Di susun Oleh :
M.Zariq Asmy
20150075
F (BTC)
ILMU HUKUM
2022
BAB I
PENDAHULUAN
a. Jikalau kedua pihak memilih tempat tinggal spesial dengan akte yang tertulis,
maka penggugat jika ia mau dapat mengajukan gugatan kepada ketua
pengadilan negeri dalam daerah hukum nya tempat tinggal yang dipilih itu
terletak (Pasal 118 ayat (4) HIR)
b. Jikalau tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal, maka yang
berkuasa mengadili ialah Pengadilan Negeri dari tempat kediamannya tergugat
c. Jikalau Tergugat juga tidak mempunyai tempat kediaman yang diketahui, atau
jikalau tergugat tidak terkenal, maka gugatan diajukan kepada ketua
pengadilannegeri di tempat tinggalnya penggugat atau di tempat tinggalnya
salah seorang dari para tergugat atau jika gugatannya mengenai barang tak
bergerak misalnya tanah, maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan
negeri dalam daerah hukum nya barang itu terletak (Pasal 118 ayat (3) HIR).
Dalam hal ada alamat pilihan yang biasanya dicantumkan dalam suatu
perjanjian, maka diajukan di alamat yang ditunjuk dalam surat perjanjian
(Pasal 118 ayat (4) HIR/RIB). Dalam hal ada alamat pilihan yang biasanya
dicantumkan dalam suatu perjanjian, maka diajukan di alamat yagn ditunjuk
dalam surat perjanjian (Pasal 118 ayat (4) HIR/RIB) yang paling penting harus
dipertimbangkan efektifitas, baik mengenai proses, biaya maupun tenaga.
7. Salam Pembuka
8. Pengenalan identitas Penggugat, jika Penggugat tidak menguasakan
perkaranya atau identitas Penggugat dan Kuasanya jika Penggugat
menguasakan kepada pihak lain (Advokat).
9. Penyebutan identitas Tergugat dan Kuasanya.
Identitas merupakan ciri-ciri dari pihak Penggugat atau Para Penggugat
dan Tergugat atau Para Tergugat atau Turut Tergugat yang bermacam-macam
kualifikasinya bisa dalam kapasitas/kualitas hukum sebagai orang pribadi yang
bertindak untuk diri sendiri, bisa untuk orang lain dan bisa untuk atas nama
sebuah lembaga/persekutuan baik badan hukum atau bukan badan hukum.
Serta identitas kusanya kalau menggunakan kuasa.
10. Uraian duduk perkaranya (Posita).
Dalam posita ini untuk menjamin agar putusan hakim dapat
dilaksanakan, maka perlu diminta sita jaminan terhadap obyek sengketa
kepada Majelis Hakim. Ini merupakan uraian tentang hal-hal/dalil-dalil yang
menjadi dasar atau alasan hukum dengan kata lain bagian yang menguraikan
kejadian/peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya,
untuk itu dibutuhkan pengetahuan hukum yang memadai khususnya yang ada
kaitannya dengan materi gugatan agar dapat melakukan analisa terhadap fakta
riil yang ada.
Ini mengenai seberapa jauh harus dicantumkannya perincian tentang
peristiwa yang dijadikan dasar tuntutan ada beberapa pendapat :
a. Menurut Substantieringstheori, tidak cukup disebutkan hukum yang
menjadi dasar tuntutan saja, tetapi harus disebutkan pula kejadian-
kejadian yang nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi
dasar gugatan itu, dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum
tersebut misalnya : bagi Penggugat yang menuntut miliknya, selain
menyebutkan bahwa sebagai pemilik, ia juga harus menyebutkan asal
usul pemilikan tersebut.
b. Menurut individualiseringstheori sudah cukup dengan disebutkannya
kejadian-kejadian yang dicantumkan dalam gugatan yang sudah dapat
menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan.
Dasar atau sejarah terjadinya hubungan tersebut tidak perlu dijelaskan,
karena hal tersebut dapat dikemukakan di dalam sidang-sidang yang
akan datang dengan disertai pembuktian (R. Soeroso, 2006 : 27).
c. Menurut putusan Mahkamah Agung sudah cukup dengan
disebutkannya perumusan kejadian materiil secara singkat (Putusan
MA tanggal 15 Maret 1972 No. 145 k/Sip 1971).
Perihal surat gugatan, surat ini digunakan dalam ranah hukum acara perdata.
Sebagaimana dijelaskan oleh Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata
dalam buku Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (hal. 15), menurut
ketentuan Pasal 118 Herzien Inlandsch Reglement (“H.I.R.”) gugatan harus diajukan
dengan surat permintaan, yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Surat
permintaan ini dalam praktek disebut surat gugat atau surat gugatan. Selengkapnya
bunyi Pasal 118 ayat (1) H.I.R. adalah sebagai berikut:
Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia (hal.
167), kalau dalam tuntutan perdata disebut surat gugatan, maka dalam perkara pidana
disebut surat dakwaan, keduanya mempunyai persamaan, karena dengan itulah hakim
melakukan pemeriksaan dan hanya dalam batas-batas dalam surat gugatan/dakwaan
itulah hakim akan memutuskan. Di samping itu, menurut Andi Hamzah ada perbedaan
asasi, yaitu kalau surat gugatan disusun oleh pihak yang dirugikan, maka dalam
pembuatan surat dakwaan, penuntut umum (jaksa) tidak tergantung pada kemauan
korban (kecuali dalam delik aduan). Surat dakwan dalam tuntutan perdata disebut
surat gugatan, maka dalam perkara pidana disebut surat dakwaan dan kedua–
keduanya mempunyai persamaan, karena hakim melakukan pemeriksaan hanya dalam
batas–batas surat gugatan atau dakwaan itulah hakim akan memutuskan.
Perbedaannya adalah dalam surat gugatan disusun oleh pihak yang dirugikan namun
dalam pembuatan surat dakwaan penuntut umum (jaksa) tidak tergantung pada
kemauan korban (kecuali dalam delik aduan).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dengan itu di butuhkan akan surat gugatan dimana surat gugatan merupakan
surat yang dibuat oleh orang yang merasa dirugikan dan diajukan kepada pengadilan
yang berwenang dengan identitas baik pihak. Surat dakwan dalam tuntutan perdata
disebut surat gugatan, maka dalam perkara pidana disebut surat dakwaan dan kedua–
keduanya mempunyai persamaan, karena hakim melakukan pemeriksaan hanya dalam
batas–batas surat gugatan atau dakwaan itulah hakim akan memutuskan. Perbedaan
akan surat gugatan dengan surat dakwaan adalah surat gugatan disusun oleh pihak
yang dirugikan namun dalam pembuatan surat dakwaan penuntut umum (jaksa) tidak
tergantung pada kemauan korban (kecuali dalam delik aduan).
4.2 Saran
Andi Hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Fauzan, Achmad, dan Suhertanto. 2007. Teknik menyusun gugatan perdata di Pengadilan
Negeri, Y. Rama Widya. Bandung.
M. Yahya Harahap. 2016. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
R. Soeparmono. 2005. Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi. Mandar Maju : Bandung.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. 1995. Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek. Bandung: CV. Mandar Maju.
Soekatri Darmabrata dan Poerbatin D.F. 1997. Kisi-Kisi Praktek Hukum Pidana. Jakarta:
Sekretariat Konsorsium Ilmu Hukum Universitas Indonesia.
Soeroso R. 2006. Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara dan Proses Persidangan, Sinar
Grafika, Jakarta.