Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena perceraian dikalangan masyarakat bukan lagi hal yang
tabu. Indonesia memiliki tingkat perceraian yang cukup tinggi, berdasarkan
data Badan Peradilan Agama, kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2019
mencapai 439.002 kasus, pada tahun 2020 angka perceraian di Indonesia
mengalami penurunan yang cukup drastis menjadi 291.667 kasus, namun
pada tahun 2021 angka perceraian mencapai 447.743 kasus, kembali
meningkat cukup pesat sekitar 52 persen dari kasus perceraian yang terjadi
pada tahun 2020.1 Selain perceraian yang tercatat di pengadilan agama,
ternyata dikalangan masyarakat juga banyak ditemukan fenomena perceraian
yang tidak diputuskan oleh Pengadilan Agama melainkan hanya secara
agama atau secara Hukum Adat saja.
Diketahui bahwa, Menurut Fikih Madzhab Syafi’i perceraian
dianggap sah ketika suami mengucapkan kata talak baik secara jelas (sarih)
ataupun sindiran (kinayah) dengan niat. Setelah terjadi talak, selama istri
masih dalam masa iddah, suami kembali diberikan kesempatan untuk
memperbaiki hubungan yang sudah retak itu dengan diperbolehkannya rujuk.
Namun, hal tersebut seringkali disalah gunakan oleh pihak suami dengan
mentalak istrinya dan rujuk kembali hingga berulang kali. Hal tersebut
dimasyarakat sering kali menjadi polemik. karena sesungguhnya ini sangat
merugikan pihak isteri, karena seolah isteri hanya menjadi objek untuk
ditalak dan dirujuk dengan mudahnya oleh suami yang mempunyai hak
mutlak dalam menjatuhkan talak2. Islam memperbolehkan talak ketika sudah
melewati langkah-langkah untuk mempertahankan rumah tangga namun
tidak menemukan hasil. Dalam Hukum Islam, kewenangan talak ada di
tangan suami, Hal ini karena suami adalah pihak yang melakukan akad
penerimaan ketika akad nikah berlangsung dan dianggap lebih mampu
mengendalikan emosi, lebih tabah dan lebih kuat baik secara fisik ataupun
secara mental3. Maka suami diharapkan lebih bijaksana menyelesaikan
segala persoalan yang mengguncang dalam kehidupan rumah tangga.
Sehingga diharapkan suami tidak sembarangan dalam menjatuhkan talak.
Sedangkan, Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk
penganut agama Islam memberi perhatian khusus tentang Hukum
perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

1
www.bps.go.id diakses pada tanggal 6 Maret 2022 pukul 0:57 WIB.
2
Zainul Mu’ien Husni, Tinjauan fikih terhadap ketentuan ikrar talak di hadapan
pengadilan agama dalam UU NO. 1/19974,” Jurnal Keislaman Sosial, Hukum dan
Pendidikan, 1, (2021) hal. 126.
3
Rahmat Hakim, HukumPerkawinan Islam, (Pustaka Setia: Bandung, 2000), hal.
155
tahun 1974 dilengkapi dengan peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975
tentang pelaksanaannya. Kemudian juga didukung dengan adanya undang-
undang nomor 7 tentang peradilan agama yang khusus mengatur masalah-
masalah tertentu bagi umat Islam dan juga dilengkapi dengan instruksi
Presiden nomor 1 tahun 1991 tentang penggunan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah dibeberapa
bidang termasuk perceraian.
Dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 39 ayat 1 nomor 1 tahun
1974 dan buku Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 115 menyebutkan
bahwa talak dapat dikatakan sah hanya apabila diikrarkan di hadapan
pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut sudah berusaha
mendamaikan kedua belah pihak namun tidak berhasil. Selanjutnya
disebutkan bahwa penghitungan talak mulai terhitung saat perceraian
dinyatakan di depan sidang di pengadilan agama.4 Dan talak yang
dijatuhkan suami kepada istri di luar pengadilan agama tidak dianggap sah
dan tidak memiliki kekuatan Hukum Negara sehingga secara Hukum Positif
masih dianggap sebagai pasangan suami istri yang utuh.5
Maksud dari aturan yang tertera didalam Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam adalah agar pelakasanaan
perceraian tidak merugikan kedua belah pihak dan menghindari tindakan
sewenang-wenang suami dalam mentalak istrinya dengan sesuka hati. Pada
zaman dahulu seorang suami dapat mentalak istrinya berkali-kali kemudian
ketika masa iddah hampir habis dia kembali lagi kepada istrinya, kemudian
menalak lagi dan kembali lagi begitu seterusnya dengan maksud menyakiti
istrinya.6 Kemudian Allah berfirman dalam QS. Al-BAqarah ayat 229:
‫انؕ َواَل حَيِ ُّل لَـ ُکمۡ اَ ۡن تَ ۡا ُخ ُذ ۡوا‬‌ٍ ‫ف اَ ۡو تَ ۡس ِر ۡي ٌح بِاِ ۡح َس‬ ٍ ‫اك مِب َ ۡعر ۡو‬
ُ ٌ ‫ن فَامۡ َس‬
ِ ‌ِۖ ‫اَلطَّاَل ُق مَّر ٰت‬
َ
‫مِم َّٓا اٰتَ ۡيتُ ُم ۡو ُه َّن َش ۡيـ ًٔــا ااَّل ۤ اَ ۡن خَّيَافَ ٓا اَ اَّل يُِق ۡي َم ا ُح ُد ۡو َد ال ٰلِّ‌هؕ فَ اِ ۡن ِۡخفتُمۡ اَ اَّل يُِق ۡي َم ا‬
ِ
ۚ‌ ‫ك ُح ُد ۡو ُد ال ٰلّ ِه فَاَل تَ ۡعتَ ُد ۡو َه‬ ۡ ِ ٰ
َ ‫اح َعلَ ۡي ِه َم ا ف ۡي َم ا ا ۡفتَ َد ۡت بِِهؕ‌تِل‬َ َ‫ُح ُد ۡو َد اللّ ِۙه فَاَل ُجن‬
‫ك ُه ُم ال ٰظّلِ ُم ۡو َن‬ ٓ ٰ
َ ‫َو َم ۡن يََّت َع َّد ُح ُد ۡو َد اللّ ِه فَاُو ٰل ِٕٮ‬
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat)
menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak
mampu menjalankan hukum-HukumAllah. Jika kamu (wali) khawatir
4
Tim Penulis, Kompilasi HukumIslam, Pasal 113 (Citra Umbara: Bandung, 2017),
hal 357
5
Kompilasi HukumIslam pasal 115 (Citra Umbara: Bandung, 2017), hal 357
6
Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed
Hawwas, Fikih Munakahat, (Amzah: Jakarta,2011), hal 255
bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-HukumAllah,
maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan
(oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-HukumAllah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-
HukumAllah, mereka itulah orang-orang zhalim.”
Pasangan suami istri mengikrarkan talak di hadapan pengadilan
agama adalah agar mendapatkan kepastian Hukum yang mengikat dimata
Hukum Positif sehingga hak mantan istri seprti hak asuh anak, nafkah
mut’ah, pembagian harta bersama setelah menikah dan hak bagi istri untuk
menikah kembali dengan laki-laki lain dapat terpenuhi karena status
perceraiannya telah tercatatat di pengadilan agama 7. Berbeda dengan
pasangan suami istri yang tidak melakukan ikrar talak di pengadilan agama,
secara Hukum Negara mereka masih tercatat sebagai suami istri yang sah
sehingga hak-hak istri seperti yang disebutkan tadi akan sulit didapatkan.
Meskipun sudah diatur sedemikian rupa oleh undang-undang namun
masih banyak masyarakat yang tidak mengindahkan peraturan yang berlaku
dan menganggap cukup ucapan talak yang dilakukan oleh suami kepada
istrinya tanpa dilakukan ikrar talak dihadapan pengadilan. Oleh karena itu
penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang komparasi kedua Hukum
ini dengan judul “Keabsahan Talak Perspektif Hukum Positif Dan Fikih
Madzhab Syafi’i”

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan masalah diatas, maka secara spesifik
permasalahan tersebut diidentifikasi ke dalam poin-poin identifikasi masalah
sebagaimana berikut dibawah ini:
1. Terjadinya perbedaan Hukum keabsahan talak diantara
Hukum Positif dan Fikih madzhab Syafi’i;
2. Banyak terjadi kasus perceraian di luar pengadilan atau hanya
secara agama;
3. Mekanisme penjatuhan talak di luar pengadilan (secara
agama) dan pada sidang perceraian;
4. Istri sah kehilangan hak Hukum yang mengikat secara Hukum
Positif setelah bercerai di luar pengadilan;
5. Tidak ada status Hukum yang pasti secara Hukum Positif bagi
pasangan suami istri yang bercerai secara agama saja;
6. Penghitungan masa iddah setelah talak;

7
Cik Hasan Bisri, Kompilasi HukumIslam dan Pengadilan Agama dalam system
HukumNasional (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995), hal. 65
C. Batasan Masalah
Batasan masalah merujuk pada pemaparan poin-poin identifikasi
masalah di atas, maka dalam upaya membatasi masalah yang diteliti agar
tidak terlalu meluas penelitian ini dibatasi pada poin pertama hingga poin ke-
tiga yang akan diteliti yaitu: studi komparatif Hukum Positif dan Fikih
madzhab Syafi’i terkait permasalahan keabsahan talak.
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini dibagi dua, yaitu rumusan
masalah mayor dan rumusan masalah minor. Rumusan mayor dalam
penelitian ini adalah studi komparatif keabsahan talak perspektif Hukum
Positif dan Hukum Fikih Syafi’i. Sedangkan rumusan masalah minor dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana keabsahan talak menurut Hukum Positif?
2. Bagaimana keabsahan talak menurut Fikih madzhab Syafi’i?
3. Bagaimana komparasi keabsahan talak perspektif Hukum Positif
dan Fikih madzhab Syafi’i?

E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini merujuk pada poin-poin rumusan masalah yaitu
sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan keabsahan talak menurut Hukum Positif;
2. Untuk mendeskripsikan keabsahan talak menurut Fikih madzhab
Syafi’i;
3. Mendeskripsikan perbandingan keabsahan talak perspektif
Hukum Positif dan Fikih madzhab Syafi’i;

F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibagi kedalam 2 (dua) macam, yaitu manfaat
secara teoritis dan manfaat secara praktis. Manfaat teoritis dalam penelitian
ini adalah sebagai pengembangan khazanah keilmuan Hukum keluarga
Islam, dalam hal ini terkait keabsahan talak perspektif Hukum Positif dan
Hukum Islam. Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini adalah
sebagaimana berikut:
1. Sebagai referensi bagi civitas akademik Sekolah Tinggi Ilmu Syariah
Nahdlatul Ulama (STISNU) nusantara Tangerang khususnya
program Hukum keluarga Islam.
2. Sebagai acuan bagi lembaga terkait, khususnya pengadilan agama,
dalam penentuan kebijakan terkait dengan permasalahan ikrar talak.
3. Sebagai bahan acuan bagi masyarakat umum, khususnya masyarakat
penggiat kajian Hukum Islam (keabsahan talak)
G. Tinjauan Pustaka Terdahulu yang Relevan
Tinjauan pustaka terdahulu yang relevan bertujuan untuk
membuktikan keorisinalitasan penelitian ini. Disamping itu, sebagai sumber
data dalam penelitian ini. Adapun tinjauan pustaka yang relevan sejauh yang
peneliti cari beberapa penelitian yang telah membahas permasalahan yang
sejalan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
Pertama, skripsi yang ditulis oleh Nurul Qodar dengan judul
“Perceraian di Luar Pengadilan Pada Masyarakat Muslim Desa Sumberharjo
Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman”. Masalah perceraian antara
Hukum Islam dengan Hukum Positif memang agak berbeda, salah satunya
dalam Hukum Islam menurut satu pendapat perceraian hanya perlu
dipersaksikan saja sedangkan dalam Hukum Positif perceraian harus
disidangkan di Pengadilan Agama. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 39
ayat (1)Undang-undang No.1 Tahun 1974, Pasal 65 Undang-undang No.3
Tahun 2006 dan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur bahwa
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.Perceraian yang terjadi di Desa Sumberharjo ada 3 macam
yaitu: perceraian yang sudah memenuhi ketentuan Hukum agama dan
Undang-undang, perceraian secara kekeluargaan dan perceraian yang putus
dengan sendirinya. Penyusun akan mencari penyebab sebagian masyarakat
Desa Sumberharjo lebih memilih bercerai di luar sidang Pengadilan Agama.
Penyusun juga akan mencari tahu bagaimana cara mereka melakukan
pernikahan selanjutnya, karena perceraian secara kekeluargaan dan
perceraian yang putus dengan sendirinya tentunya tidak mendapatkan akta
perceraian yang diterbitkan oleh Pengadilan Agama. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan langsung
terjun ke masyarakat sehingga diperoleh data yang jelas, dan teknik
pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara. Berdasarkan
data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan
saddu-dzari'ah, yakni dengan menilai realita yang terjadi dalam masyarakat.
Beberapa faktor penyebab masyarakat lebih memilih bercerai di luar sidang
Pengadilan adalah kurangnya pengetahuan dan kesadaran Hukum
masyarakat,ekonomi yang rendah, lokasi Pengadilan Agama yang terlalu
jauh dan proses Pengadilan yang terlalu berbelit-belit dan memakan waktu
yang tidak sedikit, hingga masalah kurangnya sosialisasi dari pihak
Pengadilan Agama dan pejabat Desa terhadap masyarakat Desa
Sumberharjo.Perceraian di luar Pengadilan mengakibatkan pelaku perceraian
tersebut tidak mendapatkan akta cerai, untuk melakukan perkawinan
selanjutnya, pelaku perceraian di luar Pengadilan di Desa Sumberharjo
melakukan perkawinan selanjutnya dengan cara perkawinan sirri.
Berdasarkan analisis Hukum Positif dan Hukum Islam terhadap data hasil
penelitian, dapat disimpulkan bahwa perceraian di luar sidang lebih banyak
mendatangkan kemafsadatan dibanding kemaslahatannya. Karena dengan
perceraian di luar sidang maka pelaku perceraian tidak akan mendapatkan
akta cerai dan hak-haknya terlantar. Jadi, agar tidak terjadi suatu
kemafsadatan maka harus adanya langkah pencegahan dari kemafsadatan
tersebut, yaitu dengan bercerai di muka sidang Pengadilan.8
Perbedaan penelitian pertama dengan penelitian yang akan penulis
lakukan ditinjau dari jenis penelitiannya, dimana penelitian pertama dan
kedua merupakan penelitian lapangan (field research), sedangkan penelitian
yang akan penulis lakukan merupakan penelitian pustaka (library researh).
Yang kedua adalah jurnal yang ditulis oleh Sulton Sabrun dengan
judul “Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan Taklik Talak Dalam Hukum
Positif Di Indonesia (Studi Kasus di Kota Mataram)”. Banyak kita temukan
usia perkawinan pada saat ini tidak berlangsung lama dikarenakan banyak
pasangan suami istri yang hanya karena emosi sesaat memutuskan ikatan
perkawinan mereka. Penelitian ini bertujuan untuk menekan terjadinya angka
perceraiaan yang terjadi dan mengetahui tinjauan yuridis tentang taklik talak
serta penerapan taklik talak dalam melaksanakan perkawinan. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian empiris dengan menggunakan
yuridis sosiologis. Data diperoleh melalui data lapangan dan data
kepustakaan. Analisa data menggunakan metode kualitatif. Berdasarkan hasil
penelitian, tinjauan yuridis tentang taklik talak ini merupakan suatu
perjanjian yang sah berdasarkan Hukum Islam dan kompilasi Hukum Islam.
Sedangkan alasan-alasan masyarakat tidak melakukan taklik talak ini adalah,
tidak mengetahui/mengerti, sosial, dan cinta.9
Penelitian kedua dengan penelitian yang akan penulis lakukan
memiliki beberapa perbedaan, yang pertama yaitu jenis penelitian kedua
adalah penelitian lapangan sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan
adalah penelitian pustaka, kemudian ditinjau dari objek kajiannya dimana
penelitian kedua mengkaji tentang taklik talak sedangkan penelitian yang
penulis lakukan mengkaji tentang keabsahan talak.
Ketiga, jurnal yang ditulis oleh Ahamad Khotim, Abd. Qohar, Habib
Ismail, Habib Shulton, dan Ahamd Muslimin dengan judul “Pandangan
Ulama Tentang Penerapan Ikrar Talak di Depan Pengadilan Agama (Studi
Multi Situs Ulama Salafiyah Paculgowang dan Tambak Beras Jombang)”.
Pada dasarnya pembebanan talak ada di tangan suami tetapi suami sebagai

8
Nurul Qodar, Perceraian Di Luar Pengadilan Pada Masyarakat Muslim Desa
Sumberharjo Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman” skripsi, (Yogyakarta, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2008)
9
Sultan Sabrun, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan Taklik Talak dalam
HukumPositif di Indonesia (studi kasus di kota Mataram), Thesis, (Mataram: Universitas
Mataram, 2017)
kepala rumah tangga tidak boleh melakukan kekerasan terhadap istrinya
dalam hal istri diceraikan karena menurut Fikih Islam jika suami telah
menjatuhkan kata cerai pada istri, itu adalah dikatakan jatuh talak, hal inilah
yang dijadikan landasan oleh para ulama-ulama dalam mengambil hukum,
tetapi berbeda dalam pelaksanaan cerai talak yang diabadikan dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, sebagaimana telah diubah. Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, Jo. Instruksi Presiden No.1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam penelitian ini penulis
mengambil permasalahan yaitu: Bagaimana pandangan anda terhadap
paculgowang ulama dan Tambak Beras tentang permohonan ikrar cerai di
depan pengadilan agama dan analisis sosiologis terhadap pandangan ulama
Hukum Islam tentang perceraian di hadapan Pengadilan Agama. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan para ulama
tentang pengenaan perceraian agama di depan pengadilan dan di luar
pengadilan agama, dan bagaimana mereka pendapat tentang pengenaan talak
menurut sosiologi Hukum Islam penelitian ini sudah sesuai dengan tujuan
yang diharapkan oleh peneliti, dalam penelitian ini peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian lapangan, penelitian. Selagi
Pengumpulan data berupa data primer dan data sekunder dengan
menggunakan wawancara dan dokumentasi. Untuk memudahkan
pengecekan data dalam pengecekan keabsahan data, peneliti menggunakan
dua metode: triangulasi dan verifikasi digunakan untuk memeriksa
kebenaran afirmasi agama perceraian di depan pengadilan, bahwa ada lebih
banyak data di edit, diperiksa dan disiapkan dengan cermat dan disusun
sedemikian rupa yang kemudian dianalisis dengan deskriptif kualitatif.
Berdasarkan data yang tersedia dapat dianalisis bahwa para ulama
paculgowang dan Tambak Beras masih berpegang teguh pada fikih klasik
dan kurang memperhatikan Hukumyang ada. Mereka harus berjanji tidak
setuju dengan perceraian di depan pengadilan agama, mereka beralasan
perceraian bisa jatuh di mana saja di pengadilan tanpa agama.10
Perbedaan penelitian ketiga dengan penelitian yang akan dilakukan
ditinjau dari objek kajiannya yang mana penelitian ketiga mengkaji
pandangan ulama tentang penerapan talak didepan Pengadilan Agama
sedangkan penelitian yang akan dilakukan mengkaji tentang keabsahan talak
perspektif Hukum Positif dan Fikih madzhab Syafi’i.

10
Ahamad Khotim, Abd. Qohar, Habib Ismail, Habib Shulton, dan Ahamd
Muslimin, Pandangan Ulama Tentang Penerapan Ikrar Talak di Depan Pengadilan Agama
(Studi Multi Situs Ulama Salafiyah Paculgowang dan Tambak Beras Jombang)”. Jurnal
Tana Mana, Vol. 1, No. 2, tahun 2020
Keempat, jurnal yang ditulis oleh Hepi Duri Jayanti dengan judul
“Talak Tiga Di Luar Pengadilan Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif
Bagi Pegawai Negeri Sipil (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Arga
Makmur nomor 0207/Pdt.G/2015/Pa.Agm)” Dalam perkara nomor
0207/Pdt.G/2015/PA.AGM, diketahui bahwa seorang suami yang berstatus
pegawai negeri sipil telah mengucapkan langsung talak tiga kepada istrinya,
setelah itu baru ia mengajukan permohonan cerai ke pengadilan agama arga
makmur tanpa melampirkan izin cerai dari atasannya. Selanjutnya membaca
putusan majelis hakim Pengadilan Agama Arga Makmur yang mengabulkan
permohonan cerai talak Pemohon, namun tidak memasukkan fakta bahwa
Pemohon telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya sebelum suami
mengajukan permohonan cerai ke Pengadilan Agama dan tidak melampirkan
izin perceraian dari atasannya. Sementara jelas bahwa terdapat perbedaan
akibat Hukum antara talak satu dengan talak tiga. Selain itu tidak adanya izin
perceraian dari pejabat berwenang akan mengakibatkan Pemohon dijatuhi
hukuman disiplin berat berdasarkan peraturan disiplin pegawai negeri sipil.
Berdasarkan latar belakang di atas penelitian ini mengungkapkan dua
permasalahan, yaitu pertama Bagaimana kekuatan Hukum pengucapan talak
tiga di luar pengadilan menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Kedua,
apa manfaat surat izin cerai bagi Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan
perceraian di Pengadilan Agama. Jenis penelitian ini adalah penelitian
yuridis normatif atau penelitian perpustakaan yang kemudian diuraikan
secara deskriptif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kekuatan Hukum
pengucapan talak tiga di luar pengadilan menurut Hukum Islam adalah sah.
Karena dalam Hukum Islam (Alquran dan hadis) tidak ada yang mengatur
jika talak harus diucapkan di depan pengadilan. Bahkan talak tidak perlu
saksi ketika suami mengucapkannya, talakpun dapat diucapkan suami secara
jelas dan tegas ataupun dengan bahasa sindiran. Namun penjatuhan talak
tidak dapat dilakukan sekaligus talak tiga tanpa melalui talak satu dan talak
dua. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
pengucapan talak harus dilakukan di depan persidangan, jika tidak maka
perceraian tidak diakui secara Hukum Negara. Dan di antara suami isteri
tersebut tetap terikat secara Hukum Negara meskipun menurut Hukum Islam
sudah bukan suami istri lagi. Sedangkan izin cerai dari atasan pegawai negeri
sipil hanya bermanfaat bagi pegawai negeri sipil yang mengajukan
perceraian ke pengadilan agama. Manfaatnya antara lain adalah bagi pegawai
negeri sipil tersebut akan terhindar dari hukuman disiplin sesuai ketentuan
yang berlaku. Kemudian jika permohonan cerai belum diajukan ke
pengadilan agama, maka pegawai negeri sipil yang bersangkutan dapat
diupayakan damai oleh tim ataupun atasan langsung, sehingga proses
persidangan perceraian tidak perlu dilakukan, ini artinya menghemat waktu
dan biaya. Jika proses perceraian tetap dilakukan, maka surat izin cerai dapat
bermanfaat sebagai dasar pertimbangan pengadilan dalam menjatuhkan
putusannya, karena surat izin cerai merupakan hasil rekomendasi tim yang
memeriksa alasan perceraian untuk mendapatkan surat izin cerai bagi
pegawai negeri sipil. 11
Perbedaan penelitian keempat dengan penelitian yang akan dilakukan
ditinjau dari objek penelitiannya dimana penelitian keempat menganalisi
putusan pengadilan perihal kasus talak tiga sedangkan penelitian yang akan
dilakukan menganalisis perihal talak secara umum.
Kelima, jurnal yang ditulis oleh Muhammad Fauzimuddin Faiz
dengan judul “Pembacaan Baru Konsep Talak Studi Pemikiran Muhammad
Sa‘Id Al-‘Asymāwī”. Artikel ini mengulas karakter pemikiran seorang tokoh
Mesir kontemporer bernama Muhammad Sa’id al-’Asymāwī tentang seluk-
beluk talak. Jika mengacu pada Hukum Islam klasik dan pendapat para ahli,
turunnya perceraian mutlak di tangan suami. Dengan perkembangan zaman
dan pembaruan pemikiran Hukum Islam, Muhammad Sa’id al-’Asymāwī
mencoba untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi Hukumtentang
perceraian dengan berbagai pendekatan, baik gender, asbab nuzul dan
pendekatan lain dari dimensi sosial dan analogi liberal. Hal ini penting
mengingat banyak pemikir Muslim modern yang merumuskan pembaruan
pernikahan dalam Hukum Islam dan juga tentang perceraian. Dengan tujuan
untuk mencapai kesetaraan gender dalam pernikahan sesuai dengan
perkembangan zaman, termasuk reinterpretasi teks al-Qur’an dan hadis
Hukum Keluarga; baik tentang hadis pernikahan, perceraian dan sebagainya.
Dengan memahami permasalahan di atas, sekiranya kajian ini dapat
menambah khazanah pemikiran Islam pada isu-isu khilafiyyah yang muncul
di masyarakat, khususnya di Indonesia.12
Perbedaan penelitian kelima dengan penelitian yang akan dilakukan
ditinjau dari objek penelitian dan objek kajiannya yang mana penelitian
kelima meneliti dan mengkaji pemikiran Muhammad Sa‘Id Al-‘Asymāwī
tentang konsep talak sedangkan penelitian yang akan dilakukan meneliti dan
mengkaji keabsahan talak perspektif Hukum Positif dan Fikih madzhab
Syafi’i.
Keenam tesis yang disusun oleh Ilham Hidayat dengan judul
“Permasalahan Hukumtentang Talak di Luar Pengadilan dan Implikasinya
Terhadap Harta Perkawinan dikaitkan dengan Ijtima‟ Majelis Ulama

11
Hepi Duri Jayanti, Talak Tiga di luar pengadilan Perpektif HukumIslam dan
HukumPositif Bagi Pegawai Negeri Sipil (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Arga
Makmur nomor 0207/Pdt.G/2015/Pa.Agm, Jurnal HukumIslam dan Peradilan,Volume 3,
Nomor 1, Tahun 2018
12
Muhammad Fauzimuddin Faiz dengan judul “Pembacaan Baru Konsep Talak
Studi Pemikiran Muhammad Sa‘Id Al-‘Asymāwī”, jurnal pengembangan ilmu keislaman,
volume 10, nomor 2 (Desember 2015)
Indonesia IV Tahun 2012”, hanya sebatas mendeskripsikan atas apa yang
menjadi keputusan NU melalui Mukhtamar di Yogyakarta pada tahun 1989
dan keputusan Muhammadiyah melalui Majelis Tajihnya pada tahun 2007
yang dianggap memiliki perbedaan signifikan terkait keabsahan Hukum talak
yang dijatuhkan di luar pengadilan. Maka Ilham Hidayat mencoba
mensinergikannya dan mencari jalan tengahnya dengan mengambil hasil
keputusan MUI pada tahun 2012 terkait persoalan tersebut. Pokok
kesimpulannya adalah tertuju pada ambiguitas keabsahan talak itu sendiri, di
mana dia menggugat jika suatu perkawinan dianggap sah berdasarkan
ketentuan Hukum agama yang dianut seseorang, maka seharusnya dalam hal
talak pun demikian.13
Perbedaan penelitian yang keenam dengan penelitian yang akan
dilakukan ditinjau dari objek penelitian yang diteliti dimana penelitian
keenam meneliti implikasi talak di luar pengadilan terhadap perkawinan
sedangkan penelitian yang akan dilakukan membahas tentang keabsahan
talak.
Ketujuh, jurnal yang ditulis oleh Husnul Yaqin dengan judul
“Keabsahan Perceraian Yang Dilakukan Dengan Pesan Melalui Media
Telepon”. Perkembangan Teknologi informasi (TI) abad XXI sangat pesat
dan menduduki lini kehidupan. Terutama dalam komunikasi yang berbasis
kemudahan dalam melakukan hubungan seseorang secara langsung. Konteks
dalam Hukum Islam ini yang bersifat universal (umum), sehingga dengan
kaidah ushul fikih itu sendiri, bahwa Hukum tersebut akan berubah dengan
perubahan zaman dan perubahan tempat. Permasalahannya, Hukum Positif di
Indonesia sekarang ini belum mengatur spesifik kaidah perkawinan yang
melalui alur telekomunikasi, dalam praktek perkawinan yang berlaku di
dalam masyarakat, banyak bermunculan hal baru bersifat ijtihad, karena
dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang
ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada aturan yang khusus
untuk mengatur hal tersebut. Kasus-kasus perceraian dewasa ini sudah
menjadi fenomena sosial yang menggejala dalam masyarakat. Bahkan
tingkat perceraian mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Adanya
dominasi suami terhadap istri dalam hal talak sangat kuat dan istri seakan
menjadi pihak yang lemah, menjadikan sebuah perceraian (talak) sebagai
suatu fenomena yang wajar dan dapat dilakukan dengan mudah. Lebih lanjut
sering dengan perkembangan teknologi komunikasi pada saat ini, ada satu
persoalan yang muncul dalam masalah ini, yaitu ucapan talak tersebut tidak
diikrarkan secara langsung oleh suami kepada istri, tetapi hanya gadget
seperti melalui SMS atau Email dan semacamnya. Dari perkembangan
13
Ilham Hidayat, “Permasalahan Hukumtentang Talak di Luar Pengadilan dan
Implikasinya Terhadap Harta Perkawinan dikaitkan dengan Ijtima‟ Majelis Ulama Indonesia
IV Tahun 2012”, Tesis, (Padang: Universitas Andalas, 2019).
teknologi yang begitu pesat guna membantu dan mempermudah berbagai
urusan komunikasi sesama manusia, sampai kemudian masuk ke masalah
perkawinan dengan alasan yang cukup signifikan, tentunya permasalahan ini
memerlukan payung Hukumyang tegas guna mengatur dengan melihat aspek
masalah dan mencari solusinya14
Yang kedelapan adalah Jurnal yang ditulis oleh M. Irfan Syaifuddin
dengan judul’ “Keabsahan Talak Melalui Media Sosial Perspektif Hukum
Islam” Fenomena pemutusan tali perkawinan yang tidak hanya diucapkan
secara langsung namun melalui media elektronik/sosial. Berdasarkan
ketentuan Pasal 65 Undang-undang No.7 Tahun 1989 juncto pasal 115
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan majelis hakim dalam sidang pengadilan. Perceraian
melalui media sosial banyak menuai pro dan kontra di kalangan ulama
tentang keabsahannya. Artikel ini membahas bagaimana keabsahan talak
melalui media sosial dalam perspektif Hukum Islam. Metode penelitian
merupakan penelitian normatif dengan metode studi kepustakaan, bertujuan
untuk mendalami masalah keabsahan talak melalui media sosial berdasarkan
pada literatur-literatur kajian Hukum Islam tentang talak. Berdasarkan pada
kajian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat dua Hukum talak yang
dilakukan melalui pesan tertulis: Talak yang dilakukan secara tertulis
dihukumi tidak sah (haram) dan Hukum talak melalui pesan tertulis adalah
sah/diperbolehkan (mubah)15.
Perbedaan penelitian ketujuh dan kedelapan dengan penelitian yang
akan dilakukan ditinjau dari objek penelitiannya dimana penelitian yang
ketujuh dan kedelapan membahas talak melaluli media sosial sedangkan
penelitian yang akan dilakukan membahas tentang keabsahan talak.

H. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian adalah suatu cara yang digunakan peneliti
dalam menentukan jenis penelitian, penentuan sumber data, teknik
pengumpulan data, dan teknis analisis data dengan dibandingkan pada
standar ukuran yang ditentukan. Deskripsi metodologi penelitian dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1.Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif kajian pustaka (Library
research). Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor adalah salah satu
14
Husnul Yaqin “Keabsahan Perceraian Yang Dilakukan Dengan Pesan Melalui
Media Telepon” Jurnal Mimbar Keadilan, 2 (2020)
15
M. Irfan Syaifuddin “Keabsahan Talak Melalui Media Sosial Perspektif
HukumIslam” Jurnal Hukum Keluarga, Vol 2 (2020)
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau
tulisan dan perilaku orang-orang16.
Sedangkan Kajian pustaka adalah penelitian yang dilakukan dengan
menggunakan bahan-bahan pustaka atau literatur-literatur kepustakaan
sebagai sumber tertulis. Lebih spesifik, penelitian ini juga disebut penelitian
normatif dalam Hukum Islam. Data-data dikumpulkan dengan menggunakan
teknik penelaahan terhadap referensi-referensi yang relevan dan
berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti sebagai cara
pemecahan permasalahan, serta dengan ide-ide baru dalam khazanah
keilmuan17

2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan model pendekatan komparatif dan
normatif. Pendekatan komparatif yaitu penelitian yang bersifat
membandingkan dua gejala atau lebih18. Penelitian komparatif dapat berupa
komparatif deskriptif (descriptive comparative) maupun komparatif
korelasional (correlative comparative). Komparatif deskriptif
membandingkan variabel yang sama untuk sampel yang berbeda. Pendekatan
yang akan dilakukan untuk membandingkan dua Hukum yakni Hukum
Positif dan Fikih madzhab Syafi’i. Sedangkan pendekatan normatif yaitu
penelitian yang kajiannya dilakukan dengan menelusuri dan menela’ah teks
literatur atau penelitian yang difokuskan pada bahan-bahan pustaka, yang
menjadi data primer dalam penelitian ini yaitu Hukum Positif berupa
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah
nomor 9 tahun 1975, ompilasi Hukum Islam dan Kitab Fikih klasik
Madzhab Syafi’i. Disamping itu juga menggunakan buku-buku yang relevan
terhadap masalah-masalah tersebut atau disebut juga sebagai data sekunder
dalam penelitian ini.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat
diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini dibagi dua, yaitu; sumber data
primer dan sumber data sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
sumbernya, diamati, dan dicatat untuk pertama kalinya. 19
Yakni sumber asli yang memuat informasi atau data yang
16
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006), hal. 4.
17
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada1998), hal. 114 - 115.
18
Wiratna Sujarweni, Metodologi Penelitian lengkap, praktis dan mudah dipahami,
(Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2014) hal. 11.
relevan dengan penelitian.20 Dalam penelitian ini, penulis
memperoleh data primer dengan menggunakan sumber primer
dari Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang, dan kitab-
kitab fikih klasik madzhab Syafi’i seperti kitab Fath Al-Mu’in
dan kitab iqna’
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang didapat dari sumber kedua.
Data ini merupakan data pelengkap yang nantinya secara tegas
dikorelasikan dengan data primer seperti buku, jurnal, skripsi,
tesis dan majalah.21 Dalam penelitian ini, data sekunder dapat
penulis peroleh dari buku-buku yang mengkaji permasalahan
Keabsahan Talak, literatur-literatur ilmiah, karya-karya ilmiah,
dan pendapat para pakar yang sesuai dengan tema penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan
data literatur yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang
berkesinambungan dengan objek pembahasan yang diteliti. Dalam penelitian
ini penulis melakukan pengumpulan data melalui artikel, catatan, transkip,
kitab-kitab, buku-buku, surat kabar, majalah, jurnal ilmiah, koran, website
dan lain sebagainya yang menunjang dan berkaitan dengan keabsahan talak.
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
membawa beberapa sumber data yang sudah ada, lalu mencatat hal-hal yang
berkaitan dengan penelitian, kemudian mengumpulkan data selanjutnya
mengidentififkasi data sekunder, bahan Hukum primer dan dan bahan
Hukum sekunder yang diperlukan, dan menginvertisasi data yang sesuai
dengan rumusan masalah dengan cara pengutipan dan pencatatan, serta
mengkaji data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan
kebutuhan dan rumusan masalah yang sesuai dengan judul penelitian yaiti:
Keabsahan talak perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam madzhab
Syafi’idokumentasi. Yaitu pencarian beberapa informasi pengetahuan, fakta,
dan data dengan kategorisasi dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang
berhubungan dengan masalah penelitian, baik berupa catatan, transkip, kitab-
kitab, buku-buku, surat kabar, majalah, jurnal ilmiah, koran, website dan lain
sebagainya.22

19
Marzuki, Metodologi Riset, (Yogyakarta: PT. Prasetya Widya Pratama, 2002),
hal. 56
20
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2001), hal. 132
21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1986), hal. 12.
22
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, hal. 168
5.Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Penelitian
deskriptif ini tertuju pada masalah perbedaan keabsahan talak perspektif
Hukum Positif dan Fikih madzhab Syafi’i. Dalam hubungannya dengan
tulisan ini bahwa metode deskriptif analisis dimaksudkan untuk
menggambarkan talak dalam perspektif Hukum Positif dan fikih Syafi’i
(memutuskan perkawinan, kemudian dianalisis dan dihubungkan
sebagaimana mestinya. Selain itu, dalam penyusunan penelitian ini penulis
juga menggunakan metode content analysis yaitu teknik apapun yang
digunakan
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan merupakan rangkaian urutan dari beberapa
uraian suatu sistematika suatu sistem pembahasan dalam kerangka ilmiah.
Dalam kaitannya dengan penulisan ini secara keseluruhan terdiri dari 4
(empat) bab, yang disusun secara sistematis sebagaimana berikut:

BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini pembahasannya meliputi latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka terdahulu yang
relevan, metodologi penelitian yang terdiri dari jenis penelitian,
pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data,
metode analisis data, dan sistematika pembahasan.
BAB II Kajian Teori
Pada bab ini mendeskripsikan pembahasan tentang keabsahan talak
perspektif Hukum Positif dan Fikih madzhab Syafi’i
BAB III Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dalam bab ini dibahas tiga pokok permasalahan yaitu, pertama,
keabsahan talak menurut Fikih madzhab Syafi’i, keabsahan talak
menurut Hukum Positif dan komparatif Hukum keabsahan talak
dalam perspektif Hukum Positif dan Fikih madzhab Syafi’i
BAB IV Penutup
Pada bab bagian akhir ini, dideskripsikan kesimpulan dari
keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab di atas
serta memaparkan saran-saran peneliti terhadap pengembangsn
penelitian yang akan datang.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

a. Talak Menurut Hukum Positif


1. Pengertian Talak
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) talak adalah perceraian
antara suami dan istri atau lepasnya ikatan perkawinan. Perceraian karena
talak di sini maksudnya adalah seorang suami yang menceraikan istrinya
dengan menggunakan kata-kata cerai, talak atau kata-kata lainnya yang
mengandung maksud untuk menceraikan istrinya, baik itu talak satu, dua,
atau tiga baik itu diucapkan sekaligus ataupun di tempat yang berbeda. Dan
di dalam kompilasi hukum Islam pasal 117 disebutkan bahwa talak adalah
ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkwinan.23 sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan
tidak menyebutkan pengertian talak secara spesifik namun hanya
menyebutkan bahwa perceraian merupakan salah satu sebab putusnya
perkawinan.

2. Dasar hukum talak


a. Undang-Undang Perkawinan no 1 tahun 1974
Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam
Undang-Undang Perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya
hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang telah
hidup sebagai seorang suami isteri. Dalam perundang-undangan Indonesia
mengenai perceraian ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang tercantum dalam Pasal 38-41. Pada Pasal 38
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan
bahwa perkawinan dapat putus karena: (1) Kematian, (2) Perceraian, (3) Atas
Putusan Pengadilan.
Kemudian dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 Pasal 39:
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan
bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat rukun
sebagai suami isteri.

23
Tim Penulis, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia), hal. 34.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur
dalam Peraturan Perundangan tersebut. 24
b. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975
a) Pasal 14: Seorang suami yang telah melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam, yang akan
menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada
Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan
isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta
kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan
itu
b) Pasal 15: Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi
Surat yang dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil
pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta
penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan maksud perceraian itu.
c) Pasal 16: Pengadilan hanya memutuskan untuk
mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan
perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila
memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud
dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan Pengadilan
berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan
tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.
d) Pasal 17: Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan
untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam
Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan
tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan
itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat
perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan
perceraian.
e) Pasal 18: Perceraian itu terjadi terhitung pada saat
perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.
f) Pasal 19: Hal-hal yang menyebabkan perceraian dapat
terjadi karena alasan-alasan:
(1) Perceraian dapat terjadi karena salah satu pihak
berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
24
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam., Himpunan peraturan
perundang-undangan dalam lingkungan peradilan agama. ([Jakarta]: Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
Departemen Agama RI, 2001)
penjudi dan lain sebagainya yang tidak dapat
disembuhkan.
(2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2
tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan
tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
(3) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5
tahun atau hukuman yang berat setelah perkawinan
berlangsung.
(4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang
lain.
(5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapatmenjalankan kewajiban
sebagai suami isteri.
(6) Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga.25
c. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
a) Pasal 113: Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b.
Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan.
b) Pasal 114: Putusnya perkawinan yang disebabkan karena
perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan
gugatan perceraian.
c) Pasal 115: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak.
d) Pasal 116: Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-
alasan:
1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan;
2. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2
(dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan
tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima)
tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung;
25
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
5. sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan
6. kewajibannya sebagai suami atau isteri;
7. antara suami dan isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
8. Suami melanggar taklik talak;
9. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Pada pasal 116 ini, terdapat dua perbedaan dengan PP No. 9 yaitu
melanggar taklik talak dan murtad. Taklik talak adalah janji atau pernyataan
suami yang biasanya dibacakan setelah akad nikah. Jika suami melanggar
taklik talak yang telah diucapkan dan istrinya tidak terima kemudian
melaporkan ke Pengadilan Agama, maka pengadilan akan menjatuhkan talak
satu khuluk kepada istri atas nama suami.
e) Pasal 117: Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 129, 130, dan 131.

3. Jenis-Jenis Perceraian
Undang-Undang membedakan antara perceraian atas kehendak suami
dan perceraian atas kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam
dalam perceraian memang menghendaki demikian. Sehingga proses atas
kehendak suami berbeda dengan proses perceraian atas kehendak isteri26.
Perceraian atas kehendak suami disebut dengan cerai talak dan
perceraian atas kehendak isteri disebut dengan cerai gugat.
a. Cerai Talak
Cerai talak yaitu apabila suami mengajukan gugatan ke Pengadilan
untuk menceraiakan isterinya, kemudian sang isteri menyetujuinya.
Mengenai hal pengajuan gugatan cerai talak ke Pengadilan. PP Nomer 9
Tahun 1975 mengaturnya dalam Pasal 14: “Seorang suami yang telah
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan
isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang
berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai
dengan alasan-alasan serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang
untuk keperluan itu”
b. Cerai Gugat
26
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet. 4, (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hal 206.
Cerai gugat yaitu ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat
gugatan yang diajukan oleh isteri ke Pengadilan Agama yang kemudian
termohon (suami) menyetujui, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan
gugatan yang dimaksud. Oleh karena itu, khuluk termasuk cerai gugat.
Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan
memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya.
Prosedur cerai gugat telah diatur dalam Peraturan Pemerintah tahun No. 9
tahun 1975 pasal 20sampai pasal 36 Jo. Pasal 73 sampai pasal 83 Undang-
Undang No. 7 tahun1969.27
4. Macam-macam Talak
a. Talak Raj’i
Dalam pasal 118 disebutkan bahwa Talak raj’i adalah Talak kesatu
atau kedua, dalam Talak ini suami berhak rujuk selama istri dalam masa
iddah.
b. Talak Ba’in Sughra
Dalam Pasal 119 ayat 1 disebutkan bahwa talak ba’in shughra adalah
Talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas
suaminya meskipun dalam iddah. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yang termasuk Talak ba’in shughra adalah:
1) Talak yang terjadi qabla ad-dukhul (istri belum disetubuhi sama
sekali oleh suaminya).
2) Talak dengan tebusan atau khuluk.
3) Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
c. Talak Ba’in Kubra.
Dalam Pasal 120 disebutkan bahwa talak ba’in kubra adalah talak
yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan
tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan
setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi
perceraian ba’da ad-dukhul dan habis masa iddahnya.
d. Talak Sunni
Dalam Pasal 121 disebutkan bahwa talak sunni adalah talak yang
dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan
tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
e. Talak bid’i
Dalam pasal 122 disebutkan bahwa Talak bid’i adalah Talak yang
dilarang, yaitu Talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid,
atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci
tersebut. Seperti yang telah diterangkan sebelumnya maka penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa macam Talak dalam Kompilasi Hukum Islam
27
Nurul Huda Prasetiya, “Reformulasi Hukum Perceraian Di Indonesia (Studi
Kritis Terhadap Penalaran Fikih Sunni Dan Undang-Undang Perkawinan)”, Desertasi
(Medan:2021), hal 99
(KHI) ini hanya dibatasi menjadi 5 saja, yaitu Talak raj’i, Talak ba’in
sughra, Talak ba’in kubro, Talak sunni dan Talak bid’i. Dimana masing-
masing memiliki karakteristiknya masing-masing yang 3 diantaranya
menunjukkan status Talak seseorang terutama dikaitkan dengan hak untuk
rujuk. Sedangkan 2 diantaranya adalah tentang talak yang boleh dan tidak
boleh dilakukan. Talak yang dibolehkan menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI) adalah Talak sunni sedangkan yang tidak diperbolehkan adalah Talak
bid’i.
5. Prosedur Perceraian di Pengadilan Agama
1. Cerai Gugat
Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau
kuasanya:
1) Mengajukan gugatan
a. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan
Agama Tangerang (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 73 UU No.
7 Tahun 1989);
b. Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan
Agama Tangerang tentang tata cara membuat surat gugatan (Pasal
118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
c. Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan
petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada
perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan
Tergugat.
2) Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama Tangerang
a. Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah
disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan
kepada Pengadilan Agama Tangerang yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU No. 7
Tahun 1989 jo Pasal 32 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974);
b. Bila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan
diajukan kepada Pengadilan Agama Tangerang yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (2)
UU No.7 Tahun 1989);
c. Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama Tangerang
yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal
73 ayat (3) UU No.7 Tahun 1989).
3) Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon
dan Termohon;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4) Gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta
bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian
atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap
(Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989).
5) Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg.
Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat
berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
6) Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan
berdasarkan panggilan Pengadilan Agama Tangerang (Pasal 121,
124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).
2. Cerai Talak
Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat:
1) Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke Pengadilan
Agama Tangerang.
2) Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Pengadilan Agama
Tangerang untuk menghadiri persidangan.
3) Tahapan persidangan :
a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan
kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi
(Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua
belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat
(1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara
dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban,
jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap
jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat
mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR,
158 R.Bg);
4) Putusan Pengadilan Agama Tangerang atas permohonan cerai talak
sebagai berikut :
a. Permohonan dikabulkan. Apabila Termohon tidak puas dapat
mengajukan banding melalui Pengadilan Agama Tangerang
tersebut;
b. Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding
melalui Pengadilan Agama Tangerang tersebut;
c. Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan
permohonan baru.
5) Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka :
a. Pengadilan Agama Tangerang menentukan hari sidang
penyaksian ikrar talak;
b. Pengadilan Agama Tangerang memanggil Pemohon dan
Termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
c. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan
sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak
melaksanakan ikrar talak didepan sidang, maka gugurlah
kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat
diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang sama (Pasal 70 ayat
(6) UU No. 7 Tahun 1989).
6) Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan
Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat
(4) UU No. 7 Tahun 1989);
6. Akibat Perceraian
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) akibat dari perceraian
dijelaskan dalam Pasal 149 sampai dengan Pasal 160, yaitu:
- Pasal 149:
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al
dukhul;
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri
selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak
ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan
separoh apabila qobla al dukhul;
d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang
belum mencapai umur 21 tahun
- Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya yang
masih dalam iddah.
- Pasal 151
Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak
menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
- Pasal 152
Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya
kecuali dia nusyuz.
- Pasal 153
1. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu
tunggu atau iddah, kecuali qobla ad-dukhul dan perkawinannya
putus bukan karena kematian suami.
2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla
al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh)
hari:
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktutunggubagi
yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang
tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda
tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda
tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya
qobla al dukhul.
4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami.
5. Waktu tunggu bagi isteri yang oernah haid sedang pada waktu
menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga
kali waktu haid.
6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka
iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu
tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali
waktu suci.
- Pasal 154
Apabila isteri bertalak raj`I kemudian dalam waktu iddah
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat
(6) pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah
menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas
suaminya.
- Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk,
fasakh dan li`an berlaku iddah talak.
- Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan
ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. ayah;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping
dari ayah.
b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayahatau ibunya;
c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah
dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah
pula;
d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab
ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak
tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah
anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasrkan
huruf (a),(b), dan (d);
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak yang tidak turut padanya.
- Pasal 157
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam
pasal 96, 97
- Pasal 158
Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: belum
ditetapkan mahar bagi isteriba`da al dukhul, perceraian itu atas
kehendak suami.
- Pasal 159
Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada
pasal 158
- Pasal 160
Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan
suami.
A. Talak Dalam Fikih Madzhab Syafi’i
1. Pengertian Talak
Talak merupakan kata serapan yang diadopsi dari bahasa Arab at-
talak, yang secara etimologis memiliki arti melepaskan atau meninggalkan
kemudian menjadi istilah yang dikenal dalam bahasa Indonesia disebut cerai
yakni pemutusan pernikahan dengan kata talak atau semacamnya 28.
Selanjutnya Syech Nawawi mengungkapkan dalam kitab nihayatuzzein
bahwa:
‫اح بِلَ ُف ِظ طَاَل ِق َو حَنْ ِو ِه‬
ِ ‫َو ُه َو ِح ُّل َع ْق ُد النِّ َك‬
Artinya:Talak adalah melepas akad nikah dengan lafadz talak atau
sesamanya.29
Kemudian menurut sayyid Abi Bakar asy-Syata’ dalam Kitab I’anatut
Tahalibin menyebutkan bahwa
َّ َ ‫العلَ َق ِة الَّيِت َبنْي‬
ِ ‫الز ْو َجنْي‬ ِ
َ ُ‫املَُر ُاد بِاحْل ِّل ِإَزالَة‬
Artinya:Yang dikehendaki dengan melepas adalah hilangnya hubungan yang
terjadi antara suami istri.30
Kemudian Imam Taqyuddin menyebutkan sedikit lebih detil dalam kitab
Kifayat al-Akhyar bahwa
ِ ِ ُ ‫اح وهو لَ ْف‬ ِ ‫ِإ حِل‬ ‫يِف‬
ُ‫ظ َجاهل ٌّى َو َر َد الش َّْرع‬ َ ُ َ ِ ‫َو ُه َو الش َّْر ِع ْس ٌم َ ِّل َقيِّد النِّ َك‬
‫بَِت ْق ِريْ ِره‬
31ِ

Artinya: “Talak menurut ta’rif Syara’, merupakan sebutan untuk


melepaskan ikatan nikah. Talak adalah lafadz Jahiliah yang terus
dipakai oleh Syara‟
Maka dapat disimpulkan bahwa talak adalah lepasnya hubungan
pernikahan antara suami dan istri dengan menggunakan kata talak atau
semacamnya sehingga istri tidak halal baginya.
Selain pengertian yang telah disebutkan diatas dalam istilah fikih kata
talak memiliki arti umum dan arti khusus. Adapun talak dalam arti khusus
adalah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami sedangkan arti talak secara
umum adalah segala macam perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang
ditetapkan oleh hakim ataupun yang terjadi dengan sendirinya seperti saat salah
satu dari suami atau istri meninggal dunia. 32

28
Dr. Wahbah Al-Zuhaili, Mausu’at al-Fikih al-Islami waal-Qdhaya al-
Mu’ashirah (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. III, 2013), hal 343.
29
Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi, Nihayatuzzein
30
Abi Bakar Asy-Syata', I'anatut Thalibin (Semarang: Toha Putra, t.th), hal. 2
31
Taqiyuddin Muhammad Abu Bakr, Kifayatul Akhyar, (Daar Al-Basyair:1999).
Hal, 461
2. Dasar Hukum Talak
a. Al- Qur’an
‫وه َّن لِعِ َّدهِتِ َّن‬
ُ ‫ِّساءَ فَطَلِّ ُق‬ َّ ‫ِإ‬
َ ‫يَا َأيُّ َها النَّيِب ُّ َذا طَل ْقتُ ُم الن‬
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Tholaq: 1).33
Ayat ini menjelaskan tentang anjuran bahwa suami menjatuhkan
talak kepada istrinya sebaiknya dilakukan ketika istri tidak dalam masa haid
sehingga tidak menganiaya istrinya karena masa iddah yang dilewati istri
yang lama.

‫وف َْأو تَ ْس ِري ۢ ٌح بِِإ ْح َٰس ٍن ۗ َواَل حَيِ ُّل لَ ُك ْم َأن تَْأ ُخ ُذو ۟ا‬ٍ ‫ك مِب َعر‬ ۢ ‫ِ ِإ‬
ُ ْ ٌ ‫ٱلطلَ ُق َمَّرتَان ۖ فَ ْم َسا‬
َّٰ
ِ ِ ‫ِ ِإ‬ ِ ‫ِإ‬ ‫مِم‬
‫يم ا‬َ ‫ود ٱللَّه ۖ فَ ْن خ ْفتُ ْم َأاَّل يُق‬ َ ‫يم ا ُح ُد‬ َ ‫وه َّن َشْي ًٔـا ٓاَّل َأن خَيَافَ ٓا َأاَّل يُق‬
ُ ‫َّٓا ءَاَتْيتُ ُم‬
ِ ِ ِ
ۚ ‫وها‬َ ‫ود ٱللَّه فَاَل َت ْعتَ ُد‬ُ ‫ك ُح ُد‬ َ ‫ت بِِهۦ ۗ تِْل‬ ْ ‫يم ا ٱ ْفتَ َد‬ َ ‫اح َعلَْيه َم ا ف‬
ِ
َ َ‫ود ٱللَّه فَاَل ُجن‬ َ ‫ُح ُد‬
ٰٓ
‫ك ُه ُم ٱل ٰظَّلِ ُمو َن‬َ ‫ود ٱللَّ ِه فَُأ ۟ولَِئ‬
َ ‫َو َمن َيَت َع َّد ُح ُد‬
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang
telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka itulah orang-orang yang zalim . (QS. Al-Baqoroh
ayat 229)

Menurut beberapa riwayat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan


seorang wanita yang mendatangi Rasulullah SAW. Dan bercerita bahwa
suaminya sering kali menjatuhkan talak terhadapnya lalu merujuk kembali
ketika masa iddah hampir habis kemudian setelah selang beberapa lama
menjatuhkan talak lagi dan merujuk lagi ketika masa iddah hampir habis
dan terus seperti itu hingga berulang kali. Kemudian turunlah ayat ini

32
Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta:
Liberty), Hal. 103
33
Al-Qur’an
menjelaskan dengan menjelaskan bahwa jumlah talak yang diperbolehkan
agar suami diperbolehkan rujuk kembali adalah dua. 34
‫ِإ‬ ِ ِ ِ ‫ِإ‬
َ َ‫فَ ن طَلَّ َق َها فَاَل حَت ُّل لَهۥُ م ۢن َب ْع ُد َحىَّت ٰ تَنك َح َز ْو ًجا َغْي َرهۥُ ۗ فَ ن طَلَّ َق َه ا فَاَل ُجن‬
‫اح‬
‫ود ٱللَّ ِه يَُبِّيُن َه ا‬ ِ
ُ ‫ك ُح ُد‬َ ‫ود ٱللَّ ِه ۗ َوتِْل‬
َ ‫يم ا ُح ُد‬ ‫ِإ‬
َ ‫اج َع ٓا ن ظَنَّٓا َأن يُق‬ َ ‫َعلَْي ِه َم ٓا َأن َيَتَر‬
‫لَِق ْوٍم َي ْعلَ ُمو َن‬
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum
Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

Kemudian, melanjutkan ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang


batasan jumlah talak yang diperbolehkan agar suami boleh rujuk kembali
dengan istrinya, ayat ini menjelaskan aturan bahwa ketika talak sudah
mencapai angka tiga maka suami tidak lagi diperbolehkan rujuk kembali
dengan istrinya meskipun masih dalam masa iddah. Ketika masa iddah
bekas istrinya telah habis, suami diperbolehkan kembali kepada bekas
istrinya jika bekas istrinya sudah menikah dengan laki-laki lain kemudian
bercerai kembali dengan laki-laki tersebut. Ayat ini diturunkan berkenaan
dengan pertanyaan Aisyah binti Abdurrahman bin Atiq kepada Rasulullah
SAW. Perihal keinginannya untuk rujuk kembali dengan bekas suami yang
pertama setelah Aisyah diceraikan oleh bekas suami yang kedua sedangkan
Aisyah belum pernah digauli oleh bekas suami yang kedua tersebut.
Kemudian Rasulullah SAW. tidak memperbolehkan Aisyah untuk kembali
dengan bekas suami yang pertama dikarenakan Aisyah selama pernikahan
keduanya belum pernah digauli oleh suaminya.35
‫وه َّن‬ ٍ ‫وِإ َذا طَلَّ ْقتُم ٱلنِّس ٓاء َفبلَ ْغن َأجلَه َّن فََأم ِس ُك مِب‬
ُ ‫وه َّن َْع ُروف َْأو َس ِّر ُح‬ ُ ْ َُ َ َ َ َ ُ َ
ِ ۟ ِ ٍ ‫مِب‬
ۚ ُ‫ك َف َق ْد ظَلَ َم َن ْف َس هۥ‬َ ‫وه َّن ِض َر ًارا لَِّت ْعتَ ُدوا ۚ َو َمن َي ْف َع ْل ٰذَل‬
ُ ‫َْعُروف ۚ َواَل مُتْس ُك‬
ِ ِ ۟ ِ ِ ۟ ِ
‫َأنز َل َعلَْي ُكم‬ َ ‫ت ٱللَّه َعلَْي ُك ْم َو َمٓا‬ َ ‫َواَل َتتَّخ ُذ ٓوا ءَايَٰت ٱللَّه ُهُز ًوا ۚ َوٱذْ ُكُروا ن ْع َم‬

34
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Darul Ibnu Jauzy), hal 177
35
Jalaluddin as-Suyuthiy, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, Terj. Andi
Muhammad Syahril dan Yasir Maqasid, Asbabunnuzul (Sebab-sebab Turunnya Ayat al-
Qur‟an), (Cet. II: Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015), hal.76.
َّ ‫ٱعلَ ُم ٓو ۟ا‬
‫َأن ٱللَّهَ بِ ُك ِّل َش ْى ٍء‬ ۟
ْ ‫ْم ِة يَعِظُ ُكم بِِهۦ ۚ َو َّٱت ُق وا ٱللَّهَ َو‬ ِ ِ ِ
َ ‫ِّم َن ٱلْكٰتَب َوٱحْل ك‬
‫يم‬ ِ
ٌ ‫َعل‬
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah
kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat
demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan,
dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan
Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah
memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya
itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Masih berhubungan dengan ayat-ayat sebelumnya, ada beberapa
riwayat yang menjelaskan tentang latar belakang diturunkannya ayat ini
adalah memberi peringatan kepada suami yang memanfaatkan kebolehan
mentalak dan merujuk kembali istrinya sehingga keadaan pada saat itu
suami menyengsarakan istrinya dengan cara mentalak dan merujuknya
kembali. Riwayat pertama menjelaskan bahwa ayat ini berkenaan dengan
seorang suami yang dzalim kepada istrinya dengan cara mentalak kemudian
rujuk kembali sebelum masa iddahnya habis dan hal tersebut dilakukan
berulang kali dengan tujuan agar istrinya tidak dapat menikah kembali.
Kemudian riwayat kedua menyebutkan bahwa pada sebelumnya terdapat
seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya kemudian rujuk kembali
dua atau tiga hari sebelum masa iddah istrinya berakhir kemudian suami
tersebut menjatuhkan talak kembali.36
b. Hadits
Setiap pasangan suami istri pastilah mengharapkan hubungan rumah
tangga harmonis dan langgeng hingga kematian memisahkan. Namun,
menjaga, membina, merawat dan mempertahankan hubungan bukanlah hal
yang mudah, kedua pasangan harus siap menghadapi segala rintangan dan
tantangan yang bisa mengakibatkan keretakan dalam rumah tangga. Ketika
dalam rumah tangga menemui masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan
perdamaian dan rumah tangga tidak lagi bisa dipertahankan maka pasangan
suami istri boleh memilih talak sebagai jalan terakhir. Talak merupakan
36
Jalaluddin as-Suyuthiy, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, Terj. Andi
Muhammad Syahril dan Yasir Maqasid, Asbabunnuzul (Sebab-sebab Turunnya Ayat al-
Qur‟an), (Cet. II: Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015), hal.77.
alternatif terakhir ketika bahera rumah tangga mengalami keretakan dan
sudah tidak bisa dipertahankan meskipun telah menempuh usaha-usaha
perdamaian diantara kedua belah pihak. Talak adalah perkara halal yang
dibenci oleh Allah sebagaimana hadis nabi yang diriwayatkan oleh Imam
Ibnu Majah
‫ض احلَاَل ِل ِإىَل‬ ِ ِ
َ َ‫ ( َْأبغ‬:‫ قَ َال َر ُس ْو ُل اهلل ﷺ‬:‫َع ْن ِإبْ ُن عُ َم َر َرض َي اهللُ َعْن هُ قَ َال‬
‫ و رجح أبو حامت‬,‫اهلل الطَّاَل ق) رواه أبو داوود و ابن ماجه وصححه احلاكم‬ ِ
‫إرساله‬
Artinya: Dari Ibnu Umar RA. Berkata: Rasulullah SAW. Bersabda:
“perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah cerai”. Riwayat
Abu Daud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim. Abu Hatim
memilihinya hadits mursal.37

‫ت َز ْو َج َها طَاَل قًا يِف َغرْيِ َما بَْأ ِس فَ َحَر ٌام َعلَْي َها َراِئ َحةُ اجْلَن َِّة‬
ْ َ‫ًأمُّيَا ْامَرَأةٌ َسَأل‬
“Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan
yang dibenarkan maka haram atasnya mencium aroma surga.” (HR.
Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Tsauban RA. Shahih Abu Daud:1928)”

‫ص لَّى اللَّهُ عليه‬ ِ ِ ِ ‫ِئ‬


َ ‫ض يف َع ْهد َرسول اهلل‬ ٌ ‫ أنَّهُ طَلَّ َق ْامَرَأتَهُ َوهي َحا‬:‫عن ابن عمر‬
َ ‫ص لَّى اللَّهُ عليه وس لَّ َم عن‬ ِ َ ‫اب ر‬ ِ
،‫ذلك‬ َ ‫سول اهلل‬ َ َّ‫بن اخلَط‬ َ ‫ فَ َس‬،‫وس لَّ َم‬
ُ ‫َأل عُ َم ُر‬
‫ مُثَّ لِيَْتُر ْك َه ا حىَّت‬،‫ ُم ْرهُ َف ْلُيَر ِاج ْع َه ا‬:‫ص لَّى اللَّهُ عليه وس لَّ َم‬ ِ ُ ‫قال له ر‬
َ ‫سول اهلل‬ َ َ َ‫ف‬
‫ وإ ْن َش اءَ طَلَّ َق َقْب َل َأ ْن‬،‫ك َب ْع ُد‬ َ ‫ مُثَّ إ ْن َش اءَ َْأم َس‬،‫ مُثَّ تَطْ ُه َر‬،‫يض‬ ِ
َ ‫ مُثَّ حَت‬،‫تَطْ ُه َر‬
َّ َّ َّ ِ َ ‫ فَتِْل‬،‫س‬
ُ‫ِّساء‬َ ‫ك الع َّدةُ اليت ََأمَر اللهُ َعَّز َو َج َّل َأ ْن يُطَل َق هَلَا الن‬ َّ َ‫مَي‬
Artinya: Diriwayatkan daripada Ibnu Umar r.a katanya. Sesunggunya
dia telah menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Perkara itu
terjadi dalam zaman Rasulullah maka ditanya pada ketika itu oleh
Umar kepada Rasulullah. Lalu baginda bersabda: Perintahkan dia
merujuk kembali kepada istrinya. Kemudian biarkan istrinya suci,
kemudian haid lagi, kemudian haid sekali lagi. Selepas itu
terpulanglah kepadanya sama ada mahu terus kekal ataupun
menceraikannya, tetapi itu semua sebelum terjadi persetubuhan.
Itulah tempoh iddah yang diperintahkan oleh Allah yang Maha Mulia
lagi Maha Agung untuk wanita yang diceraikan.

37
Ibnu Hajar al-Atsqolani, Bulughul marom
‫ٌّه َّن‬ ِ ٌ ‫ صلى اهلل عليه وسلم “ثَاَل‬- ‫ول اللَّ ِه‬ ُ ‫ قَ َال َر ُس‬: ‫َعن َأيِب ُهَر َير َة قَ َال‬
ُ ‫ث جد‬
َّ ‫ َو‬،‫ َوالطَّاَل ُق‬،‫اح‬ ِ ِ
‫جع ةُ" رواه األربع ة و ص ححه‬ َ ‫الر‬ ُ ‫ النِّ َك‬:ُّ‫ج ُّد َو َه زهُلُ َّن ج د‬
‫احلاكم‬
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW. Berkata: “Tiga
perkara ysng sungguh-sungguhnya dianggap sah dan bercandanya
juga dianggap sah: yakni nikah, talak dan rujuk” (HR.empat imam
dan AlHakim menshahihkannya)

3. Hukum talak
Para ulama membahas tentang apakah talak itu pada dasarnya boleh
(ibahah) atau tercela (khatr). Sebagaimana nabi Muhammad SAW. Bersabda:
)‫ض احْلَاَل ِل ِإىَل ال ٰلّ ِه الطَّاَل ُق (َأخرجه أبو داوود‬
ُ َ‫َْأبغ‬
Artinya: Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah
talak (HR. Abu dawud)
Jika diamati dari sudut pandang hukum Islam, maka hukum talak
terbagi menjadi 4 yaitu: Wajib, Haram, Sunnah, dan Makruh38
1. Wajib
Talak hukumnya wajib jika tidak ditemukan jalan keluar untuk
menyatukan pasangan suami istri yang berselisih dan apabia
seorang suami bersumpah tidak akan mencampuri istrinya dalam
beberapa waktu (ila) kemudian suami tidak ingin membayar
kafaroh sebagai tebusan sumpahnya
2. Haram
Talak yang hukumnya menjadi haram adalah talak yang
dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang sedang haid dimana
dan pada saat itu istrinya sudah pernah dia campuri. Kemudian
talak juga menjadi haram ketika seorang suami memiliki istri
lebih dari satu dan istri yang hendak ditalak belum mendapatkan
giliran yang menjadi haknya.
3. Sunnah
Talak hukumnya menjadi sunnah ketika istri telah rusak moral
atau akhlaknya, melakukan zina atau meninggalkan kewajibannya
sebagai seorang muslimah seperti shalat, puasa, zakat dan istri
tidak menjaga diri atau berbuat tidak terhormat sebagai seorang
perempuan atau seorang istri. Demkian karena dapat menurunkan

38
Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in,(Haromain:2006), hal. 112.
martabat agama dan tidak terjamin keamanan akhlak anak yang
dilahirkan.
4. Makruh
Talak hukumnya makruh jika tidak termasuk dalam kategori talak
yang hukumnya wajib, haram ataupun sunnah. Seperti hadis yang
telah disebutkan sebelumnya bahwa talak adalah perkara halal
yang dibenci Allah, demikian jika talak dilakukan kepada istri
yang keadaannya sejahtera sehingga tidak ada kemudharatan
didalam pernikahannya. 39
5. Mubah
Talak mubah dilakukan ketika suami tidak menyukai istrinya dan
suami tidak bisa memberikan nafkah batin kepada istriya.40
4. Syarat dan rukun talak
Dalam penjatuhan talak terdapat beberapa rukun dan disetiap rukun
memiliki syarat-syarat berbeda yang harus terpenuhi. Berikut adalah rukun
dan syarat talak yang telah dikelompokan41:
a. Muthalliq
Muthaliq adalah orang yang menjatuhkan talak yaitu suami.yang
mana, suami memiliki hak otoritas talak karena suami lah yang
melakukan akad dalam suatu pernikahan. Kemudian seorang
suami pada umumnya dianggap memiliki pertimbangan akal
yang lebih teratur dibanding istri yang mana biasanya perempuan
lebih emosional dalam mengambil suatu keputusan.
Saat menjatuhkan talak seorang suami disyaratkan harus dalam
keadaan sadar dan sehat akalnya, tidak dalam keadaan tidur,
tidak mengalami gangguan jiwa dan tidak dalam keadaan
kehilangan kesadaran akibat mabuk atau sakit (mughma ‘alaih).42
Kemudian seorang suami juga disyaratkan mengucapkan talak
karena kemauan sendiri tanpa ada paksaan.
b. Muthallaqah
Muthallaqah adalah seorang istri sah yang ditalak. Jika seorang
wanita menjadi istri dari akad nikah yang bathil, seperti akad
yang dilakukan saat seorang wanita masih dalam masa ‘iddah
dari suami sebelumnya maka talak yang diucapkan suami tidak
dianggap ada. Kemudian talak bisa dianggap jika seorang istri

39
Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in,(Haromain:2006), hal. 112.
40
Abi Abdillah Muhammad, Fathul Qorib, (Daarul Kutub alamiyah:2008,
Lebanon), hal. 337
41
Abdul Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Jakarta:Prenada Media grup,
2006)hal. 201
42
Muhammad Khatib Syarbaini, Mughni Al-Munhaj, Juz III, (Beirut: Darul Al-
Kutub Al-Iliyyah,2009), hal. 340.
masih menjadi tanggungan suaminya. Jika seorang istri dalam
masa ‘iddah talak raj’i maka talaknya bertambah sedangkan jika
dalam masa iddah talak ba’in maka talaknya tidak dianggap.
Dengan demikian juga talak tidak dianggap sah atau bahkan
tidak dianggap terjadi pada perempuan yang belum dinikahi

c. Shighat
Shighat talak adalah kata-kata yang diucapkan oleh seorang
suami kepada istrinya untuk menjatuhkan talak baik secara
sharih (jelas) ataupun secara kinayah (sindiran) baik secara lisan,
tulisan, isyarat atau dengan orang suruhan bagi seorang suami
tuna wicara. Jika seorang suami menunjukan kemarahan dengan
mengantarkan seorang istri kembali ke rumah kedua orang
tuanya tanpa mengucapkan kata yang menunjukan talak maka
perbuatan tersebut tidak dianggap menjatuhkan talak. Begitu
pula dengan niat atau angan-angan ingin menjatuhkan talak
namun tidak diucapkan maka hal tersebut tidak dianggap jatuh
talak.
d. Qashdu
Maksudnya adalah ketika suami mengucapkan kalimat talak
harus disertai dengan niat. Maka, jika seorang suami mengucap
kalimat talak tanpa berniat talak maka tidak dianggap
menjatuhkan talak.43
5. Macam-macam talak
Macam-macam talak dapat dilihat dari beberapa segi. Diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Talak ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya
a. Talak sunni
Talak sunni adalah talak yang dilakukan suami ketika
istrinya belum pernah dicampuri dan istri dalam keadaan suci
dari haid.
b. Talak bid’i
Talak bid’i adalah talak yang diucapkan seorang suami
kepada istrinya yang sedang dalam keadaan mnstruasi atau
dalam keadaan suci akan tetapi sudah dicampuri.
c. Talak laa sunni wa laa bid’i
Talak laa sunni wa laa bid’i adalah talak yang dilakukan
seorang suami ketika istrinya dalam keadaan hamil, ketika
seorang istri belum pernah haid atau sudah tidak haid

43
Abdul Rahman, Fikih munakahat, (Prenada Media: Jakarta,2003), hal 201
(menepouse), atau belum pernah haid dan belum penah
dicampuri.
2. Talak ditinjau dari segi ketegasan kata yang digunakan untuk
menjathkan talak yakni:
a. Talak sharih
Talak sharih adalah ketika seorang suami mentalak istrinya
dengan menggunakan kata yang jelas dan tegas sehingga
langsung bisa dipahami seketika saat kata tersebut diucapkan
seperti at-thalak, al-firoq atau as-sarah yang mana ketiga
kata ini memiliki arti yang jelas dalam perceraian. Maka, jika
seumpama seorang suami berkata kepada istrinya “aku
mentalakmu, wahai orang yang diceraikan,” dalam keadaan
sadar dan tanpa pakasaan saat itu juga menjadi jatuhlah talak
1 tanpa perlu adanya niat.44
b. Talak kinayah
Talak kinayah adalah ketika seorang suami berniat mentalak
istrinya dengan menggunakan kata sindiran atau kata yang
samar-samar seperti pulanglah ke rumah orang tuamu, jangan
pernah mendekati ku lagi, dan lain sebagainya. Jika kata-
kata tersebut tadi diucapkan seorang suami dengan niat
mentalak istrinya maka sah talaknya namun jika suami
mengucapkan tanpa niat talak maka tidak jatuh talaknya.45
3. Talak ditinjau dari segi dapat rujuk atau tidaknya seorang suami
a. Talak raj’iy
Talak raj’iy adalah ketika seorang suami menjatuhkan talak
pertama atau kedua kepada istrinya yang sudah pernah dia
gauli. Isti harus melaksanakan iddah selama tiga kali sucian
atau sampai melahirkan jika saat ditalak sedang dalam
keadaan hamil. Selama masa iddah belum habis suami
memiliki hak untuk kembali rujuk dengan istrinya. Jika masa
iddah istrinya telah habis maka suami diperbolehkan kembali
kepada istrinya dengan syarat melakukan akad nikah ulang
dengan mahar baru dan talaknya menjadi talak bain sughra.
Hal ini sejalan dengan firman Allah QS. Al- Baqoroh ayat
229.46
b. Talak ba’in

44
Zainuddin Al-Malibri, Fathul Mu‟in, Juz IV, (Semarang: Toha Putra), hal. 12
45
Abi Abdillah Muhammad, Fathul Qorib, (Daarul Kutub alamiyah:2008,
Lebanon), hal. 336
46
Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan dalam Syari’at Islam, alih Bahasa; H. Bashri
Iba Ashgary, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), hal. 92
Talak bain adalah talak yang tidak memberikan hak kepada
suami untuk kembali kepada istrinya yang telah ditalak
kecuali setelah masa iddah istri telah berakhir dan setelah
memenuhi syarat-syarat lainnya yang akan disebutkan.47
Talak ba’in terbagi
Bb ghhjhjyk menjadi dua
macam yaitu talak ba’in baynunah kubro dan talak ba’in
baynunah shugra. 48
- Talak bain baynunah shugro adalah talak yang dijatuhkan
suami kepada istri yang belum pernah dicampurinya atau
talak raj’iy yang telah habis masa iddahnya dan talak
dengan tebusan (khulu’). Dalam hal ini jika bekas suami
ingin kembali kepada bekas istriya maka bekas suami
harus melakukan akad nikah baru dengan istrinya
tersebut dan membayar mahar baru.
- Talak bain baynunah kubro adalah talak yang dijatuhkan
suami kepada istri untuk yang ke-tiga kalinya atau biasa
disebut dengan talak tiga. Talak ini mengakibatkan bekas
pasangan suami istri tidak bisa kembali lagi kecuali istri
terlebih dahulu menikah dengan laki-laki lain.49
4. Talak ditinjau dari segi penyampaian suami kepada istri
a. Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh
suami dengan ucapan dihadapan isterinya dan isteri
mendengar secara langsung ucapan suaminya itu.
b. Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh
suami secara tertulis lalu disampaikan kepada isterinya,
kemudian isteri membacanya dan memahami isi dan
maksudnya. Talak yang dinyatakan secara tertulis dapat
dipandang jatuh (sah), meski yang bersangkutan dapat
mengucapkannya sebagaimana talak dengan ucapan ada talak
sarih dan talak kinayah, maka talak dengan tulisanpun
demikian pula. Talak sarih jatuh dengan semata-mata
pernyataan talak, sedangkan talak kinayah bergantung dengan
niat suami.
c. Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk
isyarat oleh suami yang tuna wicara isyarat bagi suami yang
tuna wicara dapat dipandang sebagai alat komunikasi untuk
memberikan pengertian dan menyampaikan maksud dan isi
47
Abi Abdillah Muhammad, Fathul Qorib (Daarul Kutub Alamiyah: Lebanon,
2008), hal. 341
48
Wahbah Zuhaili. Fikih Islami, (Al- maktabah Asy-Syamilah), hal 6964
49
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Fikih, (Bogor:2003,Kencana) hal. 130
hati. Oleh karena itu isyarat baginya, sama dengan ucapan
bagi yang dapat berbicara dalam menjatuhkan talak,
sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan bermaksud talak
atau mengakhiri perkawinan, dan isyarat itulah satu-satunya
jalan untuk menyampaikan maksud yang terkandung dalam
hatinya. Sebagian fukaha mensyaratkan bahwa untuk sahnya
talak dengan isyarat bagi orang yang tuna wicara ialah buta
huruf. Jika yang bersangkutan mengenal tulisan dan dapat
menulis, maka talak baginya tidak cukup dengan isyarat,
karena tulisan itu lebih dapat menunjukkan maksud ketimbang
isyarat, dan tidak beralih dari tulisan ke isyarat kecuali karena
darurat, yakni tidak dapat menulis.
d. Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami
kepada isterinya melalui perantaraan orang lain sebagai utusan
untuk menyampaikan maksud suami itu kepada isterinya yang
tidak berada dihadapan suami bahwa suami mentalak
isterinya. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil
suami untuk menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak
itu.50

6. Masa ‘Iddah
‘iddah berasal dari kata ‘adda-ya’uddu-‘iddatan yang memiliki arti
hitungan. Sedangkan menurut istilah ulama fikih madzhab Syafi’i
menyebutkan redaksi yang berbeda-beda sebagaimana berikut:
Menurut Ahmad Zainuddin Al-Fannani dalam kitab fathul mu’in
mengatakan bahwa ‘iddah adalah masa penantiannya seorang wanita untuk
mengetahui bersihnya rahim dari kandungan atau karena ta’abbudi
(menjalankan perintah Allah).51
Sedangkan menurut Abi Abdilah Muhammad ‘iddah adalah
penantian seorang wanita dalam jangka waktu yang bisa diketahui dalam
rentan waktu tersebut bahwa kandungannya telah bersih dengan beberapa
masa suci, beberapa bulan atau melahirkan kandungan.52

50
Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenamedia Group, 2003),
hal 200
51
Ahmad Zainuddin Al-Fannani, Fahul Mu’in, (Lebano: Dar Ibnu ‘ashoshoh,
2005), hal 52
52
Abi Abdillah Muhammad, Fathul Qorib, (Libanon, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2008), hal. 352
Dari beberapa definisi diatas datap disimpulkan bahwa Para ulama
ahli fikih merumuskan definisi ‘iddah dengan berbagai ungkapan redaksi
yang berbeda namun memiliki kesamaan secara garis besar yaitu‘Iddah
merupakan penantian seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya rahim
dari janin atau semata-mata untuk ta’abud (menjalankan perintah Allah)
dalam jangka waktu yang diketahui dengan masa suci, beberapa bulan atau
dengan melahirkan kandungan setelah terjadinya talak, fasakh, wath’i
Syubhat atau suami telah meninggal dunia. Maka dari itu, masa iddah hanya
untuk istri yang sudah melakukan hubungan suami istri. Sehingga, jika istri
belum melakukan hubungan suami istri maka dia tidak mempunyai masa
‘‘iddah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 153 menjelaskan bahwa, bagi
Istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau ‘‘iddah, kecuali
qobla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.53
7. Dasar Hukum ‘‘iddah
Perihal Hukum ‘‘iddah, para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa
wanita yang telah ditinggalkan suaminya baik karena diceraikan ataupun
karena meninggal baik dalam keadaan hamil ataupun tidak adalah hukumnya
wajib. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits sebagai
berikut:

‫ص َن بَِأن ُف ِس ِه َّن َث ٰلَثَ ةَ ُق ُر ٓو ٍء ۚ َواَل حَيِ ُّل هَلُ َّن َأن يَكْتُ ْم َن َم ا َخلَ َق ٱللَّهُ ىِف ٓى‬ ْ َّ‫ت َيَتَرب‬ ُ ‫َوٱلْ ُمطَلَّ َٰق‬
‫ك ِإ ْن ََأر ُاد ٓو ۟ا‬ ِ ِ
َ ‫َأح ُّق بِ َر ِّده َّن ىِف َٰذل‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ِ ِإ‬
َ ‫َْأر َح ام ِه َّن ن ُك َّن يُ ْؤ م َّن بٱللَّه َوٱلَْي ْوم ْٱلءَاخ ِر ۚ َوبُعُ ولَُت ُه َّن‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٰ ‫ِإ‬
‫يم‬ ٌ ‫صلَ ًحا ۚ َوهَلُ َّن مثْ ُل ٱلَّذى َعلَْيه َّن بٱلْ َم ْعُروف ۚ َول ِّلر َجال َعلَْيه َّن َد َر َجةٌ ۗ َوٱللَّهُ َع ِز ٌيز َحك‬ ْ
Artinya:” Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

53
Tim Penulis, Kompilasi Hukum Islam
‫َأش ُه ٍر َو َع ْش ًرا ۖ فَ ِإ َذا َبلَ ْغ َن‬ْ َ‫ص َن بَِأن ُف ِس ِه َّن َْأر َب َع ة‬ ِ ِ َّ
ْ َّ‫ين يَُت َو َّف ْو َن من ُك ْم َويَ َذ ُرو َن َْأز َٰوجًا َيَتَرب‬
َ ‫َوٱلذ‬
‫مِب‬ ِ ِ ِ ‫ىِف‬ ِ
ٌ‫يما َف َع ْل َن ٓى َأن ُفس ِه َّن بٱلْ َم ْعُروف ۗ َوٱللَّهُ َا َت ْع َملُو َن َخبِري‬ َ ‫اح َعلَْي ُك ْم ف‬
َ َ‫َأجلَ ُه َّن فَاَل ُجن‬ َ
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber'‘iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila
telah habis '‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.

ِ ٰٓ ٰ ِ ِ ‫ِئ‬ ِ ِ ِ ‫ِئ‬ ٰٓ
ۚ ‫ض َن‬ ‫ى‬ ِٔ‫ـ‬َّ ‫ل‬ ‫ٱ‬‫و‬ ‫ر‬ٍ ‫ه‬‫ش‬ ‫َأ‬ ‫ة‬ ‫ث‬‫ل‬ ‫ث‬ ‫ن‬ ‫ه‬ ‫ت‬ َّ
‫د‬ ‫ع‬ ‫ف‬ ‫م‬ ‫ت‬ ‫ب‬‫ت‬ ‫ٱر‬ ‫ن‬ ‫ِإ‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ٓا‬‫ِّس‬
‫ن‬ ‫ن‬ ‫م‬ ِ
‫يض‬ ‫ح‬ ‫م‬ ِٔ َّ
ْ ْ‫حَي‬ ‫مَل‬ َ َ َّ
َ ُ ْ ُ َ ُ ُ َ ْ َُْ ْ ْ َ ُ َ َ َ ْ َ ‫َوٱل‬
ْ‫ل‬ ‫ٱ‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ن‬ ‫س‬ ‫ي‬ ‫ى‬ ‫ـ‬
‫ض ْع َن مَحْلَ ُه َّن ۚ َو َمن َيت َِّق ٱللَّهَ جَيْ َعل لَّهۥُ ِم ْن َْأم ِر ِهۦ يُ ْسًرا‬
َ َ‫َأجلُ ُه َّن َأن ي‬ ِ
َ ‫ت ٱَأْلمْح َال‬
ٰ
ُ َ‫َوُأ ۟ول‬
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber'‘iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila
telah habis '‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.

8. Macam-macam ‘‘iddah
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa wanita yang
menjalankan ‘‘iddah adalah wanita yang ditinggalkan suaminya baik
dikarenakan sang suami sudah meninggal ataupun karena ditalak baik talak
satu, dua ataupun tiga. Selanjutnya wanita-wanita tersebut ada yang sudah
dicmpuri suaminya dan ada yang belum dicampuri. Bagi wanita yang sudah
dicampuri, para ulama fikih sepakat bahwa tidak ada ‘iddah baginya.
Sedangkan wanita yang sudah dicampuri, masa ‘iddahnya terbagi menjadi
beberapa macam. Yaitu:
a. ‘‘iddah terhadap wanita yang haid dan sudah pernah dicampuri
Perempuan yang mengalami haid dan telah dicampuri suaminya
kemudian diceraikan maka masa ‘‘iddahnya adalah tiga kali
sucian. Menurut imam Syafi’i maksud dari kata ‫ق روء‬ adalah
suci diantara dua haid atau antara haid dan nifas sehingga jika
seorang wanita ditalak oleh seorang suami dalam keadaan suci
maka masa ‘iddahnya berhenti setelah wanita terssebut suci
dari haid yang ketiga namun jika seorang wanita ditalak dalam
keadaan haid maka masa ‘iddahnya berakhir setelah suci dari
haid yang keempat dikarenakan masa suci pertama setelah
ditalak saat haid.54
b. ‘‘iddah bagi wanita yang sudah dicampuri namun tidak haid
atau sudah menopause
Apabila seorang suami menceraikan seorang wanita yang sudah
dicampuri dan mengalami menopause maka masa sucinya
adalah tiga bulan. Sedangkan bagi wanita yang belum
memasuki usia menopause namun wanita tersebut tidak haid
atau masa haidnya terputus karena sudah memasuki usia enam
puluh tahun atau lima puluh tahun maka wanita tersebut wajib
menjalankan masa ‘iddah selama tiga bulan.55
c. ‘iddah bagi wanita istihadhah
Ketika seorang suami hendak meninggalkan istrinya dalam
keadaan istihadah, ulama fikih Syafi’i memberi perincian jika
wanita tersebut bisa membedakan antara darah isrihadah dan
darah haid maka masa ‘‘iddahnya adalah tiga kali sucian.
Sedangkan, jika wanita yag ditinggalkan merupakan wanita
yang tidak bisa membedakan darah haid dan darah istihadah
(mustahadah mutahayyirah) maka masa ‘iddahnya adalah tiga
bulan.56
d. ‘‘iddah bagi wanita hamil
Seorang wanita hamil yang ditinggalkan suaminya baik karena
bercerai atau karena meninggal masa ‘‘iddahnya adalah sampai
wanita tersebut melahirkan. Sehingga jika wanita tersebut
melahirkan bayi kembar maka masa ‘iddahnya berakhir setelah
bayi kedua talah keluar.57
e. ‘iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya maka masa
‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari.

54
Abi Abdillah Muhammad, Fathul Qorib, (Libanon, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2008), hal. 352

55
Ahmad Zainuddin Al-Fannani, Fahul Mu’in, (Lebano: Dar Ibnu ‘ashoshoh,
2005), hal 52
56
Abi Abdillah Muhammad, Fathul Qorib, (Libanon, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2008), hal. 352
57
Abi Abdillah Muhammad, Fathul Qorib, (Libanon, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2008), hal. 352
Selanjutnya dalam KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan
bahwa masa ‘‘iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah
13o hari. Sedangkan bagi perempuan yang diceraikan suaminya adalah 90
hari. Dan untuk wanita yang ditinggalkan suaminya dalam keadaan hamil
masa ‘‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Hal ini, terdapat pada KHI
pasal 153 ayat 2 sebagai berikut:
Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a) Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al
dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari
b) Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi
yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketentuan ‘iddah
diatur dalam Pasal 39:
a) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut:
b) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
c) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak
berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
d) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggunya ditetapkan sampai melahirkan.
e) (2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan
karena perceraian sedangkan antara janda tersebut dengan bekas
suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
f) (3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami.58
9. Kewajiban Perempuan Selama Masa ‘‘iddah
Perempuan yang sedang menjalani masa ‘‘iddah maka harus
memperhatikan beberapa hal berikut:
a. Bagi seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya wajib
melaksanakan ihdad atau meninggalkan berhias dengan tidak
menggunakan perhiasan dan wewangian.

58
Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam (Yogyakarta: Gramedia Press, 2014), 46.
b. Selama masa ‘‘iddahnya seorang perempuan wajib untuk tetap
tinggal di rumah yang diberikan oleh suami. Baik suami ataupun
keluarganya tidak diperkenankan mengusir wanita yang sedang
dalam masa ‘‘iddah dari rumah tersebut hingga selesai masa
‘‘iddahnya. Dalam hal ini, perempuan tetap diperkenankan keluar
rumah pada siang hari untuk membeli kebutuhan sehari-hari atau
keperluan lainnya yang dibenarkan oeh syara’.59
10. Hikmah Disyariatkannya ‘iddah
Masyarakat Arab pra Islam telah secara sadis menerapkan apa yang
dikenal dengan ‘‘iddah dan ihdad diamana kaum perempuan yang baru saja
ditinggal oleh suaminya harus mengisolasi diri di dalam ruang terpisah
selama setahun penuh.60 Menghadapi tradisi seperti ini, secara perlahan Islam
melakukan perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Islam datang
dengan mengupayakan adanya pengurangan waktu berkabung bagi seorang
istri dan dilakukan dengan cara-cara yang tidak merendahkan atau
menistakan kaum perempuan. Maka dari itu ‘‘iddah memiliki beberapa
tujuan diantaranya adalah:
1. Mengetahui kebersihan rahim atau kehamilan demi menjaga
kejelasan garis ketrunan
2. Meringankan beban ekonomi perempuan yang dicerai (melalui
nafkah ‘‘iddah yang diberikn oleh suami selama masa ‘‘iddah)
3. Mengurangi beban perempuan yang suaminya meninggal dengan
mengurangi masa ber ihdad selama satu tahun menjadi empat
bulan sepuluh hari
4. Berkabung atas kematian suami untuk menghormati suami yang
meninggal, menjaga hak suami serta menghormati persasaan
pihak keluarga suami
5. Memberikan kesempatan pada suami untuk mengintrospeksi diri
agar kembali pada istri yang diceraikan. Seringkali salah satu
penyebab dari perceraian adalah pertengkaran akibat dari tidak
stabilnya emosi suami dan istri. Dengan adanya ‘‘iddah dapat
memberi kesempatan kepada suami untuk kembali meperbaiki
hubungan dengan istri.61

59
Fathul mu’in
60
Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, Al-Umm, Juz 5/(Beiru: Dar Al-Fikr,1983), hal
247
61
Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahab Sayyid Hawwas, Fikih Munakahat
Khitbah Nikah dan TAlak
Dari berbagai tujuan yang disebutkan di atas dapat diketahui bahwa ‘‘iddah
tidak hanya dimaksudkan untuk mengetahui kebersihan rahim. Maksud dari
tujuan mengetahui kebersihan rahim sendiri adalah untuk menetapkan ayah
dari anak yang dikandung tersebut. Meskipun pada zaman yang sudah serba
canggih seperti sekarang ini, untuk mengetahui kekosongan rahim bisa saja
digantikan dengan teknologi ultrasonografi USG, kewajiban ‘‘iddah tetap
harus dipertimbangkan untuk berbagai tujuan yang telah disebukan.
D. Hukum Positif
Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang
pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan
ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara
Indonesia. Hukum positif atau juga sering disebut sebagai ius constitutum,
juga memiliki arti sebagai hukum yang sudah ditetapkan dan berlaku
sekarang di suatu tempat atau Negara.62 Hukum di Indonesia merupakan
campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat
dan Indonesia dengan sistem civil law-nya menggunakan perundang-
undangan, kebiasaan dan yurisprudensi sebagai sumber hukum.63 Oleh
karena itu bisa dikatakan agama, adat dan norma kesusilaan juga menjadi
bagian dari hukum di Indonesia. Meskipun begitu, jika melihat di negara
Indonesia, sumber hukum yang berlaku berdasarkan TAP MPR No. III/
MPR/2000 adalah Pancasila, sedangkan urut-urutan peraturan perundang-
undangannya adalah:
a. UUD 1945 yang telah diamandemen sebanyak empat kali sejak 19
Oktober 1999
b. Ketetapan MPR
c. UU yang dibuat DPR bersama Presiden untuk melaksanakan UUD
1945 dan TAP MPR
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
e. Keputusan Presiden
f. Peraturan Daerah64

E. Kompilasi Hukum Islam


Istilah kompilasi diambil dari bahasa Latin. Kompilasi diambil dari
kata compilare yang berarti mengumpulkan bersama-sama. Istilah ini
62
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty,2007), hal 127-128
63
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana.2014), hal
258
64
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana.2014), hal
85-86
kemudian dikembangkan menjadi compilation dalam bahasa Inggris atau
compilatie dalam bahasa Belanda, kemudian dipergunakan dalam Bahasa
Indonesia menjadi kompilasi, yang berarti terjemahan langsung dari dua
perkataan tersebut. Dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, compilation
berarti karangan tersusun dan kutipan buku-buku lain.65 Sedangkan dalam
Kamus Umum Belanda Indonesia, kata compilatie diterjemahkan menjadi
kompilasi dengan arti kumpulan dari lain-lain karangan.66 Sedangkan Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kompilasi adalah kumpulan yang tersusun
secara teratur (tentang daftar informasi, karangan dan sebagainya).67
Kompilasi hukum Islam merupakan kumpulan hukum Islam yang
telah dibukukan dan telah dipositivisasi melalui Keputusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.
07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanakan
Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi atau yang lebih
dikenal sebagai proyek Kompilasi Hukum Islam.68
Setelah penyusunan dan melalui proses positivisasi dan menjadi
hukum materil, Presiden menandatangani Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebar luasan Kompilasi Hukum
Islam. Sejak saat itu, secara formal berlaku Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia sebagai hukum materil yang dipergunakan di lingkungan Peradilan
Agama. Kemudian pada tanggal 22 Juli 1991, MenteriAgama mengeluarkan
Keputusan Nomor 154 Tahun 1991 tentang pelaksanaan Instruksi Presiden
RI No.1 Tahun 1991. Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam disebarluaskan
kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi Agama melalui Surat Edaran
Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991
No.3694/EV/HK.003/AZ/91.
Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan UU No. 1 tahun 1975 dan
PP No. 9 yang merupakan perundang-undangan. Kompilasi Hukum Islam
merupakan aturan yang berada dibawah produk tersebut. Kompilasi Hukum
Islam disusun dengan maksud melengkapi UU Perkawinan dan diusahakan
secara praktis mendudukkannya sebagai perundang-undangan, meskipun
kedudukannya tidak sama dengan itu. Kompilasi Hukum Islam dengan

65
Wojowasito dan W.J.S.Poerwadareminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia dan
Indonesia-Inggris (Jakarta: Hasta, 1982), hal. 88
66
Wojowasito, Kamus Umum Belanda – Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 1981), hal. 123.
67
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), h.
584
68
Muhammad Helmi, Kedudukan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam Menurut Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia, Jurnal
Pemikiran Islam, volume 15, Nomor 1 (Juni,2016), hal. 142-145
demikian berinduk kepada UU Perkawinan. Dalam kedudukannya sebagai
pelaksanaan praktis dari UU perkawinan, maka materinya tidak boleh
bertentangan dengan dengan UU Perkawinan. Oleh karena itu seluruh materi
UU Perkawinan disalin ke dalam Kompilasi Hukum Islam, meskipun dengan
rumusan yang sedikit berbeda. Disamping itu, dalam Kompilasi Hukum
Islam ditambahkan materi lain yang prinsipnya tidak bertentangan dengan
UU Perkawinan. Kemudian pada pasal 2 Kompilasi Hukum Islam dipertegas
dengan landasan Filosofis perkawinan berdasarkan sesuai dengan ajaran
Islam tanpa mengurangi landasan filosofis perkawinan berdasarkan
pancasila. Landasan ideal dan konstitusional Kompilasi Hukum Islam adalah
Pancasila dan UUD 1945. Hal ini dimuat dalam konsideran Intruksi Presiden
dan dalam penjelasan umum Kompilasi Hukum Islam . Kompilasi Hukum
Islam disusun sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang menjamin
kelangsungan hidup beragama berdasarakan Ketuhanan Yang Maha Esa
yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan
bangsa Indonesia.69

69
Asriati, “Pembaruan Hukum Islam Dalam Terapan dan Perundang-Undangan Di
Indonesia”, Jurnal Hukum Islam, Volume 10, Nomor 1, (Januari 2012), Hal. 27-28.
Bab III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
B. Keabsahan Talak Perspektif Hukum Positif
1. Konsep Talak
Dalam KHI Pasal 17 menyatakan bahwa talak adalah ikrar suami di
hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan. Dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130
dan 131. Hukum perkawinan nasional menyebutkan dengan tegas bahwa,
meskipun hak menjatuhkan talak kepada istri merupakan hak suami, namun
penjatuhan talak hanya bisa dilakukan di depan sidang pengadilan jika telah
memenuhi alasan-alasan dan pengadilan tidak bisa mendamaikannya. Dalam
pasal 16 PP No.9 tahun 1975 menyatakan bahwa pengadilan hanya
memutuskan mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian
yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan
seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan
Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak
mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Hukum perkawinan dalam mengatur perceraian dengan ketat
bertujuan untuk mempersulit terjadinya perceraian. Undang-Undang
Perkawinan tidak melarang perceraian, hanya mempersulit pelaksanaannya,
artinya tetap dimungkinkan terjadinya perceraian jika seandainya memang
benar-benar tidak dapat dihindarkan, itu pun harus dilaksanakan dengan
secara baik di hadapan sidang pengadilan. Hal ini dipertegas dalam Pasal 39
ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 Jo Pasal 115 KHI. yang menyatakan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang
berwenang setelah pengadilan yang besangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. Dalam ayat 2 UU No.1 Tahun 1974
dijelaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,
bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Proses ini dimaksudkan untuk mengatur talak pada perkawinan menurut
agama Islam. Ketentuan tersebut sesuai dengan penjelasan umum Undang-
Undang Perkawinan butir 4 huruf E karena tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-
undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian. Oleh
karena itu, UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, menganut asas-asas
atara lain “perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang
pengadilan.” Talak atau perceraian yang dijatuhkan melalui putusan sidang
di Pengadilan Agama juga bertujuan untuk membela hak dan kewajiban
suami dan istri secara hukum sekaligus memberi pendidikan hukum agar
perceraian atau talak tidak dilakukan secara sewenang-wenang tanpa adanya
proses pembuktian. Sehingga, dalam prosesnya jika tercapai perdamaian
antara suami dan istri maka perkara perceraian tersebut dicabut. Kemudian,
hakim membuat penetapan yang menyatakan bahwa perkara telah dicabut
karena perdamaian dan menyatakan demi hukum positif para pihak masih
dalam ikatan perkawinan yang sah berdasakan yang akta nikah yang
dikeluarkan oleh KUA. Kecamatan yang bersangkutan dimana mereka
dahulu melakukan perkawinannya.
Perceraian yang demikian ini merupakan hal baru dalam masyarakat
Indonesia, yang sebelumnya hak cerai sepenuhnya berada di tangan suami
yang pelaksanaannya dapat dilakukan secara semaunya. Pelaksanaan yang
seperti ini sungguh sangat memprihatinkan pihak istri, biasanya pihak suami
setelah menceraikan istrinya sama sekali tidak memperhatikan hak-hak istri
dan anak-anaknya. Dengan keterbatasan pengetahuan dan pemahaman yang
dimiliki, banyak masyarakat yang masih belum mengetahui tentang prosedur
perceraian yang telah diatur oleh UU. Selain itu, dikarenakan perceraian
merupakan aib bagi pasangan suami istri dan sebagian masyarakat memilih
menyelesaikan urusan pribadinya dengan cara yang cepat sehingga mereka
memilih untuk tidak mengurus perceraian di Pengadilan Agama. Padahal,
hal tersebut dapat mengakibatkan dampak buruk bagi mereka dimasa depan.
2. Mekanisme/Prosedur Talak (Keabsahan)
Dalam PP No. 9 tahun 1975 dan KHI. Mengatur cerai talak dapat
dijatuhkan suami kepada istrinya melalui Pengadilan Agama. Dalam pasal
14 PP No. 9 tahun 1975, menyatakan bahwa seorang suami yang telah
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan
istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, surat
yang diajukan berisi pemberitahuan bahwa suami berniat menceraikan
istrinya dilengkapi dengan alasan-alasan serta permohonan kepada
pengadilan agar dilakukan sidang perceraian.
Selanjutnya dalam Pasal 66 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dan diubah lagi dengan Undang-
undang Nomor 50 Tahun 2009 menjelaskan:
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon. Dalam hal termohon
bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
Dalam hal pemohon dan termohon bertempat tinggal di luar negeri,
maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan
Agama Jakarta Pusat,
Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan
harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan
cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan. Mengenai muatan dari
permohonan tersebut, Pasal 67 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama, yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006, dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009 menyatakan Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 66 di atas memuat: nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu
suami, dan termohon yaitu isteri; alasan-alasan yang menjadi dasar cerai
talak sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 19 Pp Nomor 9 tahun 1975
Jo. Pasal 116 KHI.
Kemudian sebagaimana tercantum pada KHI Pasal 130, Pengadilan
Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap
keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi.
Tampaknya pasal ini, lebih mempertimbangkan soal kompetensi relatif,
wewenang kewilayahan, belum menjangkau pada materi permohonan itu
sendiri.
Langkah berikutnya adalah pemeriksaan oleh pengadilan. Pasal 68
Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yang telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dan diubah lagi
dengann Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 menyebutkan bahwa,
Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.
Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang
tertutup. Dalam rumusan Pasal 15 PP Nomor 9/1975 menyatakan bahwa,
Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud Pasal
14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil
pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian.
Langkah berikutnya, diatur dalam Pasal 70 Undang-undang Peradilan
Agama sebagaimana dirinci dalam PP Pasal 16 Nomor 9 tahun 1975:
Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin
lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian maka pengadilan
menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1),
isteri dapat mengajukan banding. Setelah penetapan tersebut memperoleh
kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar
talak, dengan memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri
sidang tersebut.
Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus
dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar
talak yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya. jika isteri telah mendapat
panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau
tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan
ikrar talak tanpa hadirnya isteri atau wakilnya, Jika suami dalam tenggang
waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak
tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, meskipun
telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan
penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan
alasan yang sama.
Selanjutnya diatur dalam Pasal 17 PP Nomor 9 tahun1975 bahwa,
sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian
yang dimaksud dalam Pasal 16, ketua pengadilan membuat Surat Keterangan
tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan
kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan
pencatatan perceraian.
Isi Pasal 17 PP Nomor 9/1975 tersebut kemudian dirinci dalam Pasal
131 ayat 5 KHI:
Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat
penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti
perceraian bagi bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak
dikirimkan kepada pegawai pencatat nikah yang mewilayahi tempat tinggal
suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing
diberikan kepada suami isteri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan
Agama.
Mengenai teknik pengiriman, Pasal 84 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yang telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006, dan diubah lagi dengan Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan sebagai berikut:
Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk
berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu
helai salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya
meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan
putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu. Apabila
perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah Pegawai
Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan maka satu helai salinan
putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada Pegawai
Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai
Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan
perkawinan.
Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri maka satu helai
salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan
mereka di Indonesia. Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai
surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut
diberitahukan kepada para pihak.
Selanjutnya, setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap tentang adanya izin bagi suami untuk mengikrarkan talak, suami
mengikrarkan talak didepan sidang Pengadilan. Dan dalam proses yang
terakhir, setelah sidang penyaksian ikrar talak tersebut, Pengadilan membuat
penetapan tentang terjadinya talak. Secara otomatis, setelah dikeluarkannya
keputusan dari Pengadilan tentang terjadinya talak tersebut, isteri menjadi
sah secara hukum positif sebagai perempuan yang telah dicerai suaminya
langsung menjalani masa iddah dan terkena hukum haram melakukan
hubungan yang dihalalkan dalam pernikahan kecuali suami mengajukan
permintaan rujuk.
3. Implementasi Talak Dalam Hukum Positif
Implementasi Hukum Positif dalam menerapkan aturan penjatuhan
talak bertujuan untuk menekan angka perceraian namun Dapat dijumpai di
masyarakat, masih banyak perceraian yang terjadi tanpa melibatkan
pengadilan. Masyarakat terutama laki-laki dapat menjatuhkan talak secara
sepihak, dan dapat terbebas dari kewajiban-kewajiban yang timbul akibat
pereraian. Perempuan yang menghendaki bercerai dari suaminya, juga dapat
melakukan upaya tertentu agar dapat bercerai dengan suaminya tanpa adanya
keterlibatan dari Pengadilan. Hal ini dikarenakan selain Hukum Negara, juga
terdapat hukum Islam
Tingginya tingkat perceraian di tengah masyarakat mendapat
perhatian yang serius dari semua pihak. Dengan maraknya terjadi perceraian
ditengah masyarakat menjadi sebuah tanda (sign) adanya pergeseran nilai-
nilai yang hidup di tengah masyarakat. Untuk mereduksi pergeseran nilai-
nilai tersebut maka peranan lembaga-lembaga tertentu sangat diharapkan.
Untuk mengurangi tingginya upaya perceraian maka upaya dari Pengadilan
Agama selaku pemegang kewenangan dalam memutuskan perkawinan
sangat diperlukan. Oleh sebab itu dalam masalah menentukan perceraian,
hukum positif menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian dengan
tujuan untuk mencegah kezaliman.
Meski hukum positif menganut prinsip mempersulit perceraian demi
menguragi tingginya angka perceraian namun pada kenyataannya banyak
pasangan yang mendaftarkan perceraian di pengadilan hanya sebagai
formalitas. Sehingga, berbagai upaya mediasi yang dilakukan oleh
Pengadilan Agama seringkali gagal dalam menyatukan kembali rumah
tangga yang retak.
Selanjutnya dikarenakan tingkat pengetahuan masyarakat tentang
menyelesaikan perceraian di Pengadilan Agama masih sangat minim.
Sebagian besar masyarakat menikah dan bercerai tidak melalui lembaga
pemerintahan (Kantor Urusan Agama). Yang mana sebagian besar
masyarakat ini berdiam dibagian pelosok kabupaten. Mereka banyak
menikah dan bercerai melalui penghulu dan atau carik (kepala kampung)
tanpa memiliki buku nikah yang resmi dan melakukan proses perceraian
begitu saja tanpa proses pengadilan.
C. Keabsahan Talak Perspektif Hukum Fiqih Madzhab Syafi’i
1. Konsep Talak
Sebagaimana telah disebutkan dalam bab sebelumnya bahwa talak
menurut ulama fiqih Madzhab Syafi’i adalah terlepasnya ikatan hubungan
suami istri baik menggunakan lafadz yang tegas seperti aku mentalakmu

1
ataupun dengan menggunakan kata sindiran seperti kamu bukan lagi istriku.
Berbeda dengan perceraian atau talak dalam hukum positif yang
mengharuskan dilakukan di pengadilan agama, talak dalam islam dapat
dilakukan dimanapun. Status perceraian atau jatuhnya talak yang tidak
dilakukan di depan Pengadilan Agama atau di depan hakim adalah sah
menurut fikih madzhab Syafi’i karena dalam literatur fikih madzhab Syafi’i,
tidak mengharuskan talak dilakukan dihadapan sidang pengadilan, hakim,
saksi ataupun pihak ketiga lainnya. Perceraian bisa terjadi apabila suami
telah mengucapkan talak kepad istrinya baik secara sungguh-sungguh atau
dengan tidak sungguh-sungguh. Dalam hal itu talak tetap dianggap sah
menurut fikih madzhab Syafi’i.
Hukum keabsahan talak dalam hukum islam sangat erat kaitannya
dengan sosio-culture bangsa Arab pada zaman jahiliyah dan berlanjut pada
masa awal kedatangan Islam sebelum diturunkannya surat al-Baqoroh ayat
229 dimana pada saat itu wanita sangat dirugikan karena talak dilakukan
secara tidak manusiawi oleh para suami. Suami dengan sewenang-wenang
bebas menjatuhkan talak berkali-kali kepada istrinya tanpa adanya batasan
dengan tujuan menyiksanya. Sehingga diturunkannya surat al-Baqarah ayat
229:
‫انؕ َواَل حَيِ ُّل لَـ ُکمۡ اَ ۡن تَ ۡا ُخ ُذ ۡوا‬
‌ٍ ‫ف اَ ۡو تَ ۡس ِر ۡي ٌح بِاِ ۡح َس‬ ٍ ‫اك مِب َ ۡعر ۡو‬
ُ ٌ ‫ن فَامۡ َس‬
ِ ‌ِۖ ‫اَلطَّاَل ُق مَّر ٰت‬
َ
‫مِم َّٓا اٰتَ ۡيتُ ُم ۡو ُه َّن َش ۡيـ ًٔــا ااَّل ۤ اَ ۡن خَّيَافَ ٓا اَ اَّل يُق ۡي َم ا ُح ُد ۡو َد اللّ‌هؕ فَ ا ۡن خفتُمۡ اَ اَّل يُق ۡي َم ا‬
ِ ۡ ِ ِ ِ ٰ ِ ِ
ۚ‌ ‫ك ُح ُد ۡو ُد ال ٰلّ ِه فَاَل تَ ۡعتَ ُد ۡو َه‬ ۡ ِ ٰ
َ ‫اح َعلَ ۡي ِه َم ا ف ۡي َم ا ا ۡفتَ َد ۡت بِِهؕ‌تِل‬َ َ‫ُح ُد ۡو َد اللّ ِۙه فَاَل ُجن‬
‫ك ُه ُم ال ٰظّلِ ُم ۡو َن‬ ٓ ٰ
َ ‫َو َم ۡن يََّت َع َّد ُح ُد ۡو َد اللّ ِه فَاُو ٰل ِٕٮ‬
Dengan tujuan mempersempit jumlah talak yang diperbolehkan dan
memberi kesempatan pada suami untuk merenungkan tindakannya dan
kembali kepada istrinya pada masa tersebut dengan cara yang baik.
Keabsahan hukum talak dalam sudut pandang mayoritas
ulama fikih Syafi’i bisa terjadi dan memiliki konsekuensi hukum jika
diucapkan suami terhadap istrinya berdasarkan kehendak pribadinya
tanpa ada paksaan. Menurut ulama fikih madzhab Syafi’i, selama
rukun dan syarat dalam talak terpenuhi maka jatuhnya talak dapat
dianggap sah. Yang mana syarat seorang suami dapat menjatuhkan
talak adalah berakal sehat, telah baligh, dan atas kehendak sendiri
atau tidak karena paksaan.
Muhammad jawad Mughniyah menjelaskan bahwa
disyaratkan
bagi orang yang menalak hal-hal berikut ini

2
1) Baligh. Talak yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak
sah, sekalipun dia telah pandai. Demikian kesempatan para
ulama madzhab, kecuali Hambali. Para ulama madzhab
Hambali mengatakan, bahwa talak yang dijatuhkan anak kecil
yang mengerti dinyatakan sah, sekalipun belum mencapai
sepuluh tahun.
2) Berakal sehat. Dengan demikian talak yang dijatuhkan orang
gila, baik penyakitnya itu akut maupun jadi-jadian
(insidental), pada saat dia gila, tidak sah. Begitu pula halnya
dengan talak yang dijatuhkan oleh orang yang tidak sadar, dan
orang yang hilang kesadaran lantaran sakit panas yang amat
tinggi, sehingga ia meracau. Ulama berpendapat bahwa, talak
orang mabuk itu sah manakala dia mabuk karena minuman
yang diharamkan atas dasar keinginannya sendiri. Akan tetapi
manakala yang dia minum itu minuman mubah (kemudian ia
mabuk) atau dipakasa minum (minuman keras), maka
talaknya dianggap tidak jatuh. Sementara itu, talak orang yang
sedang mara dianggap sah manakala terbukti bahwa dia
memang mempunyai maksud menjatuhkan talak. Akan tetapi,
bila ucapan talaknya itu keluar tanpa dia sadari maka
hukumnya sama dengan hukum talak yang dijatuhkan orang
gila.
3) Atas kehendak sendiri. Dengan demikian talak yang
dijatuhkan oleh orang yang dipaksa (menceraikan istrinya),
menurut kesepakatan para ulama, tidak dinyatakan sah. Ini
berdasar hadis yang berbunyi: “ketentuan hukum dicabut dari
ummatku yang melakukan perbuatannya karena keliru, lupa
dan dipaksa”. Hal itu merupakan kesepakatan para ulama.
Imam Syafi’i mengatakan, bahwa talak tidak memerlukan
niat. Sementara pengarang kitab Al-Jawahir mengatakan:
kalau seseorang telah menjatuhkan talak, dan sesudah
mengucapkan talaknya itu dia mengatakan, “Saya tidak
bermaksud menjatuhkan talak, maka pernyataannya ini
diterima sepanjang si istri dalam masa’ iddah. Sebab, yang
demikian itu bisa diketahui siapa pun, kecuali melalui
pemberitahuaannya sendiri”.70 Sepakat para ahlifiqih bahwa
sahnya seorang suami menjatuhkan talak ialah telah
dewasa/baligh dan atas kehendak sendiri, bukan karena
70
Muhammad Jawad Mughniyah, Figh Lima Madzhab: Ja;fari, Hanafi, Maliki,
Syafi’I, Hambali, terjemahan oleh Masykur, A.B., Arif Muhammad, Idrus Al Khaff dari
judul Asli Al-Fiqh ‘Ala al Madzahib Al-Khamsah, Lentera, Jakarta, 2001, hlm, 441-443

3
terpaksa atau ada paksaan dari pihak ketiga. Dalam
menjatuhkan talak tersebut suami harus dalam keadaan
berakal sehat. Apabila akalnya sedang terganggu, maka ia
tidak boleh menjatuhkan talak. Mengenai talak orang yang
sedang mabuk kebanyakan para ahli fiqh berpendapat bahwa
talaknya tidak sah, karena orang yang sedang mabuk
bertindak diluar kesadaran. Sedang orang yang sedang marah
menjatuhkan talak hukumnya adalah tiadak sah. Yang
dimaksud marah disini ialah marah sedemikian rupa sehingga
apa yang dikatakannya hampir-hampir di luar kesadarannya.
2. Mekanisme/Prosedur talak (Keabsahan)
Menurut hukum Islam, perceraian dapat dilakukan dengan beberapa
cara tergantung dari pihak siapa yang menghendaki atau berinisiatif untuk
memutuskan ikatan perkawinan (perceraian) tersebut. Dalam hal ini ada
empat kemungkinan dalam perceraian, yaitu:
1) Perceraian atas kehendak suami dengan alasan tertentu dan
kehendaknya itu dinyatakan dengan ucapan tertentu atau tulisan
dan isyarat bagi yang tidak bisa berbicara (bisu). Termasuk
dalam hal ini talaq, ila‟ dan zhihar.
2) Perceraian atas kehendak istri dengan alasan istri tidak sanggup
melanjutkan perkawinan karena ada sesuatu yang di nilai negatif
pada suaminya sementara suaminya tidak mau menceraikannya.
Bentuk ini disebut dengan Khulu‟.
3) Perceraian melalui putusan hakim sebagai pihak ketiga setelah
melihatadanya sesuatu pada suami atau pada istri yang
menunjukkan hubungan perkawinan mereka tidak bisa
dilanjutkan. Bentuk ini disebut Fasakh.
4) Perceraian (putusnya pernikahan) atas kehendak Allah Swt. yaitu
ketika salah satu dari pasangan suami-istri meninggal dunia.
Ketika seorang suami mengucapkan sighat talak, Sighat talak ini ada
yang diucapkan langsung dengan perkataan yang jelas dan ada yang
diucapkan dengan sindiran (kinayah). Sighat talak yang langsung dan jelas,
misalnya suami berkata pada istrinya : “Saya jatuhkan talak satu kepadamu”.
Dengan diucapkan suami perkataan seperti itu jatuhlah talak satu kepada istri
pada saat itu juga dan sah hukumnya. Sedangkan sighat yang diucapkan
secara sindiran, misalnya suami berkata kepada istrinya : “Kembalilah
kepada orang tuamu” atau “Engkau telah aku lepaskan dari aku”. Ini
dinyatakan sah apabila:

4
1. Ucapan suami itu disertai niat menjatuhkan talak pada istrinya.
2. Suami mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya itu
untuk menyatakan talak kepada istrinya. Apabila ucapannya itu
tidak bermaksud menjatuhkan talak kepada istrinya, maka sighat
talak yang demikian itu tidak sah hukumnya.
Talak yang jatuh pada saat suami mengucapkan sighat talak disebut
talak munziz.Misalnya suami berkata : “Aku jatuhkan talakku satu kali
kepadamu”, maka talak itu jatuh setelah suami selesai mengucapkan sighat
talak tersebut. Sedangkan talak yang jatuh setelah syarat-syarat dalam sighat
tidak terpenuhi disebut talak muallaq. Misalnya suami berkata kepada
istrinya : “Apabila engkau masih menemui si A, maka disaat engkau bertemu
itu jatuhlah talak satu atas mu”. Sighat talak yang demikian itu sah
hukumnya, dan talak suami itu jatuh pada istrinya apabila syarat yang
dimaksud itu telah ada, yaitu istri menemui si A”.71
Ucapan untuk mentalak istri ada dua :
1. Ucapan sharih yaitu ucapan yang tegas maksudnya untuk mentalak.
Talak itu jatuh jika seseorang telah mengucap dengan sengaja
walaupun hatinya tidak berniat mentalak istrinya.
Ucapan talak sharih ada tiga :
a. Talak artinya menceraikan.
b. Pirak (fihraq) artinya memisahkan diri.
c. Sarah artinya lepas.
2. Ucapan yang kinayah yaitu ucapan yang tidak jelas maksudnya,
mungkin ucapan itu maksudnya talak lain. Ucapan talak kinayah
memerlukan adanya niat. Artinya jika ucapan talak itu dengan niat,
sah talaknya dan jika tidak disertai niat maka talaknya belum jatuh.
Sabda Rosulullah SAW :
Dalam Hadits
ٌ ‫ ص لى اهلل علي ه وس لم “ثَاَل‬- ‫ول اللَّ ِه‬
‫ث‬ ُ ‫ قَ َال َر ُس‬: ‫َعن َأيِب ُهَري َرةَ قَ َال‬
َّ ‫ َو‬،‫ َوالطَّاَل ُق‬،‫اح‬ ِ ِ ‫ِج د‬
‫جع ةُ" رواه األربعة و‬
َ ‫الر‬ ُ ‫ النِّ َك‬:ُّ‫ٌّه َّن ج ُّد َو َه زهُلُ َّن ج د‬
ُ
‫صححه احلاكم‬

Artinya :
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tiga hal yang bila
71
S oemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (UU No.
1 Tahun 1974), Liberty, Yogyakarta, 1982, Hal. 107-108.

5
dikatakan dengan sungguh akan jadi dan bila dikatakan dengan
main-main akan jadi, yaitu: nikah, talak dan rujuk (kembali ke
istri lagi)." Riwayat Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits shahih
menurut Hakim.
Keinginan mencerai istrinya walaupuan sudah kuat sekali
dan rumah tangga sudah berantakan dan suami istri sudah tidak
serumah lagi, tetapi apabila belum diucapkan, maka ikatan suami
istri masih tetap. Talak hanya jatuh jika di ucapkan. Adapun niat
semata dalam hati tanpa di ucapkan, tidak terhitung talak.
Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzahullah
berkata :
“Tidak jatuh talak darinya dan tidak juga dari yang
mewakilinya kecuali dengan di ucapkan dengannya, walaupun
meniatkan dalam hatinya; tidak jatuh talak. Sampai lisannya
bergerak mngucapkannya. Dengan demikian perceraian sah
menurut fikih Syafi’i
3. Implementasi Talak menurut madzhab Syafi’i
Dalam Islam, talak atau perceraian adalah perbuatan yang kurang
disenangi (dibenci) oleh Allah meskipun halal (boleh) hukumnya. Adapun
kebencian itu dikemukakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya
dari Ibnu Umar menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh
al-Hakim, sabda Nabi Ibnu Umar ra., mengatakan: Rasulullah SAW.,
bersabda: "Perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah talak" (HR.
Abu Daud dan Ibnu Majah dan disahihkan oleh al- Hakim).
Al-Qur‘an memberikan kemungkinan terjadinya perceraian bagi
keluarga yang tidak mungkin mempertahankan kelangsungan rumah
tangganya. Secara teoretik keilmuan, semua ulama Islam sepanjang zaman
juga sepakat untuk tidak menjatuhkan talak secara semena-mena. Perceraian
akan merugikan rumah tangga itu sendiri terutama bagi anakanak dan kaum
perempuan, juga terkadang atau malahan tidak jarang menimbulkan dampak
buruk bagi masyarakat luas dan dalam waktu yang cukup panjang.
Sayangnya, praktik penjatuhan talak ini terutama di masa-masa lalu sering
disalahgunakan oleh kelompok kaum laki-laki.
Dalam rangka inilah undang-undang perkawinan Islam diundangkan
di berbagai dunia Islam dengan tujuan antara lain untuk mempersulit
penjatuhan talak. Talak tidak lagi boleh dijatuhkan sesuka hati kaum laki-
laki di atas penderitaan kaum perempuan, akan tetapi harus memiliki alasan-
alasan yang kuat dan disampaikan di muka sidang pengadilan. Itupun setelah

6
pengadilan lebih dahulu berusaha mendamaikan pasangan suami istri tetapi
tetap tidak berhasil. Daripada mempertahankan kehidupan keluarga yang
terus menerus tidak harmonis, maka akan lebih baik mengakhiri kehidupan
keluarga itu dengan cara yang lebih baik dan lebih terhormat.
Di sinilah terletak arti penting dari kalam Allah: fa-imsâkun-bi
ma'rûfin autasrîhun-bi ihsân, mempertahankan rumah tangga dengan cara
yang baik, atau (kalau terpaksa) melepaskannya dengan cara yang baik pula.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berusaha
semaksimal mungkin adanya perceraian dapat dikendalikan dan menekan
angka perceraian kepada titik yang paling rendah. Pembuat undang-undang
ini menyadari bahwa perceraian dilakukan tanpa kendali dan sewenang-
wenang akan mengakibatkan kehancuran bukan saja kepada pasangan suami
istri tersebut, tetapi juga kepada anak-anak yang mestinya harus diasuh dan
dipelihara dengan baik. Oleh karena itu, pasangan suami istri yang telah
menikah secara sah harus bertanggungjawab dalam membina keluarga agar
perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat utuh sampai hayat dikandung
badan.

D. Perbandingan Keabsahan Talak Pespektih Hukum Positif dan Fikih


Madzhab Syafi’i
Meskipun UU No. 1 tahun 1974 telah mengatur tentang perceraian,
namun bagi mereka yang tidak mau mengikuti aturan yang ada dan memilih
perceraian secara fiqh atau secara tradisi kebiasaan masyarakat yang ada
(perceraian di bawah tangan), hal ini juga sering dilakukan oleh orang yang
ingin bercerai, sebab jika mengikuti aturan yang ditetapkan UU No. 1 tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka ada kecenderungan sedikit
agak menyulitkan, disebabkan jika ingin melaksanakan perceraian pada pasal
pasal 39 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 menegaskan bahwa: “Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan yang berwenang setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak”. Pasal 39 ayat (2) untuk melakukan perceraian harus ada
cukup alasan, bahwa antara suami-isteri itu tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami-isteri, hal tersebut dikarenakan bahwa antara suami dan isteri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Sementara di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan pada
pasal 116 bahwa: Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

7
(a). salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; (b). salah satu pihak
mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
(c). salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; (d). salah satu
pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain; (e). sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; (f).
antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; (g). Suami
menlanggar taklik talak; (k). peralihan agama tau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Jika mengacu pada UU No.
1 tahun 1974 dan KHI tersebut di atas, terkesan agak sulit untuk melakukan
perceraian. Terkadang antara suami istri ingin melaksanakan perceraian di
luar alasan-alasan yang ada dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tersebut.
Semisal istri mempunyai laki-laki idaman lain (PIL) atau sebaliknya suami
mempunyai wanita idam lain (WIL). Untuk lebih cepat memuluskan niat
perceraian maka terkadang mengambil jalan pintas yaitu bercerai secara fiqh
atau hukum Islam klasik dan kebiasaan yang selama ini telah lumrah bagi
masyarakat bahwa perceraian tanpa melalui prosedur yang ada dalam UU
dan KHI. Dari penjelasan di atas jelas bahwa adanya dualisme hukum
perceraian di masyarakat, hal ini tidak bisa dipungkiri dan merupakan realita
dalam kehidupan masyarakat bahwa kondisi ini masih banyak dilaksanakan
secara terang-terangan dan masih diterima oleh masyarakat bahwa perceraian
secara hukum Islam klasik (fiqh) masih eksis dan tetap menjadi alternatif
pilihan hukum dalam perceraian.
Lebih lanjut Sulistyowati Irianto menjelaskan bahwa pandangan
pluralisme (dualisme) hukum dapat menjelaskan bagimanakah hukum yang
beraneka ragam secara bersama-sama mengatur suatu perkara atau maslah.
Bagi kebanyakan sarjana hukum, kenyataan adanya system hukum lain di
samping hukum Negara masih sulit diterima. Padahal dalam kenyataan
sehari-hari tidak dapat dipungkiri terdapat system hukum lain di laur hukum
negara (state law). Melalui pandangan pluralism hukum, dapat diamati
bagaimanakah semua system hukum tersebut “beroperasi” bersama-sama
dalam kehidupan sehari-hari, artinya, dalam konteks apa orang memilih

8
(gabungan) aturan hukum tertentu, dan dalam konteks apa ai memilih aturan
dan system peradilan lain.72
analisis komparatif antara Kompilasi Hukum Positif dengan madzhab
Syafi’i tentang talak syarat sahnya talak menurut madzhab Syafi’i, talak itu
sah apabila dilakukan oleh tiap-tiap suami yang baligh (dewasa), berakal dan
terpilih. Selain suami tidak sah talaknya, demikian pula anak-anak tidak sah
talaknya. Orang yang hilang akalnya disebabkan oleh sesuatu udzur, seperti
mabuk atau orang yang meminum sesuatu yang dapat menghilangkan
akalnya bukan karena hajat, maka talaknya jatuh. Pendapat lain mengatakan
bahwa dalam kasus ini ada dua qoul, yang paling masyhur adalah talaknya
jatuh. Orang yang melakukan talak dengan kekerasan, misalnya diancam
akan dibunuh atau dipotong atau dipukul dengan pukulan yang
membahayakan, maka talaknya tidak jatuh. Sedangkan orang yang dipaksa
dengan ancaman sedikit, atau cacian, dan ia bisa melawannya, maka menurut
madzhab Syafi’i, talaknya tidak jatuh. Sedang pendapat lain mengatakan
jatuh. Syarat yang kedua adalah istri yang telah dicampuri, serta bukan
wanita yang mengalami menopause dan tidak pula dalam keadaan hamil.
talak sunnah adalah talak yang sesuai dengan sunnah adalah menceraikan
istrinya sebelum hubungan intim dan dia menceraikannya dalam keadaan
suci atau tidak hamil. Dan talak sunnah menurut Hukum Positif mempunyai
maksud yang sama yaitu talak sunnah merupakan talak yang diperbolehkan.
Yang dimaksud dengan yang diperbolehkan adalah talak yang sesuai dengan
ajaran (aturan Agama). Syarat sahnya talak yang terdapat dalam KHI tidak
dijelaskan secara rinci. Akan tetapi syarat tersebut dapat dirinci dengan
berbagai prosedur yang telah disebutkan sebelumnya yaitu: sepasang suami
istri dan harus diikrarkan di hadapan Pengadilan Agama.
Kemudian Talak Bid’I menurut madzhabSyafi’i adalah talak yang
dijatuhkan dalam keadaan haidh atau nifas. Al-Imam Al-Haramain salah satu
ulama di kalangan madzhab Syafi’iyah menuliskan dalam kitabnya
Nihayatul Mathlab Fii Diroyatil Madzhab sebagai berikut: maka kami
berkata: diharamkan atas seorang suami mentalak istrinya pada saat ia
sedang haid padahal ia sudah digauli dan dengan tanpa ada imbalan dan
tanpa keridhaan istrinya, dan pendapat ini sudah disepakati. Dan begitu juga
apabila suami telah menggauli istrinya pada masa suci, dan belum jelas
bahwa si istri hamil, maka diharamkan atasnya mentalaknya dalam keadaan
suci yang suami telah mentalaknya tanpa memberi ganti Ketentuan talak
72
Sulistyowati Irianto, Perempuan Di Antara Berbagai Pilihan Hukum (Studi
Mengenai Strategi Perempuan Batak untuk Mendapatkan Akses kepada Harta Waris
melalui Proses Peyelesaian Sengketa), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012), hal 56

9
bid’I yang terdapat dalam hukum positi dan juga madzhab Syafi’i sama yang
mana talak bid’I merupakan talak yang dilarang dilakukan. Karena akan
merugikan wanita yang ditalak. Karena talak bid’i adalah talak yang
dilakukan dalam keadaan haid, nifas atau bisa disebut tidak dalam keadaan
suci.
Dari semua paparan di atas diketahui bahwa ikrar talak dalam
perspektif peraturan perundangan tidak sama dengan ikrar talak dalam
perspektif fiqh. Sebab, talak menurut fiqh adalah kata talak atau semisalnya
yang diucapkan oleh suami kepada istrinya dalam keadaan sadar dan leluasa.
Bila kata talak itu telah terucap, sedang kata-katanya dalam kategori sharih,
maka pada saat itu pula talak telah jatuh, bahkan meski dengan maksud
bercanda sekalipun. Sementara menurut peraturan perundang-undangan,
ucapan talak hanya akan berdampak hukum apabila diikrarkan di depan
sidang Pengadilan Agama. Sedang yang dijatuhkan di luar itu tidak dianggap
sebagai talak dan tidak berkonsekuensi hukum apa pun.
Bagi umat Islam aturan mengenai perceraian ini merupakan ganjalan
yang relatif masih besar atau sekurang-kurangnya masih menjadi tanda tanya
yang belum terjawab, karena dirasakan tidak sejalan dengan kesadaran
hukum yang selama ini berkembang, yaitu aturan fiqh. Aturan fiqh
mengizinkan perceraian atas dasar kerelaan kedua belah pihak, atau atas
inisiatif suami atau juga inisiatif istri secara sepihak, bahkan perceraian
boleh
dilakukan tanpa campur tangan lembaga peradilan.73
Kemudian timbul masalah apabila ada seorang suami yang berikrar
bahwa dia sudah menjatuhkan talak yang ketiga kalinya di luar pengadilan
dikuatkan dengan pengakuan si istri dan saksi lain, maka dianggap itu tidak
dibenarkan karena dilakukan tidak di hadapan pengadilan dan tidak melalui
prosedur pengadilan. Apabila hakim menafikan iqrar talak tiga dari suami
diikuti kesaksian istri dan saksi lain, kemudian memerintahkan mereka
kembali dalam rumah tangga dan hubungan suami istri, apakah itu tidak
berarti membiarkan terjadinya perzinahan
bagaimana seorang warga negara muslim bersikap di antara dua
ketentuan hukum yang secara tekstual terkesan paradoks ini. Ini mendesak
untuk dijawab karena, di satu sisi, sebagai muslim dia harus konsisten

73
Alyasa Abu Bakar, “Ihwal Perceraian di Indonesia: Perkembangan Pemikiran dari
Undang-undang Perkawinan sampai Kompilasi Hukum Islam”, (Bagian Pertama)
dalam Mibar Hukum No. 40 thn. IX 1998, (Jakarta: Al-Hikmah dan DITBINBAPERA
Islam, 1998), hlm. 57

10
dengan fiqh sebagai yurisprudensi agama yang dianutnya, sementara, di sisi
lain, sebagai warga negara yang baik sejatinya dia juga menaruh komitmen
terhadap kelestarian hukum yang berlaku di negaranya. Bagian berikut coba
menjawab pertanyaan ini.

Tabel.1. Perbandingan Keabsahan Talak


pebedaan Perspektif Hukum Perspektif Fikih
Positif Madzhab Syafi’i
Pengertian Talak adalah ikrar Talak adalah lepasnya
suami di hadapan hubungan pernikahan
sidang Pengadilan antara suami dan istri
Agama yang menjadi dengan menggunakan
salah satu sebab kata talak atau
putusnya perkawinan, semacamnya sehingga
dengan cara istri tidak halal baginya
sebagaimana dimaksud
dalam pasal 129, 130,
dan 131.

Konsep Hak Menjatuhkan talak Hak menjatuhkan


terdapat pada hakim adalah milik suami
Pengadilan Agama secara mutlak
Macam-Macam 1. Talak Raj’i 1. Talak Sunni
2. Talak Ba’in 2. Talak Bid’i
Sughra 3. Talak Laa Sunni
3. Talak Ba’in Qubra Wa Laa Bid’i
4. Talak Sunni 4. Talak Sharih
5. Talak Bid’i 5. Talak Kinayah
6. Talak Raj’iy
7. Talak Ba’in
Sughra
8. Talak Ba’in Qubra
Penetapan Jatuhnya 1. Perceraian hanya 1. Talak sah apabila
Talak dapat dilakukan di memenuhi rukun
depan siding dan syarat (suami,
pengadilan setelah istri dan
Pengadilan yang shighat talak)
bersangkutan tanpa
berusaha dan tidak mensyaratkan
berhasil waktu dan tempat
11
mendamaikan 2. Jatuhnya talak
kedua belah pihak. terhitung sejak
2. Perceraian terjadi redaksi talak
terhitung pada saat diucapkan
perceraian itu
dinyatakan di depan
sidang pengadilan

Penetapan Masa Iddah Setelah Pengadilan Ketika Suami


Mengeluarkan Mengucapkan redaksi
Surat Putusan talak
Akibat putusnya 1. Suami Wajib 1. Suami Wajib
perceraian memberi nafkah memberi nafkah
selama masa iddah selama masa iddah

12

Anda mungkin juga menyukai