Anda di halaman 1dari 17

PERBEDAAN SURAT GUGATAN DENGAN SURAT DAKWAAN

Di susun Oleh :

M.Zariq Asmy

20150075

F (BTC)

ILMU HUKUM

UNIVERSITAS RIAU KEPULAUAN

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia dalam berinterkasi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat
sering menimbulkan konfilk. Konflik ini adakalanya dapat diselesaikan secara damai,
tetapi adakalanya konflik tersebut menimbulkan ketegangan yang terus- menerus
sehingga menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Agar dalam
mempertahankan hak masing-masing pihak itu tidak melampaui batas-batas dari
norma yang ditentukan maka perbuatan sekehendaknya sendiri haruslah dihindarkan.
Apabila para pihak merasa hakhaknya terganggu dan menimbulkan kerugian, maka
orang yang merasa haknya dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Negeri dengan prosedur yang berlaku.
Menurut Darwin Prints, Gugatan adalah suatu upaya atau tindakan untuk
menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya,
guna memulihkan kerugian yang diderita oleh Penggugat melalui putusan pengadilan.
Sementara itu Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa gugatan itu adalah
tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan
oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrighting).
Gugatan adalah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada
tergugat melalui pengadilan. Suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat agar dapat
diterima oleh pengadilan haruslah mempunyai alasan-alasan yang kuat, yang mana
salah satu alasan yang harus dipenuhi adalah adanya pelanggaran hak dan telah
merugikan penggugat. Apabila dalam gugatan yang diajukan oleh penggugat ke
pengadilan tidak mempunyai alasan-alasan yang kuat tentang terjadinya peristiwa,
maka gugatannya dalam persidangan akan berakibat dinyatakan tidak dikabulkan oleh
hakim yang memeriksa perkaranya.
Dengan itu di butuhkan akan surat gugatan dimana surat gugatan merupakan
surat yang dibuat oleh orang yang merasa dirugikan dan diajukan kepada pengadilan
yang berwenang dengan identitas baik pihak Penggugat maupun pihak tergugat jelas
dan lengkap serta ada hubungan hukum dengan permasalahan atau peristiwa yang
merupakan alasan-alasan dari pada tuntutan atau petitum yang harus dirumuskan
sempurna. Di samping surat gugatan terdapat surat dakwaan yang mana merupakan
dasar pemeriksaan suatu perkara pidana dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur
penegak hukum hanya akan mempertimbangkan dan menilai apa yang tertera dalam
surat dakwaan tersebut mengenai benar atau tidaknya terdakwa melakukan suatu
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, didalam hal dalam menjatuhkan
keputusannya.
Surat dakwan dalam tuntutan perdata disebut surat gugatan, maka dalam
perkara pidana disebut surat dakwaan dan kedua–keduanya mempunyai persamaan,
karena hakim melakukan pemeriksaan hanya dalam batas–batas surat gugatan atau
dakwaan itulah hakim akan memutuskan. Dengan itu apa perbedaan surat gugatan
dengan surat dakwaan menarik perhatian penulis, untuk itu di tuliskan tulisan dengan
judul “Perbedaan surat gugatan dengan surat dakwaan”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu surat gugatan?
2. Apa itu surat dakwaan?
3. Bagaimana cara menuliskan surat gugatan?
4. Apa perbedaan surat gugatan dan surat dakwaan?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui Apa itu surat gugatan.
2. Untuk mengetahui Apa itu surat dakwaan.
3. Untuk mengetahui Bagaimana cara menuliskan surat gugatan.
4. Untuk mengetahui Bagaimana cara menuliskan surat gugatan.
BAB II

