jaminan. Perlawanan ini
diajukan dalam suatu pemeriksaan atas sah dan berharga atau tidaknya sita
jaminan, yang harus diadakan 8 hari setelah sita ditetapkan. Pihak tersita dapat
mengajukan :
1) Gugat rekonvensi terhadap pemohon sita.
Gugat ini berisi permohonan kepada Majelis Hakim untuk menjatuhkan
putusan sela untuk mengangkat atau merubah sita jaminan tersebut
2) Permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk mengangkat
atau merubah sita tersebut.
b. Perlawanan pihak ketiga
Pada dasarnya baik HIR, Rbg atau RV tidak mengatur prosedur perlawanan
terhadap sita jaminan, baik terhadap sita jaminan, maupun sita hak milik.
Konsep dasar dari perlawanan pihak ketiga adalah perlawanan yang
didasarkan kepada hak milik. Oleh karenanya pelawan harus dapat
membuktikkan bahwa ia adalah pemilik dari barang yang disita, apabila
terbukti barang tersebut adalah miliknya, maka pelawan tersebut akan
dinyatakan sebagai pelawan yang benar dan sita akan diperintahkan untuk
diangkat, sebaliknya, apabila tidak terbukti maka pelawan akan dinyatakan
sebagai pelawan yang tidak jujur dan sita akan dipertahankan. Dari konsep ini,
maka pelawan terhadap sita conservatoir tidak akan dapat memenuhi kriteria
perlawanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (6) HIR, karena
jelas bahwa perlawanan tersebut bukan atas dasar hak milik. Namun pada
prakteknya, yurisprudensi perlawanan pihak ketiga selaku pemilik barang
yang disita dapat diertima, juga dalam hal sita jaminan ini belum disyahkan
terhadap sita jaminan yang bersifat jaminan dapat diterima. Berdasarkan Pasal
207 ayat (1) HIR, perlawanan diajukan kepada Ketua Pengadilan yang telah
memutuskan dilakukannya penyitaan. Pemeriksaan terhadap perlawanan
dilakukan melalui acara biasa, dimana kedua belah pihak didengar dan
dipanggil secara patut.
c. Ganti rugi
HIR maupun Rbg sama sekali tidak mengatur mekanisme tuntutan ganti
kerugian terhadap sita jaminan yang kemudian diangkat karena Pengadilan
menolak pokok perkara. HIR maupun Rbg juga tidak mensyaratkan pemohon
sita jaminan untuk menyerahkan jaminan sebagai syarat dikabulkannya sita
jaminan, sehingga praktis tidak terdapat suatu jaminan yang siap dieksekusi
kepada tersita atas kemungkinan kerugian yang mungkin terjadi akibat sita
tersebut. Sementara HIR dan Rbg tidak mengatur mekanisme ganti rugi, RV
justru memberikan kesempatan ganti rugi bagi tersita apabila sita jaminan
tersebut kemudian diangkat. Pasal 732 RV mengatur bahwa kreditur atau
pemohon sita dapat dihukum untuk membayar biaya-biaya, kerugian-kerugian
dan bunga jika terdapat alasan untuk itu. Mahkamah Agung pernah memutus
bahwa kewajiban ganti rugi oleh kreditur atau pemohon didasarkan pada
konsep perbuatan melawan hukum dan menegaskan :
1) Sita jaminan hanya dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum
(PMH) jika sita tersebut meliputi benda yang secara tegas dikecualikan
dari sita, misalnya Pasal 197 ayat (8) HIR.127
2) PMH tidak otomatis terjadi jika Pengadilan kemudian mengangkat sita
tersebut.128
Kedudukan suami istri pada konsep sita marital adalah seimbang dan berlaku
bagi suami istri. Secara hukum hal ini diatur dengan tegas seperti yang tersebut dalam
UUP dan KHI.
Salah satu ketentuan umum yang berlaku untuk semua jenis penyitaan adalah
adanya hak untuk meminta pengangkatan sita. Ketentuan ini juga berlaku pada sita
marital. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 823 huruf h RV dan dapat dijadikan
sebagai pedoman, yaitu suami atau istri dapat mengajukan permintaan pengangkatan
sita marital, permintaan pengangkatan dapat diajukan terhadap semua atau sebagian
harta yang disita.129 Namun permintaan dan pengabulan atas pengangkatan disertai
syarat yang harus dipenuhi yaitu pemohon memberi jaminan yang cukup dan jaminan
yang cukup ini disetujui pihak lain.
127
Adapun yang menjadi prinsip dalam sita marital apabila dikabulkan dalam
gugatan yakni130:
a. Penjagaan dan pemanfaatan barang sitaan
Penjagaan dan pemanfaatan barang dalam sita harta bersama merujuk kepda
ketentuan Pasal 197 ayat (9) HIR dan Pasal 823 j RV.
1. Penjagaan barang sitaan
Menurut ketentuan umum yang digariskan Pasal 197 ayat (9) HIR, penjagaan
barang sitaan diserahkan kepada tersita. Ketentuan umum tersebut,
sepenuhnya berlaku terhadap sita marital. Oleh karena itu, sesuai dengan
prinsip tersebut, juru sita harus menetapkan dan mencantumkan dalam berita
acara sita, hal-hal berikut :
a). Menetapkan dan menyerahkan penjagaan barang yang disita dari suami
kepada suami, dan
b). Menetapkan dan menyerahkan penjagaan barang yang disita dari istri
kepada istri.
Penjagaan tidak boleh diserahkan kepda pihak ketiga atau kepala desa. Juga
dilarang menyerahkan penjagaan seluruh barang sitaan kepada suami atau istri
saja, tetapi diserahkan kepada masing-masing sesuai dengan jumlah harta
bersama yang disita dari yang bersangkutan.
