Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Telah dijelaskan, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970.
(sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999), dan sekarang diatur dalam Pasal
16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 14 Tahun 1970. Selanjutnya
hal itu dalam UU No. 48 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 2004 diatur
dalam Pasal 25 ayat (2). Tugas dan kewenangan badan peradilan di bidang perdata adalah
menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara para pihak
yang beperkara. Hal inilah yang menjadi tugas pokok peradilan. Wewenang pengadilan
menyelesaika perkara diantara pihak yang bersengketa, disebut yurisdiksi contentiosa dan
gugatannya berbentuk gugatan contentiosa atau disebut juga contentious. Dengan
demikian yurisdiksi dan gugatan contentiosa, merupakan hal yang berbeda atau
berlawanan dengan yurisdiksi gugatan volumntair yang bersifat sepihak (ex-parte). yaitu
permasalahan yang diajukan untuk diselesaikan pengadilan tidak mengandung sengketa
(undisputed matters), tetapi semata mata untuk kepentingan pemohon.

Lain halnya dengan gugatan contentiosa, gugatannya mengandung sengketa di


antara dua pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan di minta untuk diselesaikan
dalam gugatan, merupakan sengketa atau perselisihan di antara para pihak (between
contending parties). Di masa yang lalu bentuk ini disebut contentiosa rechtspraak.
Artinya, penyelesaian sengketa di pengadilan melalui proses sanggah-menyanggah dalam
bentuk replik (jawaban dari suatu jawaban), dan duplik (jawaban kedua kali), Atau
disebut juga op tegenspraak, yaitu proses peradilan sanggah-menyanggah

Perkataan contentiosa atau contentious, berasal dari bahasa Latin. Salah satu arti
perkataan itu, yang dekat kaitannya dengan penyelesaian sengketa perkara adalah penuh
semangat bertanding atau berpolemik. Itu sebabnya penyelesaian perkara yang
mengandung sengketa, disebut yurisdiksi contentiosa atau contentious jurisdiction, yaitu

1
kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah
persengketaan (jurisdiction of court that is concerned with contested matters) antara
pihak yang bersengketa (between contending parties).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ketentuan dalam penulisan identitas para pihak?


2. Bagaimana ketentuan dalam penulisan posita/fundamentum petendi?
3. Bagaimana ketentuan dalam penulisan petitum?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui ketentuan dalam penulisan identitas para pihak.


2. Untuk mengetahui ketentuan dalam penulisan posita/fundamentum petendi.
3. Untuk mengetahui ketentuan dalam penulisan petitum.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Identitas Para Pihak


Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil keabsahan gugatan.
Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak menyebut identitas
tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada. Tentang penyebutan
identitas dalam gugatan, sangat sederhana sekali. Tidak seperti yang disyaratkan dalam surat
dakwaan perkara pidana yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP (meliputi nama
lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama, dan pekerjaan tersangka).
Tidak seluas itu syarat identitas yang harus disebut dalam surat gugatan. Bertitik tolak
dari ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR, identitas yang dicantumkan, cukup memadai sebagai
dasar untuk:
 harus menyampaikan panggilan, atau
 menyampaikan pemberitahuan.
Dengan demikian, oleh karena tujuan utama pencantuman identitas agar dapat
disampaikan panggilan dan pemberitahuan, identitas yang wajib disebut, cukup meliputi:
a. Nama Lengkap

1) Nama Terang dan Lengkap, Termasuk Gelar atau Alias (jika Ada) Maksud
mencantumkan gelar atau alias, untuk membedakan orang tersebut dengan orang lain
yang kebetulan namanya sama pada lingkungan tempat tinggal.1

2) Kekeliruan Penyebutan Nama yang Serius


 kekeliruan penulisan atau penyebutan nama Tergugat yang sangat serius
menyimpang dari yang semestinya, sehingga benar-benar mengubah identitas,
dianggap melanggar syarat formil yang mengakibatkan surat gugatan cacat formil;

1
Lihat Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 41.

3
 dalam hal yang seperti ini, timbul ketidakpastian mengenai orang atau pihak yang
beperkara, sehingga cukup dasar alasan untuk menyatakan gugatan error in
persona atau obscuur libel, dalam arti orang yang digugat kabur atau tidak jelas.
Oleh karena itu, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

3) Penulisan Nama Tidak Boleh Didekati secara Sempit atau Kaku (Strict Law), tetapi
Harus dengan Lentur (Flexible)
 apabila kekeliruan itu sangat kecil dan tidak berarti dapat atau harus ditolerir,
misalnya, salah menulis a menjadi o, kekeliruan itu dikategorikan sebagai
kesalahan pengetikan (clerical error);
 oleh karena itu, kesalahan dimaksud dapat diperbaiki oleh Penggugat dalam
persidangan melalui surat perbaikan atau perbaikan dilakukan dalam replik
(balasan atas jawaban tergugat). Bahkan hakim sendiri dapat memperbaiki dalam
berita acara persidangan maupun dalam putusan,

4) Penulisan Nama Perseroan Harus Lengkap dan Jelas Sama halnya dengan penulisan
nama orang, penulisan korporasi atau badan hukum (legal entity), harus lengkap dan
jelas sesuai dengan nama yang m sesungguhnya berdasarkan:
 nama yang disebut dalam anggaran dasar atau yang tercantum pada papan nama
maupun yang tertulis pada surat-surat resmi perusahaan;
 biasanya, selain ditulis nama lengkap perseroan, ditulis juga nama singkatan
sebagaimana yang disebut dalam anggaran dasar atau papan nama.

b. Alamat atau Tempat Tinggal

Identitas lain yang mutlak dicantumkan adalah mengenai alamat atau tempat tinggal
tergugat atau para pihak.

1) Yang Dimaksud dengan Alamat


Menurut hukum sesuai dengan tata tertib beracara, yang dimaksud dengan
alamat, meliputi:

4
 alamat kediaman pokok,
 bisa juga alamat kediaman tambahan,
 atau tempat tinggal riil.

Pokoknya didasarkan pada asas yang bersangkutan secara nyata bertempat


tinggal

2) Sumber Keabsahan Alamat Terdapat beberapa sumber dokumen atau akta


yang dapat dijadikan sumber alamat yang legal
bagi perorangan (physical person), dapat diambil dari KTP, NPWP (Nomor
Pokok Wajib Pajak), dan Kartu Rumah Tangga (KK);
 bagi perseroan (legal entity), dapat diambil dari NPWP, Anggaran
Dasar, Izin Usaha atau dari Papan Nama.
 Alamat yang diambil dari dokumen atau akta, sah menurut hukum.
Oleh karena itu, pencantuman alamat yang didasarkan dari sumber
alamat itu, tidak dapat diajukan bantahan.
3) Perubahan Alamat Tergugat Sesudah Gugatan Diajukan Apabila terjadi
perubahan alamat tergugat sesudah gugatan diajukan penggugat, sehingga
alamat yang disebut dalam gugatan berbeda dengan tempat tinggal riil
tergugat:
 tidak mengakibatkan gugatan cacat formil, sehingga perubahan dan
perbedaan alamat itu, tidak memengaruhi keabsahan gugatan,
 oleh karena itu, tergugat tidak dapat menjadikan hal itu sebagai dasar
bantahan atau eksepsi agar gugatan dinyatakan salah alamat, atau
untuk dijadikan dasar alasan menyatakan gugatan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard).
Rasio yang terkandung dalam penerapan yang dijelaskan di atas, untuk
menghindari tindakan sewenang-wenang dari tergugat. Sebab kalau perubahan
alamat sesudah gugatan diajukan dibenarkan mengakibatkan gugatan cacat
formil, perubahan itu akan dimanfaatkan tergugat yang beriktikad buruk untuk
melumpuhkan dan mempermainkan penggugat dan peradilan. Cara tergugat
memperolok peradilan, dengan jalan saat gugatan diajukan oleh penggugat ke

5
PN, buru-buru tergugat pindah tempat atau mengubah alamat. Demikian
seterusnya, sehingga jika hal itu dibenarkan mengakibatkan runtuh dan hancur
kepastian hukum. Dampak yang lebih jauh, mengakibatkan perkara tersebut
tidak dapat diselesaikan.
4) Tidak Diketahui Alamat Tempat Tinggal Tergugat Apabila alamat tergugat
tidak diketahui, tidak menjadi hambatan bagi penggugat untuk mengajukan
gugatan. Pasal 390 ayat (3) HIR telah mengantisipasi kemungkinan tersebut
dalam bentuk pemanggilan umum oleh wali kota atau bupati. Hukum dan
undang-undang tidak boleh mematikan hak perdata seseorang untuk
menggugat orang lain, hanya atas alasan tidak diketahui tempat tinggal
tergugat. Penegakan hukum yang seperti itu, bertentangan dengan rasa
keadilan dan kepatutan. Sehubungan dengan itu, apabila penggugat
dihadapkan dengan permasalahan hukum yang seperti itu, dapat ditempuh
cara perumusan identitas alamat sebagai berikut:
 mencantumkan alamat atau tempat tinggal terakhir, dalam penulisan
identitas alamat, cukup atau dapat mencantumkan alamat atau tempat
tinggal terakhir, dengan kata-kata: terakhir bertempat tinggal atau
bertempat kediaman di.... atau
 dengan tegas menyebutkan, tidak diketahui alamat atau tempat
tinggalnya.

Supaya cara ini benar-benar beralasan, pernyataan itu sebaiknya didukung


oleh surat keterangan kepala desa di tempat tergugat terakhir bertempat
tinggal. Oleh karena itu, apabila penggugat menghadapi kasus, tempat
tergugat tidak diketahui, sebaiknya diminta lebih dahulu surat keterangan
kepala desa tentang hal itu. Berdasarkan surat keterangan itu, penggugat dapat
merumuskan identitas alamat tempat tinggal yang berbunyi: alamat atau
tempat tinggal tergugat tidak diketahui berdasarkan surat keterangan kepala
desa Tanggal ... Nomor ....

6
Berdasarkan surat keterangan itu, pengadilan dapat langsung menempuh
proses pemeriksaan melalui panggilan umum berdasarkan Pasal 390 ayat (3)
HIR (lihat kembali pembahasan pemanggilan).

c. Penyebutan Identitas Lain, Tidak Imperatif

Tidak dilarang mencantumkan identitas tergugat yang lengkap, meliputi umur,


pekerjaan, agama, jenis kelamin, dan suku bangsa2 Lebih lengkap tentunya lebih baik dan
lebih pasti. Akan tetapi, hal itu jangan diterapkan secara sempit, yang menjadikan
pencantuman identitas secara lengkap sebagai syarat formil. Penerapan yang demikian
merupakan pemerkosuan hukum bagi penggugat. karena tidak mudah untuk mendapat
identitas tergugat yang lengkap. Sangat sulit bagi penggugat untuk mengetahui dan
memperoleh data umur dan tanggal lahir. Kecuali apabila yang digugat itu perseroan,
perlu atau harus disebut kedudukan atau jabatan orang yang bertindak mewakilinya.
Biasanya yang mewakili itu direktur. Memerhatikan kesulitan itu, tepat dan beralasan
penggarisan undang undang dan praktik peradilan yang mencukupkan pencatuman
identitas tergugat atau para pihak sebatas penyebutan:

 nama lengkap dengan jelas, ditambah alias (jika ada).


 alamat tempat tinggal atau tempat kediaman pokok atau tambahan,
 jabatan yang mewakili perseroan, apabila yang digugat atau penggugatnya
perseroan.

Penyebutan identitas yang demikian, sah menurut hukum, dengan ketentuan,


penyebutan identitas yang lengkap adalah lebih baik, namun tidak bersifat imperatil

B. Posita

Posita atau dikenal juga dengan sebutan fundamentum petendi, yang memiliki arti
dasar gugatan atau dasar tuntutan (grondslag van de lis). Istilah lain yang akrab digunakan
dalam praktik peradilan ialah positium yang merupakan bentuk jamak dari posita dan dalam
bahasa Indonesia disebut dengan dalil gugatan.3

2
Bandingkan Abdulkadir Muhammad, ibid, hlm. 41
3
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: tentang gugatan pembuktian persidangan penyitaan, Jakarta: Sinar
Grafika, 2017, hlm. 60.

