Anda di halaman 1dari 9

Untuk membahas pengertian kuasa, acuannya hanya ada pada pengertian yang

terdapat di dalam Pasal 1792-1819 KUHPerdata sebagai dasar hukum berlakunya

kuasa di Indonesia.

Pasal 1792 KUHPerdata mengatur: “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian


dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang
menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.

Kuasa adalah persetujuan (baik lisan maupun tulisan) dimana seseorang

bertindak sebagai pemberi kuasa dan pihak lain bertindak sebagai penerima kuasa

dan atas nama pemberi kuasa melakukan suatu perbuatan atau tindakan. Bila

seseorang hendak mengajukan tuntutan hukum di muka Pengadilan karena merasa

haknya dilanggar oleh pihak lain dapat diwakili oleh Kuasa.

Trimoelja D. Soerjadi berpendapat bahwa tindakan hakim itu merupakan

tindakan salah kaprah, karena menurutnya tidak ada ketentuan yang mensyaratkan

penerima kuasa untuk menandatangani surat kuasa[7]. Kewajiban ini muncul pada

tahun 1980-an dan sebelumnya tidak pernah ada penerima kuasa harus tanda

tangan. Beliau memperkuat argumennya dengan mendasarkan pada Pasal 1793

KUH Perdata yang menyatakan bahwa penerimaan kuasa dapat pula terjadi secara

diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa. Akan tetapi

sampai saat ini, untuk kepentingan di pengadilan, pemberian kuasa harus

dibuktikan dengan adanya tindakan pemberian dan penerimaan dari si pemberi

maupun penerima kuasa berupa tanda tangan. Hal ini didasarkan pada pemahaman

bahwa pemberian kuasa merupakan suatu bentuk perikatan hukum yang lahir

karena kesepakatan kedua belah pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban

pada masing-masing pihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1792


KUHPerdata, dan bukti lahirnya kesepakatan dalam perikatan hukum tertulis

adalah kedua belah pihak harus menandatanganinya. Pemberian Kuasa dapat juga

berarti pelimpahan wewenang. Pemberian Kuasa secara tertulis dapat dilakukan

secara akta notaris maupun dibawah tangan.

Pemberian kuasa (lastgeving) yang terdapat dalam Pasal 1792 KUHPerdata

itu mengandung unsur:

      persetujuan;
      memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan; dan
      atas nama pemberi kuasa.

Unsur persetujuan ini harus memenuhi syarat-syarat persetujuan sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata:

o  sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


o  kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
o  suatu hal tertentu; dan
o  suatu sebab yang halal.

Unsur memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan adalah

sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak, baik yang dirumuskan secara

umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas.

Unsur atas nama pemberi kuasa berari bahwa penerima kuasa diberi wewenang

untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya tindakan hukum yang dilakukan oleh

penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa.

Macam-macam kuasa:

1.    Kuasa Khusus (Pasal 123 HIR, 147 RBg dan SEMA No. 6 Tahun 1994 tanggal

14 Oktober 1994)

Suatu kuasa yang diperuntukkan untuk di Pengadilan. Syarat-syaratnya adalah:

a)    Harus berbentuk tertulis;


b)    Dapat dibuat secara dibawah tangan, dapat dibuat oleh Panitera Pengadilan yang
kemudian dilegalisir oleh Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim dan dapat pula
berbentuk akta autentik yang dibuat dihadapan Notaris;
c)     Harus menyebut Identitas para pihak yang berperkara;
d)    Menegaskan objek dan kasus yang diperkarakan
e)    Dalam perkara pidana, harus menyebutkan identitas Terdakwa dan Penasihat
Hukum serta menyebutkan pasal-pasal yang diduga/didakwakan.

2.    Kuasa Istimewa (Pasal 1796 KUHPerdata, Pasal 157 HIR/841 RBg)

Bentuk kuasa ini harus memenuhi syarat-syarat tertentu:

a)    Berbentuk akta autentik;


b)   Limitatif;
c)    Kata-kata tegas, misalnya untuk mengatakan pengakuan, membuat perdamaian,
untuk mengucapkan sumpah, untuk memindahtangankan, untuk hipotek, dan
sebagainya.

3.    Kuasa Mutlak

Diluar Pengadilan, mungkin didalam lalu lintas perdagangan, ada yang dikenal

sebagai kuasa mutlak. Misalnya dalam hal penjualan tanah, kuasa tersebut

berisikan: kuasa tidak dapat dicabut, dengan matinya pemberi kuasa tidak diikuti

dengan pengakhiran kuasa.

4.    Kuasa Lisan (Pasal 120 HIR ayat 1/Pasal 147 ayat 1 RBg)

Kuasa lisan terjadi karena atau diangkat oleh salah satu pihak yang berperkara di

Pengadilan. Berarti pemberian kuasa lisan terlaksana di depan hakim. Jika

penggugat tidak pandai membaca dan menulis sehingga tidak dapat membuat

surat gugat, maka ketika penggugat memohon gugatan lisan kepada Ketua

Pengadilan, maka seraya itu dia menunjuk kuasanya. Dapat pula kuasa tersebut

disampaikan secara lisan didepan persidangan.

5.    Kuasa yang ditunjuk dalam Surat Gugat (Pasal 124 ayat 1 HIR/ 147 ayat 1

RBg).
Dalam surat gugat, penggugat sekaligus menunjuk dengan mencantumkan nama

penerima kuasa, secara jelas dan terang, agar dia bertindak sebagai kuasa dalam proses

pemeriksaan perkara.

6.    Kuasa Pengganti/Limpahan (Substitusi)

Kuasa demikian diberikan oleh penerima kuasa, agar dapat mewakili penerima

kuasa dalam melakukan tindakan. Kuasa pengganti ini dapat diberikan bilamana

kuasa dari prinsipal berisi pula wewenang untuk mengalihkan kuasa tersebut baik

secara sebagian maupun keseluruhan.

7.    Kuasa Perantara (Pasal 1792 KUHPerdata juncto Pasal 62 KUHD)

Kuasa demikian lazim digunakan dalam dunia perdagangan. Orang menyebutnya

Perwakilan atau Agen untuk melakukan sesuatu atau Commercial Agency atau

Makelar.

8.    Kuasa Pendamping

Lembaga ini tumbuh karena kekhawatiran pemberi kuasa, maka dia perlu seorang

ahli hukum yang mendampingi dalam proses persidangan. Jadi selama proses

persidangan berlangsung pemberi kuasa tetap hadir dan didampingi seorang ahli

guna dimintai pendapat yang diperlukan. Kuasa Pendamping diberikan secara

lisan maupun tertulis dan pemberi kuasa memberitahukannya kepada Hakim.

B.        Surat Kuasa

Pemberian kuasa secara tertulis ini yang disebut sebagai surat kuasa. Surat

kuasa digunakan dalam lapangan hukum perdata, hukum pidana, maupun hukum

administrasi atau yang lazim disebut hukum tata usaha negara. Pemberian surat

kuasa dapat dilakukan secara khusus atau secara umum, Secara khusus berarti
kuasa yang diberikan hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih,

sedangkan secara umum meliputi segala kepentingan atau segala perbuatan

pemberi kuasa yang hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan/management

(Pasal 1796 KUHPerdata).

Pada umumnya pemberian kuasa di pengadilan adalah secara khusus yang

dipersyaratkan harus dalam bentuk tertulis. Dalam prakteknya, untuk mewakili

kepentingan para pihak (Penggugat/Tergugat) di Pengadilan haruslah dengan surat

kuasa khusus (Pasal 123 ayat 2 HIR/147 ayat 2 RBg). Penerima kuasa tidak

diperbolehkan melakukan sesuatu apapun yang melampaui kuasanya.

Ada 3 (tiga) cara pemberian surat kuasa khusus menurut HIR/RBg, yaitu:

1)      Kuasa Khusus yang telah ditunjuk langsung disebutkan di dalam surat gugatan
(Pasal 118 HIR dan Pasal 142 RBg).
2)      Kuasa khusus yang ditunjuk pada waktu mengajukan gugatan lisan (mondeling
vordering) menurut Pasal 120 HIR. Menurut yurisprudensi, kuasa dari Penggugat
tidak mempunyai hak untuk mengajukan gugatan.
3)      Kuasa Khusus yang dibuat tersendiri dengan “Surat Kuasa Khusus” antara
pemberi kuasa dan penerima kuasa untuk mewakili dalam berperkara.

Menurut sifatnya, pemberian kuasa adalah sebagai berikut:

a.    Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan


sebaliknya;
b.    Penerima kuasa tidak dibolehkan melakukan sesuatu apapun yang melampaui
kuasanya;
c.     Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang dengan siapa Penerima
kuasa telah bertindak dalam kedudukannya dan menuntut daripadanya pemenuhan
persetujuannya.

Surat kuasa khusus ini diberikan kepada advokat/penasihat hukum untuk

mewakili (dalam perkara perdata) atau mendampingi (dalam perkara pidana)

pihak yang memberikan kuasa kepadanya dalam suatu perkara baik di dalam

maupun di luar pengadilan. Surat kuasa khusus ini yang akan digunakan sebagai
alat bukti di muka pengadilan, harus dibubuhi materai untuk memenuhi ketentuan

UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai dan PP No. 24 Tahun 2000 tentang

Perubahan Bea Tarif Materai dan Besarnya Batas Pengenaan tentang Nominal

yang Dikenakan Bea Meterai. Selain itu surat kuasa khusus ini harus memenuhi

ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No. 6 Tahun 1994 tentang

Surat Kuasa Khusus, yang menyatakan:

1.    Surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut Undang-Undang harus
dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk
keperluan tertentu, misalnya:
a)    dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara A sebagai Penggugat dan
B sebagai Tergugat, misalnya dalam perkara waris atau hutang piutang tertentu
dan sebagainya.
b)   dalam perkara pidana harus dengan jelas dan lengkap menyebut pasal-pasal
KUHP yang didakwakan kepada terdakwa.
2.    Apabila dalam surat kuasa khusus disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup
pula pemeriksaan pada tingkat banding dan kasasi maka surat kuasa khusus
tersebut tetap sah berlaku hingga pemeriksaan pada tingkat kasasi tanpa
diperlukan surat kuasa khusus yang baru. Akan tetapi bilamana surat kuasa khusus
tersebut hanya mencakup pemeriksaan pada tingkat pertama, harus dibuatkan
kembali surat kuasa khusus untuk pemeriksaan pada tingkat kasasi. Hal ini terlihat
dalam salah satu putusan MA bernomor 51 K/Pdt/1991: “yang mengajukan kasasi
ialah Ansori berdasar surat kuasa tanggal 8 Maret 1990. Akan tetapi surat kuasa
tersebut hanya dipergunakan dalam pemeriksaan tingkat pertama sedang menurut
Pasal 44 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 untuk mengajukan kasasi dalam perkara
perdata oleh seorang kuasa HARUS SECARA KHUSUS dikuasakan untuk
melakukan pekerjaan itu”. Dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
UU No. 14 Tahun 1985, Pasal 44 ayat (1) dinyatakan bahwa:

Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud Pasal 43 dapat diajukan oleh:

a)    pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu
dalam perkara perdata atau perkara tata usaha Negara yang diperiksa dan diputus
oleh Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkungan Peradilan
Umum, Lingkungan Peradilan Agama, dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara;
b)   terdakwa atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu atau Penuntut
Umum atau Oditur dalam perkara pidana yang diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir Lingkungan Peradilan Umum
dan Lingkungan Peradilan Militer.
Surat kuasa khusus ini pada pokoknya harus memenuhi syarat formil sebagai

berikut:

1)    Menyebutkan identitas para pihak yakni Pihak Pemberi Kuasa dan Pihak
Penerima Kuasa yang harus disebutkan dengan jelas;
2)    Menyebutkan obyek masalah yang harus ditangani oleh penerima kuasa yang
disebutkan secara jelas dan benar. Tidak disebutkannya atau terdapatnya
kekeliruan penyebutan obyek gugatan menyebabkan surat kuasa khusus tersebut
menjadi tidak sah. Hal ini terlihat dalam salah satu putusan MARI Nomor: 288
K/Pdt/1986 yang menyatakan: surat kuasa khusus yang tidak menyebut atau keliru
menyebut objek gugatan menyebabkan surat kuasa Tidak Sah; dan
3)    Menyebutkan kompetensi absolut dan kompetensi relatif dimana surat kuasa
khusus tersebut akan digunakan.

Tidak terpenuhinya syarat formil surat kuasa khusus tersebut, khususnya dalam

perkara perdata dan tata usaha negara, dapat menyebabkan perkara tidak dapat

diterima. Sehingga walaupun tidak ada bentuk tertentu surat kuasa yang dianggap

terbaik dan sempurna, namun surat kuasa pada pokoknya terdiri dari:

a.    identitas pemberi kuasa;


b.    identitas penerima kuasa;
c.     hal yang dikuasakan, disebutkan secara khusus dan rinci, tidak boleh mempunyai
arti ganda;
d.    waktu pemberian kuasa;
e.    tanda tangan pemberi dan penerima kuasa.

Kewajiban Penerima Kuasa diatur dalam Pasal 1800-1806 KUHPerdata, sebagai

berikut:

1.        Melaksanakan amanah kuasanya termasuk menanggung segala biaya, kerugian,


serta segala bunga yang dapat timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa
tersebut;
2.        Menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa
meninggal dunia;
3.        Bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja;
4.        Bertanggung jawab tentang kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam
menjalankan tugasnya;
5.        Memberi laporan tentang apa yang telah diperbuatnya;
6.        Memberi perhitungan kepada pemberi kuasa tentang segala apa yang telah
diterimanya berdasarkan kuasa (termasuk apa yang diterimanya itu tidak
seharusnya dibayar kepada pemberi kuasa);
7.        Bertanggung jawab untuk kuasa substitusinya:
a)    Jika ia tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk subtitusinya;
b)   Jika kekuasaan itu telah diberikan kepadanya tanpa penyebutan seorang tertentu,
sedangkan orang yang dipilihnya itu ternyata seorang yang tidak cakap atau tidak
mampu. Pemberi kuasa dapat secara langsung meminta orang yang ditunjuk oleh
penerima kuasa sebagai penggantinya.
8.        Dalam hal penerima kuasa lebih dari satu orang, maka mereka tidak tanggung
menanggung;
9.        Membayar bunga atau uang-uang pokok yang dipakainya guna keperluan sendiri;
10.     Tidak bertanggung jawab tentang apa yang terjadi di luar batas kuasa tersebut,
kecuali apabila ia secara pribadi telah mengikatkan diri untuk itu.

Kewajiban Pemberi Kuasa diatur dalam Pasal 1807-1812 KUHPerdata, sebagai

berikut:

1.       Memenuhi perikatan-perikatan yang diperbuat oleh penerima kuasa menurut


kekuasaan yang telah diberikan padanya;
2.       Terikat dengan apa yang diperbuat oleh penerima kuasanya di luar hal-hal yang
telah dikuasakan kepadanya, asal hal tersebut telah disetujui secara tegas atau
secara diam-diam;
3.       Mengganti biaya-biaya/memberi ganti rugi atas apa yang telah dikeluarkan oleh
penerima kuasa selama melaksanakan kepentingan pemberi kuasa;
4.       Membayar upah kuasa yang telah diperjanjikan;
5.       Dalam hal pemberian kuasa secara kolektif, maka masing-masing pemberi kuasa
bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala
akibat dari pemberian kuasa tersebut;
6.       Penerima kuasa berhak menahan segala kepunyaan pemberi kuasa yang berada
ditangan penerima kuasa sampai dibayar lunas segala hak-haknya (hak retensi).
1. Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan gugatan yang ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri pada Pengadilan   Negeri Jakarta  Pusat di Meja 1 bagian
Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
    a. Surat Permohonan / Gugatan ;
    b. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat);
2. Gugatan dan Surat Kuasa Asli harus mendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat;
3. Setelah mendapat persetujuan, maka Penggugat / Kuasanya membayar biaya gugatan
/ SKUM di Kasir;
4. Memberikan SKUM yang telah dibayar ke Meja 2 dan menyimpan bukti asli untuk
arsip.
5. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugatan dari Meja 2.
6. Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
disampaikan oleh Juru Sita Pengganti.
7. Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan

Anda mungkin juga menyukai