A. Pendahuluan
Sepintas lalu, masalah kuasa khusus dianggap remeh. Sering pembuatannya
dilakukan secara sembarangan. Tidak diperhatikan apakah pembuatannya telah
memenuhi syarat yang telah digariskan ketententuan perundang-undangan. Akibatnya
surat kuasa tersebut menjadi tidak sah. Dampak yang timbul dari surat kuasa khusus
tidak memenuhi syarat, yaitu:
1. Surat gugatan tidak sah, apabila pihak yang mengajukan dan menandatangani
gugatan adalah kuasa berdasarkan surat kuasa tersebut,
2. Segala proses pemeriksaan tidak sah, atas alasan pemeriksaan dihadiri oleh
kuasa yang tidak didukung oleh surat kuasa yang memenuhi syarat.
Apabila terjadi hal seperti itu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ont
vankelijk verklaard) keadaan ini menimbulkan kerugian waktu dan biaya bagi
penggugat. Waktu dan biaya terbuang sia-sia tanpa memperoleh hasil penyelesaian
yang positif. Untuk menghindari akibat tersebut, perlu diperhatikan syarat yang perlu
dipenuhi.
Secara umum kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab keenam
belas, buku III KUH perdata. Sedang aturan khususnya diatur dan tunduk pada
ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG. oleh karena itu perlu
disinggung secara ringkas beberpa prinsip hukum pemberian kuasa, yang dianggap
berkaitan dengan kuasa khusus.
B. Pengertian Kuasa
Untuk memahami pengertian kuasa secara umum, dapat dirujuk pada Pasal 1792
KUH Perdata yang berbunyi:
Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang
memberikan kekuasaan pada pihak lain, yang menerimanya, untuk dan atas
namanya menyelenggarakan suatu urusan.”
Bertitik tolak pada ketentuan pasal tersebut, pada perjanjian kuasa terdapat dua
pihak yang terdiri dari:
1. Pemberi kuasa atau lastgever
2. Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat
melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut pemberi kuasa atau lestgeving (volmacht full power)
jika Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima
kuasa untuk mengurus kepentingan, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang
ditentukan dalam surat kuasa.
Dengan demikian penerima kuasa berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi
kuasa terhadap pihak ketiga untuk atas nama pemberi kuasa. Oleh karena itu, pemberi
kuasa bertanggungjawab atas segala perbuatan kuasa sepanjang perbuatan yang
dilakukan kuasa tidak melebihi kewenangan yang diberikan pemberi kuasa.
Pada dasarnya pasal-pasal yang mengatur pemberi kuasa, tidak bersifat
imperative, apabila para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang digariskan
dalam undang-undang, misalnya para pihak dapat menyepakati agar pemberian kuasa
tidak dicabut kembali. Hal ini dimungkinkan karena pada umumnya pasal-pasal
hukum perjanjian bersifat mengatur.
Menurut pasal 1792 BW, yang disebut dengan kuasa adalah suatu persetujuan
dengan mana seseoarang memberi kekuasaan pada pihak lain dan pihak lain bertindak
sebagai pemberi kuasa untuk melakukan suatu perbuatan (tindakan) untuk dan atas
nama pemberi kuasa. Dari definisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa pemberi
kuasa (latgeving) adalah pelimpahan perwakilan atau mewakilkan dengan demikian
penerima kuasa. Pemberian kuasa dapat diberikan sebelum perkara diajukan ke
pengadilan, dapat secara lisan apabila pemberi kuasa buta huruf ketika mengajukan
gugatan pada ketua pengadilan atau hakim yang ditunjuk dan dapat pula dilakukan
kuasa tersebut dalam sidang pengadilan, maka panitera harus mencatatnya dalam
berita acara sidang.
Pemberian kuasa merupakan perjanjian sepihak (enzaidinge overeenkomsi) itulah
sebabnya pemberi kuasa secara sepihak dapat sewaktu-waktu mencabut atau menarik
kembali kuasa yang telah diberikannya (lihat pasal 1814 BW) karena pemberi kuasa
merupakan perbuatan hukum yang sepihak penerima kuasa dengan sendirinya
dianggap diam-diam telah menerima baik pemberian kuasa itu, dan terikat dalam
perjanjian sepihak tadi manakala ia mengerjakan hal yang telah disepakati atau telah
menerima upah untuk itu.
Demikian karena kuasa merupakan perjanjian sepihak, maka penerima kuasa
tidak perlu ikut membubuhkan tandatangan diatas surat kuasa itu, apabila penerima
kuasa membubuhkan tandatangannya, maka hal itu bertentangan dengan hakikat
pemberian kuasa sebagai suatu perbuatan hukum sepihak sewaktu-waktu dapat ditarik
kembali oleh pemberi kuasa. Ini berbeda dengan perjanjian pada umumnya yang
bersifat perjanjian timbal balik (wederkerige overeenkomst) seperti jual beli, sewa
menyewa dan pinjam meminjam yang melibatkan para pihak yang saling
berkepentingan. Perjanjian seperti ini harus ada persetujuan yang jelas dan tegas dari
kedua belah pihak. Oleh karena itu apabila perjanjian dibuat secara tertulis maka
harus ditandatangani oleh kedua belah pihak, dan apabila salah satu pihak cidera janji
maka pihak lain menuntut ganti rugi ke pengadilan agar pihak tersebut dihukum untuk
tetap memenuhi perjanjian yang telah dibuatnya.