Anda di halaman 1dari 13

TUGAS SENI BUDAYA

“PULAU ROTE”

O
L
E
H

NAMA : Cyntia Mansula


KELAS : X OTKP 3

SMK NEGERI 1 KUPANG


2019/2020
MENGENAL BUDAYA ROTE

Rote adalah sebuah pulau yang dahulu dikenal dengan sebutan “Lolo Neo Do Tenu
Hatu” sebagian lagi menyebutnya dengan nama “Nes Do Male” atau “Lino Do Nes” yang
berarti pulau yang sunyi dan tidak berpenghuni. Nama atau sebutan Rote berawal dari
kedatangan pedagang-pedagang Portugis dan kegiatan misionaris di Indonesia sejak tahun
1512 hingga 1605.
Dalam sebuah cerita digambarkan di sebelah utara timur laut pulau Rote muncul kapal-
kapal Portugis yang berlabuh. Pada saat itu mereka bertemu dengan salah seorang penduduk
asli pulau tersebut dan bertanya, “tempat apakah ini?”, dan dengan tidak mengerti apa yang
dimaksud, orang tersebut menjawab dengan menyebut namanya sendiri, “Rote”, yang
dipahami oleh pendatang Portugis sebagai nama dari tempat tersebut. Bermula dari peristiwa
tersebut pulau Rote yang sekarang menjadi satu kesatuan Kabupaten dalam Propinsi Nusa
Tenggara Timur, dikenal dengan nama Rote. Pembenaran dari cerita tentang asal mula nama
Rote didukung dengan adanya penduduk asli yang terdapat di Rote Timur, yang juga memiliki
marga “Rote”.
Dalam sebuah arsip pemerintahan Hindia Belanda Pulau Rote ditulis dengan nama
“Rotti” atau “Rottij”. Belum dapat dipastikan asal-usul sesungguhnya masyarakat Rote.
Sekiranya berdasarkan berbagai pandangan serta argumen yang disampaikan untuk
memperkuat macam pendapat tentang asal-usul masyarakat Rote sebelumnya butuh untuk
dikaji lebih lanjut.
Lewat penuturan syair yang dibawakan oleh para ketua adat, digambarkan bawah
dahulunya pulau Rote yang awalnya tidak berpenghuni kemudian didiami oleh sebuah
kelompok suku yang menurut cerita berasal dari tanah atas atau Lain Do Ata (sebelah utara).
Dalam sumber lain dikatakan juga bahwasanya penduduk pertama yang mendiami
pulau Rote adalah berasal dari Ceylon, sekarang dikenal dengan nama Sri Lanka. Hal ini
disampaikan berdasarkan fakta tentang kesamaan nama-nama tempat, pola kekerabatan antara
orang Rote dan Ceylon, serta cara-cara orang Ceylon dalam hal menyadap lontar untuk
memperoleh nira. Menanggapi pernyataan di atas, jika benar penduduk pertama yang
mendiami pulau Rote adalah benar mereka yang berasal dari Ceylon, maka kemungkinan awal
kedatangan mereka bersamaan dengan dominasi imigran-imigran dari utara. Hal ini bermula
ketika Dinasti Chola yang saat itu memperluas daerah kekuasaannya, dimana mereka
menganeksasi Ceylon serta pulau-pulau lain disekitarnya, dan pada tahun 1025 mereka
menyerbu Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan Semenanjung Melayu pada tahun 1068 sampai
1069. Setelah dominasi tersebut mulailah etnis Asia Tenggara diserbu oleh imigran-imigran
dari utara, dimana India dan Ceylon menjadi sumber pengaruh budaya. Pendapat lain
mengatakan tentang asal masyarakat Rote yang berasal dari pulau Ceram/ Seram. Adalah
sebuah pulau yang terletak di sebelah utara pulau Ambon yang kini menjadi satu kesatuan
daerah dalam Propinsi Maluku, dimana dari seluruh kepulauan di Maluku, pulau Ceram
merupakan pulau tertua dari struktur geologi yang pada zaman Pleistoceen masih terdapat
hubungan antara daratan Asia Tenggara dengan kepulauan Indonesia bagian barat.
Berdasarkan cerita-cerita rakyat yang ada mengatakan bahwa kedatangan penduduk
pertama di pulau Rote berasal dari sebuah tempat yang bernama Dai Laka, adalah salah satu
tempat yang berada di pulau Ceram. Mereka yang datang pertama kali adalah sebuah keluarga
yang dikenal dengan marga Oke Mie. Dari pulau Ceram mereka berlayar menyebrangi Selat
Pukuafu hingga tiba di pulau Rote. Setelah Oke Mie datang dengan keturunannya, datang juga
satu kelompok keluarga yang kemudian bermukim di sebuah kampung di Pantai Bilba yang
bernama Danohloon. Serbuan penduduk pulau Ceram menuju Rote juga datang dari suku
Alifuru. Suku Alifuru menurut cerita-cerita rakyat di Maluku khususnya Maluku Tengah
merupakan penduduk asli dari pulau Ceram atau Pulau Ibu (Nusa Ina) yang kemudian
menyebar dan mendiami pulau-pulau sekitarnya. Alifuru yang dalam bahasa setempat yang
berarti manusia awal, merupakan pencampuran antara bangsa Kaukasus, Mongol dan bangsa
Papua, yang oleh seorang antropolog A.H. Keane disebut dengan istilah bangsa Alfuros.
Mengacu pada kedua pandangan serta argumen yang disampaikan mengenai asal-usul
penduduk pertama yang mendiami pulau Rote.
Dalam hal ini kemungkinan yang lebih relevan untuk dikemukakan ialah pendapat
kedua, yang mengatakan bahwa penduduk pertama yang mendiami pulau Rote adalah mereka
yang berasal dari pulau Ceram. Kemungkinan ini sangat relevan jika melihat letak geografis
antara pulau Ceram dan pulau Rote, yang jauh lebih dekat bila dibandingkan dengan jarak
geografis Ceylon/ Sri Lanka. Hal yang terpenting dari kemungkinan ini adalah, adanya
kemiripan budaya dalam segi penggunaan istilah/ bahasa antara penduduk pulau Rote saat ini
dan pulau Ceram.
Masyarakat Rote mengenal sebuah sistem kemasyarakatan yang disebut dengan istilah
Nusak. Nusak sebagai sistem kemasyarakatan merupakan sebuah daerah hukum yang bersendi
pada hubungan daerah, dimana di dalamnya terdiri dari sekumpulan masyarakat seketurunan
yang dipimpin oleh Manek (raja) dan seorang Fettor sebagai pendamping.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Rote selain ada pemimpin dan pendamping yang
di sebut Fettor, terdapat pula simbol-simbol lain yang diberikan kepada individu-individu
tertentu sesuai dengan kemampuan dan tugasnya masing-masing. Hal ini merupakan
perwujudan dari upaya untuk membangun dan mengatur kehidupan bermasyarakatnya melalui
sebuah sistem kemasyarakatan yang baik melalui sistem sosial yang terintegrasi.
Dikatakan bahwa kesatuan hidup manusia dalam kerangka hubungan sosial
menghasilkan suatu kerangka dasar kehidupan yang berkait dengan aspek konsep, perilaku dan
wujud nyata dari sebuah tatanan kebersamaan. Adalah political institutions, sebuah pranata
budaya dalam sebuah masyarakat yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk
mengatur kehidupan berkelompok.
Adapun macam-macam peran dan fungsinya antara lain adalah sebagai berikut; Mane
Songgo (bagian kerohanian), Mane Dope (hakim), Mane Dae Langgak (mengurusi bagian
pertanahan dan pertanian), Mane Lala (penegak hukum bagian persawahan), Langga Mok
(penegak hukum dalam bidang pertanian/ ladang dan kebun), Mane Holo (penegak hukum
dalam bidang kelautan, hutan, dan tanaman di dalam kampung), Langgak (kepala kampong),
Lasin (semacam RT). Sistem kemasyarakatan yang dibangun di Rote lewat setiap Nusak-nya
memberikan sebuah bangunan yang kokoh dalam keselarasan kehidupan bermasyarakatnya.
Hal tersebut tidak lepas dari konsep kepemimpinan Nusak-nusak di Rote, dimana hubungan
antara pemimpin (raja) dan rakyat terdapat sebuah komitmen untuk saling menghormati dan
menjaga antara keduanya.
Dalam sebuah ungkapan adat terdapat sebuah konsep tentang hubungan antara
pemimpin dan rakyatnya yang berbunyi “Tungga Manaparenda Dean”, yang memiliki arti
keharmonisan dalam kehidupan, dimana pemimpin sebagai penguasa selalu berdiri di depan
dan rakyat sebagai pengikutnya dibelakang sang pemimpin mengikuti jejak sang pemimpin.
Meski demikian adanya kehidupan masyarakat Rote tetap menjunjung tinggi sebuah demokrasi
dan hak asasi. Setiap kesalahan baik dari masyarakat maupun pemimpin tetap dikoreksi dan
yang salah tetap akan mendapatkan sebuah sangsi, dimana semua orang di mata hukum adalah
sama. Seperti halnya bila seorang Raja mendapat mosi tidak percaya oleh rakyatnya, maka ia
harus mengundurkan diri.
Dalam Nusak Thie misalnya, menurut hukum adat bila seorang Raja dikirimi sejenis
material, seperti daging/ kaki seekor kuda, maka sudah barang tentu Raja yang pada saat itu
memimpin harus mundur. Hal ini merupakan sebuah simbol ketidakpercayaan rakyat pada Raja
tersebut. Menanggapi konsep demokrasi yang terdapat dalam setiap Nusak di Rote. Perlu untuk
dipahami bahwa, konsep pewarisan kerajaan di Rote tidak mengenal istilah putra mahkota,
yang ada adalah Ana Manek atau anak raja. Raja dalam Nusak di Rote dipilih oleh rakyat
berdasarkan kemampuannya, dan bukan ditentukan oleh pewaris selanjutnya sebagaimana
yang terjadi dalam konsep putra mahkota.
Dalam sebuah sifat sistem pelapisan masyarakat, konsep pemilihan raja oleh
masyarakat Rote dikenal dengan istilah open social stratification, adalah suatu sistem dimana
setiap masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk
naik pada sebuah tahapan lapisan, dan sebaliknya bagi mereka yang dirasa tidak mampu akan
turun pada lapisan yang bawah.
Masuknya ekspansi Belanda di Indonesia yang ditandai dengan direbutnya benteng
Portugis di Ambon pada tahun 1605, dan pendirian Batavia di Jakarta di bawah pimpinan J. P.
Coen pada tahun 1619. Merupakan awal dari sebuah usaha pemerintahan Belanda yang telah
menduduki sebagian besar wilayah Indonesia untuk memperluas daerah kekuasaannya, tidak
terkecuali dengan Rote. Keberadaan pemerintahan Belanda di Rote mempengaruhi tatanan
masyarakat yang ada sebelumnya, oleh inisiatif pemerintahan Belanda kala itu dibentuklah
sebuah kerajaan-kerajaan mini di Rote berdasarkan Nusak-nusak yang ada. Kebijakan
pemerintah Belanda dengan politik divide et impera yang kemudian merubah tatanan
kehidupan masyarakat Rote dari kesatuan adat menjadi kerajaan, merupakan sebuah siasat dari
upaya pemerintahan Belanda dalam hal untuk mempermudah penguasaan dan pengaturan atas
daerah jajahan maupun target jajahan. Nusak yang sebelumnya merupakan sebuah kesatuan
yang dibagi berdasarkan masyarakat seketurunan beralih menjadi kesatuan wilayah (teritorial).
Berikut adalah sembilan belas Nusak-nusak yang terdapat di Rote; Nusak Delha, Nusak
Thie, Nusak Oenala, Nusak Ndao, Nusak Dengka, Nusak Lelain, Nusak Ba’a, Nusak Lole,
Nusak Termanu, Nusak Keka, Nusak Talae, Nusak Korbafo, Nusak Diu, Nusak Lelenuk,
Nusak Bokai, Nusak Bilba, Nusak Ringgou, Nusak Oepao, dan Nusak Landu. Pembentukan
wilayah teritoril ini merupakan titik balik perubahan tatanan hidup masyarakat Rote menuju
sebuah tatanan hidup yang lebih terbuka. Tatanan hidup yang sebelumnya bersifat tribal
menjadi sebuah adat normatif yang semakin bervariasi dan bersifat kompleks. Kehidupan
masyarakat yang bersifat tribal tersebut, yaitu masyarakat yang terbatas, kecil dan tertutup,
berubah menjadi masyarakat etnik terbuka.
Masyarakat Rote tidak hanya terbagi berdasarkan Nusak yang ada melainkan juga
terbagi oleh berbagai macam suku yang terdapat dalam setiap Nusak-nya, yang masing-masing
dari Nusak tersebut memiliki klasifikasi tersendiri mengenai pembagian suku-sukunya. Seperti
dalam Nusak Thie misalnya, yang terdiri dari dua puluh lima suku, dimana dari ke-dua puluh
lima suku tersebut terbagi lagi atas dua kelompok suku besar yaitu suku Sabarai dan Teratu.
Adapun pembagian kelompok-kelompok masyarakat di Rote selain pembagian
berdasarkan Nusak dan suku yang ada, terdapat juga pembagian kelompok masyarakat yang
disebut dengan istilah Leo dan Teidalek. Leo adalah sekelompok masyarakat yang terdiri dari
keluarga-keluarga batih yang lahir dari satu keturunan tertentu, sedangakan Teidalek atau juga
yang dikenal dengan istilah Uma Isi adalah orang yang lahir dari satu kandungan.
Jauh sebelum masuknya agama Kristen di Rote, masyarakat Rote mengenal sebuah
kepercayaan tradisional yang disebut Halaik atau Dinitiu. Baik Halaik maupun Dinitiu
merupakan kepercayaan yang bersifat animisme dan dinamisme, yaitu sebuah kepercayaan
tentang keberadaan penguasa tertinggi alam semesta yang disebut Lamatuak atau Lamatuan
(Yang Maha Agung/ Kuasa). Seiring dengan masuknya pengaruh agama Kristen di Rote,
perlahan pemeluk kepercayaan ini mulai berkurang. Hal ini dikarenakan masyarakat Rote yang
ada pada masa itu, secara bertahap mulai memeluk agama Kristen yang masuk bersamaan
dengan ekspansi pemerintahan Belanda. Pesatnya perkembangan agama Kristen di Rote tidak
dapat dipisahkan dengan sosok Raja FoE Mbura, yang memiliki peran penting dalam
membantu penyebaran agam Kristen di Rote. FoE Mbura adalah anak dari Raja Thie yaitu
Mbura Messa. Mbura Messa adalah Raja pertama yang memeluk agama Kristen, yang setelah
dibaptis pada tahun 1726 bernama Yeremias Messakh. Pada tahun 1729 Raja FoE Mbura
dibantu oleh orang Bugis-Makassar, membuat sebuah perahu yang digunakan untuk berlayar
ke Batavia dengan misi untuk mempelajari agama Kristen dan Pendidikan. Dalam perjalanan
tersebut Raja FoE Mbura mengikut sertakan Raja dari Lelain, Ba’a, dan Lole, dan kembali ke
Rote pada tahun 1732. Selain mendapatkan pencerahan tentang agama serta pengetahuan
tentang pendidikan, hal lain yang diperoleh dari perjalanan tersebut ialah pengetahuan tentang
teknik penyulingan tuak/ nira. Jasa Raja FoE Mbura untuk pembangunan daerah Rote
khususnya bidang agama dan pendidikan sangatlah berharga. Hal ini terbukti dengan pesatnya
perkembangan pendidikan di Rote, dimana pada tahun 1754 di Rote telah terdapat enam
sekolah dengan murid yang berjumlah 3.000 siswa, dimana para siswa juga diajarkan bahasa
Melayu yang saat itu digunakan sebagai bahasa pengantar. Hingga kini total sekolah yang
terdapat di Kabupaten Rote dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Umum
(SMU) baik negeri maupun swasta telah mencapai 182 sekolah dengan jumlah murid secara
keseluruhan mencapai 25.953 murid.
PAKAIAN ADAT ROTE

Menelusuri perkembangan Teknologi Tenun lkat di Pulau Rote, diperkirakan sejak


masa sejarah orang Rote sudah mengenal Tekhnologi menenun. sebelum mengenal kapas,
mereka membuat Kain Tenun dari bahan serat gewang. Tenunan yang dihasilkan berupa
sarung yang disebut lambi tei dan selimutyang disebut Lafe tei, dipakai sebagai pakaian harian
maupun pakaian pesta. Tahun 1994 Tim Survei dan pengadaan Koleksi Museum mengunjungi
Pulau Rote,
Pada saat itu masih dijumpai seorang Nenek di Kampung Boni- Kec. Rote Barat Daya
yang masih menggunakan kain dari bahan serat gewang. Begitu dalamnya kecintaan sang
nenek terhadap kain tenun dari serat gewang,
Hingga akhirnya nenek tersebut pun enggan bahkan tidak mau menggunakan kain
tenun dari benang kapas.
Masuknya Bangsa-bangsa luar ke Pulau rote, membawa perubahan pada berbagai aspek
budaya termasuk teknologi Tenun. Penggunaan serat-serat tumbuhan mulai terganti dengan
serat kapas yang diperkenalkan oleh para lmigran, seperti : serat kapas, dll. serat kapas
merupakan serat terpopuler di dunia' kain yang terbuat dari serat ini disebut kain katun. serat
kapas berasal dari tanaman Gossypium, sejenis belukar dengan tinggi antara 120-180 cm' Pada
awalnya tanaman ini ditemukan di lndia sekitar tahun 5000 SM kemudian menyebar ke Barat
dan Timur hingga ke wilayah Nusantara' sampai abad 19 wilayah Nusantara berswasembada
lahan katun. Dengan diterapkannya politik Tanam paksa oleh Kolonial Belanda, maka
pembudidayaan kapas mulai merosot dan sejak itu benang katun Amerika dan lndia menguasai
pasar Nusantara.
RUMAH TRADISIONAL PULAU ROTE

Rumah unik dari pulau lontar atau Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan
salah satu pulau yang daratannya di hiasi Pohon Lontar, masyarakat sekitar biasa menyebutnya
Pohon Tuak, dan juga di kelilingi oleh lautan luas yang indah dan beragam, bahkan ada salah
satu pantai yang terkenal dengan keindahan laut dan ombaknya bahkan terkenal sampai ke
manca negara dan di jadikan Tournament Surfing International pada bulan September-Oktober
setiap tahunnya di pantai Nemberala atau pantai Bo’a
Namun kali ini tidak akan dibahas tentang keindahan laut tapi keunikan Rumah
Tradisonal yang terletak dekat laut. Rumah tradisional Rote memilki bentuk, struktur,
konstruksi, dan material yang unik yang di sesuaikan dengan kondisi lingkungan pulau Rote.
Pada atap memiliki kemiringan yang curam menggunakan penutup daun alang-alang atau daun
kelapa ataupun daun pohon lontar. Pondasi rumah menggunakan konstruksi tiang kayu yang
ditanam dalam tanah. Dinding rumah tradisional dari batang daun pohon kelapa (pelepah)
masyarakat sekitar menyebutnya kayu bebak, papan kayu, papan batang kelapa atau papan
batang pohon lontar, tapi pada umumnya menggunakan masyarakat sekitar pelepah sedangkan
lantai rumah masih tanah alami tanpa di lapisi apapun.
MAKANAN KHAS

Bila anda berkunjung ke Pulau Rote jangan lewatkan untuk menikmati sensasi makan-
makan khas Pulau yang berada paling selatan di kawasan Indonesia ini. Makanan khas Rote
ini mungkin akan terasa berbeda di lidah anda karena tiap daerah biasanya memiliki kekhasan
bumbu/ rempah-rempah dalam tiap masakanya, dan selain bumbu yang berbeda terkadang cara
memasak dan menyajikanya pun berbeda sehingga timbulah ras unik.

1. Gula Air

Gula air adalah air nira, air yang diambil dengan cara menderes pohon kelapa. Di Rote
nira hampir menjadi makanan pokok, warga Rote hampir setiap hari meminum nira dan
dalam masakanyapun banyak menggunakan gula air/ air nira. Orang Rote percaya bahwa
nira dapat menyembuhkan penyakit magg.

2. Lawar Ikan

Lawar ikan merupakan masakan khas Rote Ndao yang berbahan dasar ikan laut yang
kecil- kecil. Ikan ini disebut dengan nama ikan teri atau ikan sardine. Cara membuat
makanan ini cukup sederhana yaitu anda harus menyediakan ikan teri yang sudah dicuci,
siram ikan dengan cuka, setelah itu masak dengan bumbu yaitu cabe,bawang, dan daun
kemangi. Jangan lupa memakan lawar ikan ini didampingi nasi hangat agar lebih sedap.

3. Jagung Bose

Makanan khas Rote selanjutnya yaitu jagung bose, jagung bose merupakan sajian bubur
yang berbahan dasar jagung dna kacang turis(sejenis kacang tanah), makanan ini biasa
dihidangkan dengan daging se’i, karmanaci,dan lawar ikan. Jagung bose memiliki kasiat
yaitu menurunkan darah tinggi, dan diabetes. Tapi jagung bose ini tidak dianjurkan untuk
dikonsumsi oleh orang yang memiliki riwayat penyakit maag dan ibu hamil. Cara membuat
jagung bose anda cukup menyiapkan jagung, kacang turis,dan daun pepaya. Untuk cara
mebuatnya rendam jagung agar lunak lalu tumbuk menggunakan lesung dan tambahkan
daun pepaya, tumbuk sampai kulit ari terkelupas, pisahkan antara kulit ari dengan jagung.
Rebus kacang turi dan masukan jagung yang sudah halus. Setelah matang angkat jagung
bose dan anda bisa menikmatinya.

4. Daging Se’i

Daging se’i adalah daging asap yang dipotong dengan irisan tipis dan memanjang. Pada
awalnya dulu se’i menggunakan daging hewan buruan diantaranya rusa dan babi hutan,
namun kini se’i sudah dimodfikasi menjadi menggunakan daging sapi. Pengasapan daging
se’i ini menggunakan alat yang namanya kosambi yang akan memberikan aroma dan
sensasi berbeda dari daging asap biasanya.
5. Susu Goreng

Susu goreng salah satu makanan khas Rote yang wajib anda coba karna rasanya yang
unik yakni paduan gurih dan lehit susu serta manis dari gula air. Susu goreng ini akan sangat
mudah anda temui bila anda berkunjung ke pulau rote. Cara membuat susu goreng ini anda
membutuhkan bahan tentunya susu, yaitu susu kerbau segar, dan gula air.
ALAT MUSIK ROTE

Sasando, alat musik tradisional asli Pulau Rote ini mungkin telah akrab di telinga kita.
Namun ikhtiar untuk melestarikan alat musik ini tidak gampang. Maklum, sebagaimana nasib
alat tradisional lain, tak banyak generasi milenial yang bersedia melirik, apalagi
memainkannya. "Alat musik sasando sudah ada sejak abad ke-7, tapi sampai saat ini baru
bisa dimainkan segelintir orang," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Kabupaten Rote Ndao Melkias Rumlaklak pada 2015 lalu. Karena itu, pemerintah Nusa
Tenggara Timur pernah melontarkan gagasan untuk memasukkan sasando dalam kurikulum
muatan lokal (mulok) di sekolah di Pulau Rote. Apakah keistimewaan alat musik berdawai
ini? Harpa, piano, dan gitar mungkin menjadi temuan paling bersejarah dan berarti dalam
dunia musik. Namun pada sasandolah kombinasi suara dari tiga alat musik tersebut bisa
terdengar. Jadi, meskipun ini merupakan alat musik tradisional, universalitas sasando sangat
terasa dan tak diragukan. Alat musik ini tergolong cordophone, yang dimainkan dengan
memetik dawai yang terbuat dari kawat halus. Resonator sasando terbuat dari daun lontar,
yang bentuknya berlekuk-lekuk, mirip wadah penampung air. Susunan notasinya tidak
beraturan seperti alat musik pada umumnya, juga tidak terlihat karena terbungkus resonator.
Sasando dimainkan dengan dua tangan dari arah berlawanan, kiri ke kanan dan kanan ke kiri.
Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas, sementara tangan kanan bertugas
memainkan accord. Sasando di tangan pemain ahlinya dapat menjadi harmoni yang unik.
Sebab, hanya dari satu alat musik, sebuah orkestra dapat diperdengarkan.
BAHASA

Bahasa suku bangsa Rote pada hakekatnya satu (disebut bahasa Rote), namun
bervariasi dialek menurut nusak masing-masing yang saling dapat dimengerti. Ciri yang
menonjol dari bahasa Rote adalah bahasa sastra atau bahasa ritual. Bahasa sastra adalah satu
bahasa khusus dan dapat segera dikenal sebagai bentuk bahasa yang digunakan dalam setiap
kesempatan seperti : upacara adat, perundingan, salaman, nyanyian, tarian, dsb. Pada
hakekatnya bahasa sastra merupakan pantun yang terdiri atas pasangan kata-kata berirama yang
artinya bersamaan, misalnya: tolanok dudinok, dak esa fafan ma titiesa nonosinI (saudara
sekerabat dan seturunan). Untuk memperoleh kata-kata seirama dengan makna dan tujuan yang
sama, biasanya diambil kata-kata majemuk, sehingga bahasa sastra itu merupakan satu
kesatuan pengertian yang mendalam.
Belanda memperkenalkan bahasa Melayu kepada orang Rote sebagai sarana bahasa
pendidikan. Bahasa Melayu ini mudah diterima dan dipergunakan secara luar karena hampir
sama dengan bahasa sastra orang Rote. Pada perkembangan lebih lanjut, bahasa Melayu
berkembang menjadi bahasa Indonesia yang sampai sekarang menjadi bahasa lintas suku dan
pemersatu bangsa, termasuk orang Rote.
SISTEM KEKERABATAN

Di Pulau Rote, Ume Ofa' atau "Perahu-Rumah" telah punah. Penyebabnya ialah politik
Orde Baru di akhir 1960-an. Kala itu, masyarakat diimbau menghilangkan tradisi membangun
rumah tradisional dengan upacara-upacara adat dan pesta meriah, yang dinilai boros. Tolok
ukur siapa yang dipakai? Sebagai pelajaran bagi generasi mendatang, apakah masih
ada ume yang bisa diselamatkan?
Tempat ternak di bawah panggung (vilenggat), juga dinilai ”tidak higeinis”. Faktor agama pun
turut mempengaruhi perubahan, sebab pembangunan rumah tradisional selalu dimulai dan
diakhiri dengan upacara (songgo) untuk meminta petunjuk dari ruh leluhur, yang dianggap
bertentangan dengan ajaran Kristen. Ume Ofa’ Balu’ atau “Rumah-Perahu Besar”, perwujudan
budaya Rote, kini terkubur sudah. Gantinya adalah ume leleo rae dan ume leleo’ .
Tempat ternak di bawah panggung (vilenggat), juga dinilai ”tidak higeinis”. Faktor
agama pun turut mempengaruhi perubahan, sebab pembangunan rumah tradisional selalu
dimulai dan diakhiri dengan upacara (songgo) untuk meminta petunjuk dari ruh leluhur, yang
dianggap bertentangan dengan ajaran Kristen. Ume Ofa’ Balu’ atau “Rumah-Perahu Besar”,
perwujudan budaya Rote, kini terkubur sudah. Gantinya adalah ume leleo rae dan ume leleo’ .
Pulau Rote, Pulau Ndao serta pulau-pulau disekitarnya terbagi dalam 19 nusa’ (suku). Di
dalam lingkungan nusa’ terdapat kelompok-kelompok kecil kumpulan beberapa keluarga yang
memiliki hubungan kekerabatan (leo). Dari kesembilan belas nusa’, terdapat delapan belas
dialek. Di masa lalu terkadang terjadi benturan fisik; pemicunya adalah penguasaan atas
sumber air. Untuk mempertahankannya, di Nusa’ Delha, dibangun benteng pertahanan dari
batu gunung setinggi antara tiga sampai empat meter dengan ketebalan dinding sekitar satu
setengah meter. Benteng pertahanan ini disebut sebagai kota’.
Tidak diketahui secara pasti, kapan sejarah permukiman berawal di Nusa’ Delha.
Menurut tradisi tutur setempat, permukiman itu bermula di daerah Inggu Ata, Nemberala.
Penduduk pertamanya berasal dari hubungan kekerabatan atau Leo Ombak. Bukti bahwa
mereka adalah bagian dari migran melewati jalur laut, adalah konsep yang sama antara rumah
(ume) tradisional dan perahu (ofa’). Bagi mereka ofa’ merupakan hunian di laut
dan ume merupakan perahu di darat. Begitulah istilah Delha untuk rumah tradisional yang
besar, yakni; ume ofa’ balu’ (rumah besar seperti perahu besar). Sekarang rumah yang
demikian boleh dikatakan sudah tinggal kenangan. Sebaliknya perubahan-perubahan semakin
cepat tercatat.

Anda mungkin juga menyukai