Anda di halaman 1dari 36

PROSEDUR MENGAJUKAN

GUGATAN PERDATA

Dr. Abdul Halim, M.Ag. CM.


Prosedur Mengajukan Gugatan
 Dalam HIR dan R.Bg tdk disebutkan secara tegas
tentang bagaimana seharusnya surat gugat disusun.
 Org bebas Menyusun dan merumuskan surat
gugatannya asal cukup memberikan keterangan
tentang kejadian materiil yang menjd dasar
gugatannya.
TEORI DALAM MEMBUAT GUGATAN
PERDATA

Dalam praktik peradilan (advokat/pengacara)


cenderung menuruti syarat-syarat yang
ditentukan dalam pasal 8 ayat (3) Rv
(Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering)
yaitu surat gugatan harus dibuat secara
sistematis dengan unsur-unsur identits para
pihak , dalil-dalil konkrit tentang adanya
hubungan hukum yang merupakan dasar dari
gugatan serta petitum atau apa yang diminta
atau dituntut.
1. Substantiering theorie
 Teori ini menyatakan bahwa gugatan selain hrs
menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar
gugatan, juga harus menyebut kejadian-kejadian nyata
yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab
timbulnya peristiwa hukum tersebut.
 Bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya,

di dalam gugatan itu ia tidak cukup hanya menyebut


bahwa ia pemilik benda itu, tetapi harus menyebutkan
sejarah kepemilikannya, misalnya karena membeli,
mewaris, hadiah dan sebagainya.
2. Individualiserings theoring
 Teori ini menyatakan bahwa dalam gugatan cukup disebut
peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang
menunjukan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar
gugatan tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata
yang mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-
kejadian tersebut.
 Sejarah terjadinya atau sejarah adanya pemilikan hak milik

atas benda itu tidak perlu dimasukkan dalam gugatan, krn


hal itu dpt dikemukakan dalam persidangan dengan
disertai bukti-bukti seperlunya. (Sudikno Mertokusumo,
1979; 31-32).
 Teori manakah yang paling banyak dipakai
dalam praktik peradilan selama ini?
 Sebenarnya sangat tergantung pada sejarah
berlakunya Hukum Acara Perdata pada jaman
penjajah dahulu .
Teori
 Menurut sistem yang dianut oleh B.Rv
beracara harus dilaksanakan secara tertulis
dan hrs didampingi pengacara yang ahli
hukum
 Maka penyusunan surat gugat itu harus

dibuat secara lengkap, sistematis dan


yuridis. Sebagaimana yang tersebut dalam
teori SUBSTANTIERING THEORIE
 Menurut sistem HIR dan R.Bg beracara didalam
pengadilan tidak mesti harus tertulis, lisanpun
diperkenankan dan juga tdk ada keharusan untuk
mewakilkn kepada advokat atau pengacara.
 Dalam surat gugatan tidak ada format dan

redaksi khusus yang mesti hrs diikuti, tergantung


pada kondisi dan keadaan perkara yang akan
dimajukan kpd pengdilan, hal ini boleh
mengikuti INDIVIDUALISERINGS THEORIE
 Sehubungan dgn Hukum Acara Perdata yg berlaku di
Indonesia sekarang adalah sistem HIR dan R.Bg,
maka penggugat bebas merumuskan surat
gugatannya, asal saja surat gugatan tersebut
mencakup segala hal yang berhubungan dengan
kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya.
 Bila surat gugatan kurang jelas, berdasarkan pasal
119 HIR dan Pasal 143 R.Bg. Ketua Pengadilan
dapat memberikan petunjuk kepada penggugat untuk
memperbaiki gugatannya.
 Karena HIR dan R.Bg tidak menentukan syarat-
syarat tertentu dalam isi surat gugatan, maka para
pihak bebas Menyusun dan merumuskan gugatan
tersebut asalkan cukup memberikan gambaran
tentang kejadian materiil yg menjadi dasar
gugatannya.
 Gugatan yg tdk sempurna krn tdk menyebutkan dgn
jelas apa yg dituntut, hrs tdk dapat diterima. Dia
dapat menggugat Kembali dengan konsekuens
memperbaiki Kembali gugatannya.
GUGATAN TERTULIS
 Gugatan tertulis diatur dalam pasal 118 HIR dan Pasal 142 ayat (1)
R.Bg .
 Dalam kedua pasal tersebut ditentukan gugatan harus diajukan secara

tertulis dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang


mengadili perkara tersebut.
 Surat gugatan yg tertulis hrs ditandatangani oleh Penggugat atau para

Penggugat.
 Jika memakai kuasa hukum, maka yang menandatangani surat gugat

itu adalah kuasa hukumnya (HIR Pasal 123 ayat (1) dan R.Bg Pasal
147 ayat (1).
 Pasal 119 HIR dan 143 R.Bg.,” Ketua Pengadilan berwenang

memberi nasihat dan bantuan kepada Penggugat atau kuasanya


apabila mrk kurang paham mengenai seluk-beluk hukum dalam
mengajukan gugatan kepada pengadilan yang berwenang.”
Surat Gugatan
 Surat gugatan dibuat hrs bertanggal;
 Menyebut dgn jelas nama Penggugat dan tergugat;
 Menyebut umur, agama, tempat tinggal dan jika perlu
disebutkan jg jabatan dan kedudukannya;
 Surat gugatan diketik rapi, jika tdk bisa mengetik dpt ditulis
dengan tangan di atas kertas biasa, tdk perlu pakai materai;
 Surat gugatan dibuat dlm beberapa rangkap, yg asli utk
pengadilan, arsip dan Salinan utk masing-masing-masing
Tergugat dan Turut Tergugat;
 Daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan;
 Membayar persekot uang perkara (Ny.Retnowulan Sutantio,
1989; 13).
Dalam Rv Pasal 8 Nomor 3 menyebutkan bahwa dalam
surat gugatan harus ada pokok gugatan yang meliputi :

 A. Identitas para Pihak


 B. Fundamentum petendi atau posita
 C. Petitum dan tuntutan
 1. tututan pokok dan tuntutan primer
 2. tuntutan tambahan
 3. tuntutan subsider atau penggati
1. Identitas Para Pihak
 Nama Lengkap;
 Tempat dan Tanggal Lahir;
 Pekerjaan;
 Agama;
 Kedudukan sebagai pihak dalam perkara;
 Pihak-pihak yang ada kaitannya dalam perkara; apakah sebagai;
penggugat, tergugat, turut Tergugat, pelawan, terlawan,
pemohon, termohon.
 Jika berbentuk badan hukum/ public atau private hrs secara
tegas disebut tegas siapa yg mewakilinya menurut anggaran
dasar dan peraturan yg berlaku.
2. Fundamentum petendi atau posita

Posita merupakan dalil-dalil konkret tentang


adanya hubungan hukum yang merupakan dasar
serta alasan-alsan daripada tuntutan.
Posita terdiri dari dua bagian yaitu: (1) feitelijke
gronden: menguraikan kejadian-kejadian dan
penjelasan tentang duduknya perkara. (2)
rechtelijke gronden: menguraikan tentang
hukumnya dan tentang adanya hak atau
hubungan hukum.
3. Petitum dan tuntutan

Yakni apa yang diminta atau diharapkan oleh Penggugat agar


diputusan oleh hakim dalam persidangan. Petitum dibagi
kedalam tiga bagian:
 Tuntutan pokok atau tuntutan primer merupakan tuntutan

yang sebenarnya atau apa yang diminta pleh Penggugat


sebagaimana yang telah dijelaskan dalam posita.
 Tututan tambahan merupakan tuntutan pelengkao daripada

tuntutan pokok.
 Tuntutan subsider atau pengganti merupakan tuntutan

untuk mengganti tuntutan utama atau tuntutan pokok jika


ditolak di pengadilan, sifatnya merupakan tuntutan cadangan.
3. Gugatan Lisan
Berdasarkan Pasal 120 HIR dan Pasal 144 ayat (1)
R.Bg dikemukakan bahwa jika orang yang menggugat
buta huruf, maka gugatan dapat diajukan secara lisan
kepada Ketua Pengadilan dan selanjutnya Ketua
pengadilan mencatat segala hal ihwal gugatan itu
dalam bentuk tertulis atau karna suatu hal Ketua
Pengadilan dapat meminta seorang hakim untuk
mencatat dan memformulasikan gugatan tersebut.
GUGATAN LISAN
 Pada dasarnya gugatan harus diajukan
kepengadilan secara tertulis dalam pasal 118 HIR
dan pasal 142 ayat (1) R.Bg.
 Akan tetapi dalam pasal 120 HIR dan pasal 144
ayat (1) R.Bg. Dikemukakan jika seseorang yang
menggugat buta huruf , maka gugatan dapat
diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan dan
selanjutnya ketua pengadilan mencatat segala hal
ihwal gugatan itu dalm bentuk tertulis .
Hal-hal Yang Mungkin Terjadi Dalam
Mengajukan Gugatan Perdata
1. Penggabungan Gugatan
Dilakukan agar perkara itu dapat diperiksa oleh hakim yang sama guna
menghindari kemungkinan adanya putusan yang saling bertentangan.
Penggabungan dapat terjadi dalam tiga bentuk:
a. Perbarengan (Concuersus, Samenloop, Cdincidence), dapat terjadi apabila

seorang Penggugat mempunyai beberapa tuntutan yang menuju pada suatu akibat
hukum saja. Apabila suatu tuntutan sudah terpenuhi, maka tuntutan yang lain
dengan sendirinya terpenuhi pula.
b. Penggabungan subjektif (Subjektive comulatie, Subjektive csamenhang,

Subjektive connection), dapat terjadi apabila Penggugat lebih dari satu orang
melawan lebih dari satu orang Tergugat, atau sebaliknya yang tiap pihak ada
hubungan yang erat satu sama lainnya.
c. Penggabungan objektif (Objektievee comulatie, Objective samenhang,
Objectieve connection), apabila Penggugat mengajukan lebih dari satu objek
gugatan dalam satu perkara sekaligus. Tuntutan-tuntutan yang diajukan harus ada
hubungan yang erat satu sama lain.
2. Perubahan Gugatan
Perubahan pada surat guatan dapat dilakukan atas izin hakim sampai sejauh
mana perubahan itu dapat dilakukan oleh pihak Penggugat.
Perubahan dapat dilakukan dalam bentuk:
a. Diubah sama sekali, berarti gugatan itu diubah sama sekali baik posita

maupun petitumnya.
b. Diperbaiki, perbaikan dilakukan dalam hal-hal tertentu dalam dari gugatan
(kekurangan kata, kalimat, kesalahan ketik atau kelebihan kata).
c. Dikurangi, ada bagian-bagian tertentu dari posita atau potitum gugatan
yang perlu dikurangi.
d. Ditambah, bagian posita atau petitum dari gugatan itu ditambah.

Berdasarkan Pasal 127 Rv, perubahan gugatan dibenarkan


sepanjang tidak mengubah pokok gugatannya.
3. Pencabutan Gugatan
Hal ini tidak diatur dalam HIR dan R.Bg, maka hakim dapat
menyarankan kepada Penggugat untuk tidak meneruskan
gugatannya dan berdamai, karena perdamaian itu lebih baik daripada
perselisihan dan persengketaan.
Berdasarkan Rv, pencabutan gugatan dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut: 1) apabila pencabutan dilakukan sebelum perkara
diperiksa dalam persidangan, maka berdasarkan Pasal 271 Rv tidak
perlu adanya persetujuan dari pihak Tergugat, karena Tergugatan
belum mengetahui adanya gugatan. 2) sebelum gugatan memberikan
jawaban, disini juga tidak perlu mendapat persetujuan tergugat
terlebih dahulum. 3) sesudah Tergugat memberikan jawaban, maka
pencabutan itu harus terlebih dahulu mendapat izin dari Tergugat
GUGATAN YANG TERJADI
DALAM PROSES
PERSIDANGAN
1. Gugatan Provisional
Kata Provisional dalam beberapa literature:
 Dalam Blacks Law Dictionary yang disusun oleh Henry Campbell Black,
provisional diartikan temporary atau preliminary yang berarti sementara.
 Yan Pramadya Putra dalam Kamus Hukum menggabungkan kataprovisional

dengan leputusan Privisionele Beschikking, yaitu keputusan atau penetapan


sementara.
 Dalam Kamus Hukum Belanda-Indonesia yang disusun oleh Foklema Andrea, kata

provisionele berarti sementara dan kata provisionileis berarti tuntutan sementara.


 Drawant Prints memakai istilah “gugatan provisional” dan mendefinisikan sebagai

suatu gugatan untuk memperoleh tindakan sementara selama proses perkara masih
berlangsung.
Gugatan provisional adalah gugatan yang bertujuan agar hakim menjatuhjan
putusannya yang sifatnya mendesak untuk dilakukan terhadap salah satu pihak dan
bersifat sementara disamping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan
Contoh Gugatan Provisional
1) Perdata Umum
Hal adanya sewa menyewa, dalam perjalanan sewa menyewa
tersebut terjadi sengketa antara penyewa dan yang menyewakan,
kemudian pemilik/yang menyewakan lalu merusak bagian atap
dari rumah tersebut supaya penyewa meninggalkan rumah sewa
tersebut. Akhirnya penyewa mengajukan gugatan yang intinya
pemilik rumah/Tergugat telah melakukan cedera janji dan
disamping itu Penggugat/penyewa dapat pula dalam waktu yang
sama mengajukan gugatan provisional agar tergugat segera
dihukum untuk memperbaiki atap rumah yang telah dirusak
tersebut selama proses pokok perkara masih berlangsung.
Perdata Agama
Pasal 24 Ayat (1) dan (2) PP No. 9 Tahun 1975 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagi
berikut:
1. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan Penggugat dan

Tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan.


Pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam
satu rumah.
2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan Penggugat atau

Tergugat, pengadilan dapat:


a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
b. Menetukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak.
c. Menentukan hal-hal yang perlu untu menjamin terpeliharanya barang-
barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Prosedur Pengajukan dan Pemeriksaan
Gugatan Provisional
Dalam praktik gugatan provisi selalu menyatu dengan surat gugatan pokok,
baik dalam posita maupun dalam petitum, hanya saja dipisahkan dengan
subjudul “Dalam provisi” untuk gugatan provisi dan “Dalam pokok perkara”
untuk perkara yang pokok.
Sebelum mengabulkan gugatan provisional hakim harus memerhatikan
petunjuk MA dalam SEMA Bo. 3 Tahun 2000 tanggal 21 Juli 2000 tentang
Putusan Serta-Merta dan Provisional , yang menyatakan bahwa Hakim tidak
menjatuhkan putusan serta-merta/provisional kecuali dalam hal-hal sebagai
berikut:
1. Gugatan didasarkan pada bukti surat autentik atau surat tulisan tangan

(handschrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya,
yang menurut undang-undang tidak mempunyai kekuatan bukti.
2. Gugatan tentang utang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak

dibantah.
c. Gugatan tentang sewa menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain,
dimana hubungan sewa menyewa sudah habis/lapau, atau penyewa
terbukti melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang beritikad baik.
d. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-
gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan
hukum tetap.
e. Dikabulkan gugatan provisional, dengan pertimbangan hukum yang
tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv.
f. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok
gugatan yang diajukan.
g. Pokok sengketa mengenai bezitsrecht.
2. Gugatan Rekovensi
Diatur dalam Pasal 132 a dan 132 b HIR yang disisipkan dalam HIR
dengan Stb. 1927-300 yang diambil alih dari Pasal 244-247 Rv. diatur
pula dalam Pasal 157 dan Pasal 158 R.Bg.
Dalam Hukum Acara Perdata, gugatan rekonvensi ini dikenal dengan
“gugatan balik”.
Tujuan daripada gugatan rekonvensi ini adalah menggabungkan dua
tuntutan yang berhubungan untuk diperiksa dalam persidangan
sekaligus, mempermudah prosedur pemeriksaan, menghindarkan
putusan yang saling bertentangan satu sama lain, menetralisir tuntutan
konvensi, memudahkan acara pembuktian, dan menghemat biaya.
Gugatan rekonvemsi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban
pertama yang diajukan oleh Tergugat, baik tertulis maupun secara lisan.
Menurut ketentuan Pasal 132 a HIR dan Pasal 157 R.Bg dalam setiap gugatan,
Tergugat dapat mengajukan rekonvensi terhadap Penggugat, kecuali dalam tiga hal,
yaitu:
a. Penggugat dalam kualitas yang berbeda.

b. Pengadilan yang memeriksa konvensi tidak berwenang memeriksa gugatan

rekonvensi.
c. Dalam perkara mengenai pelaksanaan putusan.

Adapun proses pemeriksaan perkara konvensi dan rekonvensi dapat dilaksanakan


sebagai berikut:
d. Jika perkara berhubungan erat

Sekiranya ada hubungan erat perkara antara konvensi denga rekonvensi, maka dapat
diperiksa dan diputus secara bersama-sama. Masing-masing dipertimbangan secara
tersendiri dengan sistematis, runtut dengan mendahulukan konvensi daripada
rekonvensi, amar putusan juga harus disusun sistematis dengan mendahulukan
konvensi, baru menyusul dictum rekonvensi.
Lanjutan…

b. Jika perkara tidak berhubungan erat


Sekiranya tidak ada hubungan dengan pokok perkara, maka konvensi
dan rekonvensi boleh dipisahkan. Jika dipisahkan maka konvensi harus
lebih dahulu diputus, setelah itu baru rekonvensinya, dengan ketentuan
bahwa sedapat mungkin diperiksa dan diputus oleh hakim yang sama.
c. Jika ada penggabungan putusan konvensi dan rekonvensi

Kalau gugatan konvensi dinyatakan tidak diterima (NO) maka dengan


sendirinya rekonvensi juga tidak diterima. Sekiranya gugatan itu
dikabulkan, maka keduanya harus dikabulkan, jika ditolak maka kedua-
duanya juga harus ditolak, atau kabulkan konvensi dan tolak rekonvensi
atau sebaliknya.
3. Gugatan Intervensi
Yakni ikut sertanya pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang diperiksa di
pengadilan, dengan menyertai dan memenuhi syarat yang bersangkutan harus
mempunyai kepentingan yang cukup yang apabila ia tidak ikut serta dalam perkara
tersebut, maka ia akan menderita rugi.
Dua macam intervensi:
a. Tussenkoms (Menengahi) adalah masuknya pihak ketiga atas kemauannya

sendiri dalam perkara yang sedang berlangsung dalam sidang pengadilan, untuk
memperjuangkan kepentingannya sendiri dengan tidak memihak kepada
Penggugat atau Tergugat.
Posisi para pihak dalam perkara setelah adanya Tussenkoms sebagai berikut:
PENGGUGAT MENJADI TERLAWAN I
TERGUGAT MENJADI TERLAWAN II
Lawan
PIHAK KETIGA MENJADI PELAWAN
Lanjutan….

b. Voeging (Partijen atau menyertai) adalah suatu aksi hukum yang


dilakukan oleh pihak ketiga dengan jalan memasuki perkara perdata
yang sedang berlangsung antara Penggugat dan Tergugat. Masuknya
pihak ketiga secara sukarela untuk membela salah satu pihak dan
bersama-sama menghadapi Penggugat atau Tergugat.
Posisi para pihak yang bersengketa menjadi sebagai berikut:
1) Bila intervensi memihak kepada Penggugat:

- PENGGUGAT MENJADI PENGGUGAT I


- PIHAK KETIGA MENJADI PENGGUGAT II
Lawan
- TERGUGAT (TERGUGAT ASAL)
Lanjutan
2) Bila intervensi memihak kepada Tergugat:
- PENGGUGAT (PENGGUGAT ASAL)
Lawan
- TERGUGAT MENJADI TERGUGAT I
- PIHAK KETIGA MENJADI TERGUGAT II

c. Vrijwaring (Garantie) adalah aksi hukum yang dilakukan


oleh Tergugat untuk menarik pihak ketiga dalam perkara
yang sedang berlangsung guna menjamin kepentingan
Tergugat dalam menghadaoi gugatan Penggugat.
4. Gugatan dengan Cuma-cuma (Prodeo)

Merupakan gugatan yang dilaksanakan secara cuma-cuma (tanpa biaya) di


pengadilan, dimana terlebih dahulu mengajukan permohonan berperkara
dengan cuma-cuma kepada Ketua Pengadilan dikarenakan pihak Penggugat
atau Tergugat tidak mampu membayarbiaya perkara.
 Permohonan berperkara dengan cuma-cuma dalam tingkat pertama

terlebih dahulu diperiksa oleh hakim dalam sidang insidental yang


memeriksa ketidakmampuannya pihak yang mengajukan gugatan itu kepada
pengadilan. Pihak lawan yang mengajukan permohonan berperkara dengan
cuma-cuma dapat menyangkal bahwa gugat cuma-cuma tersebut dengan
menyatakan bahwa permohonan gugat dengan cuma-cuma adalah tidak
berlasan karena yang mengajukan gugatan adalah orang yang mampu. Jika
hakim menolak permohonan tersebut, maka pemohon gugat dengan cuma-
cuma itu harus membayar ongkos perkara sebagaimana mestinya, namun
jika dikabulkan oleh hakim maka proses pemeriksaan perkara dilanjutjan
Lanjutan
 Permohonan berperkara secara cuma-cuma pada
tingkat banding dapat diajukan oleh oleh para pihak
secara lisan maupun secara tertulis melalui Panitera
Pengadilan Agama. Permohonan tersebut disidangkan
terlebih dahulu oleh Majelis Hakim yang ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan Agam. Hasil pemeriksaan dituangkan
dalam Berita Acara Sidang yang ditanda tangani oleh
Ketua Majelis dan Panitera yang turut siding. Putusan
Tinggi Pengadilan Agama atas permohonan berperkara
dengan cuma-cuma ditingkat banding adalah berupa
“penetapan.”

Anda mungkin juga menyukai