BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara yang maju dan berkembang tentu memiliki sumber daya yang dapat diandalkan pula. Termasuk
dalam hal sumber daya manusia. Tidak hanya manusia dewasa, tetapi juga anak-anak. Anak adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari sumber daya manusia itu sendiri. Akan lebih baik dan lebih efektif apabila
pengelolaan sumber daya manusia itu dimulai dari anak-anak, karena anak masih akan terus berkembang,
baik dari segi fisik, psikis, maupun kemampuan berpikirnya. Negara yang maju juga pasti peduli terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai generasi bangsa, penerus cita-cita bangsa. Sehingga
muncul upaya untuk memberikan perlindungan dan bimbingan terhadap anak tersebut agar dapat menjadi
pribadi yang dicita-citakan, yang dapat memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan negaranya.
Namun pada kenyataannya, anak selalu dianggap sepele oleh orang dewasa. Kewajiban mereka selalu
dituntut, tanpa memperhatikan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, sehingga hak-hak mereka
seringkali terabaikan. Padahal pembinaan dan perlindungan yang baik terhadap anak akan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik, mental, dan sosialnya kelak. Ketiga elemen tersebut seharusnya
diperoleh anak secara seimbang, sehingga masa
I
2
depannya tidak berantakan, bahkan berpotensi untuk mewujudnyatakan cita-cita perjuangan bangsa yang
mungkin belum tercapai hingga sekarang.
Anak adalah anugerah Allah Yang Maha Kuasa sebagai calon generasi penerus bangsa yang masih dalam
masa perkembangan fisik dan mental 1. Tindakan sepele terhadap anak tak khayal juga membuat mereka
kerap melakukan tindakan melanggar hukum. Untuk itulah diperlukan kekuatan hukum di dalam tiap
kehidupan manusia. Hukum ada bukan hanya bagi mereka yang sudah dianggap dewasa, tapi berlaku bagi
seluruh kalangan manusia, tak terkecuali anak-anak. Namun diperlukan proses hukum secara khusus bagi
mereka anak-anak yang nyatanya berkonflik dengan hukum, agar mereka tidak mendapat perlakuan sama
seperti halnya orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Terutama harus dikhususkan dari segi
ketidakmampuan mereka bertanggungjawab. Anak-anak yang berkonflik dengan hukum seyogyanya
masih buta akan proses hukum yang harus mereka lalui. Hal ini mengakibatkan hak-hak mereka sering
direnggut oleh para pihak maupun instansi terkait yang tidak bertanggungjawab.
Orangtua merupakan komponen pertama yang bertanggungjawab penuh terhadap pertumbuhan,
perkembangan dan kesejahteraan kehidupan anak. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi dirinya
sendiri dari berbagai macam tindakan kejahatan yang menimbulkan kerugian fisik, mental, sosial dalam
berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu anak harus dibantu oleh orang lain,
1M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum (Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak), Sinar Grafika,
Jakarta, cetakan kedua, 2013, hlm. 1.
3
khususnya dalam memperoleh bantuan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang asing bagi
dirinya, namun tetap harus diikuti untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Apabila kita melihat kerangka bernegara Indonesia, mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas
dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka pembinaan
terhadap anak merupakan bagian yang integral dalam upaya tersebut. Oleh karena itu, permasalahan-
permasalahan mengenai anak-anak "nakal" yang kemudian bermasalah secara hukum, maka harus
diselesaikan secara komprehensif dalam rangka melindungi hak anak agar mampu juga menjadi sumber
daya manusia Indonesia yang berkualitas sebagaimana telah disebutkan .
Adanya hukum yang terkait, yang diimplementasikan dengan berbagai peraturan tentang anak, telah
banyak diciptakan. Namun menelaah dari kehidupan sekarang, peraturan tersebut yang diharapkan
mampu memberikan perlindungan terhadap anak, nyatanya belum mampu direalisasikan dengan baik.
Nasib anak yang berkonflik dengan hukum masih menyedihkan, tidak seindah jika kita berbicara dengan
memposisikan mereka sebagai generasi penerus bangsa. Tidak hanya anak yang melakukan tindak pidana,
bahkan anak yang menjadi korban tindak pidana pun hak-haknya kerap terabaikan atau tidak ada yang
melindungi mereka dalam proses beracara di pengadilan, sehingga banyak di antara mereka merasa takut,
depresi, tertekan untuk berbicara kebenaran. Kondisi fisik dan
2
Ibid., hlm. 3.
I
4
mental yang demikian tentunya berdampak juga dalam proses beracara demi mencapai kebenaran dan
keadilan.
Namun berbicara mengenai pemidanaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, sebenarnya hal ini
merupakan alternatif terakhir menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang
terdahulu yang mengatur tentang anak, yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, lebih mengedepankan model retributive justice. Berbeda halnya dengan Undang-Undang SPPA
yang lebih mengedepankan konsep restorative justice, yaitu pemulihan ke kondisi semula, di mana proses
ini merupakan penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa
korban dan pelaku bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara . Dalam
pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran
yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya. Dalam konsep ini diusahakan jalan
perdamaian antara masing-masing pihak, sehingga pemidanaan merupakan jalan terakhir dengan
mendahulukan cara lain di luar pengadilan. Salah satunya adalah dengan cara diversi 2, yakni pengalihan
penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Anak yang
berkonflik dengan hukum diusahakan agar tidak sampai pada proses pengadilan. Oleh karena itu diversi
merupakan jalan yang tepat. Untuk itu, diversi haruslah diwajibkan dalam setiap penanganan anak yang
berkonflik dengan hukum.
3
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice), PT. Refika Aditama,
Bandung, cetakan kedua, 2012, hlm. 180.
3 Maulana Hasan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Gramedia Wirasarana Indonesia,
Jakarta, 2000, hlm. 22.
15
dihubungkan dengan kedewasaan merupakan sesuatu yang bersifat semu dan relatif 4. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa dapat dijumpai anak yang dari segi kemampuannya masih terbatas, namun
dari segi usia sebenarnya anak tersebut telah dewasa. Sehingga para ahli psikologi beranggapan lain untuk
menentukan batas penggolongan "anak". Hal ini masih menjadi pertentangan antara ahli pidana dengan
ahli psikologi dalam penetapan batas usia pertanggungjawaban pidana.
Para ahli hukum, khususnya hukum pidana, lebih melihat seorang anak itu berdasarkan usianya. Batas
usia anak merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status
hukum, sehingga dalam dirinya ada peralihan status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek
hukum yang dinilai sudah dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan atau tindakan-
tindakan hukum yang dilakukan oleh anak tersebut.
Pembatasan usia anak menunjukkan suatu sinergi dalam pemberian definisi tentang anak. Definisi anak
sebagaimana dijelaskan di atas merupakan pemahaman secara komprehensif. Namun, untuk menentukan
batas usia dalam hal definisi anak, maka kita akan mendapatkan berbagai macam batasan usia anak
mengingat beragamnya definisi batasan usia anak dalam beberapa undang-undang, misalnya :
1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan
dan 19 tahun bagi laki-laki.
7
M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 9.
5 Pasal 330 KUH Perdata: "Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak
lebih dulu telah kawin.
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam
kedudukan belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di
bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur di dalam bagian ketiga, keempat, kelima, dan keenam bab ini."
Penentuan arti istilah "belum dewasa" yang dipakai dalam beberapa peraturan perundang-undangan terhadap bangsa Indonesia.
Berdasarkan ordonatie 31 Januari 1931, L.N. 1931-1954, untuk menghilangkan segala keragu-raguan yang timbul karena
ordonatie 21 September 1917, L.N. 1917-1938, dengan mencabut ordonatie ini ditentukan sebagai berikut : 1. Apabila peraturan
perundang-undangan memakai istilah "belum dewasa" maka, sekadar mengenai bangsa Indonesia, dengan istilah itu yang
dimaksudkan : segala orang yang belum mencapai umur dua puluh tahun dan tidak lebih dulu telah kawin.
2. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mulai dua puluh satu tahun, maak tidaklah mereka kembali lagi dalam istilah
"belum dewasa". Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk perkawinan anak-anak"
17
Bila menilik dari hukum nasional kita, bahwa penetapan batas usia anak dalam definisi anak, dapat
ditinjau dari beberapa dimensi hukum nasional kita, di antaranya:
1. Menurut ketentuan Hukum Pidana
Beberapa spesifikasi pembatasan usia anak menurut ketentuan hukum pidana antara lain:
a. Dalam ketentuan KUHP, batas usia anak yang disebutkan dalam pasal 45, 46, dan 47 dinyatakan
dicabut dan tidak berlaku lagi. Secara implisit batas usia anak dalam pengertian pidana telah dirumuskan
secara jelas dalam ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang-Undang SPPA yang menyatakan : Anak yang
berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)
tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
b. Ketentuan lain misalnya dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, usia anak
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak
paling lama sampai berumur 18 tahun.
I
18
2. Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik
dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.
3. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan
untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.
2. Menurut ketentuan Hukum Perdata
Beberapa contoh dapat diambil, misalnya :
a. Dalam pasal 330 KUH Perdata digunakan istilah anak dengan belum dewasa, yaitu mereka yang belum
mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
b. Sementara dalam pasal 7 ayat 1, pasal 47 ayat 1, pasal 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dikatakan bahwa batas usia dikategorikan seorang anak yaitu perkawinan yang hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun. Artinya bahwa anak-anak yang masih di bawah batas usia seperti ditentukan di atas masih
dikategorikan sebagai anak, sehingga belum dapat melakukan perkawinan. Dikatakan lagi bahwa anak
yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya, dan dalam pasal selanjutnya
disebutkan pengaturan khusus bahwa anak yang belum
19
berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan tersebut, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
3. Menurut ketentuan Hukum Adat
Batas usia anak menurut ketentuan hukum adat dapat didefinisikan secara umum. R. Soepomo
menyatakan bahwa ciri-ciri ukuran kedewasaan adalah sebagai berikut :
a. Dapat bekerja sendiri
b. Cakap dan bertanggungjawab dalam masyarakat
c. Mengurus harta kekayaan sendiri
d. Telah menikah
e. Berusia 21 tahun
Pengelompokan batas usia maksimum anak bergantung dari kepentingan hukum anak yang bersangkutan.
Yang terpenting untuk digolongkan bahwa usia seorang anak, yaitu 0 (nol) tahun batas penuntutan 8
(delapan) tahun sampai dengan batas atas 18 tahun dan belum pernah kawin.
c. Hak dan Kewajiban Anak 1) Hak Anak
Anak merupakan cerminan dari kehidupan bangsa. Anak merupakan pembawa dan penerus cita-cita
bangsa. Sehingga baik buruknya masa depan bangsa bergantung pada baik buruknya kondisi anak pada
saat ini. Hal-hal yang
I
20
termasuk dalam hak asasi manusia (HAM) juga melekat pada diri setiap anak bangsa. Hak asasi manusia
merupakan hak yang melekat pada setiap manusia sejak ia dilahirkan, yang mencerminkan martabatnya,
yang harus memperoleh jaminan hukum, sebab hak-haknya hanya dapat efektif apabila hak-hak tersebut
dilindungi oleh hukum.Anak merupakan kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Hak asasi
manusia menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang merupakan pencerminan hakikat manusia
sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan makhluk Tuhan, yang harus dihormati dan dijamin oleh hukum 6.
Hak untuk hidup, kemerdekaan berpikir dan berpendapat, hak untuk menentukan dan memilih jalan
hidupnya sendiri, merupakan beberapa contoh dari hak asasi manusia yang juga dapat dimiliki oleh anak.
Namun terlepas dari hakikatnya sebagai manusia, hak-hak anak juga mendapatkan pengaturan khusus
yang harus dibedakan dari hak-hak orang dewasa. Hal ini dikarenakan, seperti telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa anak itu dianggap kondisi kejiwaan maupun cara berpikirnya masih labil, sehingga
belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri. Dan seiring perkembangan anak itu
sendiri, anak yang bertumbuh dan berkembang nantinya menjadi manusia dewasa, tentunya memiliki hak
dan kewajiban yang senantiasa berubah pula sesuai dengan perkembangan fisik dan psikisnya.
Seorang anak, dengan kemampuan dan pengalamannya yang masih terbatas, dalam pemenuhan hak-
haknya tidak dapat menjalankannya sendiri
6 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama,
Bandung, cetakan ketiga, 2013, (selanjutnya disingkat Maidin Gultom I), hlm. 8.
21
melainkan masih memerlukan bantuan dan bergantung pada orang dewasa, khususnya dalam lingkungan
sejak anak itu dilahirkan. Inilah yang menjadi peran penting bagi sebuah keluarga, terutama peran orang
tua, sebagai elemen terkecil dan paling utama bagi seorang anak itu untuk tumbuh dan berkembang
dengan baik. Dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945 ditetapkan bahwa "Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi". Dari penjelasan dalam batang tubuh konstitusi tersebut, jelaslah bahwa kedudukan dan
perlindungan terhadap hak-hak anak merupakan hal penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan
dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Secara umum kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, hak-hak anak itu dapat dirumuskan secara umum,
tidak dominan mengarah pada perlindungan akan hak-hak hukumnya, seperti berhak mendapatkan
pendidikan yang layak, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak mengeluarkan pendapat, dan lain-lain.
Pada tanggal 20 November 1989 diadakan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mensahkan
Convention On The Rights of The Child (Kovensi tentang Hak-Hak Anak/KHA). Lebih lanjut pengaturan
hak-hak anak di Indonesia saat ini juga diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi
Hak-Hak Anak7. Undang-Undang Perlindungan Anak, dalam pasal 1 butir 12 menyatakan bahwa hak
anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua,
keluarga,
I
9Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, CV. Armico, Bandung, 1984, hlm. 15.
29
Undang-Undang Pengadilan Anak terdahulu masih menggunakan istilah Anak nakal, di mana dalam pasal
1 angka 2 dinyatakan bahwa Anak nakal adalah : a) anak yang melakukan tindak pidana, atau b) anak
yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-
undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Sebenarnya ketentuan tersebut telah bertentangan dengan asas legalitas karena peraturan
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan juga turut dimasukkan ke dalam
kategori pidana. Sebagai contoh bahwa anak nakal menurut hukum adat bisa saja ditangani melalui
Pengadilan Anak. Sehingga berakibat dapat terjadi pengkriminalisasian kenakalan anak, padahal belum
tentu ia sesuai dengan konsep hukum pidana yang kita anut 10.
Dari istilah anak nakal kemudian muncul istilah kenakalan anak atau yang sering disebut "juvenile
delinquency". Delinkuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan
hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat11. Sehingga dapat disimpulkan bahwa juvenile delinquency
berarti tingkah laku anak yang melanggar norma hukum dalam masyarakat. Terdapat banyak pengertian
dari kenakalan anak. Romli Atmasasmita, contohnya, mengatakan bahwa delinquency adalah suatu
tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu
menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari 13.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, dalam pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sementara itu, perlindungan khusus dapat
diberikan bagi anak yang sesuai dengan konsep judul skripsi ini, yaitu anak yang berkonflik dengan
hukum. Hal ini dipertegas selanjutnya dalam pasal 1 angka 15 Undang-Undang Perlindungan Anak yang
menyatakan bahwa perlindungan khusus adalah perlindungan yang dapat diberikan kepada anak dalam
situasi darurat, anak yang berhadapan dengan
2Pasal 34 UUD 1945
I
12 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, PT. Refika Aditama, Bandung, cetakan kedua, 2013,
(selanjutnya disingkat Maidin Gultom II), hlm. 69.
13Maidin Gultom I,Op. Cit, hlm. 33.
32
hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau
seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan
salah dan penelantaran.
22