TINJAUAN TENTANG SURAT GUGATAN


2.1 Pengertian Gugatan
Gugatan adalah sebagai suatu tuntutan hak dari setiap orang atau pihak
(kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan dan
menimbulkan perselisihan, yang ditujukan kepada orang lain atau pihak lain yang
menimbulkan kerugian itu melalui pengadilan. Sedangkan menurut sarwono, yang
dimaksud dengan gugatan adalah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat
kepada tergugat melalui pengadilan.
2.2 Syarat-Syarat Gugatan
Surat gugatan harus memenuhi syarat-syarat formal, yaitu sebagai berikut:
a. Di dalam susunan gugatan, antara subjek dan objek gugatan, maupun antara
posita dengan petitum gugatan haruslah jelas, misalnya identitas penggugat
dan tergugat, serta objek gugatan, alasan atau dasar hukum penggugat
mengajukan gugatan
b. Di dalam gugatan haruslah memuat secara lengkap fakta hukum yang menjadi
dasar gugatan, sehingga sejalan dengan permintaanpermintaan penggugat yang
dimuat dalam petitum
c. Di dalam gugatan harus juga memperhatikan logika-logika hukum yang dapat
menimbulkan konsekuensi, bahwa hal-hal tersebut harus diajukan dalam surat
gugatan, misalnya, untuk perkara perbuatan melawan hukum, harus ada
petitum yang menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum.
2.3 Cara Mengajukan Gugatan
Gugatan pada prinsipnya diajukan secara tertulis, tetapi apabila penggugat
tidak dapat menulis maka dapat diajukan dengan lisan kepada ketua pengadilan,
sesuai dengan ketentuan Pasal 120 HIR. Gugatan secara tertulis disebut dengan surat
gugatan. Seorang penggugat mengajukan surat gugatan kepada ketua pengadilan
negeri, berdasarkan Pasal 8 ayat (3) Rv ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam
gugatan sebagai surat materiil gugatan. Kemudian menurut Suepomo terdapat
beberapa peraturan tambahan mengenai kompetensi relatif terkait pengajuan gugatan
yaitu:

a. Jikalau kedua pihak memilih tempat tinggal spesial dengan akte yang tertulis,
maka penggugat jika ia mau dapat mengajukan gugatan kepada ketua
pengadilan negeri dalam daerah hukum nya tempat tinggal yang dipilih itu
terletak (Pasal 118 ayat (4) HIR)
b. Jikalau tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal, maka yang
berkuasa mengadili ialah Pengadilan Negeri dari tempat kediamannya tergugat
c. Jikalau Tergugat juga tidak mempunyai tempat kediaman yang diketahui, atau
jikalau tergugat tidak terkenal, maka gugatan diajukan kepada ketua
pengadilannegeri di tempat tinggalnya penggugat atau di tempat tinggalnya
salah seorang dari para tergugat atau jika gugatannya mengenai barang tak
bergerak misalnya tanah, maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan
negeri dalam daerah hukum nya barang itu terletak (Pasal 118 ayat (3) HIR).

