Anda di halaman 1dari 5

PERTEMUAN PERTAMA

Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Acara Perdata

1. Pengertian Hukum Acara Perdata :


Manusia adalah mahluk sosial antara satu dengan yang lainnya saling membutuhkan,
Dalam kehidupan bermasyarakat tiap-tiap individu atau orang mempuyai kepentingan yang
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Ada kalanya kepentingan mereka itu saling
bertentangan yang dapat menimbulkan suatu sengketa. Untuk menghindari gejala tresebut
mereka mencari jalan untuk mengadakan tata tertib, dengan membuat ketentuan atau kaidah
hukum, yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat agar dapat mempertahankan hidup
masyarakat sehingga kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan terlindungi,
apabila kaidah hukum itu dialnggar, maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sangsi
atau hukuman.
Hukum bukanlah hanya semata-mata sekedar dibaca melainkan untuk dilaksanakan
atau ditaati. Jadi pelaksanaan hukum bukanlah saja monopoli dari orang tertentu akan tetapi
hukum harus dilaksanakan oleh seluruh masyarakat dan menjadi kewajiban.
a. Rangkaian peraturan peraturan yang menurut bagaimana orang harus bertindak di muka
pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata ( Prof. DR. Wiryono Projodikoro,
SH.)
b. Keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau
menegakkan hukum perdata materiil dengan peraturan kekuasaan Negara yang terjadi di
pengadilan ( Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH.)
c. Hukum acara perdata juga disebut Hukum formiil, yaitu semua kaidah hukum yang
menentukan dan mengatur acara bagaimana melaksankan hak hak dan kewajiban-
kewajiban perdata sebagaimana yang di atur dalam hukum perdata materil.
Maka dapat diketahui bahwa Hukum Acara Perdata merupakan Hukum yang
mengatur tentang tatacara mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana tergugat
mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana cara hakim bertindak baik
sebelum dan sedang pemeriksaan di laksanakan dan bagaimana cara hakim memutus
perkara yang di ajukan oleh penggugat, serta bagaiman tatacara melaksanakan putusan
sebagaiman mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga hak dan kewajiban
yang telah di atur dalam hukum perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya.

2. Sifat Hukum Acara Perdata


a. Adanya penggugat yang merasa haknya dilanggar
b. Adanya tergugat yang di tarik kehadapan pengadilan karena ia dianggap melanggar hak
seseorang.
c. Apabila penggugatnya banyak maka ada penggugat I, penggugat II dan seterusnya.
d. Begitu juga kalau tergugatnya banyak maka ada tergugat I, tergugat II, dan seterusnya.
e. Adanya turut tergugat yaitu bukan tergugat atau penggugat akan tetapi sebagai
kelengkapan pihak – pihak yang harus diikuti sertakan sekedar untuk tunduk dan taat
terhadap putusan pengadilan.
f. Adanya inisiatif yaitu adanya dan tidaknya suatu perkara harus di ambil oleh seseorang
atau beberapa orang yang merasa bahwa hak mereka dilanggar yaitu penggugat atau para
penggugat.
Yang mula-mula bersifatnya mengatur, dalam pelaksaan menjadi sifatnya memaksa.

3. Sumber Hukum Acara Perdata


a. H.I.R (Herzine indlansch reglement) hukum acara yang berlaku untuk golongan bumi
putra daerah jawa dan Madura.
b. R.V (reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering) untuk golongan eropa dan tionghoa
c. R.Bg (reglement voor de Buitengewesten) untuk golongan bumiputera luar jawa dan
Madura.
d. B.W (Burgelijk Wetboek) kitab undang-undang hukum perdata. Didalamnya memuat:

