B. BENTUK GUGATAN
1. Bentuk Lisan
Bentuk lisan diatur dalam Pasal 120 HIR (144 RBG) yang menegaskan: bila mana
penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada
ketua pengadilan yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya
a. Syarat formal gugatan lisan
Penggugat tidak bisa membaca atau menulis dengan kata lain penggugat buta
aksara. Tidak termasuk orang yang buta hukum atau kurang memahami hukum
juga tidak disyaratkan orang yang tidak mampu secara finansial
b. Cara Mengajukan gugatan lisan
1) Terutama diadiajukan dengan lisan
2) Diajukan kepada ketua pengadilan
3) Menjelaskan atau menerangkan isi gugatan
c. Fungsi ketua pengadilan
1) Ketua pengadilan wajib memberikan layanan
2) Pelayanan yang harus diberikan ketua pengadilan yaitu mencatat atau
menyuruh mencatat gugatan yang disampaikan penggugat dan merumuskan
sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai yang diterangkan
penggugat
2. Bentuk tertulis
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis ditegaskan
dalam pasal 118 ayat 1 HIR pasal 142 RBG. Menurut pasal ini gugatan perdata harus
dimasukkan kepada pengadilan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh
penggugat atau kuasanya yang berhak dan berwenang membuat dan mengajukan
gugatan perdata adalah sebagai berikut:
a. Penggugat sendiri
Yaitu surat gugatan dibuat dan ditandatangani oleh penggugat sendiri dimana
tidak ada keharusan hukum bagi penggugat untuk menguasakan atau memberi
kuasa dalam membuat penandatanganan serta pengajuan gugatan kepada
seseorang yang berpredikat pengacara atau advokat
b. Kuasa
Yaitu memberikan hak dan kewenangan kepada kuasa atau wakilnya untuk
membuat, menadatangani, mengajukan atau menyampaikan surat gugatan kepada
pengadilan yang digariskan pada pasal 123 ayat 1 HIR yang menyatakan baik
penggugat dan tergugat:
1) dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakan untuk melakukan
tindakan didepan pengadilan
2) kuasa itu diberikan dengan surat kuasa hukum dengan surat kuasa khusus
3) sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan, kuasa yang akan
bertindak mewakili penggugat harus terlebih dahulu diberi kuasa khusus
4) berdasarkan surat kuasa khusus, kuasa bertindak membuat, menandatangani
dan mengajukan surat gugatan atas nama dan kepentingan penggugat
5) apabila kuasa atau penerima kuasa, membuat, menandatangani dan
mengajukan gugatan sebelum mendapat kuasa atau lebih dahulu membuat dan
menandatangani gugatan daripada tanggal surat kuasa:
a. Dianggap mengandung cacat formil
b. Akibat gugatan itu dinyatakan pengadilan tidak sah dan tidak dapat
diterima atas alasan gugatan ditandatangani oleh pihak yang tidak
berwenang. untuk itu karena pada waktu menandatangani gugatan dia
sendiri belum mepunyai surat kuasa.
5. FUNDAMENTUM PETENDI
Adalah dasar gugatan atau dasar hukum yang akrab digunakan dengan sebutan posita
gugatan atau disebut dalil gugatan.
Mengenai rumusan Fundamentum Petendi muncul dua teori:
pertama disebut substantierings theorie, dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan
peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan tetapi harus menjelaskan fakta-fakta
yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa
hukum tersebut
kedua teori individualisasi, yang menjelaskan peristiwa atau kejadian hukum yang
dikemukakan dalam gugatan harus dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum
yang menjadi dasar tuntutan namun tidak perlu dikemukakan dasar dan sejarah
terjadinya hubungan hukum, karena hal itu dapat diajukan berikutnya dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Rumusan kejadian materi secara singkat sudah
memenuhi syarat:
a. Unsur Fundamentum petendi
Unsur Fundamentum petendi yang terdiri
1) Dasar hukum yang memuat hubungan penggugat dengan materi atau objek
hukum yang disengketakan dan antara penggugat dan tergugat berkaitan
dengan materi atau objek sengketa.
2) Dasar Fakta yang memuat fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung
dengan atau disekitar hubungan hukum yang terjadi antara penggugat dengan
materi perkara dengan pihak penggugat dan menjelaskan pula fakta-fakta yang
langsung berkaitan dengan dasar hukum atau hubungan hukum yang
didalilkan penggugat
b. Dalil gugatan yang dianggap tidak mempunyai dasar hukum
1) Pembebasan pemidanaan atas laporan tergugat tidak dapat dijadikan dasar
hukum menuntut ganti rugi
2) Dalil gugatan berdasarkan perjanjian tidak halal berdasarkan KUHP Perdata
pasal 1337’
3) Gugatan tuntutan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum berdasarkan pasal
1365 KUHP Perdata, yaitu kesalahan hakim dalam melaksanakan fungsi
pengadilan.
4) Dalil gugatan yang tidak berdasarkan sengketa dianggap tidak mempunyai
dasar hukum
5) Tuntutan ganti rugi atas sesuatu hasil yang tidak dirinci berdasarkan fakta.
Dianggap gugatan yang tidak mempunyai dasar hukum.
6) Dalil gugatan yang mengandung saling pertentangan
7) Hak atas obyek Gugatan tidak jelas.
6. PETETUM GUGATAN
Petetum Gugatan yaitu yang berisi pokok tuntutan penggugat berupa diskripsi yang
jelas menyebutkan satu persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang mejadi
pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dibebankan kepada penggugat dengan
kata lain petetum gugatan berisi tuntutan atau permintaan kepada pengadilan untuk
dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak penggugat atau hukuman kepada tergugat atau
kedua belah pihak.
Ruang lingkup petetum gugatan perlu dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
a. Bentuk petetum
1) Bentuk tunggal
Apabila deskripsi yang menyebutkan satu persatu pokok tuntutan tidak diikuti
dengan petetum lain yang bersifat alternatif
2) Bentuk alternatif
a) yang terdiri petetum primer dan subsider sama-sama dirinci
b) petetum primer dirinci dan diikuti dengan petetum subsider berbentuk (mohon
keadilan)
b. Berbagai petetum yang tidak memenuhi syarat:
1) Tidak menyebutkan secara tegas apa yang diminta atau petetum bersifat umum
2) Petetum ganti rugi tetapi tidak dirinci dalam gugatan tidak memenuhi syarat
3) Petetum yang bersifat negatif tidak dapat dikabulkan yang bersifat merusak
bangunan
4) Petetum tidak sejalan dengan dalil gugatan
c. Sepintas penerapan petetum
1) Petetum primer dikaitkan dengan Ex-Aequo Et Bono (mohon keadilan)
2) Berwenang mengurangi petetum
3) Tidak dapat mengabulkan yang tidak diminta dalam petetum
1. Sistim Pemeriksaan secara Contradictoir yang digariskan dalam pasal 125 dan pasal 127
HIR yang sistim pemeriksaannya sebagai berikut :
a. Dihadiri kedua belah pihak secara inperson atau Kuasnya.
b. Proses pemerikssan berlangsung secara op teganspraak yaitu memberikan hak dan
kesempatan kepada Tergugat untuk membantah dalil Penggugat dan sebaliknya
Penggugat juga berhak melawan bantahan Tergugat.
2. Asas Pemeriksaan
a. Mempertahankan Tata Hukum Perdata
b. Menyerahkan sepenuhnya kewajiban menemukan fakta dan kebenaran kepada para
pihak.
c. Tugas hakim menemukan kebenarkan formil.
d. Persidangan Terbuka untuk umum.
e. Audi alteram Partem yaitu pemeriksaan persidangan harus mendengan kedua belah
pihak secara seimbang, Pengadilan atau majelis memimpin pemeriksaan persidangan
wajib memberikan kesempatan yang sama.
f. Asas imparsialitas,
- dengan tidak memihak,
- bersikap jujur atau adil,
- tidak bersikap diskrimataif,
1. Asas Imparsialitass ditegakan melalui pasal 28 UU No. 14 tahun 1970
sekarang dalam pasal 29 UU No. Tahun 2004
a. Pihak yang diadili mempergunakan hak ingkar
- Hak seseorang untuk mengajukan keberatan terhadap hakim yang
mengadili perkaranya,
- pengajuan perkara disertai alasan, diajukan kepada pengadilan, dan
atas hal itu pengadilan mengabulkan atau menolak.
- Diajukan kepada Pengadilan disertai alasan,
- akta Penggingkaran atau penolakan tanda tangan yang bersngkutan
atau kuasanya yang sampaikan kepada Panitera untuk disampaikan
kepada Ketua pengadilan
- majelis hakim memeriksa pengingkaran menyelidiki alasan alasan
pengingkaran.
- putusan mengenai pengingkaran tidak bisa dimintakan banding,
b. Wijib mengundurkan diri sesuai dengan ketentuan pasal 28 ayat 2 dan 3
UU No. 4 tahun 2004 jo. UU 48 2009/
- putusan yang dijatuhkan batal demi hukum, alasan ,
- karena putusan yang dijatuhkan melanggar asas amparsialitas.
2. Cakupan Asas impersialitas yang terkandung dalam pengertian Non
Diskriminatif.
3. Pengucualian terhadap Acara Pemeriksaan Contradictoir
Sudah dijelaskan sistem pemeriksaan gugat contentiosa (gugatan perdatayang
bersifat partai) dilakukan secra contradictoir. Menurut ketentuan pasal 125 dan
127 HIR, pemeriksaan yang sah secara formal, apabila diharidi kedua belah
pihak . Selanjutnya proses pemeriksaan harus tunduk dan menaati asas-asas
pemeriksaan terbuka untuk umum, audi alteram partem imparsialitas. Akan
tetapi dalam hal tertentu diperbolehkan melakukan pemeriksaan secara ex
parte Pemeriksaan hanya dilakukan terhadap pihak yang hadir saja dengan
jalan mengabaikan kepentingan yang tidak hadir. Jadi dalam hal dan dengan
alasan tertentu , prinsip pemeriksaan contradictoir, dapat dikesampingkan.
b. Salah satu pihak tidak Hadir hari sidamh Kedua atau sidang berikutnya.
Peristiwa yang seperti ini dapat terjadi, apabila pada sidang yang pertama atau
sidang kedua dan ketiga para pihak datang menghadiri pemeriksaan , akan
tetapi pada penundaan hari persidangan yang ditentukan hakim, salah satu
pihak tidak hadir tanpa alasan yang sah. Dalam kasus yang seperti ini , pasal
127 HIR memberikan hak dan kewenangan kepada hakim untuk melanjutkan
peleriksaan maupun menjatuhkan putusan diluar hadirnya pihak tersebut,
pemeriksaan atau putusan dianggap dilakukan dan diambil secara op
tegenspraak atau contracditoir misalnya Tergugat terdiri dari beberapa orang.
Pada sidang pertama semua hadir, kemudian hakim mengundurkan
persidangan pada hari tertentu. Ternyata pada hari sidang pengunduuran
tersebut, hanya satu orang Tergugat yang hadir, sedangkan yang lain tidak
hadir tanpa alasan yang sah dalam kasus yang demikian.
2. Ciri-ciri permohonan
a. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata ( for the benefit of one
party only)
b. Benar benar murni untuk menyelsaikan kepentingan pemohonan tentang
permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hukum, misalnya sesuatu izin dari
pengadilan untuk melakukan tindakan tertentu.
c. Pada Prinsipnya , apa yang dipermasalahkan pemohon, tidak bersentuhan dengan hak
dan kepentingan orang lain.
d. Permasalahan yang dimohon penyelsaian kepada Pengadilan, pada prinsipnya tanpa
sengketa dengan pihak lain ( Withtot disputes or differences with another party)
Berdasrkan ukuran ini, tidak dibenarkan mengajukan permohonan tentang
penyelsaian sengketa hak atau kepemilikan maupun pemyerahan serta pembayaran
sesuatu oleh orang lain atau pihak ke tiga.
e. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, trtapi bersifat ex
parte.
f. acara permohonan bersifat voluntair,,
g. dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan,
h. tidak mengundang sengketa,
i. putusan hakim berupa penetapan,
j. upaya hukumnya adalah kasasi,
Dalam lingkungan peradilan agama, sebagaimana di jelaskan dalam SEMA nomor 2
tahun 1990 tentang petunjuk pelaksanaan undang-undang No.7 tahun 1989 yang menjelaskan
bahwa pada azasnya cerai talaq adalah merupakan sengketa perkawinan antara dua belah
pihak sehingga karenanya permohonan cerai-talaq adalah merupakan perkara contesius dan
bukan voluntair untuk itu produk hakim yang mengadili sengketa tersebut di buat dalam
bentuk kata putusan dengan amar dalam bentuk penetapan.
Terhadap putusan peradilan yang bersifat penetapan voluntair yang telah berkekuatan
hukum tetap , dimana nyata-nyata putusan tersebut bukan merupakan wewenang badan –
peradilan sebagaimana di tentukan dalam perundang-undangan , maka putusan tersebut tidak
mempunyai dasar hukum .
Terhadap putusan tersebut di atas dapat dimintakan pembatalan oleh pihak yang
berkepentingan dengan mengajukan surat kepada mahakamah agung.
Menurut pasal 2 (1) undang-undang 14 tahun 1970 jo. UU No. 4 tahun 2004 jo. UU
Nomor 48 tahun 2009 tentang pokok pokok kekuasaan kehakiman, pada pokoknya badan-
badan peradilan hanya berwenang menerima, memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan
setiap perkara yang bersengketa, sedangkan perkara permohonan bukan menjadi wewenang
badan peradilan kecuali di tentukan undang-undang menjadi wewenang dalam peradilan
pasal 2 (2) UU No.14 tahun1970. Jo. UU Nomor 04 tahun 2004 jo. UU Nomor 48 tahun 2009
misalnya:
Dispensiasi nikah ( pasal 7 (2) UU No.1 tahun 1974:
Ijin nikah pasal 6 (5) UU No.tahun 1974 jo. Pasal 15 (2) kompilasi hukum Islam :
1. Wali adhol ( peraturan materi agama No.2 tahun 1987)
Pasal 2 (3) peraturan materi agama no. 2 tahun 1987 menyatakan bahwa pengadilan
agama memeriksa dengan menetapkan adholnya wali dengan acara singkat.
Peradilan secara singkat sebagaimana diatur dalam pasal 283 Rv adalah
pemeriksaan perkara secara singkat dimuka hakim mengenai perkara yang karena
memerlukan penyelesaian cepat dan seketika itu juga menghendaki pemutusan yang
segera.
Terhadap hal ini perlu diketahui bahwa pada saat ini dalam hukum acara perdata
yang berlaku di Indonesia tidak dikenal adanya acara singkat. tiap-tiap proses perdata di
muka pengadilan di mulai dengan di ajukannya surat gugat oleh penggugat atau kuasanya
kepada ketua pengadilan dalam daerah hukumnya tergugat bertempat tinggal ( pasal118
HIR/ 142 RBg)
Pendapat mahkamah agung sendiri dalam putusannya MA tanggal 13 oktober ayat
1954 , menyatakan tidak Nampak suatu keharusan yang patut untuk memperlakukan
peraturan pemeriksaan kilat , sebagai peraturan yang berlaku atau sebagai pedoman bagi
peradilan , sehingga yang di maksud dengan acara singkat dalam pasal 2 (3) peraturan
materi agama no. 2/1987 adalah bahwa terhadap permohonan wali adhol diharapkan
prosedur pemeriksaan di persidangan dapat dilaksanakan jauh lebih cepat.
3. Petentium permohonan
Pada prinsipnya tujuan permohonan untuk menyelsaikan kepentingan pemohon
sendiri tanpa melibatkan pihak lawan. Dalam kerangka yang demikian harus mengacu
pada penyelasaian kepentingan pemohon sepihak sehubungan dengan itu, Petentum
permohonan tidak boleh melanggar atau melampui hak orang lain harus benar-benar
murni merupakan permintaan penyelsaian kepentingan pemohon, dengan acuan sebagai
berikut:
a. Isi petitum merupakan permintaan yang bersifat deklaratif.
Permohonan meminta agar dalam dictum penetapan pengadilan, memuat pernyataan
dengan kata-kata: menyatakan bahwa pemohon adalah orang yang berkepentignan
atas masalah yang dimohon.
b. Petitum tidak boleh melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai pemohon.
Ukuran ini merupakan konsekuensi dari bentuk permohonan, yang bersifat ex-parte
atau sepihak saja.
c. Tidak boleh memuat petitum yang bersifat condemnatoir (mengandung hukum).
Ukuran ini merupakan konsekuensi lebih lanjut dari sifat ex-parte yang benar-benar
melekat (inhernt) dalam permohonan. Oleh karena tidak ada pihak lawan atau
tergugat dengan sendirinya tidak ada pihak yang dapat ditimpakan hukuman.
d. Petitum permohonan harus dirinci satu persatu tentang hal-hal yang dikehendaki
pemohon untuk ditetapkan pengadilan kepadanya.
e. Petitum tidak boleh bersifat compositur atau ex aequo et bono. Seperti yang dikatakan
diatas, petetum permohonan harus dirinci, jadi bersifat enumeratif . oleh karen itu,
Tidak dibenarkan petetum yang berbentuk mohon keadilan saja.
Putusan permohonan,
a. Bentuk penetapan.
b. Dictum bersifat dektatoir yang bersifat menegasan pernyataan atau deklarasi hukum,
tentang hal yang diminta.
4. Adanya kerugian
Untuk dapat mengajukan class action, baik pihak wakil kelompok
(classrepesentatif) maupun anggota kelompok (class members) harus benar-benar
atausecara nyata mengalami kerugian atau diistilahkan concrete injured parties.