Anda di halaman 1dari 76

LEMBARAN JUDUL

PROSEDUR PENENTUAN HAK HADHANAH BAGI PASANGAN


KAWIN SIVIL PASCA PERCERAIAN AKIBAT MEMELUK AGAMA
ISLAM

Skripsi

Diajukan Oleh:

NOORSHARMIKA BINTI NORSAHAR


Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prodi Hukum Keluarga
NIM: 180101127

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2023M/1444H
PENGESAHAN PEMBIMBING
PROSEDUR PENENTUAN HAK HADHANAH BAGI
PASANGAN KAWIN SIVIL PASCA PERCERAIAN AKIBAT
MEMELUK AGAMA ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum


Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh
Sebagai Salah Satu Beban Studi Program Sarjana (S1)
dalam Ilmu Hukum Keluarga

Oleh:

NOORSHARMIKA BINTI NORSAHAR


Mahasiswi Fakultas Syaria’ah dan Hukum
Prodi Hukum Keluarga
NIM 180101127

Disetujui untuk Dimunaqasyahkan oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Fakhrurrazi M. Yunus Lc., MA Muhammad Husnul, M.H.I


NIP 19710202200112000 NIP 1990061220121013

i
PENGESAHAN SIDANG
PROSEDUR PENENTUAN HAK HADAHANAH BAGI
PASANGAN KAWIN SIVIL PASCA PERSECERAIAN
AKIBAT MEMELUK AGAMA ISLAM

SKRIPSI

Telah Diuji oleh Panitia Ujian Sidang Munaqasyah Skripsi


Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry
dan Dinyatakan Lulus Serta Diterima
Sebagai Salah Satu Beban Studi
Program Sarjana (S-1)
dalam Ilmu Hukum
Keluarga

Pada Hari/Tanggal: Senin, Masihi


di Darussalam, Banda Aceh
Panitia Ujian Munaqasyah Skripsi:

Ketua, Sekretaris,

Nama Nama
NIP NIP
Penguji I, Penguji II,

Nama Nama
NIP NIP
Mengetahui,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Nama
NIP
ii
LEMBARAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Noorsharmika binti Norsahar
NIM : 180101127
Prodi : Hukum Keluarga
Fakultas : Fakultas Syari’ah dan Hukum
Dengan ini menyatakan bahwa dalam penulisan skripsi ini, saya:
1. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan
mempertanggungjawabkan;
2. Tidak melakukan plagiasi terhadap naskah karya orang lain;
3. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli
atau tanpa izin pemilik karya;
4. Tidak melakukan manipulasi dan pemalsuan data;
5. Mengerjakan sendiri dan mampu bertanggungjawab atas karya ini.

Bila di kemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya melalui
pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan dan ternyata ditemukan bukti
bahwa saya telah melanggar pernyataan ini, maka saya siap dicabut akademik
atau diberi sanksi lain berdasarkan aturan yang berlaku di Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Ar-Raniry.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Banda Aceh,…………………..
Yang menyatakan

Noorsharmika binti Norsahar

iii
ABSTRAK
Nama : Noorsharmika binti Norsahar
NIM : 180101127
Fakultas/Prodi : Syari’ah dan Hukum/Hukum Keluarga
Judul : Penentuan Hak hadhanah Bagi Pasangan Kawin Sivil Pasca
Perceraian Akibat Memeluk Agama Islam
Tanggal Sidang :
Tebal Skripsi : 60 Halaman
Pembimbing I : Fakhrurrazi M. Yunus Lc., MA
Pembimbing II : Muhammad Husnul, M.H.I
Kata Kunci : Prosedur Mahkamah, Hak Hadhanah, Perceraian Pasangan
Kawin Sivil, Peluk Islam

iv
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرمحن الرحمي‬
‫ اما بعد‬،‫ وعىل اهل واحصابه ومن والاه‬،‫ والصالة والسالم عىل رسول هللا‬،‫امحلدهلل‬:

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah s.w.t. yang


telah menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya. Selanjutnya shalawat beriring
salam penulis sanjungkan ke pangkuan Nabi Muhammad s.a.w. karena berkat
perjuangan beliau, ajaran Islam sudah tersebar keseluruh pelosok dunia untuk
mengantar manusia dari alam kejahilan kea lam yang penuh ilmu pengetahuan,
sehingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis yang berjudul: “Prosedur
Penentuan Hak Hadhanah bagi Pasangan Kawin Sivil Pasca Perceraian Akibat
Memeluk Agama Islam”.

Jutaan terima kasih saya ucapkan sebagai syukur yang tidak terhingga
teruntuk orang tua saya yang paling berjasa membesarkan saya dengan penuh
kebaikan, memberikan kasih sayang, juga asuhan dan Pendidikan yang terbaik.
Semoga kebaikan yang orang tua lakukan kepada saya, kelak menjadi jariyah
untuk ayah dan ibu bidadari tanpa sayap yang telah melahirkan saya dengan
penuh perjuangan memberikan dan mengorbankan segalanya untuk hidup saya.
Juga ucapan terima kasih atas ucapan dan doa-doa baik kepada saya demi
kesuksesan penulis hingga hari ini, semoga kelak saya boleh berbakti dan
mencurahkan kasih sayang kepada orang tua sendiri sebagaimana ikhlas dan
tulus kasih cinta mereka terhadap saya. Tidak lupa juga ucapan terima kasih
kepada saudara-saudara selama ini yang telah membantu dalam memberikan
motivasi dalam berbagai hal demi berhasilnya studi penulis.

Kemudian rasa hormat dan ucapan terima kasih pada dosen-dosen yang
tidak terhingga juga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Mujiburrahman M.Ag, rektor UIN Ar-Raniry

v
2. Bapak Dr. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, M.SH, Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry
3. Bapak Dr. Agustin Hanapii. Lc., M.A, selaku Ketua Prodi Hukum
Keluarga
4. Bapak Fakhrurrazi M. Yunus, Lc., M.A, selaku pembimbing pertama
5. Selaku pembimbing kedua
6. Bapak seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Syyari’ah dan Hukum
UIN Ar-Raniry
7. Bapak Kepala Perpustakaan induk UIN Ar-Raniry dan seluruh
karyawannya
8. Teman-teman seperjuangan angkata tahun 2018.

Akhirnya, penulis telah menyelesaikan karya penulisan skripsi ini. Penulis


berharap penulisan ini bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan juga kepada
para pembaca semua. Maka, kepada Allah jualah kita berserah diri dan meminta
pertolongan, seraya mohon taufiq dan hidayah-Nya untuk kita semua.

Banda Aceh, 12 Maret 2023


Penulis

Noorsharmika binti Norsahar

vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543b/U/1987

1. Konsonan
Fonem konsonan Bahasa arab yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini Sebagian dilambangkan
dengan huruf dan Sebagian dilambangkan dengan tanda, dan Sebagian lagi
dengan huruf dengan tanda sekaligus. Di bawah ini daftar huruf Arab itu
transliterasinya dengan huruf Latin.
HURUF NAMA HURUF LATIN NAMA
ARAB
‫ا‬ Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

‫ب‬ Bã’ B Be

‫ت‬ Tã’ T Te

‫ث‬ Śa’ S Es (dengan titik di atas)

‫ج‬ Jĩm J Je

‫ح‬ Hã’ H Ha (dengan titik di bawah)

‫خ‬ Khã’ Kh Ka dan ha

‫د‬ Dãl D De

‫ذ‬ Żãl Z Zet (dengan titik di atas)

‫ر‬ Rã’ R Er

‫ز‬ Zai Z Zat

‫س‬ Sĩn S Es

‫ش‬ Syĩn Sy Es dan ye

HURUF NAMA HURUF LATIN NAMA


ARAB

vii
‫ص‬ Şad S Es (dengan titik di bawah)

‫ض‬ Dad D De (dengan titik di bawah)

‫ط‬ Ţã’ T Te (dengan titik di bawah)

‫ظ‬ Za Z Zet (dengan titik di bawah)

‫ع‬ ‘ain ‘ Koma terbalik (di atas)

‫غ‬ Gain G Ge

‫ف‬ Fã’ F Ef

‫ق‬ qãf Q Ki

‫ك‬ kãf K Ka

‫ل‬ Lãm L El

‫م‬ Mĩm M Em

‫ن‬ Nũn N En

‫و‬ Wau W We

‫ه‬ Hã’ H Ha

‫ء‬ Hamzah ʼ Apostrof

‫ي‬ Yã’ Y Ye

Sumber: SKB Menag dan Mendikbud RI No. 158/1987 dan No. 0543b/U/1987

Hamzah (‫ )ء‬yang terletak pada awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi
tanda apa pun. Jika (‫ )ء‬terletak di tengah ataupun di akhir, maka ditulis dengan
tanda (ʼ).
2. Vokal

Vokal Bahasa Arab, seperti vokal Bahasa Indonesia, yang terdiri


atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Vokal tunggal Bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda ataupun
harakat, transliterasinya sebagai berikut:

viii
HURUF ARAB NAMA HURUF LATIN NAMA
‫َا‬ Fathah A A
‫ِا‬
Kasrah I I
‫ُا‬ Dammah U U

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan


antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

TANDA NAMA HURUF LATIN NAMA

‫َاْي‬ Fathah dan ya Ai A dan I

‫َاْو‬ Fathah dan wau Au A dan U

Contoh:

‫َك ْيَف‬ : kaifa

‫َه ْو َل‬ : haula

3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

HARKAT DAN HURUF DAN


NAMA NAMA
HURUF TANDA
‫ـَـا ـَـى‬ Fatḥah dan alif atau ā a dan garis di atas
ya
‫ـِـي‬ Kasrah dan ya ī i dan garis di atas

‫ـُــو‬ Ḍammah dan wau ū u dan garis di atas

Contoh:

‫َم اَت‬ : māta

ix
‫َرَم ى‬ : ramā
‫ِق‬
‫ْيَل‬ : qīla

‫ُمَيْو ُت‬ : yamūtu

4. Ta Marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua bentuk, yaitu: ta marbūṭah yang
hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya adalah
[t]. Sedangkan ta marbūṭah yang mati ataupun mendapatkan penambahan harkat
sukun, transliterasinya adalah [h]. Jika pada kata yang berakhir dengan huruf ta
marbūṭah, diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang (al-), serta bacaan
kedua kata itu terpisah, maka ta marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h).
Contoh:

‫َرْو َض ُة األْطَف ال‬ : rauḍah al-aṭfāl

‫ا ِد ْيَنُة الَف ِض ْيَلُة‬ : al-madīnah al-fāḍīlah


‫ِم‬ ‫ِحل‬ ‫َمل‬
‫ُة‬ ‫ْك‬ ‫ا‬ : al-ḥikmah
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau disebut dengan kata tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan satu tanda tasydīd (‫ )ّـ‬dalam transliterasi ini dilambangkan
dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah, misalnya
di dalam contoh berikut:

‫َر َّبَنا‬ : rabbanā

‫َّجَنْيَنا‬ : najjainā

‫اَحلُّق‬ : al-ḥaqq

‫اَحلُّج‬ : al-ḥajj

‫ُنِّعَم‬ : nu’ima

‫َعُد ٌّو‬ : ‘aduwwun

x
Jika huruf ‫ ى‬memiliki tasydīd di akhir suatu kata, dan kemudian didahului
oleh huruf berharkat kasrah (‫)ـِـ‬, maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (ī).
Contoh:
‫ِل‬
‫َع ّي‬ : ‘Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)

‫َعَرّيِب‬ : ‘Arabī (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)

6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf ‫ال‬
(alif lam ma‘arifah). Pada pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi
seperti biasa yaitu (al-), baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf
qamariah. Kata sandang tersebut tidaklah mengikuti bunyi huruf langsung yang
mengikutinya. Kata sandang itu ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan
dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contohnya:

‫الَّش ْم ُس‬ : al-syamsu (bukan asy-syamsu)

‫الَّز ْلَز َلة‬ : al-zalzalah (bukan az-zalzalah)

‫الَف ْلَس َف ة‬ : al-falsafah

‫الِبَالُد‬ : al-bilādu

7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di
awal kata, ia tidak dilambangkan, karena di dalam tulisan Arab ia berupa alif.
Contohnya:

‫َتْأُمُر ْو َن‬ : ta’murūna

‫الَّنوُء‬ : al-nau’

‫َش ْي ٌء‬ : syai’un


‫ِم‬
‫ُأ ْر ُت‬ : umirtu
xi
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa
Indonesia
Kata, istilah, atau kalimat Arab yang ditransliterasikan adalah kata, istilah,
atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau
kalimat yang telah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan dalam bahasa
Indonesia, atau sudah sering ditulis di dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi
ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya kata Alquran dari al-Qur’ān,
sunnah, hadis, khusus dan juga umum. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi
bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara
utuh. Contoh:

‫يف ظالل القرآن‬ : Fī ẓilāl al-Qur’ān


‫السنة قبل التدوين‬ : Al-Sunnah qabl al-tadwīn

‫العبارات يف عموم الفظ ال خبصوص السبب‬ : al-‘ibārāt fī ‘umūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ


al-sabab

9. Lafẓ al-Jalālah (‫) هللا‬


Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya
atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal), ditransliterasikan tanpa
huruf hamzah. Contoh:
‫ِد اِهلل‬
‫ْيُن‬ : dīnullāh
Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan pada lafẓ al-jalālah,
ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:
‫ِة اِهلل‬
‫ُه ْم ْيِف َر َمْح‬ : hum fī raḥmatillāh

10. Huruf Kapital


Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam
transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan

xii
huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku atau
Ejaah Yang Disempurnakan (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk
menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada
permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf
awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata
sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga
berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang
(al-), baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP,
CDK, dan DR). Contoh:
Wa mā Muḥammadun illā rasūl
Inna awwala baitin wuḍi‘a linnāsi lallażī bi Bakkata mubārakan
Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh Al-Qur’ān
Naṣīr Al-Dīn Al-Ṭūs
Abū Naṣr Al-Farābī
Al-Gazālī
Al-Munqiż min Al-Ḍalāl

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

xiv
DAFTAR ISI

LEMBARAN JUDUL
PENGESAHAN PEMBIMBING
PENGESAHAN SIDANG
LEMBARAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
PEDOMAN TRANSLITERASI
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR ISI
BAB SATU PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
D. Kajian Pustaka
E. Penjelasan Istilah
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Pembahasan
BAB DUA HADHANAH DARI PERSPEKTIF ISLAM DAN UNDANG-
UNDANG DI MALAYSIA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Hadhanah
1. Pengertian hadhanah
2. Dalil pensyariatan hadhanah
3. Hikmah pensyariatan hadhanah
B. Hukum Hadhanah
1. Ketentuan dan Syarat Hadhanah
2. Urutan hak hadhanah
BAB TIGA KEWENANGAN MAHKAMAH YANG MEMUTUSKAN
KASUS HAK HADHANAH PASANGAN MUSLIM
DENGAN NON MUSLIM
A. Status perkawinan bagi pasangan kawin sivil setelah
memeluk agama Islam
B. Kenentuan hak hadhanah muslim dengan non muslim
C. Pertimbangan hukum dalam penetapan hak hadhanah
pasca perceraian karena perpindahan agama.

xv
1. Landasan hukum penetapan hak hadhanah
2. Analisis pertimbangan hakim dalam memutuskan
kasus
BAB EMPAT PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN

xvi
BAB SATU
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam telah mensyariatkan pernikahan dengan meletakkan peraturan-


peraturan yang jelas dan tepat demi kemaslahatan dalam menjalani bahtera
perkawinan. Pernikahan adalah ikatan yang suci dan satu akad yang
menghalalkan perhubungan antara laki-laki dan wanita mengikut hukum syarak .1
Walaubagaimanapun ikatan suci tersebut bisa musnah akibat berlakunya salah
faham antara pasangan sehingga membawa kepada perceraian. Semua pasangan
mengharapkan ikatan yang sah tersebut bisa sampai ke hujung nyawa bersama
dengan zuriat mereka. Namun, “langit tidak selalunya cerah”, apabila rumah
tangga yang dipertahankan akhirnya musnah sebegitu saja.

Disamping itu, hal yang turut menjadi tarikan atau perbualan hangat dalam
kalangan masyarakat adalah bilamana pasangan kawin sivil yang salah seorang
daripada mereka memeluk agama Islam, isu utama yang dibicarakan adalah
status perkawinan2 dan hak hadhanah. Dalam hal perkawinan, menurut jumhur
ulama, Imam Mãlikĩ, Syãfi’ĩ dan Ahmad berpendapat bahwa jika si isteri yang
memeluk agama Islam maka terbubarnya perkawinan mereka saat si isteri habis
iddahnya, namun jika si suami turut memeluk Islam sebelum isteri habis iddah,
maka perkawinan mereka kekal sah seperti biasa. Manakala, jika si suami yang
memeluk Islam, dan si isterinya seorang kitabiyyah, maka perkawinan mereka
kekal sah seperti biasa, ini karena lelaki muslim dibolehkan berkawin dengan
ahli kitab. Namun, jika si isteri bukan seorang ahli kitab, suami digalakkan
untuk bareng memeluk Islam, sekiranya si isteri enggan, maka qadi berhak
membubarkan perkawinan mereka.

1
Mustofa Al-Khin, Kitab Fikah Mazhab Syafie, jilid 4, (Kuala Lumpur, Pustaka Salam
Sdn Bhd, 2014) hlm 671.
2
Salleh Bin Ismail, Pembubaran Perkahwinan mengikut Fiqh dan Undang-Undang
Keluarga Islam, (Selangor, Dawama Sdn. Bhd., 2003) hlm 115.
1
2

“Hadhanah” satu kalimat yang sememangnya akan menjadi satu isu besar
bagi pasangan yang mempunyai anak apabila terjadinya perceraian. Bilamana
perebutan anak sering terjadi karena masing-masing mempunyai hak ke atas
anak-anak mereka. Pertelingkahan demi pertelingkahan bagi mendapatkan hak
masing-masing. Namun begitu, sememangnya satu kewajiban bagi orang tua
dalam mengurus dan memelihara anak-anak baik dalam alam perkawinan
maupun setelah perceraian.3 Hadhanah adalah memelihara anak-anak yang
masih kecil sehingga mereka boleh mandiri (mengurus diri sendiri), baik anak
itu belum mumayyiz maupun sudah mumayyiz (boleh membedakan antara yang
baik dengan yang buruk), (Raihanah Azahari, Najihah Norman 2009) 4. Menurut
Imam Nawawi dalam kitabnya Raudhah Thalibin, hadhanah adalah mendirikan
(hak-hak) dengan menjaga orang yang tidak mumayyiz dan tidak boleh mandiri
dalam menguruskan diri sendiri dan mengasuhnya dengan apa yang layak
untuknya dan memeliharanya dari apa jua yang menyakitinya. 5 Dalam mazhab
Syãfi’ĩ, tiada batas tertentu dalam hal hadhanah, bagi anak kecil yang sudah
pandai membedakan antara ibu dengan ayahnya, dia boleh memilih sesuai
kemahuannya sesiapa yang dia kehendaki.6

Islam memandang serius dalam hal ini, karena berkaitan dengan hal akidah
seseorang. Hal ini berdasarkan kaidah fiqh:7

‫الصغري يّتبع خري األبوين دينا‬

3
Zaini Nasohah, Perceraian: Hak Wanita Islam, (Selangor, Lohprint Sdn. Bhd., 2004),
hlm 59.
4
Nur Zulfah Md Abdul Salam, Asas pertimbangan dalam Penghakiman Hadhanah:
Analisis terhadap kes-kes di Mahkamah Syariah, (KUIS, Kuala Lumpur:2018), hlm 47.
5
Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan Malaysia, Bayan linnas siri ke 214: Solusi
Rasulullah s.a.w. dan para sahabat terhadap pertikaian hadhanah,
https://muftiwp.gov.my/component/tags/tag/bayan-linnas.
6
Faisal Saleh, Fikih 4 Mazhab Jilid 5, (Jakarta, Data Katalog Dalam Terbitan (KDT),
2012), hlm 1146.
7
Hasni Binti Mohd Ali, Status Agama Anak Bawah umur selepas salah seorang
daripada pasangan memeluk Islam, Jurnal Penyelidikan Islam, hlm 3.
3

Terjemahannya: “Seorang kanak-kanak mengikut ibu bapa yang paling baik


agamanya”

Malaysia sehingga ke hari ini, Islam menduduki agama teratas, yakni Islam
sebagai agama resmi persekutuan bagi Malaysia. Perkara 3 (1) Perlembagaan
Persekutuan telah menyatakan:

“Islam adalah agama bagi Persekutuan; tetapi agama-


agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai
dimana-mana Bagian Persekutuan”.8
Ketetapan bahwa Islam adalah agama yang paling tinggi, derajat
kemuliaannya tidak sama dengan agama lain tidak boleh dinafikan lagi.
Walaubagaimanapun, apabila terkait dengan perceraian antara pasangan sivil
yang mana salah seorang darinya memeluk Islam, akan menimbulkan hal
hadhanah yang berkaitan isu agama anak-anak. Disebabkan itu ibu bapa
berusaha mendapatkan hak hadhanah sekaligus memelihara agamanya. Hal ini
berdasarkan undang-undang Perlembagaan Persekutuan, Perkara 12 (3) yaitu,
tidak ada seorang pun boleh dikehendaki menerima ajaran suatu agama atau
mengambil bahagian dalam apa-apa upacara sembahyang sesuatu agama, selain
agamanya sendiri. Manakala Perkara 12 (4) pula menyatakan bagi maksud Fasal
(3) agama seseorang yang dibawah umur delapan belas (18) tahun haruslah
ditetapkan oleh ibu atau bapanya atau penjaganya. 9 Ini bermaksud anak-anak
dibawah 18 tahun agamanya hanya ibu, bapa atau penjaganya sahaja boleh
menetapkannya dan mereka tidak boleh memilih agamanya sendiri tanpa izin
ibu bapa atau penjaganya.

Di Malaysia dua kewenangan mahkamah, yakni Mahkamah Tinggi (khusus


untuk kasus sivil) dan Mahkamah Syariah (khusus untuk kasus orang Islam)
telah dipisahkan secara legal. Hal ini telah membuatkan kedua-dua kewenangan
8
Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Perlembagaan Persekutuan, (Selangor:
ILBS, 2014), hlm. 26.
9
Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Perlembagaan Persekutuan, (Selangor:
ILBS, 2014), hlm 40.
4

mahkamah tersebut tidak bisa memutuskan perkara yang luar dari


kewenangannya. Ini berdasarkan Perkara 121 (1A) Perlembagaan Persekutuan
telah menetapkan bahwa Mahkamah Tinggi tidak mempunyai kewenangan
berkaitan dengan apa-apa perkara dalam bidang kuasa Mahkamah Syariah. 10
Oleh itu, jelaslah disini bahwa Mahkamah Tinggi tidak boleh sama sekali
mencampuri urusan atau wewenang Mahkamah Syariah.11

Setelah berlakunya pemindaan Perkara 121 (1A) Perlembagaan Persekutuan


pada 10 Jun 1988, Mahkamah Syariah diberi bidang kuasa esklusif (khusus)
tanpa campur tangan dari Mahkamah Tinggi. Dampak daripada pindaan Perkara
121 (1A) Perlembagaan Persekutuan ini, kontradiksi antara Mahkamah Tinggi
dengan Mahkamah Syariah boleh dielakkan kerana mana-mana perkara yang
boleh dibawa ke Mahkamah Syariah, Mahkamah Tinggi tidak lagi mempunyai
wewenang dalam perkara tersebut.12

Walaubagaimanapun, Tun Zaki Tun Azmi, bekas ketua Hakim Negara,


beliau mencadangkan bahawa Mahkamah Persekutuan meneliti kembali
kekosongan dalam Perkara 121 (1A) yang mengasingkan kewenangan
Mahkamah Syariah dengan Mahkamah Sivil, ini disebabkan walaupun
Mahkamah Sivil tidak boleh mendengar atau memutuskan kasus berkaitan
mahkamah Syariah, namun masih ada lagi perkara bidang kuasa Mahakamah
Syariah yang diputuskan oleh Mahkamah Sivil. Hal ini karena ada kasus yang
mana salah seorang pasangan kawin sivil yang memeluk Islam telah melarikan
anak mereka setelah memeluk Islam, dan pembubaran perkawinan seperti kasus
ini dibubarkan oleh Mahkamah Sivil.13
10
Ibid, hlm. 208.
11
Khairunnisa Binti Abd Samad, Hak Hadhanah Orang Tua yang Muallaf Terhadap
anak Menurut Hukum Keluarga di Malaysia, (Medan, 2017)Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Sumatera Utara, Medan, hlm 1
12
Husin Che Pa, Nasrul Hisyam dan Suhaimi Mustar, Bidangkuasa Ekslusif Mahkamah
Syariah Selepas Pindaan Perkara 121 (1A) Perlembagaan Persekutuan: Satu Penilian,
Universiti Islam Sains Malaysia, (MJSL, Negeri Sembilan, 2016), hlm 5.
13
Berita Harian, “Kaji Semula Kuasa Mahkamah Syariah, Sivil”, diakses melalui
https://www.bharian.com.my/berita/nasional/2017/11/351202/kaji-semula-kuasa-mahkamah-
5

Terjadinya permasalahan dalam hal ini apabila ada hak hadhanah jatuh ke
orang tua yang bukan Islam, yakni mengikut agama asalnya dilahirkan. Hal ini
karena anak-anak yang sudah sampai peringkat umur mumayyiz mempunyai
hak dalam memilih antara kedua ibu atau bapanya. Contoh kasus Viran a/l
Nagapan lawan Deepa a/p Subramaniam, yakni mahkamah membuat keputusan
berdasarkan kehendak anak-anak pasangan tersebut, yang mana salah seorang
anaknya memilih bapanya yang beragama Islam, manakala lagi seorang anaknya
memilih untuk bersama ibunya yang beragama bukan Islam, hal ini dipandang
pada kebajikan anak-anak yang merasakan keselesaan ketika bersama siapa
yang mereka kehendaki. Selain itu, penyebab kepada hal ini adalah bilamana
Mahkamah Syariah boleh memutuskan hak penjagaan anak dengan adanya
kewenangan tersebut, tetapi Mahkamah Syariah tidak mempunyai hak
kewenangan keatas individu yang bukan beragama Islam. Sekaligus menjadikan
hak hadhanah yang ditetapkan kepada orang tuanya yang bukan Islam tidak
boleh diubah kepada orang tuanya yang beragama Islam.14

Hal ini disebabkan pertembungan dua kewenangan mahkamah dalam satu


kasus karena melibatkan perbedaan agama antara pasangan tersebut. Dalam
kasus tersebut, berkaitan dengan Perkara 75 Perlembagaan Persekutuan yang
menyatakan bahwa undang-undang yang terletak dibawah kuasa negeri-negeri
adalah tidak selaras dengan undang-undang persekutuan, maka Mahkamah
Syariah terbatas membicarakan hal orang Islam dan tidak boleh membatasi
Mahkamah Persekutuan. Jika ada kasus yang bertembungnya antara Mahkamah
Sivil dengan Mahkamah Syariah, maka Mahkamah Syariah hanya terbatas
kewenanganya ke atas orang Islam sahaja.15
syariah-sivil-tun-zaki, pada tanggal 1 November 2020.
14
Peguam Syarie Faiz Adnan Associates, “Status agama anak bawah umur dan Hak
Hadhanah apabila salah seorang ibubapa memeluk Islam: Adakah Islam atau kekal dengan
Agama ibubapa ketika berkahwin?, diakses melalui https://peguamsyariefas.com.my/status-
agama-anak-bawah-umur/, pada tanggal 29 oktober 2020.
15
Zulazhar Tahir, “Mahkamah Syariah selepas 16 tahun Kemasukan Artikel 121 (1A)
Perlembagaan Persekutuan”, diakses melalui
https://ejournal.um.edu.my/index.php/JMCL/article/view/16258/9766, hlm 150.
6

Oleh demikian, disebabkan banyak terjadi kasus perceraian bagi pasangan


kawin sivil akibat pemelukan agama Islam, hak hadhanah salah satu faktor
utama pertelingkahan orang tua, bilamana masing-masing mahu mendapatkan
hak ke atas anak mereka sekaligus memelihara agama si anak mengikut agama
orang tuanya. Oleh itu, penulis ingin melihat sejauh mana keseragaman sistem
prosedur mahkamah di Malaysia dalam menangani perkara tersebut, disamping
orang tua mendapatkan hak mereka. Hal ini karena prosedur yang melibatkan
pertembungan antara dua mahkamah yang berbeda kewenangannya. Oleh itu,
dalam penelitian ini dapat dilihat bagaimana prosedur penentuan hak hadhanah
bagi pasangan kawin sivil setelah terjadinya perceraian yang melibatkan dua
kewenangan mahkamah di Malaysia? Apakah landasan hukum yang digunakan
oleh hakim dalam menetapkan hak hadhanah seperti itu? Dapatkah Mahkamah
Syariah memelihara agama Islam bagi anak-anak tersebut?

B. Rumusan Masalah

Seperti mana penjelasan dan uraian diatas, dapat digambarkan bahwa


permasalahan dalam kajian ini terkait rapat dengan:

1. Bagaimanakah prosedur penentuan hak hadhanah bagi pasangan kawin


sivil setelah perceraian antara muslim dengan non muslim?
2. Apakah landasan pertimbangan hukum dalam penetapan hak hadhanah
bagi pasangan kawin sivil antara muslim dengan non muslim setelah
terjadinya perceraian?

C. Tujuan Masalah

Berdasarkan masalah diatas, dapatlah dikaitkan dengan tujuan penelitian


tersebut bagi merungkai permasalahan ini, yaitu:

1. Mengetahui prosedur penentuan hak hadhanah bagi pasangan kawin sivil


setelah perceraian antara muslim dengan non muslim.
7

2. Mengetahui landasan pertimbangan hukum dalam penetapan hak


hadhanah bagi pasangan kawin sivil antara muslim dengan non muslim
setelah terjadinya perceraian.

D. Kajian Pustaka

Bagi melihat bagaimana perbedaan maupun persamaan dijadikan sebagai


rujukan untuk melihat sejauh mana kajian-kajian terdahulu diteliti terkait dengan
hak hadhanah muslim dengan non muslim yang melibatkan dua bidang kuasa
mahkamah di Malaysia. Dengan adanya tinjauan pustaka ini dapatlah penulis
mengemukakan argument-argumen yang lebih jelas lagi bagi memperincikan
hal tersebut. Sehingga ke saat ini, beberapa kajian berkaitan hadhanah non
muslim dengan muslim dan bidang kuasa Mahkamah Syariah dan bidang kuasa
Mahkamah Sivil telah diteliti.

Pertama, penelitian berjudul status agama anak bawah umur selepas salah
seorang daripada pasangan memeluk Islam, karya Hasni Binti Mohd Ali. Kajian
ini menguraikan bagaimana status agama anak setelah ibu bapa bercerai dan
salah seorang memeluk Islam, sama ada anak tersebut turut di Islamkan juga
atau kekal dalam agama asalnya. Yang mana kajian ini berdasarkan pandangan
Islam, yakni penulis mengemukakan pendapat empat mazhab terkait dengan
hadhanah tersebut. Disamping itu, turut disertakan dengan undang-undang
berkaitan perkara ini, seperti Perkara 12 (4) Perlembagaan Persekutuan dan Akta
Memperbaharui Undang-Undang (Perkahwinan dan Perceraian).

