4. Asas – Asas
a. Hakim berifat menunggu = inisiatif mengajukan tuntutan hak di serahkan sepenuhnya
kepada yang berkepentingan === Pasal 118 HIR/142 RBg.
Asas dari pada hukum acara pada umumnya, termasuk hukum acara perdata ialah
bahwa pelaksanaannya yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan
sepenuhnya pada yang berkepentingan. Jadi apakah akan ada proses apa tidak apakah
suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak sepenuhnya diserahkan pada
pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak maka tidak ada hakim.
Demikian bunyi pameo yang tidak asing lagi (nemo judex since actore).
Jadi tuntunan hak mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim
bersikap menunggu datangnya tuntunan hak diajukan kepadanya: iudex ne procedat ex
oficcio (pasal 118 HIR, 142 RBG), hanya yang menyelenggarakan proses adalah Negara.
Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, hakim tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas
(Pasal 14 ayat 1 UU. No 14/1970 jo UU. No 4/2004 jo. UU 48 tahun 2009). Larangan
untuk menolak memeriksa perkara disebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan
hukumnya (ius curia novit) kalau sekiranya ia tidak dapat menemukan hukum tertulis,
maka ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat, (Pasal 27 UU No 14/1970 jo UU No. 4/2004 jo UU No 48 2009). Hal ini
mempunyai dasarnya pada pasal 5 ayat 1 UU No. 14/1970 jo UU No 4/2004, yang
menentukan bahwa hakim harus mengadili menurut hukum, sedangkan pasal 20 AB
menentukan bahwa hakim harus mengadili menurut undang-undang, sehingga pasal 5
ayat 1 UU No. 14/1970 jo. UU No. 4/2004 jo. UU 48 tahun 2009 itu lebih luas dari pada
pasal 20 AB. Dalam wewenangnya yang lebih luas itu dituntut keterampilaan dan
intelaktualitas dari hakim. Sebaliknya apakah hal ini tidak membuka kemungkinan bagi
hakim untuk dengan mudah meninggalkan undang-undang?
Sekalipun asas yang berlaku adalah “lex posteriori derogate legi priori” namun,
sebagaimana asas mengenal menyimpan atau mengecualikan, maka kiranya disinipun
penyimpangan itu berlaku juga, sehingga pasal 5 ayat 1 UU No 14/1970 jo. UU. No.
4/2004 jo UU 48 tahun 2009 tidak membatalkan pasal 20 AB tapi kedua pasal itu saling
mengisi.
b. Hakim bersifat pasif = ruang lingkup atau luas pokok perkara di tentukan para pihak
berperkara. Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan melebihi dari yang dituntut
c. Persidangan terbuka untuk umum = setiap orang di bolehkan hadir dan mendengarkan
pemeriksaan perkara walaupun ada beberapa perkara yang dilakukan pemeriksaan secara
tertutup. Contoh dalam perkara perceraian.
d. Mendengarkan kedua belah pihak.
e. Putusan harus di sertai dengan alasan-alasan.
f. Beracara di kenai biaya. HIR Pasal 121, dan 145, 192-194 Rbg
g. Beracara tidak harus diwakilkan = bisa langsung pihak yang berperkara beracara di
pengadilan atau dapat di wakilkan. 123 HIR 147 RBg.
h. Sederhana, cepat dan biaya ringan.