Anda di halaman 1dari 29

PROGRAM STUDI PASCA SARJANA

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Oleh:
HARIYANTO SUSILO
NOTARIS & PPAT
Dr. Cand. HARIYAN TO SUSILO, SH., Sp.N., M.Kn.
NOTARIS & PPAT
Jalan Kedawung III Nomor 02
Telepon/Faksimili 0341-488534
Seluler 081 252 49500
Kota Malang, 65141
E-mail : susilohariyanto@yahoo.com
KUASA
1. Pengertian
Kuasa adalah daya, kekuatan atau wenang. Dalam bahasa
Inggris disebut dengan power dan dalam bahasa Belanda
diistilahkan dengan gezag dan macht. Definisi kuasa
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga
yang dikeluarkan oleh Balai Pustaka, sebagai “yang berisi
pem-berian kuasa kepada seseorang untuk mengurus
sesuatu”.
Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tidak dijelaskan mengenai apa itu kuasa, akan tetapi pada
pasal 1792 BW menyebutkan bahwa pemberian kuasa ada-
lah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan
ke-kuasaan kepada seorang lain, menerimanya, untuk atas
na-manya menyelenggarakan suatu urusan.
Pemberian kuasa dimaksudkan untuk mempermudah
mereka yang tidak dapat mengurus secara langsung uru-
san-urusan yang sangat penting.
Seseorang yang tidak dapat mengurus urusannya secara
langsung dapat memberikan kuasa kepada orang lain untuk
mewakili dan melakukan pengurusan untuk dan atas
namanya. Jadi, pada dasarnya penerima kuasa melakukan
perbuatan hukum atas nama pemberi kuasa atau atas tang-
gungan si pemberi kuasa, mewakili si pemberi kuasa.
Akan tetapi tidak semua hal dapat dikuasakan kepada pihak
lain, seperti membuat testamen (surat wasiat), menjadi
saksi.
2. Cara Memberikan Kuasa
Kuasa dapat diberikan dan diterimakan dalam bentuk :
1. secara lisan;
2. secara tertulis:
a. dalam bentuk akta notariil;
b. dalam bentuk tulisan di bawah tangan:
1. yang disahkan
2. yang dibukukan;
3. yang tidak disahkan maupun tidak dibukukan.
Ad. 1. Kuasa Lisan
Menurut undang-undang (pasal 1793 BW) pem-
berian kuasa secara lisan dimungkinkan dan sah
sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-
undang. Walaupun dimungkinkan, pemberian
kuasa secara lisan sudah jarang terjadi,
khususnya untuk tindakan-tindakan yang
penting. Kalaupun dibuat juga, maka tidak
akan dapat dipercaya oleh pihak ketiga. Kuasa
secara lisan umumnya diberikan untuk urusan-
urusan yang mengun-tungkan pemberi kuasa
atau tidak akan meru-gikan pemberi kuasa .
Ad. 2. Kuasa Tertulis
Pemberian kuasa secara tertulis dilakukan untuk
tin-dakan-tindakan tertentu dan mengikuti peraturan
pe-rundang-undangan.
Kuasa secara tertulis dapat dibuat dalam bentuk:
a. Kuasa Notariil; atau
b. Kuasa Di Bawah Tangan:
- yang disahkan
- yang dibukukan; dan
- yang tidak disahkan dan dibukukan.
Untuk urusan-urusan yang penting, umumnya
masyarakat menggunakan kuasa secara tertulis, bahkan
dalam bentuk notariil, atau setidaknya di bawah tangan
yang dilegalisasi oleh notaris. Contoh: kuasa untuk
menjual aset.
a. Kuasa Notariil (Akta Kuasa)
Pemberian kuasa notariil adalah pemberian
kuasa dalam bentuk tertulis yang dibuat
di hadapan notaris.
Kuasa notariil atau yang biasa disebut
akta kuasa ialah draft kuasa yang dibuat
oleh dan atas buah pikiran dari pejabat
notaris itu sendiri atau dapat juga merupakan
draft standar yang telah ada dan lazim
digunakan oleh pejabat notaris.
b. Kuasa Di Bawah Tangan
Pemberian kuasa di bawah tangan adalah
pemberi-an kuasa dalam bentuk tertulis yang
suratnya dibuat sendiri oleh para pihak atau
dengan kata lain tidak dibuat oleh pejabat
notaris.
Masyarakat terbiasa membuat surat kuasa di
bawah tangan untuk kepentingan mereka sehari-
hari kare-na lebih cepat pembuatannya, lebih
praktis bahasa-nya dan lebih ekonomis karena
tidak membutuh-kan biaya yang banyak.
Pemberian kuasa dapat pula secara diam-diam, yaitu pa-
da zaakwaarneming. Seseorang melakukan perbuatan
pengurusan
terhadap barang milik orang lain tanpa pemberian kuasa lebih
dahulu, bahkan tanpa sepengetahuan pemilik barang tersebut
(pasal 1793 BW).
Dalam hal ini undang-undang membebani kewajiban ke-
pada orang tersebut:
1. Melanjutkan pelaksanaan pengurusan tersebut hingga selesai
dengan sempurna; dan
2. Mempertanggungjawabkan pengurusan tersebut kepada pe-
milik.
Kuasa diam-diam selamanya bersifat cuma-cuma, akan
tetapi si kuasa berhak meminta ganti rugi atas segala biaya yang
dikeluarkan untuk pengurusan barang tersebut.
Menurut pasal 1795 KUH Perdata, pemberian
kuasa dapat
berupa:
a. kuasa umum; dan
b. kuasa khusus.
a. Kuasa umum, adalah kuasa untuk melakukan tin-
dakan-tindakan yang bersifat umum, yaitu meliputi
segala kepentingan si pemberi kuasa yang diru-
muskan secara umum dan hanya meliputi tin-
dakan-tindakan yang menyangkut pengurusan.
Dari segi hukum, kuasa umum tidak dapat digu-nakan
di depan Pengadilan untuk mewakili pem-beri kuasa.
Menurut ketentuan pasal 123 HIR, un-tuk dapat tampil
di de-pan Pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa,
penerima kuasa harus mendapat kuasa khusus.
b. Kuasa khusus, adalah pemberian kuasa untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu yang
di-sebutkan secara tegas, hanya mengenai
satu ke-pentingan tertentu atau lebih, seperti
untuk me-mindahtangankan/mengalihkan
barang, mele-takkan hak tanggungan atas
barang, untuk membuat suatu perdamaian,
atau melakukan tindakan lain yang hanya
dapat dilakukan oleh seorang pemilik.
KUASA MUTLAK
Meskipun dalam undang-undang hanya disebutkan adanya kuasa
umum dan kuasa khusus, akan tetapi dalam praktiknya dapat pu-
la kita jumpai adanya kuasa mutlak, yakni pemberian kuasa yang
ketentuannya sebagai berikut :
- penerima kuasa tidak perlu memberikan pertanggungjawaban;
- pemberian kuasa tidak bisa dicabut.
Menurut jurisprudensi, kuasa mutlak dibolehkan dalam hal:
1. kuasa membebankan hak tanggungan;
2. dalam akta hak tanggungan, untuk menjual sendiri objek hak
tanggungan;
3. dalam akta jual beli tanah kuasa mewakili, yaitu kuasa mutlak
untuk mewakili si penjual, apabila si penjual tidak mem-
peroleh izin pemindahan hak atau ia tidak boleh mem-
beli tanah itu.
3. Formalitas Yang Harus Diperhatikan:
1. Untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu harus dalam
bentuk akta notariil. Contoh: kuasa hibah, kuasa membebankan
hak tang-gungan;
2. Surat kuasa yang ditutup dengan cap ibu jari kiri, haruslah
mempe-roleh legalisasi dari pejabat yang berwenang (Stb. 1916
Nomor 46);
3. Surat kuasa yang dibuat di luar negeri jika hendak digunakan di
da-lam negeri harus dilegalisasi oleh kedutaan besar
Indonesia atau kantor konsulat RI di sana. Setelah itu, jika
belum ada materai-nya, harus dimateraikan lebih dulu pada
instansi yang berwenang;
4. Kuasa lisan, diam-diam dan melalui surat biasa jika digunakan
un-tuk keperluan berperkara di muka pengadilan baru dapat
diakui sah jika hal itu dinyatakan dengan tegas di depan
pengadilan.
4. Tanggung Jawab Para Pihak
a. Kewajiban Pemberi Kuasa
1. Memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa
(pasal 1807 BW);
2. Mengembalikan kepada si penerima kuasa semua persekot/uang
muka dan biaya-biaya, yang dikeluarkan oleh si penerima kuasa
untuk melaksanakan kuasanya dan membayar upahnya, bila diper-
janjikan dengan upah (pasal 1808 BW);
3. Tetap memenuhi semua kewajibannya kepada si penerima kuasa,
sekalipun urusannya tidak berhasil (pasal 1808 BW);
4. Memberikan ganti rugi kepada si penerima kuasa tentang kerugian-
kerugian yang diderita sewaktu menjalankan kuasanya,
kecuali si penerima kuasa berbuat kurang hati-hati (pasal 1809 BW);
5. Membayar kepada si penerima kuasa, bunga atas persekot/uang
muka yang telah dikeluarkan oleh si penerima kuasa, terhitung sejak
dikeluarkannya persekot-persekot/uang muka itu (pasal 1810 BW).
b. Kewajiban Penerima Kuasa
1. Melaksanakan kuasanya (sebelum ia dibebaskan);
2. Menanggung segala biaya, kerugian, dan bunga;
3. Menyelesaikan urusan yang sudah mulai dikerjakan pada waktu
si pemberi kuasa meninggal (pasal 1800 BW);
4. Melaksanakan tugas yang sudah disanggupi dengan sebaik-
baiknya dalam waktu singkat;
5. Memberi laporan tentang apa yang telah diperbuatnya;
6. Memberikan perhitungan;
7. Bertanggung jawab untuk orang yang telah ditunjuk olehnya
sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya;
8. Membayar bunga atas uang-uang pokok yang dipakainya guna
keperluan sendiri dan mengenai uang-uang yang harus
diserahkannya pada penutupan perhitungan.
c. Tanggung Jawab Pemberi dan Penerima Kuasa
Apabila seorang penerima kuasa diangkat oleh beberapa
orang untuk mewakili suatu urusan mereka bersama,
masing-masing dari mereka bertanggung jawab
seluruhnya terhadap si penerima kuasa mengenai segala
akibat dari pemberian kuasa itu (pasal 1811 BW).
Pemberi kuasa bertanggung jawab renteng/tanggung
menanggung ter- hadap si penerima kuasa.
Sebaliknya, apabila satu orang pemberi kuasa
mengangkat beberapa orang penerima kuasa, undang-
undang tidak menetapkan adanya tanggung jawab
renteng di antara para penerima kuasa/si kuasa.
Penerima kuasa tidaklah bertanggung jawab
tentang apa yang terjadi di luar batas kuasa itu bila ia
telah memberitahukan secara sah tentang hal kuasanya
kepada orang dengan siapa ia mengadakan suatu
perjanjian dalam kedudukannya sebagai kuasa itu,
kecuali ia secara pribadi telah mengikatkan diri untuk
itu (pasal 1806 BW).
Selama si penerima kuasa bertindak dalam batas-
batas wewenangnya, ia akan aman. Semua tanggung
jawab dipikul oleh si pemberi kuasa. Akan tetapi,
apabila si penerima kuasa bertindak sebaliknya, ia
sendiri harus bertanggung jawab baik kepada si
pemberi kuasa maupun kepada orang dengan siapa ia
mengadakan suatu perjanjian. Misalnya, ia
menyepakati hal yang tidak boleh disetujui.
Hak Substitutie
Dalam suatu hal, pemberi kuasa selalu dianggap telah
menyerahkan kuasa kepada si penerima kuasa untuk menun-
juk seorang lain sebagai penggantinya (substitutie), yaitu
untuk pengurusan. Hak si penerima kuasa menunjuk orang
lain sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya
dibuat Hak Substitutie.
Dalam segala hal, si pemberi kuasa dapat secara
langsung menuntut orang yang ditunjuk oleh si penerima
kuasa sebagai gantinya (pasal 1803 BW).
Klausul ini berisi bahwa pemberian kuasa tersebut dapat
dilimpahkan dengan menggunakan surat kuasa substitusi
atau tidak, yakni dengan mencantumkan kalimat: “kuasa
ini diberikan dengan hak substitusi”.
Klausul ini bersifat optional, dapat d icantumkan atau
tidak dicantumkan dalam surat kuasa. Hanya saja perlu di-
ingat, bahwa apabila tidak ada ketentuan dalam surat kuasa
yang menyebutkan bahwa pemberian kuasa itu dapat di-
substitusikan, maka pemberian kuasa itu dengan tegas ti-
dak dapat disubstitusikan.
Sehubungan dengan substitusi ini, ada 3 macam tanggung
jawab yang berbeda, yaitu:
1. Apabila dalam pemberian kuasa diberikan hak substitusi
dengan menyebutkan nama penggantinya dan si pene-
rima kuasa kemudian menunjuknya, si penerima kuasa
bebas dari tanggung jawab mengenai pelaksanaan
kuasa tersebut;
2. Apabila tanpa menyebutkan nama penggantinya, si
penerima kuasa hanya bertanggung jawab jika si
pemberi kuasa membuktikan bahwa yang ditunjuk itu
adalah tak cakap atau tak mampu;
3. Apabila sama sekali tidak menyebutkan hak substitusi,
si penerima kuasa bertanggung jawab sepenuhnya untuk
orang yang ditunjuk sebagai penggantinya.
Hak Retensi
Hak retensi adalah hak penerima kuasa untuk menahan
benda milik pemberi kuasa yang ada di tangan penerima
kuasa (akibat dari pemberian kuasa) hingga piutang yang
berkaitan dengan pemberian kuasa itu dilunasi oleh pem-
beri kuasa (Pasal 1812 KUH Perdata).
Klausul hak retensi ini bersifat optional, tidak selalu harus
dicantumkan dalam surat kuasa. Biasanya klausul ini di-
cantumkan dalam surat kuasa yang berkaitan dengan pe-
nagihan utang, yakni dengan mencantumkan kalimat:
“kuasa ini diberikan dengan hak retensi”. Penerima kuasa
dapat menahan uang hasil penagihan sampai pemberi ku-
asa memberikan upah penagihan.
Sifat Pemberian Kuasa
Pada bagian ini, surat kuasa menjadi tampak jelas karena si-
fat dari kuasa tersebut dijelaskan, baik kuasa yang bersifat
umum maupun yang bersifat khusus.
Sifat pemberian kuasa merupakan bagian yang tidak boleh
dilewatkan, mengingat pentingnya hal-hal yang dikuasakan
kepada seseorang. Apabila tidak disebutkan, dapat diarti-
kan lain dan disalahgunakan.
Bagian ini diletakkan di tengah badan surat kuasa.
Contoh: “ ----- KHUSUS ----- “
“ ----- PADA UMUMNYA ----- “
Perbuatan Yang Dikuasakan
Bagian ini berisi perbuatan-perbuatan yang dikuasakan da-
ri satu/beberapa orang pemberi kuasa kepada satu/bebe-
rapa penerima kuasa.
Perbuatan-perbuatan tersebut sedapat mungkin ditulis se-
cara rinci dan detail mengenai setiap tindakan yang akan
dijalani oleh penerima kuasa. Selain itu, dicantumkan pula
kapan dan bagaimana perbuatan itu harus dilakukan, ke-
pada siapa mengurusnya, dan identitas/nomor/spesifikasi
perbuatan tersebut.
Secara prinsip, perbuatan-perbuatan penerima kuasa tidak
boleh malampaui apa yang telah dituliskan secara tegas pa-
da surat kuasa yang telah dibuat oleh pemberi kuasa.
Hakikatnya, pemberian kuasa juga merupakan suatu
perjanjian, maka syarat-syarat sahnya perjanjian juga
berlaku untuk pembuatan atau perbuatan hukum
pemberian kuasa.
Berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata, ditentukan 4
syarat sahnya perjanjian, yakni:
1. kesepakatan;
2. kecakapan;
3. hal tertentu; dan
4. sebab yang dibolehkan.
5. Penarikan Kuasa
Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya bila dikehen-
daki dan jika ada alasan untuk itu. Dan bila si penerima kuasa meno-
lak/tidak mau mengembalikan kuasa yang dipegangnya secara suka-
rela, maka ia dapat dipaksa melalui Pengadilan (pasal 1814 BW).
Pengangkatan seorang kuasa baru untuk menjalankan urusan
yang sama, menyebabkan ditariknya kembali kuasa yang pertama, ter-
hitung mulai hari diberitahukannya pengangkatan itu (pasal 1816 BW).
Penerima kuasa dapat membebaskan diri dari kuasanya dengan
pemberitahuan penghentian kepada pemberi kuasa (pasal 1817 BW).
Dalam praktik, penarikan kembali kuasa diumumkan di bebe-
rapa surat kabar dan diberitahukan dengan surat kepada pihak/relasi
yang berkepentingan.
6. Berakhirnya Pemberian Kuasa
Menurut pasal 1813 BW pemberian kuasa berakhir
dengan:
1. ditariknya kembali kuasa yang diterima penerima
kuasa;
2. pemberitahuan penghentian kuasa oleh penerima
kuasa;
3. meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya si
pemberi kuasa maupun penerima kuasa.
7. Teknik Penyusunan Akta Kuasa Notariil

Bagian-bagian akta kuasa notariil untuk berbagai kepen-


tingan terdiri dari:
a. awal /kepala akta;
b. komparisi pemberi kuasa;
c. komparisi penerima kuasa;
d. sifat pemberian kuasa;
e. perbuatan yang dikuasakan;
f. klausul hak retensi (optional);
g. pemberian hak substitusi (optional);
h. akhir/penutup akta;

Anda mungkin juga menyukai