2. Pemanfaatan barang yang disita
130
Mengenai hal ini, dapat dimodifikasi ketentuan Pasal 823 j RV sesuai ajaran
process doelmatigheid. Menurut pasal tersebut :
a). Peletakkan sita marital atas barang bergerak atau tidak bergerak, tidak
menghalangi suami atau istri untuk memanfaatkan apa-apa yang
dihasilkan barang tersebut;
b). Namun pemanfaatan itu, tidak boleh mengurangi pemenuhan fungsi dan
kewajiban yang ditentukan Undang-Undang, seperti membayar biaya
pendidikan, kesejahteraan keluarga dan anak-anak, atau tidak boleh
mengusir pihak lain dari rumah kediaman semula;
c). Dan juga atas pemanfaatan hasil itu satu pihak dibebani kewajiban untuk
membagi hasil itu kepada pihak yang lain.
Penggarisan yang mewajibkan membagi hasil yang timbul dari harta itu,
bertitik tolak dari prinsip bahwa harta bersama merupakan milik bersama
suami istri, oleh karenanya kedua pihak sama-sama berhak untuk
menikmatinya. Patokan pembagian atas hasil itu ialah masing-masing
pihak mendapat setengah bagian atasnya.
b. Permintaan izin menjual atau mengagunkan barang sitaan
Kebolehan menjual barang yang berada dalam sita marital, dianggap memiliki
urgensi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga atau tersita. Mengenai bentuk
pengajuan izin, tergantung kepada keadaan yang mengikuti sita marital, dengan
acuan sebagai berikut :
1. Berbentuk permintaan tertulis atau lisan
Ibid
132
berbeda dengan apa yang diatur pada KUHPerdata. Berdasarkan Pasal 186
KUHPerdata, bisa saja istri mengajukan permintaan sita marital kepada Pengadilan
apabila istri mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayaan (harta perkawinan).
KUHPerdata memperkenankan permintaan sita marital di luar gugatan perceraian.
Dapat diajukan permintaan sita marital berdasar gugatan pemisahan harta
perkawinan.
Dari ketentuan Pasal 186 KUHPerdata tersebut memberi hak kepada istri
untuk :
1. Mengajukan sita marital diluar gugatan perceraian
2. Mengajukan permintaan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan yang
masih utuh, apabila :
a. Kelakuan suami secara nyata memboroskan harta kekayaan keluarga yang
bisa mendatangkan malapetaka kehancuran rumah tangga, atau
b. Cara pengurusan suami atas harta kekayaan tidak tertib, sehingga tidak
terjamin keselamatan dan keutuhan harta kekayaan bersama.
Ketentuan yang diatur seperti dalam Pasal 186 KUHPerdata, nampaknya tidak
dijumpai dalam UUP maupun PP No. 9 Tahun 1975, padahal aturan seperti ini sangat
penting, guna melindungi hak istri terhadap harta bersama pada satu sisi dan
melindungi keutuhan harta perkawinan pada segi kelalaian pembuat Undang-Undang
mengatur hal yang demikian, merupakan hambatan bagi seorang istri membela
haknya terhadap suami yang boros dan berkelakuan tidak baik, karena hak untuk
mengajukan sita marital hanya diperkenankan apabila ada sengketa perceraian.
Bahkan lebih tragis lagi, jika di telaah ketentuan mengenai pemisahan harta
perkawinan. Sebab menurut Undang-Undang dan praktek pengadilan, pengajuan
gugatan pemisahan atau pembagian harta perkawinan, baru dapat diajukan setelah
putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Seolah-olah selama
perkawinan masih berjalan, tidak dimungkinkan mengajukan pemisahan harta
perkawinan.133
Padahal dilihat dari segi kepentingan istri atau suami adalah layak memberi
hak mengajukan pemisahan harta perkawinan dalam suatu perkawinan masih utuh,
apabila secara nyata suami atau istri menghamburkan harta kekayaan bersama.
Namun dapat diambil kesimpulan, bahwa anggapan seperti tersebut diatas adalah
keliru dan terlampau sempit. Sekalipun dalam UUP dan PP No. 9 Tahun 1975 tidak
mengaturnya, bukan berarti dilarang mengajukan sita marital dan pemeriksaan harta
perkawinan di luar perceraian apabila secara nyata dan salah satu pihak bertindak
boros dan tidak tertib mengurus harta kekayaan bersama.
Pengadilan dapat mempedomani ketentuan Pasal 186 KUHPerdata sebagai
aturan hukum pemisahan harta perkawinan di luar perceraian. Cukup alasan untuk
membenarkan praktek hukum yang demikian. Berapa banyak keluarga dan
pendidikan anak terlantar, akibat tindakan boros yang dilakukan suami atau istri.
Kemalangan dan kesengsaraan yang demikian masih mungkin dapat dihindari dengan
jalan pemisahan harta perkawinan. Karena dengan di pisahnya harta perkawinan
133
Mulyadi, Loccit.
Ronny Junaidi Kasalang, Sita Jaminan Terhadap Harta Bersama di Luar Sengketa
Perceraian Dalam Hukum Perceraian, 8 April 2011, diperoleh dari www.legalitas.org, terakhir kali
diakses pada tanggal 12 Juni 2012.