7
Posita atau dalil gugatan adalah dalil-dalil dari penggugat yang menjadi dasar-dasar
atau alasan-alasan gugatan penggugat.4 Dalam perumusan posita, terdapat dua teori terkait
dengan luasnya uraian dalam posita, yaitu:

1. Pertama, Substantierings theorie. Teori ini menyatakan bahwa penyusunan posita


tidaklah cukup hanya menguraikan mengenai peristiwa dan hubungan hukum yang
menjadi dasar gugatan saja, melainkan harus diuraikan pula bagaimana sejarahnya
atau fakta-fakta yang mendahului dan menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum,
sampai terjadi peristiwa dan hubungan hukum itu.5
2. Kedua, Individualiserings theorie. Teori ini menjelaskan peristiwa atau kejadian
hukum yang dikemukakan dalam gugatan, harus dengan jelas memperlihatkan
hubungan hukum (rechtsverhouding) yang menjadi dasar tuntutan. Namun tidak
perlu secara detail menguraikan dasar dan sejarah dari peristiwa dan hubungan
hukum tersebut, karena hal itu dapat diajukan setelahnya dalam proses pemeriksaan
sidang pengadilan.6

Dari pengalaman dalam praktik peradilan, kedua teori di atas digabung, tidak dipisah
secara kaku dan sempit. Kedua teori tersebut perlu digabungkan dalam pemrumusan gugatan
adalah untuk menghindari terjadinya perumusan dalil gugatan yang kabur atau obscuur libel
(gugatan yang gelap).7

a. Unsur Posita atau Fundamentu Petendi

Posita atau fundamentum petendi dianggap lengkap dan memenuhi syarat jika di
dalamnya memuat dua unsur:

Pertama, Feitelijke Grond (Dasar Fakta) yaitu bagian yang menguraikan tentang
fakta-fakta, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang menjelaskan duduk perkara atau
yang berkaitan langsung dengan hubungan hukum yang terjadi antara penggugat dengan
objek perkara maupun dengan pihak tergugat.

4
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata di Indonesia Permasalahan Eksekusi dan Mediasi,
Yogyakarta: Deepublish, 2020, hlm. 15.
5
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, op. cit., hlm. 15.
6
Ibid.
7
M. Yahya Harahap, op. cit., hlm. 60.

8
Kedua, Rechtelijke Grond (Dasar Hukum) yaitu bagian yang menguraikan tentang
hukum, bagian ini memuat adanya hak atau hubungan hukum antara penggugat dengan
tergugat, hubungan penggugat dan/atau tergugat dengan materi atau objek sengketa.8

Berdasarkan penjelasan di atas, posita yang dianggap terhindar dari cacat oscuur
libel, adalah surat gugatan yang isinya jelas, terang, tegas sekaligus memuat penjelasan dan
penegasan dasar hukum yang menjadi dasar hubungan hukum serta dasar fakta yang terjadi
di sekitar hubungan hukum dimaksud.9

b. Dalil Gugat yang Dianggap Tidak Mempunya Dasar Hukum


Beberapa masalah dalil gugatan yang dianggap tidak memenuhi atau tidak memiliki
landasan hukum, antara lain:
1) Pembebasan pemidanaan atas laporan tergugat tidak dapat dijadikan dasar hukum
menuntut ganti rugi
Sebagai contoh, penggugat dilaporkan oleh pihak tergugat melakukan tindak
pidana. Setelah dilakukan proses penyidikan hingga pemeriksaan pengadilan, ternyata
pengadilan menjatuhkan putusan bebas terhadap terlapor/penggugat. Setelah putusan
berkekuatan tetap, terlapor/penggugat mengajukan gugatan ganti rugi kepada
pelapor/tergugat. Putusan bebas tersebut tidak dapat dijadikan dasar alasan menggugat
pelapor melakukan perbuatan melawan hukum yang diikuti dengan tuntutan ganti rugi.
Karena setiap orang berhak mengajukan laporan ke aparat penegak hukum.
2) Dalil gugatan berdasarkan perjanjian tidak halal
Sebagai contoh, perjanjian yang tidak halal adalah milik beding, yaitu perjanjian
yang berisi syarat apabila debitur melakukan wanprestasi, barang jaminan atau agunan
jatuh menjadi milik kreditur. Perjanjian ini dengan tegas dilarang dalam Pasal 12 UU
No. 4 Tahun 1996.
3) Dalil gugatan tidak berdasarkan sengketa, dianggap tidak mempunyai dasar hukum
Syarat mutlak untuk menuntut seseorang di pengadilan adalah dengan adanya
perselisihan hukum (sengketa hukum) antara kedua pihak. Sebagai contoh, penggugat
sebagai debitur mengajukan gugatan kepada kreditur yang berisi dalil agar kreditur
8
Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi, Jakarta:
Kencana, 2012, hlm. 21.
9
M. Yahya Harahap, op. cit., hlm. 61.

