Anda di halaman 1dari 4

KAJIAN SURAT KUASA

Menurut KBBI, surat kuasa memiliki makna surat yang berisi tentang pemberian
kuasa kepada seseorang untuk mengurus sesuatu. Peraturan mengenai surat atau pemberian
kuasa diatur dalam Bab XVI tentang Pemberian Kuasa Pasal 1792 hingga Pasal 1819 KUH
Perdata. Pasal 1792 KUH Perdata Mengartikan pemberian kuasa sebagai suatu persetujuan
yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk
melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi kuasa. Berdasarkan pengertian tersebut
kita dapat mengetahui bahwa terdapat 2 pihak yang berperan dalam hal ini, yakni si pemberi
kuasa dan penerima kuasa. Dalam hal pemberian kuasa, si penerima kuasa dapat di
limpahkan kepada anak yang belum dewasa dan orang-orang perempuan. Hal ini terdapat
dalam Pasal 1798, namun si pemberi kuasa tidaklah berwenang untuk mengajukan suatu
tuntutan hukum terhadap anak yang belum dewasa, selain menurut ketentuan-ketentuan
umum mengenai perikatan-perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, dan terhadap
orang-orang perempuan bersuami yang menerima kuasa tanpa bantuan suami pun ia tak
berwenang untuk mengadakan tuntutan hukum selain menurut ketentuan-ketentuan Bab V
dan VII Buku Kesatu dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Menurut sifat perjanjiannya, surat kuasa dapat di bedakan menjadi 2 yakni :


1. Surat Kuasa Umum
Surat Kuasa Umum dijelaskan dalam Pasal 1796 KUHPerdata :

“Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan


yang menyangkut pengurusan. Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan
hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan
lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian
kuasa dengan kata-kata yang tegas.”

Berdasarkan penjelasan pasal diatas, surat kuasa umum hanya untuk mengurus
kepentingan si pemberi kuasa saja. Untuk memindah tangankan benda-benda, atau
perbuatan lain yang hanya dilakukan oleh pemilik, tidak dapat menggunakan surat
kuasa umum.

2. Surat Kuasa Khusus


Surat Kuasa Khusus dijelaskan dalam Pasal 1795 KUHPerdata :

“Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu
kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan
pemberi kuasa.”

Berdasarkan penjelasan pasal diatas, surat kuasa adalah surat kuasa yang di dalamnya
dijelaskan tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa.
Pemberian kuasa sendiri dapat diberikan dengan berbagai macam cara, hal ini di
jelasknan dalam Pasal 1793 KUHPerdata. Berdasarkan Pasal tersebut pemberian kuasa dapat
di berikan dan diterima dengan cara :
a. Akta umum
Pemberian kuasa diberikan dalam bentuk akta.Pemberian kuasa dengan akta ini
misalnya, kuasa untuk pemberian hipotik harus dengan akta otentik. Demikian pula
mengenai penerimaan suatu hibah, pemberian kuasa harus dilakukan dengan akta
otentik.
b. Surat dibawah tangan
Surat ini dapat dilakukan dengan membuat persetujuan di dalam suatu surat atas segel
yang dibuatnya sendiri diluar pejabat resmi. Jadi surat kuasa yang dibuat dibawah
tangan in adalah suatu persetujuan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa
untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Namun perintah tersebut harus diterima
dengan baik oleh pihak lain yang terkait sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
c. Surat biasa
Berbeda dengan surat dibawah tangan, pemberian kuasa dengan surat biasa, surat
tersebut tidak perlu diatas segel. Di dalam surat tersebut dimuat persetujuan yang di
buat antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai kuasa yang harus dilakukan
d. Secara lisan
Pemberian kuasa dengan lisan ini dilakukan tanpa bukti apapun. Namun dalam hal ini
biasanya dilakukan antara orang yang saling mengenal dan percaya.
e. Secara diam-diam
Makusdnya adalah apabila seseorang melakukan suatu tindakan hukum atas nama
orang lain dan yang bersangkutan menerimanya walaupun tidak disampaikan secara
formal.

Dalam hal penerimaan kuasa dan melakukan kuasa yang diberikan, penerima kuasa
tidak di perbolehkan melakukan sesuatu yang tidak di cantumkan dalam surat kuasa tersebut
atau tidak boleh melakukan apapun yang melampaui kuasa yang diberikan. Batasan ini
dijelaskan dalam Pasal 1797 KUHPerdata. Jika terdapat batasan dalam hal melakukan
kuasanya, tentunya penerima kuasa memiliki kewajibannya. Kewajiban penerima kuasa ini
terdapat dalam Pasal 1800 s/d Pasal 1806 KUHPerdata. Dalam pasal tersebut dijelaskan
bahwa kewajiban-kewajiban yang harus di lakukan oleh penerima kuasa terdiri dari :
a. Melaksanakan kuasanya
b. Bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena tidak
dilaksanakannya kuasa itu
c. Menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa
meninggal
d. Bertanggung jawab atas kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan
kuasanya
e. Memberi laporan kepada kuasa tentang apa yang telah dilakukan serta memberikan
perhitungan tentang segala sesuatu yang diterimanya berdasarkan kuasanya
f. Membayar bunga atau uang pokok yang dipakainya untuk keperluannya sendiri
terhitung dari saat ia mulai memakai uang itu

Kewajiban dari pemberi kuasa diatur dalam Pasal 1807 - 1812 BW, dimana
kewajiban dari pemberi kuasa adalah sebagai berikut:

a. Pemberi kuasa diwajibkan untuk memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh


penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah diberikan kepadanya.
b. Pemberi kuasa wajib untuk mengembalikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan si
c. penerima kuasa selama ia diberikan kuasa untuk mengurus segala urusan-urusan yang
dimiliki oleh si pemberi kuasa, serta si pemberi kuasa wajib untuk membayar upah
kepada si penerima kuasa apabila hal ini telah diperjanjikan sebelumnya.
d. Apabila seorang penerima kuasa diangkat oleh lebih dari satu orang untuk mewakili
suatu urusan bersama maka orang-orang tersebut bertanggung jawab bersama atas
segala akibat dari pemberian kuasa itu kepada si penerima kuasa.

Berakhirnya pemberian kuasa terdapat dalam Pasal 1813 - 1819 KUHPerdata. Hal tersebut di
sebabkan karena :

a. Ditariknya kembali kuasa oleh pemberi kuasa


b. Pemberitahuan penghention kuasa oleh penerima kuasa.
c. Pemberi kuasa atau penerima kuasa meninggal, dibawah pengampuan atau pailit.
d. Bila yang memberikan kuasa adalah perempuan dan melakukan perkawinan.

Dari alasan-alasan berakhimya masa pemberian surat kuasa dapat disimpulkan beberapa hal
antara lain:

a. Bahwa pemberian kuasa dapat berakhir setiap saat dan apabila perlu dapat dilakukan
dengan cara memaksa.
b. Penarikan pemberian kuasa harus dengan sepengetahuan penerima kuasa.
c. Dalam hal pemberi kuasa meninggal dunia maka penerima kuasa tetap dapat
melakukan tugasnya kecuali ada penarikan surat kuasa.
d. Dalam hal penerima kuasa yang meninggal dunia maka ahli warisnya harus sesegera
mungkin memberitahukan kepada pemberi kuasa dan melakukan tindakan yang perlu
untuk kepentingan penerima kuasa.

Selain daripada alasan-alasan yang diuraikan dalam Pasal 1813 sampai dengan Pasal
1819 KUH Perdata, terdapat alasan lain yang dapat mengakhiri pemberian kuasa, yaitu
karena lewatnya masa berlaku surat kuasa serta terpenuhinya syarat untuk pemberian kuasa,
misalnya kuasa untuk pengurusan sesuatu.
Kuasa Subtitusi

Yang dimaksud dengan kuasa substitusi adalah penggantian penerima kuasa melalui
pengalihan. Atau dengan kata lain bahwa kuasa substitusi adalah kuasa yang dapat
dikuasakan kembali kepada orang lain.

Tanggung jawab Penerima Kuasa Substitusi Pasal 1803 KUH Perdata menegaskan bahwa “Si
penerima kuasa bertanggung jawab atas orang yang telah ditunjuknya, sebagai pengganti
posisinya dalam melaksanakan kuasanya, yaitu diantaranya adalah :

● Jika ia tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya
● Jika kekuasaan itu telah diberikan kepadanya tanpa penyebutan seorang tertentu,
sedangkan orang yang dipilihnya itu ternyata seorang yang tak-cakap atau tak mampu.

Jadi jelas bahwa pasal tersebut menghendaki apabila pengangkatan kuasa substitusi tidak
diperbolehkan atau tidak mendapat persetujuan dari Pemberi Kuasa (pemberi kuasa pertama
kali sebelum terbit kuasa substitusi) dan apabila pengangkatan kuasa substitusi telah
mendapat wewenang dari Pemberi Kuasa tanpa menentukan siapa orangnya, ternyata orang
tersebut tidak cakap atau tidak mampu maka hal tersebut menjadi tanggung jawab dari
Pemberi Kuasa substitusi.

Anda mungkin juga menyukai