Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ya’lu M.

Hubbik
NIM : 208200093
Kelas : IPS.C
Tugas Menganalisa Bab. III Berbagai Pendekatan Dalam Ilmu Politik
I. Pendekatan legal/konstituonal
Pendekatan Legal/Institusional, yang sering dinamakan pendekatan tradisional,
mulai berkembang abad 19 pada masa sebelum Perang Dunia II. Dalam pendekatan ini
negara menjadi fokus pokok, terutama segi konstitusional dan yuridisnya. Bahasan
tradisional menyangkut antara lain sifat dari undang-undang dasar, masalah kedaulatan,
kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti
parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Dengan demikian pendekatan tradisional ini
mencakup baik unsur legal maupun unsur institusional. Para peneliti tradisional tidak
mengkaji apakah lembaga itu memang terbentuk dan berfungsi seperti yang dirumuskan
dalam naskah-naskah resmi tersebut, apalagi bertanya mengapa ada diskrepansi antara
struktur formal dan gejala-gejala yang dapat diamati dalam praktik. Pada saat
bersamaan, pendekatan tradisional tidak menghiraukan organisasi-organisasi informal,
seperti kelompok kepentingan dan kelompok lainnya, dan juga media komunikasi. Bahasan
ini lebih bersifat statis dan deskriptif daripada analitis, dan banyak memakai ulasan
sejarah. Lagi pula dalam proses pembahasan, ”fakta” (sesuatu yang dapat dibuktikan
melalui pengalaman atau pengamatan) kurang dibedakan dengan norma (ideal atau
standar yang harus menjadi pedoman untuk perilaku). Yang terjadi, pendekatan
tradisional lebih sering bersifat normatif (yaitu sesuai dengan ideal atau standar
tertentu) dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi Barat. Menurut penglihatan ini,
negara ditafsirkan sebagai suatu badan dari norma-norma konstitusional yang formal (a
body of formal constitutional norms).
II. Pendekatan Perilaku
Pendekatan Perilaku timbul dan mulai berkembang di Amerika pada tahun 1950-an
seusai Perang Dunia II. Adapun sebab-sebab kemunculannya adalah sebagai berikut.
Pertama, sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak
realistis dan sangat berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Salah satu pemikiran pokok
dari pelopor-pelopor pendekatan perilaku adalah bahwa tidak ada gunanya membahasa
lembaga-lembaga formal, karena bahasan itu tidak banyak memberi informasi mengenai
proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat bagi peniliti untuk mempelajari
manusia itu sendiri serta perilaku politiknya, sebaai gejala yang benar-benar dapat diamati.
Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku perorangan saja, tetapi dapat
juga mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar. Di samping itu, pendekatan perilaku
menampilkan suatu ciri khas yang revolusioner yaitu suatu orientasi kuatuntuk lebih
mengilmiahkan ilmu politik. Orientasi ini mencakup beberapa konsep pokok, yang oleh
David Easton (1962) dan Albert Somit (1967), diuraikan sebagai berikut:
1. Perilaku politik menampilkan keteraturan (regularities) yang perlu dirumuskan
sebagai generalisasi-generalisasi yang kemudian dibuktikan atau diveriikasi
kebenarannya. Proses veriikasi ini dilakukan melalui pengumpulan dan analisis data yang
dapat diukur atau dikuantiikasikan antaralain melalui statistik dan matematika.
2. Harus ada usaha membedakan secara jelas antara norma (ideal atau standar
sebagai pedoman untuk perilaku) dan fakta (sesuatu yang dapat dibuktikan berdasarkan
pengamatan dan pengalaman).
3. Analisis politik tidak boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi si peneliti, setiap
analisis harus bebas-nilai (valuefree), sebab benar/tidaknya nilainilai seperti misalnya
demokrasi, persamaan, kebebasan, tidak dapat diukur secara ilmiah.
4. Penelitian harus sistematis dan menuju pembentukan teori (theory building).
5. Ilmu politik haru bersifat murni (pure science), kajian terapan untuk mencari
penyelesaian masalah (problem solving) dan menyusun rencana perbaikan perlu dihindarkan.
Akan tetapi ilmu politik harus terbuka bagi dan terintegrasi dengan ilmu-ilmu lainnya.
 Kririk Terhadap Pendekatan Perilaku
Dalam perkembangannya Pendekatan Perilaku pun tidak luput dari kritik yang
datang dari berbagai pihak, antara lain dari kalangan tradisionalis, kemudian dari kalangan
penganut Pendekatan Perilaku sendiri, dan juga daripara Neo-Marxis. Kalangan tradisionalis
yang tadinya menjadi sasaran utama dari kecaman kaum perilaku (behavioralis)
kelihatannya tidak tinggal diam dan mempertahankan diri dengan sengit. Para sarjana
tradisionalis seperti Eric Voegelin, Leo Strauss, dan John Hallowell menyerang
Pendekatan Perilaku dengan argumentasi bahwa pendekatan itu terlalu steril karena
menolak masuknya nilai-nilai (value-free) dan norma-norma dalam penelitian politik.
Menurut kalangan tradisionalis, mereka yang berada di balik Pendekatan Perilaku tidak
mengusahakan mencari jawaban atas pertanyaan yang mengandung nilai, seperti apakah
sistem politik demokrasi yang baik, atau bagaimana membangun masyarakat yang adil,
dan sebagainya. Pada tahun 1969 David Easton, pelopor Pendekatan Perilaku yang
kemudian mendukung Pendekatan Pasca-Perilaku, dalam tulisannya The New Revolution in
Political Science, merumuskan pokok-pokoknya dalam suatu Credo of Relevance sebagai
berikut:
1. Dalam usaha mengadakan penelitian empiris dan kuantitatif, ilmu politik
menjadi terlalu abstrak dan tidak relevan dengan masalah sosial yang dihadapi. Padahal
menangani masalah sosial lebih mendesak ketimbang mengejar kecermatan dalam
penelitian.
2. Pendekatan Perilaku secara terselubung bersifat konservatif, sebab terlalu
menekankan keseimbangan dan stabilitas dalam suatu sistem dan kurang memerhatikan
gejala perubahan (change) yang terjadi dalam masyarakat.
3. Dalam penelitian, nilai-nilai tidak boleh dihilangkan, ilmu tidak boleh bebas
nilai (valuefree) dalam evaluasinya. Malahan para cendekiawan mengemban tugas untuk
melibatkan diri dalam usaha mengatasi masalah-masalah sosial dan mempertahankan nilai-
nilai kemanusiaan.
4. Mereka harus merasa committeduntuk aktif mengubah masyarakat agar menjadi
lebih baik Sarjana harus berorientasi pada tindakan (actionoriented).
III. Pendekatan Neo-Marxis
Para Marxis ini, yang sering dinamakan Neo-Marxis untuk membedakan mereka
dari orang Marxis klasik yang lebih dekat dengan komunisme, bukan merupakan
kelompok yang ketat organisasinya atau mempunyai pokok pemikiran yang sama. Lebih
tepat apabila mereka digambarkan sebagai kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari
cendekiawan yang mendapat inspirasi dari tulisan-tulisan Marx, terutama yang dikarang
dalam masa mudanya. Cikal bakal orientasi ini adalah tulisan-tulisan sarjana Hongaria, Georg
Lukacs (1885-1971), terutama dalam karyanya yang berjudul History and Class
Consciousness. Kebanyakan kalangan Neo-Marxis adalah cendekiawan yang berasal dari
kalangan ”borjuis” dan seperti cendekiawan di mana-mana, enggan menggabungkan diri
dalam organisasi besar seperti partai politik atau terjun aktif dalam kegiatan politik praktis.
Hanya ada satu atau dua kelompok yang militan, antara lain golongan Kiri Baru (New Left).
Para Neo-Marxis ini, di satu pihak menolak komunisme dari Uni Soviet karena sifatnya yang
represif, tapi dipihak lain mereka juga tidak setuju dengan banyak aspek dari masyarakat
kapitalis di mana mereka berada. Fokus analisis Neo-Marxis adalah kekuasaan serta konflik
yang terjadi dalam negara. Mereka mengecam analisis struktural-fungsional dari para
behavioralis karena terlampau mengutamakan harmoni dan keseimbangan sosial dalam
suatu sistem politik. Menurut pandangan struktural-fungsional, konflik dalam masyarakat
dapat diatasi melalui rasio, itikad baik, dan kompromi, dan ini sangat berbeda dengan titik
tolak pemikiran Neo-Marxis. Pada awal dasawarsa 1990-an situasi politik telah banyak
berubah. Komunisme di negara-negara Eropa Timur terbukti gagal untuk menjelmakan surga
di dunia yang telah lama dijanjikannya. Tahun 1970 yang oleh Khrushchev dengan
penuh optimisme dicanangkan sebagai saat Uni Soviet akan melampaui Amerika Serikat di
bidang perekonomian, ternyata telah berlalu. Yang terjadi malahan jatuhnya perekonomian
Uni Soviet dan terpecahnya negara itu menjadi beberapa negara pada tahun 1989. Jatuhnya
pamor komunisme dengan sendirinya mempunyai dampak negatif pada pemikiran Marx, baik
yang bersifat klasik maupun yang bersifatNeo-Marxis. Semua argumentasi yang tadinya
dianggap sebagai suatu alternatif yang cukup tangguh, mulai disangsikan validitasnya.

