Anda di halaman 1dari 2

SAS Institute: NU dan Pemerintah Wajib Bentengi Ideologi Radikal

Maraknya politisasi agama belakangan ini membuat keprihatinan banyak pihak. “Nahdlatul Ulama (NU)
tidak bisa sendirian dalam upaya membentengi warga dari persebaran ideologi radikal, pemerintahlah
yang bertanggung jawab dan harus berada di depan,” tandas Direktur Said Aqil Siroj (SAS) Insitute M.
Imdadun Rahmat dalam peluncuran dan diskusi buku NU Penjaga NKRI di Gedung Pengurus Besar (PB)
NU Jakarta, Selasa (10/4).

Imdadun menyitir rilis salah satu lembaga survei yang menengarai banyaknya pegawai negeri sipil (PNS)
dan badan usaha milik negara (BUMN) yang terpapar virus radikalisme. “Mereka digaji oleh Negara,
tetapi malah memusuhi Negara,” kritik Imdadun. Adalah tugas pemerintah untuk melakukan nation-
building, tidak bisa diserahkan semata-mata kepada NU, lanjut Imdadun.

Untuk menghadapi kelompok-kelompok radikal, Imdadun menyarankan untuk tetap memegang prinsip-
prinsip damai dan ilmiah serta tanpa kekerasan. Menurut Imdadun, proses radikalisasi terjadi karena
ada pihak-pihak yang memproduksi dan memasarkan melalu media. “Sebaliknya kita harus berempati
kepada mereka yang menjadi target radikalisasi dengan menempatkan sebagai korban,” kata Imdadun
yang merupakan mantan ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Upaya deradikalisasi,
lanjut Imdadun, dapat dilakukan dengan netralisasi melalui pemikiran-pemikiran NU.

NU dengan tepat mengambil jalan ijtihad berupa fiqh siyasah dalam memandang relasi antara agama
dan negara. Kekosongan panduan dalam agama menjadi sebab beragamnya model relasi tersebut di
Dunia Islam. Dari yang tegas mendaku sebagai negara Islam, atau yang menjadikan Islam sebagai agama
Negara, hingga yang jelas-jelas sekuler atau tidak menegaskan dalam konstitusi. Hal tersebut berbeda
dengan sikap dengan gerakan Islam politik (Islamisme) yang menjadikan politik sebagai bagian dari
teologi, sehingga muncul tuduhan-tuduhan kafir jika berbeda pandangan. “NU sering dicap lentur dan
akrobatik, dengan politik yang santai dan guyonan, tetapi tegas menolak khilafah, mempunyai landasan
dalam pemahaman keagamaan,” ungkap Imdadun.

Ketua Umum PBNU K.H. Said Aqil Siroj merasa tidak khawatir dengan caci-maki dan bully-an yang kerap
dialamatkan selama ini, karena dinilai tidak akan mengurangi kebesaran NU. Sebaiknya Kiai Said justru
menyebut bahwa kelompok-kelompok seperti 212 telah merendahkan agama menjadi komoditas, alih-
alih Islam sebagai nilai-nilai universal. “Dalam Al-Quran tidak disebutkan kewajiban untuk membangun
umat Islam, tetapi umatan washatan, yaitu umat yang modern, moderat dan berbudaya,” tegas Kiai
Said.

Lebih lanjut Kiai Said menekankan bahwa NU tidak hanya menjaga keutuhan NKRI secara geografis,
tetapi juga secara budaya. Menurut Kiai Said banyak ulama Indonesia belajar di Timur Tengah dan
pulang membawa ilmu, bukan sekadar jenggot dan cadar. Selain menjaga budaya, Kiai Said menyatakan
pentingnya menjaga sumber daya alam (SDA). Tanpa berniat membela Presiden Jokowi, Kiai Said
meyakini bahwa ketimpangan penguasaan lahan disebabkan oleh pemerintahan sebelum-sebelumnya.
Kiai Said optimistis Indonesia tidak akan bubar pada 2030, karena berpegang pada iman dan takwa.
Romo Benny Susetyo melihat otentisitas NU dalam cara beragama yang melampaui persoalan identitas.
Orang NU lebih cair, tidak kaku dalam bersahabat dengan siapapun, bisa menyatu dengan segala lapisan
masyarakat. Di tengah situasi masyarakat yang terpecah-pecah seperti sekarang ini, NU menjadi oase
dengan kesetiaan kepada bangsa dan Pancasila. Romo Benny mengingatkan pada masa Gus Dur ketika
bergiat dalam Forum Demokrasi dan advokasi Kedung Ombo, di mana Gus Dur pasang badan membela
Romo Mangun yang dicap PKI.

Hal senada diungkapkan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir dalam
menyoroti aktivitas Lakpesdam NU dan GP Ansor dalam pembelaan terhadap kelompok-kelompok
minoritas Syiah dan Ahmadiyah. Ketika negara sekuler seperti Prancis masih harus dihadapkan pada
tantangan munculnya simbol-simbol keagamaan di ruang publik, NU telah mempraktikkan ide-ide
filsafat pasca-sekularisme. “Agama dan negara tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan,” simpul
Amin.

Politisi muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany Alatas tidak meragukan peran NU dalam
menjaga NKRI. “Sejak awal NU mendirikan Republik, sudah pasti tidak akan membiarkan rumahnya
dibakar,” tegas Tsamara. Sayangnya sikap toleran NU menghadapi tantangan melalui penggiringan opini
para buzzer yang memviralkan narasi-narasi hoax di media sosial. Tsamara mengusulkan perlunya
memperkaya konten-konten Islam moderat untuk menandingi narasi-narasi semacam itu.

Direktur Penerbit Kanisius Romo Aziz Mardopo menuturkan bahwa buku NU Penjaga NKRI merupakan
kado tanda cinta kepada PBNU yang usianya hanya terpaut satu tahun. PBNU baru saja merayakan
Harlah ke-95 pada 7 April lalu dalam perhitungan tahun Hijriah, sedangkan Kanisius telah berusia 96
tahun. Menurut editor Iip D. Yahya, buku ini menyajikan kumpulan tulisan dari kalangan intelektual
Nahdliyin, termasuk yang berada di cabang-cabang luar negeri dari empat benua. Iip berharap buku ini
dapat mengisi kekosongan tulisan terbaru tentang kompilasi NU, sekaligus memancing munculnya buku-
buku baru yang lebih komprehensif.

Anda mungkin juga menyukai