PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara historis, Advokat termasuk salah satu profesi yang tertua. Dalam
perjalanannya, profesi ini dinamai sebagai officium nobile, jabatan yang mulia. Penamaan
itu terjadi adalah karena aspek “kepercayaan” dari (pemberi kuasa, klien) yang
dijalankannya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya di forum yang
telah ditentukan
Advokat sebagai nama resmi profesi dalam sistem peradilan kita, pertama
ditemukan dalam ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (RO).
Advokat itu merupakan padanan dari kata Advocaat (Belanda) yakni seseorang yang
telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar meester in
de rechten (Mr). Lebih jauh lagi, sesungguhnya akar kata itu berasal dari kata latin
“advocare, advocator”. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau hampir di setiap
bahasa di dunia kata (istilah) itu dikenal.
Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat harus diikuti oleh
adanya tanggung jawab dari masing-masing advokat dan organisasi profesi yang
menaunginya. Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-undang No. 18 Tahun
2003 tentang Advokat, bahwa organisasi advokat wajib menyusun kode etik advokat
untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat sebagai profesi yang terhormat
dan mulia (officium mobile), sehingga setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode
etik tersebut.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara yang terdiri dari
kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Penegak hukum yang terdiri dari hakim, jaksa,
dan polisi memiliki kekuasaan yudikatif dan eksekutif. Dalam hal ini hakim sebagai penegak
hukum yang menjalankan kekuasaan yudikatif mewakili kepentingan negara dan jaksa serta
polisi yang menjalankan kekuasaan eksekutif mewakili kepentingan pemerintah. Bagaimana
dengan Advokat? Advokat dalam hal ini tidak termasuk dalam lingkup ketiga kekuasaan
tersebut (eksekutif, legislative, dan yudikatif).
Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiri
untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh oleh kekuasaan
negara (yudikatif dan eksekutif). Dalam mewakili kepentingan klien dan membela hak-hak
hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang
dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik ditentukan adanya ketentuan
advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar
hukumnya, dilarang memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan
kemenangan kepada klien.
1. Profesi Advokat yang bebas mempunyai arti bahwa dalam menjalankan profesinya
membela masyarakat dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran hukum tidak
mendapatkan tekanan darimana pun juga. Kebebasan inilah yang harus dijamin dan
dilindungi oleh UU yaitu UU no.18 tahun 2003 tentang Advokat agar jelas status dan
kedudukannya dalam masyarakat, sehingga bisa berfungsi secara maksimal. Peran
Advokat tersebut tidak akan pernah lepas dari masalah penegakan hukum di
Indonesia. Pola penegakan hukum dipengaruhi oleh tingkat perkembangan
masyarakat, tempat hukum tersebut berlaku atau diberlakukan. Dalam masyarakat
sederhana, pola penegakan hukumnya dilaksanakan melalui prosedur dan
mekanisme yang sederhana pula. Namun dalam masyarakat modern yang bersifat
rasional dan memiliki tingkat spesialisasi dan diferensiasi yang begitu tinggi,
pengorganisasian penegakan hukumnya menjadi begitu kompleks dan sangat
birokratis. Semakin modern suatu masyarakat, maka akan semakin kompleks dan
semakin birokratis proses penegakan hukumnya. Sebagai akibatnya yang memegang
peranan penting dalam suatu proses penegakan hukum bukan hanya manusia yang
menjadi aparat penegak hukum, namun juga organisasi yang mengatur dan
mengelola operasionalisasi proses penegakan hukum.
2. Secara sosiologis, ada suatu jenis hukum yang mempunyai daya laku lebih kuat
dibanding hukum yang lain. Didapati hukum sebagai produk kekuasaan ternyata
tidak sesuai dengan hukum yang nyata hidup dalam masyarakat.
3. Peran Advokat sebagai pekerja sosial Pekerja sosial dalam hal ini adalah pekerja
sosial di bidang hukum. Sebagaimana diketahui, betapa banyak rakyat yang
menghadapi persoalan hukum, tetapi tidak berdaya. Mereka bukan saja tidak
berdaya secara ekonomis tetapi mungkin juga tidak berdaya menghadapi
kekuasaan. Berdasar hal tersebut, maka persoalan- persoalan hukum yang yang
dihadapi rakyat kecil dan lemah yang memerlukan bantuan, termasuk dari para
advokat. UU Advokat pasal 21 dalam hal ini memaparkan bahwa advokat wajib
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak
mampu.
Tinjauan Kode Etik Advokat Indonesia Kode Etik Advokat Indonesia yang dimaksud
terdiri dari :
1. Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan dalam melakukan tugasnya menjunjung tinggi hukum
berdasarkan kepribadian pancasila dan UUD 1945 serta sumpah jabatanya.
2. Advokat harus bersedia memberikan bantuan hukum kepada siapa sajayang
memelurkan, tanpa memangdang agama, suku, ras, keturunan,kedudukan social
dan keyakinan politiknya, juga tidak semata-mata untuk mencari imbalan materi.
3. Advokat harus bekerja bebas dan mandiri serta wajib memperjuangkan hak asasi
manusia ;
4. Advokat wajib memegang teguh solidaritas sesama rekan advokat
5. Advokat wajib menjujung profesi advokat sebagai profesi terhormat,
6. Advokat harus bersifat teliti dan sopan kepada para pejabat penegak hukum.
Selain mengatur kepribadian advokat, dalam kode etik ini juga diatur mengenai
hubungana advokat dengan klien secara lebih rinci, demikian jugadengan sesame profesi.
Kemudiann terdapat pula pengaturan tentang cara bertindak dalam menangani perkara.
Didalamnya tampak jelas bahwa seorang advokat harus benar-benar menegakan nilai
kejujuran, dalam berpekara. Sebagai contoh seorang advokat tidak boleh menghubungi
saksi- saksi pihak lawan jaga tidak boleh menghubungi hakim kecuali sama-sama dengan
advokat pihak lawan. Dalam keentuan-ketentuan lain disebutkan misalnya advokat tidak
boleh mengiklankan diri untuk promosi, termasuk melalui perkara. Untuk menjaga agar
tidak terjadi benturan kepentingan, seorang advokat yang sebelumnya menjadi hakim atau
panitera disuatu pengadilan, tidak dibenarkan memegang perkara di pengadilan yang
bersangkutan, paling tidak selama tiga tahun sejak ia berhenti dari pengadilan tersebut.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 di atas, seorang advokat yang telah melakukan
tindakan atau perbuatan yang tidak baik, dapat saja dikenakan tindakan sebagai sanksi ini
diatur dalam Pasal 7 ayat (1), dinyatakan bahwa jenis tindakan dikenakan terhadap advokat
dapat berupa :
1. Teguran lisan
2. Teguran tertulis
3. Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas)
bulan
4. Pemberhentian tetap dari profesinya
Dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 dinyatakan bahwa advokat
berhenti atau diberhentikan dari profesinyan secara tetap karena alasan :
1. Permohonan sendiri
2. Dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau
lebih
3. Berdasarkan keputusan Organisasi Advokat Advokat sebagai sebuah lembaga
yang menjalankan profesi sebagai pelayan hukum dan sekaligus penegak hukum
yang independen dan utama, dalam menjalankan profesinya tersebut perlu
diberikan pengawasan.
Supriadi .2006. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta :sinar
grafika.hlm.65