Anda di halaman 1dari 84

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan

Hukum, Pasal 1 (1) dinyatakan bahwa Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang

diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima

Bantuan Hukum. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang

miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri yang

menghadapi masalah hukum. Sedangkan dalam SEMA No. 10 Tahun 2010

tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, Pasal 27 dinyatakan bahwa yang

berhak mendapatkan jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah orang yang tidak

mampu membayar jasa advokat terutama perempuan dan anak-anak serta

penyandang disabilitas, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.1

Negara yang maju dan berkembang tentu memiliki sumber daya yang

dapat diandalkan pula. Termasuk dalam hal sumber daya manusia. Tidak hanya

manusia dewasa, tetapi juga anak-anak. Anak adalah bagian yang tidak

terpisahkan dari sumber daya manusia itu sendiri. Akan lebih baik dan lebih

efektif apabila pengelolaan sumber daya manusia itu dimulai dari anak-anak,

karena anak masih akan terus berkembang, baik dari segi fisik, psikis, maupun

kemampuan berpikirnya. Negara yang maju juga pasti peduli terhadap

pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai generasi bangsa, penerus cita-cita

bangsa. Sehingga muncul upaya untuk memberikan perlindungan dan bimbingan

1 http://www.pn-sarolangun.go.id/index.php/hak-hak-pokok-masyarakat/hak-
bantuan-hukum, diakses 12 September 2015.

1
terhadap anak tersebut agar dapat menjadi pribadi yang dicita-citakan, yang dapat

memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan negaranya.

Namun pada kenyataannya, anak selalu dianggap sepele oleh orang

dewasa. Kewajiban mereka selalu dituntut, tanpa memperhatikan hak-hak yang

seharusnya mereka dapatkan, sehingga hak-hak mereka seringkali terabaikan.

Padahal pembinaan dan perlindungan yang baik terhadap anak akan sangat

berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik, mental, dan sosialnya kelak. Ketiga

elemen tersebut seharusnya diperoleh anak secara seimbang, sehingga masa

depannya tidak berantakan, bahkan berpotensi untuk mewujudnyatakan cita-cita

perjuangan bangsa yang mungkin belum tercapai hingga sekarang.

Anak adalah anugerah Allah Yang Maha Kuasa sebagai calon generasi

penerus bangsa yang masih dalam masa perkembangan fisik dan mental 2.

Tindakan sepele terhadap anak tak khayal juga membuat mereka kerap melakukan

tindakan melanggar hukum. Untuk itulah diperlukan kekuatan hukum di dalam

tiap kehidupan manusia. Hukum ada bukan hanya bagi mereka yang sudah

dianggap dewasa, tapi berlaku bagi seluruh kalangan manusia, tak terkecuali

anak-anak. Namun diperlukan proses hukum secara khusus bagi mereka anak-

anak yang nyatanya berkonflik dengan hukum, agar mereka tidak mendapat

perlakuan sama seperti halnya orang dewasa yang melakukan tindak pidana.

Terutama harus dikhususkan dari segi ketidakmampuan mereka

bertanggungjawab. Anak-anak yang berkonflik dengan hukum seyogyanya masih

buta akan proses hukum yang harus mereka lalui. Hal ini mengakibatkan hak-hak

2 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum (Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan
Pidana Anak), Sinar Grafika, Jakarta, cetakan kedua, 2013, hlm. 1.

2
mereka sering direnggut oleh para pihak maupun instansi terkait yang tidak

bertanggungjawab.

Orangtua merupakan komponen pertama yang bertanggungjawab penuh

terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kesejahteraan kehidupan anak. Pada

hakikatnya anak tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari berbagai macam

tindakan kejahatan yang menimbulkan kerugian fisik, mental, sosial dalam

berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu anak harus dibantu oleh orang lain,

khususnya dalam memperoleh bantuan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak yang asing bagi dirinya, namun tetap harus diikuti untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Apabila kita melihat kerangka bernegara Indonesia, mewujudkan sumber

daya manusia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan

dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka pembinaan

terhadap anak merupakan bagian yang integral dalam upaya tersebut. Oleh karena

itu, permasalahan-permasalahan mengenai anak-anak "nakal" yang kemudian

bermasalah secara hukum, maka harus diselesaikan secara komprehensif dalam

rangka melindungi hak anak agar mampu juga menjadi sumber daya manusia

Indonesia yang berkualitas sebagaimana telah disebutkan3.

Adanya hukum yang terkait, yang diimplementasikan dengan berbagai

peraturan tentang anak, telah banyak diciptakan. Namun menelaah dari kehidupan

sekarang, peraturan tersebut yang diharapkan mampu memberikan perlindungan

terhadap anak, nyatanya belum mampu direalisasikan dengan baik. Nasib anak

3 Ibid., hlm. 3.

3
yang berkonflik dengan hukum masih menyedihkan, tidak seindah jika kita

berbicara dengan memposisikan mereka sebagai generasi penerus bangsa. Tidak

hanya anak yang melakukan tindak pidana, bahkan anak yang menjadi korban

tindak pidana pun hak-haknya kerap terabaikan atau tidak ada yang melindungi

mereka dalam proses beracara di pengadilan, sehingga banyak di antara mereka

merasa takut, depresi, tertekan untuk berbicara kebenaran. Kondisi fisik dan

mental yang demikian tentunya berdampak juga dalam proses beracara demi

mencapai kebenaran dan keadilan.

Namun berbicara mengenai pemidanaan terhadap anak yang berkonflik

dengan hukum, sebenarnya hal ini merupakan alternatif terakhir menurut Undang-

Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang terdahulu yang mengatur

tentang anak, yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

lebih mengedepankan model retributive justice. Berbeda halnya dengan Undang-

Undang SPPA yang lebih mengedepankan konsep restorative justice, yaitu

pemulihan ke kondisi semula, di mana proses ini merupakan penyelesaian

tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban

dan pelaku bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama

berbicara4. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada

pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai

tindakan yang telah dilakukannya. Dalam konsep ini diusahakan jalan perdamaian

antara masing-masing pihak, sehingga pemidanaan merupakan jalan terakhir

dengan mendahulukan cara lain di luar pengadilan. Salah satunya adalah dengan

4 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative
Justice), PT. Refika Aditama, Bandung, cetakan kedua, 2012, hlm. 180.

4
cara diversi5, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan

pidana ke proses di luar peradilan pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum

diusahakan agar tidak sampai pada proses pengadilan. Oleh karena itu diversi

merupakan jalan yang tepat. Untuk itu, diversi haruslah diwajibkan dalam setiap

penanganan anak yang berkonflik dengan hukum.

Apabila memang melalui diversi sama sekali tidak ditemukan jalan keluar,

maka barulah anak tersebut melalui proses di pengadilan.

Apabila memang harus menempuh proses beracara di pengadilan, maka

anak-anak yang berkonflik dengan hukum harus mendapatkan perlindungan yang

nyata. Sistem pemidanaan mereka harus dibedakan dengan sistem pemidanaan

orang dewasa. Sehingga diperlukan suatu peradilan khusus untuk menangani

mereka. Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan

Umum menyebutkan: "Di lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan

pengkhususan yang diatur dengan undang-undang". Dan Peradilan Pidana Anak

ini adalah salah satu realisasinya. Jadi setiap anak yang bermasalah dengan

hukum mengikuti proses beracara berdasarkan ketentuan Peradilan Anak.

Setiap anak itu juga berhak mendapatkan bantuan hukum sebagaimana

mestinya, tanpa adanya diskriminasi terhadap anak tersebut. Pemberian bantuan

hukum terhadap anak adalah hal penting yang harus dibahas, karena anak yang

terjerat dengan kasus hukum, sebenarnya belum memiliki kemampuan untuk

bertanggungjawab. Pengetahuan mereka akan proses beracara di pengadilan pun

masih sempit. Hal inilah yang harus ditinjau, bagaimana agar para pemberi

bantuan hukum dapat memberikan bantuan hukum berdasarkan asas-asas yang

5 M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 6.

5
tercantum dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak itu sendiri.

Peraturan menyangkut tentang anak sebenarnya telah banyak diterbitkan,

antara lain : Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak yang digantikan dengan Undang-Undang SPPA

(yang selanjutnya disebut Undang-Undang SPPA). Hal ini merupakan bukti

bahwa perhatian terhadap anak sebenarnya sudah ada sejak dulu. Substansi yang

diatur pun masih seputar anak. Namun penerapannya dianggap masih kurang

releven dengan kehidupan sekarang, sehingga undang-undang tersebut lambat

laun ditinggalkan dan digantikan dengan Undang-Undang baru, contohnya

Undang-Undang Pengadilan Anak yang dianggap sudah tidak dapat digunakan

lagi dan digantikan dengan Undang-Undang SPPA ini.

Anak sebagai pelaku tindak pidana akan mengalami proses hukum yang

identik dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Identik disini berarti

"hampir sama". Yang membedakannya hanyalah lama serta cara penanganannya.

Hal inilah yang menjadi kekhususan tersendiri. Dalam menangani kasus anak

dalam peradilan pidana anak, maka terlebih dahulu yang harus diperhatikan

adalah kedudukan anak tersebut sebagai seorang anak dengan semua sifat dan

ciri-cirinya yang khusus. Sehingga harus diutamakan perlindungan terhadap anak

tersebut dalam proses penanganannya, demi kesejahteraan dan kepentingan anak

tersebut.

6
Pemerintah melihat bahwa sistem peradilan anak yang selama ini

diterapkan dianggap belum mampu menjunjung tinggi hak-hak anak dalam

beracara di pengadilan dan kerap kali disalahgunakan oleh instansi terkait. Oleh

karena itu pemerintah berusaha memperbaiki sistem perlindungan hokum

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Hal inilah yang menjadi dasar

dikeluarkannya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini.

Dari sekian banyak problematika tentang anak yang terjadi di kehidupan

sekarang, ada beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan penulis. Bagaimana

sebenarnya pengaturan advokasi bantuan hukum dan peradilan anak sebelum dan

setelah lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak? Lalu bagaimana anak yang berkonflik dengan hukum itu

dapat diberikan bantuan hukum menurut Undang-Undang Bantuan Hukum

terbaru? Apakah ada sinergi antara Undang-Undang SPPA ini dengan Undang-

Undang Bantuan Hukum tersebut?

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menelitinya

dengan judul TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN BANTUAN HUKUM

TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU DAN KORBAN TINDAK PIDANA

yang diharapkan dapat menambah pengetahuan serta memecahkan problematika

yang terjadi di kehidupan sekarang ini menyangkut tentang anak. Selanjutnya

akan dibahas lebih lanjut pada bab-bab berikutnya dalam skripsi ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, adapun

permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:

7
1. Bagaimanakah pengaturan bantuan hukum terhadap anak Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia?

2. Bagaimanakah pemberian bantuan hukum terhadap anak sebagai pelaku dan

korban tindak pidana?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, adapun tujuan penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan bantuan hukum terhadap anak Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pemberian bantuan hukum terhadap anak sebagai pelaku

dan korban tindak pidana.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini di antaranya:

1. Manfaat Teoritis. Memberikan informasi-informasi pengetahuan tentang

hukum pada umumnya, bagaimana hukum itu bekerja dalam kehidupan

masyarakat, serta memberikan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum

pidana khususnya. Terlebih khusus lagi untuk menambah pengetahuan hukum

dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak-anak yang berkonflik

dengan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Skripsi ini

juga diharapkan mampu membuka jendela wawasan bagi setiap orang yang

mungkin ingin atau sedang mendalami pengetahuan mengenai Sistem

Peradilan Pidana Anak yang terbaru sejak digantikannya Undang-Undang

Pengadilan Anak terdahulu.

8
2. Manfaat Praktis. Penulisan skripsi ini dalam prakteknya diharapkan mampu

memberikan kontribusi pemikiran serta masukan-masukan yang membangun

bagi para aparat penegak hukum, khususnya yang berada dalam ruang lingkup

peradilan, yaitu hakim, jaksa, polisi, advokat maupun institusi-institusi lain

lain yang terkait, tak terkecuali bagi masyarakat umum dalam memberikan

bantuan atau perlindungan bagi anak-anak yang terjerat kasus hukum

sehingga dapat mewujudnyatakan penjaminan akan hak-hak anak

tersebut.Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat membuka nilai-nilai

keadilan yang selama ini mungkin tidak diterima oleh anak-anak yang

berkonflik dengan hukum pada umumnya, termasuk membuka pemikiran para

aparat penegak hukum agar melakukan tugas dan tanggungjawabnya secara

adil menurut hukum yang berlaku di negara kita tanpa ada diskriminasi

terhadap anak.

E. Keaslian Penelitian

Skripsi ini berjudul TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN

BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU DAN

KORBAN TINDAK PIDANA, belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di

Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Tomohon. Hal ini sesuai

dengan data yang ada di Perpustakaan Fakultas Hukum UKIT yang

menyatakan bahwa tidak ada judul yang sama dan tidak terlihat adanya

keterkaitan, sehingga skripsi ini dapat dipertanggngjawabkan secara moral dan

ilmiah.
F. Metode Penelitian

9
Suatu penelitian tidak dapat berjalan secara terarah apabila tidak ada

metode yang digunakan di dalamnya. Maka metode penelitian disini diperlukan,

sekaligus sebagai pertanggungjawaban secara ilmiah. Dalam skripsi ini, metode

penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan penelitian. Penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis

normatif yaitu penelitian hukum kepustakaan dengan cara meneliti bahan-

bahan kepustakaan dan bahan-bahan sekunder.

2. Jenis Data dan Sumber Data. Karena penulisan skripsi ini menggunakan

pendekatan yuridis normatif, maka pengerjaannya menggunakan data-data

sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang tidak didapat

secara langsung dari obyek penelitian. Data sekunder yang digunakan di

antaranya:

a) Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,

antara lain:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

4) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;

5) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

6) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

7) Undang-Undang SPPA;

8) Undang-Undang Bantuan Hukum.

b) Bahan-bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang

menjelaskan bahan hukum primer, seperti buku-buku yang berkaitan


10
dengan judul skripsi, artikel-artikel terkait, laporan-laporan dan

sebagainya, yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media

elektronik.

c) Bahan-bahan hukum tersier, merupakan bahan penunjang dalam

memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Contohnya

seperti abstrak perundang-undangan, direktori pengadilan, ensiklopedi

hukum, kamus hukum, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

melalui teknik studi pustaka dan juga literatur media elektronik, yaitu internet.

Data diperoleh dengan mengumpulkan, memadukan, menafsirkan dan

membandingkan artikel-artikel tersebut yang dinilai relevan dengan

permasalahan yang akan dibahas.

4. Analisis Data. Pada penelitian hukum normatif dilakukan penelaahan data

sekunder, dan biasanya data yang disajikan berikut dengan analisanya 6.

Metode analisis data yang dilakukan adalah analisa kualitatif, yaitu dengan:

a) Pengumpulan bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang relevan

dengan permasalahan yang akan dibahas

b) Pemilahan terhadap bahan-bahan hukum yang relevan tersebutagar sesuai

dengan masing-masing permasalahan

c) Pengolahan dan penginterpretasian data untuk menarik kesimpulan dari

permasalahan

6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Depok, 1994,
hlm. 69.

11
d) Pemaparan kesimpulan, dalam hal ini kesimpulan kualitatif, yang

dituangkan ke dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab yang disusun secara sistematis

untuk menguraikan masalah yang akan dibahas dengan urutan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang,

Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika

Penulisan.

BAB II LANDASAN TEORITIS. Dalam bab II ini dikemukakan tentang

Definisi Anak, Batas Usia Anak, Hak dan Kewajiban Anak, Definisi

Bantuan Hukum, Tujuan Penyelenggaraan Bantuan Hukum di

Indonesia, Peradilan Anak, Pengertian Anak yang Berkonflik dengan

Hukum, Perlindungan Anak dan Peradilan Anak, Tujuan Peradilan

Anak.

BAB III PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK

SEBAGAI PELAKU DAN KORBAN TINDAK PIDANA. Bab ini

membahas tentang ketentuan pengaturan bantuan hukum dan

peradilan anak sebelum dan setelah lahirnya Undang-Undang

Bantuan Hukum dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak

di Indonesia. Pada bagian pertama akan dibahas analisa yuridis

Undang-Undang SPPA, mulai dari sejarah terbentuknya, bentuk

perlindungan hukum terhadap anak, hingga pengembangan konsep

diversi dan restorative justice yang menjadi tujuan utama dari

12
pembuatan undang-undang tersebut. Pada bagian kedua merupakan

inti dari judul yang penulis angkat, yaitu pembahasan mengenai

pemberian bantuan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana.

BAB IV PENUTUP. Pada bab terakhir ini terdiri dari kesimpulan dan saran

dari penulis dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Perkembangan Pengaturan Bantuan Hukum di Indonesia

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan : "Segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Dari

ketentuan pasal tersebut telah dicantumkan sekaligus tentang hak dan

kewajiban tiap-tiap warga negara, hak untuk pengakuan secara rata dalam

kedudukan hukum serta kewajiban untuk menjunjung tinggi hukum dan

pemerintahan tanpa terkecuali. Pancasila sebagai ideologi bangsa merupakan

salah satu faktor yang identik dengan hal ini. "Kemanusiaan yang adil dan

beradab" sebagai sila kedua dari Pancasila, dalam butir-butir Pancasila yang

terkandung di dalamnya di antaranya mengakui dan memperlakukan manusia

sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha

Esa, serta mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi

setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama,

kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya.

Bantuan hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat Barat

sejak zaman Romawi, dimana pada waktu itu bantuan hukum berada dalam

13
bidang moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia

khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan atau

menerima imbalan atau honorarium7. Meletusnya Revolusi Perancis

mengakibatkan konsep bantuan hukum kemudian bergerak menjadi bagian

dari kegiatan hukum yang menekankan hak-hak yang sama bagi tiap warga

masyarakat dalam mempertahankan kepentingannya di muka pengadilan.

Sampai awal abad ke-20 ini pun bantuan hukum lebih banyak dianggap

sebagai suatu pekerjaan memberi jasa hukum tanpa suatu imbalan.

Bantuan hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum (dalam

hal ini lembaga bantuan hukum) baru dikenal di Indonesia sejak

diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia. Namun menurut Adnan

Buyung Nasution, bantuan hukum itu sebenarnya sudah dikenal secara formal

sejak masa penjajahan Belanda.

Bermula pada tahun 1848 ketika di Belanda terjadi perubahan besar

dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan firman

Raja tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1, perundang-undangan baru di Belanda

tersebut juga diberlakukan bagi Indonesia yang pada waktu itu masih bernama

Hindia Belanda. Dalam peraturan itulah pertama kalinya diatur tentang

Lembaga Advokat, sehingga diperkirakan bantuan hukum di Indonesia dalam

arti formal baru dikenal sekitar tahun tersebut, dan itupun terbatas bagi orang-

orang Eropa saja dalam peradilan Raad Van Justitie.

7 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, CV. Mandar
Maju, Bandung, 2009, hlm. 11.

14
Lebih tegas lagi dalam hukum positif Indonesia masalah bantuan

hukum ini diatur dalam pasal 250 ayat (5) dan (6) HIR (Hukum Acara Pidana

Lama) dengan cakupan yang terbatas, artinya, pasal ini dalam prakteknya

hanya lebih mengutamakan Bangsa Belanda daripada bangsa Indonesia yang

waktu itu lebih populer disebut inladers, di samping itu, daya laku pasal ini

hanya terbatas apabila para advokat tersedia dan bersedia membela mereka

yang dituduh dan diancam hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup8.

Bangsa Indonesia pada waktu itu seakan-akan tidak ada atau tidak

dianggap dalam pemenuhan bantuan hukumnya, sehingga profesi lawyer pada

waktu itupun tidak dapat berkembang pesat. Namun pada perkembangan

berikutnya paralel dengan gemuruhnya arus pergerakan nasional kita, mulai

bermunculan ahli-ahli hukum bangsa Indonesia yang berprofesi advokat turut

meramaikan gerakan nasional Indonesia melalui pemberian bantuan hukum.

Dengan motif turut membantu gerakan nasional, maka mereka turut

membantu rakyat Indonesia yang tidak mampu memakai jasa advokat-advokat

Belanda ketika sedang menghadapi masalah hukum di muka pengadilan. Pada

dasarnya gerakan bantuan hukum pada waktu itu dapat kita baca sebagai salah

satu rangkaian dari pergerakan nasional untuk melepaskan bangsa Indonesia

dari cengkeraman penjajah Belanda9.

Kondisi yang demikian juga masih monoton pada masa penjajahan

Jepang. Tidak terlihat adanya perubahan yang signifikan mengenai masalah

bantuan hukum. Begitu juga pada masa setelah proklamasi kemerdekaan, di

8 Ibid., hlm. 12.

9 Ibid., hlm. 13.

15
mana seluruh bangsa masa terfokus untuk berjuang mempertahankan

kemerdekaan.

Bahkan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, bantuan hukum

justru mengalami kemerosotan yang luar biasa akibat besarnya kekuasaan dan

pengaruh Soekarno pada masa ini. Presiden diberi wewenang untuk ikut

campur dalam masalah pengadilan, sehingga wibawa pengadilan pun jatuh

dan orang-orang semakin tidak menaruh kepercayaan besar pada bantuan

hukum.

Perkembangan yang cukup pesat dalam hal bantuan hukum ini terjadi

pada masa Orde Baru yang kembali menjamin kebebasan peradilan untuk

tidak diganggu oleh campur tangan pihak-pihak atau kekuatan dari luar untuk

tiap urusan peradilan, melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang

menggantikan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada masa ini sudah mulai didirikan

dan beroperasinya lembaga-lembaga yang berkaitan dalam masalah pemberian

bantuan hukum, seperti biro-biro konsultasi hukum, lembaga-lembaga bantuan

hukum, dan lain-lain.

Ketentuan tentang bantuan hukum dalam Undang-Undang No. 14

Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur dalam

pasal 35-38. Pasal 35 Undang-Undang ini berbunyi : "Setiap orang yang

tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum". Pada penjelasan

pasal 35 dapat dibaca landasan pemikiran pembuat undang-undang tentang

makna bantuan hukum, yang berbunyi : "Merupakan suatu asas yang penting

bahwa seseorang yang terkena perkara mempunyai hak untuk memperoleh

16
bantuan hukum. Hal ini dianggap perlu karena ia wajib diberi perlindungan

sewajarnya. Perlu diingat juga ketentuan pasal 8, dimana seorang tertuduh

wajib dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang

menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Karena pentingnya, supaya diadakan undang-undang tersendiri tentang

bantuan hukum"10.

Terlepas dari sejarah perkembangan bantuan hukum di Indonesia,

perlu lebih dijabarkan lagi eksistensi bantuan hukum itu dalam pemenuhan

hak-hak asasi manusia. Pada bagian Konsiderans Undang-Undang Bantuan

Hukum, di antaranya menyatakan mengenai penjaminan hak-hak

konstitusional sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia, perwujudan

akses keadilan bagi masyarakat miskin, hingga terwujudnya perubahan sosial

berkeadilan11.

Hal-hal yang dinyatakan dalam Undang-Undang tersebut menegaskan

bahwa pemberian bantuan hukum erat kaitannya dengan pemenuhan hak asasi

manusia. Karena pemberian bantuan hukum merupakan salah satu sarana yang

tak terpisahkan dalam melindungi hak-hak tiap-tiap manusia dalam proses

pencapaian keadilan. Memang patut diakui bahwa menegakkan hukum dan

keadilan itu adalah mustahil.

Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita lihat bahwa keadilan itu

merupakan sesuatu yang nisbi atau relatif adanya. Karena apa yang menurut

kita adil, belum tentu adil bagi orang lain. Seolah-olah nilai dan rasa keadilan

10 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 345-346.

11 Lihat bagian Konsiderans Undang-Undang No. 16 Tahun 2011.

17
itu hanya terbatas untuk suatu kelompok dalam suatu batas ruang waktu

tertentu. Adapun keadilan yang hendak ditegakkan tiada lain daripada nilai-

nilai yang terkandung dalam falsafah Pancasila, UUD 1945, serta segala nilai-

nilai yang terdapat pada hukum dan perundang-undangan yang lain, yang

nilai-nilainya aspiratif dengan nilai dan rasa keadilan masyarakat12.

Hukum dan keadilan memiliki hubungan yang erat. Adil artinya tidak

memandang status atau melihat seseorang dari segi manapun dalam pemberian

bantuan hukum yang menjamin hak-hak asasinya. Sehingga meletakkan

hukum itu harus dibuat secara demokratis dan menjamin hak asasi manusia,

dan dalam penegakan keadilan ini maka hukum harus bekerja benar-benar

efektif.

Sesuai dengan konsep keadilan, maka pemberian bantuan hukum ini

pun harus merata bagi seluruh masyarakat. Tidak boleh ada pembedaan antara

"si miskin" dengan "si kaya". Berbagai Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia

yang mempelopori gerakan bantuan hukum juga tidak lepas dari konteks

perjuangan menegakkan demokrasi kontitusional. Organisasi bantuan hukum

bukan semata-mata lembaga yang hanya memberikan fasilitas bantuan hukum

secara cuma-cuma kepada rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum

seperti di negara-negara lain, melainkan sosial lainnya yang mengacu

tegaknya nilai-nilai negara hukum yang demokratis dan dihormatinya hak-hak

asasi manusia13.

12 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 66.

13 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. Cit, hlm. 135.

18
Negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam konsep negara hukum,

negara tentu akan mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap

individu, termasuk hak atas bantuan hukum ini. Penyelenggaraan pemberian

bantuan hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan

sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi

serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap

keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before

the law)14. Selama ini, pemberian bantuan hukum yang dilakukan belum

banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka

kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan

mereka untuk mewujudkan hak-hak kontitusional mereka15. Hal ini tentunya

sangat bertentangan dengan konsep keadilan yang semestinya.

Jaminan atas hak konstitusional tersebut belum mendapatkan perhatian

secara memadai, sehingga dibentuklah Undang-Undang Bantuan Hukum yang

merupakan Undang-Undang yang secara khusus dibentuk untuk mengatur

pemberian bantuan hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Dibentuknya Undang-Undang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi

negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok

orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan

hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab negara harus diimplementasikan

melalui pembentukan Undang-Undang Bantuan Hukum ini. Dengan

diundangkannya Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan

14 Lihat Penjelasan Umum UU No. 16 Tahun 2011.

15 Ibid.

19
Hukum, maka ketentuan mengenai pemberian bantuan hukum diatur melalui

Undang-Undang ini.

B. Perkembangan Pengaturan Peradilan Anak di Indonesia

Untuk memberikan suatu keadilan, Peradilan melakukan kegiatan dan

tindakan secara sistematis dan berpatokan pada ketentuan undang-undang

yang berlaku. Demikian juga halnya dengan Peradilan Anak, yang harus

melindungi kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak adalah suatu tata

kehidupan dan penghidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dan

perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial 16.

Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Undang-Undang SPPA, maka

terlebih dahulu kita harus mengetahui sejarah Peradilan Anak di Indonesia.

Peradilan Anak merupakan Peradilan Khusus, merupakan spesialisasi

dan diferensiasinya di bawah Peradilan Umum. Hukum pidana anak meliputi

segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut

kepentingan anak. Menurut analisis sejarah (Eropa dan Amerika) ternyata,

bahwa ikut campurnya pengadilan dalam kehidupan anak dan keluarga,

senantiasa ditujukan menanggulangi keadaan yang burur, seperti

kriminalitas anak, terlantarnya anak dan eksploitasi terhadap anak17.

Peradilan Anak telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda,

awalnya pada tahun 1917. Waktu itu beberapa rahayang ada di daerah-daerah

dan pemuda-pemuda sebagai pemuka bangsa telah berhasil mendirikan

16 H. R. Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, Hukum Perlindungan Anak, PTIK Press, Jakarta,
2014, hlm. 24.

17 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 130.

20
lembaga yang bernama Pro Juventute. Pro Juventute mendapat pengakuan

pemerintah Belanda untuk memberikan bimbingan kepada orangtua yang

mengalami kesulitan dalam memberikan nasihat dan bimbingan kepada anak-

anak yang terlibat kejahatan. Meskipun lembaga Pro Juventute sudah

mendapat pengakuan dari pemerintah Belanda akan tetapi Indonesia saat itu

belum memiliki badan peradilan untuk anak dan peraturan perundang-

undangan yang khusus mengatur perkara untuk anak18.

Anak-anak yang diajukan ke muka sidang pengadilan mendapat

perlakuan yang sama seperti orang dewasa. Keadaan ini dapat dimengerti,

mengingat bahwa hukum acara kita berdasarkan HIR dan RB berasal dari

zaman sewaktu dunia masih berpendapat bahwa anak cukup diperlakukan

sebagai orang dewasa dalam ukuran kecil19 . Badan Pembinaan Hukum

Nasional mengungkapkan bahwa Indonesia baru mempunyai kesempatan

memikirkan hakim khusus yang mengadili anak pada sekitar setengah abad

silam tepatnya tahun 1954, waktu itu sudah ada hakim khusus yang mengadili

anak yaitu Bapak Mr. Maengkom dengan dibantu oleh Pegawai Pra Yuwana

(perubahan nama dari Pro Juventute pada zaman Belanda), namun penahanan

pada umumnya masih digabungkan dengan orang dewasa20.

Kemudian pada tahun 1957 pemerintah telah menaruh perhatian

terhadap juvenile delinquency walaupun belum problematis seperti sekarang.

18 Romli Atmasasmita, Op. Cit, hlm. 11.

19 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Loka Karya tentang Peradilan Anak, Bina Cipta,
Bandung, 1979, hlm. 19.

20 Ibid., hlm. 32.

21
Kemudian dibuatlah agreement secara lisan antara ketiga instansi yaitu

pengadilan, kejaksaan dan kepolisian untuk menerapkan "perlakuan khusus"

bagi anak yang melakukan kenakalan. Menurut D.Y. Staa, dasar agreement

tersebut ialah21 :

1. Di negara-negara yang telah menerapkan Hukum Acara Pidana khusus

untuk anak, yang dipakai adalah dasar psikologis bahwa anak yang

berbuat kejahatan itu bukanlah merupakan orang-orang jahat, melainkan

anak-anak nakal saja. Dasar ini merupakan hasil riset puluhan tahun dari

psikologi;

2. Walaupun pada waktu itu juvenile delinquency di negara kita, khususnya

di daerah hukum Pengadilan Tinggi Jakarta masih belum merupakan

masalah yang gawat, namun kita semua menginsyafi betapa pentingnya

tunas-tunas muda ini yang kelak akan menggantikan generasi tua dalam

usaha membangun negara kita menuju ke masyarakat adil dan makmur;

3. Para wakil dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan sama-sama

menyadari bahwa anak-anak berbeda dengan orang dewasa secara psikis

sehingga harus diperlakukan khusus agar jiwa mereka kelak tidak

mengalami tekanan batin dengan pernah diadilinya di muka pengadilan,

yang pasti mengganggu usaha tunas muda ini sebagai anggota masyarakat

yang baik;

4. Sidang pengadilan harus dilaksanakan sedemikian rupa agar hal-hal yang

menimbulkan tekanan-tekanan batin/gangguan jiwa dapat ditiadakan.

21 Ibid., hlm. 44.

22
Dimulainya perlakuan khusus tersebut dari pihak22:

1. Kepolisian; 1. Menahan anak-anak terpisah dengan penahanan orang

dewasa; 2. Waktu membuat berita acara pendahuluan tidak memakai

pakaian seragam;

2. Kejaksaan; 1. Pada waktu sidang tidak memakai toga atau pakaian

seragam;

3. Pengadilan; 1. Hakim ditunjuk secara khusus oleh Ketua Pengadilan

Negeri; 2. Hakim yang bersidang tidak memakai toga; 3. Persidangan pada

hari yang ditentukan khusus dan bersifat tertutup; 4. Hadirnya orang tua

dari si anak; 5. Lembaga Pemasyarakatan mengangkat beberapa pegawai

untuk : 6. Membantu persidangan dengan cara membuat social report/case

study yang sekarang disebut Balai Bispa. Pembuatan social report inilah

yang merupakan bagian terpenting dari sidang anak. dalam social report

petugas sosial atau social worker sekaligus membubuhi rekomendasi

tentang penempatan si anak. walaupun hakim tidak terikat pada saran

social worker tadi, karena hakim bebas dalam memberi putusan, tokh

merupakan suatu pegangan bagi hakim dalam hal memberikan putusan

terhadap si anak.

Tahun 1967 Departemen Kehakiman menugaskan Pra Yuwana

membantu pelaksanaan peradilan anak, dengan tujuan melindungi, mencegah

dan memulihkan anak-anak pelanggar hukum dan kesusilaan agar menjadi

manusia Indonesia yang cakap dan bertanggungjawab. Tahun 1968 Direktorat

Jenderal Kepenjaraan mendirikan Bimbingan Pemasyarakatan (Bispa) yang


22 Ibid., hlm. 128.

23
petugasnya diangkat dari Akademi Sosial yang dipersiapkan menjadi

Pembimbing Petugas Kemasyarakatan yang langsung menangani anak-anak

pelanggar hukum. Dalam perkembangan selanjutnya, berhubung kekurangan

petugas dan kekurangan dana maka tugas Pra Yuwana diambil alih. Pra

Yuwana tidak lagi di bawah Departemen Kehakiman, namun di bawah

pengawasan Departemen Sosial. Tugas Pra Yuwana hanya mengenai anak

perempuan dan anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun. Dengan adanya

pengalihan tersebut, maka Pra Yuwana tidak lagi aktif dalam penanganan anak

yang bermasalah dengan kriminal, akan tetapi kegiatannya beralih pada anak-

anak yang putus sekolah dan sebagainya23.

Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1959

dalam upaya menunjang prinsip perlakuan khusus terhadap anak. berdasarkan

Surat Edaran tersebut, hakim yang melakukan pemeriksaan terhadap anak

dilakukan dengan sidang tertutup. Tahun 1981 ketika Hukum Acara Pidana

direvisi, perlakuan khusus terhadap anak mengikat para hakim. Perlakuan

khusus diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang menyebutkan bahwa

persidangan tidak dibuka untuk umum apabila terdakwanya anak-anak24.

Peradilan Anak selanjutnya dalam praktek mengacu kepada Peraturan Menteri

Kehakiman RI Tahun 1983 Nomor M.06-UM01.06 tentang Tata Tertib

Persidangan dan Tata Ruang Persidangan yang isinya menentukan bahwa

sidang anak dilakukan oleh hakim tunggal kecuali dalam hal tertentu

23 Soetarman, Kenakalan Anak, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 48.

24 Abintoro Prakoso, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika, Yogyakarta,
2013, hlm. 37.

24
dilakukan secara majelis, dengan pintu tertutup serta putusan diucapkan dalam

sidang terbuka untuk umum. Kemudian hakim, penuntut umum, penasihat

hukum bersidang tanpa menggunakan toga serta pada sidang diharapkan

kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuhnya25.

Dengan demikian dapat dimaklumi bahwa ide tentang lahirnya

peradilan anak di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970 seperti termaksud

dalam penjelasan pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang

Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian dilanjutkan dengan

Peraturan Menteri Kehakiman dan Surat Edaran Mahkamah Agung. Untuk

merealisasi lahirnya Undang-Undang Peradilan Anak di Indonesia, pada

tanggal 10 November 1995 Pemerintah dengan Amanat Presiden No : R.

12/PU/XII/1995 mengajukan Rancangan Undang-Undang Peradilan Anak

kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat pembahasan dan

persetujuan. Selanjutnya lahirlah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak dalam Lembaran Negara No. 3 Tahun 1997 26. Sejak tanggal

3 Januari 1998 lewat Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 terdapat unifikasi

hukum melalui peradilan anak. Undang-undang ini mengakomodasi mengenai

teori dan praktik tentang peradilan anak yang sebelumnya sudah ada. Akan

tetapi, karena perkembangan zaman dan teknologi, undang-undang ini

dirasakan sudah tidak releven lagi untuk diterapkan dalam lalu lintas hukum

25 Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak, Pustaka
Yustisia, Yogyakarta, 2015, hlm. 36.

26 Abintoro Prakoso, op.cit, hlm. 38.

25
sehari-hari27. Secara substansial dengan memperhatikan keseluruhan norma

yang termuat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan yang mana pada

akhirnya dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan

terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak28.

Seiring perkembangan zaman, Undang-Undang Pengadilan Anak

masih memiliki banyak kekurangan, substansinya bertentangan dengan spirit

perlindungan terhadap anak seperti diatur dalam Konvensi Hak-Hak Anak

sehingga tidak relevan lagi dalam kehidupan masyarakat. Ketentuan yang

bertentangan antara lain29 :

1. Usia minimum pertanggungjawaban pidana terlalu rendah.

2. Penggunaan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana

yang seolah-olah sama dengan orang dewasa yang melakukan tindak

pidana.

3. Tempat pelaksanaan penahanan yang masih dilakukan di Rumah Tahanan

Negara, cabang Rumah Tahanan Negara.

4. Belum adanya pengaturan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum.

5. Belum melaksanakan proses Diversi dan Keadilan Restoratif.

6. Tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan

penahanan terhadap anak nakal.

7. Penjatuhan pidana yang masih bersifat retributif.

27 Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Loc. Cit.

28 Ibid., hlm. 38.

29 Ibid., hlm. 39.

26
Dengan demikian perlu adanya perubahan paradigma dalam

penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, pemerintah, dan lembaga

negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggungjawab untuk meningkatkan

kesejahteraan anak serta memberikan perlindungan khusus kepada anak yang

berhadapan dengan hukum. Maka pemerintah berinisiatif untuk membuat

Rancangan Undang-Undang SPPA (RUU SPPA), yang disampaikan Presiden

kepada Pimpinan DPR RI dengan Surat No. R-12/Pres/02/2011 tanggal 16

Februari 2011.

Setelah tiga kali masa sidang, yakni masa sidang II, III, dan IV, maka

pada masa sidang ke IV DPR RI Tahun 2011-2012, tanggal 28 Juni 2012,

Rapat Pleno Komisi III DPR RI bersama pemerintah menyetujui RUU SPPA

ini untuk dibawa ke Pembahasan Tingkat II di DPR RI. Kemudian pada

tanggal 3 Juli 2012, Rapat Paripurna DPR RI menyetujui RUU Sistem

Peradilan Pidana Anak menjadi Undang-Undang. Pada tanggal 30 Juli 2012,

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani RUU ini menjadi

Undang-Undang SPPA 30 .
31
Penyusunan Undang-Undang SPPA ini merupakan penggantian

terhadap Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

30 M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 125.

31 Lihat penjelasan umum UU No. 11 Tahun 2012. "Undang-Undang ini menggunakan nama
Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana diatur dalam
pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Namun, Undang-Undang ini merupakan bagian dari lingkungan peradilan umum".

27
Undang-Undang ini disahkan menjadi peraturan yang berlaku secara umum

dengan pertimbangan32 :

1. Bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang

memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya;

2. Bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan

perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dan sistem peradilan;

3. Bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak

yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai

kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang

berhadapan dengan hukum;

4. d. Bahwa Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat

karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada

anak yang berhadapan dengan hukumsehingga perlu diganti dengan

Undang-Undang baru;

5. Bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, b, c, dan d perlu membentuk

Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Sementara yang menjadi dasar pemikiran pembentukan Undang-

Undang ini antara lain33:

1. Dasar Filosofis

Dasar filosofis adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam

berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila. Penjabaran nilai-nilai Pancasila di

32 Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Op. Cit, hlm. 37.

33 Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, hlm. 7-9.

28
dalam mencerminkan suatu keadilan, ketertiban dan kesejahteraan yang

diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Disebutkan bahwa anak merupakan

amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat

sebagai manusia seutuhnya, sehingga untuk menjaga harkat dan martabatnya,

anak berhak mendapatkan perlindungan khusus terutama perlindungan hukum

dalam sistem peradilan anak.

Dasar filosofis ini mengafirmasi nilai-nilai Pancasila yakni Ketuhanan

Yang Maha Esa, dan Kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga sebagai

bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai religiositas, maka

permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum harus diberikan prioritas

yang terbaik bagi anak.

2. Dasar Sosiologis

Perwujudan pelaksanaan lembaga peradilan pidana anak bisa jadi

menguntungkan atau merugikan mental, fisik dan sosial anak. tindak pidana

anak dewasa ini secara kuantitas dan kualitas cenderung meningkat

dibandingkan dengan tindak pidana lain. Bahkan, nyaris semua tindak pidana

yang dilakukan oleh orang dewasa kini dilakukan pula ole anak-anak.

berbagai faktor penyebabnya adalah keadaan sosial ekonomi yang kurang

kondusif, pengaruh globalisasi dalam bidang komunikasi dan informasi,

hiburan, perkembangan ilmu pengetahuan dan gaya hidup. Selain itu masalah

ini disebabkan pula oleh faktor intern keluarga seperti kurangnya perhatian,

kasih sayang dan pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh

terhadap anak sehingga mudah terpengaruh oleh pergaulan yang negatif di

lingkungan masyarakat.

29
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan

dengan hukum agar anak bisa menyongsong masa depannya yang masih

panjang serta memberikan kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan

akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri,

bertanggungjawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa

dan negara. Namun dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai objek dan

perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung

merugikan anak. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam

penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada

peran dan tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga negara lainnya

bertanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan

perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.

3. Dasar Yuridis

Menurut teori hukum haruslah membantu manusia berkembang sesuai

dengan kodratnya: menjunjung keluhuran martabat manusia, bersifat adil,

menjamin kesamaan dan kebebasan, memajukan kepentingan dan

kesejahteraan umum. Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa "setiap

anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak

atas perlindungan dan diskriminasi". Hal ini dijabarkan dalam UU No. 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak.

Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan

Konvensi Hak-Hak Anak sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah

30
Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, banyak

mengandung kelemahan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam

Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia.

4. Dasar Psikopolitik Masyarakat

Psikopolitik masyarakat adalah suatu kondisi nyata di dalam

masyarakat mengenai tingkat penerimaan atau tingkat penolakan terhadap

suatu peraturan perundang-undangan. Tindak pidana yang dilakukan anak baik

langsung maupun tidak langsung merupakan suatu akibat dari perbuatan dan

tindakan yang dilakukan orang dewasa dalam bersinggungan dengan anak

atau merupakan sebagai bagian dalam proses interaksi anak dalam

lingkungannya, dimana anak belum mampu secara dewasa menyikapi.

Paradigma ini yang harus ditanamkan bagi masyarakat dan aparatur penegak

hukum dalam menghadapi anak yang diduga melakukan tindak pidana.

Dengan diundangkannya Undang-Undang SPPA, yang mulai berlaku 2

tahun sejak tanggal pengundangannya, maka Undang-Undang No. 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak dinyatakan tidak berlaku lagi.

31
BAB III

PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI

PELAKU DAN KORBAN TINDAK PIDANA

A. Bantuan Hukum Menurut Undang-Undang Bantuan Hukum

1. Pemberi dan Penerima Bantuan Hukum

a. Pemberi Bantuan Hukum

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Bantuan Hukum memberikan definisi

Pemberi Bantuan Hukum. Pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan

hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum

berdasarkan Undang-Undang Bantuan Hukum. Pelaksanaan bantuan hukum

hanya dapat dilakukan oleh pemberi bantuan hukum yang telah memenuhi

syarat sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Bantuan Hukum.

Adapun syarat-syarat tersebut tercantum dalam pasal 8 ayat (2), antara lain:
32
1) Berbadan hukum;

2) Terakreditasi berdasarkan Undang-Undang terkait;

3) Memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;

4) Memiliki pengurus; dan

5) Memiliki program bantuan hukum.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pemberian bantuan hukum

harus dapat dijangkau oleh semua pihak, tidak tertutup kemungkinan bagi

rakyat miskin dan buta hukum. Artinya bahwa keadilan itu harus diperoleh

secara merata, dapat mencakup semua pihak. Sehingga diharapkan dengan

berdiri dan bertambah banyaknya lembaga bantuan hukum di Indonesia dapat

menunjang tegaknya hukum dan keadilan yang dicita-citakan semua pihak.

Namun pada kenyataannya hingga saat ini, berdirinya lembaga-lembaga

bantuan hukum serta badan-badan bantuan hukum yang bernaung di bawah

fakultas hukum berbagai perguruan tinggi, arus perkembangannya masih di

sekitar kota-kota besar di ibukota provinsi pada umumnya. Sedangkan di

daerah-daerah terpencil yang mayoritas penduduknya adalah rakyat miskin

dan buta hukum, masih sulit bahkan belum terjangkau oleh lembaga-lembaga

tersebut.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri pun

bahkan tidak ada mengatur lebih lanjut tentang bantuan hukum. Yang

dijelaskan hanya pengertian penasihat hukum sebagaimana pasal 1 butir 13

menyatakan: "Penasihat hukum adalah seseorang yang memenuhi syarat yang

ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan

hukum". Jadi pemberi bantuan hukum yang dinyatakan oleh KUHAP disebut

33
sebagai penasihat hukum. Dan pemberian bantuan hukum itu sendiri meliputi

pemberian bantuan hukum secara profesional dan formal, dalam bentuk

pemberian jasa bantuan hukum bagi setiap orang yang terlibat dalam kasus

tindak pidana, baik secara cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu dan

miskin, maupun bantuan hukum bagi mereka yang mampu oleh para advokat

dengan jalan menerima imbalan jasa.

Disinggung mengenai advokat, sebagian besar masyarakat Indonesia

mungkin lebih mengetahui bahwa pemberi bantuan hukum adalah seorang

advokat. Penasihat hukum yang dimaksud dalam KUHAP pun identik dengan

seorang advokat. Hal ini karena mayoritas masyarakat yang berhadapan

dengan hukum berurusan dengan advokat sebagai penasihat hukum dan

pendampingnya selama proses pemeriksaan. Bahkan apa yang mereka lihat

dari media pun seorang advokat lebih eksis daripada penyedia jasa bantuan

hukum yang lain. Advokat dianggap sebagai pembela hak-hak mereka yang

berurusan dengan hukum. Namun istilah pembela itu sering disalahtafsirkan,

seakan-akan berfungsi sebagai penolong tersangka atau terdakwa bebas atau

lepas dari pemidanaan walaupun ia jelas bersalah melakukan yang

didakwakan itu. Padahal fungsi pembela atau penasihat hukum itu ialah

membantu hakim dalam usaha menemukan kebenaran materiil, walaupun

bertolak dari sudut pandangan subjektif, yaitu berpihak pada kepentingan

tersangka atau terdakwa34.

Seorang penasihat hukum diberi keleluasaan untuk berhubungan

dengan tersangka atau terdakwa. Dalam membantu penyelesaian perkara,

34 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,hlm. 90.

34
penasihat hukum harus menjunjung tinggi hukum dan keadilan, tidak boleh

mengganggu proses penyelesaian perkara. Bahkan mereka juga harus menjaga

kerahasiaan kliennya. Walaupun terdapat keleluasaan dalam berhubungan

dengan tersangka atau terdakwa, tetap saja ia tidak boleh menyalahgunakan

haknya itu. Sehingga bagi seorang advokat, contohnya, mereka harus tetap

terikat oleh kode etik sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang No.

18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Di dalam profesi advokat, terdapat perbedaan substansi antara bisnis

jasa hukum profesional (disebut juga bantuan hukum) dengan murni bisnis

jasa komersial (disebut juga jasa hukum). Keduanya menjadi bagian tak

terpisahkan dari tugas profesi advokat sebagai salah satu elemen penegak

hukum. Jasa hukum merupakan sebuah pelayanan hukum yang bertujuan

memperoleh imbalan jasa berupa honorarium. Artinya bahwa jasa hukum yang

diberikan oleh advokat itu mendapatkan timbal balik berupa imbalan dari apa

yang dilakukannya. Sedangkan bantuan hukum adalah sebuah pelayanan

hukum yang bersifat cuma-cuma, artinya bantuan hukum yang diberikan oleh

advokat itu tanpa mengharapkan adanya imbalan. Bila ditanya mana yang

lebih mulia, tak ada yag lebih mulia antara jasa hukum maupun bantuan

hukum. Keduanya adalah setara, karena masing-masing termasuk dalam

kewajiban bagi orang yang berprofesi menjadi advokat 35. Tidak ada perintah

untuk menuntut imbalan dalam pemberian bantuan hukum bagi mereka yang

tidak mampu.

35 Sartono dan Bhekti Suryani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Advokat, Dunia Cerdas, Jakarta,
2013, hlm. 26.

35
Kemudian pemahaman tentang pemberi bantuan hukum pun

berkembang sejak diundangkannya Undang-Undang Bantuan Hukum, yang

menyatakan bahwa pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum

atau organisasi kemasyarakatan. Jadi menurut Undang-Undang ini, posisi

advokat menjadi bagian dari pemberi bantuan hukum yang dalam hal ini

bernaung dalam wadah Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi

Kemasyarakatan36.

Pada umumnya Lembaga Bantuan Hukum ini berperan untuk

membantu orang-orang yang tidak mampu bea perkara atau bea untuk

membela dirinya dalam pidana. Lembaga Bantuan Hukum biasanya berperan

sebagai Legal Aids atau dengan ongkos murah. Sebab Lembaga Bantuan

Hukum didirikan bukan untuk nirlaba melainkan memberikan kemudahan

akses pada masyarakat untuk memperoleh layanan konsultasi dan bantuan

hukum secara murah, demi tegaknya keadilan.

Lembaga Bantuan Hukum ini terdiri dari dua kelompok37:

1. LBH swasta.

Inilah yang telah muncul dan berkembang belakangan ini.

Anggotanya pada umumnya terdiri dari kelompok yang bergerak dalam

profesi hukum sebagai pengacara. Konsep dan programnya jauh lebih luas

dari sekadar memberi bantuan hukum secara formal di depan sidang

36http://m.kompasiana.com/post/read/483692/2/mengurai-uu-bantuan-hukum-3.html, diakses 26
Januari 2016.

37 M. Yahya Harahap,Cp. Cit, hlm. 350-351.

36
pengadilan terhadap rakyat kecil yang miskin dan buta hukum. Konsep

dan programnya dapat dikatakan meliputi dan ditujukan:

a) Menitikberatkan bantuan dan nasihat hukum terhadap lapisan

masyarakat kecil yang tidak berpunya,

b) Memberi nasihat hukum di luar pengadilan terhadap buruh, tani,

nelayan, dan pegawai negeri yang merasa haknya diperkosa,

c) Mendampingi atau memberi bantuan hukum secara langsung di sidang

pengadilan baik yang meliputi perkara perdata dan pidana,

d) Bantuan dan nasihat hukum yang mereka berikan dilakukan dengan

cuma-cuma.

2. LBH yang bernaung pada perguruan tinggi.

LBH yang bernaung pada perguruan tinggi inipun hampir sama

konsep dan programnya dengan LBH swasta. Tetapi menurut pengamatan,

pada umumnya LBH yang bernaung pada perguruan tinggi, kurang

populer. Sebab pada kenyataannya yang tampil ke depan memberi bantuan

hukum terdiri daripada mereka yang masih berstatus mahasiswa, sehingga

menimbulkan anggapan kurang mampu melaksanakan bantuan hukum.

Pemberi bantuan hukum yang melaksanakan bantuan hukum harus

memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Bantuan

Hukum. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Bantuan Hukum menentukan

syarat yang dimaksud meliputi:

a) Berbadan hukum;

b) Terakreditasi berdasarkan Undang-Undang Bantuan Hukum;

c) Memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;

37
d) Memiliki pengurus;

e) Memiliki program bantuan hukum.

Undang-Undang Bantuan Hukum ini pun mengatur mengenai hak

dan kewajiban pemberi bantuan hukum. Pasal 9 menentukan bahwa

pemberi bantuan hukum berhak:

a) Melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan

mahasiswa fakultas hukum38;

b) Melakukan pelayanan bantuan hukum;

c) Menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan

program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan bantuan

hukum39;

d) Menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan bantuan hukum

berdasarkan Undang-Undang ini;

e) Mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang

menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

f) Mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi

lain, untuk kepentingan pembelaan perkara; dan

g) Mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan

keselamatan selama menjalankan pemberian bantuan hukum.


38 Lihat penjelasan pasal 9 huruf a UU No. 16 Tahun 2011. "Yang dimaksud dengan "mahasiswa
fakultas hukum" termasuk juga mahasiswa dari fakultas syariah, perguruan tinggi militer, dan
perguruan tinggi kepolisian".

39 Lihat penjelasan pasal 9 huruf c UU No. 16 Tahun 2011. "Yang dimaksud dengan "program
kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan bantuan hukum" adalah program: investigasi
kasus, pendokumentasian hukum, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, dan pemberdayaan
masyarakat".

38
Kemudian lebih lanjut pasal 10 memberi ketentuan tentang kewajiban

dari pemberi bantuan hukum, yaitu:

1) Melaporkan kepada Menteri tentang program bantuan

hukum;

2) Melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang

digunakan untuk pemberian bantuan hukum berdasarkan Undang-

Undang ini;

3) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bantuan

hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum

yang direkrut sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a;

4) Menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan

yang diperoleh dari penerima bantuan hukum berkaitan dengan

perkara yang sedang ditangani, kecuali ditentukan lain oleh

undang-undang; dan

5) Memberikan bantuan hukum kepada penerima bantuan

hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam

Undang-Undang ini sampai perkaranya selesai, kecuali ada alasan

yang sah secara hukum.

Undang-Undang Bantuan Hukum ini juga memberikan jaminan

bagi pemberi bantuan hukum untuk bebas dari segala kemungkinan

tuntutan yang diajukan kepadanya, sebagaimana pasal 11 yang

menyatakan bahwa pemberi bantuan hukum tidak dapat dituntut secara

perdata maupun pidana dalam memberikan bantuan hukum yang menjadi

tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun

39
di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan

peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat.

Lembaga Bantuan Hukum mencoba mengangkat suatu konsep

bantuan hukum yang kita kenal dengan sebutan bantuan hukum struktural.

Bantuan hokum struktural ini bersifat lebih efektif, tidak hanya menunggu

pada datangnya kasus tetapi juga memberikan penyuluhan-penyuluhan dan

penerangan dalam rangka penyadaran hukum kepada masyarakat, oleh

karena itu bantuan hukum ini tidak hanya diberikan secara individual,

lebih dari itu memberikan bantuan hukum kepada kelompok-kelompok

masyarakat secara kolektif.

Dengan demikian pada akhirnya bantuan hukum struktural ini akan

merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kondisi-kondisi

bagi terwujudnya hukum yang mampu merubah struktur yang tidak adil

menjadi ke arah struktur yang lebih adil, tempat peraturan hukum dan

pelaksanaannya menjamin persamaan kedudukan baik di lapangan politik

maupun di lapangan ekonomi. Ini berarti bahwa gerakan bantuan hukum

struktural dilaksanakan dalam konteks turut membangun masyarakat yang

adil dan makmur40.

b. Penerima Bantuan Hukum

Bantuan hukum bukanlah suatu bentuk belas kasihan yang diberi

oleh negara, melainkan perwujudan dari hak asasi manusia setiap individu

serta lerupakan tanggung jawab negara dalam melindungi fakir miskin.

40 Adi Mansar dan Ikhwaluddin Simatupang, Hukum Acara Pidana Indonesia dalam Perspektif
Advokat dan Bantuan Hukum, CV. Jabal Rahmat, Medan, 2007, hlm. 33.

40
Masyarakat harus diyakinkan bahwa bantuan hukum adalah pemenuhan

hak asasi manusia, bukan sebagai wujud belas kasihan. Karena hak asasi

manusia itu melekat di setiap diri manusia, maka pemberian bantuan

hukum pun harus diterima dan diperoleh oleh semua lapisan masyarakat.

Oleh karena akses keadilan itu harus dapat dicapai oleh semua lapisan

masyarakat, maka disini terjadi kekhususan, yaitu mengatur bagaimana

keadilan itu dapat diakses oleh masyarakat yang tidak mampu sekalipun.

Undang-Undang Bantuan Hukum juga memberikan definisi

penerima bantuan hukum. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang ini

menyatakan bahwa penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok

orang miskin. Sehingga bantuan hukum yang dimaksud dalam Undang-

Undang tersebut dikhususkan bagi orang atau kelompok orang miskin

yang dianggap tidak mampu menangani dan menyelesaikan masalah

hukumnya sendiri. Setiap orang atau kelompok orang miskin, yang

selanjutnya disebut sebagai penerima bantuan hukum menurut Undang-

Undang ini, tidak dapat memenuhi hak-hak dasarnya secara layak dan

mandiri. Dalam pasal 5 disebutkan, hak dasar itu meliputi hak atas pangan,

sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha,

dan/atau perumahan.

Sebagaimana definisi bantuan hukum yang dijelaskan dalam

Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, bahwa bantuan

hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara Cuma-

Cuma kepada klien yang tidak mampu, maka advokat sebagai penyedia

jasa hukum, sesuai pasal 22 Undang-Undang Advokat, wajib memberikan

41
bantuan hukum secara Cuma-Cuma terhadap para pencari keadilan yang

tidak mampu. Pasal di atas bukanlah sekadar pasal pelengkap. Melainkan,

juga mengandung makna bahwa seorang advokat bertanggungjawab untuk

ikut mendorong hak atas keadilan bagi masyarakat. Khususnya masyarakat

miskin/tidak mampu dan buta hukum. Namun begitu, bukan bermaksud

menempatkan fungsi bantuan hukum sebagai sebuah sikap belas kasihan

dari seorang advokat41.

Sebagaimana pemberi bantuan hukum, Undang-Undang Bantuan

Hukum juga mencantumkan hak dan kewajiban dari penerima bantuan

hukum. Pasal 12 menyatakan bahwa penerima bantuan hukum berhak:

a. Mendapatkan bantuan hukum hingga masalah hukumnya selesai

dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama

penerima bantuan hukum yang bersangkutan tidak mencabut surat

kuasa;

b. Mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan Standar Bantuan Hukum

dan/atau Kode Etik Advokat; dan

c. Mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan

pelaksanaan pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Adapun kewajibannya, sebagaimana diatur dalam pasal 13, yaitu:

b. Menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan perkara secara

benar kepada pemberi bantuan hukum;

c. Membantu kelancaran pemberian bantuan hukum.


41 Sartono dan Bhekti Suryani, Op. Cit, hlm. 27.

42
Hak dan kewajiban ini penting untuk diketahui dan dilaksanakan

agar si pemberi bantuan hukum dapat melaksanakan tugas dan tanggung

jawabnya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, sehingga tidak

terjadi diskriminasi terhadap masyarakat yang memerlukan bantuan

hukum dan asas-asas penyelenggaraan bantuan hukum itu dapat terlaksana

dengan baik.

2. Prosedur Pemberian Bantuan Hukum

Pemberian bantuan hukum merupakan salah satu penunjang

pencapaian keadilan. Seorang advokat, contohnya, berhak menerima

honorarium dari klien atas jasa hukum yang ia berikan. Namun kenyataannya,

tidak semua rakyat Indonesia hidup berkecukupan. Sehingga bagi mereka

yang tidak mampu, diberikan bantuan hukum Cuma-Cuma yang wajib

diberikan oleh advokat sesuai dengan Kode Etik Advokat.

Namun perlu diketahui bahwa orang atau kelompok orang miskin yang

menurut Undang-Undang Bantuan Hukum disebut sebagai penerima bantuan

hukum, tidak serta merta memperoleh bantuan hukum. Ketentuan pasal 14

ayat (1) Undang-Undang Bantuan Hukum kemudian menyebutkan syarat-

syarat yang harus dipenuhi oleh si pemohon bantuan hukum, yaitu:

a. Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya

identitas42 pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang

dimohonkan bantuan hukum;

42 Lihat penjelasan pasal 14 ayat (1) huruf a UU No. 16 Tahun 2011. "Yang dimaksud dengan
"identitas" antara lain nama lengkap, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, alamat lengkap, dan
pekerjaan yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk dan/atau dokumen lain yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang".

43
b. Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan

c. Melampiran surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat

yang setingkat di tempat tinggal pemohon bantuan hukum.

Sedangkan dalam hal pemohon bantuan hukum tidak mampu

menyusun permohonan secara tertulis, permohonan dapat diajukan secara

lisan. Mengenai tata cara pemberian bantuan hukum kemudian diuraikan

dalam pasal 15 yang menyebutkan:

(1)Pemohon bantuan hukum mengajukan permohonan bantuan hukum

kepada pemberi bantuan hukum.

(2)Pemberi bantuan hukum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari

kerja setelah permohonan bantuan hukum dinyatakan lengkap harus

memberikan jawaban menerima atau menolak permohonan bantuan

hukum.

(3)Dalam hal permohonan bantuan hukum diterima, pemberi bantuan hukum

memberikan bantuan hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari penerima

bantuan hukum.

(4)Dalam hal permohonan bantuan hukum ditolak, pemberi bantuan hukum

mencantumkan alasan penolakan.

(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian bantuan

hukum diatur dengan Peraturan Pemerintah.

44
Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam pasal 15 ayat (5) adalah

Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara

Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum43.

Permasalahan hukum yang banyak menjerat orang atau kelompok

orang miskin saat ini semakin kompleks sehingga menuntut pemerintah untuk

segera memperhatikan dan mengaturnya secara terencana, sistematik,

berkesinambungan dan mengelolanya secara profesional. Oleh karena itu,

adanya Peraturan Pemerintah mengenai Syarat dan Tata Cara Pemberian

Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum ini diarahkan dapat

menjadi dasar hukum bagi penyusunan peraturan penyelenggaraan bantuan

hukum di daerah serta mencegah terjadinya penyelenggaraan bantuan hukum

sebagai praktek industri yang berorientasi pada keuntungan semata dan

mengabaikan kepentingan-kepentingan para penerima bantuan hukum itu

sendiri.

Peraturan Pemerintah ini mengatur tata cara pemberian bantuan lebih

konkrit. Dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 menyatakan:

(1) Pemohon bantuan hukum mengajukan permohonan bantuan hukum secara

tertulis kepada pemberi bantuan hukum.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

(a) dentitas pemohon bantuan hukum; dan

43 Lihat penjelasan umum PP No. 42 Tahun 2013. "Dalam Peraturan Pemerintah ini pemberian
bantuan hukum meliputi ranah pidana, perdata, dan tata usaha negara, baik secara litigasi maupun
nonlitigasi yang sepenuhnya dilakukan oleh para pemberi bantuan hukum yang terdiri dari
organisasi-organisasi bantuan hukum.

45
(b)uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimintakan bantuan

hukum.

(3) Permohonan bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus

melampirkan:

a. surat keterangan miskin dari Lurah, Kepala Desa, atau pejabat yang

setingkat di tempat tinggal pemohon bantuan hukum44; dan

b. dokumen yang berkenaan dengan perkara.

Pasal 7 mengatur tentang identitas pemohon bantuan hukum, yang

dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk dan/atau dokumen lain yang

dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Dalam hal tidak ada identitas,

pemberi bantuan hukum membantu pemohon bantuan hukum dalam

memperoleh surat keterangan alamat sementara dan/atau dokumen lain

dari instansi yang berwenang sesuai domisili pemberi bantuan hukum.

Kemudian dalam pasal 8 menyebutkan apabila pemohon bantuan

hukum tidak memiliki surat keterangan miskin sebagaimana syarat yang

ditentukan dalam pasal 6 ayat (3) huruf a, maka dapat juga dengan

melampirkan Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat, Bantuan Langsung

Tunai, Kartu Beras Miskin, atau dokumen lain sebagai pengganti surat

keterangan miskin45. Namun apabila pemohon bantuan hukum tidak

memiliki dokumen yang dimaksud, termasuk dokumen yang dimaksud

44 Lihat penjelasan pasal 6 ayat (3) huruf a PP No. 42 Tahun 2013. "Yang dimaksud dengan
"pejabat yang setingkat" antara lain kepala nagari, kepala gampong, kepala kampung, atau kepala
negeri".

45 Lihat penjelasan pasal 8 ayat (1) PP No. 42 Tahun 2013. "Yang dimaksud dengan "dokumen
lain sebagai pengganti surat keterangan miskin" antara lain surat keterangan yang diketahui oleh
pejabat penegak hukum pada tingkat pemeriksaan".

46
pada pasal 7, maka pemberi bantuan hukum membantu pemohon bantuan

hukum dalam memperoleh persyaratan tersebut.

Permohonan bantuan hukum tidak wajib dibuat secara tertulis.

Permohonan dapat diajukan secara lisan bagi pemohon bantuan hukum

yang tidak mampu menyusun permohonan secara tertulis, sebagaimana

diatur dalam pasal 10. Kemudian permohonan secara lisan itu dituangkan

dalam bentuk tertulis oleh pemberi bantuan hukum, serta ditandatangani

atau dicap jempol oleh pemohon bantuan hukum.

Pasal 11 menjelaskan mengenai pemeriksaan kelengkapan

persyaratan hingga diterima atau tidaknya permohonan tersebut.

Kelengkapan persyaratan wajib diperiksa oleh pemberi bantuan hukum

dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja sejak berkas

permohonan bantuan hukum diterima. Apabila berkas persyaratan sudah

lengkap, menjadi kewajiban dari pemberi bantuan hukum untuk

menyampaikan kesediaan atau penolakan secara tertulis atas permohonan

dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan

dinyatakan lengkap. Dalam hal pemberi bantuan hukum menyatakan

kesediaannya, pemberi bantuan hukum memberi bantuan hukum

berdasarkan surat kuasa khusus46 dari penerima bantuan hukum. Namun

apabila permohonan ditolak, pemberi bantuan hukum wajib memberikan

alasan penolakan secara tertulis paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak

permohonan dinyatakan lengkap.

46 Lihat penjelasan pasal 11 ayat (3) PP No. 42 Tahun 2013. "Surat kuasa khusus pemberian
bantuan hukum ditandatangani atau cap jempol oleh penerima bantuan hukum".

47
Jangka waktu pemberian bantuan hukum ini kemudian diatur

dalam pasal 12 yang menyatakan: "Pemberian bantuan hukum oleh

pemberi bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum diberikan

hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai

kekuatan hukum tetap, selama penerima bantuan hukum tersebut tidak

mencabut surat kuasa khusus".

Penjelasan umum Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 ini

menyatakan bahwa pemberian bantuan hukum meliputi ranah pidana,

perdata, dan tata usaha negara, baik secara Litigasi maupun Nonlitigasi.

Berkaitan dengan hal ini, maka Peraturan Pemerintah ini juga memiliki

pasal yang mengatur pemberian bantuan hukum dengan cara dimaksud di

atas. Dalam pasal 13, pemberian bantuan hukum secara Litigasi dilakukan

oleh advokat yang berstatus sebagai pengurus pemberi bantuan hukum

dan/atau advokat yang direkrut oleh pemberi bantuan hukum. Dalam hal

jumlah advokat yang terhimpun dalam wadah pemberi bantuan hukum

tidak memadai dengan banyaknya jumlah penerima bantuan hukum,

pemberi bantuan hukum dapat merekrut paralegal, dosen, dan mahasiswa

fakultas hukum yang telah lulus mata kuliah hukum acara dan pelatihan

paralegal. Ketentuan pasal 15 kemudian menyebutkan pemberian bantuan

hukum secara Litigasi dilakukan dengan cara:

a. Pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat

penyidikan, dan penuntutan;

b. Pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam proses pemeriksaan

di persidangan; dan

48
c. Pendampingan dan/atau menjalankan kuasa terhadap penerima bantuan

hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Sedangkan pemberian bantuan hukum secara Nonlitigasi diatur

dalam pasal 16, di mana bantuan hukum seperti ini dapat dilakukan oleh

advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum dalam lingkup

pemberi bantuan hukum yang telah lulus Verifikasi dan Akreditasi.

Kegiatannya meliputi:

a. Penyuluhan hukum;

b. Konsultasi hukum;

c. Investigasi perkara47, baik secara elektronik maupun nonelektronik;

d. Penelitian hukum;

e. Mediasi;

f. Negosiasi;

g. Pemberdayaan masyarakat;

h. Pendampingan di luar pengadilan; dan/atau

i. Drafting dokumen hukum.

Berdasarkan pasal 12 Undang-Undang Bantuan Hukum, maka

penerima bantuan hukum yang tidak mendapatkan haknya, sesuai dengan

pasal 39 Peraturan Pemerintah ini, dapat melaporkan pemberi bantuan

hukum kepada Menteri, induk organisasi pemberi bantuan hukum, atau

kepada instansi yang berwenang. Selanjutnya pasal 40 mengatur dalam hal

47 Lihat penjelasan pasal 16 ayat (2) huruf c PP No. 42 Tahun 2013. "Yang dimaksud dengan
"investigasi perkara" adalah kegiatan pengumpulan data, informasi, fakta dan analisis secara
mendalam untuk mendapatkan gambaran secara jelas atas suatu kasus atau perkara hukum guna
kepentingan pendampingan".

49
advokat pemberi bantuan hukum litigasi yang tidak melaksanakan

pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 13

Peraturan Pemerintah ini sampai dengan perkaranya selesai atau

mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberi bantuan hukum wajib

mencarikan advokat pengganti.

Pasal 41 menjelaskan mengenai tindakan yang dapat dilakukan

Menteri terkait adanya pelanggaran pemberian bantuan hukum ini, yaitu: 72

Lihat penjelasan pasal 16 ayat (2) huruf c PP No. 42 Tahun 2013. "Yang

dimaksud dengan "investigasi perkara" adalah kegiatan pengumpulan data,

informasi, fakta dan analisis secara mendalam untuk mendapatkan

gambaran secara jelas atas suatu kasus atau perkara hukum guna

kepentingan pendampingan".

a. Membatalkan perjanjian pelaksanaan bantuan hukum. Dalam hal ini

Menteri menunjuk pemberi bantuan hukum lain untuk mendampingi

atau menjalankan kuasa penerima bantuan hukum;

b. Menghentikan pemberian anggaran bantuan hukum; dan/atau

c. Tidak memberikan anggaran bantuan hukum pada tahun anggaran

berikutnya.

