PPC
Program Pendidikan dan
Modul Diklat Tahap 2
“SURAT KUASA”
Pelatihan Calon Hakim
TERPADU
PERADILAN AGAMA
e-learning.mahkamahagung.go.id
© 2018
Surat Kuasa 1
SURAT KUASA1
A. PENDAHULUAN
Penggunaan surat kuasa saat ini sudah sangat umum di tengah masyarakat untuk
berbagai keperluan. Pada awalnya konsep surat kuasa hanya dikenal dalam bidang
hukum dan digunakan untuk keperluan suatu kegiatan yang menimbulkan akibat
hukum, namun akhirnya surat kuasa mengalami perkembangan dan bahkan sudah
digunakan untuk berbagai keperluan sederhana dalam berbagai bidang
dalam kehidupan masyarakat.
Apa sebenarnya definisi surat kuasa itu? Ada banyak pihak yang telah
mendefinisikan tentang surat kuasa, malahan definisi-definisi tersebut justru sampai saat
ini pun masih menimbulkan perdebatan di kalangan pakar-pakar hukum. Hal ini
disebabkan oleh karena pada dasarnya tidak ada aturan hukum secara khusus yang dapat
memberikan definisi tentang surat kuasa. Oleh karenanya, untuk dapat lebih memahami
hal tersebut, terlebih dahulu perlu dipahami apakah kuasa itu.
Surat kuasa bukan barang baru dalam khasanah hukum perdata Indonesia. Ia
sudah ada dan diperkenalkan dalam hukum perdata sejak zaman Belanda. Ketentuan
umumnya diatur dalam Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), sedangkan aturan khususnya
diatur dalam HIR/RBg. Surat kuasa juga diatur dalam sejumlah Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA). Sayangnya, hingga kini persoalan surat kuasa masih saja muncul di
pengadilan, sehingga layak mendapat perhatian saat mengupas hukum acara perdata.
Meskipun terkesan sepele, surat kuasa hanya secarik atau beberapa lembar kertas,
dampaknya relatif besar dalam penanganan perkara. Bagi para praktisi hukum,
khususnya para hakim wajib memahami keabsahan surat kuasa khusus dalam memeriksa
dan mengadili suatu perkara yang ditanganinya apabila perkara itu menggunakan jasa
advokat/pengacara atau kuasa lainnya. Sebelum hakim memeriksa pokok perkara, maka
pertama-tama harus diperiksa tentang keabsahan surat kuasa yang diberikan kepada
kuasa hukumnya tersebut.
B. SURAT KUASA
Surat Kuasa pada umumnya telah datur dalam Bab XVI, Buku III Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (BW) Pasal 1792 s/d 1819, sedangkan secara khusus telah
diatur dalam Hukum Acara Perdata yaitu sebagaimana pada Pasal 123 HIR/147 Rbg.
Pengertian surat kuasa sebagaimana Pasal 1972 KUH Perdata, berbunyi
bahwa
1
Disampaikan dalam pendidikan dan pelatihan Cakim PPC III 2019 di Megamendung Bogor;
Surat Kuasa 1
“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang
memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan
atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.
Dari pasal tersebut, ada dua pihak yaitu pemberi kuasa (lastgever) dan
penerima kuasa, keduanya telah mengadakan persetujuan, pemberi kuasa
memberikan atau melimpahkan sesuatu urusannya kepada pihak penerima kuasa
untuk melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa, sesuai dengan fungsi
dan kewenangan yang telah ditentukan dalam surat kuasa tersebut, hal mana
penerima kuasa bertanggung jawab melakukan perbuatan sepanjang yang
dikuasakan dan tidak melebihi kewenangan yang diberikan dari pemberi kuasa.2
Kewajiban Pemberi Kuasa adalah:
a. Memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa sepanjang
dalam rangka pelaksanaan kuasa;
b. Memberikan penggantian segala biaya ataupun kerugian yang dikeluarkan oleh
penerima kuasa dalam rangka pelaksanaan kuasa;
c. Membayar upah penerima kuasa apabila memang diperjanjikan suatu upah.
Adapun Kewajiban Penerima Kuasa adalah:
a. Melaksanakan dan menyelesaikan urusan yang dikuasakan kepadanya dengan
baik;
b. Memberikan laporan secara berkala kepada pemberi kuasa mengenai
pelaksanaan urusan yang dikuasakan kepadanya;
c. Bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang ia lakukan diluar pemberian
kuasa atau yang timbul atas kelalaianya;
d. Bertanggung jawab atas pelaksanaan urusan yang dilakukan oleh orang yang ia
tunjuk sebagai penerima kuasa pengganti, sedangkan ia tidak dikuasakan untuk
itu.
Sebagai suatu perjanjian, surat kuasa harus memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu ada kesepakatan, kecakapan
para pihak, dalam hal tertentu dan sebab yang halal.
Surat Kuasa harus memuat hal-hal sebagai berikut:
- Identitas pemberi kuasa;
- Identitas penerima kuasa;
- Hal yang dikuasakan, disebutkan secara jelas dan rinci, tidak boleh mempunyai
arti ganda;
2
Untuk lebih jelasnya baca, Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, cet XII, 2011),
hal. 1-3;
Surat Kuasa 2
- Waktu pemberian kuasa;
- Tanda tangan pemberi dan penerima kuasa;
- Meterai secukupnya (Rp6.000,00).
Pasal 1795 BW menyebutkan bahwa: “Pemberian kuasa dapat dilakukan
secara khusus yaitu mengenai hanya satu kepetingan tertentu atau lebih, atau secara
umum yaitu meliputi segala kepentingan sipemberi kuasa”.
Surat Kuasa 3
C. MACAM-MACAM SURAT KUASA
Dari ketentuan Pasal 1795 BW dapat diketahui bahwa dari segi cara merumuskan
dan tujuannya, surat kuasa dibedakan kepada 4 (empat) jenis yaitu:
Surat Kuasa Umum yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1796 KUH
Perdata menyatakan “Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya
meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Untuk memindah
tangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu
perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh
seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas”.
Titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan
kepentingan pemberi kuasa. Contohnya: seorang manager suatu perusahaan yang
diberikan kuasa bertindak untuk dan atas nama perseroan terbatas (PT) berdasarkan
surat kuasa dari Direktur PT, dia dapat melakukan tindakan yang mewakili Direktur
tersebut untuk melakukan hal yang dipersyaratkan dalam pasal 1796 KUHPerdata
tadi, seperti salah satu contoh berdasarkan pasal tadi yaitu melakukan pemindahan
barang-barang produksi dari satu tempat ke tempat yang lain, atau juga tindakan-
tindakan seperti transaksi jual-beli tergantung dengan batas dalam kuasa yang
diberikan.
Dalam surat kuasa ini, pemberian kuasa dilakukan secara khusus, yaitu hanya
mengenai suatu kepentingan atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan
pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan
pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun untuk dapat digunakan dalam
persidangan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat kuasa
khusus ini, tidak bisa hanya mengiktui ketentuan sesuai dengan pasal 123 HIR ayat
(1) yang menyatakan:
“Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh
kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa khusus,
kecuali kalau yang memberi kuasa itu sendiri hadir. Penggugat dapat juga
memberi kuasa itu dalam surat permintaan yang ditanda tanganinya dan
dimasukkan menurut ayat pertama pasal 118 atau jika gugatan dilakukan
dengan lisan menurut pasal 120, maka dalam hal terakhir ini, yang demikian
itu harus disebutkan dalam catatan yang dibuat surat gugat ini”. (Pasal 147 ayat
(1) Rbg).
Surat Kuasa 4
2.1. Syarat sahnya Surat Kuasa Khusus
3
Yahya Harahap, Ibid, hal. 15;
4
Yahya Harahap, ibid;
5
Putusan MA-RI No. 10/K/N/1999 tanggal 18 Mei 1999 jo. No. 16/Pailit/1999 tanggal 1 April 1999, yang
memberikan kaedah hukum bahwa Bank Umum yang dinyatakan tidak sehat dan berada dalam pengawasan BPPN,
maka Direksi, Komisaris dan Pemegang saham Bank Umum tersebut dilarang melakukan tindakan hukum tanpa
Surat Kuasa 5
Pada dasarnya subyek surat kuasa (Pemberi dan Penerima Kuasa)
haruslah orang yang cakap bertindak hukum. Jika subyek surat kuasa berupa
perseorangan (persoonlijke), maka sekurang-kurangnya disebutkan: nama,
umur, pekerjaan, alamat/tempat tinggal, dan disebutkan kedudukannya
sebagai apa (Penggugat atau Tergugat). Apabila subyek surat kuasa itu
berupa kumpulan orang-orang baik yang telah berbadan hukum (public atau
privat) seperti Negara atau Perseroan Terbatas (PT) maupun yang belum
berbadan hukum, seperti CV, Firma, Yayasan, Koperasi dan sebagainya, maka
orang yang bertindak sebagai “Pemberi Kuasa” (Penggugat) atau orang yang
digugat (Tergugat) harus disesuaikan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Badan hukum public (Negara), jika hendak memberikan surat kuasa
khusus, maka harus jelas penyebutannya; misalnya: Menteri Dalam Negeri
bertindak an. Pemerintah cq. Kementrian Dalam Negeri, atau Bupati
bertindakan. Pemerintah Kabupaten dsb.6 Dalam hal Pemberi kuasa adalah
Badan Hukum Privat, seperti: PT Bank BNI Syariah Pusat di Jakarta atau
Cabangnya, maka yang berhak memberikan kuasa adalah Direksi Utamanya
atau Kepala Cabang dalam kapasitasnya mewakili Direksi Utama. Jika
Pemberi Kuasa suatu perkumpulan yang belum berbadan hukum, maka yang
berhak memberikan kuasa adalah sesuai dengan AD/ART perkumpulan
tersebut. Selanjutnya harus disebutkan secara jelas kedudukannya dalam
perkara, apakah sebagai pihak Penggugat atau Tergugat;
Apabila Penerima Kuasa adalah Advokat/Pengacara, maka sesuai
Surat KMA No. 73/KMA/Hk.01/IX/2015 tgl. 25 September 2015 ttg
Penyumpahan Advokat, yang dapat beracara di pengadilan adalah
advokat/pengacara yang telah diambil sumpah oleh Pengadilan Tinggi dan
mempunyai Kartu Tanda Anggota sebagai Advokat tanpa terikat dengan
suatu perkumpulan advokat tertentu. Sedangkan jika Penerima Kuasa adalah
salah satu dari keluarganya (Surat Khusus Insidentil), maka harus ada ijin
dari Ketua Pengadilan setempat. 7 Tentang surat kuasa insidentil akan
dibahas tersendiri.
Dalam praktek Penerima Kuasa dapat lebih dari satu orang,
karenanya dalam Surat Kuasa tersebut para Penerima Kuasa yang namanya
tercantum harus menandatangani surat kuasa tersebut. Konsekwensinya
adalah dalam membuat gugatan bila sebagai Penggugat atau membuat
Jawaban sebagai Terrgugat maka para Penerima Kuasa seluruhnya harus
menandatangani surat-surat tersebut.
ijin BPPN, karena segala tindakan hukum an. Bank yang dinyatakan tidak sehat itu dibawah kekuasaan BPPN
sebagai legal mandatory.
6
Pimpinan Departemen/Kementrian, Propinsi, Kabupaten dsb. tidak disebutkan namanya, tetapi
jabatannya/kedudukannya (Pasal 6 angka 1 Rv);
7
Surat Edaran TUADA ULDILTUN MA-RI No. MA/KUMDIL/8810/1987 (Buku II MARI, hal. 70-71);
Surat Kuasa 6
Kadang-kadang sering dalam praktek salah satu penerima kuasa
sedang menghadiri persidangan di luar kota tentunya penandatangan surat
tersebut tidak dapat ditunda karena jadwal persidangan telah ditentukan,
maka untuk menghindari hal tersebut dalam surat kuasa pada kolom
penerima kuasa harus dimasukkan klausul, baik secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri sebagai penerima kuasa. Jika kuasa hukum itu sendirian dan
berhalangan sehingga tidak bisa hadir dalam sidang yang telah ditentukan,
maka bisa dibuat klausul “surat kuasa ini dibuat dengan hak substitusi”.
Dengan dimasukannya klausul-klausul tersebut maka bila kuasa hukum
(hanya seorang) tidak bisa hadir dalam sidang dapat menunjuk kuasa lainnya
untuk menghadiri persidangan, atau jika ada salah satu atau lebih penerima
kuasa (kuasanya beberapa orang) tidak dapat menandatangani surat-surat
karena sedang berada di luar kota, maka penandatangan surat tersebut
cukup oleh salah satu penerima kuasa saja.
Surat Kuasa 7
Atau ada tidaknya perjanjian dalam menyelesaikan suatu sengketa diantara
para pihak. Demikian pula apakah Tergugat akan digugat sebagai pribadi
atau sebagai direksi suatu perseroan tertentu.
Surat Kuasa 8
ditanda tangani oleh sebagian kuasa atau boleh menghadiri sidang
sebagian dari kuasa tersebut;
- Advokat yang boleh beracara di pengadilan harus sudah diambil
sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi dan mempunyai Kartu Tanda
Anggota Advokat dalam organisasi advokat dimana ia bergabung (tidak
harus dari Peradi). Surat KMA No. 73/KMA/Hk.01/IX/2015 tanggal 25
September 2015 tentang Penyumpahan Advokat;
- Penerima kuasa selain advokat harus mendapat ijin terlebih dahulu dari
ketua pengadilan, kecuali:
o Direksi sebuah Perseroan Terbatas (PT), misalnya
Tergugat/Penggugatnya PT Bank BNI Syariah Cabang Yogyakarta,
dapat diwakili oleh pimpinan cabang yang bertindak mewakili
direksinya (PT Bank BNI Syariah di Jakarta) atau pimpinan cabang
menunjuk satu atau lebih karyawannya untuk mewakili perseroan di
pengadilan (Pasal 1 ayat (5) UU No. 40 Th. 2007 tentang PT);
o Kepala Instansi Pemerintah, misalnya Tergugatnya KPKNL
Yogyakarta, maka dapat diwakili oleh Kepala KPKNL Yogyakarta
atau menunjuk pegawainya untuk mewakili di pengadilan;
o Pengurus yayasan yang belum berbadan hukum, misalnya Yayasan
Yatim Piatu Al-Wasliyah sebagai Tergugat dapat diwakili oleh
pengurusnya (ketua, sekretaris dan bendahara secara bersama-
sama) atau pengurus menujuk anggota yayasan untuk mewakilinya
di pengadilan (Pasal 13 A UU No. 28 Th. 2004 tentang Yayasan).
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak, tanpa
perantara seorang pejabat, ditandatangani serta mencantukan tanggal tanda
tangan, tidak perlu legalisasi dari pihak manapun juga, sebagaimana putusan
MARI No.779 K/Pdt/1992 tanggal 29 April 2008, yang menyatakan tidak
diperlukan legalisasi atas surat kuasa khusus di bawah tangan.
Surat Kuasa 9
2.2.3. Kuasa Insidentil
Surat Kuasa 10
2.2.4. Surat Kuasa Khusus dengan Cap Jempol
Surat kuasa di bawah tangan dengan cap jempol adalah sah menurut
hukum. Putusan MARI Nomor 272 K/Pdt/1983 surat kuasa itu harus
dilegalisir (Waarmerking) dan didaftar menurut Ordonansi Stb.1916 No.46
oleh pejabat yang berwenang, yaitu Ketua Pengadilan Agama/Hakim atau
Panitera (SEMA No.7 Tahun 2012).
Surat kuasa istimewa diatur dalam Pasal 157 HIR/Pasal 187 Rbg, yang
menyatakan:
Sumpah itu, baik yang diperintahkan oleh hakim, maupun yang diminta atau
ditolak oleh satu pihak lain, dengan sendiri harus diangkatnya kecuali kalau
ketua pengadilan agama memberi izin kepada satu pihak, karena sebab yang
penting, akan menyuruh bersumpah seorang wakil istimewa yang dikuasakan
untuk mengangkat sumpah itu, kuasa yang mana hanya dapat diberi
dengan surat yang syah, di mana dengan seksama dan cukup disebutkan
sumpah yang akan diangkat itu.
Dari hal tersebut, kita bisa lihat bahwa surat kuasa ini baru bisa digunakan dalam
pengadilan apabila seseorang dalam melakukan sumpahnya di pengadilan
berhalangan dengan sebab yang penting -contohnya dalam kondisi sakit, sedang
bepergian, sedang diluar negeri dan sebagainya. Jadi, tentang lingkup tindakan yang
dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa hanya terbatas:
- Untuk mengucapkan sumpah tertentu atau sumpah tambahan sesuai aturan
perundang-undangan;
- Untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa, atau;
- Dan untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga.
Untuk kuasa istimewa ini dalam pasal diatas dinyatakan bahwa hanya dapat
diberikan dengan surat yang sah. Untuk surat sah sendiri, diberikan tafsir oleh para
praktisi hukum, adalah surat yang berbentuk akta otentik. Dengan kata lain,
pembuatan surat ini harus dibuat dalam akte notaris dan ditegaskan dengan kata-
kata yang jelas, mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan oleh penerima kuasa.
Surat kuasa istimewa ini memiliki dua syarat untuk dianggap sah,
yaitu bersifat terbatas (limitatif) dan bentuk akte otentik.