9
memberi penetapan kepastian berapa jumlah utangnya atas alasan untuk menghindari
terjadinya pembayaran yang tidak diwajibkan. Gugatan ini diajukan tanpa didasari
adanya persengketaan mengenai jumlah utang. Maka gugatan ini tidak memenuhi syarat
materil gugatan.
4) Tuntutan ganti rugi atas sesuatu hasil yang tidak dirinci berdasarkan fakta, dianggap
gugatan yang tidak mempunyai dasar hukum
Contohnya dalam putusan MA, suatu gugatan tidak memberikan dasar dan
alasan dan tidak menjelaskan berapa hasil dari sawah tersebut, sedang penggugat
menuntut hasil sebanyak yang ia sebutkan dalam petitum. Gugatan ini dianggap gugatan
yang tidak jelas dasar hukumnya.10
5) Dalil gugatan yang mengandung pertentangan
Dalil gugatan yang didalamnya terdapat pertentangan antara dalil satu dengan
yang lain, dinyatakan sebagai gugatan yang tidak mempunyai dasar hukum yang jelas.
6) Hak atas objek gugatan tidak jelas
Dalil gugatan yang tidak menegaskan secara jelas dan pasti hak penggugat atas
objek yang disengketakan, apakah sebagai pemilik, penyewa atau pemakai. Maka dalil
gugat tidak sempurna dan dianggap tidak memenuhi syarat.

C. Petitum
Ketentuan perumusan surat gugatan yang lain adalah adanya petitum. Petitum harus
ikut serta dicantumkan dalam surat gugatan supaya gugatan sah dan tidak mengandung cacat
formil. Petitum berisi tentang pokok tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas
menyebut satu per satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok
tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat. Dengan kata
lain petitum berisi tuntutan atau permintaan kepada pengadilan untuk dinyatakan dan
ditetapkan sebagai hak penggugat atau hukuman kepada tergugat atau kepada kedua belah
pihak. Beberapa istilah lain yang memiliki makna yang sama dengan petitum adalah petita,
petitory atau conclusum. Namun istilah baku yang paling sering digunakan dalam praktik
peradilan adalah petitum atau pokok tuntutan.11

10
Ibid., hlm. 65.
11
Ibid., hlm. 66.

10
1. Bentuk Petitum
Petitum atau tuntutan dibedakan menjadi dua bentuk, antara lain:
a. Bentuk Tunggal
Petitum disebut berbentuk tunggal, apabila deskripsi yang menyebut satu per satu
pokok tuntutan tidak diikuti dengan susunan deskripsi petitum lain yang bersifat
alternative atau subsidiary. Bentuk petitum tunggal tidak boleh hanya berbentuk
compositur atau ex-aequo et bono (mohon keadilan) saja. Tetapi harus berbentuk
rincian satu per satu sesuai dengan yang dikehendaki penggugat dikaitkan dengan
dalil gugatan. Petitum yang hanya mencantumkan mohon keadilan (ex-aequo et bono)
tidak memenuhi syarat formil dan materiil, akibat hukumnya gugatan dianggap cacat
formil, dan gugatan tidak dapat diterima.

b. Bentuk Alternatif
Petitum gugatan yang berbentuk alternative dapat diklasifikasi:
1) Petitum primair dan subsidair sama-sama dirinci
Sama-sama dirinci satu per satu dengan rincian yang saling berbeda. Misalnya
pada angka 1 dan 2 petitum primair, penggugat meminta agar dinyatakan sebagai
pemilik yang sah, dan menghukum tergugat untuk menyerahkanbarang tersebut
kepadanya diikuti dengan tuntutan ganti rugi. Sedangkan angka 1 dan 2 petitum
subsidair, penggugat meminta dinyatakan orang yang berhak atau pemilik barang,
dan tergugat dihukum untuk membayar harga barang.
Dalam menghadapi kedua petitum di atas, hakim dalam mengambil dan
menjatuhkan putusan harus memilih salah satu saja yang dikabulkan. Selain itu,
hakim tidak boleh mencampurkan dengan cara mengambil sebagian dari petitum
primair dan sebagian lagi dari petitum subsider.

2) Petitum primer dirinci, diikuti dengan petitum subsider berbentuk compositur atau
ex-aequo et bono (mohon keadilan):
Dalam hal ini, sifat alternatifnya tidak mutlak/tidak absolut. Jadi hakim bebas
untuk mengambil seluruh dan sebagian petitum primer dan mengesampingkan
petitum ex-aequo et bono (petium subsidair). Bahkan hakim bebas dan berwenang

11
menetapkan lain berdasarkan petitum ex-aequo et bono dengan syarat harus
berdasarkan kelayakan dan kepatutan (appropriateness), dan kelayakan atau
kepatutan itu masih berada dalam kerangka jiwa petitum primer dan dalil gugatan.

2. Petitum yang Tidak Memenuhi Syarat


a. Tidak menyebut secara tegas apa yang diminta atau petitum bersifat umum
Petitum harus bersifat tegas dan spesifik dalam menyebut hal-hal yang diminta
penggugat kepada pengadilan. Jika tidak, berakibat gugatan tidak dapat diterima.
b. Petitum tuntutan ganti rugi tetapi tidak dirinci dalam gugatan
Petitum bisa tidak memenuhi syarat jika tuntutan ganti rugi yang diminta tidak
dirinci dalam gugatan, dan juga tidak dibuktikan penggugat dalam persidangan.
Sekiranya dapat dibuktikan dalam persidangan, kelalaian merinci dalam gugatan
dapat ditolerir.
c. Petitum yang bersifat negatif, tidak dapat dikabulkan
Petitum yang meminta agar peradilan menghukum tergugat supaya tidak
mengambil tindakan yang bersifat merusak bangunan adalah petitum yang bersifat
negatif dan tidak dapat dikabulkan.
d. Petitum tidak sejalan dengan dalil gugatan
Petitum harus sejalan dengan dalil gugatan. Petitum harus bersesuaian atau konsisten
dengan dasar hukum dan fakta-fakta yang dikemukakan dalam posita. Tidak boleh
saling bertentangan atau kontroversi di antaranya.

12
BAB III

PENUTUPAN

A. KESIMPULAN
1. Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil keabsahan
gugatan. Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak
menyebut identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada.
Tentang penyebutan identitas dalam gugatan, sangat sederhana sekali
2. Posita atau fundamentum petendi merupakan bagian yang wajib terdapat dalam surat
gugatan. Posita ini berisi tentang dalil-dalil dari penggugat yang menjadi dasar atau
alasan penggugat mengajukan gugatannya ke pengadilan. Posita ini bisa ditolak jika
didalamnya terdapat dalil yang tidak jelas atau gelap atau juga disebut obscuur libel.
Oleh karenanya, dalam perumusan posita harus sepesifik, serinci dan sejelas mungkin
supaya terhindar dari obscuur libel.
3. Petitum atau tuntutan ini berisi tentang pokok tuntutan penggugat, yakni hal-hal apa
saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan
kepada tergugat. Dalam perumusan petitum ini juga harus tegas, jelas dan spesifik,
tidak boleh bersifat umum, supaya gugatan ini dapat diterima

B. SARAN

Makalah ini bermaksud untuk setiap individu atau mahasiwa selalu berprilaku
organisasi untukmencapai tujuan bersama secara cepat, tepat dan efisien. Adapun saran
yang yang lain semogamakalah ini berguna bagi individu atau kelompok dalam
kehidupan berorganisasi dan segalakrtik dan saran tentang makalah ini kami terima
dengan lapang dada.

13
DAFTAR PUSTAKA

Hadrian, Endang dan Lukman Hakim. 2020. Hukum Acara Perdata di Indonesia Permasalahan
Eksekusi dan Mediasi. Yogyakarta: Deepublish.
Harahap, M Yahya. 2017. Hukum Acara Perdata: tentang gugatan pembuktian persidangan
penyitaan. Jakarta: Sinar Grafika.
Sugeng, Bambang dan Sujayadi. 2012. Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen
Litigasi. Jakarta: Kencana.

14

Anda mungkin juga menyukai