Anda di halaman 1dari 9

Senin, 08 April 2013 Budaya, Pulau Timor, Sejarah

Mitologi Asal Usul Pulau Timor

Pulau Timor (google maps)

Pulau Timor dengan luas sekitar 30.777 km ini, terletak dibagian selatan nusantara. Dalam sejarah
politik pulau ini dipartisi menjadi dua bagian selama berabad-abad akibat penjajahan. Melalui perjanjian
Lisboa pada tahun 1859, Belanda dan Portugis menjalin kesepakatan bahwa Belanda menguasai bagian
barat pulau Timor dan Portugis menguasai bagian timurnya. Sekarang Timor Barat atau dahulu dikenal
sebagai Timor Belanda sampai 1949, telah menjadi bagian Provinsi Nusa Tenggara Timur - Indonesia,
sedangkan Timor Timur atau dahulu dikenal sebagai Timor Portugis, sebuah koloni Portugis sampai
tahun 1975 dan sempat menjadi bagian dari Indonesia hingga tahun 1999, dan pada tahun 2002 telah
menjadi negara merdeka Republik Demokratik Timor Leste. Walau demikian menurut legenda
masyarakat di Pulau Timor baik di bagian barat maupun timur sebagai akar sejarah budaya yang sama
sebelum kedatangan imprealisme, bahwa Pulau Timor berasal dari buaya (Crocodylidae) yang menjelma
menjadi sebuah pulau.

Deskripsi pertama tentang bentuk Pulau Timor yang memanjang dan beberapa hal lainnya seperti
keberadaan penduduk, pola perdagangan dan kedudukan raja-raja dilakukan oleh seorang kadet kapal
Victoria yang bernama Antonio Pigaffeta, saat menyusuri pantai utara Pulau Timor dari timur ke barat di
tahun 1522, yang merupakan satu-satunya kapal yang tersisa dari lima kapal armada Magelhaens yang
berlayar dari Sevilla Spanyol, dengan tujuan maluku dan berhasil kembali ke Spanyol. Hal inilah yang
membuat Pulau Timor mulai di kenal dalam sejarah perdagangan masa lalu, yang kemudian menjadi
ajang rebutan antara Belanda dan Portugis, untuk menguasai komoditas utama pulau ini, cendana.

Pulau Timor dan mitologi Pulau Buaya, setidaknya telah muncul dalam buku seri pendidikan budaya
berjudul Cerita Rakyat dari Timor Timur, Karya Nyoman Suarjana, terbitan PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia (Grasindo), Jakarta tahun 1993. Terdapat sebuah cerita tentang Legenda Terjadinya Pulau
Timor, cerita tersebut berkisah tentang seorang anak lelaki di Makassar yang menemukan seekor anak
buaya sedang tersesat dari sarangnya dan mengalami kepanasan karena teriknya matahari musim
kemarau saat itu. Anak buaya itu telah sekarat, karena iba iapun ditolong oleh anak lelaki tersebut.
Dibawanya anak buaya itu hingga ke tepi danau, akhirnya anak buaya itu selamat. Lalu berkatalah sang
anak buaya "mulai saat ini kita berjanji menjadi sahabat karib. Sembarang buaya tidak boleh
mengganggumu. Bila kamu ingin bermain di air atau di laut, panggil saja 'hai sahabat, anak buaya,
balaslah budi', saya akan segera membawamu di punggung dan pergi ke mana saja sesukamu.
Seandainya kamu mau kita berangkat sekarang juga!" ajak anak buaya tersebut. Maka anak lelaki itupun
dibawa berenang ke sana ke mari, bahkan hingga menyelam ke dasar laut melihat keindahan bawah
laut. Hal itu dilakukan terus menerus, hingga suatu saat anak buaya itu merasa kelelahan dan jenuh
karena punggungnya selalu dinaiki anak lelaki itu, maka muncul niat untuk memangsa anak lelaki itu.
Sebelum ia melakukannya, ia meminta beberapa pendapat dari penghuni laut lainnya seperti ikan,
hingga binatang darat seperti kera, semuanya tidak membenarkan apa yang akan dilakukan buaya,
karena kebaikan tidak boleh di balas dengan niat jahat. Buaya tersebut akhirnya merasa menyesal
karena punya niat mencelakakan sahabatnya.

Ketika anak buaya dan sahabatnya tengah berenang di perairan Laut Timor saat ini, anak buaya itu
berkata sahabatku yang budiman, budi baik yang telah kamu perbuat kepadaku tak mampu kubalas.
Aku sangat malu karena berniat membunuhmu. Sekarang ajalku sudah dekat, jasadku akan menjadi
tanah. Tanah itu akan menjadi daerah yang sangat luas, Semoga kamu, anakmu, cucumu dan semua
keturunanmu dapat menikmati kekayaanku yang melimpah sebagai balas budi yang telah kaulakukan
terhadap diriku. Setelah itu, anak buaya itu mati, lalu jasadnya berubah sedikit demi sedikit menjadi
daratan. Punggung buaya yang runcing berubah menjadi deretan pegunungan yang membujur dari
ujung barat sampat ujung timur.

Foto buaya (http://mobile.griyawisata.com)

Namun juga ada versi lain yang menyebutkan bahwa setelah anak itu dewasa baru bertemu kembali
dengan buaya yang kini telah bertambah besar pula. Sang buaya mengajak pemuda tersebut menaiki
punggungnya dan berenang mengarungi lautan. Hal itu dilakukan terus menerus hingga sang pemuda
berkeluarga memiliki isteri dan anak, buaya melindungi seluruh keluarga pemuda itu. Ketika merasa
akan tiba ajalnya, buaya itu meminta agar pemuda itu berserta keluarganya, dengan berujar bahwa ia
akan mati dan jasadnya akan menjadi pulau di mana pemuda beserta keluarganya akan tinggal untuk
selama-lamanya. Maka menjelmalah berlahan-lahan tubuh jasad buaya itu menjadi pulau yang
kemudian dihuni oleh manusia.

Hingga kini adat leluhur masyarakat Timor menyebut buaya dengan kakek yang akan selalu menjaga dan
melindungi mereka. Selain itu ada beberapa versi cerita lainnya lagi, namun esensinya sama bahwa
seekor buaya bersahabat dengan manusia, yang akhirnya membalas budi kepada seorang manusia
karena telah ditolong sebelumnya. Cerita-cerita itu menjadi populer bagi anak-anak baik dari buku
dongeng hingga siaran radio anak-anak, sebagai pendidikan budi pekerti bahwa kebaikan sesungguhnya
akan di balas dengan kebaikan dan bahwa kejahatan akan selalu tidak dikehendaki oleh semua pihak.

Alhasil buaya menjadi binatang yang dikramatkan, bahkan ada cerita juga yang menyatakan bahwa
buaya tidak boleh diburu, dibunuh dan dilarang memakan dagingnya. Orang-orang Timor menyebut
bahwa buaya itu leluhur atau nenek moyang mereka. Bila ada orang yang digigit buaya, mereka
menganggap bahwa orang itu telah melakukan kejahatan atau dikutuk leluhur atau nenek moyang
mereka. Buaya kemudian dijadikan binatang totem sebagai pengejewantahan kekuatan kosmis dewa-
dewa. Binatang totem begitu dihargai sehingga tidak boleh dilukai, disakiti atau diburu. Konsep terhadap
binantang totem ini tumbuh dari tradisi lisan yang diwariskan turun-temurun dari leluhur dan diyakini
oleh seluruh anggota suku di Timor. Bukan hanya di Timor yang meyakini bahwa buaya adalah asal usul
nenek moyang mereka, karena seperti daerah Lembata, Flores bagian timur juga meyakini hal tersebut.
Demikian juga dengan asal cerita legenda terjadinya Pulau Timor Karya Nyoman Suarjana seperti yang
telah diceritakan di atas, yang menyebutkan asal usul penghuni Pulau Timor berasal dari Makassar,
maka kemungkinan mitologi ini yang tumbuh dan berkembang dari Timor Timur, kala itu memang
dipengaruhi oleh Kebudayaan Gowa (Makassar) saat itu, yang juga memiliki kisah mitologi buaya.

Kisah pulau yang berasal dari buaya ini telah mendunia dan dibaca atau diceritakan kepada anak-anak
sebagai dongeng menjelang tidur. Mungkin karena telah membaca kisah buaya ini dan menjadi inspirasi,
seorang ilustrator asal Portimao - Portugal, bernama Luis Peres melukiskan Timor Island - Crocodile
version (2009) untuk buku cerita anak-anak. Ilustrasi ini menguatkan julukan Pulau Timor sebagai The
Land of The Sleeping Crocodile atau negeri di mana buaya tidur selamanya. Memang ada perdebatan
yang mengatakan bahwa kepala buaya itu berada di barat (Kupang) dan ekornya berada di timur
(Lautem) atau sebaliknya, namun hal itu, tidak mengurangi kepercayaan masyarakat Timor terhadap
mitologi pulau buaya ini

Ilustrasi Pulau Timor oleh Luis Peres (http://www.imagekind.com)

Dalam sebuah artikel yang ditulis Anne Lombard-Jourdan berjudul Franois Pron dan Charles Lesueur,
Perburuan Buaya di Timor pada 1803 yang dimuat dalam majalah Archipel menceritakan kisah tentang
adanya perburuan buaya di Pulau Timor. Disebutkan bahwa pada abad ke-17, pantai Pulau Timor banyak
ditemukan buaya yang pada malam harinya banyak berkeliaran di rawa-rawa dan juga sekitar Benteng
Concordia hingga rumah penduduk di tepi sungai, demikian juga dengan kisah beberapa orang yang
berenang dilahap buaya. Masih menurut tulisan artikel tersebut, bahwa penduduk Timor begitu takut
dengan buaya hingga mereka memuja dan juga menganggap sebagai monster liar. Di jaman sebelumnya
jika ada perselisihan antar warga, maka untuk memutuskan mana yang benar dan atas perintah raja,
dua orang akan ditenggelamkan dalam danau yang penuh buaya, seseorang yang selamat keluar dari
danau, dialah yang benar. Saat itu para pemburu Eropa ingin menangkap buaya, tetapi orang Timor
enggan membantu, namun para pemburu seolah memaksakan hingga diperingatkan akan mati jika
memburu buaya tanpa didampingi oleh orang Timor. Mereka akhirnya berhasil menembak seekor buaya
di Babau (30 Kilometer dari Kupang) dan kemudian kerangkanya dibawa ke Prancis untuk kepentingan
penelitian. Menurut catatan, panjang buaya bisa mencapai 8,25 hingga 12 meter, karena tidak diburu
dan dibunuh maka buaya saat itu lebih besar dibandingkan buaya saat ini.

Menurut sumber di atas, panjang buaya bisa mencapai 8,25 hingga 12 meter, entah itu sebuah
kebenaran atau tidak. Karena saat ini hanya seekor buaya raksasa dari Kepulauan Mindanao di Filipina,
dengan panjang 6,17 meter dan berat satu ton yang telah ditetapkan sebagai reptil terbesar di dunia
oleh Guinness Book of World Records (2012). Sedangkan rekor dunia untuk kategori reptil terbesar
sebelumnya dipegang oleh seekor buaya yang ditangkap di wilayah Northern Territory, Australia dekat
dengan Pulau Timor pada tahun 1984, dengan panjang 5,48 meter dan berat hampir satu ton. Hingga
saat ini masih sering ditemukan buaya di pesisir pantai di Pulau Timor.

Dalam perkembangannya, mitologi pulau buaya ini menjadi inspirasi kesenian bagi masyarakat di Pulau
Timor ini. Sebagai binatang totem yang disakralkan, mereka mengekpresikan buaya dalam wujud benda
kebudayaan yang menunjukkan relasi antara masyarakat Timor saat ini dengan leluhurnya. Hal ini dapat
dilihat dari adanya motif-motif gambar atau ukiran buaya pada kayu atau tenun ikat. Seperti terlihat
pada motif selimut tenun ikat yang bergambar buaya, disamping motif kalajengking yang berasal dari
Niki-Niki wilayah Timor Tengah Selatan, Timor Barat dan motif fauna buaya pada kerajinan kain Tais dan
ukiran patung buaya yang berasal di Timor Leste.

Tenun ikat di Timor Barat (http://www.ikat.us)

Kerajinan buaya di Timor Leste (http://dananwahyu.wordpress.com)

Tidak hanya buaya yang disakralkan dalam masyarakat Timor, ada juga binatang melata lainnya yang
merupakan representasi buaya yang dikramatkan yaitu cicak (Cosymbotus platyurus) dan tokek (Gekko
gecko). Tabu untuk mereka menyakiti binatang-binatang tersebut karena dianggap sebagai pembawa
kesejukan. Jika dalam sebuah percakapan keluarga, tiba-tiba terdengar cicak yang berbunyi, maka
percakapan itu akan membawa suka cita dan memberi rahmat bahwa apa yang dikatakan akan
berdampak baik. Demikian juga dengan adanya tokek yang masuk dalam rumah, enggan masyarakat
untuk mengusirnya dan membiarkannya hidup di dalam rumah, karena dianggap dapat mendinginkan
rumah (baca: memberikan kesejukan hidup). Entah hal-hal ini masih dipegang kuat oleh masyarakat
atau seiring berjalannya waktu, mitologi inipun mulai redup secara berlahan, dengan menguatnya
rasionalitas masyarakat. Demikianlah kiranya mitologi tentang Pulau Timornya dan pengaruhnya dalam
kehidupan masyarakat di Pulau Timor. (*)

Diolah dari berbagai sumber

Kupang, 08 April 2013

daonlontar.blogspot.com
"Citra Manusia Berbudaya" kisah pulau buaya tidur

Selasa, 10 Mei 2016 15:13 WIB | 42.714 Views

Oleh Muhammad Razi Rahman

Timor kerap disebut sebagai "Pulau Buaya yang Sedang Tidur", setidaknya itulah salah satu kajian yang
dipaparkan dalam buku "Citra Manusia Berbudaya: Sebuah Monografi tentang Timor dalam Perspektif
Melanesia".

Sang penulis, Gregor Neonbasu, menceritakan mengenai mitos yang dituturkan oleh tradisi adat istiadat
masyarakat Timor, yang ternyata memiliki banyak versi terkait dengan kisah buaya tidur tersebut.

Sesuai mitos, menurut Imam Katolik dan antropolog ini, pulau Timor dulunya adalah seekor budaya
raksasa, dengan kepalanya di Kupang, mulutnya di Teluk Kupang, dan ekornya berada di Tutuala, ujung
dari negara Timor Leste.

Dalam buku terbitan Perum LKBN Antara tahun 2016 itu, sejumlah cerita yang menuturkan detil
terperinci mengenai mitos itu antara lain kisah mengenai dahulu terdapat buaya ajaib yang dipelihara
oleh seorang nenek.

Sang buaya, yang dapat berbicara bahasa manusia, memiliki "ikatan biologis" dengan sang nenek karena
terus diasuh setiap hari layaknya anak yang diasuh oleh sang ibunda.

Sayangnya, buaya tersebut juga wajib memakan manusia setiap tahunnya yang disediakan oleh kepala
suku di mana mereka bertempat tinggal.

Suatu ketika, sang kepala suku lupa mempersembahkan kurban tahunan, sehingga buaya yang sudah
kelaparan sampai harus menyantap sang nenek yang telah menjaganya selama ini.

Tindakan putus asa yang dilakukan oleh buaya yang sedang kelaparan itu, ternyata kemudian membuat
sang buaya itu menjadi frustrasi dan akhirnya mati.

Bangkai dari buaya yang frustrasi dan mati itu adalah daratan yang kini disebut sebagai Pulau Timor, di
mana ekornya ada di Lospalos (Timor Leste) dan mulutnya di kawasan Teluk Kupang (Timor Barat).
Versi lainnya yang lebih "cerah" adalah kisah mengenai seorang anak kecil yang suatu hari menemui
seekor "buaya kecil" yang terdampar di sekitar tanah raya karena ditinggalkan oleh induknya.

Meski awalnya ketakutan, sang anak itu akhirnya membawa sang buaya kecil itu pulang dan
mengasuhnya hingga dewasa, dan sepanjang waktu itu terciptalah persahabatan antara keduanya.

Sewaktu sang anak dan buaya telah menjadi besar dan sangat tua, maka keluarlah mereka dari lautan
lalu menetap di sebuah pondok warisan si anak kecil yang juga sudah dewasa.

Pada suatu waktu, ketika buaya itu semakin bertambah tua dan saat sekarat, dia berpesan saat mati
agar diubah menjadi sebuah tanah lapang yang indah. Seketika saat buaya itu hilang nyawanya, maka
terbentuklah Pulau Timor, yang dihuni oleh keturunan si anak kecil tersebut.

Selain terkenal dengan sebutan pulau buaya, Timor juga terkenal sebagai pulau cendana karena
komoditas itu (selain madu dan lilin) yang mengakibatkan banyaknya perhatian dari penjelajah bangsa
Eropa pada saat era kolonial, seperti Tomes Pires dan Duarte Barbosa yang tertarik ke pulau Timor
karena pohon cendana.

Bahkan, pohon cendana yang ditemukan pertama kali oleh kaum penjajah di Timor, di kemudian hari
tersebar ke berbagai daerah lainnya seperti di Mysore India, Kepulauan Fiji, dan Australia Utara.

Kedua kisah mengenai buaya dan cendana itu juga menggambarkan keharmonisan warga Timor sebagai
mikrokosmos, dengan alam raya pulau Timor yang merupakan makrokosmos dari tempat tinggal
mereka.

Gregor menulis bahwa keharuman pulau Timor sebagai tempat yang layak dihuni, aspek yang sangat
pokok tersebut sebetulnya tertuju langsung kepada itikad dan tekad warga masyarakat yang selalu
terbuka untuk menerima setiap orang yang ingin menetap pada kawasan tersebut.

Ekologi-tradisi

Dalam buku tersebut juga ditekankan pentingnya faktor ekologi atau kondisi lingkungan hidup bagi
masyarakat di Pulau Timor.
Manusia Timor dinyatakan selalu melihat segala sesuatu yang terjadi dalam alam raya sebagai bebas
atau pantulan harmonisasi yang alamiah bagi kehidupan manusia.

Secara umum, ada tiga benda alami yang selalu menjadi landasan dan fondasi kehidupan orang Timor,
yaitu air, batu, dan kayu, yang ketiganya selalu berperan utama dalam berbagai cara ritual dalam ruang
lingkup kehidupan masyarakat.

Air dianggap sebagai agen tinggal yang membawa proses pembersihan yang memerdekakan seseorang
dari suatu persoalan hidup, batu memberi makna akan sesuatu yang mendukung dan menopang bagai
dasar pijakan yang kokoh.

Sedangkan kayu atau pohon dilihat sebagai kekuatan yang meneguhkan semua usaha manusia pada
berbagai lini kehidupan sehingga orang tersebut selalu berpikir pada pertumbuhan dan perkembangan
ke masa depan.

Secara keseluruhan, masyarakat Timor memandang semua unsur ekologi sebagai percikan semua
dimensi dari unsur kehidupan manusia yang turut mendukung dua unsur dasar utama dalam diri
manusia.

Dua unsur fundamental itu adalah keberadaan manusia dan kepemilikan, sehingga tanpa ekologi yang
baik dan teratur, maka mustahil manusia merefleksikan potensinya untuk hidup dengan lebih baik dan
bermartabat.

Begitupun dengan masyarakat tradisional Timor, yang dinilai juga tidak bisa memisahkan kehidupan
manusianya dengan peran utama Yang Ilahi, yang antara lain disimbolisasi pada keberadaan sebuah
tiang bercabang dua pada sumber mata air dan tiang bercabang tiba di depan rumah adat.

Yang Ilahi dalam pemahaman orang Timor, tidak saja khusus karena keterbatasan bahasa dalam
mengartikulasikan pengalaman spiritual masyarakat setempat, melainkan juga ungkapan maha luas
akan kedalaman lautan religius masyarakat Timor yang ditempatkan dalam sistem ekologi maha dunia
yang maha luas pula.

Sebagai budaya yang menekankan terhadap ekologi dan religius-spiritualitas yang saling terkait,
masyarakat Timor juga, sebagaimana masyarakat lainnya di masa modern ini, juga kerap berhadapan
dengan budaya globalisasi yang membuat manusia menjadi "terengah-engah" mengikutinya serta
melupakan kebudayaan lokal.

Untuk itu, masyarakat Timor juga diharapkan memperhatikan pentingnya pemahaman yang benar agar
kerangka pemahaman tidak goyah ditimpa berbagai perubahan dan perkembangan zaman serta
terperangkap dalam konspirasi sosial yang terdapat di sela-sela arus globalisasi.

Fenomena perubahan

Apalagi, dalam lintasan sejarah Timor, juga kerap terjadi fenomena perubahan komposisi masyarakat,
misalnya migrasi yang tidak terkontrol akibat perubahan iklim politik (mulai dari Prarevolusi hingga
Revolusi Bunga 1975, deklarasi kemerdekaan Fretilin, Deklarasi Integrasi Bilbao, masa integrasi
Indonesia 1975-1999, masa awal kemerdekaan bersama PBB dan pascapendampingan).

Perubahan struktur sosial yang tidak diantisipasi dengan baik, terutama dengan iklim politik praktis yang
tidak tertata dengan baik, dinilai dapat meracuni manajemen ekonomi kemasyarakatan untuk mencipta
kesejahteraan sosial yang lebih baik.

Di sisi lain, globalisasi yang deras juga menimbulkan kewaspadaan terkait bahaya kapitalisme yang
hampir merasuki semua aspek kehidupan manusia, serta sikap oportunistik dalam dunia politik, ketika
terjadi kompromi yang kelewat batas.

Untuk itu, masyarakat Timor juga dinilai membutuhkan strategi partisipatif di mana masing-masing
warga harus berpihak pada kepentingan yang sama dalam rangka menciptakan komunitas hidup
bersama yang lebih baik dan berorientasi ke depan.

Dalam buku setebal 520 halaman itu, juga dipaparkan secara komprehensif dan obyektif mengenai
sejarah Timor Leste yang pernah menjadi bagian dari Republik Indonesia tetapi saat ini telah menjadi
sebuah negara sendiri, serta kondisi masyarakat di daerah perbatasan yang masih belum sejahtera.

Karena itu, sang penulis yang menyelesaikan pendidikan doktoral dari Australian National University itu,
mengusulkan agar diperhatikan dengan sungguh-sungguh relasi kekeluargaan antara kedua belah pihak,
serta memantapkan kedaulatan wilayah dan mengamankan aspek-aspek strategis dan sumber daya
alam yang dimiliki kedua negara.
Sementara dalam kaitannya dengan kearifan lokal, model pembangunan juga hendaknya memberi hati
kepada kearifan lokal agar masyarakat dapat tergerak hatinya untuk ikut mengambil bagian secara aktif
dalam berbagai kegiatan pembangunan.

Dengan demikian, dinamika pembangunan di kawasan Timor hendaknya menyentuh jati diri masyarakat
setempat, dengan memberi respek terhadap tradisi-tradisi lisan yang adalah warisan berharga lelulur
yang dilihat sebagai bagian integral baik dalam kehidupan masyarakat kini maupun nanti.

Buku "Citra Manusia Berbudaya" itu menampilkan paparan filosofis dan kerangka pemahaman
mendasar dari tradisi Timor yang merupakan salah satu aspek dalam antropologi yang memang kerap
dijajaki untuk mengetahui pemahaman sebuah masyarakat secara lengkap.

Dengan menggunakan pendekatan emik (paparan dari tradisi atau masyarakat adat itu sendiri) yang
diperkokoh dengan pendekatan etik (kerangka teori dalam ilmu pengetahuan), maka didapat sebuah
gambaran tunggal tentang budaya Timor yang holistik.

Namun, penggunaan kata-kata yang bernuansa akademis dan tanpa disertai contoh yang konkret di
berbagai tempat juga berpotensi membuat buku ini kehilangan nuansa populernya yang bisa membuat
banyak orang tertarik untuk membaca suatu karya sastra.

Rohaniwan-budayawan Franz Magnis-Suseno dalam prolog dalam buku tersebut juga menyatakan,
karya Gregor Neonbasu tentang budaya di pulau Timor ini merupakan sumbangan penting bagi pustaka
tentang apa dan siapa itu bangsa Indonesia.

Hal itu, menurut Franz Magnis-Suseno, karena sejumlah pihak ada yang beranggapan bahwa seakan-
akan Indonesia "habis di sebelah timur Bali", padahal justru di pulau-pulau menengah dan kecil
Indonesia Timur itulah hidup ratusan etnik dan budaya bangsa Indonesia yang justru membulatkan
kekayaan kultural bangsa Indonesia.

Editor: Aditia Maruli

COPYRIGHT ANTARA 2016

Anda mungkin juga menyukai