2.4 Penyusunan Surat Gugatan

Dalam menyusun Surat Gugatan terlebih dahulu harus diperhatikan formalitas-


formalitas dalam menyusun Surat Gugatan. Sebenarnya format gugatan tidak
memiliki bentuk atau format baku. Artinya, seluruh sistematika format gugatan
diserahkan kepada pihak Penggugat. Namun, tetap ada beberapa hal yang harus
diperhatikan juga harus memenuhi syarat-syarat formal, yaitu :
a. Gugatan harus jelas, baik mengenai subjek, objek maupun posita dan
petitumnya. Misalnya, alas hak penggugat atau alas hukum yang menjadi dasar
gugatan, identitas penggugat dan tergugat, serta objeknya (surat gugatan yang
tidak jelas harus dinyatakan tidak dapat diterima, vide Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI, tanggal 05 Juni 1975, Nomor 616 K/Sip/1973 dan yang
telah sebagaimana disebutkan di atas);
b. Gugatan harus lengkap, baik mengenai subjek, objek, posita dan petitumnya.
Maksudnya harus memuat secara lengkap fakta hukum yang menjadi dasar
gugatan, serta konsekuensi logis dari fakta itu terhadap permintaan-permintaan
penggugat yang dimuat dalam petitum misalnya, kurang pihak, kurang lengkap
identitas subjek maupun objeknya (surat gugatan yang tidak lengkap harus
dinyatakan tidak dapat diterima, vide Yurisprudensi Mahkamah Agung RI,
tanggal 28 Nopember 1956, Nomor 195 K/Sip/1955).
c. Gugatan harus sempurna, artinya selain memperhatikan syarat jelas dan
lengkap, juga harus memperhatikan logika-logika hukum yang dapat
menimbulkan konsekuensi, bahwa hal-hal tersebut harus diajukan dalam surat
gugatan. Misalnya, untuk perkara perbuatan melawan hukum, harus ada
petitum yang menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum. untuk perkara ingkar janji, harus ada petitum yang menyatakan bahwa
perjanjian yang dibuat antara penggugat dengan tergugat adalah sah, serta
petitum yang menyatakan bahwa tergugat telah ingkar janji. Untuk perkara
waris harus ada petitum yang menyatakan bahwa barang sengketa adalah
barang peninggalan pewaris yang belum dibagi (boedel).
Surat Gugatan yang diajukan pada pengadilan setidaknya memuat hal-hal
sebagai berikut :
1. Kop surat
2. Nomor surat (jika ada)
3. Lampiran (jika ada)
4. Titel/hal gugatan
Ini merupakan kata-kata/kalimat pendek yang biasa digunakan dalam
surat gugatan, yang dicantumkan di bawah tulisan tempat surat gugatan pada
bagian sebelah kiri dari lembar awal dan dalam menentukan judul harus
diperhatikan dengan isi karena harus sesuai/sinkron agar gugatan tidak
menjadi kabur/obscuur libel.
5. Tanggal gugatan dan menyebutkan kota dimana gugatan tersebut di buat.
Untuk tanggal gugatan dapat ditempatkan di awal atau di akhir gugatan.
Untuk menunjukan tempat dan waktu dibuatnya surat gugatan karena
konsekwensi hukumnya, bisa saja surat guatan prematur dan /atau kadaluarsa
pencantumannya dapat diletakan dibagian atas atau pada bagian bawah dari
lembar terakhir surat gugatan seperti pada umumnya surat-surat resmi lainnya.
6. Alamat tujuan gugatan (misalnya Kepada Yang Terhormat Ketua Pengadilan)
Surat gugatan harus diajukan kepada ketua pengadilan tertentu untuk
menentukan pengadilan yang berwenang mengadili dan berpedoman terhadap
ketentuan kompetensi/kewenangan absolut serta kewenangan relatif.
1. Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR / RIB
“Gugatan harus diajukan kepada ketua pengadilan wilayah hukum
tempat kediaman/tempat tinggal Tergugat.”
2. Menurut Pasal 118 ayat (2) HIR / RIB
“Jika tergugatnya lebih dari satu orang, maka Penggugat dapat memilih
salah satu dari Tergugat”
Apabila alamat Tergugat tidak diketahui, maka diajukan ditempat
tinggal terakhir di ketahui dan apabila tempat tinggal terakhir tidak diketahui
diajukan di Wilayah Hukum alamat Penggugat dan berbeda apabila objek
gugatan adalah barang tidak bergerak/benda tetap Penggugat dapat memilih
apakah diajukan di tempat tinggal Tergugat atau di alamat tempat barang tidak
bergerak itu berada (Pasal 118 ayat (3) HIR/RIB).

Dalam hal ada alamat pilihan yang biasanya dicantumkan dalam suatu
perjanjian, maka diajukan di alamat yang ditunjuk dalam surat perjanjian
(Pasal 118 ayat (4) HIR/RIB). Dalam hal ada alamat pilihan yang biasanya
dicantumkan dalam suatu perjanjian, maka diajukan di alamat yagn ditunjuk
dalam surat perjanjian (Pasal 118 ayat (4) HIR/RIB) yang paling penting harus
dipertimbangkan efektifitas, baik mengenai proses, biaya maupun tenaga.
7. Salam Pembuka
8. Pengenalan identitas Penggugat, jika Penggugat tidak menguasakan
perkaranya atau identitas Penggugat dan Kuasanya jika Penggugat
menguasakan kepada pihak lain (Advokat).
9. Penyebutan identitas Tergugat dan Kuasanya.
Identitas merupakan ciri-ciri dari pihak Penggugat atau Para Penggugat
dan Tergugat atau Para Tergugat atau Turut Tergugat yang bermacam-macam
kualifikasinya bisa dalam kapasitas/kualitas hukum sebagai orang pribadi yang
bertindak untuk diri sendiri, bisa untuk orang lain dan bisa untuk atas nama
sebuah lembaga/persekutuan baik badan hukum atau bukan badan hukum.
Serta identitas kusanya kalau menggunakan kuasa.
10. Uraian duduk perkaranya (Posita).
Dalam posita ini untuk menjamin agar putusan hakim dapat
dilaksanakan, maka perlu diminta sita jaminan terhadap obyek sengketa
kepada Majelis Hakim. Ini merupakan uraian tentang hal-hal/dalil-dalil yang
menjadi dasar atau alasan hukum dengan kata lain bagian yang menguraikan
kejadian/peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya,
untuk itu dibutuhkan pengetahuan hukum yang memadai khususnya yang ada
kaitannya dengan materi gugatan agar dapat melakukan analisa terhadap fakta
riil yang ada.
Ini mengenai seberapa jauh harus dicantumkannya perincian tentang
peristiwa yang dijadikan dasar tuntutan ada beberapa pendapat :
a. Menurut Substantieringstheori, tidak cukup disebutkan hukum yang
menjadi dasar tuntutan saja, tetapi harus disebutkan pula kejadian-
kejadian yang nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi
dasar gugatan itu, dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum
tersebut misalnya : bagi Penggugat yang menuntut miliknya, selain
menyebutkan bahwa sebagai pemilik, ia juga harus menyebutkan asal
usul pemilikan tersebut.
b. Menurut individualiseringstheori sudah cukup dengan disebutkannya
kejadian-kejadian yang dicantumkan dalam gugatan yang sudah dapat
menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan.
Dasar atau sejarah terjadinya hubungan tersebut tidak perlu dijelaskan,
karena hal tersebut dapat dikemukakan di dalam sidang-sidang yang
akan datang dengan disertai pembuktian (R. Soeroso, 2006 : 27).
c. Menurut putusan Mahkamah Agung sudah cukup dengan
disebutkannya perumusan kejadian materiil secara singkat (Putusan
MA tanggal 15 Maret 1972 No. 145 k/Sip 1971).