IV. Teori Ketergantungan (DepedencyTheory)

Kalangan lain yang juga berada dalam rangka teori-teori kiri, yang kemudian dikenal
sebagai Teori Ketergantungan, adalah kelompok yang mengkhususkan penelitiannya pada
hubungan antara negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga. Kelompok ini menarik
perhatian besar pada tahun 1970-an dan tahun 1980-an, tetapi sebenarnya pada tahun 1960-an
sudah mulai dirintis, antara lain oleh Paul Baran, yang kemudian disusul oleh Andre Gunder
Frank. Bertolak dari konsep Lenin mengenai imperialisme, kelompok ini berpendapat
bahwa imperialisme masih hidup, tetapi dalam bentuk lain yaitu dominasi ekonomi dari
negara-negara kaya terhadap negara-negara yang kurang maju (underdeveloped). Negara-
negara maju memang telah melepaskan tanah jajahannya, tetapi tetap mengendalikan
(mengontrol) ekonominya. Pembangunan yang dilakukan negara-negara yang kurang maju,
atau Dunia Ketiga, hampir selalu berkaitan eratdengan kepentingan pihak Barat. Pertama,
negara bekas jajahan dapat menyediakan sumber daya manusia dan sumber daya alam.
Investasi negara-negara maju diuntungkan karena negara kurang maju dapat
memberlakukan gaji atau upah yang kecil bagi tenaga kerjanya, sewa tanah yang
rendah dan bahan baku yang murah. Yang menarik dari tulisan-tulisan kalangan
pendukung Teori Ketergantungan (dependencia), yang pada awalnya memusatkan
perhatian pada negara-negara Amerika Selatan, adalah pandangan mereka yang membuka
mata kita terhadap akibat dari dominasi ekonomi ini. Ini bisa terlihat dari
membubungnya utang dan kesenjangan sosial-ekonomi dari pembangunan di banyak negara
Dunia Ketiga.

V. Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice)

Pendekatan ini muncul dan berkembang belakangan sesudah pertentangan antarapendekatan-


pendekatan yang dibicarakan di atas mencapai semacam konsensus yang menunjukkan
adanya pluralitas dalam bermacam-macam pandangan. Ia juga lahir dalam dunia yang
bebas dari peperangan besar selama hampir empat dekade, di mana seluruh dunia berlomba-
lomba membangun ekonomi negaranya. Berbagai negara baru menyusun rencana rencana
pembangunan, sedangkan beberapa negara kaya turut membantu melalui bermacam-macam
organisasi internasional atau secara bilateral. Tidak heran jika ekonomi pada akhir tahun
1980-an menjadi sangat penting dan juga memengaruhi ilmu-ilmu sosial lainnya. Oleh
beberapa ekonomi gejala ini dijelaskan sebagai Ekspansi imperialistik ekonomi ke dalam
wilayah-wilayah tradisional sosiologi, ilmu politik, antropologi, hukum, dan biologi
sosial (Imperialistic expansion of economics into the traditional domains of sociology,
political science, anthropology, law, and social biology). Inti dari politik menurut mereka
adalah individu sebagai aktor terpenting dalam dunia politik. Sebagai makhluk rasional ia
selalu mempunyai tujuantujuan (goalseekingatau goaloriented) yang mencerminkan apa
yang dianggapnyakepentingan diri sendiri. Ia melakukan hal itu dalam situasi terbatasnya
sumber daya (resource restraint), dan karena itu ia perlu membuat pilihan. Untuk
menetapkan sikap dan tindakan yang eisien ia harus memilih antara beberapa alternatif dan
menentukan alternatif mana yang akan membawa keuntungan dan kegunaan yang paling
maksimal baginya. Sekalipun berbagai penganut Rational Choice mempunyai penjelasan
yang berbeda-beda, substansi dasar dari doktrin ini telah dirumuskan oleh James
B.Rule, sebagai berikut:

