Anda di halaman 1dari 34

Di susun oleh

Aditya Dwicahya

202010160311298

AIK F

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

NOVEMBER 2022
BAB 7

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN KEAGAMAAN

Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah Islam, Amar ma'ruf Nahi Munkar dan Tajdid
yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah tentunya bukan sembarang organisasi melainkan
sebagai gerakan (gerakan Islam) al harakah al islamiyah. Kata "bisnis" secara harfiah berarti
"aktivitas atau keadaan gerak" dan "gerakan bisnis atau aktivitas". Movement juga memiliki arti
“gerakan”, artinya “gerakan atau kondisi” dan bangkit untuk melawan atau menyembuhkan.

Signifikansi Kehadiran Muhammadiyah sebagai Gerakan Keagamaan

Dalam teori perubahan, gerak atau movement selalu muncul dan memiliki arti perubahan,
yaitu kehadirannya untuk melakukan beberapa perubahan, baik secara bertahap maupun drastis.
Gerakan sosial dalam masyarakat adalah tindakan kolektif yang berkelanjutan untuk
mempromosikan atau mencegah perubahan dalam masyarakat atau organisasi milik itu. Menurut
David A. Locher (2002), ada tiga hal yang membedakan gerakan sosial dengan bentuk perilaku
kolektif lainnya. Yaitu

1. Organized, bahwa gerakan social itu terorganisasi, sedangkan kebanyakan perilaku kolektif
tidak terorganisasi baik pimpinan,pengikut,maupun proses gerakannya.

2. Deliberate, bahwa gerakan social itu direncanakan dengan penuh pertimbangan dan
perencanaan.

3. Enduring, bahwa gerakan social itu keberadaannya untuk jangka waktu yang panjang hingga
beberapa decade.

Adapun gerakan keagamaan (religious movements) atau disebut pula gerakan sosial-
keagamaan (social-religious movement), yang sering dikenal ialah gerakan revitalisasi dan
gerakan millenari. Gerakan revitalisasi (revitalization movements), ialah gerakan keagamaan
yang berupaya untuk menciptakan eksistensi yang baru atau yang "direvitalisasi", yang
dipandang tepat untuk kondisi saat ini. Sedangkan gerakan millenari (millenary movements),
yaitu suatu gerakan keagamaan untuk mengantisipasi tibanya suatu masa seribu tahun
(millennium), suatu masa yang diyakini akan penuh kedamaian, harmoni, dan makmur, dengan
hadirnya pemimpin kharismatik yang dipandang messias atau gerakan ratu adil.
Karakter gerakan keagamaan menurut Michel Adas biasanya bersifat revitalisasi", yakni
kemampuan untuk bangkit dan melakukan perubahan berdasarkan visi keagamaanya. Visi
keagamaan itulah yang menjadi kekuatan idealistik dalam melahirkan perubahan, tidak jarang
militansi yang tinggi. Gerakan keagamaan (Islam) yang lakukan petani Banten tahun 1988
sebagaimana diteliti Sartono engan artodirjo, merupakan contoh dari gerakan yang militan,
meskipun aktunya singkat tetapi mampu mengubah tatanan dan menimbulkan iecemasan
pemerintah kolonial Belanda saat itu. Adapun gerakan gerakan keagamaan yang muncul pada
awal ke-20 seperti dilakukan Muhammadiyah, merupakan bentuk dari revitalisasi atau
kebangkitan sam untuk perubahan yang bercorak pembaruan yang disebut revitalisme",
"modernisasisme" dan "reformisme". Semangat dasarnya alah pergerakan untuk perubahan.

Muhammadiyah bukan sebagai gerakan sosial-keagamaan yang basa, tetapi sebagai


gerakan Islam. Selain terkena hukum pergerakan. Muhammadiyah dalam gerakannya terkait
dengan Islam. Bergerak tukan asal bergerak, harus selalu dilandasi, dibingkai, dan diarahkan
dengan Islam, Islam bukan sekadar asas formal, tetapi menjiwai, nelandasi, mendasari,
mengkerangkai, memengaruhi, menggerakan dan menjadi pusat orientasi dan tujuan. Islam yang
menjadi basis gerakan Muhammadiyah pun benar-benar kokoh yakni bersumber pada Al-Qur'an
dan As-Sunnah as-maqbulah disertai pengembangan ijtihad atau penggunaan akal pikiran yang
sesuai jiwa ajaran Islam. Islam yang wujudkan dalam misi dakwah dan tajdid, bukan sekedar
Islam secara mal atau simbolik belaka. Itulah Islam yang berkemajuan sebagaimana ang menjadi
semangat dasar gerakan Muhammadiyah dalam mengarungi perjalanan zaman.

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam lahir dari inspirasi Kiai Ahmad Dahlan terhadap
Al-Qur'an surat Al-Imran ayat 104, selain tafsir ayat-ayat Al-Qur'an lainnya yang dibaca melalui
Tafsir Al-Manar yang dapat menggugah pembaruan. Ali-Imran ayat 104 itu menggandung jiwa,
makna, dan fungsi yang mendasar tentang kewajiban berdakwah "yad'u ila al-khair", "ya'muruna
bi al-ma'ruf", "wa yanhauna 'an al- munkar" yang harus dilakukan oleh segolongan umat.
Segolongan umat itu menurut Asy-Syuyuthi harus memiliki "keunggulan lebih dari kemampuan
umat yang awam" (bukan orang biasa) dan menurut Al- Jazairi berperan sebagai "mujahid
dakwah". Artinya kelompok umat sebagai pelaku dakwah itu haruslah lebih unggul dan benar-
benar sebagai pelaku (subjek) dakwah yang proaktif, dinamis dan progresif.

Model Gerakan Keagamaan Muhammadiyah


Setiap gerakan sosial yang akan memikirkan tingkat akar rumput tentu akan memikirkan
bagaimana model mengembangkan aktivitas organisasi di tingkat akar rumput sebagai basis
gerakan. Industrilisasi, globalisasi dan kapitalisasi kehidupan social masyarakat telah membawa
implikasi sosiologis bagi rapuhnya semangat gotong royong atau kohesi sosial. Sementara elit-
elit organisasi sosial keagamaan hanya sibuk memikirkan persoalan- persoalan besar tanpa
memperdulikan basis gerakannya.

Antara kepedulian pada penguatan basis gerakan dengan gagasan mengenai


pemberdayaan masyarakat akar rumput masih terdapat kesenjangan. Artinya gagasan ideal
mengenai pembentukan masyarakat ideal (al-madinah al-fadhilah model Al-Farabi) dengan
tindakan konkret untuk mewujudkannya masih terdapat ruang kosong. Muhammadiyah
sebenarnya telah menggagas tentang penguatan basis gerakan ini sejak awal berdirinya, bahkan
Muktamar tahun 1970-an telah memutuskan untuk menggalang gerakan jama'ah dan dakwah
jamaah (GJDJ). Hanya saja gagasan itu belum maksimal diimplementasikan dalam aktivisme
organisasi.