B. Perlindungan dan Peradilan Anak Menurut Undang-Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak

1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Sebagai negara yang Pancasilais, serta menjunjung tinggi nilai-nilai

kebangsaan dan kemanusiaan, Indonesia memiliki banyak peraturan yang

secara tegas memberikan upaya perlindungan anak. dalam Konstitusi UUD

50
1945, disebutkan bahwa "Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh

negara", kemudian juga perlindungan spesifik hak anak sebagai bagian dari

hak asasi manusia, masuk dalam pasal 28B ayat (2), bahwa "Setiap anak

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta memperoleh

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi"48.

Sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa,

maka setiap anak, baik yang berkonflik dengan hukum maupun tidak, wajib

diperhatikan hak-haknya untuk dilindungi, agar tumbuh dan berkembang

secara wajar. Untuk itu maka anak perlu dilindungi. Anak wajib dilindungi

agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja baik secara langusng

maupun tidak langsung. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri

sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental,

fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus

dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan

kondisinya49.

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk

menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan

kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik

fisik, mental, dan sosial.Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara

berlebihan dan memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri

anak itu sendiri, sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak berakibat

negatif. Perlindungan anak dilaksanakan rasional, bertanggungjawab dan

48 M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 27.

49 Maidin Gultom II, Op. Cit, hlm. 69.

51
bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien. Usaha

perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreativitas,

dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan terhadap orang lain dan

berperilaku tak terkendali, sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan

kemauan menggunakan hak- haknya dan melaksanakan kewajiban-

kewajibannya50.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak membrikan definisi bahwa perlindungan anak adalah

segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar

dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi. Selanjutnya pasal 2 menyebutkan

penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-

prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:

a. Non diskriminasi, artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam

Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) harus diberlakukan kepada setiap anak

tanpa pembedaan apapun.

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak, mengingatkan kepada semua

penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan

dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan

dengan ukran orang dewasa, apalagi berpusat kepada kepentingan orang

dewasa. Karena apa yang baik menurut orang dewasa, belum tentu baik
50 Maidin Gultom I, Op. Cit, hlm. 33-34.

52
menurut ukuran perlindungan anak. Yang dimaksud dengan asas

kepentingan terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang

menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan

legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak

harus menjadi pertimbangan utama.

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, yaitu hak asasi

yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah,

masyarakat, keluarga, dan orang tua. Pesan dari prinsip ini sangat jelas

bahwa negara harus memastikan setiap anak akan terjamin kelangsungan

hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat dalam dirinya,

bukan pemberian dari negara atau orang per orang. Sehingga jaminan

tersebut menuntut negara untuk menciptakan lingkungan yang kondusif,

sarana dan prasarana hidup yang memadai, serta akses setiap anak untuk

memperoleh kebutuhan dasar.

d. Penghargaan terhadap pendapat anak, yaitu penghormatan atas hak-haka

anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam

pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang

mempengaruhi kehidupannya. Prinsip ini menegaskan bahwa anak

memiliki otonomi kepribadian. Oleh sebab itu, ia tidak bisa hanya

dipandang dalam posisi yang lemah, menerima, dan pasif, tetapi

sesungguhnya mereka adalah pribadi otonom yang memiliki pengalaman,

keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan

orang dewasa.

53
Kemudian dalam pasal 3 disebutkan bahwa perlindungan anak

bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat

dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak

mulia, dan sejahtera.

Sebagaimana Undang-Undang pada umumnya, Undang-Undang

Perlindungan Anak diperlukan guna memberikan jaminan atau kepastian

hukum dalam perlindungan terhadap hak-hak anak, mengingat:

1. Anak adalah amanat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam

dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.

2. Anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran

strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus untuk diharapkan dapat

menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan.

3. Anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan

berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, maupun sosial dan

mempunyai akhlak yang mulia.

4. Pada kenyataannya masih terdapat banyak anak yang belum terlindungi

dari bentuk kekerasan dan eksploitasi serta hidup terlantar dan tidak

mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan yang memadai.

Selain itu, Undang-Undang Perlindungan Anak juga diperlukan untuk

menegaskan adanya kewajiban bagi negara, pemerintah, masyarakat, keluarga,

orang tua dan anak, mengingat:

54
1. Kewajiban memberikan perlindungan anak walaupun sudah disadari

merupakan kewajiban bersama, namun perlu diberikan landasan hukum

secara khusus di samping yang sudah dicantumkan dalam pasal-pasal

UUD 1945 atau dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lain,

agar dapat menjamin pelaksanaannya secara komprehensif dan tepat

penanganan serta sasarannya, yang harus dilakukan oleh negara,

pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua anak.

2. Perlu adanya keseimbangan antara perlindungan hak anak dan pemberian

kewajiban bagi anak dalam kapasitas mendidik anak. Oleh karena itu, di

samping dilindungi hak-haknya, agar tidak menjadi salah asuh, salah arah,

maka perlu ditujukan juga kewajiban yang perlu dilaksanakan oleh anak.

Undang-Undang SPPA juga mengatur tentang perlindungan anak.

Asas-asas Sistem Peradilan Pidana Anak yang dituangkan dalam pasal 2 salah

satunya menyebutkan asas perlindungan. Penjelasan pasal 2 menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan "perlindungan" meliputi kegiatan yang bersifat

langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan anak secara

fisik dan/atau psikis. Perlindungan anak dimaksudkan untuk melindungi dan

mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat

menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan

kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk

menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, dan berguna bagi diri

sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara51.

51 Abintoro Prakoso, Op. Cit, hlm. 100.

55
Perlindungan anak berhubungan dengan beberapa hal yang perlu

mendapat perhatian, yaitu52:

1. Luas lingkup perlindungan:

a. Perlindungan yang pokok meliputi antara lain: sandang, pangan,

pemukiman, pendidikan, kesehatan, hukum.

b. Meliputi hal-hal yang jasmaniah dan rohaniah.

c. Mengenai pula penggolongan keperluan yang primer dan sekunder

yang berakibat pada prioritas pemenuhannya.

2. Jaminan pelaksanaan perlindungan:

a. Sewajarnya untuk mencapai hasil yang maksimal perlu ada jaminan

terhadap pelaksanaan kegiatan perlindungan ini, yang dapat diketahui,

dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan perlindungan.

b. Sebaiknya jaminan ini dituangkan dalam suatu peraturan tertulis baik

dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah, yang

perumusannya sederhana tetapi dapat dipertanggungjawabkan serta

disebarluaskan secara merata dalam masyarakat.

c. Pengaturan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia

tanpa mengabaikan cara-cara perlindungan yang dilakukan di negara

lain, yang patut dipertimbangkan dan ditiru.

Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah53:

52 Maidin Gultom I, Op. Cit, hlm. 35.

53 Maidin Gultom II, Op. Cit, hlm. 70.

56
a. Dasar Filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang

kehidupan keluarga, bemasyarakat, bernegara, dan berbangsa, dan

dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.

b. Dasar Etis, pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika

profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam

pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan

perlindungan anak.

c. Dasar Yuridis, pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada

UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang

berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu

penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari

berbagai bidang hukum yang berkaitan.

Sementara itu, prinsip-prinsip perlindungan anak adalah54:

a. Anak tidak dapat berjuang sendiri. Salah satu prinsip yang digunakan

dalam perlindungan anak adalah: anak itu modal utama kelangsungan

hidup manusia, bangsa dan keluarga, untuk itu hak-haknya harus

dilindungi. Anak tidak dapat melindungi sendiri hak-haknya, banyak

pihak yang mempengaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat

berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.

b. Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child). Agar

perlindungan anak dapat diselenggarakan dengan baik, dianut prinsip

yang menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang

sebagai of paramount importence (memperoleh prioritas tertinggi)


54 Ibid., hlm. 71.

57
dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. tanpa prinsip ini

perjuangan untuk melindungi anak akan mengalami banyak batu

sandungan. Prinsip the best interest of the child digunakan karena

dalam banyak hal anak "korban", disebabkan ketidaktahuan anak,

karena usia perkembangannya. Jika prinsip ini diabaikan, maka

masyarakat menciptakan monster-monster yang lebih buruk di

kemudian hari.

c. Ancangan daur kehidupan (life-circle approach). Perlindungan anak

mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan anak harus dimulai

sejak dini dan terus menerus.

d. Lintas sektoral. Nasib anak tergantung dari berbagai faktor, baik yang

makro maupun mikro, yang langsung maupun tidak langsung.

Kemiskinan, perencanaan kota dan segala penggusuran, sistem

pendidikan yang menekankan hafalan dan bahan-bahan yang tidak

relevan, komunitas yang penuh dengan ketidakadilan, dan sebagainya

tidak dapat ditangani oleh sektor, terlebih keluarga atau anak itu

sendiri. Perlindungan terhadap anak adalah perjuangan yang

membutuhkan sumbangan semua orang di semua tingkatan.

Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara

tidak langsung. Secara langsung maksudnya kegiatannya langsung ditujukan

kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini

dapat berupa antara lain dengan cara melindungi anak dari berbagai ancaman

dari luar dnan dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan

berbagai cara, mencegah anak kelaparan dan mengusahakan kesehatannya

58
dengan berbagai cara, menyediakan sarana pengembangan diri, dan

sebagainya. Perlindungan anak secara tidak langsung yaitu kegiatan tidak

langsung ditujukan kepada anak, tetapi orang lain yang melakukan/terlibat

dalam usaha perlindungan anak. usaha perlindungan demikian misalnya

dilakukan oleh orang tua atau yang terlibat dalam usaha-usaha perlindungan

anak terhadap berbagai ancaman dari luar ataupun dari dalam diri anak,

mereka yang bertugas mengasuh, membina, mendampingi anak dengan

berbagai cara; mereka yang terlibat mencegah anak kelaparan, mengusahakan

kesehatan, dan sebagainya dengan berbagai cara, mereka yang menyediakan

sarana mengembangkan diri anak dan sebagainya; mereka yang terlibat dalam

pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana 55.

Dengan menganggap anak sebagai generasi penerus cita-cita bangsa,

maka diperlukan segala upaya untuk menunjang pertumbuhan dan

perkembangan anak secara wajar. Dapat ditarik satu simpul bahwa perspektif

perlindungan anak adalah cara pandang terhadap semua persoalan dengan

menempatkan posisi anak sebagai yang pertama dan utama. Implementasinya

cara pandang yang demikian adalah ketika kita selalu menempatkan urusan

anak sebagai hal yang paling utama56.

2. Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice

Diversi dalam sistem peradilan pidana merupakan upaya yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana dari

mekanisme formal ke mekanisme yang informal. Diversi dilakukan untuk

55 80Maidin Gultom I, Op. Cit, hlm. 37-38.

56 M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 31.

59
menemukan suatu bentuk penyelesaian yang memberikan perlindungan

terhadap semua pihak dengan mengedepankan prinsip kebersamaan 57.

Pemahaman bahwa menjauhkan anak dari proses peradilan pidana menjadi

penting karena hal ini merupakan bagian upaya perlindungan hak asasi anak

sebagaimana yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak pasal 37 (b), The

Beijing Rules (butir 13.1 dan 2).

Dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang SPPA disebutkan bahwa

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan

pidana ke proses di luar peradilan pidana. Kebijakan legislatif tentang

perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui

Diversi dalam sistem peradilan pidana anak adalah dengan membentuk

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Diversi dalam sistem

peradilan pidana anak. dengan diundangkannya Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada

tanggal 30 Juli 2012, maka Indonesia sudah secara sah memiliki suatu

peraturan yang memberi perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum dengan salah satu metodenya adalah Diversi58.

Hal inilah yang menjadi salah satu perbedaan mencolok antara

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 dengan Undang-Undang SPPA. Undang-

Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, belum menerapkan

lembaga Diversi dalam rumusannya. Sehingga sebelum Undang-Undang

57Mahmud Mulyadi, Bahan Kuliah Politik Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan, hlm. 69.

58 Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Op. Cit, hlm. 68.

60
SPPA mulai diberlakukan, segala kejahatan yang menempatkan anak sebagai

pelakunya harus masuk ke ranah pidana, atau dengan kata lain harus

mengikuti proses peradilan, yang justru sebenarnya dapat dihindarkan.

Bagi anak pelaku tindak pidana, dalam hal ini mekanisme peradilan

akan memberikan stigma terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya

sebagai anak jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkan anak dari sistem

peradilan pidana konvensional ke mekanisme penyelesaian di luar sistem

peradilan pidana. pertimbangan diakukannya Diversi didasarkan pada alasan

untuk memberikan keadilan kepada anak yang telah terlanjur melakukan

tindak pidana serta memberikan kesempatan pada anak untuk memperbaiki

dirinya 59.

Selanjutnya pasal 6 Undang-Undang SPPA menyebutkan bahwa

Diversi bertujuan:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;

b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;

c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Lalu pasal 7 menjelaskan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan,

dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan wajib diupayakan Diversi.

Diversi yang dimaksud dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

a. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun60; dan

59 84 Mahmud Mulyadi, Op. Cit, hlm. 70.

61
b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana61.

Kata "wajib diupayakan" mengandung makna bahwa penegak hukum

anak dari penyidik, penuntut dan juga hakim diwajibkan untuk melakukan

upaya agar proses Diversi bisa dilaksanakan. Hal ini mengakibatkan penegak

hokum anak yang tidak melaksanakan upaya Diversi haruslah diberikan

sanksi62.

Dalam pasal 8 selanjutnya disebutkan bahwa proses Diversi dilakukan

melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya,

Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan

pendekatan Keadilan Restoratif. Apabila diperlukan, musyawarah tersebut

dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. Proses

Diversi wajib memperhatikan:

a. Kepentingan korban;

b. Kesejahteraan dan tanggung jawab anak;

c. Penghindaran stigma negatif;

d. Penghindaran pembalasan;

e. Keharmonisan masyarakat; dan

f. Kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum.

60Lihat penjelasan pasal 7 ayat (2) huruf a UU No. 11 Tahun 2012. "Ketentuan "pidana penjara
di bawah 7 tahun" mengacu pada hukum pidana"

61 Lihat penjelasan pasal 7 ayat (2) huruf b UU No. 11 Tahun 2012. "pengulangan tindak pidana
dalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, baik tindak pidana sejenis
maupun tidak sejenis, termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui Diversi".

62 Lihat pasal 95 UU No. 11 Tahun 2012 yang memberikan ancaman sanksi administratif dan
pasal 96 yang memberikan ancaman pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara atau denda paling
banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

62
Hal tersebut dilakukan demi tercapainya kembali keseimbangan dalam

masyarakat, yang sebelumnya telah timpang dikarenakan tindakan yang

dilakukan oleh anak, sesuai dengan napas Keadilan Restoratif.

Pasal 9 ayat (1) menyebutkan bahwa penyidik, penuntut umum dan

hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan:

a. Kategori tindak pidana.

Dalam penjelasan pasal 9 ayat (1) huruf a, bahwa ketentuan ini

merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin

tinggi prioritas Diversi. Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan

terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan,

pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di

atas 7 (tujuh) tahun.

b. Umur anak.

Dalam penjelasan huruf b, bahwa umur anak dalam ketentuan ini

dimaksudkan untuk menentukan prioritas pemberian Diversi dan semakin

muda umur anak semakin tinggi prioritas Diversi.

c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas.

d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

Selanjutnya dalam ayat (2) bahwa kesepakatan Diversi harus

mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta

kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk:

a. Tindak pidana yang berupa pelanggaran;

b. Tindak pidana ringan;

c. Tindak pidana tanpa korban; atau

63
d. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi

setempat.

Keempat hal di atas merupakan alternatif yang artinya apabila salah

satu kriteria saja terpenuhi maka kesepakatan Diversi tidak lagi membutuhkan

persetujuan. Apabila terdapat kesepakatan Diversi dalam hal yang disebutkan

di atas, maka kesepakatan tersebut dapat dilakukan oleh penyidik beserta

pelaku/keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan dapat pula melibatkan

tokoh masyarakat, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 ayat (1). Pada

ayat (2) kemudian disebutkan bahwa kesepakatan mengenai hal tersebut

dilakukan penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dapat

berbentuk:

a. Pengembalian kerugian dalam hal ada korban;

b. Rehabilitasi medis dan psikososial;

c. Penyerahan kembali kepada orangtua/wali;

d. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau

LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

e. Pelayanan masyarakat.

Pasal 11 menyatakan bahwa hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk

antara lain:

a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

b. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;

c. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau

LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

d. Pelayanan masyarakat.

64
Diversi dalam peradilan pidana anak dimaksudkan untuk menghindari

efek negatif dari pemeriksaan konvensional peradilan pidana terhadap anak,

baik efek negatif proses peradilan maupun efek negatif stigma (cap jahat)

proses peradilan, maka pemeriksaan secara konvensional dialihkan, dan

kepada anak tersebut dikenakan program-program Diversi63

Terdapat tiga jenis pelaksanaan Diversi, yaitu64:

a. Berorientasi kontrol sosial (social control orientation). Dalam hal ini

aparat penegak hukum menyerahkan anak pelaku pada

pertanggungjawaban dan pengawasan masyarakat;

b. Berorientasi pada social service, yaitu pelayanan sosial oleh masyarakat

dengan melakukan fungsi pengawasan, perbaikan dan menyediakan

pelayanan bagi anak pelaku dan keluarganya;

c. Berorientasi pada restorative justice, yaitu memberi kesempatan kepada

pelaku untuk bertanggungjawab atas perbuatannya kepada korban dan

masyarakat. Semua pihak yang terlibat dipertemukan untuk bersama-sama

mencapai kesepakatan, apa tindakan terbaik untuk anak pelaku ini.

Berbicara mengenai Restorative Justice atau Keadilan Restoratif,

merupakan suatu konsep pendekatan yang wajib diutamakan dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak. Konsep Restorative Justice diawali dari pelaksanaan

sebuah program penyelesaian kasus pidana yang dilakukan oleh anak di luar

mekanisme peradilan konvensional yang dilaksanakan oleh masyarakat yang

63 https://ferli1982.wordpress.com/2013/03/05/diversi-dalam-sistem-peradilan-
pidana-anak-di- indonesia/? e pi =7%2CPAGE ID10%2C7061997637 , diakses 26
Januari 2016.

64 Mahmud Mulyadi, Op. Cit, hlm. 71.

65
disebut victim offender mediation. Program ini dilaksanakan di negara Canada

pada tahun 1970.

Program ini pada awalnya dilakukan sebagai tindakan alternatif dalam

memberikan hukuman yang terbaik bagi anak pelaku tindak pidana. pelaku

dan korban dipertemukan terlebih dahulu dalam suatu perundingan untuk

menyusun suatu usulan hukuman abgi anak pelaku yang kemudian akan

menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutus perkara ini. Program ini

menganggap pelaku dan korban sama-sama mendapatkan manfaat yang

sebaik-baiknya sehingga dapat mengurangi angka residivis di kalangan anak-

anak pelaku tindak pidana serta memberikan rasa tanggung jawab bagi

masing-masing pihak65.

Ketentuan pasal 5 ayat (2) Undang-Undang SPPA menyatakan bahwa

Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengutamakan pendekatan Keadilan

Restoratif tersebut meliputi:

a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan pertauran perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam

Undang-Undang ini;

b. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan

umum; dan

c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama

proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau

tindakan.

65Ibid., hlm. 72.

66
Dan ayat (3) menegaskan bahwa ketentuan ayat (2) huruf a dan b itu

wajib diupayakan Diversi. Pasal 1 angka 6 Undang-Undang SPPA sendiri

memberikan definisi dari Keadilan Restoratif, bahwa Keadilan Restoratif

adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,

keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama

mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada

keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Dalam pertemuan antara pihak-pihak tersebut, mediator memberikan

kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-

jelasnya mengenai kronologi tindakan yang telah dilakukannya. Pihak pelaku

yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak korban untuk dapat

menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku

melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban.

Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang

bagaimana dirinya bertanggungjawab terhadap korban dan masyarakat atas


66
perbuatan yang telah dilakukannya . Dalam hal ini korban wajib

mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku, sehingga nantinya dapat

memberikan tanggapan dari penjelasan tersebut. Pihak masyarakat hadir untuk

mewakili kepentingan masyarakat.

Tugas mereka adalah memberikan gambaran tentang kerugian yang

ditimbulkan akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam

paparannya tersebut masyarakat mengharapkan agar pelaku melakukan suatu

66 Marlina, Op. Cit, hlm. 180.

67
perbuatan untuk memulihkan kembali kerusakan akibat perbuatan yang

dilakukan pelaku tersebut.

Tujuan utama Restorative Justice adalah perbaikan atau penggantian

kerugian yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang

diderita oleh masyarakat akibat tindakannya, konsiliasi dan rekonsiliasi

pelaku, korban dan masyarakat. Restorative Justice bertujuan memberdayakan

para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki tindakan

melanggar hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai

landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat.

Restorative Justice juga bertujuan merestorasi kesejahteraan

masyarakat, memperbaiki manusia sebagai anggota masyarakat dengan cara

menghadapkan anak sebagai pelaku berupa pertanggungjawaban kepada

korban atas tindakannya67.

Sementara itu dalam Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana

Anak, peradilan pidana anak dengan keadilan restoratif bertujuan untuk:

a. Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak;

b. Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan;

c. Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan;

d. Menanamkan rasa tanggung jawab anak;

e. Mewujudkan kesejahteraan anak;

f. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

g. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;

h. Meningkatkan keterampilan hidup anak.


67 Abintoro Prakoso, Op. Cit, hlm. 161.

68
Sebenarnya dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, sudah ada upaya pengubahan paradigma pemidanaan anak

di Indonesia, yang bukan lagi ditujukan untuk memberikan pembalasan

(dalam pandangan retributif), tetapi lebih diarahkan kepada proses pembinaan

agar masa depannya menjadi lebih baik.

Namun, paradigma ini dirasakan tidak cukup karena perkembangan

lebih jauh dari aturan dalam undang-undang pengadilan anak dimana

paradigma yang berkembang kemudian bukan lagi sekadar mengubah jenis

pidana menjadi jenis pidana yang bersifat mendidik, tetapi seminimal

mungkin memasukkan anak ke dalam proses peradilan pidana. oleh karena itu,

dalam pembahasan RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, konsep Restorative

Justice dan Diversi dimasukkan dalam pembahasan68.

Restorative Justice dianggap sebagai model pemidanaan modern dan

lebih manusiawi bagi model pemidanaan terhadap anak. Sebagai pemidanaan

yang lebih mengedepankan pemulihan atau penggantian kerugian yang

dialami korban daripada penghukuman pelaku. Proses penyelesaian perkara

pidana anak bukan semata-mata menghukum anak namun bersifat mendidik

dan yang penting adalah mengembalikan kondisi dan memulihkannya

sebagaimana sebelum terjadinya tindak pidana69.

Restorative Justice mampu menawarkan solusi yang komprehensif dan

efektif, ukuran keadilan tidak didasarkan pada balasan setimpal yang

ditimpakan oleh korban kepada pelaku baik secara psikis, fisik atau hukuman,

68 M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 134.

69 Abintoro Prakoso, Op. Cit, hlm. 162.

69
namun tindakan pelaku yang menyakitkan itu disembuhkan dengan

memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan agar pelaku

bertanggung jawab70.

Penerapan dan pelaksanaan konsep Restorative Justice merupakan

tantangan besar untuk membuat konsep ini dapat dimasukkan dalam konstitusi

negara yang sudah mantap. Namun kenyataannya hal tersebut tidaklah mudah.

Meskipun pelaksanaan konsep ini menunjukkan beberapa keberhasilan di

berbagai negara, namun tentunya didapati juga hambatan atau tantangan

dalam pelaksanaannya. Contohnya adalah pelanggaran yang sangat serius

dilakukan oleh anak. adanya kesulitan untuk membuat rasa percaya

masyarakat terhadap pelaksanaan Restorative Justice pada kasus-kasus yang

berat. Selain itu, adanya alasan tindakan residivis oleh pelaku anak setelah

menjalani proses Restorative Justice membuat pertanyaan masyarakat apabila

harus mengulangi proses tersebut beberapa kali terhadap pelaku yang sama.

Semua pihak pelaksana Restorative Justice harus berperan sangat

efektif. Segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan baik, termasuk hak-hak

dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam mediasi sehingga akan

menemukan hasil yang diharapkan. Apabila korban tidak mendapat

pendampingan, baik oleh walinya, lembaga anak maupun pihak

pendukungnya maka akan membuat perasaan diintimidasi dan dikorbankan

kembali pada korban, terlebih lagi jika pelaku yang hadir dan pihak

keluarganya berkeinginan keras untuk mencapai kesepakatan.

70 Ibid.

70
Sudah secara tegas dimaknai dalam Undang-Undang SPPA bahwa

proses peradilan itu merupakan jalan terakhir dalam penyelesaian tindak

pidana yang dilakukan oleh anak. Sehingga sebelum masuk ke proses

peradilan, terlebih dahulu wajib diupayakan proses penyelesaian di luar jalur

pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan Keadilan Restoratif.

Sebagaimana pasal 13 menyatakan bahwa proses peradilan pidana

anak dilanjutkan dalam hal:

a. Proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau

b. Kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan.

C. Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

Pemberian bantuan hukum merupakan salah satu upaya untuk

melindungi hak-hak anak, termasuk memberikan nasihat hukum bagi anak

dalam proses peradilan. Bantuan hukum berarti suatu bentuk bantuan kepada

tersangka/terdakwa anak yang berupa nasihat hukum. Dasar pemberian

bantuan ini seperti dituangkan dalam pasal 3 Undang-Undang SPPAyang

menyebutkan hak-hak anak dalam proses peradilan salah satunya adalah

memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif (pasal 3 huruf c).

Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan

kepada tersangka/terdakwa, orang tuanya, walinya, atau orang tua asuhnya

mengenai hak memperoleh bantuan hukum yang dimaksud. Sehingga setiap

anak yang ditangkap atau ditahan berhak untuk langsung berhubungan dengan

penasihat hukum dengan diawasi dan tanpa didengar oleh pejebat yang

berwenang.penasihat hukum wajib memperhatikan kepentingan anak dan

kepentingan umum dalam memberikan bantuan hukum kepada anak serta

71
berusaha agar suasana kekeluargaan tetap terpelihara dan peradilan berjalan

lancer71.

Para pihak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, mulai dari penyidik,

penuntut umum, hakim, pembimbing kemasyarakatan, hingga advokat atau

pemberi bantuan hukum lain, dalam memeriksa perkara anak, anak korban,

dan/atau anak saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan. Semua pakaian

kebesaran pejabat tidak digunakan, hal ini untuk memberikan kesan ramah

sehingga persidangan dapat berjalan dengan lancar dan penuh rasa

kekeluargaan. Untuk menciptakan suasana kekeluargaan maka seyogyanya

anak didampingi oleh penasihat hukumnya atau orang tua/wali/orang tua

asuhnya, sehingga pemeriksaan dapat berjalan tanpa adanya suatu paksaan

terhadap anak.

Undang-Undang Pengadilan Anak terdahulu menentukan bahwa

bantuan hukum dapat diberikan kepada anak, bukan sebagai kewajiban

negara. Ini disebabkan pandangan yang meletakkan anak sama seperti orang

dewasa yang diadili dalam sistem peradilan orang dewasa. Di samping itu,

dengan tidak adanya Pengadilan Anak, maka dirasakan cukup beralasan bila

norma hukum dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 mengenai bantuan

hukum kepada anak hanya sekadar "dapat" bukan kewajiban72.

Beberapa argumentasi berikut ini bisa dikembangkan untuk

memberikan bantuan hukum sebagai hak yang wajib diberikan antara lain73:

71 Ibid., hlm. 113.

72 Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Op. Cit, hlm. 100-101.

73 Lihat dalam Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, hlm. 54-55.

72
Pertama, secara konseptual Pengadilan Anak diarahkan sebagai

peradilan yang bukan biasa (not ordinary) seperti peradilan orang dewasa,

tetapi peradilan yang memiliki kekhususan tertentu.