Surat kuasa perantara disebut juga agen (agent). Dalam hal ini pemberi kuasa
sebagai principal memberi perintah (instruction) kepada pihak kedua dalam
kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum
Surat Kuasa 11
tertentu dengan pihak ketiga. Apa yang dilakukan agen, mengikat principal sebagi
pemberi kuasa, sepanjang tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan
yang diberikan. Kuasa ini berdasar dengan pasal 1972 KUH Perdata yang mengatur
secara umum tentang surat kuasa, dan pasal 62 KUHD yang menyatakan:
Makelar adalah pedagang perantara yang diangkat oleh Gubernur Jenderal
(dalam hal ini Presiden) atau oleh penguasa yang oleh Presiden dinyatakan
berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan
melakukan pekerjaan seperti yang dimaksud dalam pasal 64 dengan mendapat
upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang
dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja tetap. Sebelum diperbolehkan
melakukan pekerjaan, mereka harus bersumpah di depan raad van justitie di
mana Ia termasuk dalam daerah hukumnya, bahwa mereka akan menunaikan
kewajiban yang dibebankan dengan jujur.
Pemberian kuasa kepada penerima kuasa dapat diberikan dan diterima dalam
suatu bentuk akta umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan dalam sepucuk
surat ataupun dengan lisan. Namun dalam perkembangan dinamika masyarakat yang
sedemikian cepat, untuk mengantisipasi segala kemungkinan adanya sengketa
dikemudian hari untuk keperluan pembuktian didepan persidangan, pemberian
kuasa dilakukan dengan akta umum atau akta autentik atau setidak tidaknya dengan
akta dibawah tangan, dan pemberian kuasa secara lisan hampir tidak pernah
dilakukan kecuali untuk hal-hal yang bersifat sederhana.
Menurut Pasal 118 HIR/142 Rbg gugatan dapat diajukan secara tertulis. Jika
dikaitkan dengan Pasal 123 HIR/147 Rbg, maka dalam gugatan tertulis itu Penggugat
Surat Kuasa 12
dapat langsung menunjuk pihak lain sebagai Penerima Kuasa yang akan mewakili
dirinya dalam persidangan. Secara hukum hal tersebut memenuhi syarat formil dan
sah. Namun dalam praktek, pengangkatan kuasa melalui surat gugatan itu harus
didasarkan pada surat kuasa khusus, yang menurut hukum sebenarnya bukan
merupakan syarat, tetapi dalam praktek peradilan, jika Penggugat hendak
mewakilkan kepada kuasa dalam surat gugatannya, harus membuat surat kuasa
khusus terlebih dahulu sebelum surat gugatan dibuat oleh kuasa hukum.
Dalam hal yang seperti ini penunjukan secara lisan yang langsung
disampaikan pada saat sidang berlangsung, dengan sendirinya sudah memenuhi
syarat formil. Hakim/panitera cukup mencatat penunjukan itu (termasuk batas
kewenangan yang dilimpahkan kepada kuasa) dalam berita acara sidang.
4. Surat Kuasa Khusus yang dimaksud pasal 70 ayat (4) dan pasal 82 ayat (2)
Undang Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, yaitu surat kuasa untuk
mengucapkan ikrar talak dan mediasi harus dalam suatu akta autentik,
pembuatannya harus dihadapan pejabat yang berwenang (Notaris atau Panitera)
yang dihadiri pemberi kuasa dan penerima kuasa.
5. Kuasa Substitusi
Adapun yang dimaksud dengan kuasa substitusi adalah pemberian kuasa yang
dilakukan oleh penerima kuasa kepadaa orang lain (penerima kuasa substitusi) untuk
melaksanakan kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa yang pertama, sehingga
penerima kuasa substitusi adalah orang yang mendapat limpahan kuasa dari si kuasa.
Surat Kuasa 13
2. Dengan Pemberitahuan Penghentian Kuasanya oleh Penerima Kuasa
F. PENUTUP
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa surat kuasa pada pokoknya ada dua
jenis, yaitu surat kuasa umum dan surat kuasa khusus. Cara pemberian surat kuasa bisa
secara lisan dan dapat pula secara tertulis, namun dalam perkembangannya pemberian
kuasa dilakukan secara tertulis baik dengan akta autentik maupun akta dibawah tangan.
Khusus untuk surat kuasa yang dipergunakan dalam beracara di pengadilan harus
berbentuk surat tertulis dan bersifat khusus yang dikenal dengan nama “Surat Kuasa
Khusus” yang bentuk formil diatur secara khusus dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
RI, dan jika tidak dipenuhi persyaratannya menyebabkan surat kuasa cacat formil dan
berakibat gugatan seseorang dinyatakan tidak dapat diterima atau Niet Onvankelijke
verklaard (NO).
DAFTAR PUSTAKA:
Surat Kuasa 14
Surat Kuasa 15