Pemberian kuasa kepada penerima kuasa dapat diberikan dan diterima dalam
suatu bentuk akta umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan dalam
sepucuk surat ataupun dengan lisan. Namun dalam perkembangan dinamika
masyarakat yang sedemikian cepat, untuk mengantisipasi segala kemungkinan
adanya sengketa dikemudian hari untuk keperluan pembuktian didepan
persidangan, pemberian kuasa dilakukan dengan akta umum atau akta autentik
atau setidak tidaknya dengan akta dibawah tangan, dan pemberian kuasa secara
lisan hampir tidak pernah dilakukan kecuali untuk hal-hal yang bersifat sederhana.
Ditinjau dari segi hukum, surat kuasa umum ini tidak dapat dipergunakan di
depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa, karena sifatnya umum
meskipun hanya satu persoalan yang dikuasakan secara khusus namun bukan
untuk tampil di depan sidang Pengadilan.
3. Syarat sahnya Surat Kuasa Khusus
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 123 ayat (1) HIR/147 ayat (1) Rbg
bahwa: ” Bila dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh
kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa teristimewa,
kecuali kalau yang memberi kuasa itu sendiri hadir, Penggugat dapat juga
memberi kuasa itu dalam surat pemintaan yang ditandatanganinya dan
dimasukkan menurut ayat (1) Pasal 118 HIR/142 ayat (1) Rbg atau jika gugatan
dilakukan dengan lisan menurut pasal 120 ayat (1) HIR/144 ayat (1) Rbg maka
dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus disebutkan dalam catatan yang
dibuat surat gugat ini”.
Dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia, apabila seseorang ingin
mengajukan suatu gugatan perdata di pengadilan mengenai permasalahan
hukum yang berkaitan dengan sengketa perdata khususnya (pemenuhan prestasi
dalam perjanjian atau pun perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
seseorang atau badan hukum terhadap dirinya), dan dia bermaksud menunjuk
seorang atau lebih advokat sebagai penerima kuasanya dalam mewakili dan/atau
memberikan bantuan hukum pada proses pemeriksaan perkara di persidangan,
maka orang tersebut harus memberikan kuasa kepada advokat yang ditunjuk
dalam bentuk Surat Kuasa Khusus yang dibuat dan ditandatangani serta
diperuntukkan khusus untuk itu. Hal pemberian Kuasa dengan Surat Kuasa
Khusus yang demikian ini, berlaku pula bagi pihak yang digugat oleh pihak lain,
yang pada akhirnya diwakili oleh seorang advokat sebagai penerima kuasa.
Apabila kita lihat dari makna yang terkandung pada pasal tersebut dari sudut
pandang pengaturan pembuatan pemberian kuasa, surat kuasa khusus dalam
format pasal ini sangat lah sederhana, hanya dengan memberikan
judul khusus pada surat kuasa, kemudian dibuat dalam bentuk tertulis. Bentuk
yang terlalu sederhana ini dalam perkembangan sejarah peradilan di Indonesia
dinilai sudah tidak tepat lagi, sehingga dilakukan lah penyempuranaan oleh MA
melalui SEMA (surat edaran Mahkamah Agung) tentang ciri surat kuasa khusus
yang benar-benar dapat membedakannya dengan surat kuasa umum. Dalam
perkembangan nya SEMA ini juga mengalami beberapa pergantian, dimulai dari
SEMA No.2 Tahun 1959, sampai dengan yang terakhir SEMA No. 6 tahun 1994,
14 Oktober 1994. Dalam SEMA yang terakhir, pada dasarnya lebih kembali
menyerupai dengan syarat pembuatan surat kuasa khusus yang diatur pada
SEMA No.02 Tahun 1959, karena SEMA ini dianggap lebih tepat untuk
penyempurnaan ciri dari surat kuasa khusus dibanding dengan SEMA
sebelumnya.
Surat kuasa khusus menurut SEMA Nomor 02 Tahun 1959 jo. Nomor 6
Tahun 1994 harus memuat:
- Menyebutkan dengan jelas dan spesifik surat kuasa, untuk berperan
pengadilan;
- Menyebutkan tentang kompetensi absolute dan relative pengadilan;
- Menyebut identitas dan kedudukan para pihak secara jelas, dan
- Menyebut secara ringkas dan kongkret pokok dan obyek sengketa yang
diperkarakan;
Dan seluruh syarat diatas bersifat kumulatif. Apabila ada salah satu dari
syarat diatas tidak dipenuhi, maka akan mengakibatkan surat kuasa khusus tidak
sah. Beberapa catatan yang harus diperhatikan dalam surat kuasa, khusus antara
lain:
a. Surat Kuasa khusus harus tertulis dan ditanda tangani oleh pemberi kuasa
dan penerima kuasa. Apabila pemberi kuasa buta huruf dan membubuhkan
cap jempol dalam surat kuasa, maka surat kuasa harus dilegalisir terlebih
dahulu oleh Notaris atau Pejabat yang berwenang (misalnya Hakim, Ketua
pengadilan di Jawa Madura, diluar Jawa oleh Panitera atau Notaris) dan
didaftarkan menurut Ordonansi Stb 1916 No. 46. Hal ini sesuai dengan
Yurisprodensi MA No. 272 K/Pdt/1983 tanggal 20 Agustus 1984 dan No. 3332
K/Pdt/1991 tanggal 10 Maret 1973;
b. Surat kuasa khusus yang didalamnya tidak dicantumkan kata “hak substitusi”,
maka pemberian kuasa tersebut tanpa hak substitusi, sehingga hanya berlaku
bagi penerima kuasa saja dan “Kuasa” tidak boleh melimpahkan kepada
pihak lain untuk menggantikannya. (Yurisprodensi MA No. 755 K/Sip/1970
tanggal 30 Juni 1971, dan No. 3162 K/Pdt/1983 tanggal 6 Pebruari 1985);
c. Apabila surat kuasa dibuat diluar negeri, maka surat kuasa khusus selain
memenuhi ketentuan SEMA No. 6 Tahun 1994 ditambah dengan “dilegalisir
oleh KBRI setempat atau Konsulat Jenderal dimana surat kuasa dibuat
(Peraturan Menteri Luar Negeri No. 09/A/KP/XII/2006/01 tanggal 28
Desember 2006, Yurisprodensi MA No. 3038 K/Pdt/1981 tanggal 18
September 1986). Selanjutnya dibubuhi meterai di Kantor Pos.
d. Apabila penerima kuasa lebih dari seorang, maka kesemuanya harus
menandatangani semua surat yang dikeluarkan demi kepentingan pemberi
kuasa (surat gugat, jawaban, dsb), dan juga kesemuanya harus hadir dalam
sidang, kecuali jika dalam surat kuasa disebutkan “dapat bertindak sendiri-
sendiri atau bersama-sama”, maka surat-surat boleh ditanda tangani oleh
sebagian kuasa atau boleh menghadiri sidang sebagian dari kuasa tersebut.
e. Advokat yang boleh beracara di pengadilan harus sudah diambil sumpahnya
oleh Ketua Pengadilan Tinggi dan mempunyai Kartu Tanda Anggota Advokat
dalam organisasi advokat dimana ia bergabung (tidak harus dari Peradi).
Surat KMA No. 73/KMA/Hk.01/IX/2015 tgl. 25 September 2015 ttg
Penyumpahan Advokat;
f. Penerima kuasa selain advokat harus mendapat ijin terlebih dahulu dari ketua
pengadilan, kecuali:
- Direksi sebuah perseroan Terbatas (PT), misalnya Tergugat/Penggugatnya
PT Bank BNI Syariah Cabang Yogyakarta, dapat diwakili oleh pimpinan
cabang yang bertindak mewakili direksinya (PT Bank BNI Syariah di Jakarta)
atau pimpinan cabang menunjuk satu atau lebih karyawannya untuk
mewakili perseroan di pengadilan (Pasal 1 ayat (5) UU No. 40 Th. 2007
tentang PT);
- Kepala Instansi Pemerintah, misalnya Tergugatnya KPKNL Yogyakarta,
maka dapat diwakili oleh Kepala KPKNL Yogyakarta atau menunjuk
pegawainya untuk mewakili di pengadilan;
- Pengurus yayasan yang belum berbadan hukum, misalnya Yayasan Yatim
Piatu Al-Wasliyah sebagai Tergugat dapat diwakili oleh pengurusnya (ketua,
sekretaris dan bendahara secara bersama-sama) atau pengurus menujuk
anggota yayasan untuk mewakilinya di pengadilan (Pasal 13 A UU No. 28 Th.
2004 tentang Yayasan);
Surat kuasa khusus yang tidak menyebut adanya upaya hukum, misalnya
verzet, banding ataupun kasasi, maka surat kuasa itu hanya berlaku untuk sekali
beracara yaitu dalam proses gugatan sampai pada putusan, tidak bisa
dipergunakan untuk verzet, banding ataupun kasasi. Untuk mewakili para pihak
dalam upaya hukum, maka harus dibuat surat kuasa khusus yang baru.