1. Tindakan manusia (human action) pada dasarnya adalah ”instrumen” (dalam arti
alat bantu), agar perilaku manusia dapat dijelaskan sebagai usaha untuk mencapai suatu
tujuan yang sedikit banyak jarak jauh. Untuk manusia, atau untuk kesatuan yang lebih besar,
tujuan atau nilai tersusun secara hierarkis yang mencerminkan preferensinya mengenai apa
yang diinginkan atau diperlukannya. Hierarki preferensi ini relatif stabil.
2. Para aktor merumuskan perilakunya melalui perhitungan rasional mengenai aksi
mana yang akan memaksimalkan keuntungannya. Informasi relevan yang dimiliki oleh aktor
sangat memengaruhi hasil dari perhitungannya.

3. Proses-proses sosial berskala besar termasuk hal-hal seperti ratings, institusi


dan praktik-praktik merupakan hasil dari kalkulasi seperti itu. Mungkin akibat dari
pilihan kedua, pilihan ketiga, atau pilihan N perlu dilacak.

VI. Pendekatan Intitusionalisme Baru

Insitusionalisme Baru (New Institutionalism) berbeda dengan pendekatan,pendekatan


yang diuraikan sebelumnya. Ia lebih merupakan suatu visi yang meliputi beberapa
pendekatan lain, bahkan beberapa bidang ilmu pengetahuan lain seperti sosiologi dan
ekonomi. Institusionalisme Baru mempunyai banyak aspek dan variasi. Sebut saja misalnya,
Institusionalisme Baru sosiologi, Institusionalisme Baru ekonomi, dan sebagainya. Mengapa
disebut Institusionalisme Baru, Oleh karena ia merupakan penyimpangan dari
Institusionalisme Lama Seperti telah diuraika di atas, Institusionalisme Lama mengupas
lembaga-lembaga kenegaraan (aparatur negara) seperti apa adanya secara statis. Berbeda
dengan itu, Institusionalisme Baru melihat institusi negara sebagai hal yang dapat
diperbaiki ke arah suatu tujuan tertentu, seperti misalnya membangun masyarakat yang lebih
makmur. Usaha itu perlu ada semacam rencana atau design yang secara praktis
menentukan langkah-langkah untuk tercapainya tujuan itu.Institusionalisme Baru sebenarnya
dipicu oleh pendekatan behavioralis yang melihat politik dan kebijakan publik sebaga hasil
dari perilaku kelompok besar ataumassa, dan pemerintah sebagai institusi yang hanya
mencerminkan kegiatan massa itu. Bentuk dan sifat dari institusi ditentukan oleh para aktor
serta pilihannya. Dengan demikian kedudukan sentral dari institusi-institusi dalam
membentuk kebijakan publik dinomor duakan. Dapat dikatakan bahwa suatu institusi
adalah organisasi yang tertata melalui pola perilaku yang diatur oleh peraturan yang telah
diterima sebagai standar. Menurut Jan-Erik Lane dan Svante Ersson, institusi mencakup:
(1) Struktur isik,

(2) Struktur demograis,

(3) Perkembangan historis,

(4) Jaringan pribadi,

(5) Struktur sementara (yaitu keputusan-keputusan sementara).

Institusi adalah peraturan-peraturan yang stabil, yang memungkinkan orang yang sebenarnya
hanya mementingkan diri sendiri untuk bekerja sama dengan orang lain untuk tujuan
bersama. Perbedaannya dengan Institusionalisme yang lama ialah perhatian Institusional Baru
lebih tertujupada analisis ekonomi, kebijakan isikal dan moneter, pasar dan globalisasi
ketimbang pada masalah konstitusi yuridis. Dapat dikatakan bahwa ilmu politik, dengan
mengembalikan fokus atas negara termasuk aspek legal/institusionalnya, telah mengalami
suatu lingkaran penuh (full circle).

Anda mungkin juga menyukai