Kedua, sebagai peradilan yang bersifat khusus, maka Pengadilan Anak

dilakukan dengan petugas dan penegak hukum yang khusus, baik penyidik,

jaksa, hakim, pengacara/advokat, serta petugas PK dan Pekerja Sosial (social

worker). Jangan membayangkan bantuan hukum anak nakal sebagai bantuan

hukium biasa, karena ada prinsip kekhususan aparatur dan petugas. Lagipula,

perbuatan pidana anak nakal (diasumsikan) bukan perbuatan yang "otentik",

dan karenanya anak nakal bukan pelaku "otentik". Arah politik hukum

amandemen Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 mesti mampu membedakan

antara perbuatan anak nakal sebagai perbuatan yang "otentik" dengan

perbuatan yang hanya akibat saja dari keadaan dan peristiwa lain.

Ketiga, anak berkonflik dengan hukum adalah anak yang

membutuhkan perlindungan khusus (Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2002),

sehingga perlindungan hukum dan hak-haknya dari/dengan pelaku kriminal

dewasa.

Keempat, secara faktual, dari berbagai laporan banyak ditemukan

kekerasan terhadap anak berkonflik dengan hukum, baik pada masa

penyidikan, penuntutan, persidangan maupun pada masa menjalani hukuman.

Dengan demikian, kekerasan menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari anak

yang berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu, sebagai upaya maksimal

melindungi anak dari kekerasan, maka sebagai media pencegahan kekerasan

terhadap anak berkonflik dengan hukum, beralasan apabila pemberian bantuan

73
hukum kepada anak menjadi suatu kewajiban, bukan hanya sekadar "dapat"

diberikan kepada anak.

Kelima, landasan yuridis untuk memperkukuh argumentasi ini dapat

berangkat dari pasal 58 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 yang menjamin anak

berhak memperoleh perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik dan

mental, penelantaran, perlakuan buruk, bahkan perlindungan anak dari

kekerasan sudah merupakan hak konstitusional yang secara khusus dan

eksplisit diatur dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945 (amandemen).

Ketentuan tersebut merupakan politik hukum legislator untuk bisa

memberikan jaminan perlindungan terbaik bagi pelaksanaan hak-hak anak

khususnya anak yang berkonflik dengan hukum. Keberadaan advokat atau

pemberi bantuan hukum sangatlah diperlukan agar ada yang bisa

mendampingi anak yang berkonflik dengan hukum, sehingga baik anak

ataupun keluarganya dapat mengetahui hak-haknya serta dapat menjaga agar

peradilan pidana anak berjalan dengan adil dan transparan. Masih rendahnya

pengetahuan masyarakat akan hukum, membuat keberadaan advokat atau

pemberi bantuan hukum sangatlah diperlukan74.

Pasal 18 Undang-Undang SPPA menyatakan bahwa dalam menangani

perkara anak, anak korban, dan/atau anak saksi, Pembimbing

Kemasyarakatan, Pekerja Sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik,

Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya

wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan

suasana kekeluargaan tetap terpelihara. Yang dimaksud dengan "pemberi

74 M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 175.

74
bantuan hukum lainnya" adalah paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas

hukum sesuai dengan Undang-Undang Bantuan Hukum. Lalu apabila kita

merujuk pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum,

maka pemberian bantuan hukum adalah dengan Cuma-Cuma alias

prodeo.Sedangkan suasana kekeluargaan yang dimaksud misalnya suasana

yang membuat anak nyaman, ramah anak, serta tidak menimbulkan ketakutan

dan tekanan. Dalam menangani perkara anak, identitas anak, anak korban,

dan/atau anak saksi juga harus dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak

ataupun elektronik. Penasihat hukum selalu di samping anak, bekerja untuk

anak, memberi nasihat di pengadilan, dan menjaga kerahasiaan anak.

Selama jalannya proses peradilan, anak itu akan memiliki hak untuk

diwakili oleh seorang penasihat hukum atau untuk memohon bantuan hukum

bebas biaya, di mana terdapat ketentuan untuk bantuan demikian di negara itu.

Anak-anak harus memiliki hak akan nasihat pengacara hukum dan

diperbolehkan meminta bantuan hukum tanpa biaya, untuk berhubungan

secara teratur dengan penasihat hukum mereka. Privasi dan kerahasiaan harus

dijamin untuk hubungan-hubungan seperti itu75.

Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Bantuan Hukum, bantuan hukum

dilaksanakan berdasarkan asas:

a. Keadilan;

b. Persamaan kedudukan di dalam hukum;

c. Keterbukaan;

d. Efisiensi;
75 Abintoro Prakoso, Op. Cit, hlm. 115.

75
e. Efektivitas; dan

f. Akuntabilitas.

Enam hal tersebut merupakan dasar pemberian bantuan hukum.

Sehingga dari enam asas tersebut dapat dirumuskan tujuan penyelenggaraan

bantuan hukum, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 3 Undang-Undang

Bantuan Hukum yaitu:

a. Menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk

mendapatkan akses keadilan;

b. Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip

persamaan kedudukan di dalam hukum;

c. Menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara

merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan

a. d. Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang SPPA menyatakan bahwa dalam

setiap tingkat pemeriksaan, anak wajib diberikan bantuan hukum dan

didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahkan terhadap putusan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, advokat atau pemberi bantuan

hukum lainnya juga dapat mewakili anak untuk memohon peninjauan kembali

kepada Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan (pasal 51).

Dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum (kecuali

pembacaan putusan), ketentuan pasal 55 selanjutnya menyatakan bahwa

76
hakim wajib memerintahkan orang tua/wali atau pendamping, advokat atau

pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk

mendampingi anak. Dan apabila orang tua/wali dan/atau pendamping tidak

dapat hadir, sidang akan tetap dilanjutkan dengan didampingi oleh advokat

atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/atau Pembimbing Kemasyarakatan.

Bila hal tersebut tidak dijalankan, maka sidang anak dinyatakan batal demi

hukum.

Lalu bagaimana jika ternyata anak tidak mampu untuk mencari sendiri

penasihat hukumnya? Undang-Undang SPPA tidak mengaturnya, sehingga

berlakulah ketentuan pasal 56 ayat (1) dan (2) KUHAP sebagai berikut:

Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan

tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman 15 (lima belas)

tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang

bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib

menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana

yang dimaksud dalam ayat (1) memberikan bantuannya secara Cuma-Cuma

(prodeo).

Penasihat hukum bagi anak seyogyanya juga yang mempunyai minat

dan perhatian terhadap anak seperti penyidik anak, penuntut umum anak dan

hakim anak76. Advokat atau pemberi bantuan hukum lain, secara khusus dalam

menangani perkara anak, wajib memberikan bantuan hukum sesuai dengan

asas-asas penyelenggaraan bantuan hukum sebagaimana dirumuskan dalam

76Ibid., hlm. 116.

77
Undang-Undang Bantuan Hukum, menjunjung tinggi kode etik profesinya,

serta berpedoman pada asas-asas Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu:

perlindungan, keadilan, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak,

penghargaan terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh

kembang anak, pembinaan dan pembimbingan anak, proporsional,

perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan

penghindaran pembalasan. Hak-hak anak harus dijunjung tinggi dengan

harapan mereka tidak mendapatkan intimidasi atau paksaan agar tercapainya

akses terhadap keadilan.

Nasihat hukum dan pendampingan dalam setiap tingkat pemeriksaan

yang diberikan oleh advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya ini sejalan

dengan ketentuan pasal 10 huruf e Undang-Undang Bantuan Hukum, yang

salah satunya menyebutkan bahwa kewajiban pemberi bantuan hukum adalah

memberikan bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum berdasarkan

syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang Bantuan Hukum

sampai perkaranya selesai, kecuali ada alasan yang sah secara hukum. Begitu

juga pasal 12 huruf a yang menyatakan bahwa penerima bantuan hukum

berhak mendapatkan bantuan hukum hingga masalah hukumnya selesai

dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama

penerima bantuan hukum yang bersangkutan tidak mencabut surat kuasa.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian bantuan hukum terhadap

perkara anak sifatnya adalah tetap hingga perkara itu selesai, atau ada alasan-

alasan yang sah secara hukum sehingga bantuan hukum terhadap perkara

tersebut dihentikan.

78
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Bantuan hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat Barat sejak

zaman Romawi. Di Indonesia sendiri, bantuan hukum sudah dikenal sejak

masa penjajahan. Namun perkembangan pesat terjadi pada masa Orde Baru

sebagaimana diwujudkan dalam ketentuan pasal 35-38 Undang-Undang No.

14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hingga

diundangkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum,

sehingga pemberian bantuan hukum selanjutnya dilaksanakan menurut


79
ketentuan Undang-Undang tersebut.Sedangkan pengaturan tentang Peradilan

Anak sebelumnya diatur melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak. Namun seiring perkembangan kehidupan manusia, Undang-

Undang Pengadilan Anak ini dianggap sudah tidak relevan dengan kehidupan

manusia, sehingga lahirlah Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak yang menggantikan Undang-Undang No. 3

Tahun 1997. Segala ketentuan mengenai anak beserta proses beracara di

pengadilan, hingga ketentuan pidana bagi pihak pelanggar juga diatur di

dalamnya. Termasuk menyinggung sedikit tentang advokasi bantuan hukum.

2. Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum memberikan

penjelasan tentang siapa yang dimaksud sebagai Pemberi (pasal 1 angka 3)

dan Penerima Bantuan Hukum (pasal 1 angka 2), syarat-syarat (pasal 8), serta

apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka (pasal 9-13). Bantuan hukum

menurut Undang-Undang Bantuan Hukum diberikan secara Cuma-Cuma.

Mengenai pelaksanaan pemberian bantuan hukum itu sendiri dijelaskan dalam

pasal 14-15, yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah,

yang kemudian melahirkan PP No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata

Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.

Sementara itu Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak mengatur mengenai anak yang berkonflik dengan hukum dalam

menjalani proses pemeriksaan perkaranya. Undang-Undang SPPA ini

mewajibkan upaya Diversi dengan pendekatan Keadilan Restoratif, sehingga

peradilan merupakan jalan terakhir penyelesaian perkara apabila tidak ada

kesepakatan Diversi. Salah satu asas Undang-Undang SPPA ini adalah

80
perlindungan (pasal 2), salah satunya mengenai advokasi bantuan hukum

(pasal 3 huruf c), yang wajib diberikan dalam setiap tingkat pemeriksaan

(pasal 23 ayat (1)). Tidak ada pengaturan khusus tentang anak dalam Undang-

Undang Bantuan Hukum, sehingga advokasi bantuan hukum terhadap anak itu

juga ditinjau dari perspektif Undang-Undang SPPA.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat penulis berikan

antara lain:

1. Diharapkan dengan pengaturan dalam instrumen perundang-undangan yang

sudah dimulai sejak dahulu dan telah mengalami perkembangan, advokasi

bantuan hukum serta sistem peradilan anak dapat semakin menunjukkan

eksistensinya dalam pemenuhan kebutuhan akan bantuan hukum tiap-tiap

warga negara, secara khusus terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

Diperlukan pengawasan dan pelaksanaan efisien dari Pemerintah melalui

aparatur negara sehingga masyarakat dapat merasakan dampak dari perubahan

dan perkembangan Undang-Undang tersebut.

2. Diperlukan pengawasan dan tindakan tegas dari pemerintah dalam

pelaksanaan bantuan hukum dan sistem peradilan pidana anak. Menjadi

kewajiban pemerintah untuk menyediakan berbagai macam elemen dalam

rangka menunjang terlaksananya Undang-Undang SPPA dengan baik,

mengingat bahwa Undang-Undang ini memberikan masa transisi 5 tahun

setelah diberlakukan, di mana pemberlakuannya 2 tahun setelah diundangkan

(Agustus 2012). Khusus mengenai advokasi bantuan hukum terhadap anak,

belum ada ketentuan khusus yang mengaturnya dalam Undang-Undang

81
Bantuan Hukum. Sehingga disarankan agar pengaturan khusus itu dapat

segera direalisasikan. Hal paling utama adalah, kita semua baik pemerintah,

aparat penegak hukum dan masyarakat harus saling bekerjasama untuk

menciptakan suatu kondisi yang baik bagi kehidupan anak, sebagai upaya

pencegahan agar anak-anak tidak terjerumus dalam perkara hukum. Bilamana

nantinya harus berhadapan dengan hukum sekalipun, sudah tercipta suatu

sistem yang baik dan tidak merugikan anak, sehingga anak dapat terus

berkembang demi kemajuan negara.

DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU

Abdussalam, H. R. dan Adri Desasfuryanto. 2014. Hukum Perlindungan


Anak. Jakarta: PTIK Press.

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2012. Pengantar Metode Penelitian Hukum.


Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Atmasasmita, Romli. 1984. Problema Kenakalan Anak dan Remaja. Bandung:


CV. Armico.

Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1979. Loka Karya Tentang Peradilan


Anak. Bandung: Bina Cipta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahsa


Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Dirdjosisworo, Soedjono. 1984. Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan


Hukum. Bandung: CV. Armico.

82
Djamil, M. Nasir. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan
UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA). Jakarta: Sinar
Grafika.

Gultom, Maidin. 2013. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem


Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: PT. Refika
Aditama.

. 2013. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan. Bandung: PT.


Refika Aditama.

Hamzah, Andi. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap, M. Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan


KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. 2009. Perlindungan


Terhadap Saksi dan Korban. Jakarta: Paragraph World.

Mansar, Adi dan Ikhwaluddin Simatupang. 2007. Hukum Acara Pidana


Indonesia Dalam Perspektif Advokat dan Bantuan Hukum.
Medan: Jabal Rahmat.

Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom. 2008. Urgensi Perlindungan


Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.

Marlina. 2012. Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep


Diversi dan Restorative Justice. Bandung: PT. Refika Aditama.

Mulyadi, Mahmud. 2014. Bahan Kuliah Politik Hukum Pidana. Medan:


Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Prakoso, Abintoro. 2013. Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak.


Yogyakarta: Laksbang Grafika.

Pramukti, Angger Sigit dan Fuady Primaharsya. 2015. Sistem Peradilan


Pidana Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Sartono dan Bhekti Suryani. 2013. Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Advokat.


Jakarta: Dunia Cerdas.

Soetarman. 1979. Kenakalan Anak. Bandung: Alumni.

Sudarto. 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

83
Sunggono, Bambang dan Aries Harianto. 2009. Bantuan Hukum dan Hak
Asasi Manusia. Bandung: CV. Mandar Maju.

Wadong, Maulana Hasan. 2000. Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak.


Jakarta: Gramedia Wirasarana Indonesia.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

84

Anda mungkin juga menyukai