Anda di halaman 1dari 6

SURAT KUASA KHUSUS[1]

1. PENDAHULUAN
Dalam setiap beracara di Pengadilan maupun di lembaga-lembaga lain yang sifatnya mewakili, maka
setiap pihak yang mewakili salah satu pihak harus dapat menunjukkan keabsahannya dalam mewakili
tersebut. Keabsahan tersebut diwujudkan dalam suatu surat pelimpahan yang dikenal dengan sebutan
Surat Kuasa. Dilihat dari jenisnya Surat Kuasa terbagi kepada empat macam yaitu; Kuasa Umum,
Kuasa Khusus, Kuasa Istimewa dan Kuasa Perantara. Dalam Tulisam ini akan lebih fokus pada
pembahasan tentang Surat Kuasa Khusus   (bijzondere schriftelijke machtiging ) yang dalam hal ini
merupakan jenis kuasa yang digunakan dalam beracara di Pengadilan.
1. PENGERTIAN, SYARAT DAN FORMULASI SURAT KUASA KHUSUS.
Pemberian Kuasa atau lebih sering disebut dengan Kuasa ialah suatu persetujuan dengan mana
seorang memberikan kekuasaan kepada kepada seorang lain  yang menerimanya untuk dan atas
namanya  menyelenggarakan suatu urusan (lihat Pasal 1792 KUHPer)[2], sedangkan yang dimaksud
dengan Khusus adalah kuasa tersebut hanya mengenai satu kepentingan tertentu dalam hal-hal yang
terbatas khusus  pada apa yang tertuang dalam surat kuasa yang berupa tindakan yang dapat
menimbulkan akibat hukum, hal ini pula yang dipegang sebagai doktrin pada kalangan praktisi
hukum bahwa surat kuasa khusus yang digunakan sebagai kuasa untuk beracara harus menyebutkan
secara rinci dan jelas apa saja yang dikuasakan, wewenang dan akan digunakan pada Pengadilan
mana.
Dari Pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kuasa khusus terdiri dari 3 unsur yaitu :

1. Adanya pemberi dan penerima kuasa.


Seperti kuasa pada umumnya, kuasa khusus adalah sebuah perikatan yang dibangun berdasarkan
adanua pemberi dan penerima, meskipun dalam hal ini para praktisi bersilang pendapat tentang
apakah kuasa khusus bersifat ikatan sepihak atau ikatan timbal balik. Mengenai hal ini akan dibahas
pada bagian tersendiri dalam tulisan ini.

2. Untuk dan atas nama pemberi kuasa.


bahwa tindakan yang dilakukan oleh penerima kuasa adalah semata-mata untuk kepentingan pemberi
kuasa  dan akibat hukum yang timbul dari tindakan penerima kuasa mengikat terhadap pemberi
kuasa  sepanjang penerima kuasa tidak melampaui batasan yang telah ditentukan.

3. Pada hal-hal atau tindakan yang terbatas pada apa yang tertulis atau dikuasakan.
Artinya bahwa tindakan yang boleh dilakukan oleh Penerima Kuasa adalah terbatas pada hal-hal
yang tertulis atau dikuasakan secara khusus, sehingga dalam hal ini surat kuasa harus secara detail
dan lengkap menyebut apa saja tindakan yang boleh dilakukan penerima kuasa untuk dan atas nama
pemberi kuasa.

Pasal 147 ayat (1) R.B.g  menyebut syarat pokok yaitu kuasa khusus berbentuk tertulis atau jika
Pihak Materil hadir di muka sidang dapat memberikan kuasa melalui pernyataan lisan, Namun
demikian pada praktiknya pemberian kuasa secara lisan di hadapan sidang jarang dilakukan dan lebih
banyak dihindari mengingat bahwa hal tersebut dinilai kurang komprehensif dalam menjamin hak-
hak kedua belah pihak baik pemberi kuasa atau penerima kuasa.

Pada awalnya surat kuasa untuk beracara dapat dibuat secara sederhana sebagaimana disebut dalam
Pasal 147 (1), Pasal 142 (1) dan pasal 144 (1) namun sejarah peradilan di Indonesia menganggap
syarat sederhana seperti itu kurang tepat. Maka disempurnakan dengan SEMA secara kronologis sbb:

1. SEMA No 2 Tahun 1959, tanggal 19 Januari 1959


Dalam sema ini mensyaratkan surat kuasa khusus sbb:

1. Menyebutkan kompetensi relatif, di pengadilan mana kuasa itu digunakan


2. Menyebutkan identitas dan kedudukan para pihak
III. Menyebutkan secara ringkas dan kongkret pokok dan objek sengketa yang diperkarakan antara
pihak. Paling tidak menyebut jenis perkara, seperti waris atau transaksi jual beli.

Syarat tersebut bersifat kumulatif, jika tidak terpenuhi salah satunya maka; surat kuasa cacat formil
dan dengan sendrinya surat kuasa tidak sah.

2. SEMA No 5 Tahun 1962, tanggal 30 Juli 1962


Sema ini memuat hal terpenting sebagai penyempurna sema sebelumnya sbb:

1. Pengadilan pertama dan banding dapat menyempurnakan surat  kuasa yang tidak memenuhi
syarat formil apabila ditemukan dalam pemeriksaan sidang dengan memanggi pemberi kuasa.
2. Jika pemberi kuasa sudah meninggal dunia dapat digantikan ahli salah seorang ahli waris.
 

3. SEMA No 10 Tahun 1971, tanggal 23 Januari 1971


Ketentuan pokok sema ini sbb:

1. Yang berkepentingan dianggap sudah harus mengetahui serta mengindahkan syarat-syarat kuasa
khusus
2. Apabila ditemukan surat kuasa khusus yang tidak memenuhi syarat , pengadilan tidak perlu
menyempurnakannya sebagaimana sema no 5 tahun 1962.
3. Mencabut sema no 2 tahun 1959 dan sema no 5 tahun1962.
Pada prinsipnya sema no 10 ini tidak mencabut sema no 2 tahun1959 sebab syarat yang ditentukan
tidak dihapuskan, yang ditegaskan hanya ketidak bolehan menyempurnakan surat kuasa khusus.

4. SEMA No 6 Tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994


Pada pokoknya  sema ini sama dengan  sema no 2/1959 dan no 1/1971. Syarat kuasa khusus terdiri
dari:

 Menyebut dengan jelas untuk berperan di pengadilan


 Menyebut kompetensi relatif
 Menyebut identitas dan kedudukan para pihak
 Menyebut secara ringkas pokok dan objek sengketa.
Syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif

 BERAKHIRNYA KUASA
Pasal 1813 KUH Per membolehkan berakhirnya perjanjian kuasa  secara sepihak atau unilateral
apabila;

1. Pemberi kuasa menarik kembali secara sepihak (revocation,herroepen); pasal 1814 KUHPer
2. Salah satu pihak meninggal; pasal 1813 KUHPer
3. Penerima kuasa melepas kuasa (op zegging); Pasal 1817 KUHPer.
 

1. BEBERAPA PERMASALAHAN SURAT KUASA


 

1. Kuasa Mutlak (Irrevocable power of attorney)


Dalama bebrapa surat kuasa  ditemukan klausula yang menyatakan Pemberi kuasa tidak dapat
mencabut kembali kuasa yang diberikan kepada kuasa atau  meninggalnya pemberi kuasa tidak
mengakhiri perjanjian pemberi kuasa , hal ini  tidak diatur secara jelas dalam KUHPer sehingga
menimbulkan tafsir berbeda.  Jenis kuasa seperti ini mengesampingkan ketentuan berakhirnya kuasa
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1814 dan 1813 KUHPer. Yahya Harahap berpendapat Surat
Kuasa dapat memuat sebuah klausul kuasa mutlak karena pemberian kuasa adalah termasuk dalam
jenis perjanjian yang didasarkan pada asas freedom of contract atau kebebasan berkontrak
sebagaimana diatur dalam pasal 1337  KUHPer, sepanjang kontrak tersebut tidak mengandung hal
yang dilarang (prohibition) oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban
umum (moral and public order).[3] Dalam Putusan MA tanggal 16 Desember 1967 No 731
K/Sip/1975 dan Putusan MA RI Nomor  3604.K/Pdt/1985 tanggal 17 Nopember 1987 Menegaskan
bahwa ketentuan Pasal 1813 KUHPer tidak bersifat limitative dan tidak mengikat oleh karena itu jika
sifat perjanjian menghendaki, dapat ditentukan pemberian kuasa mutlak tidak dapat dicabut
kembali[4], salah satu contohnya adalah aturan dalam Pasal 15 (2) UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda benda yang berkaitan dengan Tanah.
Disisi lain terdapat pendapat yang yang menyatakan Kuasa Khusus yang bersifat Mutlak tidak dapat
dibenarkan. Hal ini didasarkan pada prinsip dasar dari memberi kuasa adalah pelimpahan kekuasaan
dari pemilik kuasa yang hal ini mutlak kepunyaan pemilik kuasa, maka atas dasar itu pemilik kuasa
juga mempunyai hak penuh untuk menarik kembali kuasanya kapan saja saat ia menghendaki. Hal
yang janggal ketika ada sebuah kekuasaan yang berasal dari pemberi kuasa namun dia tidak
diperbolehkan untuk menarik kembali kekuasan tersebut[5].
Selain itu tidak logis pula  Pasal 1813 KUHPer diabaikan, selain karena sifat dan kekuatan hukum
dari pasal tersebut, kuasa juga bukan merupakan  persetujuan bersifat dua arah atau timbal balik
melainkan hanya sepihak saja, sehingga jelas disebutkan bahwa pencabutan kuasa dapat dilakukan
sepihak dari pemberi kuasa. Hal ini sejalan Putusan MA-RI No.1060.K/Sip/1972, tanggal 14 Oktober
1975  yang menyatakan:  Meskipun dalam surat kuasa tanggal 3 Agustus 1969 ada kata-kata “Surat
Kuasa penuh yang tidak dapat ditarik kembali”, pembatalan surat Kuasa tersebut oleh pemberi kuasa
dapat dibenarkan menurut hukum, karena hal ini adalah hak daripada pemberi kuasa dan ternyata
penerima kuasa telah mengadakan penyimpangan dan pelanggaran terhadap Surat Kuasa ;
 

1. Surat Kuasa Dibuat Di Luar Negeri


Persyaratan pokok surat kuasa khusus yang dibuat di luar negeri sama yang dibuat di dalam negeri.
Sesuai asas lex fori yang dianut hukum perdata internasional dengan doktrin  the law of forum yaitu
hukum acara yang berlaku  tunduk kepada ketentuan pengadilan  tempat gugatan diajukan  atau
diterima.

Selain syarat pokok sebagaimana diharuskan pasal 147 ayat (1) R.Bg. , SEMA  No.1/1971 Jo. SEMA
No. 6/1994   juga terdapat syarat tambahan yaitu harus dilegalisasi oleh KBRI atau KONJEN
setempat. Maksud dari legalisasi adalah kepastian hukum bagi pengadilan tentang kebenaran dan
eksistensi surat kuasa dan pemberi kuasa. Hal tersebut sesuai dengan Yurisprudensi  Putusan MA
No. 3038 K/Pdt/1981 tanggal 18 September 1986  yang menyatakan bahwa keabsahan surat kuasa
yang dibuat di luar negeri selain harus memenuhi persyaratan formilmjuga harus dilegalisir lebih
dahulu oleh KBRI setempat.

1. Surat Kuasa Dengan Cap Jempol


Surat kuasa khusus berbentuk akta dibawah tangan  yang diblakukan oleh pemberi kuasa ytang tidak
bisa membaca dan menuils yang biasa menggunakan cap jempol, yang demikian sah menurut hukum
namun dengan syarat harus dilegalisir serta didaftar (Warmerking) oleh notaris atau pejabat yang
berwenang menurut ordonansi St. 1916 no 46 Jo. Pasal 286 R.Bg Jo.  Pasal 1874 KUHPer  hal ini
ditegaskan dalam Yurisprudensi putusan MA No. 272 K/Pdt/1983 dan Putusan MA No. 3332
K/Pdt/1991)[6].
1. Penerima Kuasa lebih Dari Satu Orang
Dalam praktik di peradilan, sering ditemukan baik pemberi kuasa atau penerima kuasa terdiri dari
lebih dari satu orang dan dibuat dalam satu surat kuasa khusus. Hal ini tidak menjadi masalah
meskipun sifat kuasa khusus bersifat perseorangan atau orang-perorang, bukan kolektif kolegial. Hal
ini mengandung arti bahwa surat kuasa khusus harus secara jelas menyebut penerima kuasa
perseorang dan tidak dibenarkan hanya menyebut  nama  kantor hukum atau law firm semata.  Begitu
pula jika seseorang yang menerima kuasa mempunyai rekan advocate yang bekerja pada satu kantor
hukum yang disebut dalam surat kuasa, tidak dapat mewakili kepentingan pemberi kuasa tanpa ada
pemberian kuasa kepadanya secara perorangan[7].  Meskipun sifat kuasa adalah perorangan, dalam
banyak surat kuasa yang terdiri dari penerima kuasa lebih dari satu orang, lazim mencantumkan
klausula “ baik secara bersama atau sendiri-sendiri sebagai penerima kuasa”. Klausul ini
dimaksudkan agar dalam membuat dokumen yang diajukan dihadapan sidang tidak diharuskan
ditandatangani oleh semua penerima Kuasa sebagaimana disebut dalam surat kuasa. Berkas yang
ditandatangani oleh sebagian penerima kuasa tetap sah dan merupakan tindakan yang dibenarkan
untuk dan atas nama pemberi kuasa .
 

1. Kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan


Berdasarkan pasal 147  (1) R.Bg  mengatur bahwa  Penggugat dalam gugatan itu dapat langsung
mencantumkan dan menunjuk  kuasa yang dikehendakinya  untuk mewakilinya dalam proses
pemeriksaan. Dalam praktik pencantuman dan penunjukan  didasarkan atas surat kuasa khusus
padahal menurut hukum penunjukan kuasa dalam surat gugatan tidak memerlukan syarat adanya 
surat kuasa khusus atau syarat formalitas lainnya.

1. Surat Kuasa Khusus Sah Apabila Penggugat Hadir Didampingi Kuasa


Meskipun ternyata suatu surat kuasa  tidak bersifat khusus, karena tidak memenuhi persyaratan  yang
ditentukan undang-undang, tetapi dalam pemeriksaan  persidangan Penggugat  sendiri hadir
didampingi  kuasa tersebut,  peristiwa itu membuat jelas  dan pasti  bagi tergugat dan majelis hakim 
bahwa penggugat benar memberi kuasa kepada kuasa dimaksud (vide Put MA No. 425 K/Pdt/1984).
Begitu juga jika kesalahan dalam surat kuasa seperti tidak menyebutkan atau salah menyebut jenis
perkara, jika penggugat hadir didampingi kuasa maka surat kuasa itu sah.

1. Tanda Tangan Penerima Kuasa Dalam Surat Kuasa


Pada tahun 2008 terjadi silang pendapat yang menjadi diskursus menarik bagi praktisi hukum
Indonesia. Ketika Ahmad Fadhil Sumadi meminta advokat senior Todung Mulya Lubis  dan kawan-
kawannya menandatangani surat kuasa khusus beracara di Mahkamah Konstitusi dalam sidang Uji
Materil UU Pemilu Legislatif. Silang pendapat ini merupakan konsekwensi dari pemahaman apakah
Surat Kuasa Khusus masuk kedalam klasifikasi perjanjian timbal-balik atau perjanjian sepihak.
Pendapat Yahya Harahap yang dikutip Hukum Online melalui komunikasi via telepon menerangkan
pada dasarnya surat kuasa memang perjanjian hukum sepihak, surat kuasa masuk kedalam ranah
perjanjian tertentu kalau seandainya dituangkan dalam kesepakatan juga bisa, penerapannya tidak
terlalu kaku[8].
Dalam konteks perjanjian timba-balik pasal 1299 KUHPer menyatakan bahwa pembatalan perjanjian
dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban, harus dimintakan kepada Pengadilan.
Demikian pula Pasal 1814 KUHPer menyatakan Pemberi Kuasa dapat menarik kembali kuasanya
menakala itu dikehendakinya dan jika ada alasan untuk itu, memaksa si kuasa untuk mengembalikan
kuasa yang dipegang. Sehingga dari dua  ketentuan diatas disimpulkan bahwa surat kuasa merupakan
perjanjian sepihak yang artinya tidak terdapat keharusan penerima kuasa untuk menandatangani surat
kuasa[9].
Dilain pihak, dalam praktik peradilan, surat kuasa memerlukan adanya tandatangan dari penerima
kuasa. Hal ini dinilai sebagai upaya untuk menjamin kepastian dan sebuah bukti bahwa penerima
kuasa dalam hal yang dikuasakan menerima dan bersedia menjalankan segala kewajiban yang
tertuang dalam surat kuasa dan untuk selanjutnya bahwa penerima kuasa juga mempunyai hak-hak
sebagaimana dijamin oleh ketentuan dalam Undang-Undang tentang Advokat. Konsep Surat Kuasa
sendiri dalam KUHPer lebih mendasarkan pada prinsip Lastgeving (perjanjian pemberian perintah)
dimana pihak penerima mengikatkan diri terhadap pihak lain yakni Pemberi Kuasa.[10]
1. Penutup
Surat Kuasa Khusus sebagai  bukti formil penerima kuasa dari pemberi kuasa untuk beracara di
Pengadilan, syarat ketentuan foramlitasnya telah diatur dalam Pasal 147 (1) R.Bg dan Sema yang
beberapa kali diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI. Meski demikian masih terdapat penafsiran yang
berbeda dikalangan prakitis tentang Surat Kuasa Khusus itu sendiri apakah dipandang sebagai
perjanjian timbal balik ataukah sepihak, Mahkamah Agung sendiri melalui Sema dan beberapa
putusan di tingkat kasasi cenderung mendudukan sebagai perjanjian timbal balik meski dalam hal
tertentu masih menerapkan ketentuan perjanjian sepihak. Demikian semoga bermanfaat.[fan]

[1] Disusun Oleh H. Adi Irfan Jauhari dalam rangka Diskusi bulanan Hakim Pengadilan Agama Giri
Menang tanggal 28 Februari 2019
[2] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  (Burgerlijk Wetboek) diterjemahkan oleh R. Subekti dan
R Tjitrosudibio, Jakarta Pradanya Paramita, 1992.
[3] Yaha Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika  hal 5
[4] Hanung Widjanarko, Analisa Yuridis Pencantuman Klausul Kuasa Mutlak Di Dalam Perjanjian
Hibah, Jurnal Perspektif Volume XXI No 3 tahun 2016  hal 214
[5] Hendra Setiawan Boen, Tinjauan Terhadap Surat Kuasa Mutlak,  www. Hukumonline.com,
Diakses 26 Februari 2019.
[6] Dalam kajian pustaka kenotariatan   warmerking  juga disebut verklaring van visum atau
registrasi. Warmerking adalah memberi tanggal pasti  yaitu keterangan bahwa Notaris telah melihat 
akta dibawah tangan pada hari itu  yaitu tanggal ketika notaris melihatnya, bukan tanggal yang
dikehendaki kliennya. Sehingga tanda tangan atau cap jempol  yang tertera diatas surat dibawah
tangan  tidak pasti dan tetap dapat disangkal  oleh orangnya atau ahli warisnya, tetapi tanggal tidak
dapat disangkal.
Sedangkan Legalisasi adalah suatu tindakan hukum yang harus memenuhi beberapa syarat  yaitu:
(1)Notaris itu mengenal orang yang tandatangan atau membubuhkan cap jempol (2) isi akta
diterangkan dan dijelaskan kepada orangnya (3) orang itu membubuhkan tanda tangan atau cap jemol
dihadapan notaris. (Kiagus Yusrizal, Tesis berjudul Tinjauan Hukum terhadap kekuatan pembuktian
akta di bawah tangan dihubungkan dengan kewenangan Notaris dalam Pasal 15 ayat (2) UU Nomor
30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris, Undip 2008. Hal 25-29)

[7][7]  Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan, Pustaka Pelajar, 2017. Hal
198
[8] Ali dkk., Surat Kuasa, Perjanjian Timbal Balik atau Perjanjian Sepihak, www.Hukumonline.com
diakses pada 25 Februari 2019.
[9] Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan, Pustaka Pelajar, 2017. Hal
198
[10] Hukum di Belanda sendiri sebagai pembuat KUHPer yang sampai saat ini masih digunakan di
Indonesia, telah melakukan pembaharuan dengan Nieuw Burgerlijk Wetboek Nederland (NBW).
Dalam NBW dibedakan antara Lastgeving (perjanjian pemberian perintah)
dengan Volmacht (Kuasa).  Volmacht tidak diatur  dalam KUHPer yang berlaku di Indonesia. NBW
menyebutkan : Lastgeving is de overeenkomst van opdracht waarbij de ene partij, de lasthebber, zich
jegen de andere partij, de lastgever, verbindt voor rekening van de lastgever een of meer
rechtshandelingen te verrichten (Lastgeving adalah perjanjian  pemberian perintah dimana pihak
yang satu, penerima perintah mengikatkan diri terhadap pihak lain, pemberi perintah untuk atas nama
pemberi perintah melakukan satu atau lebih perbuatan hukum). Volmacht is de bevoegdheid die een
volmachgever  verleent aan een ander, de gegevolmachtigd, om zijnnaam rechtshandelingen te
vrichten (volmacht [Kuasa] yaitu   kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima
kuasa untuk melakukan tindakan hukum atas nama pemberi kuasa.
Esensi perbedaan antara Lastgeving dan volmacht  yaitu volmacht memberikan kewenangan
mewakili yang lahir dari tindakan hukum sepihak bukan kewajiban mewakili, sedangkan lastgeving
memberikan kewajiban mewakili yang lahir dari perjanjian  jika ada kewenangan mewakili yang
lahir dari perjanjian lastgeving tersebut. Ketentuan mengenai KUHPer yang mencampurkan  dua
bentuk hukum yaitu lastgeving dan vlomacht memberi pengaruh dalam putusan-putusan pengadilan
dan pekembangan hukum, dokumen-dokumen hukum pemberian kuasa. Pengadilan menafsirkan
konsep  pemberian kuasa secara ganda, di satu pihak pemberian merupakann tindakan hukum
sepihak, dimana pencabutan kuasa oleh pemberi kuasa dapat dilakukan sepihak tanpa diperlukan
persetujuan penerima kuasa (lihat Put Nomor  28/Pdt.G/Pn.Jb). Sementara dilain pihak Pengadilan
berpendapat pemberian kuasa merupakan perjanjian obligator bahkan sebagai perjanjian timbal balik
yang tunduk pada buku III KUHPer  dimana pencabutan kuasa  harus memperoleh persetujuan dari
penerima kuasa (lihat Putusan Nomor 423/Pdt.G/2011 PA.Dgl)  [Jurnal Hukum & Pembangunan,
Pieter E. Latumeten, Reposisi Pemberian Kuasa Dalam Konsep Volmacht dan Lastgeving
berdasarkan Cita Hukum Pancasila hal 5)

Anda mungkin juga menyukai