Posita harus disusun sedemikian rupa, dengan memperhatikan hal-hal


berikut ini :

a. Etika, artinya menggunakan gaya bahasa yang sopan, tidak menyerang


kehormatan atau merendahkan pihak lain, khususnya tergugat (lawan).
b. Estetika, artinya menggunakan gaya bahasa yang indah, sehingga enak
dibaca dan mudah dipahami, serta tidak monoton.
c. Bahasa baku, artinya tidak menggunakan kalimat yang berbelit-belit
dan atau panjang, tetapi cukup sederhana, singkat, jelas dan tegas.
d. Memilih kata-kata yang tidak bermakna ganda, sehingga dapat
dihindari perbedaan penafsiran antara penggugat, tergugat dan hakim.
e. Konsisten dalam menggunakan istilah, artinya tidak menggunakan
istilah yang berbeda-beda untuk hal tertentu, misalnya, tim 9, panitia
IX, ketua, pimpinan, pemimpin, tanah sengketa, objek perkara, tanah
terperkara dan lain-lain.
f. Sinkron artinya tidak kontradiktif diantara bagian-bagian posita
maupun dengan petitum.
g. Menggunakan kalimat yang bermakna hubungan sebab akibat (kausal)
artinya fakta hukum yang ditampilkan dalam kalimat awal, akan
membawa akibat hukum yang diuraikan dalam kalimat berikutnya,
misalnya : oleh karena tergugat menguasai tanah sengketa tanpa alas
hak yang sah, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan
hukum.
h. Menyusun posita dengan menggunakan kronologi peristiwa hukum,
untuk memudahkan pemahaman yang runtut, guna meyakinkan hakim
akan alas hak yang sah bagi penggugat, dengan memberi nomor urut
untuk masing-masing alinea, serta memberi nomor halaman untuk
setiap lembar kertas yang digunakan.
11. Uraian apa yang diminta atau dituntut (Petitum)

Petitum gugatan adalah berisi tentang permintaan-permintaan yang


diajukan oleh penggugat kepada hakim/pengadilan, berkaitan dengan adanya
berbagai pertimbangan hukum, yang telah diuraikan dalam posita. Oleh karena
itu, di dalam membuat petitum harus memperhatikan hal-hal, sebagai berikut :

a. Kesesuaian atau sinkronisasi dengan posita, artinya alasan-alasan yang


telah diuraikan dalam posita itulah yang harus digunakan sebagai dasar
untuk mengajukan permintaan.
b. Tidak kontradiksi, artinya petitum tidak boleh kontradiksi dengan
posita maupun dengan bagian petitum lainnya.
c. Orang yang ditetapkan dalam petitum harus sebagai pihak dalam
perkara
d. Petitum harus jelas dan tegas, artinya apa yang diminta harus jelas dan
tegas, sehingga tidak membingungkan hakim. Berikut ini contoh-
contoh petitum tidak jelas (obscuur libel).
e. Petitum tidak boleh bersifat negatif, artinya berisi tentang perintah
untuk tidak berbuat. Contoh : Menghukum tergugat supaya tidak
mengambil tindakan yang bersifat merusakkan bangunan sengketa.
f. Petitum harus runtut dan disusun sesuai dengan poin-poin posita, serta
diberi nomor urut.
Permintaan atau tuntutak baik primer/pokok atau tambahan dan
subsidiair/ pengganti yang diajukan / diharapkan penggugat agar diputuskan
oleh hakim, oleh karena itu harus dirumuskan secara jelas dan tegas, oleh
karena itu fetitum harus sinkronisasi dengan posita tidak kontradiksi dan
disusun sesuai dengan poin-poin posita sedangkan jenis-jenis petitum dapat
dikelompokan sebagai berikut :
a. Petitum declaratoir, yang isinya bersifat menerangkan atau
menyatakan keabsahan.
b. Petitum consitutif, yang isinya bersifat menciptakan atau meniadakan
suatu keadaan hukum.
c. Petitum condemnatoir, yang isinya bersifat hukuman yang dapat
dipaksakan dengan cara eksekusi. Dalam praktik, sering terjadi suatu
perkara telah dimenangkan oleh pihak penggugat, akan tetapi
penggugat tidak dapat menikmati kemenangannya, karena putusannya
tidak dapat dieksekusi (non executable). Salah satu sebabnya adalah
petitumnya tidak ada yang bersifat condemnatoir (hanya bersifat
constitutif atau declaratoir saja).
d. Petitum provisionil, yang isinya bersifat permintaan kepada hakim agar
diadakan tindakan pendahuluan, selama proses pemeriksaan perkara
berlangsung, misalnya agar pihak penggugat tidak makin dirugikan
oleh tindakan tergugat.
e. Petitum alternatif, yang isinya bersifat pilihan, dengan tujuan memberi
kesempatan kepada hakim untuk menjatuhkan pilihan, sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Petitum model ini harus dibuat dengan
cara mengajukan permintaan kepada hakim agar menjatuhkan pilihan
yang pertama dan apabila hakim tidak berkenan, supaya menjatuhkan
pada pilihan yang kedua dan seterusnya.
12. Salam penutup
13. Nama terang Penggugat dan / atau kuasanya
14. Tanda tangan Penggugat dan / atau kusanya
Setelah surat gugatan selesai disusun atau dibuat, maka surat gugatan
itu harus ditanda tangan Penggugat atau kuasa hukumnya apabila
menguasakan, hal ini diatur dalam Pasal 118 ayat 1 HIR / RIB dalam hal
Penggugat buta huruf, maka gugatan diajukan dengan lisan kepada Ketua
Pengadilan kemudian ketua pengadilan mencatat gugatan itu atau menyuruh
orang lain (pegawainya) untuk mencatat (Pasal 120 HIR/RIB) lalu dibubuhi
cap jempol (cap ibu jari) Penggugat dan dilegalisasi oleh Ketua Pengadilan
BAB III

PERBEDAAN SURAT GUGATAN DAN SURAT DAKWAAN

3.1 Surat Gugatan


Secara umum pengertian surat gugatan adalah surat yang ditujukan kepada
ketua pengadilan perihal gugatan atau permohonan hak perdata oleh penggugat, yang
ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya/kuasa hukumnya. Adapun gugatan
tersebut setidaknya memuat tiga hal berikut, yaitu:
1. Identitas para pihak, yakni keterangan lengkap para pihak yang berperkara
yaitu nama, tempat tinggal, dan pekerjaan (eks Pasal 1367 BW). Kalau
mungkin juga agam, umur, dan status;
2. Posita atau fundamentum petendi. Bagian ini menjelaskan tentang peristiwa
dan hubungan hukum antara pihak-pihak. Termasuk dalam hal ini adalah hak
yang dilanggar sehubungan dengan peristiwa hukum yang ada.
3. Petitum atau petita. Pada bagian ini tercantum tentang hal – hal yang
merupakan permintaan penggugat. Petitum tersebut harus dirumuskan lengkap
dan jelas oleh penggugat, karena hakim terikat untuk mengabulkan apa yang
diminta dalam petitum tersebut.
Perlu diketahui bahwa pengajuan gugatan tidak harus tertulis dalam bentuk surat
gugatan tetapi juga boleh diajukan secara lisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 120
H.I.R yaitu bilamana penggugat buta huruf, maka surat gugatnya yang dapat
dimasukkannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri, yang mencatat gugat itu
atau menyuruh mencatatnya.

