Anda di halaman 1dari 4

Budaya Timor

Budaya Timor adalah adat-istiadat, kepercayaan, seni, dan kebiasaan yang


dijalankan oleh suku-suku penghuni Pulau Timor dan pulau-pulau kecil yang
berdekatan di sekitarnya. Lingkup kebudayaan ini mencakup Timor Barat
maupun Timor Leste. Suku-suku asli penghuni Pulau Timor adalah orang Rote,
orang Helong, orang Atoni, orang Belu, orang Kemak, orang Marae, dan orang
Kupang.[1]

Kepercayaan dan agama

Sebelum berkembangnya agama Kristen di Pulau Timor, masyarakat Pulau


Timor menyembah dewa dan mempercayai keberadaan makhluk halus. Dewa
tertinggi bernama Uis Neno (tuan langit). Dewa ini disembah sebagai pencipta
dan pemelihara alam semesta. Selain itu, terdapat pula dewi bumi bernama Uis
Afu. Ia adalah dewi kesuburan bagi tanah pertanian. Masyarakat Timor juga
mempercayai bahwa benda-benda alam dapat dihuni oleh makhluk halus. Oleh
karenanya, mereka memiliki benda-benda keramat ang disebut dengan nono.
Oleh karenanya, masyarakat Timor menyiapkan sesajen dan mengadakan
upacara yang dipimpin dukun yang disebut tobe. Para dukun ini dipercaya
mampu mengusir makhluk halus atau sihir dari dukun lainnya.[2]

Setelah Kristen berkembang dan menjadi agama dari sebagian besar


masyarakat Timor, kepercayaan terhadap dewa dan makhluk halus
ditinggalkan. Setiap kegiatan adat kemudian dikaitkan dengan upacara dalam
kekristenan.[2] Namun, nama Uis Neno tetap dipakai sebagai penerjemahan dari
kata Tuhan dalam Alkitab. Gereja Protestan menyelenggarakan perkawinan
resmi dihadapan pendeta dan pegawai catatan sipil untuk masyarakat; namun
tetap mengakui perkawinan yang dilangsungkan secara adat.[2]
Kekerabatan

Sebagian besar masyarakat Timor menerapkan sistem kekerabatan patrilineal.


Hanya di wilayah Belu bagian utara yakni Fialaran dan Lamaknen (semuanya
berawal dari Leluhur Pertama Perempuan di Puncak Gunung Lakaan bernama
Dasi Laka Lorok Kmesak) dan selatan, lalu Bobonaro, juga Wehali dan Suai
yang menggunakan sistem kekerabatan matrilineal. Loro atau Lorok adalah
Gelar Bangsawan Tertinggi tradisional di Pulau Timor sebelum penjajahan
Belanda dan Portugis yang kadang turut memecah belah kesatuan Orang
Timor. Masyarakat Timor menjadikan mas kawin sebagai penentu tingkat
kekerabatan antara marga suami dan margag isteri serta anak-anaknya. Tiap
marga juga memiliki kelas sosial dalam bentuk hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tiap anggota marganya. Orang Timor menjadi anggota suatu marga
tertentu yang patrilineal. Seorang anak wajib mengikuti marga ayahnya secara
adat setelah mas kawin ibunya dilunasi oleh ayahnya. Selain itu, istri tersebut
juga menjadi anggota dari marga suaminya. Jika suaminya meninggal, maka ia
harus kawin secara yibbum untuk mendapatkan kembali nama marga
suaminya. Hanya anak laki-laki yang menerima hak-hak dan kewajiban-
kewajiban dalam suatu marga sebagai penerus nama keluarga. Jika dalam
keluarga hanya ada anak perempuan, maka hak-hak dan kewajiban dibebankan
kepada kerabat dekat ayahnya. Dalam masyarakat Timor, hak-hak dan
kewajiban-kewajiban berhubungan dengan pembagian warisan dan
pelaksanaan upacara-upacara keagamaan.[3]

Persalinan

Dalam budaya Timor, kelangsungan hidup merupakan hal yang sangat penting.
Ini ditandai dengan proses persalinan yang melibatkan kehadiran semua
anggota keluarga.[4] Masyarakat Timor masih mempertahankan budaya
persalinan tradisional dengan posisi duduk untuk melahirkan. Pada posisi ini,
oksigenasi lebih baik dibandingkan dengan posisi telentang. Selama proses
persalinan, orang tua dan ibu mertua dari ibu hamil akan mendampinginya.
Setelah persalinan selesai, dilakukan pengurutan perut dan punggung dengan
minyak kelapa kepada ibu yang baru saja melahirkan.[5]

Mata pencaharian
Sebagian besar penduduk Timor bercocok tanam di ladang. Jenis tanaman
yang dibudidayakan yaitu jagung, padi, ubi kayu, keladi, labu, sayur-sayuran,
kacang hijau, kedelai, bawang, tembakau, kopi, dan jeruk. Tanah yang digarap
adalah hutan atau bekas hutan yang pohon-pohon telah ditebang dan semak-
semaknya telah dibakar. Setelh itu, tanah dicangkul dan dibajak. Para petani
bebas memilih tempat untuk bercocok tanam. Satu bidang tanah dapat
ditanami selama dua hingga lima tahun. Penggarapan tanah dilakukan oleh
satu keluarga atau beberapa keluarga yang masih memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat.[6] Laki-laki bertugas membersihkan dan membakar
hutan, membajak tanah, memagari batas lahan dan menyiangi tanaman.
Pekerjaan menanam benih dan memanen hasil adang dilakukan oleh
perempuan. Sebagian kecil wilayah melakukan pekerjaan bercocok tanam
secara perseorangan atau hasil kerja sama antar anggota dalam satu keluarga
saja.[7]

Selain bercocok tanam, masyarakat Timor juga beternak sapi, kerbau, kuda,
kambing. dan unggas. Kepemilikan ternak menjadi kepemilikan bersama antar
anggota dalam sebuah rumah tangga. Ternak diwariskan kepada anak laki-laki
yang sudah dewasa apabila ayahnya meninggal. Jika dalam keluarga hanya
terdapat anak perempuan, maka ternak diwariskan kepada saudara laki-laki
ayahnya atau anak laki-laki saudara perempuan ayahnya. Masyarakat yang
berada di wilayah pesisir bekerja sebagai nelayan. Mereka menangkap ikan-
ikan kecil, kerang, dan teripang. Selain hasil alam, masyarakat Timor juga
membuat kerajinan tangan tenun ikat dan anyaman keranjang. Mereka juga
membuat ukiran pada tiang-tiang rumah, kulit kerbau, tanduk kerbau,
tempurung kelapa, dan bambu. Kerajinan berbahan perak dibuat oleh orang Roti
yang berasal dari Ndau. Mereka membuat kalung, getang, giwang, piring, dan
perhiasan. Kegiatan perdagangan dilakukan seminggu sekali di pasar yang ada
di tiap desa. Hewan ternak dan hasil hutan dijual melalui pelabuhan Kupang.[7]

Referensi

1. Kristi, Navita (2012). Fakta Menakjubkan Tentang Indonesia; Wisata Sejarah, Budaya, dan
Alam di 33 Provinsi: Bagian 3 (https://books.google.co.id/books?id=eU1MDQAAQBAJ&pg=
PA72&dq=budaya+pulau+timor&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwju2uTfkq7WAhWHto8KHRBSB
9EQ6AEIXTAI#v=onepage&q=budaya%20pulau%20timor&f=false) . Cikal Aksara. hlm. 72.
ISBN 602-8526-67-3.

2. Koentjaraningrat (2004). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. ISBN 979-428-


510-2.
3. Windiyarti 2006, hlm. 37.

4. Kencanawati 2018, hlm. 146.

5. Kencanawati 2018, hlm. 148.

6. Windiyarti 2006, hlm. 39.

7. Windiyarti 2006, hlm. 40.

Daftar pustaka

Kencanawati, Dewa Ayu Putu Mariana (Juni 2018). "Persalinan dalam


Pandangan Budaya Timor (Atoni)" (https://jurnal.poltekeskupang.ac.id/index.ph
p/infokes/article/download/180/172/) . Jurnal Info Kesehatan. 16 (1): 143–
150. doi:10.31965/infokes (https://doi.org/10.31965%2Finfokes) . ISSN 2620-
536X (https://www.worldcat.org/issn/2620-536X) .

Windiyarti, Dara (September 2006). "Tradisi, Agama, Dais Modertosasi dalam


Perkembangan Kebudayaaan Timor" (https://ejournal.undip.ac.id/index.php/sa
bda/article/download/13258/10043) . Sahda. 1 (1): 36–43.

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Budaya_Timor&oldid=18330775"


Terakhir disunting 5 bulan yang lalu oleh Emmanuel Lelo Talok

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0


kecuali dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai