Fakta yang bisa dijadikan untuk memperkuat analisis diatas, adalah ketika
terjadi padapenyelesaian sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi baru-baru
ini, yang mana sebagai “Raja Perkara atau Raja Kasus” adalah dari kantor
hukum (law firm) yang itu-itu saja dari tahun ke tahun, dan bahkan ada satu
law firm yang kebanjiran kasus lebih dari 10 perkara/sengketa yang
ditanganinya, coba bayangkan berapa honor advokat atau pengacara yang
diterimanya. Tak perlu kita iri, karena untuk mencapai dan masuk dalam
jajaran 8% itu membutuhkan banyak faktor, salah satunya adalah
pengalaman dalam menangani berbagai kasus.
Bahwa Advokat (Pengacara) atau Konsultan Hukum dari daerah dan suku
manapun itu, maka tidak terlepas dari faktor tiga strata sebagaimana yang
kami kemukakan diatas. Misalnya, kami ambil contoh Advokat (Pengacara)
atau Konsultan Hukum dari suku saya sendiri (Batak), tidak semua Advokat
(Pengacara) atau Konsultan Hukum Batak yang menjadi sukses dan berkibar-
kibar namanya, atau kaya, dan memiliki penampilan super mewah
(berbintang lima), serta glamour seperti yang sering kita lihat di media cetak
maupun media elektronik (televisi). Faktanya, seperti di Medan (Provinsi
Sumatera Utara) banyak para rekan Advokat (Pengacara) atau Konsultan
Hukum yang kesulitan mendapat klien atau kasus/perkara, yang
mengakibatkan arus kas pemasukan menjadi macet. Kondisi seperti ini, tentu
saja berdampak negatif, yang mana terkadang harus serabutan (kerja
sambilan) mengerjakan proyek-proyek yang jauh dari profesi bidang hukum.
Yang terpenting targetnya adalah bisa bertahan saja sudah syukur.
Hormat kami,
N. HASUDUNGAN SILAEN, SH
Advokat (Pengacara) atau Konsultan Hukum NIA. 98.10796