Anda di halaman 1dari 3

Gugatan dan Permohonan

PENGERTIAN GUGATAN DAN PERMOHONAN


Gugatan ialah tuntutan yang diajukan oleh penggugat ke pada Ketua pengadilan yang berwenang,
yang memuat tuntutan hak yang mengandung sengketa. Terdapat dua pihak yang saling berhadapan,
yaitu Penggugat dan Tergugat
Permohonan ialah tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang
tidak mengandung sengketa.
Hanya ada satu pihak saja, yaitu Pemohon.
Namun di PA, ada perkara permohonan yang mengandung sengketa sehingga didalamnya ada dua
pihak, yaitu pemohon dan termohon, yaitu dalam perkara permohonan ijin ikrar talak & permohonan
ijin beristri lebih dari satu.

BENTUK-BENTUK GUGATAN
1. Gugatan Lisan
Dalam Pasal 120 HIR/144 RBG bahwa penggugat yang buta huruf maka surat gugatannya dapat
dimasukkan dengan lisan kepada Ketua PN, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.
Syarat formil Gugatan Lisan ialah Penggugat tidak bisa membaca dan menulis (Pasal 120 HIR/144
RBG). Cara pengajuannya ialah Diajukan dengan Lisan kepada Ketua PN, dan menjelaskan atau
menerangkan isi dan maksud dari gugatan.
2. Gugatan Tertulis
Dalam Pasal 118 ayat (1) HIR/142 RBG bahwa gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN dengan
surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya.

PARA PIHAK YANG BERPERKARA


1. Penggugat : orang yang merasa haknya dilanggar.
2. Tergugat : orang yang ditarik ke muka Pengadilan karena dirasa telah melanggar hak Penggugat
3. Turut Tergugat : Orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk
melakukan sesuatu. Namun, demi lengkapnya suatu gugatan, maka mereka harus disertakan.

SYARAT FORMIL SURAT GUGATAN


1. Ditujukan (dialamatkan) kepada PN Sesuai dengan Kompetensi Relatif
Harus tegas dan jelas tertulis PN yang dituju sesuai dengan patokan kompetensi relatif yang diatur
dalam Pasal 118 HIR. Jika salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif, maka gugatan
mengandung cacat formil dan dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan hakim tidak berwenang
mengadili.

2. Diberi Tanggal (Tidak wajib)


meski tidak wajib tapi untuk adanya kepastian hukum apalagi kalau dihubungkan dengan pembuatan
dan penandatanganan surat gugatan, apabila timbul masalah dalam kaitan dengan penandatanganan
surat gugatan dengan surat kuasa, maka dapat dengan segera diselesaikan.

3. Ditanda tangani Penggugat atau Kuasa


Hal ini sesuai dengan Pasal 118 ayat (1) HIR. Tandatangan ditulis dengan tangan sendiri
(handtekening, signature) dan pada umumnya merupakan tanda atau inisial nama yang dituliskan
dengan tangan sendiri. Penggugat yang tidak dapat menulis (buta huruf) dapat membubuhkan cap
jempol sebagai pengganti tandatangan, dan cap jempol itu harus dilegalisir oleh pejabat yang
berwenang, seperti camat, hakim atau panitera.

1
4. Identitas para pihak
Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi identitas Tergugat, menyebabkan
gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada. Pasal 118 ayat (1) HIR bahwa identitas yang dicantumkan
cukup memadai sebagai dasar menyampaikan panggilan atau pemberitahuan.
Nama harus ditulis dengan lengkap, termasuk gelar kalau ada, untuk membedakan dengan orang lain.
Terkait dengan Identitas Tergugat, jika ada kesalahan dalam mencantumkan nama tergugat akan
bersifat fatal, karena melanggar syarat formil, sehingga mengakibatkan gugatan cacat formil, sehingga
cukup alasan untuk menyatakan gugatan error in persona atau obscuur libel, dalam arti orang yang
digugat kabur atau tidak jelas sehingga gugatan tidak dapat diterima.

5. Posita (Fundamentum Petendi)


Yaitu dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar tuntutan.
Posita terdiri dari 2 bagian yaitu :
- Feitelijke Gronden, yaitu bagian yang menguraikan tentang kejadian–kejadian atau
peristiwa-peristiwa yang terjadi atau penjelasan tentang duduknya perkara sehingga yang
bersangkutan menderita kerugian dan bermaksud menuntut haknya.
- Rechtelijke Gronden, yaitu bagian yang menguraikan tentang hukumnya dan tentang adanya hak
atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis daripada tuntutan.
Jadi, dalam posita harus dijelaskan tentang rangkaian kejadian atau peristiwa, mulai dari terciptanya
hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat sampai ia mengajukan tuntutan hak kepada
Pengadilan.

Secara garis besar posita harus memuat :


1. Objek perkara
yaitu mengenai hal apa gugatan itu diajukan, apakah menyangkut sengketa waris, perkawinan, hibah,
dll. harus diuraikan secara jelas dan rinci.
2. Fakta-fakta hukum
yaitu hal-hal yang menimbulkan terjadinya sengketa yang membuat Penggugat menderita kerugian.
Misalnya apakah ada perjanjian antara pihak Penggugat dengan Tergugat sehingga Tergugat
wanprestasi, atau Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan
timbulnya kerugian bagi Penggugat, dll.
3. Kualifikasi perbuatan Tergugat
yaitu perumusan mengenai perbuatan materil maupun moril dari Tergugat yang dapat berupa
perbuatan melawan hukum, wanprestasi, perselisihan dalam perkawainan, dan lain-lain.
4. Uraian tentang kerugian Penggugat.
Yaitu Berapa kerugian yang diderita oleh Penggugat, ini harus disebut secara pasti, jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan
5. Hubungan posita dan petitum harus berkaitan jelas
maksudnya antara petitum dan posita sangat erat hubungannya karena posita merupakan dasar
membuat petitum. Petitum tidak boleh melebihi posita, hal-hal yang tidak diuraikan dalam posita
tidak boleh dimohonkan dalam petitum.

6. Petitum
Yaitu apa yang diminta atau diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam
persidangan. Tuntutan ini akan terjawab didalam amar putusan. Petitum harus dirumuskan secara
jelas, singkat dan padat sebab tuntutan yang tidak jelas maksudnya bisa ditolak oleh hakim.
Tuntutan dibagi kedalam tiga bagian yaitu:

2
a). Tuntutan pokok (tuntutan primer)
Yaitu tuntutan yang sebenarnya atau apa yang diminta oleh Penggugat sebagaimana telah dijelaskan
dalam posita. hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta atau dituntut.
b). Tuntutan Tambahan
yaitu tuntutan pelengkap, misalnya, tuntutan agar penggugat membayar biaya perkara diatur dalam
pasal 89 ayat (1) UU No. 7/1989, tuntutan agar membayar biaya nafkah, hadanah, tuntutan agar
putusan dinyatakan dapat dilaksanakan lebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding dan kasasi.
c). Tuntutan Subsider (pengganti)
bertujuan untuk mengantisipasi barangkali ada tuntutan pokok dan tuntutan tambahan yang tidak
diterima oleh hakim yang dirumuskan dengan kalimat “mohon putusan yang seadil-adilnya” ex aequo
et bono”. Fungsi tuntutan ini untuk mengganti tuntutan pokok jika ditolak oleh Pengadilan, dan
sifatnya sebagai tuntutan cadangan.

Anda mungkin juga menyukai