135
Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
di Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit Binacipta,1978), hal. 36-37.
sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan cerai. Selama masa sita
tersebut dapat dilakukan penjualan harta bersama untuk kepentingan keluarga, rumah
tangga, istri dan anak-anaknya, maka dipandang Hakim memiliki otoritas untuk
menangani dan menjaga agar harta tersebut diamankan dengan meletakkan sita
jaminan. Selain itu, otoritas yang diberikan kepada Hakim tersebut adalah untuk
mengendalikan atau setidak-tidaknya mengurangi kebiasaan suami atau istri
melakukan perbuatan yang tidak disukai oleh syariat Islam.136
Secara yuridis dogmatik, eksistensi Pasal 95 KHI tersebut sangat bermanfaat,
tetapi pada level implementasinya akan menghadapi beberapa kendala, diantaranya :
1. Dengan dibukanya kesempatan bagi suami atau istri untuk mengajukan sita
jaminan terhadap harta bersama dalam kondisi perkawinan yang masih utuh,
sekecil apapun akan berdampak pada keutuhan perkawinan itu sendiri, karena
dengan penyitaan seperti itu akan memicu dan memacu munculnya perselisihan
dalam rumah tangga.
2. Sita jaminan itu terkesan berdiri sendiri, padahal sita jaminan yang dipraktekkan
selama ini khususnya di lingkungan Pengadilan Agama assesoir dengan perkara
pokok yang diajukan oleh para pihak. Artinya, sita jaminan itu ada karena adanya
perkara pokok yang lain.
3. Walaupun KHI secara tersurat sudah menegaskan bahwa sita jaminan adalah
wewenang absolut Pengadilan Agama tetapi masih ada yang mempertanyakan.
Karena kalau mengacu pada Pasal 49 dan Penjelasan UU Nomor 7 Tahun 1989
136
137
Aulawi Wasit dan Sastromodjo Asro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Penerbit
Bulan Bintang,1981), hal. 67.
BAB IV
DASAR PENGAJUAN SITA MARITAL OLEH ISTRI SELAKU
PENGGUGAT DALAM PERKARA PERDATA DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 390/K/Pdt/2002
Bahwa gugatan yang diajukan Penggugat a quo kabur dan tidak jelas arah
tujuannya, karena jika melihat petitum gugatan yang diajukan ternyata Penggugat
telah menuntut biaya nafkah untuk kelangsungan hidupnya, namun di dalam
posita gugatannya Para Penggugat telah mengemukakan dalil-dalil serta alasanalasan yang belum pasti terjadi, seperti niat untuk biaya pendidikan, untuk
mengambil program Master di Amerika, biaya untuk perkawinan dan lain
sebagainya yang hal ini belum pasti akan terjadi, sehingga dalil posita gugatannya
banyak didasarkan pada khayalan semata-mata. Padahal menurut hukum tuntutan
biaya nafkah harus riil dan rasional, sehingga jika melihat materi gugatan yang
diajukan Penggugat antara posita dan petitumnya tidak sejalan, oleh karenanya
sangat wajar dan beralasan sekali jika gugatan Penggugat ditolak atau setidaktidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.
Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Nomor 241/PDT.G/2000/PN.BDG
adalah :
Dalam Eksepsi :
-
Menyatakan sah dan berharga sita jaminan/sita persamaan yang dilakukan oleh
jurusita Pengadilan Negeri Bandung tanggal 1 September 2000 Nomor
241/Pdt/G/2000/PN.Bdg yaitu masing-masing :
a. Penyitaan jaminan terhadap : tanah berikut bangunan yang berdiri diatasnya
yang
lebih
lanjut
diuraikan
dalam
Sertifikat
Hak
Milik
Nomor
Membebankan Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini
yang hingga saat ini dianggarkan sebesar Rp.1.414.000,- (satu juta empat ratus
empat belas ribu rupiah);
Bahwa Judex Factie telah salah dalam penerapan hukumnya sebagaimana terbukti
dalam pertimbangan hukumnya halaman 19 jo halaman 4 pertimbangan hukum
Pengadilan Tinggi :
a. Bahwa
kesalahan
dalam
penerapan
hukum
tersebut
tercemin
dari
b. Bahwa seharusnya Majelis Hakim Tingkat Pertama cermat dan teliti dalam
memeriksa dan mengadili gugatan ini, karena urgensi dari gugatan ini adalah
keinginan terselubung dari Penggugat/Termohon Kasasi untuk melegalkan
pengalihan asset-aset perkawinan akibat adanya putusan perceraian antara
Pemohon Kasasi/Tergugat dengan Termohon Kasasi/Penggugat dalam
perkara perceraian No. 155/Pdt.G/1999/PN.Bdg tertanggal 25 Mei 1999 yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
c. Padahal di satu sisi juga Termohon Kasasi/Penggugat telah mengajukan
gugatan Pembagian Harta Gono Gini yang saat ini sedang dimohonkan
pemeriksaan
kasasi
di
Mahkamah
Agung
dalam
perkara
No
rasional menurut hukum; sehingga putusan Majelis Hakim tersebut adalah tidak
cukup untuk dipertimbangkan, sehingga putusan yang demikian harus dibatalkan;
2. Bahwa Judex Factie telah salah dalam penerapan hukum pembuktian dimana
Judex Factie tidak cermat mempertimbangkan bukti T-1 jo T-2. padahal bukti T-1
tersebut berupa Kutipan Akta Perceraian No. 54/199 tertanggal 5 Juli 1999 antara
Pemohon Kasasi/Tergugat menunjukkan bahwa status hukum perkawinan antara
Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi telah putus hubungan perkawinan dan
telah tercatat pada Kantor Catatan Sipil Kotamadya Bandung;
Sehingga segala konsekuensi hukumnya akibat perceraian tersebut diatur
tersendiri secara khusus dalam hukum. Bahwa salah satu konsekuensi hukum
tersebut berupa status hukum harta gono gini yang diperoleh dalam perkawinan
tersebut;
Bahwa Judex Factie secara jelas telah salah dalam penerapan hukum pembuktian,
dimana bukti T-2 berupa gugatan perkara perdata No. 221/Pdt.G/2000/PN.Bdg
antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi sedang dalam proses
pemeriksaan di Pengadilan Negeri Bandung mengenai pembagian harta bersama
yang diperoleh selama masa perkawinan;
Bahwa dari kedua bukti tersebut seharusnya Judex Factie mempunyai dan
