Anda di halaman 1dari 15

RANGKUMAN BUKU HUKUM ACARA PERDATA BAB III RUANG LINGKUP

PERMASALAHAN GUGATAN KONTENTIOSA


(M. Yahya Harahap, S.H.)
halaman 48 s.d 117

TUGAS
HUKUM ACARA PERDATA
Disusun Oleh :
Haryadi Ismail
No.Mahasiswa : 2356

SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER


ANGKATAN XXVI
2023
RUANG LINGKUP PERMASALAHAN
Telah dijelaskan, sesuai dengan Pasal 2 ayat UU No. 14 Tahun 1970 , dan sekarang
diatur dalam Pasal 16 ayat UU No. 4 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 14
Tahun 1970. Selanjutnya hal itu dalam UU No. 48 Tahun 2009 sebagai pengganti
UU No. 4 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 25 ayat . Tugas dan kewenangan badan
peradilan di bidang perdata adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta
menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang beperkara. Hal inilah yang
menjadi tugas pokok peradilan. Wewenang pengadilan menyelesaikan perkara
diantara pihak yang bersengketa, disebut yurisdiksi contentiosa dan gugatannya
berbentuk gugatan contentiosa atau disebut juga contentious. Dengan demikian
yurisdiksi dan gugatan contentiosa, merupakan hal yang berbeda atau berlawanan
dengan yurisdiksi gugatan voluntair yang bersifat sepihak , yaitu permasalahan yang
diajukan untuk diselesaikan pengadilan tidak mengandung sengketa , tetapi semata-
mata untuk kepentingan pemohon, Lain halnya dengan gugatan contentiosa,
gugatannya mengandung sengketa di antara dua pihak atau lebih. Permasalahan
yang diajukan dan di minta untuk diselesaikan dalam gugatan, merupakan sengketa
atau perselisihan di antara para pihak.

Berbentuk Lisan
Bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan
lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh
mencatatnya.
Pada saat undang-undang ini dibuat tahun 1941 , ketentuan Pasal 120 ini benar-
benar realistis, mengakomodasi kepentingan anggota masyarakat buta huruf yang
sangat besar jumlahnya pada saat itu. Ketentuan ini sangat bermanfaat membantu
masyarakat buta huruf yang tidak mampu membuat dan memformulasi gugatan
tertulis. Mereka dapat mengajukan gugatan dengan lisan kepada Ketua PN, yang
oleh undang-undang diwajibkan untuk mencatat dan menyuruh catat gugat lisan,
dan selanjutnya Ketua PN memformulasinya dalam bentuk tertulis. Selain itu,
ketentuan ini melepaskan rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk seorang kuasa
atau pengacara,karena tanpa bantuan pengacara dapat memperoleh bantuan
pertolongan dari Ketua PN untuk membuat gugatan yang diinginkannya.
Tanpa mengurangi penjelasan di atas, ada pihak yang berpendapat, ketentuan ini
tidak relevan lagi. Bukankah tingkat kecerdasan masyarakat sudah jauh meningkat
dibanding masa lalu. Apalagi, perkembangan jumlah pengacara yang sudah
mencapai kota kabupaten, memperkuat alasan tentang tidak relevannya gugatan
secara lisan.Namun demikian,menerhatikan luasnya

Fungsi Ketua PN
Ketua PN wajib memberi layanan, pelayanan yang harus diberikan Ketua PN:
mencatat atau menyuruh catat gugatan yang disampaikan penggugat, dan
merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai yang
diterangkan penggugat.
Bentuk Tertulis

Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis.Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 118 ayat HIR . Menurut pasal ini, gugatan perdata harus
dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh
penggugat atau kuasanya. Memerhatikan ketentuan ini,yang berhak dan berwenang
membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah sebagai berikut.

a. Surat gugatan dibuat dan ditandatangani oleh penggugat sendiri. Kebolehan


penggugat membuat, menandatangani, dan mengajukan sendiri gugatan ke
PN, adalah karena HIR maupun RBG, tidak menganut sistem Verplichte
Procureur Stelling, yang mewajibkan penggugat harus memberi kuasa
kepada yang berpredikat pengacara atau advokat untuk mewakilinya,
sebagaimana hal itu dahulu dianut oleh Reglement op de Rechtvordering.

b. akibatnya, gugatan itu akan dinyatakan pengadilan tidak sah dan tidak dapat
diterima atas alasan, gugatan ditandatangani oleh orang yang tidak
berwenang untuk itu, karena pada waktu kuasa menandatangani gugatan, dia
sendiri belum mempunyai surat kuasa. Dari penjelasan di atas, jika yang
bertindak membuat dan menandatangani surat gugatan adalah kuasa maka
sebelum itu dilakukannya, ia harus lebih dahulu mendapat kuasa yang
dituangkan dalam bentuk surat kuasa khusus dari penggugat. Paling tidak
agar penandatanganan surat gugatan sah dan tidak cacat, tanggal surat
kuasa dengan tanggal penandatanganan surat gugatan diberi dan dibuat
pada hari dan tanggal yang sama.
Surat gugatan,secara formil harus ditujukan dan dialamatkan kepada PN sesuai
dengan kompetensi relatif.Harus tegas dan jelas tertulis PN yang dituju,sesuai
dengan patokan kompetensi relatif yang diatur dalam Pasal 118 HIR.

Di beri Tanggal
Kctentuan undang-undang tidak menyebut surat gugatan harus mencantumkan
tanggal.Begitu juga halnya jika surat gugatan dikaitkan dengan pengertian akta
sebagai alat bukti, Pasal 1868 maupun Pasal 1874 KUH Perdata, tidak menyebut
pencantuman tanggal di dalamnya.
surat gugatan yang tidak mencantumkan tanggal,sah menurut hukum, sehingga
tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Menghadapi surat gugatan yang tidak mencantumkan tanggal, dapat diselesaikan
berdasarkan pada tanggal register perkara di kepaniteraan.

Ditandatangani Penggugat atau Kuasa


Mengenai tanda tangan dengan tegas disebut sebagai syarat formil surat gugatan.
Pasal 118 ayat HIR menyatakan: gugatan perdata harus dimasukkan ke PN sesuai
dengan kompetensi relatif, dan dibuat dalam bentuk surat permohonan yang
ditanda-tanġani oleh penggugat atau oleh wakilnya .
Mengenai penerapan legalisasi dalam praktik, pada dasarnya dianggap sebagai
syarat imperatifatas keabsahan cap jempol. Namun sifat imperatifnya diperlunak
atau dilenturkan .
Identitas Para Pihak
Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil keabsahan
gugatan.

Apabila alamat tergugat tidak diketahui, tidak menjadi hambatan bagi penggugat
untuk mengajukan gugatan. Pasal 390 ayat HIR telah mengantisipasi kemungkinan
tersebut dalam bentuk pemanggilan umum oleh wali kota atau bupati. Hukum dan
undang-undang tidak boleh mematikan hak perdata seseorang untuk menggugat
orang lain,hanya atas alasan tidak diketahui tempat tinggal tergugat. Penegakan
hukum yang seperti itu,bertentangan dengan rasa keadilan dan
kepatutan.Sehubungan dengan itu,apabila penggugat dihadapkan dengan
permasalahan hukum yang seperti itu,dapat ditempuh cara perumusan identitas
alamat sebagai berikut:

mencantumkan alamat atau tempat tinggal terakhir, dalam penulisan identitas


alamat, cukup atau dapat mencantumkan alamat atau tempat tinggal terakhir,
dengan kata-kata: terakhir bertempat tinggal atau bertempat kediaman di ...,atau
dengan tegas menyebutkan, tidak diketahui alamat atau tempat tinggalnya.
Supaya cara ini benar-benar beralasan, pernyataan itu sebaiknya didukung oleh
surat keterangan kepala desa di tempat tergugat terakhir bertempat tinggal. Oleh
karena itu, apabila penggugat menghadapi kasus, tempat tergugat tidak diketahui,
sebaiknya diminta lebih dahulu surat keterangan kepala desa tentang hal itu.

Penggugat dilaporkan tergugat melakukan tindak pidana. Berdasarkan laporan itu


dilakukan proses penyidikan sampai pemeriksaan pengadilan. Térnyata pengadilan
menjatuhkan putusan bebas terhadapnya.

MA No.3133 K/Pdt/1983,29-1-1985,jo.PT Medan No.310/1982,16-3-1983,PT


Tanjung Balai No. 2/1980, 27-8-1980 yang menegaskan, adalah hak setiap orang
untuk melaporkan terjadinya tindak pidana kepada penyidik, meskipun terjadi
penahanan berdasarkan laporan itu, tindakan itu dianggap sah menurut hukum,
apabila penahanan itu memenuhi syarat formil dan materiil yang diatur dalam
undang-undang.

Sebagai contoh dapat dikemukakan salah satu kasus.


untuk mengajukan gugatan dalam hubungan kewajiban hak antara kedua
belah pihak, baru dapat dibenarkan hukum apabila telah timbul atau telah ada
sesuatu hak yang dilanggar oleh pihak lain.

Baik petitum primair maupun subsidair, sama-sama dirinci satu per satu dengan
rincian yang saling berbeda. Misalnya pada angka 1 dan 2 petitum primair,
penggugat meminta agar dinyatakan sebagai pemilik yang sah, dan menghukum
tergugat untuk menyerahkan barang tersebut kepadanya yang diikuti dengan
tuntutan ganti rugi. Sedangkan pada angka 1 dan 2 petitum subsider, penggugat
meminta dinyatakan orang yang berhak atau pemilik barang, dan meminta agar
tergugat dihukum untuk membayar harga barang. Pada contoh ini jelas dapat dilihat
perbedaan pokok tuntutan pada primair, Petitum primer dirinci, diikuti dengan
petitum subsider berbentuk compositur atau ex-aequo et bono : dalam hal ini, sifat
alternatifnya tidak mutlak , hakim bebas untuk mengambil seluruh dan sebagian
petitum primer dan mengesampingkan petitum ex aequo et bono , bahkan hakim
bebas dan berwenang menetapkan lain berdasarkan petitum ex-aequo et bono
dengan syarat: harus berdasarkan kclayakan atau kepatutan Tidak Menyebut secara
Tegas Apa yang Diminta atau Petitum Bersifat Umum

Perumusan Gugatan Asesor


Yang dimaksud dengan gugatan asesor adalah gugatan tambahan terhadap
gugatan pokok. Tujuannya untuk melengkapi gugatan pokok agar kepentingan
penggugat lebih terjamin meliputi segala hal yang dibenarkan hukum dan
perundang-undangan.
Secara teori dan praktik, gugatan asesor: tidak dapat berdiri sendiri, dan oleh karena
itu, kebolehan dan keberadaannya, hanya dapat ditempatkan dan ditambahkan
dalam gugatan pokok.
Tanpá landasan, gugatan asesor tidak dapat diajukan dan diminta.

Sistem Pemeriksaan secara Contradictoir


Mengenai sistem pemeriksaan digariskan dalam Pasal 125 dan Pasal 127
HIR. Menurut ketentuan dimaksud,sistem dan proses pemeriksaan Untuk itu, para
pihak dipanggil dengan resmi dan patut oleh juru sita menghadiri persidangan yang
telah ditentukan. Demikian prinsip umum yang harus ditegakkan agar sesuai dengan
asas
due process oflaw.
Asas Pemeriksaan
Ada beberapa prinsip atau asas yang harus ditegakkan dan diterapkan dalam
proses pemeriksaan kontradiktor, antara lain sebagai berikut.

Dalam penyelesaian perkara melalui proses perdata,hakim dalam melaksanakan


fungsi peradilan'yang diberikan undang-undang kepadanya, berperan dan bertugas
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan . menetapkan ketentuan pasal dan
peraturan perundang-undangan hukum materil mana yang tepat diterapkan dalam
menyelesaikan sengketa di antara para pihak.
Dalam mempertahankan tata hukum perdata dimaksud,pada prinsipnya: sedapat
mungkin berpatokan dan mengunggulkan ketentuan peraturan perundangan hukum
positif yang ada, akan tetapi tidak mengurangi kewenangan untuk mencari dan
menerapkan nilai-nilai perdata materiil yang hidup dalam kehidupan masyarakat,
sepanjang nilai-nilai itu sesuai dengan kepatutan dan kemanusian,agar bisa
diwujudkan penyelesaian sengketa yang berwawasan dan bernuansa moral justice
dan tidak sekadar keadilan meiurut hukum .
Persidangan Terbuka untuk Umum
Sistem pemeriksaan yang dianut HIR atau RBG adalah proses acara pemeriksaan
secara lisan atau mondelinge procedure. Tidak menganut beracara secara tertulis
sebagaimana yang dulu diatur dalam Rv. Sistem pemeriksaan secara lisan, sangat
erat kaitannya dengan prinsip persidangan terbuka untuk umum. Sedangkan dalam
proses yang berlangsung secara tertulis, pada dasarnya tidak begitu kokoh
mempertahankan prinsip ini. Tujuan utama prinsip ini, untuk menjaga tegaknya
peradilan yang fair atau fair trial, yaitu peradilan yang bersih dan jujur.

namun yang penting diperhatikan adalah kewajiban hakim untuk memberi


kesempatan yang wajar demi tegaknya asas audi alteram partem yang digariskan
Pasal 131 HIR.

antara hakim terjadi permusuhan, penghinaan, atau ancaman dengan salah satu
pihak.
Salah satu faktor yang dianggap undang-undang dapat merusak dan memengaruhi
penegakan asas imparsialitas atau fair trial dalam arti luas adalah ikatan hubungan
kekcluargaan baik sedarah maupun semenda antara salah seorang hakim dengan
hakim yang lain atau dengan jaksa, penasihat hukum, atau panitera.

Pengecualian terhadap Acara Pemeriksaan Contradictoir


Di atas sudah dijelaskan sistem pemeriksaan gugat contentiosa dilakukan secara
contradictoir.

Dalam kasus yang seperti ini,Pasal 125 ayat HIR memberi hak dan kewenangan
yang bersifat fakultatif kepada hakim untuk menjatuhkan putusan
verstek's .Mengenai verstek akan dibahas lebih lanjut dalam uraian tersendiri.
Peristiwa yang seperti ini dapat terjadi, apabila pada sidang pertama atau pada
sidang kedua dan ketiga para pihak datang menghadiri pemeriksaan.
panggilan dilakukan dengan patut, yaitu antara hari panggilan dengan hari
persidangan tidak kurang dari tiga hari.
Pengguguran Dilakukan Hakim secara Ex-Officio.
Pasal 124 HIR memberi kewenangan secara ex officio kepada hakim untuk
menggugurkan gugatan, apabila terpenuhi syarat dan alasan untuk itu. tindakan
sewenang-wenang kepada tergugal Sebab ketidakhadiran in asas pemeriksaan
contradictoir.
Rasio Pengguguran Gugatan aksud utama pelembagaan pengguguran gugatan
dalam tata tertib beracara adalah sebagai berikut.

a. Pengguguran gugatan oleh hakim,merupakan hukuman kepada pengugat atas


kelalaian atau keingkarannya menghadiri atau menghadap di persidangan.
Pengguguran pada Sidang Pertama
Proses sidang selanjutnya, tidak memerlukan panggilan, tetapi cukup melalui
pengumuman pengunduran di sidang pengadilan. Pendapat ini, sesuai dengan
pedoman yang digariskan MA,4° yang mengatakan: jika penggugat pada hari sidang
pertama tidak datang..., tetapi pada hari kedua ia datang dan pada hari ketiga
penggugat tidak hadir lagi, perkaranya tidak bisa digugurkan.
b.Pengguguran Tidak Imperatif,tetapi Fakultatif
Kewenangan pengguguran gugatan yang diatur dalam Pasal 124 HIR, sepintas lalu
bersifat imperatif.dipanggil untuk kedua kalinya supaya datang menghadap pada
hari sidang yang lain, sedangkan kepada pihak yang hadir, pengunduran sidang
cukup diberitahukan oleh hakim dalam persidangan,dan pemberitahuan itu oleh
hukum dianggap berlaku sebagai panggilan. Putusan Pengguguran Tidak Ne Bis In
Idem.
dilakukan tanpa hadirnya penggugat, dalam sidang secara sederhana, namun tetap
dituangkan dalam bentuk putusan sebagaimana mestinya.
c. Menurut Pasal 276 Rv, untuk tegasnya kepastian hukum: putusan pengguguran
gugatan diberitahukan kepada penggugat, pemberitahuan dilakukan oleh juru sita,
sesuai dengan ketentuan Pasal 390 HIR.
Selain ketentuan Pasal 271 dan 272 Rv,hakim dapat mempergunakan yurisprudensi
sebagai pedoman atau rujukan.
Pencabutan Merupakan Hak Penggugat
Sama halnya dengan pengajuan gugatan, pencabutan gugatan merupakan hak yang
melekat pada diri penggugat. Satu sisi hukum memberi hak kepadanya mengajukan
gugatan, apabila hak dan kepentingannya dirugikan atau diperkosa pihak lain. Pada
sisi lain wajar dan layak pula memberi hak kepadanya untuk mencabut gugatan
apabila dianggapnya hak dan kepentingannya tidak dirugikan. Akan tetapi, hukum
perlu menjaga keseimbangan kepentingan dalam pencabutan gugatan. Bukan
hanya kepentingan penggugat yang perlu diperhatikan. Kepentingan tergugat pun
harus dilindungi. Sistem pencabutan gugatan yang dianggap memberi
keseimbangan kepada penggugat dan tergugat, berpedoman pada cara penerapan
sebagai berikut.

Dalam hal menyampaian peņcabutan dilakukan pada sidang yang dihadiri tergugat.
Tergugat menyetujui pencabutan Apabila tergugat menyetujui pencabutan,tindak
lanjut yang pertu diselesaikan majelis adalah menerbitkan putusan atau penetapan
pencabutan.
Persetujuan pencabutan yang diberikan tergugat, selain dicatat dalam berita acara
dituangkan juga dalam bentuk putusan atan penetapan.

Akibat Hukum Pencabutan


Pasal 272 Rv mengatur akibat hukum pencabutan gugatan.Ketentuan pasal ini
dapat dijadikan pedoman dengan cara memodifkasi dengan kebutubhan
perkembangan.Akibat hukum pencabutan gugatan yang dianggap penting
diperhatikan, dapat dijelaskan hal-hal berikut: a. Pencabutan.Mengakhiri Perkkara
iatas sudah dijelaskan pencabutan gugatan bersifat final mengakhiripenyelesaian
sengketa.Tidak menjadi soal apakah pencabutan dilakukan terhadap gugatan.
Penetapan perintah pembayaran harus dianggap dan dinyatakan bersifat final. Oleh
karena itu, tidak dapat diajukan bantahan maupun upaya hukum yang lain.

Pengajuan Kembali Gugatan yang Telah Dicabut


Mengenai permasalahan ini, tidak dijumpai jawaban dan aturannya dalam Rv.
Namun demikian kckosongan hukum ini, perlu dipersoalkan, agar diperoleh
pedoman penerapan yang diperlukan untuk itu. Ditinjau dari ketentuan Pasal 1338
KUH Perdata,pencabutan yang terjadi merupakan kesepakatan bersama dengan
demikian pencabutan gugatan merupakan penyelesaian sengketa yang mengikat
dan bersifat final oleh karena penyelesaian sengketa dianggap telah final dan
mengikat sengketa yang terkandung dalam gugatan, tidak dapat diajukan kembali
oleh para pihak.

Pasal 127 Rv sebagai Rujukan Berdasarkan Kepentingan Beracara


HIR maupun RBG sebagai peraturan perundang-undangan hukum acara perdata di
Indonesia, tidak mengatur perubahan gugatan.65 Oleh karena itu,berdasarkan HIR
atau RBG, tidak ada ketentuan mengenai pcrubahan gugatan. Padahal berdasarkan
kenyataan, perubahan gugatan merupakan kebutuhan dalam proses penyelesaian
perkara. Apalagi ditinjau dari asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan,
perubahan gugatan sangat efektif dan efisien mempercepat pemeriksaan. Oleh
karena itu, tepat yang dikemukakan Soepomo,6 meskipun HIR tidak mengatur
perubahan tuntutan, ini tidak berarti bahwa perubahan tuntutan tidak diperbolehkan.

Perubahan Gugatan Merupakan Hak


Menurut Pasal 127 Rv, perubahan gugatan merupakan hak yang diberikan kepada
penggugat. Berarti, hakim maupun tergugat tidak boleh menghalangi dan
melarangnya. Penggugat bebas mempergunakan hak itu, asalkan berada dalam
kerangka yang dibenarkan hukum. Dalam praktik sebagaimana yang tercermin
dalam putusan pengadilan, tidak tegas menyebut perubahan itu sebagai hak
penggugat.

bukan meminta atau memohon izin kalau perkenaan untuk melakukan perubahan
gugatan.
Implikasi antara kedua sistem atau cara ini ditinjau dari segi formalitas sangat
berbeda.

Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan


Mengenai batas waktu pengajuan perubahan gugatan muncul dua versi.
Tenggang batas jangka waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv yang
menyátakan, penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutạn sampai saat
perkara diputus. Berarti, selama persidangan berlangsung, penggugat berhak
melakukan dan mengajukan perubahan gugatan. Jika tidak keliru, Asikin,
mendukung penerapan yang demikian.
sebaliknya,pada batas waktu yang digariskan MA dalam Buku Pedoman, dianggap
terlampau resriktif atau sempit, hanya memberi hak pada hari sidang pertama.

Syarat Perubahan Gugatan


Pasal 127 Rv, tidak menyebut syarat formil mengajukan perubahan gugatan.
Meskipun demikian ternyata praktik peradilan menentukan syarat formil keabsahan
pengajuan perubahan.

Memberi Hak kepada Tergugat Menanggapi


Syarat formil ini pun digariskan oleh MA, yang menyatakan: menanyakan kepada
tergugat tentang perubahan itu, serta memberi hak dan kesempatan untuk
menanggapi dan membela kepentingannya.
Prof. R. Subekti7 berpendapat, pemberian kesempatan kepada tergugat membela
diri tidak syarat formil.

apabila hakim melanggar syarat ini, perubahan gugatan dianggap tidak sah, dan
yang dianggap sah adalah gugatan semula.
Syarat ini dikemukakan:Asikin dalam catatan: perkara No. 943 K/Pdt/1984.
Ditegaskan, kebolehan perubahan gugatan tidak menghambat acara pemeriksaan
perkara.
Syarat ini dapat disetujui, meskipun agak sulit mengonstruksikannya secara konkrit.
Akan tėtapi secara umum dapat dikemukakan, apabila perubahan itu sedemikian
rupa, sehingga hakim memperkirakan, secara objektif perubahan mengakibatkan
proses tahap replik-duplik yang sudah berlangsung terpaksa diperpanjang,
perubahan dikategorikan mempersulit dan menghambat jalannya pemeriksaan.
Akan tetapi perlu diingat, syarat ini harus diterapkan secara cermat dan kasuistik.

Jangkauan Kebolehan Perubahan atau Pengurangan Gugatan


Menurut Pasal 127 Rv, batasan yang dapat dilakukan penggugat mengubah atau
mengurangi gugatan atau tuntutan, tidak boleh mengubah atau menambah pokok
gugatan. Sehubungan dengan itu akan dijelaskan beberapa aspek yang
berhubungan dengan jangkauan kebolehan perubahan atau penambahan gugatan.
Bertitik tolak dari Pasal 127 Rv, dilarang atau tidak dibenarkan perubahan atau
pengurangan, apabila hal itu mengubah atau menambah pokok gugatan. Timbul
pertanyaan. Apa yang dimaksud dengan pokok gugatan?
Pasal 127 Rv, tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kalimat itu. Padahal
kalimat itu merupakan batasan pokok perubahan, sehingga sangat penting
dijelaskan pengertian standar yang dapat dijadikan landasan uniformitas atas
penerapannya. Untuk memperoleh gambaran pengertian umum atas kalimat pokok
gugatan, dikemukakan beberapa pendapat tentang itu.
Subekti mengemukakan, yang dimaksud pokok gugatan adalah kejadian materiil
gugatan.Dengan demikian perubahan gugatan yang dibenarkan hukum adalah
perubahan yang »tidak mengubah dan menyimpang dari kejadian materiil«. Sebagai
ilustrasi beliau mengemukakan perubahan yang dilarang. Misalnya, berdasarkan
keadaan yang sama dimohonkan pelaksanaan suatu hak yang lain. Atau apabila
pèrubahan mengemukakan keadaan baru sehingga terjadi perubahan hubungan
hukum lain dari yang semula.
Menurut Soepomo,perkataan»pokok gugatan« berasal dari onderwerp van den eis.
Beliau mengakui perkataan ini, tidak terang artinya. Kita sependapat dengan
penegasan, sehingga perkataan itu dalam pengkajian yurisprudensi tergolong
penggarisan kabur atau mengandung pengertian luas . Namun demikian, beliau
mengemukakan, dalam praktik onderwerp memuat juga arti middelen berupa hal-hal
yang menjadi dasar tuntutan.
Pengertian dan Pengaturan
Secara teknis mengandung pengertian penggabungan beberapa gugatan dalam
satu gugatan. Disebut juga kumulasi gugatan atau samenvoeging van vordering,92
yaitu penggabungan dari lebih satu tuntutan hukum ke dalam satu gugatan. Pada
prinsipnya, setiap gugatan harus berdiri sendiri,93 Masing-masing gugatan diajukan
dalam surat gugatan yang terpisah secara tersendiri, dan diperiksa serta diputus
dalam proses pemeriksaan dan putusan yang terpisah dan berdiri sendiri. Akan
tetapi dalåm hal dan batas-batas tertentu, dibolehkan.
Penggabungan

Perhatikan kembali Putusan MA No. 575 K/Pdt/1983.Dalam pertimbangannya


secara tersirat dikemukakan manfaat dan tujuan penggabungan. Begitu juga dalam
Putusan MA No. 880 K/Sip/19707, terdapat pertimbangan mengenai manfaat dan
tujuan penggabungan. Antara lain dijelaskan, bahwa benar HIR dan RBG tidak
mengatur kumulasi gugatan. Akan tetapi kalau antara masing-masing Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan. Kemungkinan besar terjadi saling
pertentangan. Kemungkinan saling bertentangan semakin besar terjadi, apabila
masing-masingperkara ditangani oleh majelis hakim yang berbeda.
Pembuktian adalah sama dan mudah, sehingga tidak mempersulit pemeriksaan
secara kumulasi.
Begitu juga dalam Putusan MA No.1518 K/Pdt/1983.102Meskipun sepintas lalu
tampak terdapat koneksitas, namun MA berpendapat, penggabungan tidak
memenuhi syarat.

Bentuk Penggabungan
Pada bentuk ini, dalam satu surat gugatan terdapat: beberapa orang penggugat,
atau beberapa orang tergugat.
tanggal 4-12-1984,jo.PT Banda Aceh No.153/1982,15-12-1982,jo,PN Lhokscumawe
No.84/1981, 103MA No. 2177 K/Pdt/1983, 14-11-1984.
104Tanggal 25-10-1984,jo.PT Medan No.570/1981,8-12-1982,jo,PN Medan
No.215/1980,15-7-1981.
Dapat terjadi variabel sebagai berikut: penggugat terdiri dari beberapa orang
berhadapan dengan seorang tergugat saja.
sebaliknya, penggugat satu orang, sedangkan tergugat terdiri dari beberapa orang.

Penggugat II, menggugat Tergugat II, III, dan IV mengenai Perbuatan Melawan
Hukum , sehubungan dengan jual beli rumah.

Beberapa Penggabungan yang Tidak Dibenarkan


Pada bagian ini, akan dijelaskan beberapa penggabungan yang tidak dapat
dibenarkan. Dengan kata lain, terdapat beberapa penggabungan yang dilarang oleh
hukum. Larangan itu, bersumber dari hasil pengamatan praktik peradilan.

Penggugat mengajukan gugatan kumulasi terhadap beberapa objek, dan masing-


masing objek gugatan, dimiliki oleh pemilik yang berbeda atau berlainan.
Penggabungan yang demikian baik secara subjektif dan objektif, tidak dapat
dibenarkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan Putusan MA No. 201 K/
Sip/1974.11° Objek tanah-tanah terperkara yang digugat terdiri dari tanah-tanah
yang berbeda pemiliknya .Oleh karena itu, para pemilik tersebut tidak dapat
melakukan penggabungan gugatan terhadap tergugat. Seharusnya, masing-masing
pemilik mengajukan gugatan tersendiri dan berdiri sendiri kepada tergugat. Secara
objektif maupun subjektif, tidak terdapat hubungan erat maupun hubungan hukum
antara yang satu dengan yang lain, dengan demikian penggabungan gugatan tidak
dapat dibenarkan.
Penggabungan Gugatan Cerai dengan Pembagian Harta Bersama.

Jika bertitik tolak dari Putusan MA No. 2205 K/Pdt/1981'13, tidak dibenarkan
menggabungkan gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama.Menurut
putusan itu,hukum acara tidak membolehkan penggabungan antara gugatan cerai
dengan pembagian harta bersama. Alasan yang sering diajukan, antara kedua
gugatan masing-masing berdiri sendiri.
Namun sifat asesornya dapat diterapkan dalam acuan. jika gugatan cerai
ditolak,dengan sendirinya menurut hukum penolakan itu meliputi gugatan
pembagian harta bersama. Sebaliknya,apabila gugatan cerai dikabulkan, sekaligus
disclesaikan pembagian harta bersama dalam satu putusan. Penerapan seperti itu,
digariskan dalam Pasal 86 Undang-Undang.
Kekeliruan Pihak Menimbulkan Gugatan Error In Persona.
Seperti yang telah dijelaskan, dalam gugatan perdata yang berbentuk contentiosa,
terlibat dua pihak. Pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat.
Sedangkan yang satu lagi, ditarik dan berkedudukan sebagai tergugat.

Orang yang berada di bawah umur atau perwalian, tidak cakap melakukan tindakan
hukum. Oleh karena itu, mereka tidak dapat bertindak sebagai penggugat tanpa
bantuan orang tua atau wali. Gugatan yang mereka ajukan tanpa bantuan orang tua
atau wali,mengandung cacat formil error in persona dalam bentuk diskualifikasi
karena yang bertindak sebagai penggugat orang yang tidak memenuhi syarat.
b. Bentuk lain error in persona yang mungkin terjadi adalah orang yang ditarik
sebagai tergugat keliru.Yang meminjam uang adalah A, tetapi yang ditarik sebagai
tergugat untuk melunasi pembayaran adalah B.

jika cacat'yang terkandung dalam gugatan itu diskualifikasi, perbaikan dilakukan


dengan menempatkan orang yang tepat. Begitu juga apabila pihak yang ditarik
sebagai tergugat keliru orangnya diperbaiki dengan menarik orang yang tepat
sebagai tergugat. Jika putusan menyatakan gugatan kurang pihak, gugatan harus
diperbaiki dan disempurnakan dengan memasukkan orang yang bersangkutan
sebagai pihak penggugat atau tergugat.
Dengan perbaikan atau penyempurnaan itu, penggugat dapat mengajukan kembali
gugatan sebagai perkara baru. Cara ini yang dianggap paling efektif dan efisien.
Oleh karena itu,seandainya Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan menyatakan
gugatan mengandung error in persona: kurang efektif dan efisien mengajukan upaya
hukum ;
lebih tepat langsung melakukan perbaikan yang dilanjutkan dengan pengajuan
kembali sebagai perkara baru.
Sebab kalau diajukan banding maupun kasasi, dan ternyata putusan itu dikuatkan
oleh PT pada tingkat banding dan MA pada tingkat kasasi, dengan sendirinya hal itu
memperpanjang proses penyelesaian.
Terhadap prinsip umum yang dikemukakan di atas, telah terjadi pelenturan dalam
praktik peradilan. Keharusan menarik pihak ketiga sebagai tergugat dilenturkan
dengan cara menjadikannya sebagai saksi. Dengan demikian. meskipun pihak
ketiga dari siapa objek tanah sengketa diperoleh tidak ditarik sebagai tergugat, hal
itu dapat ditolerir dengan syarat asal pihak ketiga itu diperiksa sebagai saksi. Tidak
menjadi soal pihak mana yang mengajukannya sebagai saksi.
1816K/Pdt/1989!26 menjelaskan: ternyata penggugat telah menarik Mendagri
sebagai Tergugat II, dihubungkan dengan fungsinya sebagai instansi yang
mengeluarkan SK Pembatalan Sertifikat Hak Milik Penggugat.
sedangkan mengenai keharusan menarik penjual sebagai tergugat dalam perkara
ini, tidak bersifat mutlak atas alasan, dasar dalil gugatan yang diajukan penggugat,
ditujukan kepada ketidakabsahan SK. Mendagri No.550/DJA/1986.Oleh karena itu,
ditinjau dari segi urgensi gugatan, tidak mutlak menarik penjual sebagai pihak.
mengikutsertakan penjual sebagai tergugat, tidak ada halangan untuk menilai sah
atau tidak SK Pembatalan Sertifikat yang dilakukan Mendagri.
Berdasarkan Pasal 132 a ayat HIR, maupun Pasal 244 RBG, gugatan rekonvensi
ditujukan sebagai gugatan lawan kepada penggugat konvensi. Sehubungan dengan
itu, yang dapat dan yang boleh ditarik sebagai tergugat rekonvensi, terbatas pada
diri penggugat konvensi, mereka yang sama kedudukannya sebagai tergugát
konvensi, tidak dapat dijadikan tergugat rekonvensi. Sekarang Menteri Kehakiman
dan HAM

konsekuensi logis dari kewenangan itu, pimpinan cabang dapat menunjuk


seseorang kuasa untuk dan atas nama cabang perseroan yang dipimpinnya.
Mengenai tindakan hukum yang dilakukan pimpinan cabang yang sudah
diberhentikan, tidak dapat dituntut kepada cabang perseroan. Yang harus ditarik
sebagai pihak adalah diri pribadi yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, tepat
sekali pertimbangan Putusan MA No.1619 K/Pdt/1984.147 utang-piutang yang
dibuat Penggugat dengan Tergugat I, terjadi setelah Tergugat II Agus S.J.
diberhentikan dari jabatannya sebagai kepala perwakilan PT Semut Ireng
Samarinda. Pemberhentian itu diumumkan dan diberitahu kepada instansi penting di
Kota Samarinda.

Kedudukan Penanggung sebagai Pihak


Dalam Hal Kedudukan Penanggung Murni Berdasarkan Perjanjian Pasal 1820 KUH
Perdata,Gugatan Dapat Langsung kepada Penanggung

2757/Pdt/1983.151 Menurut putusan ini, peradilan tingkat banding dinyatakan salah


menerapkan hukum, yang berpendapat, dalam perjanjian borgtocht,penggugat harus
lebih dahulu menuntut pemenuhan pembayaran kepada debitur. Pendapat ini keliru
atas alasan, ciri persetujuan penanggungan yang diatur Pasal 1820 KUH Perdata
adalah pernyataan dari penanggung, bahwa dia mengikat diri secara sukarela
melaksanakan pemenuhan prestasi kepada kreditur untuk dan atas nama debitur
apabila debitur melakukan wanprestasi.
Ciri subsidiary yang identik dengan perjanjian pokok,memberi hak opsi kepada
kreditur memilih siapa yang dituntutnya memenuhi pelaksanaan prestasi. Ternyata
dalam persidangan, Tergugat II dan III tidak mempergunakan hak untuk menuntut
lebih dahulu debitur yang digariskan Pasal 1831 KUH Perdata. Dengan demikian,
pada hakikatnya Tergugat II dan III menyiapkan diri untuk melaksanakan
pemenuhan pembayaran utang debitur principal. Seandainya mereka keberatan,
tentu akan mengajukan bantahan agar debitur principal yang lebih dahulu dibebani
kewajiban melaksanakan pemenuhan.
Berdasarkan alasan yang dikemukakan tersebut di atas dihubungkan dengan hak
regres berdasarkan Pasal 1839 KUH Perdata yaitu penanggung dapat menuntut
kembali dari debitur principal atas pelaksanaan pembayaran yang dilakukannya,
semakin memperkuat alasan, hukum tidak melarang kreditur langsung menuntut
pemenuhan pembayaran utang kepada penjamin . Menghadapi kasus borgtocht,
kemunġkinan akan berhadapan dengan hakim yang bersikap formalistis.
Sehubungan dengan itu agar gugatan terhindar dari bahaya pendekatan yang
bersifat formalistis, sebaiknya debitur principal ikut ditarik sebagai tergugat bersama-
sama dengan penjamin. Jika yang menjadi penjamin terdiri dari korporasi selain
koperasinya ditarik sebagai tergugat, harus ikut debitur principal ditarik sebagai
tergugat.

Pasal 1367 KUHPPerdata menggariskan prinsip pertanggungjawaban hukum atas


perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahan. Menurut prinsip ini,
majikan atau atasan bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari
perbuatan melawan hukum yang dilakukan pegawai atau bawahan. Prinsip ini
dikenal juga dengan sebutan vicarious liability.
Ternyata dalam berita acara sidang penggugat tidak ada menyatakan keberatan
perkara diteruskan oleh ahli waris tergugat maka putusan PT yang menyatakan
gugatan tidak dapat diterima atas alasan pertimbangan,gugatan semestinya
diperbaiki lebih dahulu dengan cara mengajukan gugatan langsung kepada ahli
waris, tidak dapat dibenarkan.
apabila tidak tercapai persetujuan dari seluruh ahli waris untuk melanjutkan gugatan
semula, gugatan harus dinyatakan gugur.
Sepanjang mengenai syarat harus mendapat persetujuan dari seluruh ahli waris
yang disebut dalam putusan ini, perlu dipermasalahkan. Syarat itu dianggap sempit
dan formalistis. Bahkan dianggap bertentangan dengan putusan MA yang lain. Ambil
contoh Putusan MA No. 516 K/ Sip/1973163 yang menegaskan:
Pertimbangan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena hanya seorang ahli waris
yang menggugat, tidak dapat dibenarkan karena menurut yurisprudensi MA tidak
diharuskan semua ahli waris menggugat Putusan No.431 K/Sip/1973 ini, juga
bertentangan dengan putusan MA No.84 K/Sip/1974 yang telah dikemukakan
terdahulu. Dalam putusan ini ditegaskan meskipun tidak semua ahli waris turut
menggugat, tidak bérakibat gugatan batal atau gugatan tidak sah. Sebab ternyata
apa yang penggugat tuntut adalah harta warisan yang telah dihibahkan kepada
mereka pada saat penghibah masih hidup. Memerhatikan putusan-putusan tersebut,
persetujuan semua ahli waris untuk bertindak menggantikan kedudukan pewaris
yang meninggal sebagai penggugat, harus diterapkan secara lentur dan kasuistik .
Misalnya dalam kasus yang diperkarakan menyangkut harta warisan yang dikuasai
pihak tergugat , cukup seorang ahli waris saja yang tampil. Tidak mesti diminta
persetujuan dari semua ahli waris.
Memang benar, perlaķuan penggantian oleh ahli waris terhadap kedudukan
penggugat, dan tergugat adalah berbeda.
Bersamaan dengan prinsip pengadilan Indonesia tidak boleh melanggar extra
territorial,negara asing maupun WNA,memiliki imunitas yurisdiksi Akan tetapi,jika
hak imunitas yang dimilikinya dikaidkan dengan ketentuan Pasal 100
Rv,penerapannya adalah sebagai berikut.
Sepanjang tindakan yang dilakukan negara asing itu, dalam rangka melaksanakan
fungsi sebagai penguasa, terhadapnya berlaku asas imunitas.Olch karena itu,
negara asing tersebut tidak tunduk kepada pengadilan Indonesia ,sehingga tidak
dapat ditarik sebagai tergugat.

Anda mungkin juga menyukai