Kedua, penelitian berjudul Kebebasan beragama dalam undang-undang


Malaysia Perlembagaan Persekutuan kaitannya dengan perkawinan campuran,
karya Muhammad Nur Hakim Bin Ramli, Mahasiswa Uin Arraniry, Fakultas
Syariah dan Hukum dari Prodi Hukum Keluarga. Dalam penelitian ini, penulis
tersebut fokus kepada Perkara 11 Perlembagaan Persekutuan tentang kebebasan
memilih agama, yang mana kaitan Perkara 11 ini sangat rapat dengan
8

kemurtadan orang Islam bilamana ada yang berkawin campur (berlainan agama)
dengan beralasan peruntukan undang-undang tersebut. Walaupun sudah terang
dan jelas bahwa perkawinan tersebut dilarang dalam Islam. Selain itu, terjadinya
hal yang sepatutnya Mahkamah Syariah yang putuskan, namun terjadi
sebaliknya bilamana Mahkamah Sivil memutuskan hal kebebasan agama atau
murtad.16

Ketiga, penelitian berjudul Hak Hadhanah anak dalam keluarga beda


agama (Studi kasus di desa Getasan, Kecamatan Getasan, Kabupaten
Semarang), karya Ahmad Muntaha, mahasiswa jurusan Hukum Keluarga,
Fakultas Syariah dan Hukum dai IAIN Salatiga. Penelitian ini tentang studi
kasus-kasus di kecamatan penulis, yang mana penduduk di kecamatan tersebut
masyarakatnya mengamalkan kawin campur (beda agama), bilamana pasangan
kawin campur ini mengamalkan ajaran agama masing-masing. Anak mereka
mengikut ajaran yang mana sering diajarkan kepadanya, misalan ada satu
keluarga yang ibunya beragama Islam dan mengamalkan gaya hidup Islam
sepenuhnya, manakala ayahnya beragama katholik, dikarenakan ayahnya sering
sibuk dengan amalan agamanya, anak tersebut mayoritas hidupnya bersama
ibunya, justeru anak tersebut membesar dengan ajaran ibunya.

Keempat, Hak hadhanah orang tua yang muallaf terhadap anak menurut
Hukum Keluarga di Malaysia (Stusi kasus terhadap putusan Mahkamah
Persekutuan Nomor 02(F)-5-01-2015 & 02(F)-6-01-2015), karya Khairunnisa
Binti Abd Samad, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumatera
Utara, Medan tahun 2017. Penelitian ini membicarakan tentang bagaimana
Akta 164 Memperbaharui Undang-Undang (Perkawinan dan Perceraian) 1976
dan Enakmen Udang-Undang Keluarga Islam di Malaysia digunakan dalam hal
perkawinan campur (beda agama) di Malaysia dan memngukuhkan lagi hujjah

16
Muhammad Nur Hakim Bin Ramli, Kebebasan Beragama dalam undang-undang
Malaysia Perlembagaan Persekutuan kaitannya dengan perkawinan campuran, (Banda Aceh,
Uin arraniry, 2016).
9

bahwa tiada keizinan yang membolehkan perkawinan tersebut dijalankan di


Malaysia. Selain itu, penulis turut membuat penelitian bagaimana status agama
anak bagi salah satu dari ibubapanya adalah Islam dan bagaimana status
hadhanah anak tersebut, apakah bisa dapat ke orang tuanya yang muallaf atau
sebaliknya.17

Kelima, Bidang kuasa ekslusif Mahkamah Syariah selepas pindaan Perkara


121 (1A) Perlembagaan Persekutuan: Satu penelitian, karya Hussin Chepa,
Nasrul Hisyam dan Suhaimi Mustar, merupakan mahasiswa pasca siswazah,
pensyarah kanan dan graduan Ijazah Doktor Falsafah, ketiga-tiganya dari
Fakulti Tamadun Islam di Universiti Teknologi Malaysia (UTM). Penelitian ini
mengisarkan tentang bagaimana kuasa ekslusif yang diiktirafkan kepada
Mahkamah Syariah setelah pindaan Perkara 121 (1A) pada tahun 1988 yang
mengasingkan bidang kuasa Mahkamah Syariah dengan Mahkamah Sivil. Yang
mana Mahkamah Syariah mempunyai bidang kuasa dalam mendengar dan
memutuskan hal-hal yang berkaitan Islam sahaja.18

Keenam, Status agama anak di bawah umur setelah salah seorang orang
tuanya memeluk agama Islam (Studi di kantor Mufti Negeri Sembilan,
Malaysia), karya Nur Husna Binti Zamri, mahasiswa jurusan Studi
Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifuddin, Jambi 2018. Penelitian ini adalah satu kajian lapangan, yang mana
penulis membataskan penelitiannya berdasarkan pandangan Mufti Negeri
Sembilan, Malaysia. Kajian tentang status agama anak setelah salah seorang
daripada orang tuanya memluk agama Islam, dan terkait dengan hal tersebut,
ada beberapa kasus di Negeri Sembilan yang dikemukakan oleh penulis, yang

17
Khairunnisa Binti Abd Samad, Hak Hadhanah Orang Tua yang Muallaf Terhadap
anak Menurut Hukum Keluarga di Malaysia, (Medan, 2017)Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Sumatera Utara, Medan.
18
Husin Che Pa, Nasrul Hisyam dan Suhaimi Mustar, Bidangkuasa Ekslusif Mahkamah
Syariah Selepas Pindaan Perkara 121 (1A) Perlembagaan Persekutuan: Satu Penilian,
Universiti Islam Sains Malaysia, (MJSL, Negeri Sembilan, 2016).
10

mana salah satunya kasus yang terjadi adalah perceraian pasangan hindu yang
mempunyai dua oang anak, anak lelakinya memilih untuk mengikut bapanya
yang beragama Islam dan anak perempuannya kekal dalam agama asalnya
bersama ibunya. Selain itu, kajian ini turut menyelitkan bagaimana
pengistinbatan hukum yang ditetapkan oleh Mufti Negeri Sembilan dalam status
agama anak bawah umur setelah orang tuanya ada yang memeluk Islam.19

E. Penjelasan Istilah

1. Prosedur

Prosedur adalah suatu urutan-urutan pekerjaan kerana yang


biasanya melibatkan beberapa orang dalam suatu bagian atau lebih
disusun untuk menjamin adanya perlakuan yang seragamtransaksi-
transaksi perusahaan yang sering terjadi (Cole). 20 Prosedur secara yang
formal (dalam prosiding mahkamah) di mana prosiding undang-undang
dilakukan.21

2. Hadhanah
Adalah memelihara seseorang yang tidak bisa mandiri dan
mengasuhnya dengan berbagai elemen sesuai dengan
perkembangannya.22
3. Pasangan kawin sivil
Adalah satu perkawinan untuk orang bukan Islam mengikut
agama yang dianuti dibawah Pejabat Pendaftaran.23

19
Nur Husna Binti Zamri, Status agama anak di bawah umur setelah salah seorang
orang tuanya memeluk agama Islam (Studi di Kantor Mufti Negeri Sembilan, Malaysia), (Jambi,
2018), Fakultas Syariah, UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
20
Landasan Teori, Universitas Bina Sarana Informatika.
21
Kamus undang-undang, (Selangor, Oxford Fajar, 2007), hlm 434.
22
Mustofa Al-Khin, Kitab Fikah Mazhab Syafie, jilid 4, (Kuala Lumpur, Pustaka Salam
Sdn Bhd, 2014) hlm 889
23
Akta 164, Akta Membaharui Undang-Undang (Perkahwinan dan Perceraian) 1976,
hlm 27.
11

4. Perceraian
Adalah merungkaikan ikatan perkawinan dengan lafaz talak.24

F. Metode Penelitian

Penelitian adalah suatu hal yang paling penting dalam menguraikan suatu
penelitian kajian, yang mana penelitian itu sendiri bermaksud suatu kegiatan
berdasarkan data, dilakukan secara kritis, objektif, ilmiah untuk mendapatkan
jawaban atau pemahaman yang lebih mendalam atas suatu masalah.25

Penelitian ini dikumpulkan oleh penulis sendiri, yang mana pengumpulan


tersebut adalah melalui penyelidikan bahan rujukan kepustakaan sebagai sumber
sekunder. Kesemua sumber yang diambil bagi menyelesaikan penelitian ini
bersumberkan rujukan-rujukan yang sahih daripada buku-buku ilmiah,
kumpulan undang-undang yang legal di Malaysia, kajian-kajian terdahulu,
jurnal, berita online, laman sesawang yang berautoritas serta dokumen-dokumen
yang boleh dibuat sebagai rujukan. Selain itu, penulis juga menggunakan
beberapa kajian berdasarkan portal-portal jabatan berkaitan judul ini bagi
mendapatkan info serta kesahihannya.

1. Jenis penelitian
Adapun jenis penelitian yang dipilih dan digunakan adalah
kualitatif, seperti:
a. Penelitian lapangan (field research)26 yakni penulis mengumpul
maklumat dan data-data Mahkamah Syariah dan Mahkamah Sivil
dengan meneliti kasus-kasus berkaitan dan penelitian orang lain
di Malaysia untuk mengetahui bagimana prosedur kedua-dua

24
Mustofa Al-Khin, Kitab Fikah Mazhab Syafie, jilid 4, (Kuala Lumpur, Pustaka Salam
Sdn Bhd, 2014) hlm 803.
25
Conny R. semiawan, Metode Penelitian Kualitatif (Jenis, Karakteristik dan
Keunggulannya), (Jakarta, Grsindo, 2010) hlm 5.
26
Ibid
12

mahkamah tersebut dalam penentuan hak hadhanah bagi


pasangan muslim dan non muslim.
b. Bahan bertulis seperti dokumen,27 ini sangat diperlukan bagi
penambahan maklumat pelengkap data bilamana undang-undang
terkait adalah dari kumpulan buku-buku akta dan hukum-hukum
fiqh.
2. Sumber data
Sumber data merupakan hal yang paling penting dalam setiap
penelitian, ini karena sumber data yang diperolehi haruslah dipastikan
berautoritas dan sahih, adapun sumber data yang digunakan penulis
adalah:
a. Sumber data primer
Adalah sumber penelitian yang diambil dari akta-akta berkaitan
Mahkamah Syariah dan Mahkamah Sivil terkait dengan prosedur
permasalahan. Selain itu, kasus-kasus hadhanah bagi pasangan muslim
dengan non muslim diambil sebagai rujukan melalui penelitian fakta
kes dan keputusan hakim.
b. Sumber data sekunder

Manakala sumber data sekunder diperoleh melalui data-data


kepustakaan, kitab-kitab fikih dan undang-undang berkaitan dengan
dua bidang kuasa mahkamah di Malaysia.

3. Teknik pengumpulan data


Teknik yang digunakan bagi melengkapi penelitian ini seharusnya
mencakupi dua hal tersebut, yaitu:
a. Wawancara

Penulis turun ke lapangan bagi mewawancara peguam di Mahkamah


Syariah dan Mahkamah Tinggi Kuantan, Pahang. Wawancara tersebut
27
Ivanovich Agusta, Teknik pengumpulan dan analisis data kualitatif, hlm 1.
13

bagi mendapatkan maklumat tentang bagaimana mahkamah memutuskan


kasus hadhanah bagi pasangan muslim dengan non muslim.

b. Dokumentasi

Pengumpulan data-data dari sumber dokumen, buku-buku fiqh,


undang-undang berkaitan dan media (lama web berautoritas atau legal).

4. Analisis data
Penganalisisan data dibuat setelah maklumat atau data-data yang
diperolehi dari berbagai sumber yang sahih, hal ini bagi menyimpulkan
rangkuman data-data tersebut, cara-cara analisis data tersebut adalah:
a. Reduksi data

Membuat rangkuman data-data yang diperolehi melalui wawancara


bagi memuatkan ke dalam bagian penelitian yang memerlukan data
wawancara tersebut. Manakala bagi data-data kepustakaan diambil mana
yang berkaitan dikhususkan ke point penting.

b. Penyajian data

Kumpulan data-data yang sudah dianalisis untuk di klasifikasikan


dan dimasukkan ke dalam pembahasan melihat kepada kesesuaian data
dengan subsab pembahasan.

G. Sistematika Pembahasan

Bagi mengatur penyusunan skripsi agar terlihat kemas serta teratur


bersesuaian dengan topik perbincangan, disamping memberi gambaran
keseluruhan rangkuman bab agar memudahkan pembacaan dan untuk dijadikan
seabagai bahan rujukan buat yang lain. Dengan ini penulis sertakan sistematika
pembahasan seperti berikut:
14

Bab satu bagian pendahuluan yang memuatkan tentang latar belakang


masalah kajian prosedur penentuan hak hadhanah bagi pasangan kawin sivil
apabila berlaku perceraian dan salah seorang memeluk Islam yang melibatkan
dua bidang kuasa mahkamah di Malaysia, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kajian pustaka, penjelasan istilah, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.

Bab dua adalah pembahasan yang menguraikan tentang hadhanah dari


perspektif Islam dan undang-undang di Malaysia, yang merangkumi ruang
lingkupnya seperti, pengertian hadhanah, dalil pensyariatan hadhanah, hikmah
pensyariatan hadhanah, urutan hak hadahanah, hukum hadhanah dan syarat-
syarat hadhanah yang digariskan dari sudut fikih dan ketetapan undang-undang
Malaysia.

Bab tiga adalah bagian yang membincangkan tentang bagaimana status


perkawinan bagi pasangan kawin sivil akibat perpindahan agama. Selain itu,
prosedur penentuan hak hadhanah dan kewenangan pengadilan yang
memutuskan kasus hadhanah antara pasangan muslim dengan non muslim serta
kasus-kasus berkaitan.

Bab empat akhir sekali sebagi penutup, berisi kesimpulan keseluruhan


skripsi tentang penilitian yang dibuat dan saran penulis yang dikemukakan buat
para pembaca dan peneliti akan datang.
BAB DUA
HADHANAH DARI PERSPEKTIF ISLAM DAN UNDANG-UNDANG DI
MALAYSIA

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hadhanah

1. Pengertian hadhanah

Hadhanah (‫ )احلضانة‬dari sudut bahasa, asal kata al-hidhnu (‫ )احلضن‬yang

berarti lambung tubuh (bahagian sisi tubuh), yakni pengasuh mengambil anak
tersebut dan meletakkan disampingnya. Hadhanah menurut istilah syarak adalah
memelihara seseorang yang tidak mampu menguruskan dirinya (tidak mampu
mandiri) dan mengasuhnya dengan bermacam bersesuaian dengan
perkembangannya.28

Pengertian lainnya:

Menurut al-Mu’jam al-Wasit, hadhanah bermaksud:

‫الوالية على الّطفل لرتبيته وتدبري شئونه ودور احلضانة مدارس ينشأ فيها صغار األطفال‬

“Wilayah kuasa ke atas anak-anak untuk mendidiknya dan


menguruskannya”29

Al-Nawawi mengatakan30:

28
Mustofa Al-Khin, Kitab Fikah Mazhab Syafie, jilid 4, (Kuala Lumpur, Pustaka Salam
Sdn Bhd, 2014) hlm 889.
29
Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan Malaysia, Bayan linnas siri ke 214: Solusi
Rasulullah s.a.w. dan para sahabat terhadap pertikaian hadhanah, di akses melalui
https://muftiwp.gov.my/component/tags/tag/bayan-linnas pada tanggal 13 Juli 2021.
30
Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan Malaysia, Bayan linnas siri ke 214: Solusi
Rasulullah s.a.w. dan para sahabat terhadap pertikaian hadhanah, di akses melalui
https://muftiwp.gov.my/component/tags/tag/bayan-linnas pada tanggal 13 Juli 2021.
15
16

‫احلضانة بفتح احلاء تربية الّطفل مأخوذة من احلضن بكسر احلاء ومجعه أحضان وهو اجلنب‬
‫ألهّن ا تضمه إىل حضنها يقال أحضنت الّش يء جعلته يف حضين وحضنت الّص يب‬
“ al-hadhanah dengan difatahkan ‫ ح‬adalah bermaksud pengasuhan
anak-anak; diambil daripada kalimat ‫ احلضن‬dengan dikasrahkan ‫حض‬itu
dan (kalimat) jamaknya adalah ‫أحضان‬yang berarti sisi, karena
pengasuhan itu mengumpulkan dia (penjaga) bersama individu yang
dijaganya. Justeru disebut ‫ أحضنت الّش يء‬bermaksud aku jadikannya
dalam jagaanku dan ‫ حضنت الّص يب‬berarti aku menjaga bayi kecil ini.”

