Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara yang maju dan berkembang tentu memiliki sumber daya yang dapat diandalkan pula. Termasuk
dalam hal sumber daya manusia. Tidak hanya manusia dewasa, tetapi juga anak-anak. Anak adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari sumber daya manusia itu sendiri. Akan lebih baik dan lebih efektif apabila
pengelolaan sumber daya manusia itu dimulai dari anak-anak, karena anak masih akan terus berkembang,
baik dari segi fisik, psikis, maupun kemampuan berpikirnya. Negara yang maju juga pasti peduli terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai generasi bangsa, penerus cita-cita bangsa. Sehingga
muncul upaya untuk memberikan perlindungan dan bimbingan terhadap anak tersebut agar dapat menjadi
pribadi yang dicita-citakan, yang dapat memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan negaranya.
Namun pada kenyataannya, anak selalu dianggap sepele oleh orang dewasa. Kewajiban mereka selalu
dituntut, tanpa memperhatikan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, sehingga hak-hak mereka
seringkali terabaikan. Padahal pembinaan dan perlindungan yang baik terhadap anak akan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik, mental, dan sosialnya kelak. Ketiga elemen tersebut seharusnya
diperoleh anak secara seimbang, sehingga masa
I
2
depannya tidak berantakan, bahkan berpotensi untuk mewujudnyatakan cita-cita perjuangan bangsa yang
mungkin belum tercapai hingga sekarang.
Anak adalah anugerah Allah Yang Maha Kuasa sebagai calon generasi penerus bangsa yang masih dalam
masa perkembangan fisik dan mental 1. Tindakan sepele terhadap anak tak khayal juga membuat mereka
kerap melakukan tindakan melanggar hukum. Untuk itulah diperlukan kekuatan hukum di dalam tiap
kehidupan manusia. Hukum ada bukan hanya bagi mereka yang sudah dianggap dewasa, tapi berlaku bagi
seluruh kalangan manusia, tak terkecuali anak-anak. Namun diperlukan proses hukum secara khusus bagi
mereka anak-anak yang nyatanya berkonflik dengan hukum, agar mereka tidak mendapat perlakuan sama
seperti halnya orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Terutama harus dikhususkan dari segi
ketidakmampuan mereka bertanggungjawab. Anak-anak yang berkonflik dengan hukum seyogyanya
masih buta akan proses hukum yang harus mereka lalui. Hal ini mengakibatkan hak-hak mereka sering
direnggut oleh para pihak maupun instansi terkait yang tidak bertanggungjawab.
Orangtua merupakan komponen pertama yang bertanggungjawab penuh terhadap pertumbuhan,
perkembangan dan kesejahteraan kehidupan anak. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi dirinya
sendiri dari berbagai macam tindakan kejahatan yang menimbulkan kerugian fisik, mental, sosial dalam
berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu anak harus dibantu oleh orang lain,

1M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum (Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak), Sinar Grafika,
Jakarta, cetakan kedua, 2013, hlm. 1.
3
khususnya dalam memperoleh bantuan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang asing bagi
dirinya, namun tetap harus diikuti untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Apabila kita melihat kerangka bernegara Indonesia, mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas
dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka pembinaan
terhadap anak merupakan bagian yang integral dalam upaya tersebut. Oleh karena itu, permasalahan-
permasalahan mengenai anak-anak "nakal" yang kemudian bermasalah secara hukum, maka harus
diselesaikan secara komprehensif dalam rangka melindungi hak anak agar mampu juga menjadi sumber
daya manusia Indonesia yang berkualitas sebagaimana telah disebutkan .
Adanya hukum yang terkait, yang diimplementasikan dengan berbagai peraturan tentang anak, telah
banyak diciptakan. Namun menelaah dari kehidupan sekarang, peraturan tersebut yang diharapkan
mampu memberikan perlindungan terhadap anak, nyatanya belum mampu direalisasikan dengan baik.
Nasib anak yang berkonflik dengan hukum masih menyedihkan, tidak seindah jika kita berbicara dengan
memposisikan mereka sebagai generasi penerus bangsa. Tidak hanya anak yang melakukan tindak pidana,
bahkan anak yang menjadi korban tindak pidana pun hak-haknya kerap terabaikan atau tidak ada yang
melindungi mereka dalam proses beracara di pengadilan, sehingga banyak di antara mereka merasa takut,
depresi, tertekan untuk berbicara kebenaran. Kondisi fisik dan
2
Ibid., hlm. 3.
I
4
mental yang demikian tentunya berdampak juga dalam proses beracara demi mencapai kebenaran dan
keadilan.
Namun berbicara mengenai pemidanaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, sebenarnya hal ini
merupakan alternatif terakhir menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang
terdahulu yang mengatur tentang anak, yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, lebih mengedepankan model retributive justice. Berbeda halnya dengan Undang-Undang SPPA
yang lebih mengedepankan konsep restorative justice, yaitu pemulihan ke kondisi semula, di mana proses
ini merupakan penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa
korban dan pelaku bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara . Dalam
pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran
yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya. Dalam konsep ini diusahakan jalan
perdamaian antara masing-masing pihak, sehingga pemidanaan merupakan jalan terakhir dengan
mendahulukan cara lain di luar pengadilan. Salah satunya adalah dengan cara diversi 2, yakni pengalihan
penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Anak yang
berkonflik dengan hukum diusahakan agar tidak sampai pada proses pengadilan. Oleh karena itu diversi
merupakan jalan yang tepat. Untuk itu, diversi haruslah diwajibkan dalam setiap penanganan anak yang
berkonflik dengan hukum.
3
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice), PT. Refika Aditama,
Bandung, cetakan kedua, 2012, hlm. 180.

2 M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 6.


5
Apabila memang melalui diversi sama sekali tidak ditemukan jalan keluar, maka barulah anak tersebut
melalui proses di pengadilan.
Apabila memang harus menempuh proses beracara di pengadilan, maka anak-anak yang berkonflik
dengan hukum harus mendapatkan perlindungan yang nyata. Sistem pemidanaan mereka harus dibedakan
dengan sistem pemidanaan orang dewasa. Sehingga diperlukan suatu peradilan khusus untuk menangani
mereka. Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyebutkan :
"Di lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang". Dan
Peradilan Pidana Anak ini adalah salah satu realisasinya. Jadi setiap anak yang bermasalah dengan hukum
mengikuti proses beracara berdasarkan ketentuan Peradilan Anak.
Setiap anak itu juga berhak mendapatkan bantuan hukum sebagaimana mestinya, tanpa adanya
diskriminasi terhadap anak tersebut. Pemberian bantuan hukum terhadap anak adalah hal penting yang
harus dibahas, karena anak yang terjerat dengan kasus hukum, sebenarnya belum memiliki kemampuan
untuk bertanggungjawab. Pengetahuan mereka akan proses beracara di pengadilan pun masih sempit. Hal
inilah yang harus ditinjau, bagaimana agar para pemberi bantuan hukum dapat memberikan bantuan
hukum berdasarkan asas-asas yang tercantum dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak itu sendiri.
Peraturan menyangkut tentang anak sebenarnya telah banyak diterbitkan, antara lain : Undang-Undang
No. 4 Tahun 1979 tentang
I
6
Kesejahteraan Anak, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak yang digantikan dengan Undang-Undang SPPA (yang selanjutnya disebut Undang-Undang SPPA).
Hal ini merupakan bukti bahwa perhatian terhadap anak sebenarnya sudah ada sejak dulu. Substansi yang
diatur pun masih seputar anak. Namun penerapannya dianggap masih kurang releven dengan kehidupan
sekarang, sehingga undang-undang tersebut lambat laun ditinggalkan dan digantikan dengan Undang-
Undang baru, contohnya Undang-Undang Pengadilan Anak yang dianggap sudah tidak dapat digunakan
lagi dan digantikan dengan Undang-Undang SPPA ini.
Anak sebagai pelaku tindak pidana akan mengalami proses hukum yang identik dengan orang dewasa
yang melakukan tindak pidana. Identik disini berarti "hampir sama". Yang membedakannya hanyalah
lama serta cara penanganannya. Hal inilah yang menjadi kekhususan tersendiri. Dalam menangani kasus
anak dalam peradilan pidana anak, maka terlebih dahulu yang harus diperhatikan adalah kedudukan anak
tersebut sebagai seorang anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus. Sehingga harus
diutamakan perlindungan terhadap anak tersebut dalam proses penanganannya, demi kesejahteraan dan
kepentingan anak tersebut.
Pemerintah melihat bahwa sistem peradilan anak yang selama ini diterapkan dianggap belum mampu
menjunjung tinggi hak-hak anak dalam beracara di pengadilan dan kerap kali disalahgunakan oleh
instansi terkait. Oleh karena itu pemerintah berusaha memperbaiki sistem perlindungan hukum
I
7
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Hal inilah yang menjadi dasar dikeluarkannya Undang-
Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini.
Dari sekian banyak problematika tentang anak yang terjadi di kehidupan sekarang, ada beberapa hal yang
masih menjadi pertanyaan penulis. Bagaimana sebenarnya pengaturan advokasi bantuan hukum dan
peradilan anak sebelum dan setelah lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum dan Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak? Lalu bagaimana anak yang berkonflik dengan hukum itu dapat diberikan
bantuan hukum menurut Undang-Undang Bantuan Hukum terbaru? Apakah ada sinergi antara Undang-
Undang SPPA ini dengan Undang-Undang Bantuan Hukum tersebut?
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengangkat judul "ANALISIS YURIDIS UNDANG-
UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM
PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI
PELAKU TINDAK PIDANA" yang diharapkan dapat menambah pengetahuan serta memecahkan
problematika yang terjadi di kehidupan sekarang ini menyangkut tentang anak. Selanjutnya akan dibahas
lebih lanjut pada bab-bab berikutnya dalam skripsi ini.
I
8
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, adapun permasalahan yang akan dibahas
dalam skripsi ini antara lain :
1. Bagaimanakah ketentuan pengaturan bantuan hukum dan peradilan anak sebelum dan setelah lahirnya
Undang-Undang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia?
2. Bagaimana analisis yuridis Undang-Undang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak dalam pemberian bantuan hukum terhadap anak sebagai pelaku dan korban tindak pidana?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan skripsi ini, antara lain :
1. Untuk mengetahui kedudukan anak di dalam sistem hukum di Indonesia, baik anak itu sebagai pelaku
maupun sebagai korban dari tindak pidana.
2. Untuk mengetahui analisis yuridis dari dua buah undang-undang terkait, yaitu Undang-Undang
Bantuan Hukum dan Undang-Undang SPPA, dalam memberikan bantuan hukum terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum, terlebih khusus anak sebagai pelaku tindak pidana.
I
9
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini di
antaranya:
1. Manfaat Teoritis
Memberikan informasi-informasi pengetahuan tentang hukum pada umumnya, bagaimana hukum itu
bekerja dalam kehidupan masyarakat, serta memberikan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum
pidana khususnya. Terlebih khusus lagi untuk menambah pengetahuan hukum dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia. Skripsi ini juga diharapkan mampu membuka jendela wawasan bagi setiap orang yang
mungkin ingin atau sedang mendalami pengetahuan mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak yang
terbaru sejak digantikannya Undang-Undang Pengadilan Anak terdahulu, yang pengundangannya baru
sekitar 2 tahun yang lalu.
2. Manfaat Praktis
Penulisan skripsi ini dalam prakteknya diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran serta
masukan-masukan yang membangun bagi para aparat penegak hukum, khususnya yang berada dalam
ruang lingkup peradilan, yaitu hakim, jaksa, polisi, advokat maupun institusi-institusi lain lain yang
terkait, tak terkecuali bagi masyarakat umum dalam memberikan bantuan atau perlindungan bagi anak-
anak yang terjerat kasus hukum sehingga dapat mewujudnyatakan penjaminan akan hak-hak anak
I
10
tersebut.Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat membuka nilai-nilai keadilan yang selama ini
mungkin tidak diterima oleh anak-anak yang berkonflik dengan hukum pada umumnya, termasuk
membuka pemikiran para aparat penegak hukum agar melakukan tugas dan tanggungjawabnya secara adil
menurut hukum yang berlaku di negara kita tanpa ada diskriminasi terhadap anak.
E. Keaslian Penulisan
Judul skripsi "Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peardilan Pidana Anak dalam Pemberian Bantuan
Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku dan Korban Tindak Pidana" yang penulis angkat adalah
merupakan hasil dari pemikiran penulis sendiri. Berdasarkan jurnal Mahupiki Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang penulis akses, hanya terdapat beberapa kemiripan judul, di antaranya :
1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum Menurut Undang-Undang No.
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang ditulis oleh Erikson P. Sibarani / 090200165
2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kejahatan Perkosaan Dalam Pemberitaan Media Massa,
yang ditulis oleh Prinst Rayenda Giovani
I
11
3. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dari Perspektif Undang-
Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang ditulis oleh
Maya Novira / 090200022.
Berdasarkan data tersebut kemudian dijadikan dasar oleh Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum selaku
Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam menerima judul
yang diajukan penulis, karena substansi yang terdapat di dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan judul-
judul di atas. Kemudian pengajuan judul skripsi yang penulis angkat ini juga telah melalui proses uji
bersih berdasarkan surat tertanggal 16 Desember 2014 dan ditandatangani oleh petugas perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis juga menelusuri berbagai macam karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang itu tidak
pernah penulis temukan kemiripan yang sangat mendasar dengan penulis lain. Sekalipun ada, hal itu
berada di luar sepengetahuan penulis dan substansinya jelas berbeda dengan substansi dari skripsi ini.
Pengangkatan permasalahan dalam skripsi ini juga murni merupakan hasil pemikiran penulis berdasarkan
problematika yang sering terjadi di kehidupan sekarang, maupun dari media-media yang pernah penulis
baca. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat dijadikan dasar bahwa skripsi ini merupakan hasil plagiat dari
karya ilmiah lain, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
I
12
F. Tinjauan Pustaka
Tinjauan kepustakaan dari skripsi ini berkisar tentang analisis dari dua undang-undang yang disebutkan di
atas, yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tinjauan kepustakaan yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
1. Anak
a. Definisi Anak
Secara umum dapat kita katakan bahwa anak merupakan seseorang yang lahir dari hasil perkawinan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, terlepas dari identitas anak itu dilahirkan di dalam
maupun di luar perkawinan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan juga bahwa
yang disebut sebagai anak adalah keturunan kedua.
Sementara definisi anak masih memiliki beberapa pengertian di dalam berbagai peraturan hukum di
Indonesia. Definisi anak diklasifikasikan menurut usia mereka. Bila usia mereka belum memenuhi
standar usia anak sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang terkait, maka mereka tidak dapat
dikatakan sebagai "anak". Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
contohnya dalam pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Atau dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang menyebutkan bahwa Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
I
13
mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Lain halnya
dalam Undang-Undang yang secara khusus akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu Undang-Undang SPPA,
dalam pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya
disebut Anak yaitu anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga
melakukan tindak pidana. Jadi definisi anak menurut Undang-Undang ini sudah secara spesifik
menyatakan bahwa pengertian anak itu adalah anak yang berkonflik dengan hukum. Tentu saja karena
substansi yang dibahas di dalamnya adalah seputar anak yang berhadapan dengan hukum.
Harus dibedakan pengertian anak dari segi kehidupan sehari-hari dengan segi kedudukan hukumnya. Di
mana kedudukan hukum seorang anak mencakup pengertian anak yang ditinjau dari sistem hukumnya.
Sama halnya seperti orang dewasa, bahwa anak juga merupakan subyek hukum. Namun pengertian
sebagai subyek hukum ini harus mendapatkan kekhususan, bahwa seorang anak itu harus dipandang
sebagai subyek hukum yang belum dewasa atau belum mampu. Perkembangan mental atau kejiwaan
mereka dianggap masih labil, terkhusus bagi anak yang melakukan tindak pidana. Namun lambat laun
kondisi fisik, mental ataupun kejiwaan seorang anak itu dapat berkembang melalui proses interaksi
dengan lingkungannya. Mereka akan dihadapkan dengan berbagai peristiwa hukum, baik itu dalam
hukum pidana maupun dalam hubungan kontrak, yang akhirnya melekatkan status subyek hukum itu pada
diri mereka.
Perlu juga diingat bahwa tingkat kematangan jiwa seseorang itu tidak hanya diukur berdasarkan faktor
usia saja, tetapi juga dari kemampuan dan
I
14
kematangan berpikir. Mengapa dikatakan demikian? Karena pada masa sekarang dengan mudah kita
temukan orang yang umurnya sudah masuk kategori dewasa, namun masih memiliki sifat seperti anak-
anak. Begitu juga sebaliknya. Sehingga uji kejiwaan itu memang sangat diperlukan.
Pada hakikatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana meliputi dimensi-dimensi
pengertian berikut ini3 :
1. Ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana
2. Pengembalian hak-hak anak yang timbul dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak yang timbul dari
lapangan hukum keperdataan, tata negara dengan maksud untuk mensejahterakan anak
3. Rehabilitasi, yaitu anak yang berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spiritual akibat dari
tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri
4. Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan
5. Hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.
b. Batas Usia Anak
Mengenai batas usia anak sebenarnya secara umum telah dijelaskan dalam uraian di atas. Penggolongan
definisi "anak" pada umumnya selalu dikaitkan dengan batas usia dari seorang anak, meskipun
pembatasan anak dari segi umurnya tidaklah selamanya tepat, karena kondisi umur seseorang
I

3 Maulana Hasan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Gramedia Wirasarana Indonesia,
Jakarta, 2000, hlm. 22.
15
dihubungkan dengan kedewasaan merupakan sesuatu yang bersifat semu dan relatif 4. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa dapat dijumpai anak yang dari segi kemampuannya masih terbatas, namun
dari segi usia sebenarnya anak tersebut telah dewasa. Sehingga para ahli psikologi beranggapan lain untuk
menentukan batas penggolongan "anak". Hal ini masih menjadi pertentangan antara ahli pidana dengan
ahli psikologi dalam penetapan batas usia pertanggungjawaban pidana.
Para ahli hukum, khususnya hukum pidana, lebih melihat seorang anak itu berdasarkan usianya. Batas
usia anak merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status
hukum, sehingga dalam dirinya ada peralihan status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek
hukum yang dinilai sudah dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan atau tindakan-
tindakan hukum yang dilakukan oleh anak tersebut.
Pembatasan usia anak menunjukkan suatu sinergi dalam pemberian definisi tentang anak. Definisi anak
sebagaimana dijelaskan di atas merupakan pemahaman secara komprehensif. Namun, untuk menentukan
batas usia dalam hal definisi anak, maka kita akan mendapatkan berbagai macam batasan usia anak
mengingat beragamnya definisi batasan usia anak dalam beberapa undang-undang, misalnya :
1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan
dan 19 tahun bagi laki-laki.
7
M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 9.

4 Marlina, Op. Cit, hlm. 36.


16
2. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, mendefinisikan anak berusia 21 tahun dan belum
pernah kawin.
3. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara
anak nakal telah berusia 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.
4. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin.
5. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, membolehkan usia bekerja 15 tahun.
Dari beragam pengertian di atas, pada akhirnya timbul disharmonisasi dari definisi anak dalam penetapan
batas usia anak menurut peraturan perundang-undangan yang satu dengan perundang-undangan yang lain.
Sehingga, pada praktiknya di lapangan, akan banyak kendala yang terjadi akibat perbedaan tersebut 5.

5 Pasal 330 KUH Perdata: "Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak
lebih dulu telah kawin.
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam
kedudukan belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di
bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur di dalam bagian ketiga, keempat, kelima, dan keenam bab ini."
Penentuan arti istilah "belum dewasa" yang dipakai dalam beberapa peraturan perundang-undangan terhadap bangsa Indonesia.
Berdasarkan ordonatie 31 Januari 1931, L.N. 1931-1954, untuk menghilangkan segala keragu-raguan yang timbul karena
ordonatie 21 September 1917, L.N. 1917-1938, dengan mencabut ordonatie ini ditentukan sebagai berikut : 1. Apabila peraturan
perundang-undangan memakai istilah "belum dewasa" maka, sekadar mengenai bangsa Indonesia, dengan istilah itu yang
dimaksudkan : segala orang yang belum mencapai umur dua puluh tahun dan tidak lebih dulu telah kawin.
2. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mulai dua puluh satu tahun, maak tidaklah mereka kembali lagi dalam istilah
"belum dewasa". Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk perkawinan anak-anak"
17
Bila menilik dari hukum nasional kita, bahwa penetapan batas usia anak dalam definisi anak, dapat
ditinjau dari beberapa dimensi hukum nasional kita, di antaranya:
1. Menurut ketentuan Hukum Pidana
Beberapa spesifikasi pembatasan usia anak menurut ketentuan hukum pidana antara lain:
a. Dalam ketentuan KUHP, batas usia anak yang disebutkan dalam pasal 45, 46, dan 47 dinyatakan
dicabut dan tidak berlaku lagi. Secara implisit batas usia anak dalam pengertian pidana telah dirumuskan
secara jelas dalam ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang-Undang SPPA yang menyatakan : Anak yang
berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)
tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
b. Ketentuan lain misalnya dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, usia anak
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak
paling lama sampai berumur 18 tahun.
I
18
2. Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik
dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.
3. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan
untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.
2. Menurut ketentuan Hukum Perdata
Beberapa contoh dapat diambil, misalnya :
a. Dalam pasal 330 KUH Perdata digunakan istilah anak dengan belum dewasa, yaitu mereka yang belum
mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
b. Sementara dalam pasal 7 ayat 1, pasal 47 ayat 1, pasal 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dikatakan bahwa batas usia dikategorikan seorang anak yaitu perkawinan yang hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun. Artinya bahwa anak-anak yang masih di bawah batas usia seperti ditentukan di atas masih
dikategorikan sebagai anak, sehingga belum dapat melakukan perkawinan. Dikatakan lagi bahwa anak
yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya, dan dalam pasal selanjutnya
disebutkan pengaturan khusus bahwa anak yang belum
19
berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan tersebut, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
3. Menurut ketentuan Hukum Adat
Batas usia anak menurut ketentuan hukum adat dapat didefinisikan secara umum. R. Soepomo
menyatakan bahwa ciri-ciri ukuran kedewasaan adalah sebagai berikut :
a. Dapat bekerja sendiri
b. Cakap dan bertanggungjawab dalam masyarakat
c. Mengurus harta kekayaan sendiri
d. Telah menikah
e. Berusia 21 tahun
Pengelompokan batas usia maksimum anak bergantung dari kepentingan hukum anak yang bersangkutan.
Yang terpenting untuk digolongkan bahwa usia seorang anak, yaitu 0 (nol) tahun batas penuntutan 8
(delapan) tahun sampai dengan batas atas 18 tahun dan belum pernah kawin.
c. Hak dan Kewajiban Anak 1) Hak Anak
Anak merupakan cerminan dari kehidupan bangsa. Anak merupakan pembawa dan penerus cita-cita
bangsa. Sehingga baik buruknya masa depan bangsa bergantung pada baik buruknya kondisi anak pada
saat ini. Hal-hal yang
I
20
termasuk dalam hak asasi manusia (HAM) juga melekat pada diri setiap anak bangsa. Hak asasi manusia
merupakan hak yang melekat pada setiap manusia sejak ia dilahirkan, yang mencerminkan martabatnya,
yang harus memperoleh jaminan hukum, sebab hak-haknya hanya dapat efektif apabila hak-hak tersebut
dilindungi oleh hukum.Anak merupakan kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Hak asasi
manusia menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang merupakan pencerminan hakikat manusia
sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan makhluk Tuhan, yang harus dihormati dan dijamin oleh hukum 6.
Hak untuk hidup, kemerdekaan berpikir dan berpendapat, hak untuk menentukan dan memilih jalan
hidupnya sendiri, merupakan beberapa contoh dari hak asasi manusia yang juga dapat dimiliki oleh anak.
Namun terlepas dari hakikatnya sebagai manusia, hak-hak anak juga mendapatkan pengaturan khusus
yang harus dibedakan dari hak-hak orang dewasa. Hal ini dikarenakan, seperti telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa anak itu dianggap kondisi kejiwaan maupun cara berpikirnya masih labil, sehingga
belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri. Dan seiring perkembangan anak itu
sendiri, anak yang bertumbuh dan berkembang nantinya menjadi manusia dewasa, tentunya memiliki hak
dan kewajiban yang senantiasa berubah pula sesuai dengan perkembangan fisik dan psikisnya.
Seorang anak, dengan kemampuan dan pengalamannya yang masih terbatas, dalam pemenuhan hak-
haknya tidak dapat menjalankannya sendiri

6 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama,
Bandung, cetakan ketiga, 2013, (selanjutnya disingkat Maidin Gultom I), hlm. 8.
21
melainkan masih memerlukan bantuan dan bergantung pada orang dewasa, khususnya dalam lingkungan
sejak anak itu dilahirkan. Inilah yang menjadi peran penting bagi sebuah keluarga, terutama peran orang
tua, sebagai elemen terkecil dan paling utama bagi seorang anak itu untuk tumbuh dan berkembang
dengan baik. Dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945 ditetapkan bahwa "Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi". Dari penjelasan dalam batang tubuh konstitusi tersebut, jelaslah bahwa kedudukan dan
perlindungan terhadap hak-hak anak merupakan hal penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan
dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Secara umum kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, hak-hak anak itu dapat dirumuskan secara umum,
tidak dominan mengarah pada perlindungan akan hak-hak hukumnya, seperti berhak mendapatkan
pendidikan yang layak, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak mengeluarkan pendapat, dan lain-lain.
Pada tanggal 20 November 1989 diadakan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mensahkan
Convention On The Rights of The Child (Kovensi tentang Hak-Hak Anak/KHA). Lebih lanjut pengaturan
hak-hak anak di Indonesia saat ini juga diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi
Hak-Hak Anak7. Undang-Undang Perlindungan Anak, dalam pasal 1 butir 12 menyatakan bahwa hak
anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua,
keluarga,
I

7 M. Nasir Djamil,Op. Cit, hlm. 12.


22
masyarakat, pemerintah dan negara. Dan undang-undang ini sendiri merupakan bentuk konkretisasi dari
pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden
No. 36 Tahun 1990. Maka sejak tahun 1990 Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan
ketentuan yang termaktub dalam Konvensi tersebut.
Konvensi PBB yang dimaksud di antaranya memuat 10 asas tentang hak-hak anak, yaitu 8:
1. Anak berhak menikmati semua haknya sesuai ketentuan yang terkandung dalam deklarasi ini. Setiap
anak tanpa pengecualian harus dijamin hak-haknya tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, kebangsaan, tingkatan sosial, kaya miskin, kelahiran atau
status lain, baik yang ada pada dirinya maupun pada keluarganya.
2. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh kesempatan yang dijamin oleh
hukum dan sarana lain, agar menjadikannya mampu untuk mengembangkan diri secara fisik, kejiwaan,
moral, spiritual, dan kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai dengan kebebasan dan
harkatnya. Penuangan tujuan itu ke dalam hukum, kepentingan terbaik atas diri anak harus merupakan
pertimbangan utama.
3. Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan.
I

8 Lihat Mukadimah Konvensi Hak-Hak Anak


23
4. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh kembang secara sehat.
5. Anak yang cacat fisik, mental, dan lemah kedudukan sosialnya akibat keadaan tertentu harus
memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus.
6. Agar kepribadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia memerlukan kasih sayang dan
pengertian.
7. Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-Cuma sekurang-kurangnya di tingkat sekolah
dasar.
8. Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima perlindungan dan pertolongan.
9. Anak harus dilindungi dari segala bentuk kealpaan, kekerasan, penghisapan. Mereka tidak boleh
dijadikan subyek perdagangan, tidak boleh bekerja sebelum usia tertentu atau dilibatkan dalam pekerjaan
yang dapat merugikan kesehatan dan pendidikannya maupun yang dapat mempengaruhi perkembangan
tubuh, jiwa, dan akhlaknya.
10. Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi sosial, agama, dan
lain-lain.
2) Kewajiban Anak
Ada hak tentu ada kewajiban. Tidak disarankan setiap manusia hanya akan menuntut haknya tanpa
melaksanakan kewajibannya. Karena harus ada keseimbangan antara hak dengan kewajiban, sehingga
keduanya dapat berjalan
I
24
beriringan. Begitu juga akan kewajiban dari seorang anak. Mengapa kewajiban perlu dilakukan oleh
seorang anak? Karena tidaklah mungkin anak itu akan menjadi seorang anak yang berakhlak baik jika ia
hanya menuntut pemenuhan akan hak-haknya saja, sementara kewajibannya sendiri sering diabaikan. Jadi
dapat dikatakan bahwa pemenuhan kewajiban merupakan salah satu cara untuk membimbing anak ke
arah yang lebih baik.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 19 merumuskan, bahwa
setiap anak berkewajiban untuk :
a) Menghormati orang tua, wali,, dan guru;
b) Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c) Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Pelaksanaan terhadap kewajiban anak merupakan tugas kita semua. Baik keluarga, lingkungan,
pemerintah bahkan instansi-instansi terkait harus dapat menyokong, memberikan dukungan dan motivasi
bagi anak agar dapat menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.
2. Bantuan Hukum
a. Definisi Bantuan Hukum
Dalam pasal 3 huruf c Undang-Undang SPPAdinyatakan bahwa setiap anak dalam proses peradilan
berhak untuk memperoleh bantuan hukum dan
25
bantuan lain secara efektif. Dalam pasal 3 huruf k juga dinyatakan bahwa anak berhak memperoleh
advokasi sosial. Pemberian bantuan hukum merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap anak
dalam mengikuti proses beracara di pengadilan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 23 ayat (1) yang
berbunyi : "Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh
Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan".
Di Indonesia telah diterbitkan Undang-Undang Bantuan Hukum terbaru, yaitu Undang-Undang No. 16
Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (selanjutnya disebut Undang-Undang Bantuan Hukum). Menurut
pasal 1 angka 1 Undang-Undang ini, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi
Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Hak atas bantuan hukum telah
diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
(International Covenant
12
on Civil and Political Rights (ICCPR)) .
13
Negara Indonesia adalah negara hukum . Meskipun tidak ada penegasan secara jelas bahwa bantuan
hukum merupakan tanggung jawab negara, namun karena konstitusi kita berkata demikian, maka setiap
negara hukum pasti mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu, termasuk dalam
pemberian bantuan hukum. Hal ini menjadi prioritas negara hukum dalam
12
Lihat Penjelasan Ketentuan Umum UU No. 16 Tahun 2011:
"Pasal 16 dan pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari
segala bentuk diskriminasi. Sedangkan pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu : 1)
kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat".
13
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
I
26
mewujudkan suatu perubahan yang berasaskan sosial berkeadilan. Negara hukum harus mencapai
kebenaran dan keadilan yang hakiki dalam perwujudan sistem hukum yang digunakannya, sehingga
pemberian bantuan hukum menjadi hal yang wajib.
Profesi Advokat merupakan Pemberi Bantuan Hukum yang sudah sering kita dengar. Pasal 1 angka 1
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Advokat
adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Advokat menjalankan tugas
profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan,
termasuk memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum.
Profesi Advokat disini mempunyai peran sentral terhadap penegakan supremasi hukum, di samping
lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
Bila kita kembalikan dalam konsep mengenai perlindungan anak, maka pemberian bantuan hukum
merupakan hak yang wajib diberikan bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini sebagai wujud
perlindungan terhadap hak-hak anak. Perlu diingat ketentuan bahwa seorang Advokat atau pemberi
bantuan hukum lain harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan agar suasana
kekeluargaan tetap terjaga. Karena proses beracara di Peradilan Anak tentunya akan berbeda dengan
proses beracara di Peradilan Umum. Anak tidak boleh tertekan, tidak boleh semakin menurunkan
mentalnya untuk berproses di pengadilan.
I
27
b. Tujuan Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Indonesia
Secara umum dirumuskan bahwa tujuan penyelenggaraan bantuan hukum adalah untuk mencapai
keadilan tanpa adanya diskriminasi terhadap tersangka. Pengaturan lebih lanjut disebutkan dalam pasal 3
Undang-Undang Bantuan Hukum, bahwa penyelenggaraan bantuan hukum bertujuan untuk :
a. Menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan;
b. Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di
dalam hukum;
c. Menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia; dan
d. Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Keempat hal di atas menjadi kunci dari penyelenggaraan bantuan hukum karena keempat hal itulah yang
dianggap masih lemah oleh pembuat Undang-Undang ini. Banyaknya masalah di peradilan yang memicu
kontroversi dalam penanganannya menjadikan status Indonesia sebagai negara hukum semakin melemah,
sehingga diperlukan pengaturan lebih tegas.
Setiap orang yang berhadapan dengan hukum harus dijunjung tinggi hak-haknya dalam mengikuti proses
peradilan pidana. Setiap individu harus memperoleh jaminan perlindungan atas dirinya. Kebenaran yang
hakiki tidak dapat tercapai apabila administrasi peradilan pidana tidak berjalan dengan baik.
I
28
Orang yang bersalah harus benar-benar dihukum, tanpa mengesampingkan hak-hak mereka. Dan yang
tidak terbukti bersalah harus dibebaskan. Salah satu cara menemukan kebenaran yang hakiki yaitu dengan
pemberian bantuan hukum yang dimaksud. Semua proses harus berjalan dengan baik. Oleh sebab itu
pencaharian fakta atau menemukan kebenaran hakiki merupakan salah satu tujuan pokok administrasi
peradilan pidana9.
3. Peradilan Anak
a. Pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Seperti telah diuraikan sebelumnya dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang SPPA, bahwa Anak yang
berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)
tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Pengertiannya harus dibedakan dengan Anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam pasal 1 angka 2
dijelaskan bahwa Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum,
anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Secara luas bahwa
anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, dituduh, atau terbukti melanggar
ketentuan hukum pidana. Berkonflik dengan hukum berarti anak tersebut berurusan dengan hukum,
mengikuti proses hukum akibat kenakalan yang dilakukannya.
I

9Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, CV. Armico, Bandung, 1984, hlm. 15.
29
Undang-Undang Pengadilan Anak terdahulu masih menggunakan istilah Anak nakal, di mana dalam pasal
1 angka 2 dinyatakan bahwa Anak nakal adalah : a) anak yang melakukan tindak pidana, atau b) anak
yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-
undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Sebenarnya ketentuan tersebut telah bertentangan dengan asas legalitas karena peraturan
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan juga turut dimasukkan ke dalam
kategori pidana. Sebagai contoh bahwa anak nakal menurut hukum adat bisa saja ditangani melalui
Pengadilan Anak. Sehingga berakibat dapat terjadi pengkriminalisasian kenakalan anak, padahal belum
tentu ia sesuai dengan konsep hukum pidana yang kita anut 10.
Dari istilah anak nakal kemudian muncul istilah kenakalan anak atau yang sering disebut "juvenile
delinquency". Delinkuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan
hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat11. Sehingga dapat disimpulkan bahwa juvenile delinquency
berarti tingkah laku anak yang melanggar norma hukum dalam masyarakat. Terdapat banyak pengertian
dari kenakalan anak. Romli Atmasasmita, contohnya, mengatakan bahwa delinquency adalah suatu
tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu

10M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 33.


11 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Aamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1991, hlm. 219.
30
17
sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela . Sementara definisi juvenile
delinquency menurut beliau adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18
tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta
dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan. Berbeda dengan Fuad Hassan
yang menyatakan bahwa juvenile delinquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh remaja,
yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan.
Perbedaan definisi delinkuensi mengakibatkan timbulnya kesulitan dalam penentuan macam-macam jenis
tingkah laku yang termasuk perbuatan delinkuen. Sementara banyaknya pengertian juvenile delinquency
menggambarkan bahwa terhadap pengertian juvenile delinquency tidak ada keseragaman . Artinya
definisi yang diberikan oleh setiap ahli tergantung dari sudut mana seseorang memandangnya.
b. Perlindungan Anak dan Peradilan Anak
1) Perlindungan Anak
Perlindungan anak merupakan salah satu wujud hak yang harus diterima anak, terutama anak yang sedang
berkonflik dengan hukum. Anak harus mendapatkan perlindungan agar segala kepentingannya dapat
terlaksana. Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu
17
Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak dan Remaja, Armico, Bandung, 1984,
hlm. 23.
18
Marlina, Op. Cit, hlm. 41.
I
31
atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemerintah) 12. Hak untuk mendapatkan perlindungan ini berhak
diperoleh oleh semua anak tanpa terkecuali. Hal ini didasarkan karena anak adalah masa depan bangsa
dan penerus cita-cita bangsa.
20
"Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara" . Sejak dahulu Konstitusi kita sendiri sudah
menyatakan demikian. Seyogyanya seorang anak harus dipelihara dan mendapatkan perlindungan agar
mempunyai kesempatan yang luas untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar dan baik secara rohani,
jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam
berbagai kedudukan dan peranan, yang
21

menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari 13.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, dalam pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sementara itu, perlindungan khusus dapat
diberikan bagi anak yang sesuai dengan konsep judul skripsi ini, yaitu anak yang berkonflik dengan
hukum. Hal ini dipertegas selanjutnya dalam pasal 1 angka 15 Undang-Undang Perlindungan Anak yang
menyatakan bahwa perlindungan khusus adalah perlindungan yang dapat diberikan kepada anak dalam
situasi darurat, anak yang berhadapan dengan
2Pasal 34 UUD 1945
I

12 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, PT. Refika Aditama, Bandung, cetakan kedua, 2013,
(selanjutnya disingkat Maidin Gultom II), hlm. 69.
13Maidin Gultom I,Op. Cit, hlm. 33.
32
hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau
seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan
salah dan penelantaran.
22

Dasar-dasar perlindungan anak adalah :


a) Dasar filosofis. Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat,
bernegara, dan berbangsa, dan dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.
b) Dasar etis. Pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk
mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam
pelaksanaan perlindungan anak.
c) Dasar yuridis. Pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peratura
perundang-undangan lainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu
penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang
berkaitan.
Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-
hak anak, pertama-tama
22
Maidin Gultom II, Op. Cit, hlm. 70.
I
33
didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent, di
samping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dala pertumbuhan dan
perkembangannya, baik rohani, jasmani maupun
23
sosial14. Dari berbagai macam peraturan yang ada, maka secara yuridis, Indonesia telah berupaya secara
maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap hak anak. Yang dibutuhkan kemudian adalah
implementasi dari berbagai macam peraturan yang sudah ada yang tentunya menjadi tugas dan
kewenangan dari
24
eksekutif .
2) Peradilan Anak
Berbicara mengenai peradilan, maka sangat besar kaitannya dengan proses beracara di pengadilan, yaitu
dengan ketentuan-ketentuan hukum acara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peradilan yaitu segala
sesuatu mengenai perkara pengadilan. Dan mengenai perkara yang dimaksud, apakah menyangkut
perkara pidana, perdata ataupun tata usaha negara, harus diselesaikan menurut hukum acara masing-
masing. Peradilan juga merupakan tempat mencari keadilan dalam menyelesaikan masalah-masalah
tentang hak dan kewajiban seseorang menurut hukum. Secara yuridis peradilan merupakan kekuasaan
kehakiman yang
25
berbentuk badan peradilan 15 . Peradilan secara sosiologis berperan sebagai lembaga kemasyarakatan
harus dapat mencapai aspek tertinggi dari segala aspek nilai dalam hubungan antara manusia dan
masyarakat, yaitu nilai keadilan.
24
M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 29.
I

14Maidin Gultom I, Op. Cit, hlm. 35.


15Maidin Gultom I, Op. Cit, hlm. 66.
34
Peradilan Anak merupakan badan peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Dikatakan
demikian karena Peradilan Anak bukan merupakan pengadilan khusus yang berdiri sendiri, melainkan
suatu pengkhususan di lingkungan Peradilan Umum dengan kualifikasi perkara sama jenisnya dengan
yang dilakukan oleh orang dewasa, yaitu melanggar ketentuan dalam KUHP. Hanya saja penanganan
maupun cara berprosesnya di pengadilan harus dibedakan dari orang dewasa. Penempatan kata "anak"
dalam Peradilan Anak menunjukkan batasan atas perkara yang ditangani oleh Badan Peradilan yaitu
perkara anak16. Selain itu sebagai penegasan kekhususan untuk membedakan dengan sistem peradilan
pidana dewasa. Keadilan yang akan diwujudkan harus dilakukan dengan memperhatikan kepentingan dan
kebutuhan anak. Hak-hak anak harus dijunjung tinggi. Kesejahteraan anak adalah hal utama yang harus
diwujudkan. Peradilan Anak melibatkan anak dalam proses hukum sebagai subyek tindak pidana dengan
tidak mengabaikan hari depan anak tersebut, dan menegakkan wibawa hukum sebagai pengayoman,
pelindung serta menciptakan iklim yang tertib untuk
27
memperoleh keadilan .
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan
kejahatan dengan mempergunakan dasar
28
"pendekatan sistem" . Pasal 1 angka lUndang-Undang SPPA menyatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana
Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap
penyelidikan sampai dengan
2
8 Maidin Gultom \\,Op. Cit, hlm. 192. 28 M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 44.

16Ibid., hlm. 74.


35
tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Diundangkannya peraturan baru tentang sistem peradilan
pidana anak yang menggantikan Undang-Undang Pengadilan Anak terdahulu menyebabkan tata cara
persidangan maupun penjatuhan hukuman dilaksanakan berdasarkan ketentuan undang-undang yang
baru.
c. Tujuan Peradilan Anak
Pasal 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan : "Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia". Perlu digarisbawahi kata
"menegakkan hukum" dan "keadilan". Kedua kata di atas adalah kunci utama dari fungsi peradilan.
Negara Indonesia adalah negara hukum. Sistem hukum harus beroperasi dengan baik agar hukum dapat
ditegakkan dan keadilan dapat dicapai. Hakim, berkedudukan sebagai pengadil dalam suatu perkara,
harus melalui mekanisme yang tepat sebelum pengambilan keputusan agar tidak ada pihak yang merasa
dirugikan atas putusan tersebut. Hakim dalam hal mengadili, harus menegakkan kembali hukum yang
dilanggar sebagai konsekuensi kedudukannya sebagai penegak hukum.
Salah satu usaha penegakan hukum itu adalah melalui Peradilan Anak, sebagai suatu usaha perlindungan
anak untuk mendidik anak tanpa mengabaikan
I
36
29
tegaknya keadilan . Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang SPPA menyatakan : "Sistem Peradilan Pidana Anak
mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif". Keadilan Restoratif tidak menggunakan pembalasan
sebagai dasar pemidanaan. Salah satu upayanya adalah diversi. Ketentuan pasal 1 angka 7 kemudian
menjelaskan bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke
proses di luar peradilan pidana. Artinya bahwa segala proses peradilan hanya akan dilakukan apabila
sudah tidak dapat dicapai lagi perdamaian antara kedua belah pihak, baik pelaku maupun korban yang
terkait. Dengan kata lain, peradilan merupakan jalan terakhir bagi penyelesaian perkara. Hal inilah yang
menjadi tujuan utama dari Sistem Peradilan Pidana Anak, yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bab
selanjutnya.
Apabila perdamaian memang sudah tidak dapat dicapai, maka peradilan adalah jalan terakhir. Segala
proses harus diikuti. Dan dalam hal ini, secara
30
khusus peran Peradilan Anak meliputi :
a. Badan Peradilan sebagai sarana pendidikan dalam hal ikut serta dalam membentuk kepribadian anak
melalui keputusan atau penetapan hakim. Pendidikan yang dimaksud adalah bagi pelanggar-pelanggar
usia muda;
b. Badan Peradilan berkewajiban memberikan perlindungan bagi pelanggar-pelanggar muda dalam proses
Peradilan dari tindakan-tindakan dan perlakuan-perlakuan yang merugikan demi kepentingan anak;
30 Maidin Gultom I, Op. Cit, hlm. 77.
30
http://rendy dw.blog.com/2008/05/16/peradilan anak di indonesia/ , diakses tanggal 17 Februari 2015, pkl: 22.05 WIB
37
c. Badan Peradilan harus melakukan pengawasan dan bimbingan dalam tindak lanjut dalam putusannya,
demi hari depan pelanggar-pelanggar muda.
Ketiga hal tersebut jelas menegaskan bahwa kesejahteraan anak harus dapat dicapai. Terdapat tujuan
untuk mendidik kembali, memperbaiki sikap dan perilaku anak tersebut agar ia dapat meninggalkan
perilaku buruk yang selama ini dilakukan. Artinya bahwa bukan soal penjatuhan pidana saja yang
diutamakan, akan tetapi harus melihat juga hak-hak dan masa depan anak yang harus dilindungi dalam
perannya sebagai generasi penerus bangsa.
G. Metode Penelitian
Suatu penelitian tidak dapat berjalan secara terarah apabila tidak ada metode yang digunakan di
dalamnya. Maka metode penelitian disini diperlukan, sekaligus sebagai pertanggungjawaban secara
ilmiah. Dalam skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan penelitian
Penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum kepustakaan dengan
cara meneliti bahan-bahan kepustakaan dan bahan-bahan sekunder.
I
38
2. Jenis Data dan Sumber Data
Karena penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, maka pengerjaannya
menggunakan data-data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang tidak didapat
secara langsung dari obyek penelitian. Data sekunder yang digunakan di antaranya :
a) Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antara lain :
i. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
ii. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
iii. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
iv. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
v. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
vi. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
vii. Undang-Undang SPPA;
viii. Undang-Undang Bantuan Hukum.
b) Bahan-bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer,
seperti buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel terkait, laporan-laporan dan
sebagainya, yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.
c) Bahan-bahan hukum tersier, merupakan bahan penunjang dalam memberikan informasi tentang bahan
primer dan sekunder. Contohnya
I
39
seperti abstrak perundang-undangan, direktori pengadilan, ensiklopedi hukum, kamus hukum, dan lain-
lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui teknik studi pustaka dan juga literatur media
elektronik, yaitu internet. Data diperoleh dengan mengumpulkan, memadukan, menafsirkan dan
membandingkan artikel-artikel tersebut yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas.
4. Analisis Data
Pada penelitian hukum normatif dilakukan penelaahan data sekunder, dan biasanya data yang disajikan
berikut dengan analisanya . Metode analisis data yang dilakukan adalah analisa kualitatif, yaitu dengan :
a) Pengumpulan bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang relevan dengan permasalahan yang akan
dibahas
b) Pemilahan terhadap bahan-bahan hukum yang relevan tersebutagar sesuai dengan masing-masing
permasalahan
c) Pengolahan dan penginterpretasian data untuk menarik kesimpulan dari permasalahan
d) Pemaparan kesimpulan, dalam hal ini kesimpulan kualitatif, yang dituangkan ke dalam bentuk
pernyataan dan tulisan.
31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Depok, 1994, hlm. 69.
I
40
H. Sistematika Penulisan
Pembahasan dan penyajian suatu penelitian harus teratur agar tercipta karya ilmiah yang baik. Skripsi ini
dibagi dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena isi dari skripsi ini berhubungan
antara bab yang satu dengan bab yang lain.
Skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab yang disusun secara sistematis untuk menguraikan masalah yang
akan dibahas dengan urutan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat
Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.
BAB II KETENTUAN PENGATURAN BANTUAN HUKUM DAN
PERADILAN ANAK SEBELUM DAN SETELAH LAHIRNYA
UNDANG-UNDANG BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN
PIDANA ANAK DI
INDONESIA
Pada bab ini dikemukakan bagaimana perkembangan pengaturan dalam pemberian bantuan hukum dan
sistem peradilan anak itu, sebelum dan setelah diundangkannya Undang-Undang Bantuan Hukum dan
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bab
I
41
ini juga sekaligus akan mengupas sejarah pembentukan kedua Undang-Undang tersebut.
BAB III ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NOMOR 16
TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUMDAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012
TENTANG SISTEM
PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK
SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
Pada bagian pertama bab ini akan dibahas tentang analisa yuridis Undang-Undang Bantuan Hukum,
mulai dari sejarah pengundangannya, siapa saja yang disebut pemberi dan penerima bantuan hukum, serta
bagaimana prosedur pemberian bantuan hukum bagi penerima bantuan hukum menurut ketentuan
undang-undang tersebut.
Pada bagian kedua akan dibahas analisa yuridis Undang-Undang SPPA, mulai dari sejarah terbentuknya,
bentuk perlindungan hukum terhadap anak, hingga pengembangan konsep diversi dan restorative justice
yang menjadi tujuan utama dari pembuatan undang-undang tersebut.
Pada bagian ketiga merupakan inti dari judul yang penulis angkat, yaitu pembahasan mengenai pemberian
bantuan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana.
I
42
BAB IV PENUTUP
Pada bab terakhir ini akan dikemukakan kesimpulan pembahasan dari bab pertama hingga bab terakhir
penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini. Paling akhir adalah saran dari
penulis dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.
I

Anda mungkin juga menyukai