Buku I tentang perorang II kebendaan III perikatan IV pembuktian dan


kadaluarsa.Perjanjian didalamnya memuat perkawinan,
a. UU No 14 Tahun 1970 jo UU No 4 Tahun 2004 tentang Pokok kekuasaan kehakiman
jo UU No 48 Tahun 2009
b. UU No 2 Tahun 1985 jo UU No 8 Tahun 2004 jo UU No 49 Tahun 2009 tentang
peradilan Umum
c. UU No 5 Tahun 1986 jo UU No 9 Tahun 2004 jo UU No 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
d. UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006 jo UU No 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama.
e. UU No. 14 tahun 1985, UU No 5 Tahun 2004 tentang mahkamah agung jo UU No 3
Tahun 2009
f. UU No. 20 tahun 1947 tentang acara perdata dalam hal banding bagi Pengadilan Tinggi
di Jawa dan Madura sedangkan untuk daerah luar Jawa dan madura diatur dalam Rbg.
Pasal 199-205
g. UU No 1 Tahun 1974 tentang pokok perkawinan dan PP No 9 Tahun 1975 Tentan
pelaksanaan UU perkawinan
h. Kitab undang-undang Hukum perdata buku ke-IV tentang pembuktian dan daluarsa
i. Yurisprudensi : Menurut Prof. Subekti, yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah
“Putusan-putusan Hakim atau Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan
dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah
Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap.
j. SEMA
k. Hukum Adat
l. Doktrin : Pendapat sarjana hukum (doktrin)
adalah pendapat seseorang atau beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu
pengetahuan hukum. Doktrin ini dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusannya.

4. Asas – Asas
a. Hakim berifat menunggu = inisiatif mengajukan tuntutan hak di serahkan sepenuhnya
kepada yang berkepentingan === Pasal 118 HIR/142 RBg.
Asas dari pada hukum acara pada umumnya, termasuk hukum acara perdata ialah
bahwa pelaksanaannya yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan
sepenuhnya pada yang berkepentingan. Jadi apakah akan ada proses apa tidak apakah
suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak sepenuhnya diserahkan pada
pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak maka tidak ada hakim.
Demikian bunyi pameo yang tidak asing lagi (nemo judex since actore).
Jadi tuntunan hak mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim
bersikap menunggu datangnya tuntunan hak diajukan kepadanya: iudex ne procedat ex
oficcio (pasal 118 HIR, 142 RBG), hanya yang menyelenggarakan proses adalah Negara.
Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, hakim tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas
(Pasal 14 ayat 1 UU. No 14/1970 jo UU. No 4/2004 jo. UU 48 tahun 2009). Larangan
untuk menolak memeriksa perkara disebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan
hukumnya (ius curia novit) kalau sekiranya ia tidak dapat menemukan hukum tertulis,
maka ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat, (Pasal 27 UU No 14/1970 jo UU No. 4/2004 jo UU No 48 2009). Hal ini
mempunyai dasarnya pada pasal 5 ayat 1 UU No. 14/1970 jo UU No 4/2004, yang
menentukan bahwa hakim harus mengadili menurut hukum, sedangkan pasal 20 AB
menentukan bahwa hakim harus mengadili menurut undang-undang, sehingga pasal 5
ayat 1 UU No. 14/1970 jo. UU No. 4/2004 jo. UU 48 tahun 2009 itu lebih luas dari pada
pasal 20 AB. Dalam wewenangnya yang lebih luas itu dituntut keterampilaan dan
intelaktualitas dari hakim. Sebaliknya apakah hal ini tidak membuka kemungkinan bagi
hakim untuk dengan mudah meninggalkan undang-undang?
Sekalipun asas yang berlaku adalah “lex posteriori derogate legi priori” namun,
sebagaimana asas mengenal menyimpan atau mengecualikan, maka kiranya disinipun
penyimpangan itu berlaku juga, sehingga pasal 5 ayat 1 UU No 14/1970 jo. UU. No.
4/2004 jo UU 48 tahun 2009 tidak membatalkan pasal 20 AB tapi kedua pasal itu saling
mengisi.
b. Hakim bersifat pasif = ruang lingkup atau luas pokok perkara di tentukan para pihak
berperkara. Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan melebihi dari yang dituntut
c. Persidangan terbuka untuk umum = setiap orang di bolehkan hadir dan mendengarkan
pemeriksaan perkara walaupun ada beberapa perkara yang dilakukan pemeriksaan secara
tertutup. Contoh dalam perkara perceraian.
d. Mendengarkan kedua belah pihak.
e. Putusan harus di sertai dengan alasan-alasan.
f. Beracara di kenai biaya. HIR Pasal 121, dan 145, 192-194 Rbg
g. Beracara tidak harus diwakilkan = bisa langsung pihak yang berperkara beracara di
pengadilan atau dapat di wakilkan. 123 HIR 147 RBg.
h. Sederhana, cepat dan biaya ringan.

Anda mungkin juga menyukai