memiliki keyakinan hukum bahwa kedua bukti tersebut yaitu bukti T-1 jo bukti
T-2 adalah memiliki konsekuensi hukum dan akibat hukum secara sendiri-sendiri;
Bahwa tindakan Termohon Kasasi untuk melegalkan penguasaan aset-aset
perkawinan dengan mengajukan gugatan tuntutan nafkah adalah hal yang
mengada-ada dan kontradiktif, padahal di satu sisi Termohon Kasasi juga menjadi
pihak dalam perkara perdata pembagian harta gono gini dengan register perkara
No. 221.Pdt.G.2000.PN.BDG Jo No 212.Pdt.2001.PT.BDG dan saat ini sedang
dimohonkan pemeriksaan kasasi ke Mahkamah Agung;
3. Bahwa Judex Factie telah salah menerapkan hukum pembuktian, hal mana
terungkap dari pertimbangan Judex Factie terhadap bukti P-3A berupa surat dari
Tergugat kepada Penggugat Jo P-3B yaitu surat P-3A yang telah disalin huruf
demi huruf oleh Penggugat untuk memindahkan pembacaan;
Bahwa pertimbangan hukum Judex Factie terhadap kedua bukti tersebut P-3A Jo
P-3B yang merupakan surat dibawah tangan tersebut tidak merupakan alasan
pembenar bagi Termohon Kasasi untuk menguasai harta gono gini tersebut;
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Dalam Eksepsi :
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex
Factie tidak salah menerapkan hukum;
Dalam Pokok Perkara :
Mengenai keberatan-keberatan ke 1, ke 2 dan ke 3 :
Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena bersifat
pengulangan fakta dalam persidangan, lagipula alasan-alasan tersebut mengenai
penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal
mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena
pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan
penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam
memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila
Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2004;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagipula ternyata
bahwa putusan Judex Factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau Undang-Undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi : Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An tersebut harus ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
ditolak, maka Pemohon Kasasi dihukum membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 14 Tahun 2004 dan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan UndangUndang No. 5 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan;
Mengadili :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Iwan Gunawan dahulu
Tjioe Kok An tersebut;
Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah).
Penggugat yang tidak menggabungkan antara gugatan cerai dengan gugatan harta
benda perkawinan/harta bersama sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di
Indonesia. Hal ini didasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 913/K/Sip/1982 tanggal 21 Mei 1983, dalam perkara Normaine Br. Purba
melawan Jadenggan Simarmata, yang bunyinya sebagai berikut Gugatan mengenai
138
Varia Peradilan Tahun II Nomor 23, Agustus 1987, Tanggal 30 Juni 1984, hal. 68.
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan Ketujuh, Op.Cit, hal. 109.
140
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,Op.Cit, hal. 266
139
penjelasan
pasal
itu
menyatakan,
maksud
kebolehan
penggabungan itu, demi tercapainya prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan. Berdasarkan ketentuan itu, bukan hanya gugatan harta bersama yang dapat
digabung dengan gugatan perceraian, tetapi meliputi penguasaan anak serta nafkah
alimentasi istri dan anak. Apabila penggugat tidak menggabungnya dalam gugatan,
tergugat dapat menggabungkannya melalui gugatan rekonvensi.141
Meskipun ketentuan ini hanya diperuntukkan bagi Peradilan Agama,
jangkauan penerapannya dapat diperluas menjadi pedoman bagi Pengadilan Negeri
berdasarkan asas process doelmatigheid.142 Menerapkan ketentuan itu di lingkungan
141
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,Op.Cit, hal. 269
Hukum positif di Indonesia tidak mengatur penggabungan gugatan/permohonan. Baik
HIR maupun R.Bg. tidak mengaturnya. Begitu juga Rv., tidak mengatur secara tegas, dan tidak pula
melarang.Yang dilarang Pasal 103 Rv., hanya terbatas pada penggabungan atau kumulasi gugatan
antara tuntutan hak menguasai (Bezit) dengan tuntutan hak milik. Dengan demikian secara a
contrario (in the apposite
sense), Rv., membolehkan penggabungan gugatan. (M.Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata, Cetakan Kedua (Jakarta : Sinar Grafika,hal. 103.).
Meskipun HIR dan R.Bg.,maupun Rv., tidak mengatur, namun Peradilan (yurisprudensi)
sudah lama menerapkannya. Soepomo (Soepomo, Hukum Acara Perdata Negeri, (Jakarta :
Pradaya Paramita, 1993, hal.26.) menunjukkan salah satu Putusan Raad Justisie Jakarta,pada
tanggal 20 Juni 1939 yang memperbolehkan penggabungan gugatan, asal antara gugatan-gugatan itu,
terdapat hubungan erat (innerlijke samenhangen); Pendapat yang sama dalam Yurisprudensi Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No.575K/Pdt/1983 dan No.880K/Sip/1970 dijelaskan antara
lain: meskipun Pasal 393 ayat (1) HIR mengatakan hukum acara yang diperhatikan hanya HIR, namun
untuk mewujudkan tercapai manfaat dari segi acara (process doelmatigheid) dimungkinkan
menerapkan ketentuan acara diluar yang diatur dalam HIR, asal dalam penerapan itu berpedoman
kepada ukuran:
1. benar-benar untuk memudahkan atau menyederhanakan proses pemeriksaan;
2. menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan .
Berdasarkan alasan itu, boleh dilakukan penggabungan (samenvoeging) atau kumulasi objektif
maupun subjektif, asal terdapat innerlijke samenhangen atau koneksitas erat di antaranya.
Penggabungan 2 (dua), 3 (tiga) atau beberapa perkara dapat dibenarkan kalau antara masingmasing gugatan tersebut terdapat hubungan erat untuk memudahkan proses dan menghindari terjadinya
142
Peradilan Umum (PN), tidak hanya sekedar kepentingan beracara, tetapi sekaligus
untuk memenuhi ketertiban umum (public order) dan keadilan berdasarkan moral
(moral justice).143
Keterangan lain bahwa Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan
perkawinan dengan tata cara perkawinan menurut Agama Golongan Timur Asing
(Konghucu atau Buddha). Dalam hal diajukannya gugatan mengenai pembagian harta
bersama bagi agama tersebut, maka mengenai hal ini adalah merupakan kompetensi
dari Pengadilan Negeri, dimana Penggugat dalam hal ini sudah tepat mengajukan
perselisihan perkaranya ke Pengadilan Negeri di Bandung, berdasarkan tempat
kemungkinan putusan-putusan yang saling bertentangan. Penggabungan yang seperti itu , dianggap
bermanfaat ditinjau dari segi acara (procesuel doelmatig). Ada 2 (dua) manfaat dan tujuan
menggabungan gugatan, yaitu:
a. Mewujudkan Peradilan Sederhana
Melalui sistem penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan , dapat dilaksanakan penyelesaian
beberapa perkara melalui proses tunggal , dan dipertimbangkan serta diputuskan dalam satu putusan.
Sebaliknya, jika masing-masing digugat secara terpisah dan berdiri sendiri, terpaksa ditempuh proses
penyelesaian terhadap masing-masing perkara sehingga azas peradilan: sederhana, cepat dan biaya
ringan tidak ditegakkan.
Azas ini jangan hanya rumusan mati dalam Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 1970,
sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 2004 dan UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, tapi harus benar-benar diwujudkan jika ingin
menampilkan
putusan yang mengandung EDUKASI,KOREKSI,PREPENSI DAN REPRESIP.
Proses
persidangan
yang panjang dan bertele-tele mengakibatkan antara lain: kebenaran dan
keadilan hancur ditelan
masa; menimbulkan kebingungan dan keresahan yang berkepanjangan
bagi yang berperkara; dan berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat atas lembaga peradilan.
b. Menghindari Putusan yang Saling Bertentangan
Manfaat yang lain, melalui sistem penggabungan dapat dihindari munculnya putusan yang saling
bertentangan dalam kasus yang sama. Oleh karena itu, apabila terdapat koneksitas antara beberapa
gugatan, cara yang efektif untuk menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan, dengan
jalan menempuh sistem kumulasi atau penggabungan gugatan. (Subekti, Hukum Acara
Perdata,(Jakarta: Bina Cipta,1977,hal. 67.). Bahkan Subekti berpendapat, (Ibid, hal. 28) untuk
menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan mengenai kasus yang memiliki koneksitas
apabila pada PN tertentu terdapat dua atau beberapa perkara yang saling berhubungan,
serta para pihak yang terlibat sama, lebih tepat perkara itu digabung menjadi satu, sehingga
diperiksa oleh satu majelis saja.( Abdul Mujib Ay,Kumulasi Permohonan Itsbat Nikah Dengan Asal
Usul Anak (Dalam Persfektif Hukum Positif di Indonesia), hal. 1-2.)
143
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan Ketujuh, Op.Cit, hal. 111.
144
M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan UndangUndang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 , Op.Cit, hal. 123.
2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut
merupakan kesadaran yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang
bersangkutan;
3. atau hukum-hukum lainnya.
Menurut pendapat M. Yahya Harahap, pikiran pembuat Undang-Undang
mengenai penyelesaian pembagian harta bersama diserahkan kepada kehendak dan
kesadaran masyarakat dan Hakim yang akan mencari dan menemukan dalam
kesadaran hukum masyarakat untuk dituangkan sebagai hukum objektif. Pendapat
kedua ia menyatakan pembuat Undang-Undang tidak usah ditentukan one way traffic
sebagai satu saluran hukum positif sebab berdasarkan kenyataan kesadaran hukum
yang hidup dalam masyarakat, tentang hal ini masih menuju perkembangan bentuk
yang lebih serasi sebagai akibat meluasnya interaksi antara segala umur kesadaran
yang sedang dialami oleh Bangsa Indonesia.145
Namun berdasarkan yurisprudensi pada keputusan-keputusan Pengadilan
tentang pembagian harta bersama pasca perceraian, harta bersama yang diperoleh
selama perkawinan harus dibagi dua bersama antara suami dan istri. Hal ini dapat
dilihat dalam pertimbangan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 389/1971 tanggal 30
Desember 1971 jo Mahkamah Agung Nomor 31 R/Sip/1972 tanggal 25 Mei 1973 jo
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 129/1972 tanggal 2 Juli 1973 jo
Pengadilan Tinggi Medan Nomor 358/1973 tanggal 2 Juli 1973 jo Pengadilan Tinggi
Tasik Malaya Nomor 44/1967 tanggal 27 Maret 1968 jo Pengadilan Tinggi Bandung
145
146
melakukan pembayaran biaya yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan. Jadi
pembayaran itu dapat dipaksakan melalui hukum (law enforcement) berdasar putusan
Pengadilan.
Penentuan besarnya biaya dan pendidikan anak-anak tersebut, pada prinsipnya
ditentukan oleh keadaan objektif atas dasar standar status sosial ekonomi dari ex.
suami yang bersangkutan. Jika suami itu sebagai petani, Pengadilan mengambil
ukuran sesuai dengan tingkat harta kekayaan bekas suami, dengan mengambil dasar
beras sebagai belanja pokok ditambah dengan sejumlah uang untuk biaya pendidikan,
pengobatan dan pakaian. Ukuran beras itu diselaraskan dengan kebutuhan seorang
anak perbulan.149
Apabila ternyata kemudian besarnya pembiayaan anak-anak baik hal itu atas
penetapan Pengadilan maupun atas dasar persetujuan bersama antara bekas suami
istri tersebut, nyata-nyata tidak mencukupi disebabkan keadaan inflasi moneter
misalnya, ataupun oleh karena miskin banyaknya keperluan pendidikan yang
dibutuhkan oleh anak-anak sesuai dengan tingkat pendidikan itu sendiri, maka
pelaksana pemeliharaan anak-anak menurut hukum tidak menghalangi yang
bersangkutan untuk menuntut pertambahan yang pantas yang memungkinkan dapat
mencukupi biaya rutin yang paling minimal untuk kepentingan kehidupan dan
pendidikan yang semestinya.
149
Putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar tanggal 2 September 1969 Nomor 52/1969;
Pengadilan Tinggi Medan tanggal 14 Juli 1973 Nomor 53/1973.
Hal tuntutan pertambahan adalah tuntutan wajar sebab prinsip pembiayaan itu
sendiri ialah jumlah biaya yang memungkinkan anak-anak tersebut dapat hidup
sewajarnya dalam kehidupan lingkungan sosial serta kemungkinan kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan yang sepantasnya sesuai dengan batas-batas kemampuan
pendapatan dan kedudukan si bapak dalam masyarakat. Jadi batas ukuran yang paling
minimal ialah tuntutan biaya yang akan memberi nafkah makanan, pendidikan,
pengobatan dan pakaian adalah batas ukuran yang paling fundamental atas dasar
perbandingan pendapatan dan kedudukan sosial ekonomi si bapak. Dan atas tuntutan
pertambahan itupun sebagaimana halnya permintaan atas biaya pemeliharaan dapat
dipaksakan untuk dipenuhi si bapak berdasar keputusan Pengadilan.
Ketentuan dalam akhir kalimat Pasal 41 ayat (2) UUP, jauh sebelumnya telah
didahului oleh Yurisprudensi pada tahun 1958, yaitu Putusan Mahkamah Agung
tanggal 27 Agustus 1958 Nomor 216 K/Sip/1958, dalam pertimbangannya dapat
disimpulkan :
1. Bahwa menurut hukum adat yang parental kewajiban untuk membayar biaya
penghidupan dan pendidikan seorang anak yang belum dewasa sesudah
perceraian suami istri; tidaklah semata-mata dibebankan hanya pada ayah anak itu
saja;
2. Akan tetapi kewajiban itu juga dibebankan kepada ibu dari si anak tersebut;
3.
dan Apabila salah seorang dari orang tua (bapak dan ibu) tidak menepati
kewajibannya, maka hal itu dapat dituntut mengenai biaya selama anak itu masih
belum dewasa dan seterusnya.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan UndangUndang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 , Op.Cit, hal. 167-170.
tangan. Untuk itu, Penggugat ingin mengamankan harta bersamanya dengan Tergugat
dijamin secara legal formal yaitu dengan meletakkan sita agar Penggugat dan anakanaknya tidak dirugikan.
Konsekwensi hukum yang muncul pada saat pelaksanaan pembagian harta
perkawinan adalah harta kekayaan (keuntungan-keuntungan dan hutang-hutang)
suami dan istri yang dibawa dalam perkawinan dan harta kekayaan yang masingmasing dari mereka peroleh dengan cuma-cuma (hadiah, hibah, wasiat) sepanjang
perkawinan merupakan modal mereka, adalah milik pribadi suami atau istri dan tidak
masuk dalam persatuan. Dengan demikian ada tiga harta perkawinan, yaitu harta
milik pribadi si suami, harta milik pribadi si istri dan untung dan rugi yang masuk
dalam persatuan.
Mengenai harta milik masing-masing pribadi suami dan istri adalah di dalam
penguasaan masing-masing pribadi suami dan istri tersebut. Akan tetapi dalam
pelaksanaan pembagian harta perkawinan oleh hakim pada saat harta-harta
dikumpulkan baik harta pribadi suami, harta pribadi istri dan harta bersama suami
istri selama perkawinan sebagian besar harta pribadi baik suami maupun istri
tercampur dalam harta persatuan.151
Para pihak dapat menentukan harta persatuan apa saja yang dikuasai oleh
masing-masing pihak berdasarkan kesepakatan mereka. Walaupun tidak diperjanjikan
dalam perjanjian kawin tapi dalam pelaksanaan pembagian harta perkawinan bisa
151
Ibid.
153
Tujuan atau fungsi meletakkan sita marital, bukan untuk menjamin tagihan
hutang (tagihan pembayaran hutang) dan bukan untuk menuntut penyerahan barang
milik, serta berakhirnya sita marital itu sendiri tidak dengan penyerahan barang atau
penjualan barang yang disita melalui sita eksekutorial. Namun berakhirnya sita
marital antara lain dikabulkannya gugatan perceraian dan pembagian harta bersama
berdasarkan putusan tersebut yang kemudian dilakukan pembagian harta bersama.
