Anda di halaman 1dari 8

PERTEMUAN KELIMA

Surat Kuasa dan Menguasakan

A. Pendahuluan
Sepintas lalu, masalah kuasa khusus dianggap remeh. Sering pembuatannya
dilakukan secara sembarangan. Tidak diperhatikan apakah pembuatannya telah
memenuhi syarat yang telah digariskan ketententuan perundang-undangan. Akibatnya
surat kuasa tersebut menjadi tidak sah. Dampak yang timbul dari surat kuasa khusus
tidak memenuhi syarat, yaitu:
1. Surat gugatan tidak sah, apabila pihak yang mengajukan dan menandatangani
gugatan adalah kuasa berdasarkan surat kuasa tersebut,
2. Segala proses pemeriksaan tidak sah, atas alasan pemeriksaan dihadiri oleh
kuasa yang tidak didukung oleh surat kuasa yang memenuhi syarat.
Apabila terjadi hal seperti itu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ont
vankelijk verklaard) keadaan ini menimbulkan kerugian waktu dan biaya bagi
penggugat. Waktu dan biaya terbuang sia-sia tanpa memperoleh hasil penyelesaian
yang positif. Untuk menghindari akibat tersebut, perlu diperhatikan syarat yang perlu
dipenuhi.
Secara umum kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab keenam
belas, buku III KUH perdata. Sedang aturan khususnya diatur dan tunduk pada
ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG. oleh karena itu perlu
disinggung secara ringkas beberpa prinsip hukum pemberian kuasa, yang dianggap
berkaitan dengan kuasa khusus.

B. Pengertian Kuasa
Untuk memahami pengertian kuasa secara umum, dapat dirujuk pada Pasal 1792
KUH Perdata yang berbunyi:
Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang
memberikan kekuasaan pada pihak lain, yang menerimanya, untuk dan atas
namanya menyelenggarakan suatu urusan.”
Bertitik tolak pada ketentuan pasal tersebut, pada perjanjian kuasa terdapat dua
pihak yang terdiri dari:
1. Pemberi kuasa atau lastgever
2. Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat
melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut pemberi kuasa atau lestgeving (volmacht full power)
jika Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima
kuasa untuk mengurus kepentingan, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang
ditentukan dalam surat kuasa.
Dengan demikian penerima kuasa berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi
kuasa terhadap pihak ketiga untuk atas nama pemberi kuasa. Oleh karena itu, pemberi
kuasa bertanggungjawab atas segala perbuatan kuasa sepanjang perbuatan yang
dilakukan kuasa tidak melebihi kewenangan yang diberikan pemberi kuasa.
Pada dasarnya pasal-pasal yang mengatur pemberi kuasa, tidak bersifat
imperative, apabila para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang digariskan
dalam undang-undang, misalnya para pihak dapat menyepakati agar pemberian kuasa
tidak dicabut kembali. Hal ini dimungkinkan karena pada umumnya pasal-pasal
hukum perjanjian bersifat mengatur.
Menurut pasal 1792 BW, yang disebut dengan kuasa adalah suatu persetujuan
dengan mana seseoarang memberi kekuasaan pada pihak lain dan pihak lain bertindak
sebagai pemberi kuasa untuk melakukan suatu perbuatan (tindakan) untuk dan atas
nama pemberi kuasa. Dari definisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa pemberi
kuasa (latgeving) adalah pelimpahan perwakilan atau mewakilkan dengan demikian
penerima kuasa. Pemberian kuasa dapat diberikan sebelum perkara diajukan ke
pengadilan, dapat secara lisan apabila pemberi kuasa buta huruf ketika mengajukan
gugatan pada ketua pengadilan atau hakim yang ditunjuk dan dapat pula dilakukan
kuasa tersebut dalam sidang pengadilan, maka panitera harus mencatatnya dalam
berita acara sidang.
Pemberian kuasa merupakan perjanjian sepihak (enzaidinge overeenkomsi) itulah
sebabnya pemberi kuasa secara sepihak dapat sewaktu-waktu mencabut atau menarik
kembali kuasa yang telah diberikannya (lihat pasal 1814 BW) karena pemberi kuasa
merupakan perbuatan hukum yang sepihak penerima kuasa dengan sendirinya
dianggap diam-diam telah menerima baik pemberian kuasa itu, dan terikat dalam
perjanjian sepihak tadi manakala ia mengerjakan hal yang telah disepakati atau telah
menerima upah untuk itu.
Demikian karena kuasa merupakan perjanjian sepihak, maka penerima kuasa
tidak perlu ikut membubuhkan tandatangan diatas surat kuasa itu, apabila penerima
kuasa membubuhkan tandatangannya, maka hal itu bertentangan dengan hakikat
pemberian kuasa sebagai suatu perbuatan hukum sepihak sewaktu-waktu dapat ditarik
kembali oleh pemberi kuasa. Ini berbeda dengan perjanjian pada umumnya yang
bersifat perjanjian timbal balik (wederkerige overeenkomst) seperti jual beli, sewa
menyewa dan pinjam meminjam yang melibatkan para pihak yang saling
berkepentingan. Perjanjian seperti ini harus ada persetujuan yang jelas dan tegas dari
kedua belah pihak. Oleh karena itu apabila perjanjian dibuat secara tertulis maka
harus ditandatangani oleh kedua belah pihak, dan apabila salah satu pihak cidera janji
maka pihak lain menuntut ganti rugi ke pengadilan agar pihak tersebut dihukum untuk
tetap memenuhi perjanjian yang telah dibuatnya.

C. Dasar Hukum Kuasa


Dalam peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara ekplisit bahwa suatu
perkara harus diwakilkan kepada orang lain. Orang yang langsung berkepentingan
dapat aktif bertindak sendiri sebagai pihak dimuka sidang pengadilan, baik sebagai
penggugat maupun sebagai tergugat. Penggugat yang berkepentingan langsung
disebut pihak materiil karena ia secara langsung mengajukan gugatan ke pengadilan
dan mereka sekaligus sebagai pihak formil karena mereka sendirilah yang beracara
dimuka sidang pengadilan. Mereka itu bertindak untuk dan atas nama sendiri selaku
yang berkepentingan dalam perkara tersebut. Akan tetapi dalam hal tertentu para
pihak yang berperkara dapat mewakilkan pada pihak lain untuk beracara dimuka
sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR dan Pasal 147 Ayat (1)
RBg.

D. Sifat-sifat Pemberi Kuasa


Ada beberapa sifat dalam upaya pemberi kuasa kepada para pihak diantaranya
sebagai berikut:
1. Penerima kuasa langsung berkedudukan sebagai wakil pemberi kuasa yang segala
tindakannya langsung mengikat terhadap diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan
itu masih dalam batas-batas kewenangan yang dilimpahkan dalam pemberi kuasa,
akibat hukumnya tindakan kuasa terhadap pihak ketiga langsung mengikat
pemberi kuasa pihak materil.
2. Pemberi kuasa bersifat konsensual dalam arti hubungan kuasa adalah bersifat
partai, ada pihak pemberi dan ada pihak penerima kuasa yang dilakukan
berdasarkan kesepakatan berupa pernyataan kehendak yang tegas dari kedua belah
pihak, sehingga berkekuatan mengikat persetujuan itu kepada kedua belah pihak.
3. Berkarakter gransi maksudnya patokan untuk menentukan kekuatan mengikat
suatu persetujuan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa hanya terbatas
sepanjang mandat (volmacht) yang diberikan oleh pemberi kuasa, maka tindakan itu
menjadi tanggung jawab pemberi kuasa hanya sebatas mandat yang diberikan.
Adapun kuasa dapat berakhir secara sepihak yang memberikan kemungkinan
berakhirnya hubungan kuasa secara unilateral, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
1813 BW (pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa,
pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa, dengan meninggalkannya,
pengampuannya atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa) dan 1841 BW
sebenarnya ketentuan pasal ini bertentangan dengan Pasal 1338 BW (semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya, persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat dengan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang undang-
udang dinyatakan cukup untuk persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan
itikad baik) yang menentukan setiap pengakhiran perjanjian harus atas kesepakatan
bilateral.
Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa secara sepihak diantaranya
sebagai berikut:
1. Kuasa dicabut secara sepihak oleh pemberi kuasa
Dalam pasal 1841 BW ditentukan bahwa pemberi kuasa dapat menarik kembali
(revocable) tanpa memerlukan persetujuan dari pemegang kuasa. Pencabutan ini
dapat dilakukan secara terang dan tegas serta dapat dilakukan secara diam-diam.
Apabila kuasa dalam bentuk tertulis, pencabutan dapat dilakukan dengan cara
meminta kembali surat kuasa tersebut atau mengadakan pencabutan atau melalui
pengumuman mas media. Pencabutan secara diam-diam dapat dilakukan dengan
cara memberitahukan melalui surat atau secara tersirat sebagaimana tersebut
dalam Pasal 1816 BW yakni apabila pemberi kuasa menunjuk kuasa baru dengan
sendirinya secara diam-diam dianggap telah mencabut surat kuasa yang lama.
2. Pemberi kuasa meninggal dunia
Pasal 1813 BW menegaskan dengan meninggalnya salah satu pihak maka dengan
sendirinya kuasa berakhir demi hukum, tidak berlanjut kepada ahli waris.
3. Penerima kuasa melepas kuasa (opzegging/release)
Pasal 1817 BW memberi hak secara sepihak kepada penerima kuasa untuk
melepas hak kuasa yang diterima dengan beberapa syarat, yaitu harus memberi
tahukan kehendak pelepasan hak tersebut kepada pemberi kuasa dan pelepasan
hak itu tidak boleh pada saat yang tidak layak, sehingga diperkirakan akan
menimbulkan kerugian pada pihak pemberi kuasa.

E. Macam-macam Surat kuasa


Sebagaimana rujukan dan titik tolaknya macam-macam kuasa ada pada pasal 123
HIR dan Pasal 147 RBg serta pasal 1795 BW. Dalam ketentuan peraturan-peraturan
tersebut dijelaskan beberapa macam bentuk kuasa yang sering digunakan dalam
lalulintas hukum, diantaranya sebagai berikut:
1. Surat kuasa umum (general volmacht)`
Mengenai kuasa umum diatur dalam pasal 123 HIR jo Pasal 1795 BW. Kuasa
ini mengandung isi dan tujuan untuk melakukan tindakan-tindakan pengurusan
harta kekayaan. Pengurusan itu meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan
kepentingan pemberi kuasa atas harta kekayaanya, dengan demikian titik berat
kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan
pemberi kuasa.
2. Kuasa istimewa (otentik)
Kuasa istimewa diatur dalam Pasal 1796 BW jo. Pasal 157 HIR dan Pasal 184
RBg, bentuk kuasa ini harus memenuhi syarat tertentu yakni:
a. bersifat limitative harus dengan kata-kata yang tegas, umpamanya untuk
menyatakan pengakuan, membuat perdamaian, untuk mengucapkan sumpah
baik decesoir eed (penentu) maupun sumpah suplatoir eed (sumpah tambahan)
dan untuk memindahkan atau mengipotikan benda,
b. harus berbentuk akta autentik.
3. Kuasa berdasarkan hukum (kuasa dibawah tangan)
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 123 Ayat 2 HIR, Pasal 147 Ayat 2 Rbg
lajimnya disebut dengan wettlijke Vertegeen Wooding atau Legal Representative
yakni orang tertentu yang dengan sendirinya menjadi kuasa menurut hukum
berdasarkan ketentuan dan kekuasaan yang diberikan hukum itu sendiri kepada
mereka atas dasar kualitas atau kapasitas seperti:
a. Wali atau curator (guardian) mereka dengan sendirinya menjadi kuasa dari
orang yang berada di bawah pengampunya (Pasal 229 HIR) yakni orang tua
menjadi wali sampai anak dewasa (Pasal 345 BW) dan wali menjalankan
kekuasaan orang tua (Pasal 335 BW)
b. BHP sebagai pengampu kepailiatan dengan pungsi mengurus dan
membereskan harta pailit sebagaimana yang diatur dalam peraturan
kepailitan.
c. Direktur atau pimpinan Badan Hukum Sipil (PT, CV, Yayasan dan Koperasi)
dengan sendirinya bertindak sebagai wakil badan hukum yang mereka pimpin.
d. Dereksi atau Pengurus Badan Hukum.
e. Direksi Perusahaan Persero
f. Pimpinan Perwakilan Perusahaan Asing
g. PimpinanCabang Perusahaan Domestik.
4. Surat Kuasa Khusus (Special volmacht)
Setiap orang yang mengajukan perkaranya kepengadilan, apabila dikehendaki
dapat diwakilkan kepada seorang wakil sebagai kuasanya guna tampil dan
beracara dimuka sidang pengadilan. Mewakilkan para pihak yang berperkara
didasarkan pada surat kuasa yang bersifat khusus yang memberikan kewenangan
terbatas tentang suatu masalah. Sifat khusus ini terletak pada nama, kualitas dan
kedudukan pihak berperkara dan forum yang pasti. Surat kuasa khusus diatur
dalam Pasal 123 HIR dan pasal 147 RBg yang lajim disebut dengan bijondere
schiftelijke machtingting.
Surat kuasa khusus hanya dapat dipergunakan dalam beracara dalam suatu
perkara saja, tidak dapat dipergunakan untuk kepentingan lain diluar perkara
tersebut. Jadi khususnya hanya perkara yang telah ditentukan dalam surat kuasa
31/P/169/M/1959 tanggal 19 januari 1959 yang perlu dimuat dalam surat kuasa
khusus adalah sebagai berikut:
a. Identitas pemberi dan penerima kuasa, yaitu nama lengkap, pekerjaan, alamat
atau tempat tinggal.
b. Nama forum atau pengadilan tempat beracara, misalnya pengadilan agama
Majalengka.
c. Apa yang menjadi subtansi/pokok sengketa perdata. Hal tersebut menunjuk
kepada kekhususan perkara, misalnya perkara perkara perdata tentang jual beli
sebidang tanah yang terletak di desa tertentu melawan pihak tertentu pula
(Tergugat atau Penggugat).
d. Peneleahan isi kuasa diberikan. Ini menjelaskan tentang kekhususan kausa
dalam batas-batas tertentu, artinya apabila tidak disebutkan dalam penelaahan
itu, penerima kuasa tidak berwenang melakukannya. Pembatasan tersebut juga
menjelaskan apakah kuasa itu berlaku di muka Pengadilan Negeri atau
Pengadilan Agama saja. Atau termasuk untuk naik banding atau termasuk juga
untuk permohonan kasasi.
e. Memuat hak substitusi. Hal ini perlu dicantumkan sebab apabila penerima
kuasa berhalangan hadir dalam sidang, ia dapat melimpahkan kuasanya
kepada pihak lain untuk menjaga jangan sampai perkara yang disidangkan itu
macet karena orang yang penerima kuasa tidak dapat hadir dalam persidangan.
Apabila tidak disebutkan adanya hak substitusi, maka surat kuasa itu tidak
dapat dilimpahkan kepada orang lain.
Namun apabila pihak-pihak yang berperkara telah memberikan kuasanya kepada
orang lain, kalau dipandang perlu hakim berkuasa untuk memerintahkan pihak-pihak
yang berperkara untuk menghadap sendiri secara langsung dimuka sidang pengadilan
sesuai dengan pasal 123 Ayat (3) HIR dan Pasal 147 Ayat (4) Rbg hal tersebut
dimaksudkan agar hakim dapat mendengar lansung tentang suatu permasalahan yang
dianggap signifikan untuk dikemukakan dalam persidangan, sehingga hakim dapat
mengambil kesimpulan yang tepat dan adil, atau juga demi terwujudnya perdamaian
maka hakim memandang perlu mendamaikan melalui “mediasi” secara langsung para
pihak yang berperkara.
Tentang cara memberikan kuasa khusus itu, dapat dilakukan oleh pemberi kuasa
dengan akta yang cara memberikan kuasa khusus itu, dapat dilakukan oleh pemberi
kuasa dengan akta yang dibuat dihadapaan notaris, atau juga dapat dibuat dihadapan
panitera pengadilan yang berada dalam daerah hukum di mana pemberi kuasa
bertempat tinggal. Dapat juga dibuat dengan akta dibawah tangan yang dilegalisir
serta didaftar menurut Ordonasi Stb. Nomor 46 Tahun 1916.
Surat kuasa yang dibuat diluar negeri, pada prinsipnya sama dengan surat kuasa
yang dibuat di Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip HPI yang mengajarkan asas
semua pihak menunduk diri pada ketentuan hukum acara yang berlaku pada suatu
Negara. Berdasarkan hal ini, maka keabsahan surat kuasa yang dibuat di laur negeri
harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung RI
tanggal 23 Januari 1971 yakni bentuk tertulis dan bentuknya bebas (bisa akta
dibawah tangan atau autentik) menyebutkan identitas para pihak, menyebutkan objek
dan jenis kasus sengketa. Di samping itu, untuk keabsahan surat kuasa yang dibuat
diluar negeri harus dilegalisisr oleh pihak KBRI. Tidak menjadi soal apakah surat
diperlukan guna memberi kepastian hukum kepada pengadilan tentang kebenaran
surat kuasa yang dibuat di Negara yang bersangkutan. Hal tersebut sejalan dengan
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 3038.K/Pdt/1981 tanggal 18 September
1986.

Anda mungkin juga menyukai