Kesadaran yang sama muncul pada Muktamar ke 46 Yogyakarta dengan adanya program
revitalisasi cabang dan ranting serta pembentukan Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting
(LPCR) sebagai respons atas kondisi global dan tantangan yang akan dihadapi Muhammadiyah
di masa depan. Meningkatnya kesadaran sosial masyarakat yang disertai dengan sikap kritis
terhadap persoalan politik, hak asasi manusia, lingkungan hidup dan demokrasi merupakan
tuntutan umum yang semakin penting bagi masyarakat hingga ke akar rumput atau tingkat
rabang dan ranting.

Orientasi kebijakan politik di level institusi negara maupun kebijakan dakwah di level
organisasi gerakan sosial Islam yang bersifat sentralistik segera bergeser dengan memaksimalkan
peran masyarakat atau umat di akar rumput. Kebijakan yang bersifat top-down tidak saja gagal
mengadaptasikan dirinya dengan realitas kehidupan masyarakat di akar rumput, tetapi juga
merusak infratruktur sosial masyarakat itu sendiri. Karena itu, pelibatan aktif masyarakat akar
rumput untuk memaksimalkan potensi lokal menjadi sesuatu yang diharapkan efektif
memperkuat basis masyarakat, sekaligus memperkuat keterlibatan Muhammadiyah di tingkat
basis.
Kesadaran untuk memperhatikan masyarakat di akar rumput merupakan kelanjutan dari
spirit untuk melakukan perubahan formasi sosial dengan terlibat dalam penguatan kesadaran
sosial, politik, ekonomi dan ideology yang kini terkooptasi oleh kecenderungan kapitalistik,
birokratis dan pragmatis. Program GJDJ sebagai bagian untuk mengadaptasikan gerakan
Muhammadiyah di akar rumput dengan kecenderungan birokratisasi, politisasi serta kapitalisasi
yang berlangsung secara massif pasca Orde Baru. Memberikan perhatian pada penguatan basis
ini dalam perspektif Muhammadiyah bukanlah yang pertama dilakukan. Beberapa dekade yang
lalu,telah dirumuskan mengenai pembinaan Jamaah, keluarga sakinah, dan qaryah thoyyibah
menjadi gagasan gerakan untuk memperkuat basis.

1. Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah (GJDJ)

Gagasan mengenai pengembangan cabang dan ranting sebenarnya telah dirumuskan pada
dekade 1970-an ketika konsep GJDJ diputuskan menjadi kebijakan organisasi. Esensi GJDJ
adalah penguatan kesadaran jamaah dan kepedulian mereka terhadap lingkungan sosialnya.
Definisi sederhana mengenai jamaah adalah kumpulan keluarga muslim yang berada dalam satu
lingkungan tempat tinggal (dusun, RW, desa) atau dalam konsep perkotaan sebagai ikatan
ideology mereka yang berada dalam komunitas yang sama, mereka disatukan dengan kesadaran
yang sama dalam proses pembentukan oleh Persyarikatan Muhammadiyah.

2. Langkah Penguatan Jama'ah

Langkah pemberdayaan melalui penguatan institusi cabang dan ranting akan memberi
kontribusi bagi kohesi sosial/solidaritas antar warga di tengah meluasnya faham-faham radikal
yang cenderung anarkis belakangan ini. Ledakan bom di pesantren Umar Bin Khattab Bima NTB
bisa menjadi bukti betapa rapuhnya kohesi sosial warga, suatu komunitas kecil dan pinggiran
semacam Bima itu, bisa lahir suatu tindakan kekerasan. Memperkuat kembali identitas lokal
melalui gerakan jamaah dapat dipandang dalam kerangka penguatan potensi dan basis gerakan
itu dapat digerakkan kepada hal-hal yang produktif.

Langkah yang dapat dilakukan untuk mengingatkan cabang dan Ranting Muhammadiyah
melalui gerakan jamaah dan dakwah jamaah adalah:

a. Melakukan Assesment awal mengenai kehidupan keagamaan di desa,komunitas atau ranting.


b. Memantapkan konsep dakwah jamaah yang akan dipergunakan agar sesuai dengan kondisi
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat basis.

c. Melakukan sosialisasi dan pelatihan bagi para fasilisator yang akan menggerakan cabang dan
ranting.

d. Melakukan pendampingan dakwah jamaah.

e. Memantapkan organisasi gerakan di akar rumput (Pimpinan Ranting) sebagai ujung tombak
gerakan dakwah jamaah..

Untuk mensinergikan langkah-langkah di atas, diperlukan adanya keterlibatan berbagai


lembaga amal Muhammadiyah seperti sekolah, rumah sakit ataupun masjid yang tumbuh begitu
cepat di berbagai daerah di Indonesia. Pelibatan lembaga amal itu dalam mempercepat proses
pengembangan cabang dan ranting sebagai sentral untuk mengembangkan Muhammadiyah
sebagai organisasi yang berbasis (jama'ah) sehingga berbentuk masyarakat khairah ummah
sebagaimana cita-cita Muhammadiyah. Wallahu a'lam bishawab.

BAB 8

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN SOSIAL

A. Teologi Al-Maun (Ajaran Sosial Kemanusiaan Muhammadiyah)

Kiai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330/18
November 1912, pernah membuat murid-muridnya bertanya-tanya keheranan saat memberi
pelajaran tafsir. Ketika menafsirkan surah al-Maun (Alquran surah 107) secara berulang-ulang
tanpa diteruskan dengan surah surah lain, Dahlan sebenarnya sedang menguji kepekaan batin
para muridnya dalam memahami Alquran, apakah sekadar untuk dibaca atau langsung
diamalkan.

baru para murid itu paham bahwa Alquran tidak saja menyangkut dimensi kognitif, tetapi
sekaligus sebagai pedoman bagi aksi sosial. Mulailah para murid itu mencari orang-orang miskin
dan anak yatim di sekitar Yogyakarta untuk disantuni dan diperhatikan. Maka, berdirinya Panti-
Panti Asuhan dan Rumah Sakit PKU tahun 1923 adalah salah satu perwujudan dari aksi sosial
ini.

Rumah sakit ini yang semula bernama PKOE (Penolong Kesengsaraan Oemoem) itu kini telah
berkembang menjadi 500 unit, besar berupa rumah sakit dan kecil berupa klinik yang bertebaran
di seluruh nusantara. Salah seorang mu rid itu bernama Muhammad Syudja, pengusul pendirian
PKOE yang semula ditentang dan di lawan habis-habisan oleh para ulama dan umat Islam pada
umumnya karena dinilai telah me niru praktik Belanda Kristen yang telah men dirikan rumah
sakit.