Oleh karena itu diketahui di dalam praktek yang terdapat dalam putusan perkara
perdata Nomor 241/PDT.G/2000/PN.BDG, tentang permohonan sita marital, yang
dikabulkan, maka dalam amar putusannya sita marital tersebut dinyatakan sah dan
berharga. Sedangkan dalam perkara perdata Nomor 241/PDT.G/2000/PN.BDG
sendiri telah berkekuatan hukum tetap sehingga amar putusan yang menyatakan sita
maritalnya sah dan berharga, tentu akan meningkat menjadi sita eksekusi (sita
eksekusi yang tidak secara langsung). Pernyataan sah dan berharga tersebut
diperlukan untuk memperoleh titel eksekutorial, akan tetapi hal tersebut sangat
bertentangan dengan sifat sita marital itu sendiri, yaitu hanya pembekuan barangbarang yang disita hingga sampai ada putusan pembagian harta bersama dan telah
dilaksanakan pembagian harta bersama tersebut. 154
Namun dalam putusan Nomor 241/PDT.G/2000/PN.BDG yang sudah
berkekuatan hukum tetap tidak juga dimohonkan eksekusi oleh pihak-pihak yang
berperkara. Jika mengacu pada Pasal 826 RV, apabila sita marital dikabulkan dalam
putusan pembagian harta bersama, mewajibkan untuk mengumumkan putusan
154
meskipun Pengadilan sudah memutuskan suami wajib menafkahi bekas istri dan anak
yang lahir dari perkawinan tersebut.
Disamping itu, pada praktiknya banyak aturan yang ada tidak efektif,
membutuhkan biaya besar untuk mengurus agar aturan dilaksanakan dan untuk istri
dari ekonomi bahwa tidak dapat menuntut terlalu banyak karena pendapatan suami
yang tidak banyak. Upaya paksa secara hukum cenderung menjadi tidak bermanfaat
karena pendapatan suami atau harta yang akan disita petugas untuk diberikan kepada
bekas istri tidak cukup layak dibandingkan dengan biaya hukum yang dilakukan.
Sehingga diperlukan adanya peraturan yang lebih adil dalam hal nafkah karena
peraturan perundang-undangan yang ada mendukung ketergantungan istri secara
ekonomi kepada suami seperti yang diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 34 UUP.
Pada umumnya pasangan yang akan menikah tidak pernah memikirkan
persoalan mengenai harta bawaan masing-masing pihak serta harta bersama dan harta
milik yang didapat setelah perkawinan karena pada awal perkawinan tidak ada
pasangan yang berpikir untuk bercerai.155 Padahal, ketergantungan ekonomi tersebut
merupakan salah satu sebab utama terjadinya ketidakadilan terhadap pihak istri.156
Hal tersebut merupakan keterbatasan yang dapat dihindari apabila istri mempunyai
pengetahuan yang memadai mengenai perkawinan dan segala akibat yang
ditimbulkannya.
155
Oleh karena itu, apabila istri hendak berperkara maka hal-hal yang perlu
diperhatikan yang memberikan perlindungan hukum terhadap istri atas masalah harta
yang dipersengketakan dalam gugatan harta bersama dalam perkara perceraian
adalah hal-hal sebagai berikut : 157
a. Mendapatkan nasehat hukum
Nasehat hukum dapat diperoleh dari pihak yang berkompeten (pengacara,
konsultan hukum atau pihak yang sudah berpengalaman). Hal ini untuk
mngetahui konsekuensi hukum atas permasalahan yang dihadapi karena
konsekuensi hukum tersebut adalah mengikat dan bersifat memaksa.
b. Mendapatkan informasi tentang proses hukum, antara lain :
1. Hal-hal yang harus dipersiapkan, apabila mewakili diri sendiri dalam sidang;
2. Apabila menggunakan jasa pengacara (kuasa hukum) di Pengadilan, seberapa
besar hal tersebut akan berpengaruh pada putusan Hakim;
3. Biaya yang harus dikeluarkan, apabila menggunakan jasa pengacara (kuasa
hukum);
4. Garis besar proses hukum yang akan dihadapi di Pengadilan;
5. Lama waktu yang dibutuhkan untuk proses hukum atas kasus yang dihadapi.
c. Mempersiapkan surat-surat penting untuk diajukan dalam gugatan harta bersama,
antara lain surat nikah asli dan fotokopinya yang telah dibubuhi materai, fotokopi
akta kelahiran anak yang dilegalisasi, fotokopi KTP, fotokopi Kartu Keluarga dan
157
sebagainya yang harus juga dipersiapkan aslinya agar sewaktu dikehendaki sudah
tersedia untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam berperkara.
Untuk kasus perceraian yang disertai dengan masalah pembagian harta bersama,
juga perlu dipersiapkan surat-surat yang terkait dengan harta benda perkawinan
seperti akta jual beli, sertifikat, kwitansi, surat bukti kepemilikkan dan
sebagainya. Hal ini untuk memudahkan pemahaman persoalan hukum yang
sedang dihadapi. Setelah itu, dapat diputuskan apakah akan menggunakan
bantuan pengacara atau kuasa hukum sebagai wakil di Pengadilan atau mewakili
diri sendiri tanpa didampingi pengacara.
d. Lembaga Bantuan Hukum
Nasehat hukum dapat diperoleh dari konsultan hukum atau pengacara, dengan
kebebasan memilih untuk didampingi atau tidak oleh mereka dalam sidang
pengadilan nanti. Apabila tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar
pengacara, terdapat alternatif untuk menggunakan lembaga yang dapat diminta
bantuan dengan tanpa membebani biaya yang berlebihan. Lembaga yang sifatnya
non-komersial,
misalnya
Lembaga
Bantuan
Hukum.
Biasanya
akan
uang
administrasi
yang
jumlahnya
sebagaimana
memutuskan perkara;
b) Panitera yaitu yang bertugas mencatat jalannya persidangan;
c) Istri yaitu sebagai pihak yang mengajukan gugatan disebut Penggugat atau
Kuasa hukumnya;
hukumnya);
d) Mendapat perlakuan yang sama di muka hukum, tanpa dibedakan
berdasarkan suku, agama, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik atau
status sosialnya.
4. Lama proses berlangsung :
a) Pengadilan Tingkat Pertama
Sidang dilakukan kurang lebih 6 (enam) kali dengan jangka waktu yang
dibutuhkan maksimal 6 (enam) bulan di tingkat Pengadilan Pertama;
b) Pengadilan Tingkat Banding dan Kasasi (di Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung)
Waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian suatu perkara hingga tingkat
banding dan kasasi tidak sama. Namun secara umum dari awal proses
Pengadilan Tingkat Pertama hingga Kasasi di Mahkamah Agung bisa
memakan waktu 3 (tiga) sampai 5 (lima) tahun. Adapun bukti otentik
bahwa seseorang telah bercerai adalah dengan diterbitkannya akta cerai.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kedudukan hukum harta bersama dalam perkawinan menurut UUP dalam hal
terjadinya perceraian antara suami istri belum berlaku secara efektif. Keraguan
dalam menetapkan aturan hukum yang berlaku dalam bidang harta bersama tentu
akan menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya. Untuk mengatasi kesulitan
tersebut, Mahkamah Agung pada tanggal 20 Agustus 1975, mengeluarkan Surat
No.M.A/Pemb/0807/1975 tentang Petunjuk-Petunjuk M.A mengenai Pelaksanaan
UU No.1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, di mana pada sub 4 dikatakan
bahwa tentang harta benda dalam perkawinan ternyata tidak diatur dalam PP
No. 9 Tahun 1975 karenanya belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan
sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan
perundang-undangan lama. Serta pemecahan harta persatuan dalam perkawinan
mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga yang meliputi hutang persatuan
dan kedudukan kreditur sebelum dan sesudah pemecahan harta persatuan.
2. Penerapan ketentuan hukum positip tentang sita marital dalam perkara pembagian
harta bersama merupakan salah satu akibat hukum yang ditimbulkan dari
putusnya perkawinan karena perceraian. Kekhawatiran terhadap penyalahgunaan
harta bersama selama proses gugatan perceraian di Pengadilan oleh suami atau
istri dapat diminta peletakkan gugatan sita marital. Gugatan sita marital dapat
diajukan bersamaan dalam perkara perceraian melalui jalur gugatan rekonvensi
atau dapat berdiri sendiri tanpa digantungkan pada perkara perceraian atau
pembagian harta bersama. Penerapan pelaksanaan sita marital dalam UUP dan PP
No. 9 Tahun 1975 tidak menyebutkan secara jelas cara melaksanakan sita marital
tersebut. Dalam praktek pelaksanannya, mempergunakan ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam pasal-pasal 823 sampai dengan 830 RV sedangkan dalam Pasal
186 KUHPerdata memberi hak kepada istri untuk mengajukan sita marital di luar
gugatan perceraian berdasar gugatan pemisahan harta perkawinan.
3. Dasar pengajuan sita marital oleh istri selaku Penggugat kepada Pengadilan dalam
putusan MARI Nomor 390/K/Pdt/2002 adalah kekhawatiran terhadap pembagian
harta bersama tidak aman dan tidak bisa diselamatkan yang akibatnya akan
merugikan si istri maupun keturunannya di kemudian hari yang disebabkan sifat
buruk suami yang suka berjudi, bermabukkan dan berfoya-foya yang akibatnya
telah banyak menghabiskan harta bersama dalam perkawinan. Sebab yang lain
sejak didaftarkan gugatan pembagian harta kekayaan oleh istri di Pengadilan
Negeri Kelas I-A Bandung, suami tidak lagi memberikan nafkah hidup dan
pendidikan kepada anak-anaknya. Konsekwensi hukum yang timbul adalah
putusan sita marital yang telah dinyatakan sah dan berharga dalam Putusan
Nomor 241/PDT.G/2000/PN.BDG dan sudah berkekuatan hukum tetap tidak bisa
dilaksanakan pembagian harta bersamanya oleh para pihak. Apakah sita marital
yang dinyatakan sah dan berharga tersebut bisa ditingkatkan menjadi sita
eksekutorial. Sehingga ada hal-hal yang perlu diketahui oleh istri untuk
perlindungan hukumnya atas masalah harta yang dipersengketakan dengan
memahami proses pengajuan gugatan perceraian di Pengadilan.
B. Saran
1. Pengajuan gugatan sita marital yang berdiri sendiri tanpa adanya permintaan
pembagian harta bersama, hal ini dianggap kurang efektif dan efisien karena
seandainya gugatan perceraian dikabulkan, diperlukan lagi pengajuan gugatan
baru untuk menuntut pembagian harta bersama, sebab jika gugatan perceraian
yang diajukan suami dikabulkan dan semua harta bersama dikuasainya, suami
akan berusaha menghindari pembagian harta bersama. Agar pembagian dapat
terlaksana, istri harus mengajukan gugatan khusus menuntut pembagian. Jadi
terpaksa ditempuh dua kali proses. Hal ini telah menyimpangi prinsip peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan.
2. Meskipun terdapat UU Perkawinan, akan tetapi peraturan yang mengatur tentang
sita marital terhadap harta bersama dalam perkara perceraian atau pembagian
harta bersama hanya diatur dalam 1 pasal saja yaitu Pasal 24 ayat (2) huruf c PP
No 9 Tahun 1975, hal ini pun tidak menyebutkan secara jelas dengan kalimat sita
marital, dan tidak pula mengatur tentang bagaimana cara melaksanakan sita
marital yang dikabulkan dalam perkara perceraian atau pembagian harta bersama.
Maka perlu adanya ketentuan hukum acara perdata yang mengatur secara khusus
tentang masalah sita marital yang selama ini berpedoman pada Reglemen acara
perdata/RV (Reglement op de Rechtsvordering staatsblad 1847 No 52 jo 1849 No
63) yang masih dipergunakan dalam praktek.