Menurut ahli fikih, hadhanah adalah aktivitas merawat anak yang masih
kecil baik laki-laki maupun perempuan, atau anak belum dewasa yang tidak
mampu mengurus dirinya sendiri (tidak mampu mandiri), dengan melakukan
yang terbaik untuk dirinya, menjaga mereka dari sesuatu yang menyakitui dan
mudharat baginya, memberikan Pendidikan kepadanya baik dari segi jasmani,
fisik maupun psikik sehingga mereka mampu mandiri dan bertanggungjawab.31

Hadhanah dari segi bahasa berarti menjaga dan mengasuh anak kecil
dengan menanggung nafkah dan mendidiknya. Kata dasar dari kalimat al-
hidhnu yang berarti rusuk atau dada. Karena pengasuh biasanya meletakkan
anak itu di atas rusuk atau pangkuannya. Menurut istilah syarak, hadhanah
adalah mendidik atau mengasuh anak oleh sesiapa yang diberikan hak hadhanah
kepadanya. Yakni, mengasuh dan memelihara sesiapa yang tidak mampu
mandiri daripada suatu yang boleh membuatnya dalam ancaman karena
kekurangan akalnya yang tidak mampu membedakan mana yang baik mana
yang buruk.

Hadhanah adalah memelihara anak-anak yang masih kecil sama ada laki-
laki maupun perempuan atau mereka yang sudah dewasa tetapi belum mampu

31
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 4, hlm 138.
17

membedakan antara yang baik dengan yang buruk. Menyediakan sesuatu yang
baik, menjaganya dari sesuatu yang burukk dan mengasuh jasmani dan rohani
serta akalnya agar mampu mandiri dan mampu memikul tanggungjawab.
(Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah).32

Kesimpulannya, hadhanah itu adalah pemeliharaan anak bagi orang yang


mempunyai hak untuk memelihara atau menjaga orang tidak mampu mengurus
kebutuhannya sendiri karena belum mumayyiz, seperti ana-anak, orang dewasa
tetapi gila. Yang mana pemeliharaan ini mencakup urusan makanan, pakaian,
urusan tiduer, membersihkan, memandikan, mencuci pakaiannya dan lain-lain.33

Batas hadhanah:

Tempoh hadhanah dalam Islam adalah bermula dari selepas lahir


sehingga selama mana anak tersebut belum mumayyiz, bagi anak yang sudah

mumayyiz disebut sebagai kafalah (‫)الكفالة‬, yakni berusia 7 tahun bagi laki-laki

dan 9 tahun bagi perempuan. Setelah tamat tempoh hadhanah, hak penjagaan
diberikan kepada si ayah atau si anak diberi hak untuk membuat pilihan sama
ada mau mengikut ayah maupun ibu, kecuali mahkamah memerintahkan
selainnya. Namun ulama berbeda pendapat mengenainya.

Hanãfĩyyah mengatakan bahwa hadhinah berhak ke atas si anak


asuhannya itu sehingga si anak tidak lagi memerlukan bantuan daripada wanita.
Yakni, mampu mengurus diri sendiri seperti keperluan makan minum, pakaian
dan bersuci. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah s.a.w.:

‫مروا أوالدكم باالّص الة لسبع‬

32
Zaini Nasohah, Perceraian hak wanita Islam, (Kuala Lumpur, Utusan
Publications&Distributors Sdn. Bhd: 2004), hlm 58.
33
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 4, hlm 138
18

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk menjalankan shalat pada usia


tujuh tahun.”

Ini karena pada usia tujuh tahun anak-anak sudah dikira mumayyiz
mampu untuk bersuci dan mendirikan solat. Pendapat lain mengatakan pada usia
sembilan tahun anak-anak boleh mengurus dirinya sendiri. Bagi anak
perempuan, ibu dan neneknya lebih berhak ke atas penjagaannya sehingga si
anak mengalami haid, yakni sembilan tahun atau sebelas tahun. Hal ini bagi si
anak mempelajari daripada ibu atau neneknya mengenai adab-adab seorang
perempuan. Manakala apabila sudah dewasa, anak tersebut lebih memerlukan
perhatian dan perlindungan dari si ayah.

Mãlikĩyyah berpendapat untuk anak laki-laki baik gila atau sakit lain,
batas hadhanah adalah sehingga si anak itu baligh. Manakala bagi anak
perempuan pula adalah sehingga anak itu menikah dan melakukan hubungan
kelamin suami istri.

Syãfi’ĩyyah berpendapat jika suami istri bercerai dan mempunyai anak


yang sudah mumayyiz, yakni berusia tujuh atau delapan tahun, sedangkan kedua
orang tuanya layak dan mampu menguruskan si anak baik dari sudut agama,
harta maupun kasih sayang dan orang tuanya saling berebut ingin mendapatkan
hak penjagaan anak, maka si anak boleh diberi peluang untuk membuat pilihan
kepada siapa diantara kedua orang tuanya yang dia ingin ikuti. Oleh demikian
penjaganya adalah berdasarkan pilihan anak itu tadi. Hal ini berlandaskan
Rasulullah s.a.w. pernah memberi peluang kepada seorang anak untuk memilih
antara ayah atau ibunya.

Jika si anak memilih salah seorang daripada kedua orang tuanya, tetapi
yang dipilihnya tidak mahu menanggungnya, maka penjagaannya jatuh kepada
yang mahu menanggungnya. Selain itu, jika diantara kedua orang tuanya yang
salah seorang sahaja berkemampuan dan berkelayakan untuk menjaga sianak
19

karena seorang lagi mengidap penyakit gila atau kafir, budak, fasik atau
menikah dengan orang lain, maka hadhanahnya jatuh kepada pihak yang
berkelayakan itu tadi. Demikianlah si anak tersebut tidak diberi untuk membuat
pilihan melainkan halangan tersebut telah hilang, maka si anak dibenarkan untuk
membuat pilihan. Pendapat ini turut disetujui oleh ulama Hanabilah dengan
disertai dua syarat buat si anak laki-laki yang memilih, yakni;34

1. Kedua orang tua atau orang lain yang layak hadhanah. Jika salah satu
darinya tidak layak, maka hadhanah akan jatuh kepada yang lebih layak.
2. Anak tersebut bukan seorang yang idiot. Karena idiot tidak
membolehkan seseorang itu membuat pilihan. Lantas, anak tersebut
harus diserahkan kepada si ibu, karena memandang kepada kelayakan
seorang ibu lebih berhak ke atas si anak itu.

Namun ketetapan ini berbeda bagi anak perempuan, yang mana anak
perempuan setelah tamat hadhanah, yakni sudah mumayyiz, maka hak
penjagaan ke atasnya adalah ayahnya. Menurut imam Hanbalĩ, jika sudah
mencapai usia tujuh tahun, si ayah lebih berhak ke atas si anak tanpa perlu diberi
pilihan. Manakala menurut Syãfi’ĩyyah pula hal ini adalah untuk kemaslahatan
si anak perempuan itu.

Berbeda pada pandangan Imam Hanãfĩ yang menyatakan bahwa, ayah lebih
berhak terhadap anaknya dan memberi anak untuk membuat pilihan adalah
suatu yang tidak benar, ini karena si anak masih belum mempunyai pengetahuan
yang baik untuk menentukan pemilihannya. Kebarangkalian si anak
berkecenderungan memilih orang yang lebih melayaninya dan suka bermain
dengannya. Ini membuatkan masa depan si anak dikhawatiri akan menghadapi
masalah jika tidak diberi Pendidikan yang sebagusnya dengan sebaliknya hanya
menuruti semua kemahuannya sehinggakan keperluan diabaikan.35

34
Fiqih Islam, hlm80
35
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 4, hlm 155.
20

Undang-undang Mesir nomor 29 tahun 1929 menetapkan bahwa hak


hadhanah selesai ketika anak sudah mencapai usia tujuh tahun bagi laki-laki dan
Sembilan tahun bagi anak perempuan. Manakala undang-undang Syria yang
telah digubah pada tahun 1975 pasal 146 menyatakan bahwa masa hadhanah
anak selesai ketika anak laki-laki sudah mencapai usia Sembilan tahun dan
sebelas tahun bagi anak perempuan.

Enakmen Undang-Undang keluarga Islam Negeri Selangor (2003) Bahagian VII


– Penjagaan (Hadhanah atau Penjagaan Kanak-Kanak), Seksyen 85
menyatakan36:

(1) Hak hadhinah bagi menjaga seseorang anak-anak tamat adalah setelah
anak-anak itu mencapai usia tujuh tahun bagi laki-laki dan sembilan
tahun bagi anak perempuan. Tetapi, mahkamah boleh mengizinkan
permohonan hadhinah untuk menjaga anak-anak yang sehingga
mencapai usia sembilan tahun bagi anak laki-laki dan sebelas tahun bagi
anak perempuan.
(2) Setelah tamatnya hak hadhanah, hak penjagaan turun kepada si ayah, dan
jika anak-anak itu telah mencapai tahap kecerdikan (mumayyiz), maka
anak-anak itu mempunyai hak boleh memilih untuk tinggal dengan si ibu
atau sia ayah, melainkan jika mahkamah memerintahkan selainnya.

2. Dalil pensyariatan hadhanah

Hal hadhanah ini sebagaimana telah termaktub dalam al-Quran, Firman Allah 37:

‫َو ٱۡل َٰو ِل َٰد ُت ُيۡر ِض ۡع َن َأۡو َٰل َد ُه َّن َح ۡو َلۡي ِن َك اِم َلۡي ِۖن ِلَم ۡن َأَر اَد َأن ُيِتَّم ٱلَّر َض اَعَۚة َو َعَلى‬
‫ٱۡل َم ۡو ُل وِد َل ۥُه ِر ۡز ُقُه َّن َو ِكۡس َو ُتُه َّن ِب ٱۡل َم ۡع ُر وِۚف اَل ُتَك َّل ُف َنۡف ٌس ِإاَّل ُو ۡس َعَه ۚا اَل ُتَض ٓاَّر‬
36
Enakmen 2 Tahun 2003 Enakmen Udang-Undang Keluarga Islam (Negeri Selangor)
2003.
37
QS. Al-Baqarah (2): 233.
21

‫َٰو ِل َد ُۢة ِبَو َل ِد َه ا َو اَل َم ۡو ُل ودَّل ۥُه ِبَو َل ِدِهۚۦ َو َعَلى ٱۡل َو اِر ِث ِم ۡث ُل َٰذ ِلَۗك َف ِإۡن َأَر اَد ا ِفَص ااًل َعن‬
‫َتَر اض ِّم ۡن ُه َم ا َو َتَش اُو ر َفاَل ُج َن اَح َعَلۡي ِه َم ۗا َو ِإۡن َأَر دُّت َأن َتۡس َتِض ُعٓو ْا َأۡو َٰل َد ُك ۡم َفاَل‬
‫ُج َن اَح َعَلۡي ُك ۡم ِإَذا َس َّلۡم ُتم َّم ٓا َءاَتۡي ُتم ِب ٱۡل َم ۡع ُر وِۗف َو ٱَّتُق وْا ٱلَّل َه َو ٱۡع َلُم ٓو ْا َأَّن ٱلَّل َه َمِبا‬
)233 :‫َتۡع َم ُلوَن َبِص ري(البقرة‬
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusukan anak-anak mereka selama dua
tahun genap iaitu bagi orang yang hendak menyempurnakan
penyusuan itu; dan kewajiban bapa pula adalah memberi makan dan
pakaian kepada ibu itu menurut cara yang sepatutnya. Tidaklah
diberatkan seseorang ibu itu menderita karena anaknya, dan (jangan
juga menjadikan) seseorang bapa itu menderita karena anaknya; dan
waris juga menanggung kewajipan yang tersebut (jika sibapa tiada).
Kemudian jika keduanya (suami isteri mau menghentikan penyusuan
itu dengan persetujuan yang telah dicapai oleh) mereka sudah
berunding, maka mereka berdua tidaklah salah (melakukannya). Dan
jika kamu hendak beri anak-anak kamu menyusu kepada orang lain,
maka tiada salahnya bagi kamu apabila kamu serahkan (upah) yang
kamu mahu beri dengan cara yang patut. Dan bertaqwalah kamu
kepada Allah, serta ketahuilah, sesungguhnya Allah sentiasa melihat
akan apa jua yang kamu lakukan.” (QS. al-Baqarah [2]: 233)

Dalam ayat diatas menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan hendaklah


disusui oleh ibunya selama dua tahun. Selain itu, diwajibkan keatas orang
tuanya memberi nafkah kepada anak-anaknya mengikut kemampuan si ayah.
Begitulah Islam menegaskan tentang hadhanah agar anak dipelihara dengan
sebaiknya, bukan ditelantarkannya. 38

Firman Allah s.w.t.39:

‫َأَيَو ُّد َأَح ُد ُك ۡم َأن َتُك وَن َل ۥُه َج َّنٌ۬ة ِّم ن ِخَّن يٍ۬ل َو َأۡع َن اٍ۬ب َتِر ى ِم ن َتِتَه ا ٱۡل َأۡن َه ٰـ ُر َل ۥُه ِفيَه ا‬
‫ٓا َفَأ ا ٓا ِإۡع اٌ۬ر ِفيِه اٌ۬ر‬ ‫ٌ۬ة‬ ‫ۡل ِك‬ ‫ِت‬ ‫ِم‬
‫َن‬ ‫ن ُك ِّل ٱلَّثَم َر َو َأَص اَبُه ٱ َبُر َو َل ۥُه ُذِّر َّي ُض َعَف ُء َص َبَه َص‬
)266:‫َفٱۡح َتَر َقۗۡت َك َذ ٲِلَك ُيَبُنِّي ٱلَّلُه َلُك ُم ٱۡل َأَيٰـِت َلَعَّلُك ۡم َتَتَف َّك ُر وَن (البقرة‬

38
Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir. Hlm 146
39
QS. Al-Baqarah (2):266.
22

“Adakah seseorang di antara kamu suka mempunyai sebuah kebun


dari pohon tamar (kurma) dan anggur, yang mengalir dibawahnya
beberapa sungai, ia juga mempunyai banyak anak cucu yang masih
kecil, lalu kebun itu diserang oleh angina taufan yang membawa api
sehingga terbakarlah ia? Demikianlah Allah menjelaskan kepada
kamu keterangan-keterangan, supaya kamu berfikir (dan mengambil
iktibar).” (QS. Al-Baqarah [2]:266)

Ayat ini menjelaskan tentang fitrah manusia terhadap kebajikan anak-


anak yang masih kecil yang dipeliharanya dari bahaya. Islam menegaskan
kepentingan menjaga dan memelihara anak-anak dan keturunan sehingga tahu
akan hak dan kewajipan masing-masing untuk melaksanakan tugas sebagai
khalifah.

Berkata Imam Abu Muhammad al-Baghawi, yakni, maka apabila


seseorang itu meningkat usia tua, atau menjadi lemah dan memiliki anak-anak
yang masih belum mampu mandiri, lalu kebunnya terkena ribut taufan berapi
menyebabkan terbakar habis, dengan keadaan mendesak akibat kebunnya
terbakar sedangkan dia tidak mampu memperbaiki kerosakan itu, sementara
anak-anaknya semua masih kecil. Dia tidak memiliki simpanan yang boleh
diberikan kepada anak-anaknya juga tidak ada kemampuan yang boleh diberikan
bantuan kepada ayahnya. Lalu mereka ditinggalkan dalam keadaan bingung dan
lemah tanpa jalan penyelesaian. Maka seperti itu Allah membinasakan amalan
orang-orang munafik dan riak sehinggakan tidak ada seorang pun yang boleh
menolong mereka dan tidak diterima taubat mereka dan tidak ada jalan keluar
darinya masalah.40

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari berkaitan tafsir ayat ini, menceritakan


bahawa Umar al-Khatab bertanya kepada para sahabat tentang apa yang
dimaksudkan dalam ayat apakah ada salah seorang diantara kalian yang ingin
40
Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan Malaysia, Bayan linnas siri ke 214: Solusi
Rasulullah s.a.w. dan para sahabat terhadap pertikaian hadhanah, di akses melalui
https://muftiwp.gov.my/component/tags/tag/bayan-linnas pada tanggal 12 Juli 2021.
23

mempunyai kebun kurma dan anggur. Mereka menjawab bahwa Allah lebih
mengetahui maksudnya. Lalu Khalifah Umar marah dan mengatakan
“katakanlah oleh kalian bahawa kami mengetahui atau tudak tahu.” Lalu berkata
Ibnu Abbas “hai amirul mukminin aku tahu sedikit tentangnya, yakni ayat ini
mengandung perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan satu
perbuatan yang ditujukan kepada seorang laki-laki kaya, yang taat kepada Allah,
lalu Allah mengirimkan setan kepadanya yang akhirnya menghapuskan amalan
kebaikannya akibat dari perbuatan maksiat yang dilakukan olehnya.”

Yang dimaksudkan dengan lafaz ‫ إعص َـَـار‬adalah angin yang kuat yang

mengandung panasnya api sehingga terbakarnya pohon dan buah tersebut. Yang
mana hal ini terjadi ketika usianya masih muda, sedangkan anak-anak dan
keturunannya masih lemah pada masa dia tua. Lalu datanglah taufan yang
mengandung api itu tadi membakar kesemua kebunnya sedangkan dia tidak lagi
mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk mempertahankan kebunnya dan
tidak ada seorang pun dari keturunannya yang juga boleh diharapkan.
Demikianlah nasib orang kafir di hari kiamat kelak yang kepergiannya tanpa
Allah s.w.t. dihati mereka.41

Firman Allah s.w.t.42:

‫َو ۡل َيۡخ َش ٱَّلِذ يَن َلۡو َتَر ُك وْا ِم ۡن َخ ۡل ِف ِه ۡم ُذِّر َّيً۬ة ِض َعٰـًف ا َخ اُفوْا َعَلۡي ِه ۡم َفۡل َيَّتُقوْا ٱلَّلَه َو ۡل َيُقوُلوْا َقۡو ل َس ِد يًد ا‬

)9:‫(الّنساء‬

“Dan hendaklah takut (kepada Allah daripada melakukan aniaya


kepada anak-anak yatim oleh) orang-orang (yang menjadi
penjaganya), yang jika ditakdirkan mereka pula meninggalkan anak-
anak yang daif (yatim) dibelakang mereka, (tentulah) mereka akan
41
Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir.
42
QS. An-Nisa’ (4): 9.
24

merasa bimbang terhadap (masa depan dan keselamatan) anak-anak


mereka; oleh itu hendaklah merekka bertaqwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengatakan kalimat yang benar (menepati
kebenaran).” (QS. an-Nisa’ [4]: 9)
Firman Allah s.w.t.43:

)6:‫َيَأُّيَه ا اَّلِذ يَن َءاَم ُنوْا ُقوْا َأنُف َس ُك م َو َأهِليُك م َناًر ا (التحرمي‬

“wahai orang-orang beriman! Peliharalah diri kamu dan keluarga kamu


dari neraka yang bahan-bahan bakarannya: manusia dan batu (berhala).”
(QS. At-Tahrim [66]:6)
Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari seorang laki-laki

dari Ali bin Abi Talib tentang maksud bagi ayat ‫ ُقوْا َأنُفَس ُك م َو َأهِليُك م َناًر ا‬adalah
didiklah mereka dan ajarilah mereka.

Qatadah pula mengatakan bahwa perintahkanlah mereka (ahli keluarga)


kamu untuk taat kepada Allah dan melarang mereka dari melakukan perbuatan
yang dimurkai Allah (durhaka terhadapNya). Dan kamu harus bertegas terhadap
mereka supaya mentaati perintah Allah dan kamu mengajarinya cara untuk
mengamalkannya. Dan apabila kamu melihat ada di antara mereka yang
melakukan melakukan maksiat terhadapNya, maka kamu harus menegahnya
dari melakukan hal itu. Ad-Dahhak dan Muqatil menambahnya, menjadi suatu
kewajiban sebagi muslim untuk mengajarkan hal-hal yang di fardhukan oleh
Allah sama ada yang diperintah untuk melakukan maupun meninggalkan kepada
ahli keluarganya yang baik dari kerabat maupun budak-budak. Imam Ahmad,
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi melalui hadis Abdul Malik Ibnu Rabi’ ibnu
Sabrah dari ayahnya dari kakeknya mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w.
bersabda:44

‫ فإذا بلغ عشر فاضربوه ععليها‬، ‫مروا الّص ّىب باالّص الة إذا بلغ سبع سنني‬
43
QS. At-Tahrim (66):6.
44
Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir.
25

“Perintahkanlah kepada anak untuk mengerjakan salat bila usia


mencapai tujuh tahun; dan apabila usianya mencapai sepuluh tahun,
maka pukullah dia karena meninggalkannya.” (HR Imam Abu Daud,
Imam Turmuzi dan Imam Ahmad)

3. Hikmah pensyariatan hadhanah

Anak adalah anugerah tuhan buat mereka yang mendirikan rumah


tangga. Orang tua bertanggungjawab sepenuhnya ke atas anak mereka. Orang
tua yang berpisah tidak boleh menelantarkan anak, harus diberikan
pemeliharaan dan Pendidikan yang secukupnya demi memelihara psikik dan
fisik anak tersebut.

Pendidikan anak harus dijaga dan dipertanggungjawab oleh orang tua


semenjak kecil semasa dalam perkawinan maupun setelah perceraian.
Pentingnya hadhanah terhadap anak dan masa depan si anak, walaupun terpaksa
menjalani hidup dengan perpisahan orang tuanya,mereka tidak boleh
diabaikannya karena dalam proses perkembangan si anak belajar dengan melalui
pengamatan apa yang berlaku di sekitarnya. Apabila anak ditelantarkan tanpa
asuhan dan bimbingan, dikhawatir akan menyebabkan sesuatu yang tidak
diingini terjadi, misalnya masalah psikik si anak terganggu karena merasakan
tidak ada siapa yang peduli kepadanya sedangkan teman-temannya mempunyai
orang tua yang menyayangi mereka. Hal ini turut membuatkan si anak berisiko
memusnahkan masa depan mereka.

B. Hukum Hadhanah

Hukum hadhanah adalah wajib sepertimana wajib pemberian nafkah


keatasnya, karena anak yang tidak dipelihara akan terancam keselamatannya.45

Wajib ke atas orang tua menjaga, mengasuh dan bertanggungjawab terhadap


anak-anaknya, tidak boleh menelantarkannya, karena hal ini akan membuatkan
45
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu, (Jakarta, Darul Fikir: 2016). hlm 60.
26

si anak cenderung dalam kondisi yang berbahaya baik dari fisik maupun
psikik.46

Jika ada di antara kerabatnya yang layak mengasuh dengan sukarela ingin
mengasuhnya dan si ibunya tidak mahu menjaganya kecuali diberi upah. Si ayah
boleh memaksa si ibu untuk menjaga sianak jika dia mampu untuk membayar
upah kepada si ibu dan tidak boleh menyerahkan penjagaan anak dibawah orang
lain, melainkan sia ayah tidak mempunyai kemampuan untuk membayar upah si
ibu tadi. Hal ini karena si ibu itu lebih berkelayakan dan lebih baik untuk
memelihara dan mengurus anaknya yang masih kecil.

Jika si ibu tidak mahu menjaga anak kecuali jika diberi upah oleh dan tidak
ada seorang pun dari kerabat yang sukarela mahu menjaga si anak, sedangkan si
ayah turut tidak berkemampuan untuk membayar upah kepada si ibu untuk
menjaga sia anak, maka si ibu harus dipaksa untuk mengasuh si anak tersebut
dan upah tersebut menjadi utang yang wajib dibayar oleh si ayah, dan utang
tersebut tidak akan gugur sehingga si ayah membayarnya atau si ibu
membatalkannya.47

46
Zaini Nasohah, Perceraian hak wanita Islam, (Kuala Lumpur, Utusan
Publications&Distributors Sdn. Bhd: 2004), hlm 59.
47
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 4, hlm 149
27

1. Ketentuan dan Syarat Hadhanah

a. Mahdhuun.
Adalah orang yang tidak mampu menguruskan dirinya sendiri dan tidak
mampu melindungi dirinya dari bahaya. Yakni, anak kecil yang belum
mumayyiz, orang dewasa yang gila. Ini bermaksud bahwa orang yang
sudah baligh, yakni mampu menguruskan dirinya sendiri tidak
membutuhkan pemeliharaan oleh orang lain (orang yang boleh mandiri
tinggal bersama orang tuanya).
Jika anak yang sudah baligh itu adalah laki-laki, maka dia berhak untuk
hidup mandiri tanpa bantuan dari orang tuanya. Namun tidak bagi anak
perempuan, dia tidak boleh hidup atau tinggal berasingan dari orang
tuanya, karena khawatir akan terjadinya bahaya kepadanya yang sedang
menginjak dewasa.
b. Hawaadhin (orang yang berhak memelihara)
i. Berakal
Tidak sah hadhanah diberikan kepada orang gila, baik gilanya berterusan
maupun kadang-kadang. Sedangkan orang gila tidak mampu mandiri dan
membutuhkan orang lain mengurusnya.
ii. Islam
Orang kafir tidak boleh diberi hak penjagaan anak-anak yang beragama
Islam, karena orang kafir tidak mempunyai hak penguasaan (hak
wilayah) terhadap orang Islam. hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t.48:

)141:‫َو َلن جَي َعَل الَّلُه ِللَك ِف ِر يَن َعَلى ا ؤِمِنَني َس ِبياًل (الِّنساء‬
‫ُمل‬
“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-
orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”
(QS. An-Nisa’ [4]: 141)

48
QS. An-Nisa’ (4): 141.
28

Selain itu, turut dikhawatir akan berlakunya pendidikan dan


pengajaran daripada si penjaga yang bukan Islam kepada si anak. Seperti
hadis:

‫ أو ميّج سانه‬، ‫ أو ينصرانه‬، ‫ إّال أّن أبويه يهودانه‬، ‫كّل مولود يولد على الفطرة‬

“setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Hanya saja, kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya sabagai seorang Yahudi, Nasrani Atau
Majusi” (HR Bukhari)
Namun, si anak harus mengikut orang tuanya yang lebih baik
agamanya. Hal ini karena dikhawatir akan terjadinya pengkafiran bagi si
anak. Hal ini menurut mazhab Syãfi’ĩ dan mazhab Hanbalĩ. Jika anak-
anak itu non muslim, orang Islam atau orang kafir boleh menjaganya.
Menurut Hanãfĩyah dan Mãlikĩyah,49 beragama Islam tidak
disyaratkan dalam hadhanah, sama ada kitabiyah maupun bukan
kitabiyah mereka berhak untuk hadhanah, baik orang itu ibu si anak
maupun orang lain. Hal ini berdasarkan kisah Rasulullah pernah
memberi pilihan kepada seorang anak untuk mengikut ayahnya yang
muslim atau mengikut ibunya yang musyrik, namun anak itu lebih
memilih si ibu yang musyrik, lalu Rasulullah s.a.w. pun berdoa “ya
Allah, berilah petunjuk pada anak itu dan luruskan hati anak itu agar
ikut kepada ayahnya”. Karena memandang kepada kasih sayang orang
tua terhadap anaknya walaupun berlainan agama. Tetapi apa yang
dikatakan mazhab Hanãfĩ ia tidak bermaksud bahwa orang murtad boleh
ke atas hadhanah, karena si murtad itu harus dihukum dengan penjara
sehingga dia bertaubat dan kembali kepada Islam, setelah itu dia berhak
untuk mendapatkan hak tersebut.50

49
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 10, (Gema Insani), Hlm 67.
50
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 4, hlm 147.
29

Namun menurut Hanãfĩyyah, tidak dalam hal penjaga laki-laki


(hadhin) yang harus beragama Islam, begitu juga jika si anak yang bukan
beragama Islam harus diletakkan dibawah penjagaan saudaranya yang
juga non muslim, hal ini dipandang pada hak kewarisan, yang mana
kewarisan tidak boleh diberikan kepada orang yang berlainan agama.
Tetapi Mãlikĩyyah berpendapat bahwa penjaganya baik laki-laki maupun
wanita tidak disyaratkan harus beragama Islam berdasarkan hujahnya
sebelum ini.
Dalam hal batas penjagaan bagi anak yang dipelihara oleh non
muslim pula, Hanãfĩyah berpendapat bahwa batasnya hingga si anak
sudah tahu memikirkan masalah agama, yakni pada usia tujuh tahun atau
jika berlaku pemahaman atau pendidikan berkaitan kepercayaan atau
agama yang diberikan kepada anak tersebut oleh penjaganya yang
musyrik, seperti mengajak si anak ke tempat peribadatannya. Yang
mana aturan ini dipakai di negara Mesir.
Manakala Mãlikĩyyah pula berpendapat bahwa batas si anak
tinggal bersama penjaganya (wanita musyrik) sehingga selesai tempoh
hadhanah menurut syariat, dengan syarat anak tersebut tidak boleh diberi
makan makanan yang diharamkan oleh syariat.
a) ‘Iffah dan amanah
Tidak boleh diberikan hak hadhanah kepada orang yang fasik, karena
orang fasik tidak boleh menjadi wali dan tidak boleh dipercayai untuk
menjaga amanah. Sedangkan hak hadhanah itu adalah suatu amanah,
yang mana harus adil dan mempunyai pegangan agama.
b) Bermukim
Penjaga anak itu adalah orang yang bermukim ditempat anak itu.
c) Ibu tidak bekawin dengan laki-laki lain
Gugurnya hak penjagaan bagi si ibu terhadap anak jika dia berkawin
dengan laki-laki lain, kecuali dalam dua keadaan;
30

i. Adanya persetujuan antara ayah si anak dengan suami yang baru


(ayah tiri si anak) untuk si anak tinggal bersama ibunya.
ii. Suami si ibu (ayah tiri si anak) mempunyai hak penjagaan
terhadapnya atas asbab kaum kerabat, walaupun jauh.
d) Tidak mempunyai penyakit yang berpanjangan atau kronik
Keuzuran menyebabkan penjaga tidak mampu menunaikan hak
penjagaannya terhadap si anak.

2. Urutan hak hadhanah

a. Sudut Fikih

Setelah berlakunya perceraian, jika mereka mempunyai anak yang masih


kecil baik laki-laki maupun perempuan yang masih belum mencapai usia
mumayyiz, diutamakan perempuan ke atas penjagaannya berbanding laki-laki.
Namun, jika anak-anak itu tidak mempunyai kerabat dari kalangan perempuan
atau ada tetapi enggan memeliharanya, hek hadhanah akan berpindah kepada
kerabat dari laki-laki.

Berdasarkan satu riwayat dalam kitab al-Muwatthaq, Yahya bin Sa’id


berkata, aku mendengar Qasim bin Muhammad berkata, istri Umar bin Khattab
yang dari golongan Ansar telah melahirkan sorang putera bernama Ashim bin
Umar. Setelah Umar menceraikan istrinya, Umar melihat anaknya sedang
bermain di laman masjid, lalu mengambil anaknya naik ke atas unta, lalu nenek
Ashim mengetahuinya lantas merebut si anak tersebut dan mengadu kepada Abu
Bakar Assidiq. Umar berkata kepada nenek Ashim, “ini anak laki-laki saya”,
nenek Ashim pun berkata “ini cucu saya”, lantas Abu Bakar menjawab
“janganlah engkau menghalangi wanita ini untuk mengasuhi anak laki-laki itu”,
mendengarkan itu, lantas Umar pun bersetuju bahwa anak itu duduk dibawah
asuhan neneknya. Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa hadis ini sangat masyhur
dan diriwayatkan melalui beberapa jalur periwayatan, yang seperti munqhathi’
31

adalah sanadnya terputus dan muttashil adalah sanadnya bersambung sampai ke


Rasulullah s.a.w. yang diterima oleh para ulama.

Dalam riwayat lain ada menyebutkan bahwa Abu Bakar berkata kepada
Umar, ibu itu lebih mengasihi, lebih mencintai, lebih menyayangi, lebih mesra,
lebih baik dan lebih kasih sayang terhadap anaknya. Disebabkan itu ibu lebih
berhak dan dihalulukan terhadap hadhanah selama mana dia tidak menikah
dengan orang lain.51

Dari sebelah perempuan:

i. Ibu
Ibu adalah berhak keatas penjagaannya selama mana dia belum berkawin
dengan laki-laki lain. Hal ini karena ibu itu kasih sayangnya lebih sabar
menanggung bebanan dalam memelihara dan mengasuh anak kecil
tambahan pula anak bioligisnya sendiri. Sabda Rasulullah s.a.w.:
Abdullah bin Amru berkata:
“Seorang wanita datang berjumpa Rasulullah s.a.w. dan berkata: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perut akulah yang
menghamilkannya, susu akulah yang diminumya, dan riba akulah tempat
ribaannya. Bapanya telah menceraikan aku dan sekarang dia ingin
mengambil anakku. Lalu Rasulullah menjawab:

‫أنت أحّق به ما مل تنكحي‬


Kamu lebih berhak ke atas anak itu (daripada bekas suamimu) selagi
kamu tidak berkawin.” (HR Ahmad, Abu Daud, Baihaki dan Hakim)
ii. Ibu kepada ibu (nenek)
Jika anak tersebut tidak mempunyai ibu atau ibunya tidak mau
memeliharanya, anak itu harus diserahkan hak penjagaannya kepada
neneknya sebelah ibunya. Dianggap bahwa sifat keibuannya itu persis
ibu si anak tersebut dalam memberikan kasih sayang terhadapnya. Ini
juga mendahulukan pihak yang lebih akrab dari kalangan si ibu.

51
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 4, hlm 141.
32

iii. Setelah itu, nenek sebelah ayah (ibu kepada ayah si anak), berterusan ke
atas, yakni ibu-ibu kepada nenek tersebut (moyang) karena
mendahulukan pihak terdekat dari kalangan yang dekat.
iv. Seterusnya adalah saudara perempuan seibu sebapa, seterusnya saudara
perempuan sebapa. Setelah itu saudara perempuan seibu.
v. Setelah itu bibi dari sebelah ibu dan kemudiannya bibi dari sebelah bapa.
vi. Seterusnya anak saudara perempuan daripada saudara laki-laki. Setelah
itu, anak saudara perempuan daripada saudara perempuan.

Dari sebelah laki-laki:

Diutamakan pihak yang lebih hampir dalam hubungan kerabat untuk


menjaga anak tersebut karena yang terdekat itu lebih akrab dan kasihnya
terhadap anak itu.

i. Ayah, kakek dan susur galurnya ke atas.


ii. Saudara laki-laki seibu seayah, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki
kepada saudara laki-laki seibu seayah, anak laki-laki kepada saudara
laki-laki sebapa, paman sebelah ayah seibu seayah dan paman sebelah
ayah seayah.
iii. Anak laki-laki kepada paman sebelah ayah seibu seayah dan anak laki-
laki kepada paman sebelah ayah seayah.

b. Sudut undang-undang di Malaysia

Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Selangor) 2003, Seksyen 82


tentang orang yang berhak menjaga anak-anak:

(1) Mengikut seksyen 83, ibu adalah orang yang lebih berhak dari yang lain
untuk memelihara anak kecil, baik semasa perkawinan maupun pasca
perceraian.
33

(2) Jika mahkamah mendapati bahwa ibu hilang kelayakan (hak) dibawah
hukum syarak terhadap hadhanah, maka hak itu berdasarkan subseksyen
(3), harus berpindah kepada salah seorang yang dibawah mengikut
susunan keutamaannya;
(a) Nenek sebelah ibu hingga ke atas
(b) Ayah
(c) Nenek sebelah ayah hingga ke atas
(d) Saudara perempuan seibu seayah
(e) Saudara perempuan seibu
(f) Saudara perempuan seayah
(g) Anak perempuan dari saudara perempuan seibu seayah
(h) Anak perempuan dari saudara perempuan seibu
(i) Anak perempuan saudara perempuan seayah
(j) Bibi dari sebelah ibu
(k) Bibi dari sebelah ayah
(l) Waris laki-laki yang boleh menjadi warisnya sebagai asabah

Dengan syarat penjagaan itu tidak boleh menelantarkan kebajikan anak-anak


tersebut.

(3) Tidak ada seseorang laki-laki yang mempunyai hak terhadap penjagaan
anak-anak perempuan, kecuali laki-laki itu adalah mahramnya, yakni
mempunyai pertalian darah dengan anak-anak perempuan.
(4) Jika ada beberapa orang dari nasab anak itu dan masing-masing
mempunyai kelayakan yang sama, hadhanah harus diberikan kepada
orang yang lebih mempunyai sifat-sifat mulia yang menunjukkan rasa
kasihnya kepada anak itu, jika sifatnya sama-sama mulia, maka ambil
lah yang paling tua usianya dia antara mereka.
Hilang atau gugurnya hak hadhanah:

b. Sudut fikih
34

1. Penjaga (hadhin) pergi ke tempat yang jauh (melebihi 133km)


Mãlikĩyyah berpendapat bahwa, jika penjaganya pergi ke tempat yang
jauh, maka wali si anak berhak mengambilnya kembali, kecuali jika dia
membawa anak tersebut bersamanya. Hanãfĩyyah pula berpendapat jika
hadhinahnya bukan si ibu, maka akan gugur dengan berpindahnya
tempat si penjaga tersebut. Ada pun Syãfi’ĩyyah pula berpendapat bahwa
gugurnya hak penjagaan ke atas orang yang pergi ke tempat berbahaya
atau bepergian dengan niat untuk berpindah baik jauh maupun dekat.
Hanabilah berpandangan gugurnya hak seorang penjaga itu dengan
bepergiannya dia sehingga jarak yang membolehkan shalat qashar.
2. Penjaga menghidap penyakit yang membahayakan
Ini adalah pendapat ulama Mãlikĩyyah dan Hanabilah. Semisalan
penyakit tersebut adalah gila, kusta dan lepra.
3. Penjaga fasik atau kurang pengetahuan ilmu agama
Ulama bersependapat bahwa hak seseorang penjaga akan gugur jika
penjaganya fasik atau kurangnya pengetahuan dalam ilmu agama karena
khawatir akan kemaslahatan si anak tidak dapat diuruskan dengan baik.
4. Penjaga wanita (hadhinah) berkawin
Hak hadhanah gugur jika si penjaga sudah menikah lain, kecuali jika
nenek si anak asuh adalah istri kakeknya, atau hadhinah menikah dengan
dengan paman kepada si anak tersebut, maka tidak gugur atas alasan
tersebut. Ini adalah pendapat yang disepakati oleh para ulama.
5. Kafir
Syãfi’ĩyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa gugur hak hadhanah bagi
orang kafir ke atas orang Islam.
35

b. Sudut hukum di Malaysia

Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Selangor) 2003, Bahagian


VII – Hadhanah atau Penjagaan kanak-kanak, Seksyen 84 tentang bagaimana
hak penjagaan hilang:52

Hak seseorang perempuan terhadap hadhanah boleh hilang disebabkan;

(a) Jika perempuan itu berkawin seseorang yang tidak mempunyai


hubungan darah dengan anak-anak itu yang orang itu dilarang berkawin
dengan anak-anak itu, jika penjagaannya dalam hal demikian akan
mengabaikan kebajikan anak-anak itu tetapi haknya untuk penjagaan
akan kembali semula jika perkawinan itu dibubarkan;
(b) Jika perempuan itu mempunyai akhlak dan kelakuan buruk secara
keterlaluan dan terbuka;
(c) Jika perempuan itu mengubah pemastautinannya dengan tujuan
mengelak ayah anak tersebut dari menjalankan pengawasan yang perlu
ke atas anak-anak itu, kecuali bahwa seseorang istri yang bercerai boleh
mengambill anaknya sendiri ke tempat lahir istri itu;
(d) Jika perempuan itu murtad;
(e) Jika perempuan itu menelantar atau menganiayai anak-anak bawah
jagaannya.

Seksyen 87 tentang kuasa mahkamah membuat perintah mengenai penjagaan:

(1) Walau apa pun peruntukan seksyen 83, mahkamah boleh pada bila-bila
masa dengan perintah memilih untuk meletakkan seseorang anak-anak
dalam jagaan salah seorang daripada orang-orang yang tersebut dalam
seksyen itu atau, jika ada hal keadaan yang luar biasa yang menyebabkan
tidak diingini bagi anak-anak itu diamanahkan kepada salah seorang

52
Enakmen 2 Tahun 2003 Enakmen Udang-Undang Keluarga Islam (Negeri Selangor)
2003
36

daripada orang-orang itu, mahkamah boleh dengan perintah meletakkan


anak-anak itu dalam jagaan mana-mana orang lain atau mana-mana
persatuan yang tujuan-tujuannya adalah termasuk kebajikan anak-anak.
(2) Untuk memutuskan dalam jagaan siapakah seseorang anak-anak itu
harus diletakkan, pertimbangan yang utama adalah kebajikan anak-anak
itu dan tertakluk pertimbangan itu, mahkamah harus memberi perhatian
kepada;
(a) Kemahuan-kemahuan ibu dan ayah si anak-anak itu; dan
(b) Kemahuan-kemahuan anak-anak itu, jika dia telah mencapai usia
yang sudah dapat menyatakan pendapatnya sendiri.
(3) Adalah menjadi suatu anggapan yang boleh dipatahkan bahwa adalah
untuk kebaikan seseorang anak-anak dalam masa dia kecil supaya berada
Bersama ibunya, tetapi pada sesuatu kes tertentu, mahkamah hendaklah
memberi perhatian kepada tidak baiknya mengacau kehidupan seseorang
anak-anak dengan berubah-ubah jagaannya.
(4) Jika ada dua orang atau lebih anak-anak dari sesuatu perkawinan,
mahkamah tidaklah terikat meletakkan kedua-dua atau kesemuanya
dalam jagaan orang yang sama tetapi hendaklah menimbangkan
kebajikan tiap-tiap seorangnya secara berasingan.
(5) Mahkamah boleh, jika perlu, membuat perintah interim (sementara)
untuk menempatkan anak-anak itu dalam penjagaan mana-mana orang
atau institusi atau persatuan dan perintah itu harus berkuatkuasa terus
sehingga mahkamah membuat perintah bagi penjagaan itu.

Seksyen 95 tentang pemecatan penjaga53:

Mahkamah boleh pada bila-bila masa dan dari semasa ke semasa memecat
seseorang penjaga, sama ada seorang ibu, ayah atau orang lain dan sama ada dia

53
Enakmen 6 Tahun 2002 Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam Negeri Kelantan
2002.
37

adalah penjaga bagi diri atau harta anak-anak itu, dan boleh melantik seseorang
yang lain menjadi penjaga untuk menggantikannya.
BAB TIGA
KEWENANGAN MAHKAMAH YANG MEMUTUSKAN KASUS HAK
HADHANAH PASANGAN MUSLIM DENGAN NON MUSLIM

A. Status perkawinan bagi pasangan kawin sivil setelah memeluk agama


Islam

Enakmen Keluarga Islam di Malaysia mengenai status perkawinan


pasangan non muslim apabila salah seorang dari mereka memeluk agama Islam.
Memutuskan bahwa tidak ada pembubaran perkawinan yang terjadi dengan
sendirinya, kecuali jika disahkan oleh mahkamah. Seperti seksyen 43 (2),
Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Terengganu) 2017 menyatakan:

“Jika salah satu pihak kepada sesuatu perkawinan bukan Islam


memeluk agama Islam, maka perbuatan yang demikian tidak boleh
dengan sendirinya berkuatkuasa membubarkan perkawinan itu
melainkan dan sehingga disahkan sedemikian oleh mahkamah.”54
Maka dengan ini jelas bahwa tidak ada pembubaran perkawinan secara
otomatis apabila salah seorang daripada pasangan kawin sivil memeluk agama
Islam menurut penetapan hukum di Malaysia.

1. Prosedur Mahkamah Syariah

Suami atau istri yang beragama Islam mengajukan gugatan perceraian dan
tuntutan hak hadhanah ke Mahkamah Tinggi Syariah di mana tempat mukim
penggugat atau mendapatkan khidmat pengacara daripada pengacara Syarie di
Biro Bantuan Guaman atau swasta untuk mewakili penggugat dalam gugatan
tersebut.

Cara-cara mengajukan gugatan:

54
Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Terengganu), seksyen 43 (2);
Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Melaka), seksyen 46 (2);
Enakmen 3 Tahun 2005 Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam, Seksyen 46 (2).
38
39

i. Pihak yang ingin mengajukan gugatan (penggugat) hendaklah


mengajukan saman (Borang MS 2) dan pernyataan gugatan.
ii. Dalam pernyataan gugatan mesti memuatkan hal perkawinan seperti,
tarikh nikah, bilangan anak hasil dari perkawinan dan lain-lain.
iii. Menyatakan sebab-sebab tuntutan hak penjagaan anak.
iv. Melampirkan dokumen mengikut fakta yang dibentangkan seperti
salinan KTP semua pihak terlibat, catatan pernikahan, sertifikat
kelahiran dan semua dokumen-dokumen berkaitan.
v. Bagi dokumen yang sudah lengkap, tuntutan hadhanah itu diserahkan
ke kaunter mahkamah.
vi. Mahkamah akan memberi notis Sulh.
vii. Penggugat perlu memberikan saman tersebut kepada pihak tergugat
dengan serahan secara semuka.
viii. Setelah itu, penggugat perlu mengajukan affidavit penyampaian.
ix. Kesemua pihak yang terlibat hendaklah hadir ke Majelis Sulh bagi
diskusi untuk mendapatkan persetujuan bersama.
x. Sekiranya Majelis Sulh sukses, pihak-pihak berkaitan harus
memastikan terma-terma yang dipersetujui direkodkan oleh pegawai
Sulh sebelum diendorskan menjadi perintah perjanjian persetujuan
bersama.
xi. Namun, jika Majelis Sulh tidak sukses, tergugat perlu mengajukan
gugatan pembelaan dan gugatan balas bagi menjawab pernyataan
gugatan penggugat.
xii. Penggugat mengajukan gugatan pernyataan pembelaan terhadap
gugatan balas tergugat.
xiii. Selanjutnya, pengadilan menetapkan satu tarikh bagi pengurusan
kasus sebelum prosiding perbicaraan dimulakan.
xiv. Setelah cukup semua pliding, pengadilan menetapkan tarikh
perbicaraan.
40

xv. Setelah perbicaan selesai, pengadilah memerintahkan semua pihak


untuk mengajukan hujahan bertulis.
xvi. Pengadilan akan menetapka tarikh untuk keputusan, setelah hujahan
bertulis dan balasan diajukan.
2. Prosedur Mahkamah Sivil

Petisyen (gugatan) pembubaran perkawinan harus dilakukan oleh penggugat


setelah tempoh 3 bulan pengislaman pasangannya. Hal ini, berdasarkan syarat
yang ditetapkan dalam Akta 164 Memperbaharui Undang-Undang, Seksyen 51
(1) menyatakan bahwa, jika satu pihak kepada perkawinan telah memeluk Islam
dan pihak yang satu lagi tidak memeluk Islam, maka pihak yang bukan Islam itu
boleh mengajukan gugatan perceraian, dengan syarat bahwa tidak ada satu
gugatan di bawah seksyen ini boleh dikemukakan sebelum tamat tempoh tiga
bulan dari tarikh memeluk Islam tersebut. 55
Berdasarkan Akta Mahkamah Kehakiman 1964, seksyen 24A;56
(1) Mahkamah Tinggi boleh merujukkan apa-apa soal yang berbangkit
dalam apa-apa kausa atau perkara, selain sesuatu prosiding jenayah oleh
pendakwa raya, bagi siasatan atau laporan kepada mana referi khas boleh
diterima pakai keseluruhannya atau sebahagiannya oleh Mahkamah
Tinggi dan dikuatkuasakan sebagai suatu dekri, penghakiman atau
perintah yang memberikan kesan yang sama.
(2) Dalam apa-apa kausa atau perkara selain sesuatu prosiding jenayah oleh
pendakwa raya:-
(a) Jika semua pihak yang berkepentingan yang tidak menanggung
ketidakupayaan bersetuju;
(b) Jika kausa atau perkara itu menghendaki apa-apa pemeriksaan
dokumen yang berpanjangan atau apa-apa penyiasatan saintifik atau
55
Akta 164, Akta Membaharui Undang-Undang (Perkahwinan dan Perceraian)
1976,hlm 46.
56
Akta Mahkamah Kehakiman 1964, Pesuruhjaya Penyemak Undang-undang,
Malaysia.
41

tempatan yang, pada pendapat Mahkamah Tinggi, tidak dapat


dijalankan dengan mudah oleh mahkamah itu melalui pegawai
biasanya; atau
(c) Jika soal yang dipertikaikan itu terdiri, keseluruhannya atau
sebagiannya, daripada perkara akaun,
Mahkamah Tinggi boleh pada bila-bila masa memerintahkan supaya seluruh
kausa atau perkara itu dibicarakan di hadapan seorang referi khas atau
penimbang tara yang dipersetujui masing-masingnya oleh pihak itu atau di
hadapan seorang pegawai mahkamah itu.
(3) (a) Dalam segala hal, rujukan kepada seseorang referi khas penimbang
tara di bawah sesuatu perintah Mahkamah Tinggi dalam apa-apa kausa
atau perkara, referi khas atau penimbang tara itu hendaklah disifatkan
sebagai seorang sebagai seorang pegawai mahkamah dan hendaklah
mempunyai kuasa dan hendaklah menjalankan rujukan itu mengikut apa-
apa cara yang ditetapkan oleh kaedah-kaedah mahkamah, dan tertakluk
kepada yang diarahkan oleh Mahkamah Tinggi.
(b) Laporan atau award mana-mana referi khas atau penimbang tara atas
apa-apa rujukan itu hendaklah, melainkan jika diketepikan oleh
Mahkamah Tinggi, menjadi setara dengan dekri, penghakiman atau
perintah mahkamah itu.
(c) Saraan yang hendaklah dibayar kepada mana-mana referi khas atau
penimbang tara yang kepadanya apa-apa perkara dirujukkan di bawah
perintah Mahkamah Tinggi hendaklah ditentukan oleh mahkamah itu.
Akta 164 Akta Membaharui Undang-undang (Perkahwinan dan Perceraian)
1976 menetapkan kuasa pengadilan untuk membuat perintah bagi penjagaan
anak. Dalam seksyen 8857 menerangkan tentang kewenangan pengadilan dalam
memutuskan hak jagaan anak diberikan kepada ibu atau ayah untuk menjaga

57
Akta 164, Akta Membaharui Undang-Undang (Perkahwinan dan Perceraian) 1976,
hlm 67.
42

kebajikan anak tersebut. Antara kebajikan yang diutamakan dalam hak jagaan
anak, adalah kemahuan orang tua si anak dan kemahuan si anak jika telah
mencapai umur mumayyiz. Namun, anak yang dibawah umur tujuh tahun,
pengadilan melihat kepada kebajikan dan maslahah anak diletakkan di bawah
jagaan ibu berdasarkan fakta kasus. Ini karena, jika di bawah penjagaan ibu
boleh memudaratkan si anak, maka ibu tersebut tidak mempunyai hak ke atas
anak tersebut. Selain itu, jika pasangan mempunyai lebih dari seorang anak,
pengadilan membuat pertimbangan tentang kebajikan setiap anak untuk
memberi hak jagaan terhadap orang tua. Ini karena, tidak terikat untuk memberi
hak jagaan anak hanya kepada salah seorang daripada orang tuanya.
Antara syarat-syarat suatu perintah penjagaan anak adalah menurut seksyen
89 (2) adalah;58
(a) Tempat anak itu akan berdomisili, cara asuhannya dan tentang agama
yang dianuti semasa dia dibesarkan;
(b) Mengadakan peruntukan bagi anak itu semasa berada dalam jagaan
sementara, yakni, selain daripada orang yang berhak menjaganya;
(c) Memberi peruntukan bagi anak itu melawat ibu atau ayahnya atau mana-
mana ahli keluarga seeblah ibu atau ayah yang tidak diberi hak
menjaganya dalam period yang ditetapkan;
(d) Memberi hak melawat si anak kepada orang yang tidak diberi hak
penjagaan anak;
(e) Melarang orang yang diberi penjagaan itu membawa anak ke luar dari
Malaysia.

B. Kenentuan hak hadhanah muslim dengan non muslim

Satu kaidah fikih yang terkait dengan hal ini:

58
Akta 164, Akta Membaharui Undang-Undang (Perkahwinan dan Perceraian) 1976,
hlm 68.
43

‫احلكم على الّش يء فرع عن تصّو ر‬

“memberikan hukum ke atas sesuatu perkara adalah cabang dari


proses mendapatkan gambaran yang menyeluruh terhadapnya”
 Sudut hukum di Malaysia:
Dalam sistem Mahkamah Syariah di Malaysia sememangnya menetapkan
undang-undang keluarga Islam mengikut ketetapan negeri masing-masing
kecuali Labuan, Kuala Lumpur dan Putrajaya diletakkan dalam Persekutuan. 59
Menurut Enakmen undang-undang Keluarga Islam (Selangor) 2003 Seksyen 83,
telah menetapkan kelayakan seseorang bagi menjaga anak-anak, yang mana hal
tersebut adalah, Islam, berakal, mampu memberikan kasih sayang, berakhlak
baik dan menyediakan tempat tinggal yang selamat. 60 Disamping itu, dalam hal
hadhanah Mahkamah Syariah mengambil kira dalam hal kebajikan anak-anak
tersebut, ini karena mengikut undang-undang keluarga Islam, anak hak
hadhanah diberikan ke atas ibu, melainkan jika ibu hilang kelayakan sebagai
pemegang hak hadhanah.61 Disamping itu, hadhanah akan berakhir apabila anak
asuh tersebut sudah boleh mandiri, yakni boleh menguruskan diri sendiri dengan
baik (mumayyiz), disitu anak boleh memilih kepada siapa yang dia kehendaki.62

Menurut Akta Memperbaharui Undang-Undang 164 (Perkahwinan dan


Perceraian) 1976, Seksyen 87 menyatakan bahwa arti anak adalah anak yang
berstatus dalam perkawinan yang berumur bawah lapan belas tahun. 63
Maksudnya usia disini tidak memungkinkan bahwa akan berlakunya pemilihan
bagi anak-anak yang sudah mumayyiz untuk memilih ibu atau bapa yang
59
Zulazhar Tahir, “Mahakamah Syariah selepas 16 tahun Kemasukan Artikel 121 (1A)
Perlembagaan Persekutuan”, diakses melalui
https://ejournal.um.edu.my/index.php/JMCL/article/view/16258/9766, hlm 150.
60
Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Selangor) 2003.
61
Jabatan Bantuan Guaman, Hadanah (Hak Penjagaan Anak), (JBG, Putrajaya), hlm 1.
62
Ahmad Muntaha, Hak HadhanahAnak Dalam Keluarga Beda Agama: Studi Kasus di
Desa Getasan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, (IAIN Salatiga, 2017), hlm 26
63
Akta 164, Akta Membaharui Undang-Undang (Perkahwinan dan Perceraian) 1976,
hlm 66
44

mereka akan ikuti. Hal ini berdasarkan Enakmen Undang-Undang Keluarga


Islam, seksyen 85 (2) yang menyatakan kanak-kanak yang telah mencapai umur
mumayyiz berhak memilih untuk tinggal dengan sesiapa yang dia kehendaki
sama ada ibu atau bapanya, melainkan jika mahkamah memerintahkan
selainnya.

 Sudut pandangan syariah:

Menurut jumhur ulama, Mazhab Hanãfĩ, Hanbalĩ dan Al-Syãfi’ĩ menyatakan


bahwa dalam hal ini, anak-anak harus mengikut penjaganya yang beragama
Islam, baik penjaganya ibu atau bapa, ini berdasarkan hadis Rasulullah s.a.w.
yang bermaksud “Islam itu tinggi dan tiada yang lebih tinggi daripadanya”.
Turut berpendapat, tidak ada hak penjagaan anak ke atas orang non muslim, dan
hak tersebut harus diberi kepada orang yang beragama Islam. Ini karena, demi
menjaga kemaslahatan dan keselamatan akidah anak tersebut dari kemudharatan
jika diletakkan di bawah pengawasan atau penjagaan orang non muslim. Begitu
juga hak hadhanah bagi orang tua yang kafir, mereka tidak layak untuk
memeliharan anaknya yang berstatus agama Islam.

Manakala, Wahbah al-Zuhailiy menerangkan mazhab Mãlikĩ dan sebagian


mazhab Hanãfĩ pula berpandangan bahwa orang tua yang non muslim boleh
menjaga anaknya yang Islam selagi mana terpelihara akidahnya sehingga anak
itu mumayyiz. Namun, jika akidah anak itu terganggu akibat diasuh oleh orang
tuanya yang non muslim, maka orang tua tersebut hilang hak penjagaannya ke
atas anak tersbut walaupun anak itu belum mencapai tahap mumayyiz.64

Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan bagi Hal Ehwal Ugama


Islam Malaysia kali ke-87 memutuskan bahwa, menerusi pendapat jumhur
ulama yang berpihak kepada orang tua yang Islam, apabila salah satu orang tua
64
Peguam Syarie Faiz Adnan Associates, “Status agama anak bawah umur dan Hak
Hadhanah apabila salah seorang ibubapa memeluk Islam: Adakah Islam atau kekal dengan
Agama ibubapa ketika berkahwin?, diakses melalui https://peguamsyariefas.com.my/status-
agama-anak-bawah-umur/, pada tanggal 29 oktober 2020.
45

ibu atau bapa yang memeluk Islam, agama bagi anak kepada pasangan tersebut
adalah Islam dan hak hadhanah bagi anak tersebut adalah orang tuanya yang
beragama Islam.

Hal ini, turut berlandaskan hukum bagi perkara 12 (4) menyatakan bahwa
agama seseorang yang berumur di bawah 18 tahun harus ditetapkan oleh orang
tuanya atau penjaganya.

Demikian salah seorang dari orang tua tersebut menentukan agama bagi
anak mereka sudah cukup menentukan agama seorang anak di bawah umur. Ini
karena, perkara 12 (4), mengikut istilah “parent or guardian” (ibu atau bapa
atau penjaga) dan bukan “parents or guardian” (ibu dan bapa atau penjaga).65

C. Pertimbangan hukum dalam penetapan hak hadhanah pasca


perceraian karena perpindahan agama.

1. Landasan hukum penetapan hak hadhanah

Kasus hadhanah ini melibatkan dua kewenangan mahkamah di Malaysia,


yaitu, Mahkamah Tinggi Sivil dan Mahkamah Tinggi Syariah. Hal ini karena,
Mahkamah Tinggi sivil hanya boleh membicarakan perkara orang non muslim,
manakala, Mahkamah Tinggi Syariah hanya khusus untuk hal orang Islam.

Seksyen 61 (3) (b) (iii), Enakmen 1 Tahun 2003 Enakmen pentadbiran Agama
Islam (Negeri Selangor) 2003 bagi bidangkuasa Mahkamah Tinggi Syariah
adalah:

Mahkamah Tinggi Syariah hendaklah, dalam bidang malnya, mendengar


dan memutuskan semua tindakan dan prosiding jika semua pihak dalam
tindakan dan prosiding itu adalah orang Islam dan tindakan atau prosiding

65
Peguam Syarie Faiz Adnan Associates, “Status agama anak bawah umur dan Hak
Hadhanah apabila salah seorang ibubapa memeluk Islam: Adakah Islam atau kekal dengan
Agama ibubapa ketika berkahwin?, diakses melalui https://peguamsyariefas.com.my/status-
agama-anak-bawah-umur/, pada tanggal 14 Maret 2023.
46

berhubung dengan nafkah orang-orang tanggungan, kesahtarafan, atau


penjagaan atau jagaan (hadhanah) anak-anak.66

a. Akta 164 Akta Membaharui Undang-Undang (Perkawinan dan


Perceraian) 1976

Akta ini terpakai khusus untuk orang bukan Islam yang berwarganegara
Malaysia dan rakyat Malaysia yang menetap di luar negara. Akta ini tidak boleh
digunakan terhadap orang Islam, atau orang yang berkawin berdasarkan hukum
syarak, dan tidak boleh diupacarakan dan didaftarkan perkawinannya dibawah
akta ini jika salah seorang daripada pihak perkawinan itu menganut agam Islam.
Hal ini dinyatakan dalam Seksyen 3 Akta ini.67

Menurut Akta Memperbaharui Undang-Undang 164 (Perkahwinan dan


Perceraian) 1976, Seksyen 87 menyatakan bahwa arti anak adalah anak yang
berstatus dalam perkawinan yang berumur bawah lapan belas tahun. 68
Maksudnya usia disini tidak memungkinkan bahwa akan berlakunya pemilihan
bagi anak-anak yang sudah mumayyiz untuk memilih ibu atau bapa yang
mereka akan ikuti. Hal ini berdasarkan Enakmen Undang-Undang Keluarga
Islam, seksyen 85 (2) yang menyatakan kanak-kanak yang telah mencapai umur
mumayyiz berhak memilih untuk tinggal dengan sesiapa yang dia kehendaki
sama ada ibu atau bapanya, melainkan jika mahkamah memerintahkan
selainnya.

Pindaan akta ini adalah untuk memberi kewenangan eskslusif kepada


mahkamah sivil untuk mendengar, membicarakan dan memutuskan kasus
tentang pembubaran perkawinan dan semua perkara yang berkaitan pasangan
kawin di bawah akta ini dan memeluk Islam setelah perkawinannya. Selain itu,

66
Enakmen 1 Tahun 2003 Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003,
Bahagian IV (Mahkamah Syariah).
67
Akta 164, Akta Membaharui Undang-Undang (Perkahwinan dan Perceraian)
1976,hlm 11.
68
Ibid, hlm 66.
47

akta ini turut membolehkan pasangan kawin sivil untuk membubarkan


perkawinan mereka akibat pasangannya memeluk Islam setelah 3 bulan tempoh
pengislamannya.69

Dalam akta ini, seksyen 51 merupakan penetapan bagi pembubaran


perkawinan atas alasan memeluk Islam:

Fasal (1), jika satu pihak kepada perkawinan telah memeluk Islam, pihak yang
satu lagi itu yang tidak memeluk Islam boleh mempetisyen untuk perceraian,
dengan satu syarat bahwa tidak ada satu petisyen di bawah seksyen ini boleh
dikemukakan sebelum tamat tempoh tiga bulan dari tarikh masuk Islam.

Fasal (2), Mahkamah boleh, apabila membubarkan perkawinan itu, membuat


penetapan untuk istri atau suami, dan untuk nafkah, pemeliharaan, dan
penjagaan anak daripada perkawinan itu, jika ada, dan boleh mengenakan apa-
apa syarat ke atas dekri pembubaran itu sebagaimana yang difikirkannya patut.70

Sekseyen 3 (3):-

(a) Akta ini tidak terpakai bagi orang Islam atau bagi mana-mana orang
yang berkawin di bawah undang-undang Islam dan tidak ada perkawinan
boleh diupacarakan atau didaftarkan di bawah akta ini jika salah satu
daripada pihak-pihak kepada perkawinan itu menganut agama Islam;
tetapi tidak ada apa-apa jua dalam seksyen iniboleh diertikan sebagai
menghalang suatu mahkamah daripada mempunyai kewenangan ekslidif
atau pembubaran perkawinan dan semua perkara yang berbangkit
daripada itu termasuk memberi dekri perceraian atau perintah lain di
bawah Bahagian VII dan Bahagian VIII bagi:

69
Redwan Yasin, Hak Pemeliharaan Anak bagi Mualaf: Konflik Undang-Undang di Malaysia,
(UKM, 2021). Hlm 73.
70
Akta 164, Akta Membaharui Undang-Undang (Perkahwinan dan Perceraian)
1976,hlm 46.
48

(a) Suatu petisyen perceraian di bawah seksyen 53 yang satu pihak


masuk Islam selepas petisyen difailkan atau selepas dekri
diisytiharkan; atau
(b) Suatu petisyen perceraian di bawah seksyen 51, 52 atau 53 bagi
petisyen oleh salah satu pihak atau kedua-dua pihak kepada suatu
perkawinan yang dibuat adalah, walau apa pun undangp-undang
bertulis lain yang berlawanan, sah terhadap pihak kepada perkawinan
itu yang telah masuk Islam sedemikian.71
b. Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia

Dalam sistem Mahkamah Syariah di Malaysia sememangnya


menetapkan undang-undang keluarga Islam mengikut ketetapan negeri masing-
masing kecuali Labuan, Kuala Lumpur dan Putrajaya diletakkan dalam
Persekutuan72, isi undang-undangnya adalah hampir sama kesemuanya, namun
masih ada sedikit perbedaan pada struktur dan pemilihan kalimat. 73 Perbedaan
yang ada pada semua enakmen itu adalah kedudukannya yang legal digunakan
bagi provinsinya saja, yakni terpakai buat rakyat provinsi tersebut. Enakmen
tersebut tidak boleh diubah melainkan dengan persetujuan oleh kerajaan negeri
tersebut.

Menurut Enakmen undang-undang Keluarga Islam (Selangor) 2003


Seksyen 83, telah menetapkan kelayakan seseorang bagi menjaga anak-anak,
yang mana hal tersebut adalah, Islam, berakal, mampu memberikan kasih
sayang, berakhlak baik dan menyediakan tempat tinggal yang selamat. 74
Disamping itu, dalam hal hadhanah Mahkamah Syariah mengambil kira dalam

71
Ibid.
72
Zulazhar Tahir, “Mahkamah Syariah selepas 16 tahun Kemasukan Artikel 121 (1A)
Perlembagaan Persekutuan”, diakses melalui
https://ejournal.um.edu.my/index.php/JMCL/article/view/16258/9766, hlm 150.
73
Zuliza, Nurhidayah, Pemelukan Islam pasangan perkawinan sivil: isu berbangkit dan
cadangan penambahbaikan menurut undang-undang di Malaysia, (UITM, Shah Alam: 2016),
hlm 21.
74
Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Selangor) 2003.
49

hal kebajikan anak-anak tersebut, ini karena mengikut undang-undang keluarga


Islam, anak hak hadhanah diberikan ke atas ibu, melainkan jika ibu hilang
kelayakan sebagai pemegang hak hadhanah.75 Disamping itu, hadhanah akan
berakhir apabila anak asuh tersebut sudah boleh mandiri, yakni boleh
menguruskan diri sendiri dengan baik (mumayyiz), disitu anak boleh memilih
kepada siapa yang dia kehendaki.76

c. Perlembagaan Persekutuan77
 Jadual Kesembilan

Pemisahan kewenangan antara Mahkamah Sivil dengan Mahkamah


Syariah yang dilaksanakan pada 10 Jun 1988. Yang mana Mahkamah Syariah
kewenangan terbatas hanya untuk orang Islam, dan Mahkamah Sivil untuk non
muslim. Perihal perkara Mahkamah Syariah adalah dalam kewenangan bawah
kerajaan negeri, seperti ditetapkan dalam Perlembagaan Persekutuan Jadual
Kesembilan, Senarai II-Senarai Negeri78:

“Kecuali mengenai Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Labuan dan


Putrajaya, hukum syarak dan undang-undang diri dan keluarga bagi
orang yang menganut agama Islam, termasuk hukum syarak yang
berhubungan dengan perwarisan, berwasiat dan tidak berwasiat,
pertunangan, perkawinan, perceraian, mas kawin, nafkah,
pengangkatan, kesahtarafan, penjagaan, alang, pecah milik dan
amanah bukan khairat; Wakaf dan takrif serta pengawalseliaan
amanah khairat dan agama, pelantikan pemegang amanah dan
pemerbadanan orang berkenaan dengan kekal agama dan khairat,
institusi, amanah, khairat dan institusi khairat Islam yang beroperasi
keseluruhannya dalam Negeri; adat melayu; zakat, fitrah dan
baitulmal atau hasil agama Islam yang seumpamanya; masjid atau
mana-mana tempat sembahyang awam untuk orang Islam, pewujudan
dan penghukuman kesalahan yang dilakukan oleh orang yang
menganut agama Islam terhadap perintah agama itu, kecuali
75
Jabatan Bantuan Guaman, Hadanah (Hak Penjagaan Anak), (JBG, Putrajaya), hlm 1.
76
Ahmad Muntaha, Hak HadhanahAnak Dalam Keluarga Beda Agama: Studi Kasus di
Desa Getasan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, (IAIN Salatiga, 2017), hlm 26
77
Undang-undang Malaysia, Perlembagaan Persekutuan 2009.
78
Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Perlembagaan Persekutuan, (Selangor:
ILBS, 2014), hlm 380.
50

berkenaan dengan perkara yang termasuk dalam senarai Persekutuan;


keanggotaan, susunan dan tatacara mahkamah Syariah, yang
hendaklah mempunyai bidangkuasa hanya ke atas orang yang
menganut agama Islam dan hanya berkenaan dengan mana-mana
perkara yang termasuk dalam perenggan ini, tetapi tidak mempunyai
bidangkuasa berkenaan dengan kesalahan kecuali setakat yang
diberikan oleh undang-undang persekutuan; mengawal
pengembangan doktrin dan kepercayaan di kalangan orang yang
menganut agama Islam; penentuan perkara hukum dan doktrin syarak
dan adat melayu.”
 Perkara 3 (1);

Islam adalah agama bagi persekutuan; tetapi agama-agama lain boleh diamalkan
dengan aman dan damai di mana-mana Bagian Persekutuan.

 Perkara 11;

Fasal (1), tiap-tiap orang berhak menganuti dan mengamalkan agamanya dan
tertakluk kepada Fasal (4).

Fasal (4), undang-undang Negeri dan berkenaan dengan wilayah-wilayah


Persekutuan Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya, undang-undang persekutuan
boleh mengawal atau menyekat pengembangan apa-apa doktrin atau
kepercayaan agama di kalangan orang yang menganuti agama Islam.

 Perkara 12;

Fasal (3), tidak ada seorang pun boleh dikehendaki menerima ajaran sesuatu
agama atau mengambil bagian dalam apa-apa upacara atau upacara sembahyang
sesuatu agama, selain agamanya sendiri.

Fasal (4), bagi maksud Fasal (3) agama seseorang yang di bawah umur 18
tahun hendaklah ditetapkan oleh ibu atau ayahnya atau penjaganya.

2. Analisis pertimbangan hakim dalam memutuskan kasus


51

Dalam memutuskan kasus, hakim membuat pertimbangan berlandaskan


ketetapan hukum mengikut prosedur kewenangan pengadilan. Antara kasus-
kasus yang melibatkan hak hadhanah antara muslim dengan non muslim di
Malaysia adalah:

1. Viran a/l Nagapan lawan Deepa a/p Subramaniam

Perayu telah memeluk Islam pada tahun 2012 dan telah mendaftarkan
pemelukan Islam kedua-dua anaknya di Mahkamah Tinggi Syariah Seremban,
Negeri Sembilan. Mahkamah kemudiannya memerintahkan pembubaran
perkawinan tersebut dan memberikan hak penjagaan dua orang anaknya kepada
perayu, adapun si istri (tergugat) diberi hak untuk menziarah dan akses ke atas
anak tersebut.

Namun, tergugat pula mengajukan gugatan perceraian dan hak penjagaan


anak di Mahkamah Tinggi Sivil di Seremban. Lalu, mahkamah tersebut
membubarkan perkawinan mereka dan memberikan hak penjagaan dua orang
anaknya terhadap tergugat. Terjadinya pertembungan antara dua kewenangan
mahkamah dalam kasus ini.

Oleh itu, dengan kebijaksanaan hakim, mahkamah bertindak menyoal


kedua-dua orang anak tersebut secara rahsia dan mendapati bahwa anak laki-laki
memilih untuk tinggal bersama ayahnya dan anak perempuan memilih untuk
tinggal bersama ibunya. Demikian, dengan melihat kebajikan dan kemaslahatan
anak-anak tersebut, jelaslah keputusan mahkamah mengikut keselesaan si anak.
Oleh itu, perintah hak penjagaan yang diberikan oleh Mahkamah Tinggi patut
diubah agar hak penjagaan anak perempuan kekal dengan tergugat dan anak
laki-laki diberi hak kepada ayah.

Pertimbangan dalam memutuskan kasus ini lebih terbuka dan luas, hakim
melihat bukan sahaja melihat kepada isu pengislaman anak-anak tersebut , tetapi
52

melihat kepada sudut kebajikan, kemaslahatan dan keselesaan anak mengikut


pilihan yang diberikan oleh hakim kepada anak. 79

2. Shamala a/p Sathiyaseelan lawan Dr Jeyaganesh a/l C Mogarajah

Penggugat telah berkawin dengan tergugat dan mempunyai dua orang anak
laki-laki. Penggugat mengajukan gugatan perceraian dan hak penjagaan anak
terhadap suaminya yang sudah memeluk Islam yang turut mengislamkan
anaknya di Mahkamah Tinggi. Namun, tergugat membantah permohonan
istrinya dengan alasan bahwa Mahkamah Tinggi tidak mempunyai kuasa ke atas
orang Islam. tetapi, mahkamah menolak bantahan tergugat dan
memerintahkannya untuk mendengar gugatan yang diajukan oleh penggugat
kepadanya.

Tergugat dan penggugat berkawin belandaskan akta ini sebelum memeluk


Islam, pengadilan memutuskan untuk membicarakan hal ini berdasarkan
seksyen 8, Akta Membaharui Undang-undang (Perkahwinan dan Perceraian)
1976. Perkawinan mereka juga diteruskan seperti biasa sehingga dibubarkan
oleh pengadilan.

Antara permohonan yang dibuat oleh penggugat adalah:

i. Hak penjagaan, pemeliharaan dan kawalan ke atas dua orang anaknya;


ii. Uang nafkah bulanan sebanyak RM1,500 sehingga anak-anak tersebut
berumur 21 tahun yang dibayar oleh tergugat kepada penggugat untuk
anak-anak mereka;

79
Peguam Syarie Faiz Adnan Associates, “Status agama anak bawah umur dan Hak
Hadhanah apabila salah seorang ibubapa memeluk Islam: Adakah Islam atau kekal dengan
Agama ibubapa ketika berkahwin?, diakses melalui https://peguamsyariefas.com.my/status-
agama-anak-bawah-umur/, pada tanggal 14 Maret 2023.
53

iii. Akses (kebenaran berjumpa anak) diberikan kepada tergugat pada setiap
minggu pada hari Ahad, jam 10 pagi hingga 6 petang bersama penggugat
dirumah penggugat;
iv. Lain-lain perintah yang dianggap adil dan sesuai oleh pengadilan yang
mulia ini; dan
v. Kos permohonan ini ditanggung oleh tergugat.

Pada 12 maret 2003, ketika saman pemula dari pihak penggugat mula
dibicarakan, tergugat mengajukan bantahan awalan yang menyatakan bahwa
Mahkamah Tinggi tidak mempunyai kewenangan untuk membicarakan
permohonan penggugat atas alasan:

i. Tergugat dan anak-anak sudah memeluk agama Islam.


ii. Mahkamah Tinggi Syariah Shah Alam pada 28 Januari 2003,
memerintahkan hak jagaan sementara ke atas anak-anak mereka kepada
tergugat.
iii. Tidak ada aturan di bawah Akta Membaharui Undang-undang
(Perkahwinan dan Perceraian) 1976 untuk menolak, mengubah atau
membuat perintah berlawanan dengan perintah Mahkamah Tinggi
Syariah Shah Alam.

Setelah mendengar hujah kedua-dua belah pihak, mahkamah telah menolak


bantahan awalan tergugat dan memerintahkan untuk mendengar permohonan
dari pihak penggugat. Seterusnya, tergugat membuat rayuan di Mahkamah
Rayuan.

Per Justice Rahma Hussain menyatakan, walaupun mahkamah sivil


mempunyai kewenangan untuk mendengar permohonan perceraian yang
dipohon oleh orang non muslim, tetapi mahkamah sivil tidak mempunyai
kewenangan untuk mengenepikan perintah yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Syariah. Namun, hakim tetap memutuskan bahwa bantahan yang diajukan oleh
54

tergugat di bantahan awalan telah ditolak, atas faktor seksyen 8 Akta 164
Membaharui Undang-undang, yang mana menyatakan perkawinan tersebut
masih diteruskan dan tidak akan dibubarkan selagimana tidak dibubarkan oleh
mana-mana pengadilan. Demikian, keputusan berpihak kepada penggugat.80

80
Mahkamah Tinggi (Kuala Lumpur), Saman Pemula No S8-24-3586 Tahun 2002,
Shamala a/p Sathiyaseelan v Dr Jeyaganesh a/l C Mogarajah.
BAB EMPAT
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penentuan hak hadhanah bagi pasangan kawin sivil setelah terjadinya


perceraian akibat pemelukan agama Islam salah seorang daripada
mereka mempunyai banyak prosedur. Prosedur hal ini turut berkaitan
dengan dua kewenangan pengadilan yang seharusnya tidak boleh bersatu
dalam membicarakan suatu perkara. Ini karena, Mahkamah Tinggi Sivil
mempunyai kuasa khusus mendengar, membicarakan dan mengadili
kasus berkaitan orang non muslim. Manakala, Mahkamah Tinggi
Syariah pula, khusus untuk orang Islam semata. Hal ini berlandaskan
hukum yang sudah ditetapkan, yaitu dalam perkara 121 (1A)
Perlembagaan Persektuan yang memisahkan kewenangan antara dua
pengadilan tersebut. Demikian, prosedur yang digunakan itu melalui dua
pengadilan itu dan mencapai kata sepakat para hakim yang mengadili
kasus tersebut untuk menentukan keputusan.
2. Antara landasan pertimbangan hukum utama yang digunakan dalam
penetapan hak hadhanah bagi kasus ini ialah Perlembagaan Persekutuan
yang menentukan kewenangan pengadilan. Mahkamah Tinggi Syariah
berlandaskan Enakmen Undang-undang Keluarga Islam (EUKI) yang
ditetapkan bagi setiap provinsi di Malaysia sesuai dengan ketetapan
hukum Islam. Yang mana, hukum ini melihat kepada syarat-syarat
hadhanah dalam Islam yang turut ada dalam EUKI. Manakala, bagi
Mahkamah Tinggi Sivil pula, Akta 164, Akta Membaharui Undang-
Undang (Perkahwinan dan Perceraian) 1976 dan Akta Mahkamah
Kehakiman 1964. Selain itu, keputusan yang diputuskan hakim dalam
memberi hak memilih kepada si anak untuk tinggal bersama mana-mana

55
56

salah seorang orang tuanya turut berlandaskan hukum yang ditetapkan di


Malaysia.

B. Saran

1. Dalam membuat penelitian, peneliti menyarankan bahwa perlu ada


penelitian lanjutan bagi mendalami lagi permasalahan kasus ini untuk
melihat sejauh mana keberkesanan pindaan Perkara 121 (1A)
Perlembagaan Persekutuan terhadap kuasa legislatif Mahkamah Syariah
dalam hal ini.
2. Permasalahan ini menjadi pertikaian masyarakat disebabkan tidak
mengetahui landasan hukum. Oleh itu, penelitian ini boleh membantu
masyarakat untuk mengetahui bagaimana hakim memutuskan hal ini.
DAFTAR PUSTAKA

57
58

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


59

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai