Anda di halaman 1dari 5

Mitos Asal-Usul Nama Pulau Timor

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo


Email: ebenhur65@yahoo.co.id

Nama Pulau Timor

Ada beberapa varian penjelasan untuk asal-usul nama Timor. Pertama, Timor adalah kata dalam
bahasa Melayu yang diberikan sebagai kepada pulau yang letaknya di ujung paling Timur dari
gugusan kepulauan setelah pulau Bali. Nama Timor bersalah dari kata Timur untuk menunjuk
kepada tempat matahari terbit.1 Sebelum menjadi propensi mandiri, yakni Nusa Tenggara Timur,
pulau Timor termasuk dalam wilayah propensi Sunda Kecil bersama-sama dengan pulau-pulau
di kawasan Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sekarang.

Pendapat kedua mengenai nama Timor untuk pulau paling Timur dalam gugusan kepulauan
sunda kecil. Nama Timor dihubungkan dengan sebutan para pedagang Cina jaman dinasti Yuan
tahun 1225 untuk pulau yang sangat kaya dengan hasil cendana. Nama yang diberikan untuk
pulau itu adalah Ti-wu atau Ti-men. Data itu disebutkan juga oleh James Fox sebagaimana
dikutip Gregor Neonbasu.2

Varian ketiga menjadikan rasa takut penduduk pribumi Timor saat pertama kali berjumpa dengan
bangsa Portugis sebagai predikat bagi nama Timor. Dikisahkan bahwa ketika bangsa Portugis
pertama kali mendarat di Timor, mereka mencoba membangun komunikasi degan orang-orang
yang ditemui. Tetapi karena orang Portugis berperawakan tinggi, besar dengan penampilan yang
asing dibanding orang-orang pribumi yang primitif maka penduduk takut, melarikan diri dan
bersembunyi. Kata dalam bahwa Portugis untuk takut adalah Temor, bahasa Spanyol = Timeo
sedangkan bahasa Latin adalah Timor. Kata inilah yang kemudian dipakai untuk menyebut pulau
tadi.3

Terlepas dari semua penjelasan tadi orang Timor sendiri memberi nama pah meto untuk pulau
tempat tinggalnya. Pah meto artinya negeri kering. Pilihan nama pah meto menurut Schulte
Nordholt berkaitan dengan kemungkinan letak kawasan pemukiman penduduk asli pulau Timor,
yakni di kawasan pegunungan yang jauh dari pantai atau laut. 4 Betapa pun secara faktual benar

1
P. Middelkoop. (1960). Curse – Retribution – Enmity. A Data in Natural Religion, Especially in Timor,
Confronted with the Scripture. Amsterdam: Drukkerij en Uitgeverij Jacob van Campen. 15.
2
Gregor Neonbasu SVD. (2012). “Sebuah Agenda Untuk Mengkaji Timor.” Dalam: Gregor Neonbasu
SVD : Kebudayaan Sebuah Agenda. Dalam Bingkai Pulau Timor dan Sekitarnya. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. 29-30.
3
Diambil dari tulisan Beny Ulu Meak. (2014). “Sekilas Memahami Pulau Timor.” dalam:
http://oborulumeak. Diunduh hari Jumat 6 Januari 2017 pukul 22.30.
4
H.G. Schulte Nordholt. (1971). The Political System of the Atoni of Timor. The Hague: Martinus
Nijhoff. 1.
demikian tetapi penulis merasa ada penjelasan lain yang lebih pas karena didukung juga oleh
data-data etnografi yang meluas di seluruh Timor.

Nama pah meto mengindikasikan kekurangan hujan dan air terutama saat musim Timur yang
berlangsung dari April – November. Pada rentang waktu itu sebagian besar sungai-sungai
bahkan juga sumur di pulau itu mengalami kekeringan. Sungai Noelmina dan sungai Noelmuti
yang terletak di jalan raya Kupang ke Kabupaten Timor Tengah Selatan dan ke Kabupaten Timor
Tengah Utara laksana dua bidadari yang siap menyambut datangnya para pengunjung dari arah
Kupang ke kota So’e dan Kefamnanu juga mengalami kekeringan hebat pada musim Timur tiba.

Kekeringan menjadi salah satu label yang dipakai orang-orang Timor sebagai predikat bagi
identitasnya. Selain menyebut pulaunya sebagai negeri kering (pah meto), nama untuk bahasa
mereka adalah uab meto (ucapan kering), adat-istiadatnya adalah lasi meto (hukum atau
peradaban orang-orang Timor),5 laki-lakinya disebut atoin meto (laki-laki kering) sementara
penduduk perempuan disapa bife meto (perempuan kering). Penamaan binatang-binatang juga
diberi predikat tadi. Orang Timor asli menyebut sapi atau kerbau, bia meto untuk membedakan
dengan bikase sebutan untuk kuda.

Jadi, penyebutan nama pulau pah meto dengan atribut meto lainnya yang menjadi predikat bagi
identitas penduduk asli pulau Timor bukan sekedar karena tempat pemukimannya yang berada
jauh dari pesisir seperti diterangkan Schulte Nordholt. Penyebutan itu lebih berhubungan dengan
kondisi geografi dan topografi yang dicirikan oleh kekeringan dan kerinduan akan air. Hidup
dalam lingkungan kering membangkitkan kerinduan yang kuat dan dalam dari penduduk pulau
itu akan air. Kerinduan itu secara sosiologis diekspresikan dalam pemberian nama kepada
kampung-kampung tempat tinggal mereka. 80 persen nama kampung di Timor diawali dengan
kata Oe dan Noe(l) yang dalam bahasa Timor artinya air dan sungai. Sebut saja misalnya nama
Oeba, Oepura, Oekabiti, Oekamusa, Oebifai, Noebia’na, Noeko’u, Noesi’u, Noeli’u, Noetoko,
Noelmuti, Noelsinas, Noelmina. Akh…masih banyak lagi nama yang kalau ditulis semuanya
akan membuat pembaca jenuh.

Menurut Dr. R.W. van Bemmelen Pulau Timor bersama dengan Sumba, Rote dan Sabu berada di
jalur luar daerah vulkanis Jawa-Bali sehingga tanahnya relatif kering, tandus dan berbatu-batu.
Itu berbeda pulau Flores, Adonara, Lomblen, Alor dan Pantar yang terdapat dalam jalur dalam
sehingga tanah di pulau-pulau itu gembur dan subur.6 Kondisi geografis pulau Timor sendiri
adalah permukaan yang tidak rata, terdapat banyak gunung batu dalam ukuran yang lumayan
besar. Penelitian terpisah yang dilakukan oleh Professor Jonker dan professor Brouwer
menunjukkan bahwa Timor merupakan pulau yang muncul dari dasar laut akibat dari adanya
5
Chr. G.F. de Jong. (2006). Als hunner één. Brieven van Piet en Jet Middelkoop West-Timor, 1922 –
1942. Zoetemeer: Uitgeverij Boekencentrum. 92. Lihat juga H.G. Schulte Nordholt. The Political
System… 424.
6
Frank L. Cooley. (1976). Benih Yang Tumbuh XI. Memperkenalkan Gereja Masehi Injili di Timor.
Jakarta: Lembaga penelitian dan Studi DGI. 19.
letusan gunung berapi pada masa yang sudah lama sekali berlalu. Kesimpulan ini didukung oleh
beberapa bukti. Di puncak gunung tertinggi pulau Timor, yakni di wilayah Kapan dan juga di
banyak dataran tinggi lainnya ditemukan banyak kulit-kulit kerang berukuran besar, juga banyak
batu-batu karang laut yang bisa dipakai untuk bahan bangunan. Orang Timor sendiri menyebut
bebatuan itu fatu putun, arti harafiahnya batu yang hagus terbakar.7

Mitos Asal-Usul Pulau Timor

Orang Timor tradisional (atoin meto) memiliki hikayat khusus yang bercorak mistis dan kosmis
untuk menjelaskan fenomena unik dari kenyataan geografi itu. Hikayat itu dihubungkan dengan
citra atau simbol cecak atau buaya yang nampak secara dominan dalam berbagai karya seni
tradisional suku asli Timor. Cecak atau buaya muncul dalam anyam dari daun lontar atau gebang
dan ditaruh di dinding sebagai dekorasi. Figur cecak juga muncul dalam motif tenunan. Juga
pada sebagian besar ukiran suku Atoni yang mendiami kabupaten itu, seperti pada tempat sirih
(oko mama), tempat kapur + tembakau (tiba) motif yang berasosiasi dengan cecak atau buaya
nampak dengan sangat jelas. Itu nampak umpamanya dalam motif-motif berbentuk belah ketupat
(mengacu pada kepala cecak atau buaya), atau bulat telur (mengingatkan pada badan dari kedua
binatang ini). Kain tenun ikat yang merupakan karya seni unggulan dari penduduk asli pulau
Timor motif dan corak rias yang berasosiasi kepada simbol cecak juga muncul secara melimpah.

Tidak sedikit mitos di kalangan penduduk pribumi pulau Timor yang menghubungkan
kesejahteraan ekonomi dan kehidupan tentran-nyaman dengan buaya. Di Belu Selatan ada
sebuah mitos yang menghubungkan seorang laki-laki dengan buaya. Dia berjanji akan selalu
berkunjung dua kali setahun selama musim menanam. Di wilayah ini, dalam kawasan yang subur
masyarakat menanam jagung dua kali setahun. Kesuburan itu dihubungkan dengan janji si
buaya.8 Kerbau, sapi, kuda diyakini sebagai pemberian dari buaya kepada penduduk pah meto
sebagai wujud terima kasih kepada seorang atoni yang membantu mengeluarkan sebuah mata
kail yang tersangkut di tenggorokan raja buaya. Krayer van Aalst menulis lebih dari dua mitos
tentang itu.9 Di Kupang ada cerita bahwa seekor anak buaya terhempas oleh angin puyuh sampai
ke kawasan pengunungan. Buaya itu sudah sekarat dan menjelang ajal karena tidak menemukan
air. Seorang laki-laki iba melihat buaya kecil itu. Ia membawa anak buaya itu ke mata air yang
ada Tarus, tanjung Manikin. Sebagai ungkapan terima kasih, si buaya menyuruh laki-laki itu
membuat kandang berbentuk bulat sebesar kemampuannya. Tujuh hari kemudian kandang itu
sudah penuh dengan buaya.10 Juga ada mitos serupa yang berasal dari kampung Fatu-feto dan

7
P. Middelkoop. Curse – Retribution – Enmity…. 15.
8
H.G. Schulte Nordholt. The Political System… 324,
9
Ebenhaizer I Nuban Timo. Surat-Surat dari Kapan… 228-235; 525-539.
10
H.G. Schulte Nordholt. The Political System… 324.
Nunhila di sekitar kota Kupang. Kisah itu dicatat masing-masing oleh Schulte Nordholt11 dan Le
Grand.12

Jelasnya, buaya menempati tempat yang unik dalam keyakinan religius suku Atoni. Buaya…
yang dalam berbabagi motif tenun ikat dan ukiran dirupakan sebagai cecak adalah representasi
dari Yang Kudus di antara mereka. Kalau keluarga sedang melakukan percakapan dan terdengar
bunyi cecak atau tokek, mereka bersukacita. Ini pertanda bahwa Tuhan Yang Maha Tinggi
mengikuti dan merestui hal yang mereka percakapan. 13

Keyakinan religius ini membuat suku ini tidak segan menjadikan cecak, terutama buaya sebagai
obyek penyembahan. "Selain buaya tidak ada binatang lain yang mendapat penghormat besar
dari suku Atoni di Timor." Begitu kata John Hessing, seorang pendeta Belanda yang tinggal di
Babau dalam sebuah tulisannya berjudul "Krokodillenvereering op Timor" dalam De Timor-
Bode Mei 1919. "Suku Atoni menyembah Buaya karena menganggap binatang ini sebagai
penguasa lautan, sungai, pemberi hujan kesejukan, kesuburan dan kesejahteraan. Singkatnya,
buaya adalah Sang Penguasa Air."14

Tempat buaya atau cecak dalam keyakinan religius penduduk asli pulau Timor makin menjadi
sentral kalau dihubungkan dengan bentuk pulau Timor yang nampak seperti seekr buaya yang
sedang tidur lelap. Seorang anthropolog Eropa tak segan-segan menyebut pulau Timor dengan
sebutan: "the island of the sleeping crocodile"15 (Pulau dari buaya yang sedang tidur lelap).
Ketika membaca tulisan itu saya penasaran mencari latar-belakang sebutan itu. Misteri nama "the
sleeping crocodile" baru saya peroleh saat mengikuti tayangan televisi mengenai perayaan hari
kemerdekaan negara Republik Demokratik Timor Lorosa'e. Dalam perayaan itu sekelompok
penari mengarak sebuah lampion panjang menyerupai buaya yang di atas punggungnya duduk
seorang anak laki-laki. Dalam arak-arakan ini dipentaskan kembali secara visual mitologi masa
lalu mengenai munculnya pulau Timor dan kehidupan manusia di atasnya.16

Menurut mitos itu seekor anak buaya dalam keadaan sekarat di suatu tempat kering karena tidak
tahu jalan ke laut. Seorang anak merasa iba. Ia mengambil anak buaya itu lalu membawanya ke
pantai. Pada waktu buaya itu masuk ke dalam air, laut menjadi naik sehingga tidak ada lagi

11
H.G. Schulte Nordholt. The Political System… 324.
12
Le Grand. De Timor-Bode, No. 68 Desember 1921 dalam: Ebenhaizer I Nuban Timo. (2017). Kupang
Punya Cerita. Salatiga: Fakultas Teologi Univeritas Kristen Satya Wacana. 272-3,
13
Eben Nuban Timo. Sidik Jari Allah Dalam Budaya. Maumere: Penerbit Ledalero.
14
John Hessing, "Krokodillenvereering op Timor" dalam: De Timor-Bode Mei 1919. 85
15
Tim Severin. (1997). The Islands Voyage. In Search of Wallace. London: Little, Brown and Company.
149.
16
Saya menyaksikan tayangan itu di TV Belanda tahun 2000 saat saya pada posisi tahun terakhir
mempersiapkan disertasi saya di bidang teologi.
daratan. Hidup anak laki-laki itu terancam. Sebagai ungkapan terimakasih, buaya itu
menawarkan punggungnya kepada si anak dan berjanji akan melindungi si anak dari segala
bahaya. Demikianlah si anak dibawa berkeliling samudra oleh buaya tadi. Seiring berjalannya
waktu usia buaya itu makin bertambah. Saat menjelang ajal, si buaya berenang ke satu tempat.
Dengan penuh harapan dia meminta anak itu dan keturunan untuk tetap tinggal di atas
punggungnya. Mereka diperbolehkan menikmati apa saja yang tersedia dipunggung serta di
dalam tubuh sang buaya untuk kesejahteraan hidupnya. Akhir cerita buaya itu kemudian mati.
Bangkai tubuhnya lalu berubah menjadi daratan, yakni pulau Timor yang kini didiami oleh suku
Atoni. Hamparan gunung di sepanjang pulau itu, gunung-gunung yang lebih banyak batu
ketimbang tanah, juga kondisi geografi yang kering dan tandus adalah residu dari tubuh buaya
yang bermetamorfosa menjadi daratan atau tanah Timor.17

17
Bert en Jannier Kramer. (2002). “De geboorte van een staat,” dalam: Vandaar. Het tijdschrift voor
missionair en diaconaal werk in binnen- en buitenland. Utrecht: September 2002. 22. Lihat juga Nyoman
Suarjana. (1993). Cerita Rakyat dari Timor Timur. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. 1-6.

Anda mungkin juga menyukai