3.2 Surat Dakwaan


Surat dakwaan dibuat oleh jaksa penuntut umum berdardasarkan berkas
perkara yang diterima dari pihak penyidik. Setelah jaksa penuntut umum menilai
bahwa berkas penyidikan tersebut lengkap dan memenuhi syarat, maka ia harus segera
membuat surat dakwaan untuk selanjutnya diajukan di muka sidang pengadilan. Surat
dakwaan juga harus memenuhi syarat tertentu, baik itu syarat formil maupun syarat
materil, sebagaiman terbaca pada Pasal 143 KUHAP ayat (2), yaitu:
1. Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan
ditandatangani serta berisi:
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.
2. Syarat pada point a tersebut adalah syarat formil sedangkan pada poin b adalah
syarat materil. Agar surat dakwaan tidak batal demi hukum, kedua syarat
tersebut harus tercantum dalam surat dakwaan. Adapun bentuk-bentuk surat
dakwaan dibedakan dalam lima bentuk yaitu; Dakwaan Tunggal, Dakwaan
Alternatif, Dakwaan Subsidair, Dakwaan Kumulatif dan Dakwaan Kombinasi.

3.3 Perbedaan Surat Gugatan dan Surat Dakwaan

Perihal surat gugatan, surat ini digunakan dalam ranah hukum acara perdata.
Sebagaimana dijelaskan oleh Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata
dalam buku Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (hal. 15), menurut
ketentuan Pasal 118 Herzien Inlandsch Reglement (“H.I.R.”) gugatan harus diajukan
dengan surat permintaan, yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Surat
permintaan ini dalam praktek disebut surat gugat atau surat gugatan. Selengkapnya
bunyi Pasal 118 ayat (1) H.I.R. adalah sebagai berikut:

Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan


Negeri,  harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh
penggugat atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri
di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat
diamnya, tempat tinggal sebetulnya.

Jika melihat uraian dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,


Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 48-49) yang
ditulis oleh M. Yahya Harahap, dijelaskan bahwa terdapat 2 bentuk gugatan, antara
lain adalah berbentuk lisan dan berbentuk tertulis.

Untuk yang berbentuk lisan, diatur dalam Pasal 120 H.I.R. sebagai berikut:


Bilamana penggugat buta huruf, maka surat gugatnya yang dapat dimasukkannya
dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri, yang mencatat gugat itu atau
menyuruh mencatatnya.

Perlu diketahui bahwa surat dakwaan digunakan dalam ranah hukum acara


pidana pada tahap penuntutan yang diatur dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
Surat dakwaan dibuat oleh penuntut umum setelah ia menerima berkas perkara
dan hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik. Dalam hal ia berpendapat bahwa
dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka penuntut umum dalam waktu
secepatnya membuat surat dakwaan. Sebagimana pernah dijelaskan pada artikel Yang
Menyebabkan Surat Dakwaan Batal Demi Hukum, pada surat dakwaan, Penuntut
Umum menjerat si Terdakwa (seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili
di sidang pengadilan) bisa dengan pasal tunggal atau dakwaan tunggal, yaitu
melakukan tindak pidana satu pasal saja.
Perlu diperhatikan bahwa penuntut umum dalam membuat surat dakwaan
harus diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan. Jika tidak memenuhi ketentuan ini, maka surat dakwaan batal demi
hukum.
Menurut Soekatri Darmabrata dan Poerbatin D.F. dalam buku Kisi-Kisi Praktek
Hukum Pidana (hal. 64), ketentuan huruf a di atas merupakan syarat formil, sementara
ketentuan huruf b merupakan syarat materiil. Tetapi sedikit berbeda, mereka
menjabarkan syarat materiil sebagai berikut:
a. waktu dan tempat tindak pidana dilakukan;
b. unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan;
c. keterangan mengenai keadaan, terutama yang dapat memberatkan atau
meringankan terdakwa;
d. pasal undang-undang yang dilanggar.
Menurut Soekatri dan Poerbatin dalam buku yang sama (hal. 65), syarat
materiil pada angka 1 dan 2 adalah syarat yang mutlak. Dengan tidak dipenuhinya
syarat-syarat tersebut akan mengakibatkan batalnya surat dakwaan. Surat dakwaan
yang tidak memenuhi syarat materiil adalah merupakan surat dakwaan yang null and
avoid atau van rechtswege nietig. Namun demikian, sifat batal demi hukum yang
ditentukan Pasal 143 ayat (3) KUHAP adalah tidak murni secara mutlak. Masih
diperlukan adanya pernyataan batal dari hakim yang memeriksa perkara, sehingga
sifat surat dakwaan yang batal demi hukum, pada hakikatnya dalam praktik adalah
dinyatakan batal atau vernietig baar atau annulment. Langkah selanjutnya, penuntut
umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera
mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. Surat dakwaan
ini dibacakan pada saat permulaan sidang, atas permintaan dari hakim ketua sidang.

Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia (hal.
167), kalau dalam tuntutan perdata disebut surat gugatan, maka dalam perkara pidana
disebut surat dakwaan, keduanya mempunyai persamaan, karena dengan itulah hakim
melakukan pemeriksaan dan hanya dalam batas-batas dalam surat gugatan/dakwaan
itulah hakim akan memutuskan. Di samping itu, menurut Andi Hamzah ada perbedaan
asasi, yaitu kalau surat gugatan disusun oleh pihak yang dirugikan, maka dalam
pembuatan surat dakwaan, penuntut umum (jaksa) tidak tergantung pada kemauan
korban (kecuali dalam delik aduan). Surat dakwan dalam tuntutan perdata disebut
surat gugatan, maka dalam perkara pidana disebut surat dakwaan dan kedua–
keduanya mempunyai persamaan, karena hakim melakukan pemeriksaan hanya dalam
batas–batas surat gugatan atau dakwaan itulah hakim akan memutuskan.
Perbedaannya adalah dalam surat gugatan disusun oleh pihak yang dirugikan namun
dalam pembuatan surat dakwaan penuntut umum (jaksa) tidak tergantung pada
kemauan korban (kecuali dalam delik aduan).
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Manusia dalam berinterkasi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat


sering menimbulkan konfilk. Apabila para pihak merasa hakhaknya terganggu dan
menimbulkan kerugian, maka orang yang merasa haknya dirugikan dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Negeri dengan prosedur yang berlaku. Gugatan adalah
suatu upaya atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk
melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita oleh
Penggugat melalui putusan pengadilan. Gugatan adalah suatu tuntutan hak yang
diajukan oleh penggugat kepada tergugat melalui pengadilan. Suatu gugatan yang
diajukan oleh penggugat agar dapat diterima oleh pengadilan haruslah mempunyai
alasan-alasan yang kuat, yang mana salah satu alasan yang harus dipenuhi adalah
adanya pelanggaran hak dan telah merugikan penggugat.

Dengan itu di butuhkan akan surat gugatan dimana surat gugatan merupakan
surat yang dibuat oleh orang yang merasa dirugikan dan diajukan kepada pengadilan
yang berwenang dengan identitas baik pihak. Surat dakwan dalam tuntutan perdata
disebut surat gugatan, maka dalam perkara pidana disebut surat dakwaan dan kedua–
keduanya mempunyai persamaan, karena hakim melakukan pemeriksaan hanya dalam
batas–batas surat gugatan atau dakwaan itulah hakim akan memutuskan. Perbedaan
akan surat gugatan dengan surat dakwaan adalah surat gugatan disusun oleh pihak
yang dirugikan namun dalam pembuatan surat dakwaan penuntut umum (jaksa) tidak
tergantung pada kemauan korban (kecuali dalam delik aduan).

4.2 Saran

Penulisan sudah di lakukan sesuai dengan yang seharusnya namun


pembahasan masih terlalu pendek, penulis mengetahui akan kekurangan bahwasanya
penulisan ini masih memiliki banyak kekurangan termasuk akan kekurangan sumber-
sumber yang di butuhkan. Dengan itu, di sarankan untuk menambah topik dan
pendapat para ahli melebihi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Fauzan, Achmad, dan Suhertanto. 2007. Teknik menyusun gugatan perdata di Pengadilan
Negeri, Y. Rama Widya. Bandung.

M. Yahya Harahap. 2016. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.

R. Soeparmono. 2005. Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi. Mandar Maju : Bandung.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. 1995. Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek. Bandung: CV. Mandar Maju.

Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika : Jakarta Timur.

Soekatri Darmabrata dan Poerbatin D.F. 1997. Kisi-Kisi Praktek Hukum Pidana. Jakarta:
Sekretariat Konsorsium Ilmu Hukum Universitas Indonesia.

Soeroso R. 2006. Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara dan Proses Persidangan, Sinar
Grafika, Jakarta.

Susilo, Budi. 2007. Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai