Anda di halaman 1dari 16

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan Mahkamah Agung RI

PPC
Program Pendidikan dan
Modul Diklat Tahap 2

“SURAT KUASA”
Pelatihan Calon Hakim

TERPADU
PERADILAN AGAMA

e-learning.mahkamahagung.go.id
© 2018

Surat Kuasa 1
SURAT KUASA1

A. PENDAHULUAN

Penggunaan surat kuasa saat ini sudah sangat umum di tengah masyarakat untuk
berbagai keperluan. Pada awalnya konsep surat kuasa hanya dikenal dalam bidang
hukum dan digunakan untuk keperluan suatu kegiatan yang menimbulkan akibat
hukum, namun akhirnya surat kuasa mengalami perkembangan dan bahkan sudah
digunakan untuk berbagai keperluan sederhana dalam berbagai bidang
dalam kehidupan masyarakat.
Apa sebenarnya definisi surat kuasa itu? Ada banyak pihak yang telah
mendefinisikan tentang surat kuasa, malahan definisi-definisi tersebut justru sampai saat
ini pun masih menimbulkan perdebatan di kalangan pakar-pakar hukum. Hal ini
disebabkan oleh karena pada dasarnya tidak ada aturan hukum secara khusus yang dapat
memberikan definisi tentang surat kuasa. Oleh karenanya, untuk dapat lebih memahami
hal tersebut, terlebih dahulu perlu dipahami apakah kuasa itu.
Surat kuasa bukan barang baru dalam khasanah hukum perdata Indonesia. Ia
sudah ada dan diperkenalkan dalam hukum perdata sejak zaman Belanda. Ketentuan
umumnya diatur dalam Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), sedangkan aturan khususnya
diatur dalam HIR/RBg. Surat kuasa juga diatur dalam sejumlah Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA). Sayangnya, hingga kini persoalan surat kuasa masih saja muncul di
pengadilan, sehingga layak mendapat perhatian saat mengupas hukum acara perdata.
Meskipun terkesan sepele, surat kuasa hanya secarik atau beberapa lembar kertas,
dampaknya relatif besar dalam penanganan perkara. Bagi para praktisi hukum,
khususnya para hakim wajib memahami keabsahan surat kuasa khusus dalam memeriksa
dan mengadili suatu perkara yang ditanganinya apabila perkara itu menggunakan jasa
advokat/pengacara atau kuasa lainnya. Sebelum hakim memeriksa pokok perkara, maka
pertama-tama harus diperiksa tentang keabsahan surat kuasa yang diberikan kepada
kuasa hukumnya tersebut.

B. SURAT KUASA

1. Pengertian Surat Kuasa

Surat Kuasa pada umumnya telah datur dalam Bab XVI, Buku III Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (BW) Pasal 1792 s/d 1819, sedangkan secara khusus telah
diatur dalam Hukum Acara Perdata yaitu sebagaimana pada Pasal 123 HIR/147 Rbg.
Pengertian surat kuasa sebagaimana Pasal 1972 KUH Perdata, berbunyi
bahwa

1
Disampaikan dalam pendidikan dan pelatihan Cakim PPC III 2019 di Megamendung Bogor;

Surat Kuasa 1
“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang
memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan
atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.

Dari pasal tersebut, ada dua pihak yaitu pemberi kuasa (lastgever) dan
penerima kuasa, keduanya telah mengadakan persetujuan, pemberi kuasa
memberikan atau melimpahkan sesuatu urusannya kepada pihak penerima kuasa
untuk melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa, sesuai dengan fungsi
dan kewenangan yang telah ditentukan dalam surat kuasa tersebut, hal mana
penerima kuasa bertanggung jawab melakukan perbuatan sepanjang yang
dikuasakan dan tidak melebihi kewenangan yang diberikan dari pemberi kuasa.2
Kewajiban Pemberi Kuasa adalah:
a. Memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa sepanjang
dalam rangka pelaksanaan kuasa;
b. Memberikan penggantian segala biaya ataupun kerugian yang dikeluarkan oleh
penerima kuasa dalam rangka pelaksanaan kuasa;
c. Membayar upah penerima kuasa apabila memang diperjanjikan suatu upah.
Adapun Kewajiban Penerima Kuasa adalah:
a. Melaksanakan dan menyelesaikan urusan yang dikuasakan kepadanya dengan
baik;
b. Memberikan laporan secara berkala kepada pemberi kuasa mengenai
pelaksanaan urusan yang dikuasakan kepadanya;
c. Bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang ia lakukan diluar pemberian
kuasa atau yang timbul atas kelalaianya;
d. Bertanggung jawab atas pelaksanaan urusan yang dilakukan oleh orang yang ia
tunjuk sebagai penerima kuasa pengganti, sedangkan ia tidak dikuasakan untuk
itu.
Sebagai suatu perjanjian, surat kuasa harus memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu ada kesepakatan, kecakapan
para pihak, dalam hal tertentu dan sebab yang halal.
Surat Kuasa harus memuat hal-hal sebagai berikut:
- Identitas pemberi kuasa;
- Identitas penerima kuasa;
- Hal yang dikuasakan, disebutkan secara jelas dan rinci, tidak boleh mempunyai
arti ganda;

2
Untuk lebih jelasnya baca, Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, cet XII, 2011),
hal. 1-3;

Surat Kuasa 2
- Waktu pemberian kuasa;
- Tanda tangan pemberi dan penerima kuasa;
- Meterai secukupnya (Rp6.000,00).
Pasal 1795 BW menyebutkan bahwa: “Pemberian kuasa dapat dilakukan
secara khusus yaitu mengenai hanya satu kepetingan tertentu atau lebih, atau secara
umum yaitu meliputi segala kepentingan sipemberi kuasa”.

2. Subyek Hukum yang dapat menjadi kuasa

a. Advokat (sesuai dengan pasal 32 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang


Advokat;
b. Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil negara/pemerintah sesuai
dengan pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan;
c. Biro hukum pemerintah/TNI;
d. Direksi/pengurus atau karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum;
e. Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh ketua pengadilan:
f. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) adalah advokat sebagaimana yang dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, demikian pula LBH pada
Perguruan Tinggi;
g. Lembaga Konsumen Indonesia (LKI) yang disahkan oleh Kementerian Hukum
dan HAM untuk perkara ekonomi syariah.

3. Tujuan Surat Kuasa

Secara umum surat kuasa bertujuan:


a. Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan kepada penerima kuasa untuk
mengurus kepentingannya, sesuai dengan kewenangan yang diberikan dalam
surat kuasa;
b. Penerima kuasa berkuasa penuh bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap
pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa;
c. Pemberi kuasa bertanggungjawab atas segala perbuatan penerima kuasa
sepanjang perbuatan yang dilakukan tidak melebihi wewenang yang diberikan
pemberi kuasa.

Surat Kuasa 3
C. MACAM-MACAM SURAT KUASA

Dari ketentuan Pasal 1795 BW dapat diketahui bahwa dari segi cara merumuskan
dan tujuannya, surat kuasa dibedakan kepada 4 (empat) jenis yaitu:

1. Surat Kuasa Umum

Surat Kuasa Umum yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1796 KUH
Perdata menyatakan “Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya
meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Untuk memindah
tangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu
perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh
seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas”.
Titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan
kepentingan pemberi kuasa. Contohnya: seorang manager suatu perusahaan yang
diberikan kuasa bertindak untuk dan atas nama perseroan terbatas (PT) berdasarkan
surat kuasa dari Direktur PT, dia dapat melakukan tindakan yang mewakili Direktur
tersebut untuk melakukan hal yang dipersyaratkan dalam pasal 1796 KUHPerdata
tadi, seperti salah satu contoh berdasarkan pasal tadi yaitu melakukan pemindahan
barang-barang produksi dari satu tempat ke tempat yang lain, atau juga tindakan-
tindakan seperti transaksi jual-beli tergantung dengan batas dalam kuasa yang
diberikan.

2. Surat Kuasa Khusus

Dalam surat kuasa ini, pemberian kuasa dilakukan secara khusus, yaitu hanya
mengenai suatu kepentingan atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan
pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan
pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun untuk dapat digunakan dalam
persidangan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat kuasa
khusus ini, tidak bisa hanya mengiktui ketentuan sesuai dengan pasal 123 HIR ayat
(1) yang menyatakan:
“Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh
kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa khusus,
kecuali kalau yang memberi kuasa itu sendiri hadir. Penggugat dapat juga
memberi kuasa itu dalam surat permintaan yang ditanda tanganinya dan
dimasukkan menurut ayat pertama pasal 118 atau jika gugatan dilakukan
dengan lisan menurut pasal 120, maka dalam hal terakhir ini, yang demikian
itu harus disebutkan dalam catatan yang dibuat surat gugat ini”. (Pasal 147 ayat
(1) Rbg).

Surat Kuasa 4
2.1. Syarat sahnya Surat Kuasa Khusus

Bentuk formil Surat Kuasa Khusus dalam perkembangan sejarah


peradilan di Indonesia mengalami penyempuranaan oleh Mahkamah Agung RI
melalui SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) tentang ciri surat kuasa khusus
yang benar-benar dapat membedakannya dengan surat kuasa umum atau surat
kuasa khusus lainnya. Dalam perkembangannya SEMA ini juga mengalami
beberapa pergantian, dimulai dari SEMA No.2 Tahun 1959, sampai dengan yang
terakhir SEMA No. 6 tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994.3 Dalam SEMA yang
terakhir, pada dasarnya lebih kembali menyerupai dengan syarat pembuatan
surat kuasa khusus yang diatur pada SEMA No.02 Tahun 1959, karena SEMA ini
dianggap lebih tepat untuk penyempurnaan ciri dari surat kuasa khusus
dibanding dengan SEMA sebelumnya.4
Penggugat ataupun Tergugat yang mewakilkan kepada orang lain untuk
beracara didepan pengadilan, dalam surat kuasanya wajib memperhatikan
ketentuan yang digariskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI tersebut, jika
tidak maka berakibat gugatan Penggugat akan dinyatakan tidak dapat diterima
(Niet Onvankelijke verklaard), dan bagi Tergugat tentunya kuasanya tidak bisa
mewakilinya didepan sidang karena surat kuasa tidak sah.
Surat kuasa khusus menurut SEMA Nomor 02 Tahun 1959 jo. Nomor 6
Tahun 1994 harus memuat:
- Menyebutkan identitas dan kedudukan para pihak secara jelas;
- Menyebut secara ringkas dan kongkret pokok dan obyek sengketa yang
diperkarakan;
- Menyebutkan dengan jelas dan spesifik surat kuasa, untuk berperan di
pengadilan tertentu;
- Menyebutkan secara tegas upaya hukum yang harus dilakukan.

2.1.1. Syarat sahnya Surat Kuasa Khusus

Untuk menentukan subyek dalam pembuatan surat kuasa sangat


penting sekali, karena kekeliruan dalam menentukan siapa yang berhak
memberi kuasa dalam suatu surat kuasa juga dapat membuat gugatan
menjadi kandas ditengah jalan. Kekeliruan dalam menentukan siapa yang
berhak bertindak memberi kuasa terutama bila pemberi kuasa itu suatu
badan hukum akan menimbulkan masalah dalam gugatan. 5

3
Yahya Harahap, Ibid, hal. 15;
4
Yahya Harahap, ibid;
5
Putusan MA-RI No. 10/K/N/1999 tanggal 18 Mei 1999 jo. No. 16/Pailit/1999 tanggal 1 April 1999, yang
memberikan kaedah hukum bahwa Bank Umum yang dinyatakan tidak sehat dan berada dalam pengawasan BPPN,
maka Direksi, Komisaris dan Pemegang saham Bank Umum tersebut dilarang melakukan tindakan hukum tanpa

Surat Kuasa 5
Pada dasarnya subyek surat kuasa (Pemberi dan Penerima Kuasa)
haruslah orang yang cakap bertindak hukum. Jika subyek surat kuasa berupa
perseorangan (persoonlijke), maka sekurang-kurangnya disebutkan: nama,
umur, pekerjaan, alamat/tempat tinggal, dan disebutkan kedudukannya
sebagai apa (Penggugat atau Tergugat). Apabila subyek surat kuasa itu
berupa kumpulan orang-orang baik yang telah berbadan hukum (public atau
privat) seperti Negara atau Perseroan Terbatas (PT) maupun yang belum
berbadan hukum, seperti CV, Firma, Yayasan, Koperasi dan sebagainya, maka
orang yang bertindak sebagai “Pemberi Kuasa” (Penggugat) atau orang yang
digugat (Tergugat) harus disesuaikan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Badan hukum public (Negara), jika hendak memberikan surat kuasa
khusus, maka harus jelas penyebutannya; misalnya: Menteri Dalam Negeri
bertindak an. Pemerintah cq. Kementrian Dalam Negeri, atau Bupati
bertindakan. Pemerintah Kabupaten dsb.6 Dalam hal Pemberi kuasa adalah
Badan Hukum Privat, seperti: PT Bank BNI Syariah Pusat di Jakarta atau
Cabangnya, maka yang berhak memberikan kuasa adalah Direksi Utamanya
atau Kepala Cabang dalam kapasitasnya mewakili Direksi Utama. Jika
Pemberi Kuasa suatu perkumpulan yang belum berbadan hukum, maka yang
berhak memberikan kuasa adalah sesuai dengan AD/ART perkumpulan
tersebut. Selanjutnya harus disebutkan secara jelas kedudukannya dalam
perkara, apakah sebagai pihak Penggugat atau Tergugat;
Apabila Penerima Kuasa adalah Advokat/Pengacara, maka sesuai
Surat KMA No. 73/KMA/Hk.01/IX/2015 tgl. 25 September 2015 ttg
Penyumpahan Advokat, yang dapat beracara di pengadilan adalah
advokat/pengacara yang telah diambil sumpah oleh Pengadilan Tinggi dan
mempunyai Kartu Tanda Anggota sebagai Advokat tanpa terikat dengan
suatu perkumpulan advokat tertentu. Sedangkan jika Penerima Kuasa adalah
salah satu dari keluarganya (Surat Khusus Insidentil), maka harus ada ijin
dari Ketua Pengadilan setempat. 7 Tentang surat kuasa insidentil akan
dibahas tersendiri.
Dalam praktek Penerima Kuasa dapat lebih dari satu orang,
karenanya dalam Surat Kuasa tersebut para Penerima Kuasa yang namanya
tercantum harus menandatangani surat kuasa tersebut. Konsekwensinya
adalah dalam membuat gugatan bila sebagai Penggugat atau membuat
Jawaban sebagai Terrgugat maka para Penerima Kuasa seluruhnya harus
menandatangani surat-surat tersebut.

ijin BPPN, karena segala tindakan hukum an. Bank yang dinyatakan tidak sehat itu dibawah kekuasaan BPPN
sebagai legal mandatory.
6
Pimpinan Departemen/Kementrian, Propinsi, Kabupaten dsb. tidak disebutkan namanya, tetapi
jabatannya/kedudukannya (Pasal 6 angka 1 Rv);
7
Surat Edaran TUADA ULDILTUN MA-RI No. MA/KUMDIL/8810/1987 (Buku II MARI, hal. 70-71);

Surat Kuasa 6
Kadang-kadang sering dalam praktek salah satu penerima kuasa
sedang menghadiri persidangan di luar kota tentunya penandatangan surat
tersebut tidak dapat ditunda karena jadwal persidangan telah ditentukan,
maka untuk menghindari hal tersebut dalam surat kuasa pada kolom
penerima kuasa harus dimasukkan klausul, baik secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri sebagai penerima kuasa. Jika kuasa hukum itu sendirian dan
berhalangan sehingga tidak bisa hadir dalam sidang yang telah ditentukan,
maka bisa dibuat klausul “surat kuasa ini dibuat dengan hak substitusi”.
Dengan dimasukannya klausul-klausul tersebut maka bila kuasa hukum
(hanya seorang) tidak bisa hadir dalam sidang dapat menunjuk kuasa lainnya
untuk menghadiri persidangan, atau jika ada salah satu atau lebih penerima
kuasa (kuasanya beberapa orang) tidak dapat menandatangani surat-surat
karena sedang berada di luar kota, maka penandatangan surat tersebut
cukup oleh salah satu penerima kuasa saja.

2.1.2. Menyebutkan secara konkrit pokok/obyek sengketa

Mengenai pokok sengketa/obyek dari gugatan harus disebutkan


secara jelas, misalnya gugatan tentang kewarisan, Harta Bersama,
Perceraian, Wanprestasi, Perbuatan Melawan Hukum dsb. Sedangkan jika
obyek gugatan itu berupa kebendaan, mengenai Identitas obyek gugatan
sedapat mungkin dijelaskan secara rinci, namun jika tidak memungkinkan
cukup disebutkan secara umum, misalnya tentang warisan dari almarhum A
dan B, atau Harta Bersama antara Penggugat dengan Tergugat dsb.
Apabila pokok sengketa itu merupakan komulasi/gabungan beberapa
gugatan, maka harus ditegaskan dalam surat kuasa misalnya, gugatan
tentang Perceraian, dikomulasi dengan gugatan Harta Bersama dan
Pemeliharaan anak. Demikian pula Kuasa Tergugat dapat mengajukan gugat
rekonvensi, apabila secara tegas dalam surat kuasa disebutkan Penerima
Kuasa diberi hak untuk mengajukan gugat rekonvensi mengenai obyek gugat
tertentu, misalnya mengajukan gugat rekonvensi tentang mahar yang belum
dibayar, nafkah anak, nafkah lalai dsb.

2.1.3. Menyebutkan secara spesifik surat kuasa untuk berperan di


pengadilan tertentu

Pada dasarnya berlakunya Surat Kuasa itu untuk berperan di


pengadilan tertentu, misalnya Pengadilan Agama Jakarta Pusat atau
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dsb. Bagi Penggugat, penunjukan
pengadilan dalam surat kuasa itu sangat penting untuk diperhatikan yaitu
untuk menghindari adanya eksepsi/tangkisan mengenai kewenangan
absolute atau relative dari suatu pengadilan. Penggugat harus
memperhatikan kompetensi absolute pengadilan dan domisili
Tergugat/Para Tergugat dan/atau obyek gugatan jika berupa benda tetap.

Surat Kuasa 7
Atau ada tidaknya perjanjian dalam menyelesaikan suatu sengketa diantara
para pihak. Demikian pula apakah Tergugat akan digugat sebagai pribadi
atau sebagai direksi suatu perseroan tertentu.

2.1.4. Menyebutkan secara tegas upaya hukum yang harus dilakukan

Surat Kuasa khusus yang tidak mencantumkan adanya upaya hukum,


misalnya banding dan/kasasi, maka surat kuasa hanya berlaku untuk
beracara pada tingkat pengadilan tertentu saja, misalnya hanya berlaku
untuk pengadilan tingkat pertama (PA/PN), tidak bisa digunakan untuk
beracara di tingkat banding (PT/PTA). Untuk beracara pada tingkat banding
diperlukan surat kuasa khusus yang baru. Hal ini berlaku baik surat kuasa
yang dibuat oleh Penggugat ataupun Tergugat. Untuk kasasi harus dibuat
secara khusus, meskipun pada tingkat sebelumnya sudah dicantumkan.
Beberapa catatan yang harus diperhatikan dalam surat kuasa khusus
antara lain:
- Surat Kuasa khusus harus tertulis dan ditanda tangani oleh pemberi
kuasa dan penerima kuasa. Apabila pemberi kuasa buta huruf dan
membubuhkan cap jempol dalam surat kuasa, maka surat kuasa harus
dilegalisir terlebih dahulu oleh Notaris atau Pejabat yang berwenang
(misalnya Hakim, Ketua pengadilan di Jawa Madura, diluar Jawa oleh
Panitera atau Notaris) dan didaftarkan menurut Ordonansi Stb 1916 No.
46. Hal ini sesuai dengan Yurisprodensi MA No. 272 K/Pdt/1983 tanggal
20 Agustus 1984 dan No. 3332 K/Pdt/1991 tanggal 10 Maret 1973;
- Surat kuasa khusus yang didalamnya tidak dicantumkan kata “hak
substitusi”, maka pemberian kuasa tersebut tanpa hak substitusi,
sehingga hanya berlaku bagi penerima kuasa saja dan “Kuasa” tidak
boleh melimpahkan kepada pihak lain untuk menggantikannya.
(Yurisprodensi MA No. 755 K/Sip/1970 tanggal 30 Juni 1971, dan No.
3162 K/Pdt/1983 tanggal 6 Pebruari 1985);
- Apabila surat kuasa dibuat diluar negeri, maka surat kuasa khusus selain
memenuhi ketentuan SEMA No. 6 Tahun 1994 ditambah dengan
“dilegalisir oleh KBRI setempat atau Konsulat Jenderal dimana surat
kuasa dibuat (Peraturan Menteri Luar Negeri No. 09/A/KP/XII/2006/01
tanggal 28 Desember 2006, Yurisprudensi MA No. 3038 K/Pdt/1981
tanggal 18 September 1986). Selanjutnya dibubuhi meterai di Kantor
Pos;
- Apabila penerima kuasa lebih dari seorang, maka kesemuanya harus
menandatangani semua surat yang dikeluarkan demi kepentingan
pemberi kuasa (surat gugat, jawaban, dsb), dan juga kesemuanya harus
hadir dalam sidang, kecuali jika dalam surat kuasa disebutkan “dapat
bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama”, maka surat-surat boleh

Surat Kuasa 8
ditanda tangani oleh sebagian kuasa atau boleh menghadiri sidang
sebagian dari kuasa tersebut;
- Advokat yang boleh beracara di pengadilan harus sudah diambil
sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi dan mempunyai Kartu Tanda
Anggota Advokat dalam organisasi advokat dimana ia bergabung (tidak
harus dari Peradi). Surat KMA No. 73/KMA/Hk.01/IX/2015 tanggal 25
September 2015 tentang Penyumpahan Advokat;
- Penerima kuasa selain advokat harus mendapat ijin terlebih dahulu dari
ketua pengadilan, kecuali:
o Direksi sebuah Perseroan Terbatas (PT), misalnya
Tergugat/Penggugatnya PT Bank BNI Syariah Cabang Yogyakarta,
dapat diwakili oleh pimpinan cabang yang bertindak mewakili
direksinya (PT Bank BNI Syariah di Jakarta) atau pimpinan cabang
menunjuk satu atau lebih karyawannya untuk mewakili perseroan di
pengadilan (Pasal 1 ayat (5) UU No. 40 Th. 2007 tentang PT);
o Kepala Instansi Pemerintah, misalnya Tergugatnya KPKNL
Yogyakarta, maka dapat diwakili oleh Kepala KPKNL Yogyakarta
atau menunjuk pegawainya untuk mewakili di pengadilan;
o Pengurus yayasan yang belum berbadan hukum, misalnya Yayasan
Yatim Piatu Al-Wasliyah sebagai Tergugat dapat diwakili oleh
pengurusnya (ketua, sekretaris dan bendahara secara bersama-
sama) atau pengurus menujuk anggota yayasan untuk mewakilinya
di pengadilan (Pasal 13 A UU No. 28 Th. 2004 tentang Yayasan).

2.2. Bentuk Formil Surat Kuasa Khusus

2.2.1. Dalam bentuk autentik

a. Akta Notaris, dengan dihadiri pemberi dan penerima kuasa;


b. Akta yang dibuat di depan Panitera sesuai kompetensi relatif, dan
dilegalisir atau disahkan oleh Ketua Pengadilan Agama berdasarkan
pasal 147 ayat (3) Rbg dan SEMA Nomor 7 Tahun 2012 Tentang
Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar MARI sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.

2.2.2. Akte di bawah tangan

Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak, tanpa
perantara seorang pejabat, ditandatangani serta mencantukan tanggal tanda
tangan, tidak perlu legalisasi dari pihak manapun juga, sebagaimana putusan
MARI No.779 K/Pdt/1992 tanggal 29 April 2008, yang menyatakan tidak
diperlukan legalisasi atas surat kuasa khusus di bawah tangan.

Surat Kuasa 9
2.2.3. Kuasa Insidentil

Surat Kuasa Insidentil adalah pemberian kuasa kepada penerima


kuasa yang masih merupakan kerabat pemberi kuasa untuk dan atas nama
pemberi kuasa beracara di Pengadilan. Syarat sahnya surat kuasa insidentil
di antaranya adalah:
- Penerima Kuasa tidak berprofesi sebagai advokat/pengacara;
- Penerima Kuasa adalah orang yang mempunyai hubungan keluarga
sedarah atau semenda dengan pemberi kuasa sampai derajat ketiga yang
dibuktikan dengan surat keterangan hubungan keluarga yang
dikeluarkan oleh Lurah/Kepala Desa. Pengertian “derajat ketiga”
mencakup hubungan garis lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping;
- Tidak menerima imbalan jasa atau upah;
- Sepanjang tahun berjalan belum pernah bertindak sebagai kuasa
insidentil pada perkara yang lain;
- Hanya berlaku untuk beracara di Pengadilan tempat surat kuasa tersebut
didaftarkan dan juga hanya pada perkara yang ditunjuk.

Prosedur Pembuatan Surat Kuasa Insidentil

Boleh dibilang bahwa surat kuasa insidentil ini hampir sama


dengan surat kuasa Istimewa karena sama-sama dibuat dihadapan pejabat
yang berwenang. Bedanya, jika surat kuasa istimewa hanya pada tindakan
hukum yang istimewa dan dibuat dihadapan notaris, sedangkan kuasa
insidentil ini termasuk juga tindakan hukum yang tidak istimewa serta dibuat
dihadapan dan atas seizin Ketua Pengadilan tempat pemberi kuasa
mengajukan gugatan.
Dengan demikian, jika melihat dari uraian di atas, maka prosedur
pembuatan surat kuasa insidentil adalah sebagai berikut:
- Pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan membawa surat keterangan
hubungan keluarga dari kelurahan datang ke Pengadilan tempat pemberi
kuasa akan berperkara;
- Lalu setelah sampai melapor kepada petugas pengadilan agar diizinkan
menghadap kepada Ketua Pengadilan untuk kepentingan permohonan
izin membuat surat kuasa insidentil;
- Jika diizinkan, maka ketua pengadilan akan membuat penetapan yang
intinya memberikan izin kepada pihak yang berperkara untuk
menguasakan atau mewakilkan perkaranya kepada penerima kuasa;
- Atas dasar itulah, pemberi dan penerima kuasa insidentil membuat surat
kuasa insidentil.

Surat Kuasa 10
2.2.4. Surat Kuasa Khusus dengan Cap Jempol

Surat kuasa di bawah tangan dengan cap jempol adalah sah menurut
hukum. Putusan MARI Nomor 272 K/Pdt/1983 surat kuasa itu harus
dilegalisir (Waarmerking) dan didaftar menurut Ordonansi Stb.1916 No.46
oleh pejabat yang berwenang, yaitu Ketua Pengadilan Agama/Hakim atau
Panitera (SEMA No.7 Tahun 2012).

3. Surat Kuasa Istimewa

Surat kuasa istimewa diatur dalam Pasal 157 HIR/Pasal 187 Rbg, yang
menyatakan:
Sumpah itu, baik yang diperintahkan oleh hakim, maupun yang diminta atau
ditolak oleh satu pihak lain, dengan sendiri harus diangkatnya kecuali kalau
ketua pengadilan agama memberi izin kepada satu pihak, karena sebab yang
penting, akan menyuruh bersumpah seorang wakil istimewa yang dikuasakan
untuk mengangkat sumpah itu, kuasa yang mana hanya dapat diberi
dengan surat yang syah, di mana dengan seksama dan cukup disebutkan
sumpah yang akan diangkat itu.

Dari hal tersebut, kita bisa lihat bahwa surat kuasa ini baru bisa digunakan dalam
pengadilan apabila seseorang dalam melakukan sumpahnya di pengadilan
berhalangan dengan sebab yang penting -contohnya dalam kondisi sakit, sedang
bepergian, sedang diluar negeri dan sebagainya. Jadi, tentang lingkup tindakan yang
dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa hanya terbatas:
- Untuk mengucapkan sumpah tertentu atau sumpah tambahan sesuai aturan
perundang-undangan;
- Untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa, atau;
- Dan untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga.
Untuk kuasa istimewa ini dalam pasal diatas dinyatakan bahwa hanya dapat
diberikan dengan surat yang sah. Untuk surat sah sendiri, diberikan tafsir oleh para
praktisi hukum, adalah surat yang berbentuk akta otentik. Dengan kata lain,
pembuatan surat ini harus dibuat dalam akte notaris dan ditegaskan dengan kata-
kata yang jelas, mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan oleh penerima kuasa.
Surat kuasa istimewa ini memiliki dua syarat untuk dianggap sah,
yaitu bersifat terbatas (limitatif) dan bentuk akte otentik.

4. Surat Kuasa Perantara

Surat kuasa perantara disebut juga agen (agent). Dalam hal ini pemberi kuasa
sebagai principal memberi perintah (instruction) kepada pihak kedua dalam
kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum

Surat Kuasa 11
tertentu dengan pihak ketiga. Apa yang dilakukan agen, mengikat principal sebagi
pemberi kuasa, sepanjang tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan
yang diberikan. Kuasa ini berdasar dengan pasal 1972 KUH Perdata yang mengatur
secara umum tentang surat kuasa, dan pasal 62 KUHD yang menyatakan:
Makelar adalah pedagang perantara yang diangkat oleh Gubernur Jenderal
(dalam hal ini Presiden) atau oleh penguasa yang oleh Presiden dinyatakan
berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan
melakukan pekerjaan seperti yang dimaksud dalam pasal 64 dengan mendapat
upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang
dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja tetap. Sebelum diperbolehkan
melakukan pekerjaan, mereka harus bersumpah di depan raad van justitie di
mana Ia termasuk dalam daerah hukumnya, bahwa mereka akan menunaikan
kewajiban yang dibebankan dengan jujur.

Pemberian kuasa kepada penerima kuasa dapat diberikan dan diterima dalam
suatu bentuk akta umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan dalam sepucuk
surat ataupun dengan lisan. Namun dalam perkembangan dinamika masyarakat yang
sedemikian cepat, untuk mengantisipasi segala kemungkinan adanya sengketa
dikemudian hari untuk keperluan pembuktian didepan persidangan, pemberian
kuasa dilakukan dengan akta umum atau akta autentik atau setidak tidaknya dengan
akta dibawah tangan, dan pemberian kuasa secara lisan hampir tidak pernah
dilakukan kecuali untuk hal-hal yang bersifat sederhana.

D. TATA CARA PEMBERIAN KUASA

1. Surat secara Lisan

Apabila seseorang tidak dapat membaca dan/atau menulis, maka terhadap


orang tersebut dibolehkan mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua
pengadilan, demikian menurut Pasal 120 HIR/144 Rbg. Atas pengajuan gugatan
secara lisan itu Ketua Pengadilan kemudian akan mencatat atau menyuruh mencatat
gugatannya. Apabila Penggugat mengehedaki memberikan kuasa kepada orang lain
untuk mewakilinya berperkara dalam persidangan, maka Ketua Pengadilan juga akan
mencatat maksud Pemberian Kuasa dalam gugatan lisan yang diajukan. Terhadap
gugatan yang sedang berlangung di pengadilan, para pihak Penggugat dan Tergugat
juga dapat memberikan kuasa secara lisan kepada orang lain. Pemberian kuasa itu
dilakukan dengan kata-kata tegas (Expressis Verbis), dan majelis kemudian
memerintahkan Panitera untuk mencatatnya dalam berita acara sidang (BAS).

2. Kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan

Menurut Pasal 118 HIR/142 Rbg gugatan dapat diajukan secara tertulis. Jika
dikaitkan dengan Pasal 123 HIR/147 Rbg, maka dalam gugatan tertulis itu Penggugat

Surat Kuasa 12
dapat langsung menunjuk pihak lain sebagai Penerima Kuasa yang akan mewakili
dirinya dalam persidangan. Secara hukum hal tersebut memenuhi syarat formil dan
sah. Namun dalam praktek, pengangkatan kuasa melalui surat gugatan itu harus
didasarkan pada surat kuasa khusus, yang menurut hukum sebenarnya bukan
merupakan syarat, tetapi dalam praktek peradilan, jika Penggugat hendak
mewakilkan kepada kuasa dalam surat gugatannya, harus membuat surat kuasa
khusus terlebih dahulu sebelum surat gugatan dibuat oleh kuasa hukum.

3. Surat Kuasa di depan persidangan

Dalam hal yang seperti ini penunjukan secara lisan yang langsung
disampaikan pada saat sidang berlangsung, dengan sendirinya sudah memenuhi
syarat formil. Hakim/panitera cukup mencatat penunjukan itu (termasuk batas
kewenangan yang dilimpahkan kepada kuasa) dalam berita acara sidang.

4. Surat Kuasa Khusus yang dimaksud pasal 70 ayat (4) dan pasal 82 ayat (2)
Undang Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, yaitu surat kuasa untuk
mengucapkan ikrar talak dan mediasi harus dalam suatu akta autentik,
pembuatannya harus dihadapan pejabat yang berwenang (Notaris atau Panitera)
yang dihadiri pemberi kuasa dan penerima kuasa.

5. Kuasa Substitusi

Adapun yang dimaksud dengan kuasa substitusi adalah pemberian kuasa yang
dilakukan oleh penerima kuasa kepadaa orang lain (penerima kuasa substitusi) untuk
melaksanakan kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa yang pertama, sehingga
penerima kuasa substitusi adalah orang yang mendapat limpahan kuasa dari si kuasa.

E. BERAKHIRNYA SURAT KUASA

Berdasarkan Pasal 1813 KUHPerdata, pemberian kuasa berakhir:

1. Dengan Penarikan Kembali Kuasa oleh Pemberi Kuasa

Pemberi kuasa bukan hanya dapat menarik kembali kuasanya bila


dikehendakinya, tapi dapat pula memaksa pengembalian kuasa tersebut jika ada
alasan untuk itu. Terhadap pihak ketiga yang telah mengadakan persetujuan dengan
pihak penerima kuasa, penarikan kuasa tidak dapat diajukan kepadanya jika
penarikan kuasa tersebut hanya diberitahukan kepada penerima kuasa.
Pengangkatan penerima kuasa baru untuk menjalankan urusan yang sama
menyebabkan penarikan kembali kuasa atas penerima kuasa sebelumnya terhitung
sejak hari (tanggal) diberitahukannya pengangkatan penerima kuasa baru tersebut.

Surat Kuasa 13
2. Dengan Pemberitahuan Penghentian Kuasanya oleh Penerima Kuasa

Pemegang kuasa dapat membebaskan diri dari kuasanya dengan


memberitahukan penghentian kuasanya kepada pemberi kuasa dan pemberitahuan
tersebut tidak mengesampingkan kerugian bagi pemberi kuasa kecuali bila pemegang
kuasa tidak mampu meneruskan kuasanya tersebut tanpa mendatangkan kerugian
yang berarti.

3. Dengan meninggalnya Pengampu atau Pailitnya, baik Pemberi Kuasa maupun


Penerima Kuasa

Setiap perbuatan yang dilakukan pemegang kuasa karena ketidaktahuannya


tentang meninggalnya pemberi kuasa adalah sah dan segala perikatan yang
dilakukannya dengan pihak ketiga yang beritikad baik, harus dipenuhi terhadapnya.

4. Pemberi Kuasa atau Penerima Kuasa meninggal dunia, berada di bawah


pengampuan, mengalami pailit, atau terjadi perkawinan di antara mereka

F. PENUTUP

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa surat kuasa pada pokoknya ada dua
jenis, yaitu surat kuasa umum dan surat kuasa khusus. Cara pemberian surat kuasa bisa
secara lisan dan dapat pula secara tertulis, namun dalam perkembangannya pemberian
kuasa dilakukan secara tertulis baik dengan akta autentik maupun akta dibawah tangan.
Khusus untuk surat kuasa yang dipergunakan dalam beracara di pengadilan harus
berbentuk surat tertulis dan bersifat khusus yang dikenal dengan nama “Surat Kuasa
Khusus” yang bentuk formil diatur secara khusus dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
RI, dan jika tidak dipenuhi persyaratannya menyebabkan surat kuasa cacat formil dan
berakibat gugatan seseorang dinyatakan tidak dapat diterima atau Niet Onvankelijke
verklaard (NO).

DAFTAR PUSTAKA:

1. Hukum Acara Perdata Oleh: Yahya Harahap, SH


2. Hukum Acara Peradilan Agama Oleh: Prof. Dr. Abdul Manan, SH, MH
3. Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada Peradilan Agama Oleh: M. Yahya
Harahap, S.H.
4. Perwakilan Dan Kuasa, Oleh: J. Satrio
5. Aneka Perjanjian Oleh: Prof.R. Subekti, S.H
6. Membumikan Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, Oleh: Dr.H.M. Rum Nessa,
S.H., M.H dkk

Surat Kuasa 14
Surat Kuasa 15

Anda mungkin juga menyukai