Ahmad Dahlan adalah seorang liberal dalam arti tidak takut merayakan kebebasan dalam
mencari hikmah dari manapun asalnya atau meniru pihak lain bagi kepentingan agama.
Menghadapi perlawanan itu pemuda Syudja tidak surut selangkah pun. Bahkan, malah menjawab
tantangan itu dengan ungkapan, Hum rijal wa nahnu rijal (mereka laki-laki, kita pun laki-laki).
Dengan sikap tegas ini, Muhammadiyah telah melaksanakan sisi praksisme dari Teologi al-
Maun.

Bayangkan oleh tuan dan puan, mendirikan rumah sakit saja ketika itu diharamkan. Apa yang
kini sedang dirumuskan oleh Majelis Tarjih tentang teologi pembebasan itu, sekalipun harus
menanti satu abad lebih dulu, harus kita beri penghargaan yang tinggi, karena kesadaran umat
Islam tentang perlunya teologi keberpihakan kepada mereka yang tertindas tidak selalu tajam,
padahal Alquran, khususnya surah-surah Makkiyah (wahyu yang turun pada periode Makkah)
dengan sangat gamblang memberi isyarat keras untuk melangkah ke arah itu.

Surah al-Maun hanyalah salah satu di an tara surah-surah Makkiyah. Surah ini tidak
tanggungtanggung mengatego rikan sebagai pendusta terhadap agama mereka yang ti dak peduli
atas nasib anak yatim dan orang miskin. Rupanya Ahmad Dahlan telah menangkap isyarat
Alquran itu sehingga kajian tafsirnya perlu diulang-ulang sampai para muridnya dong betul
tentang apa tujuan pengu lang an itu.

Itulah sekelumit suasana beragama di kampung Ka uman, Yogyakarta, pada awal 1920-an. Saya
rasa fenomena serupa dapat ditemukan di mana-mana di seluruh dunia Islam ketika itu. Agama
itu tidak lebih dari seremoni dan ritual dalam format ibadah dalam makna yang sangat sempit.
Adapun perlunya pembelaan kepada mereka yang tertindas dan terpinggirkan tidak dipandang
sebagai bagian yang menyatu dengan keberagamaan seorang Muslim.

Jika demikian halnya, tidaklah mengheran kan benar mengapa ada umat Islam, seperti Tan
Malaka, Haji Misbach, dan Alimin, menjadi Mar xis atau bahkan komunis karena di dalamnya di
temukan doktrin-doktrin radikal revolusioner tentang pembebasan manusia dari ketertindasan itu.
Saya berharap, Majelis Tarjih berhasil menyusun sebuah risalah yang lebih radikal dibandingkan
dengan Teologi Pembebasan yang telah lama dikembangkan teolog Katolik di Amerika Latin.

Dengan cara ini umat Islam Indonesia akan menyadari dirinya sebagai pendusta jika anak yatim
dan orang miskin dibiarkan berkeliaran seperti yang kita saksikan di mana-mana sekarang ini,
baik di kota maupun di kawasan pedesaan. Apa yang telah ditangani Muhammadiyah bersama
dengan banyak gerakan lain dan Kementerian Sosial dengan panti-panti sosialnya sama sekali
belum mampu mengatasi masalah sosial yang akut dan berat ini.

Islam adalah agama yang proorang miskin, tetapi sekaligus antikemiskinan, karena kemiskinan
itu harus bersifat sementara.

B. Bentuk dan Model Gerakan Kemanusiaan Muhammadiyah

Muhamadiyah sebenarnya telah menggagas tentang penguatan basis gerakan sejak awal
berdirinya, bahkan dalam Muktamar tahun 1970-an telah diputuskan untuk menggalang jamaah
dan dakwah jamaah (GJDJ). Hanya saja gagasan tersebut belum maksimal diimplemetasikan
dalam aktivisme organisasi. Dalam konstitusi Muhammadiyah terdapat tiga model gerakan
Muhammadiyah; pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, kedua, sebagai gerakan
dakwah Amar Maruf Nahi Munkar, dan ketiga, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Fokus
kajian dalam pembahasan ini pada kajian yang pertaman yaitu Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam. Beberapa dekade yang lalu, telah di rumuskan pembinaan Jamaah, keluarga sakinah, dan
qaryah thoyyibah untuk memperkuat basis.

Kehadiran sebuah organisasi keagamaan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid ini, dipandang
sebagai suatu kemajuan besar di kalangan umat Islam di Indonesia. Ahmad Dahlan sebagai
pendiri Muhammadiyah menganggap bahwa tradisi keagamaan yang sinkretis, kehidupan aqidah
dan amaliah Islam yang sudah kabur, serta masih statisnya pandangan hidup umat Islam terhadap
ajaran dan dalam perkembangan berikutnya, organisasi ini telah mampu melakukan berbagai
terobosan melalui berbagai amal usaha. Berbagai terobosan yang dilakukan itu bertujuan untuk
mencerahkan kehidupan umat dan bangsa Indonesia ke arah peningkatan kualitas pemahaman
terhadap Islam.

Muhammadiyah memposisikan diri sebagai oganisasi keagamaan dengan misi dakwah Islam
amar makruf nahi munkar. Untuk menguatkan posisi itu, maka dirumuskan Lima Pilar
Muhammadiyah, yaitu: 1) Muhammadiyah sebagai gerakan purifikasi aqidah Islam, 2)
Muhammdiyah sebagai gerakan tajdid, 3) Muhammadiyah sebagai gerakan mobilisasi amal
shaleh, 4) Muhammadiyah sebagai gerakan pencerahan (al-Tarbiyah), 5) Muhammadiyah
sebagai gerakan non-politik praktis.

C. REVITALISASI GERAKAN SOSIAL MUHAMMADIYAH

Revitalisasi merupakan salah satu jenis atau bentuk perubahan(transformasi) yang mengandung
proses penguatan, meliputi peneguhanterhadap aspek-aspek yang selama ini dimiliki (proses
potensial) maupun denganmelakukan pengembangan (proses aktual) menuju pada keadaan yang
lebih baik dan lebih maju dari kondisi sebelumnya. Revitaliasi sebagai proses perubahanyang
direncanakan meliputi tahapan-tahapan penataan, pemantapan, peningkatandan pengembangan
yang dilakukan secara berkesinambungan.

Revitalisasi gerakan muhammadiyah dapat dimaknai sebagai prosespenguatan kembali sistem


paham dan jati diri sesuai dengan prinsip-prinsip idealgerakan menuju pada tercapainya kekuatan
muhammadiyah sebagai gerakanislam yang menjalankan fungsi dakwah dan tajdid menuju
terwujudnyamasyarakat islam yang sebenar-benarnya.

Adapun aspek aspek revitalisasi:


1. Revitalisasi Teologis

Revitalisasi teologis menyangkut ikhtiar merekonstruksi atau menafsir ulangpemikiran-


pemikiran dasar kegamaan (keislaman) dalam muhammadiyahsebagaimana prinsip-prinsipnya
tentang agama islam, dunia, ibadah sabilullahdan ijtihad. Dalam revitalisasi teologis ini dapat
dikaji ulang dan dirumuskanepistemologi keislaman Muhammadiyah seperti tentang kalam
(falsafah)

2. Revitalisasi Ideologis

Revitalisasi ideologis menyangkut penyusunan ulang dan penguatan systempaham disertai


langkah-langkah pelembagaannya yang menjadi landasanmembangun kesadaran dan ikatan
kolektif dalam memperjuangkan gerakanmuhammadiyah. Pemikiran dasar kyai dahlan, duabelas
lagkah dari kyai masMansur, muqaddimah anggaran dasar, kepribadian muhammadiyah,
matankeyakinan dan cita-cita hidup muhammadiyah, khittah perjuanganmuhammadiyah, dan
pedoman hidup islami warga muhammadiyahmerupakan rujukan dasar sekaligus perlu
disistematisasi dalam konsepterpadu sehingga menjadi basis ideology gerakan muhammadiyah
yangmengikat seluruh anggota muhammadiya dalam melaksanakan gerakan

3. Revitalisasi Pemikiran

Revitalisasi pemikiran menyangkut upaya mengembangkan wawasanpemikiran seluruh anggota,


termasuk kader dan pemimpin, baik mengenaiformat pemikiran muhammadiyah sebagai gerakan
islam yang bercorak dakwah dan tajdid, maupun dalam memahami permasalahan-
permasalahandan perkembangan kehidupan tingkat local, nasional, dan global. Dikotomi yang
keras tentang pemikiran literal versus liberal, pemurnian versuspembaruan atau pengembangan ,
ekslusif versus inklusif, organisasi versusalam pikiran, structural versus cultural menggambarkan
masihterperangkapnya sebagian kalangan dalam muhammadiyah mengenaiorientasi pemikiran
pada wilayah orientasi atau paradigm yang sempit atauterbatas. Sejauh menyangkut pemikiran
perlu dijelaskan domain relativitassetiap pemikiran agar tidak terjadi pengabsolutan setiap
pe,ikiran, lebih-lebih jika klaim pemikiran tertentu dijadikan alat pemukul dan saling
menegaskanterhadap pemikiran yang lain, sehingga yang terjadi ialah perebutan dominasidan
bukan sikap tasamuh.

4. Revitalisasi Organisasi
Revitalisasi organisasi berkaitan dengan perbaikan-perbaikan systempengelolaan kelembagaan
persyarikatan seperti menyangkut penataanstruktur dan fungsi organisasi, birokrasi, pengelolaan
dan pelayananadministrasi, hingga pengembangan organisasi yang mengarah padapeningkatan
kualitas, efisiesnsi-efektivitas, dan menjadikan organisasisebagai instrument gerakan untuk
kemajuan dan pencapaian tujuanMuhammadiyah.

5. Revitalisasi Kepemimpinan

Revitalisasi kepemimpinan merupakan langkah penguatan kualitas fungsiefektivitas pimpinan


persyarikatan diseluruh lini, termasuk di lingkunganorganisasi otonom dan amal usaha, yang
secara langsung menjadi kekuatandinamik dalam menggerakan muhammadiyah.
Kepemimpinanmuhammadiyah juga tidak cukup dokonstruksi dengan idealis normativesemata
seperti mengenai hak akhlaq dan standar-standar idelakepemmimpinan, tetapi juga harus disertai
format aktualisasi Kepemimpinanyang nyata(bukan Kepemimpinan yang berumah diatas angin
tetapi harusmembumi), karena kepemimpinan Muhammadiyah merupakankepemimpinan system
dan bukan Kepemimpinan figure. Faktor figure puntidak dapat dikonstruksikan sekadar dari
kejauhan sebagaimana konsep kepemimpinan pesona Ratu adil. Keoemimpinan Muhammadiyah
juga bukansekadar domain diniyyah (aspek-aspek kemampuan actual dalam mengelolakehidupan
yang di pimpin), sehingga dapat menjalankan misi kerisalahanislam.

6. Revitalisasi amal usaha

Revitalisasi amal usaha menyangkut pengembangan kualitas amal usahaMuhammadiyah


diberbagai bidang yang dapat tumbuh diatas misi dan visigerakan sekaligus dapat memenuhi
hajat hidup masyarakat. Amal usahaMuhammadiyah bukan lading mencari nafkah bagi para
penghuninya, tetapiharus menjadi sarana atau media dakwah dan perwujudan misi Persyarikatan.

7. Revitalisasi Aksi

Revitalisasi aksi menyangkut pengembangan model-model kegiatan atauaktivitas gerakan


Muhammadiyah yang secara langsung dapat memenuhikepentingan masyarakat luas dengan misi
dakwah dan tajdid seperti dalampemberdayaan ekonomi kaum miskin, advokasi kaum marjinal
dan tertindas,memperkuat, potensi dan peran masyarakat madani, advokasi lingkunganhidup,
resolusi konflik gerakan anti kekerasan, gerakan anti korupsi,kegiatan-kegiatan pembinaan umat
yang bercorak partisipatif, dan aktivitassocial masyarakat lainnya semangat etos Al-Maun
BAB 9

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN PENDIDIKAN

Saat colonial Belanda menjajah bumi nusantara, pendidikan islam telah tersebar luas
dalam wujud “pondok pesantren”,dimana islan diajarkan di musholla/langgar atau masjid.
System yang dipergunakan meliputi system sorogan, bandongan, dan wetonan. System sorogan
adalah system pendidikan dimana secara perorangan menghadapi kyai dengan membawa kitab,
kyai membacakan teks beserta artinya, dan sang santri menirukan apa yang dibacakan oleh kyai,
sedangkan system bendongan atau wetonan adalah sang kyai membaca, mengartikan dan
menerangkan maksud teks dari kitab tertentu terhadap sejumlah santri, dan santri tidak
menirukan apa yang diucapkan kyai tersebut. System bedongan atau wetonan ini dapat dikatan
sebagai tingkat intermediate atau advance, oleh karena itu system ini hanya diikuti oleh para
santri yang telah mengikuti system sorogan secara intensif.

System pendidikan pondok pesantren ketika itu tidak mengenal system kelas, tidak ada
ujian atau pengontrolan kemajuan santri, dan tidak atas batas waktu berapa lama santri harus
tinggal di pondok pesantren. Penekanan pendidikan telah berorientasi pada hafalan terhadap teks
semata, sehingga tidak merangsang santri untuk berdiskusi. Demikian juga cabang-cabang ilmu
agama yang diajarkan sebagai Hadits dan Mustholah Hadists, Fiqih dan Usul Fiqh, Ilmu Tauhid,
Ilmu Tasawuf, Ilmu Mantiq, Ilmu Bahasa Arab. System pendidikan islam model ini berlangsung
sampai memasuki abad ke-20.

Sementara di lain pihak, colonial Belanda mengembangkan system pendidikan sekuler


dengan tujuan untuk mendidik anak dari kalangan priyayi agar menjadi juru tulis tingkat rendah
dan pemegang buku sebagai pegawai-pegawai yang dapat membantu majikan-majikan colonial
Belanda dalam tugas di bidang perdagangan, teknik dan administrasi. Melihat kenyataan yang
memprihatinkan tersebut K.H. Ahmad Dahlan beserta beberapa tokok Muhammadiyah bertekad
untuk memperbaharui pendidikan bagi umat islam. Pembaruan yang dimaksud meliputi :

1. Dari segi cita-cita, adalah untuk membentuk manusia muslin yang berakhlaqul karimah, alim
dalam beragama, luas pandangan dan paham terhadap masalah keduniaan, cakap, serta bersedia
berjuang untuk kemajuan agama islam dan masyarakat.

2. Dari segi teknik, adalah lebih banyak berhubungan dengan cara-cara penyelenggaraan
pendidikan modern terutama system/model pembelajaran yang diterapkan selama pelaksanaan
pendidikan.

Terhadap sitem pendidikan modern pesantren, Muhammadiyah berusaha mengubahnya


dari bentuk lama dengan memperkenalkan system organisasi dan administrasi serta cara-cara
penyelenggaraannya. Maka pada tahun 1920 Muhamadiyah mendirikan “Pondok
Muhammadiyah”, suatu perguruan tingkat menengah pertama kali di Yogyakarta yang
memberikan pelajaran ilmu agama dan ilmu umum bersama-sama. Pada tahun 1924 perguruan
tersebut berubah menjadi “Kweekschool Muhammadiyah” dan dipecah menjadi dua bagian,
yaitu “Kweekschool Muhammadiyah Putri” (Madrasah Muallimat Muhammadiyah) dan
“Kweekschool Muhammadiyah Putra” (Madrasah Muallimin Muhammadiyah). Sedangkan
bentuk yang kedua, seperti sekolah sekuler yang didirikan olek colonial Belanda,
Muhammadiyah menyelenggarakan sekolah-sekolah sejenis (system klasikal) dengan
menambahkan mata pelajaran agama ke dalam kurikulumnya. Maka pada tahun 1926
Muhammadiyah mendirikan “HIS med de Qur’an” yang kemudian berganti nama dengan “HIS
Muhammadiyah”. Kemudian dilanjutkan dengan mendirikan “MULO” ‘HIK Muhammadiyah”
dan “Schakel Scool Muhammadiyah”. Materi yang diajarkan sekitar 10-15 persen dari total
kurikulum sekolah-sekolah umum.

CITA CITA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

Secara umum dapat dipastikan bahwa ciri khas lembaga pendidikan Muhammadiyah
yang tetap diperhatikan sampai saat ini adalah dimasukkannya mata pelajaran AIK/Ismuba di
semua lembaga pendidikan formal milik Muhammadiyah. Hal tersebut sebagai salah satu upaya
Muhammadiyah agar setiap individu senantiasa menyadari bahwa ia diciptakan oleh Allah
semata-mata untuk berbakti kepada-Nya. System pendidikan modern oleh Muhammadiyah
dijadikan sarana untuk menyampaikan da’wah islam. Terlebih lembaga pendidikan islam yang
ada pada masa penjajahan Belanda (seperti pondok pesantren) kurang mampu menjawab
tuntutan zaman. Sementara pendidikan yang diselenggarakan oleh Kolonial Belanda sama sekali
tidak memperhatikan pendidikan islam bahkan terus menekankan perkembangan pendidikan
islam terutama di lembaga pendidikan formal. Akibatnya, terjadilah jurang pemisah yang sangat
lebar untuk lulusan pendidikan islam (pondok pesantren) yang hanya berorientasi kepada
keakhiratan dengan lulusan sekolah sekuler yang didirikan oleh colonial Belanda.

Menurut perhtiungan Muhammad Ijazul Khatib dari Universitas Damaskus, sekitar 750
ayar atau hamper seperdelapan dari seluruh isi Al-Qur’an menegur orang-orang mukmin untuk
mempelajari alam semesta, agar berfikir dan menjadikan kegiatan ilmiah sebagai sesuatu yang
tak terpisahkan dari kehidupan integral umat. Sejarah membuktikan bahwa pada masa silam
umat islam pernah mempelopori perumusan hukum fisika, ilmu alam, ilmu falaq, dan metode-
metode eksperimen lainnya. George Sarton pernah mengadakan pemetaan prestasi di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam beberapa periode, dan pada setiap periode yang
berjangka kurang lebih setengah abad, oleh Sarton dinilai sangat berpengaruh bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi era berikutnya. Sarton melihat perkembangan
ilmu pengetahuan dan telnologi sejak abad ke-9 sebelum masehi sampai abad ke-14 sesudah
masehi. Dari tahun 900 sebelum masehi sampai tahun 600 masehi menurut Sarton merupakan
abad kejayaan Yunani, dan tahun 600 sebelum masehi disebut zaman Thales dan Phytagoras
yang diikuti oleh zaman Plato, Aritoteles, Eulid, Archimedes, Ptolomeos dan lain-lain.

Dalam kosa kata ilmu pengetahuan modern dapat diketahui berbagai “jejak kaki” yang
menunjukan bahwa kontribusi islam itu terutama berwujud sebagai bahan yang merupakan high
culture umat manusia saat itu dan sampai batas tertentu dan juga sekarang, sebagaimana yang
tercermin pada istilah-istilah ilmiah. Maka tidak berlebihan jika ilmuwan barat mengakui secara
jujur akan kontribusi ilmuwan islam terhadap Barat dan dunia modern khususnya, Thamos
Arnold, Alfred Guillme, George Anawati, Gustave Le Bon, John Willian Draper, Maucire
Lombard, Desmond Steward, Guizot, John Devenport, Stanley Lane Poole, dan lain-lain.

Lima atau enam abad keberhasilan umat islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi sangat mengagumkan, percobaan dan penelitian terutama di bidang kedokteran
menjadi kiblat belahan dunia. Akan tetapi lampau tersebut tidak mendapatkan respon dari
generasi berikutnya sehingga umat islam dewasa ini tenggelam, dan ilmu pengetahuan serta
teknologi berpindah ke daratan Eropa dan Amerika yang notabene beragama non islam. Awal
kemunduran ilmu pengetahuan dan teknologi di tengah-tengah umat islam ini antara lain
diakibatkan melemahnya kondisi social politik dan ekonomi umat islam itu sendiri, disebabkan
perselisihan yang terus menerus dalam bidang yang tidak esensiil, melainkan dalam bidang-
bidang kecil seperti masalah fiqih dan peribadatan. Keberadaan penjajah Belanda di tanah air
juga turut membantu memperkuat proses kemandekan berfikir islam, dengan menonjolkan atau
membela kalangan tradisional dan memusuhi kalangan islam modern. Muhammadiyah hadir
mencoba menjelaskan keppada umat islam akan taktik Belanda yang menyesatkan tersebut dan
dengan sejumlah amal usahanya, mengharapkan agar kejayaan umat islam sebagaimana yang
telah disebutkan di atas Kembali seperti dulu kala. Oleh karena itu Muhammadiyah terus
berupaya semaksimal mungkin untuk menimgkatkan kualitas Lembaga Pendidikan yang
dimiliki. Muhammadiyah konsekuen untuk mencetak elit muslim terdidik lewat jalur Pendidikan.
Ada beberapa tipe Pendidikan Muhammadiyah yaitu :

1. Tipe Mualimin/Miallimat Yogyakarta (pondok pesantren)


2. Tipe madrasah/Depag; ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah
3. Tipe sekolah/Diknas; TK, SD, SMA/SMK, Universitas / ST/ Politeknik/ Akademik
4. Madrasah Diniyah, dan lain-lain

Orientasi pembaharuan di bidang Pendidikan menjadi prioritas utama yang ingin dicapai
oleh Muhammadiyah, hal ini tergambar dari tujuan Pendidikan dalam Muhammadiyah, untuk
mencetak peserta didik/lulusan sekolah Muhammadiyah, sebagai berikut :

1. Memiliki jiwa tauhid yang murni


2. Beribadah hanya kepada Allah
3. Berbakti kepada orang tua serta bersikap baik terhadap kerabat
4. Memiliki akhlaq yang mulia
5. Berpengetahuan luas serta memiliki kecapakan
6. Berguna bagi masyarakat, bangsa, dan agama

Untuk mewujudkan hal tersebut makan setiap Lembaga Pendidikan Muhammadiyah


diwajibkan memasukkan mata pelajaran AIK sebagai bagian integral dari kurikulum. Secara
teoritik, ada tiga alas an mengapa Pendidikan AIK perlu diajarkan :

1. Mempelajari AIK pada dasarnya agar menjadi bangsa indonesia yang beragama islam
dan sekaligus alam fikiran modern/tajdid/dinamis.
2. Memperkenalkan alam fikiran tajdid dan diharapkan peserta didik dapat tersentuh serta
mengamalkannya.
3. Perlunya etika/ahlak peserta didik yang menempuh Pendidikan di Lembaga Pendidikan
Muhammadiyah.

PEMIKIRAN DAN PENDIDIKAN PRAKTIS MUHAMMADIYAH

Muhammdiyah dikenal sebagai Gerakan islam yang mempelopori Pendidikan islam


modern. Salah satunya latar belakang berdirinya Muhammadiyah menurut Mukti Ali ialah
ketidak efektifan Lembaga Pendidikan agama pada waktu itu, sehingga Muhmmadiyah
mempelopori pembaruan dengan jakan melakukan reformasi ajaran dan Pendidikan islam. Kini
Pendidikan Muhammadiyah telah berkembang pesat dengan segala kesuksesannya, tetapi
masalah dan tantangan pun tidak kalah berat. Pendidikan Muhammadiyah merupakan bagian
yang terintegrasi dengan Gerakan Muhammadiyah. Telah berusia sepanjang umur
Muhammadiyah. Jika diukur dari berdirinya Madrasah Ibtidaiyah Dhiniyah Islamiyah (1
Desember 1911). Pendidikan Muhammadiyah berumur lebih tua ketimbang organisasi (Adaby
Darban,2000:13), sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari “sekolah” (kegiatan kyai
dalam menjelaskan ajaran islam) yang dikembangkan kyai Dahlan secara formal dalam pelajaran
yang megandung ilmu agama islam dan pengetahuan. Lembaga Pendidikan tersebut sejatinnya
sekolah Muhammadiyah, yakni sekolah agama yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada
umumnta kegiatan umat islam pada waktu itu. Tetapi bertempat tinggal di sebuah Gedung milik
ayayh kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis yang mengajarkan agama dengan
cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum lainnya.

BAB 10

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN POLITIK


Muhammadiyah sebagai Gerakan politik (political movement) maksudnya adalah
pergumulan dan keterlibatan Muhammadiyah di kancah perpolitikan bangsa Indonesia sejak
zaman penjajahan hingga zaman sekarang ini. Bentuk keterlibatan politik Muhammadiyah
sekarang ini adalah high politics, yakni lebih mengedepankan moral daripada sekedar
memperoleh kekuasaan sebagaimana pada umumnya perjuangan yang dilakukan oleh pelaku-
pelaku low politics. Berpolitik tentu ada tujuannya sebagaimana yang dikatakan oleh Harold
Laswell mengenai pengertian politik, “who gets what, when and how” politik adalah siapa
mendapat apa, kapan dan bagaimana. Sekalipun demikian, Muhammadiyah mempunyai
kepentingan yang sangat besar agar mereka berada dalam kekuasaan dengan sebaik-baiknya,
dengan memperhatikan nilai-nilai moral, memegang amanah kedudukan dan jabatannya. Politik
dalam Bahasa arab memiliki pengertian yang sangat luas. Kata “Politik” mengundang
kontroversi terutama bagi mereka tidak memahaminya akan apa itu makna politik. “politik” tidak
lain dari pada bagaimana mengalokasikan sejumlah nilai secara otoritatif bagi sebuah masyarakat
hidup bermasyarakat serta bernegara.

Didalam konteks masyarakat Indonesia sering terjadi kesenjangan antara ilmu politik
yang dipelajari dengan praktik politik yang terjadi. Ilmu politik adalah ilmu social yang khusus
mempelajari sifat dan tujuan dari negara sejauh negara merupakan organisasi kekuasaan, beserta
sifat tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tak resmi, yang dapat mempengaruhi negara.
Di dalam praktiknya, pengertian politik menjadi determinsik yakni segala urusan dan Tindakan
mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan,
dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disipllin pengetahuan,yaitu ilmu politik.
Dengan demikian maka seringkali persoalan politik adalah persoalan bagaimana menerapkan dan
menafsirkan konsep-konsep atau teori-teori politik terhadap fenomena masyarakat yang
mendekati kebenaran. Atas dasar itu maka di dalam menjalankan politik tergantung pada
perspektif dan paradigma apa yang dipakai. Di dalam konsep islam, politik (siasah) memiliki
banyak arti antara lain : kegiatan mendidik, memimpin, mengurus, menjaga kepentingan,
menyuruh melakukan kebaikan, menjalankan tugas dan sebagainya. Semua itu bertujuan untuk
mendatangkan kebaikan dan manfaat kepada masyarakat.

PERGUMULAN MUHAMMADIYAH DALAM POLITIK


Pada tahun 1912 Muhammadiyah bukan partai politik. Ketika Partai Syarikat Islam
melakukan politik hijrah atau noncooperation dengan pemerintah Hindia-Belanda,
Muhammadiyah menyadari suatu keharusan adanya politik tidak hijrah atau cooperation. Oleh
karena itu, melalui Mas Mansur dan Wiwoho, Muhammadiyah mendirikan Partai Islam
Indonesia (PII) pada tahun 1938, meskipun sebelumnya Mas Mansur menemui pimpinan Partai
Sl agar disiplin partai yang dikenakan kepada Muhammadiyah bisa dicabut. Namun harapan
Muhammadiyah tidak terwujud, jika terwujud maka keadaannya akan lain.

Setahun sebelumnya, pada September 1937, telah berdiri Lembaga permusyawaratan


Islam Indonesia bernama Majelis A’la Islam Indonesia (MIAI) yang diperkarai tokoh islam
empat serangkai. Data sejarah menunjukkan peran dan kontribusi aktif Muhammadiyah dalam
perjuangan politik dan ini merupakan bagian dari perjuangan Muhammadiyah untuk
mewujudkan cita-citanya. Perjuangan politik ini dilakukan dengan melibatkan seluruh kekuatan
umat islam dengan tujuan ;

1. Pertama, Muhammadiyah memerlukan saluran aspirasi politik dan ini dilakukan di luar
organisasi Muhammadiyah.
2. Kedua, penyaluran aspirasi politik melalui partai islam harus dilakukan dengan tujuan
kemenangan islam dan umatnya secara keseluruhan.

Dua prinsip inilah yang dipegang teguh Muhammadiyah Ketika Bersama tokoh-tokoh islam
lainnya mempelopori berdirinya Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 7-8
Nopember 1945, di Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta.

PERKEMBANGAN POLITIK MUHAMMADIYAH

Tidak seperti halnya dengan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah merupakan


persyarikatan yang tidak pernah terlibat langsung dengan politik praktis. Kalau NU pernah
menjadi partai politik yakni Partai NU (1955), maka Muhammadiyah tidak pernah
mengalaminya, kecuali sempat melakukan "pernikahan" dengan parpol. Persyarikatan yang
didirikan di kampung Kauman, Yogyakarta pada 18 November 1912 atau bertepatan dengan 8
Dzulhijah 1330 Hijriah itu pernah melakukan "pernikahan resmi" dengan parpol ketika menjadi
anggota istimewa dari Masyumi. Secara historis, politik yang melekat pada Muhammadiyah
adalah politik kebangsaan yang sering disebut dengan politik "amar ma'ruf nahi munkar"
(mengajak ke kebaikan dan mencegah kemungkaran). Bahkan, para pemimpin terdahulu di
Muhammadiyah sangat aktif berpolitik seperti KH Ahmad Dahlan di Budi Utomo atau KH Mas
Mansur dalam BPUPKI. Artinya, Muhammadiyah itu tidak segan-segan menjadi pengeritik
paling depan jika pemerintah bertindak salah, tapi Muhammadiyah juga akan menjadi
pendukung terdepan jika pemerintah memang benar.

LANDASAN OPERASIONAL POLITIK MUHAMMADIYAH

Secara normatif, gerak perjuangan Muhammadiyah dijelaskan dalam Muqaddimah


Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita
Hidup Muhammadiyah (MKCH) bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma'ruf
nahi munkar. Sementara secara operasional, bahwa Muhammadiyah memilih lahan dakwah di
bidang kemasyarakatan ditegaskan dalam khittah (garis) perjuangan di antaranya; Khittah
Ponorogo 1969, Khittah Surabaya 1978, Khittah Denpasar 2002. Berikut ini adalah kutipan
panjang tentang Khittah Perjuangan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.

Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan
salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang
harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang
utama. Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah
dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-
usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil
society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan
kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan ditempuh melalui
pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok
kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis.

Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan


kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa
mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi
kritik sesuai dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan
yang demokratis dan berkeadaban.
Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk
menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing.
Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang
dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah,
demi kemaslahatan bangsa dan negara.

1. Kebebasan Beraspirasi Politik dalam Politik Praktis

Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-
benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan
tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan
perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi
Persyarikatan dalam melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar. Setiap anggota dibebaskan
menyalurkan aspirasi politiknya kepada salah satu partai politik yang dipandang dapat
menyuarakan misi Islam untuk menegakkan keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

2. Metamorphose Sikap Politik Muhammadiyah

a. Tahun 1912-1926, Muhammadiyah dinyatakan bukan sebagai organisasi politik, meskipun


banyak anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan aktif dalam organisasi Budi Utomo,
Sarikat Islam, Partai Sarikat Islam Indonesia.

b. Tahun 1927-1938, Muhammadiyah memantapkan diri sebagi organisasi Islam untuk amal).
Anggota Muhammadiyah yang memasuki Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) terkena disiplin
organisasi, tidak boleh merangkap keanggotaan dengan Muhammadiyah.

c. Tahun 1938-1942, Pada tahun 1923 para pemuka Joung Islamitten Bond (JIB) dan para
anggota Muhammadiyah berhasil mendirikan Partai Islam Indonesia (PII), tetapi
Muhammadiyah sebagai organisasi tetap tidak menetapkan secara resmi terhadap eksistensi
partai tersebut.

d. Tahun 1942-1945, Muhammadiyah bersama dengan oraganisasi- organisasi Islam mendirikan


Majelis Islam A'la Indonesia (MIA) dan Muhammadiyah sebagai organisasi, tetap tidak
merupakan bagian dari majelis ini.
e. Tahun 1945-1960, Pada tahun 1945 MIAI akhirnya berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi) dan Muhammadiyah sebagai anggota istimewa dan dinyatakan sebagai
bagian struktural dari partai itu. Pada tahun 1950, Muhammadiyah tidak lagi menjadi anggota
istimewa Masyumi.

f. Tahun 1960-1965, Muhammadiyah dalam posisi yang sulit sebab situasi politik kenegaraan
yang semakin panas, dan dominasi kekuatan komunis sangat menetukan.

g. Tahun 1965-1971, Muhammadiyah dinyatakan oleh pemerintah sebagai Organisasi


Masyarakat (Ormas) yang berfungsi politik riel. Artinya Muhammadiyah berhak mempunyai
wakil-wakil dalam legislatife. Pada periode ini ada usaha dari orang Islam yang aspirasi
politiknya belum tertampung dalam partai politik yang ada, akhirnya menetapkan membentuk
Partai Muslimin Indonesia meskipun Muhammadiyah masih tetap memiliki independensinya.

h. Tahun 1971- Sekarang, Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittah
(garis) perjuangannya dengan Da'wah Amar Ma'rif Nahi Munkar dalam arti dan proporsi yang
sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan baik secara teoritis konseptual,
secara operasional, secara riel bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara
Republik Indonesiayang berpancasila dan UUD 1945, menjadi masyarakat yang adil makmur
serta sejahtera.

3. Moral Politik Muhammadiyah

Pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah) dari diusungnya materi di atas dengan


penekanan pada dua khitah-meskipun sebenarnya masih ada Khitah Surabaya 1978 yang juga
perlu diusung--seakan ingin mengamini bahwa selama ini Muhammadiyah memang belum atau
tidak secara serius berjalan di atas rel khitahnya, yaitu sebagai ormas keagamaan. Selama ini,
Muhammadiyah kerap membuat putusan yang secara sadar atau tidak telah menyeret
Muhammadiyah pada kubangan politik praktis. Karena itu, tidak heran bila selama perjalanan
sejarahnya Muhammadiyah lebih banyak bersinggungan dengan politik praktis.

Varian Politik Keluarnya rumusan Khitah Ponorogo, Khitah Ujung Pandang, Khitah
Surabaya, Tanwir Semarang, Khitah Denpasar, dan Tanwir Mataram 2004, selain menunjukkan
sikap politik Muhammadiyah yang ambigu, juga menegaskan adanya tarik menarik dan
terfragmentasinya sikap politik warga Muhammadiyah. Dan bila berkaca pada doktrin
mainstream di kalangan umat Islam bahwa Islam adalah agama dan negara (Islam al-dien wa al-
dawlah), terfragmentasinya sikap politik warga Muhammadiyah cukup bisa dipahami. Apalagi,
sejarah Muhammadiyah juga menunjukkan dominasi dalam relasinya dengan politik.

HIGH POLITICS DAN LOW POLITICS

Paparan di atas menggambarkan bahwa kebijakan politik Muhammadiyah tampak sangat


dipengaruhi situasi praksis-politik (low politics) yang melingkupinya ketimbang idealitas politik
Muhammadiyah (high politics). Dengan begitu, mengesankan tidak konsistennya sikap dan
posisi politik Muhammadiyah. Sebagai ormas keagamaan, Muhammadiyah tidak seharusnya
terlibat pada wilayah politik praktis. Meski begitu, sebagai organisasi dakwah amar makruf nahi
munkar, Muhammadiyah juga tidak semestinya emoh pada politik. Hanya, politik yang
dimaksud adalah sebagaimana diamanatkan Khitah Denpasar poin 5 yang berwajah high politics.

Sesungguhnya yang dimaksud atau terjemahan yang tepat bagi high politics bukan politik
tinggi, tetapi politik yang luhur, adiluhung dan berdimensi moral etis. Sedangkan low politics
bukan berarti politik rendah, tetapi politik yang terlalu praktis dan seringkali cenderung nista.
Bila sebuah organisasi menunjukkan sikap yang tegas terhadap korupsi, mengajak mesyarakat
luas untuk memerangi ketidakadilan, menghimbau pemerintah untuk terus menggelindingkan
proses demokratisasi dan keterbukaan, maka organisasi tersebut sedang
memainkan high politics.
BAB 11

GERAKAN ZAKAT, INFAQ DAN SHADAQAH DALAM MUHAMMADIYAH

Mengemukakan salah satu pandangan cendekiawan muslim, Hasan Hanafi, sebagaimana


dikutip oleh Muslim Abdurrahman tentang konsep teologi sosialnya dalam memotret realitas
sosial masyarakat Islam. Islam sudah memberikan tuntunan bagaimana menyalurkan harta, yakni
melalui zakat, infaq dan shadaqah. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam juga memiliki
concern dalam bidang ini. Dalam konteks tersebut, tulisan ini mencoba memotret bagaimana
gerakan zakat, infaq dan shadaqah dalam Muhammadiyah?

KONSEP DASAR ZAKAT, INFAQ DAN SHADAQAH

1. Definisi Zakat, Infaq dan Shadaqah

Zakat adalah bagian hak Allah SWT yang diberikan oleh manusia kepada orang-orang
miskin. Dinamakan zakat, karena mengandung harapan mendapat berkah, penyucian diri dan
tambahan kebaikan. Secara etimologi (lughawi), kata zakat berasal dari bahasa Arab al-zaka
yang mengandung beberapa arti seperti berkembang, suci dan berkah? Sedangkan dalam
terminologi hukum (syara'), zakat diartikan kadar harta tertentu yang diberikan kepada yang
berhak menerimanya dengan beberapa syarat." Infaq yaitu mengeluarkan atau membelanjakan
harta yang mencakup zakat dan non zakat. Infaq ada yang wajib dan ada yang sunnah. Infaq
wajib di antaranya kafarat, nadzar, zakat dan lain-lain. Infaq sunnah di antaranya infaq kepada
fakir miskin sesama muslim, infaq bencana alam dan sebagainya. Dalam pengertian yang umum
infaq sering juga diartikan sebagai menafkahkan atau membelanjakan harta di jalan Allah.
Adapun shadaqah maknanya lebih luas dari zakat dan infak. Shadaqah dapat bermakna infaq,
zakat dan kebaikan non materi. Namun penggunaan ketiga kata tersebut di dalam al-Qur'an
terkadang menjadi satu makna. Karenanya, kesatuan makna ketiga istilah tersebut akan
digunakan dalam tulisan ini.

2. Landasan Kewajiban Zakat dan Hukum Menolaknya

Zakat adalah rukun Islam ketiga yang diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal tahun
kedua Hijriyah. Ayat-ayat zakat, shodaqah dan infaq yang turun di Makkah baru berupa anjuran
dan penyampaiannya menggunakan metodologi pujian bagi yang melaksanakannya dan cacian
atau teguran bagi yang meninggalkannya. Hukum zakat adalah wajib 'ain dalam arti kewajiban
yang ditetapkan untuk diri pribadi dan tidak mungkin dibebankan kepada orang lain. Banyak
sekali perintah Allah untuk membayar zakat dan hampir seluruh perintah berzakat itu
dirangkaikan dengan perintah mendirikan shalat.

3. Harta Yang dikenal Zakat

Dalam al-Qur'an disebutkan beberapa macam jenis kekayaan yang dikenai zakat, yaitu: emas
dan perak (QS. al-Taubah: 34 dan al-Baqarah 267), tanaman dan buah-buahan (QS. al-An'am:
14), hasil usaha seperti dagang dan sebagainya (QS. al-Baqarah: 276), hasil perut bumi seperti
barang tambang dan sebagainya (QS. al-Baqarah: 276), dan yang lain disebutkan secara umum
dalam kata-kata "mal" yang berarti harta kekayaan (QS. al-Taubah: 103 dan al-Dzariyat: 19).
Sementara dalam hadits Nabi saw disebutkan bahwa binatang ternak yang dikenai zakat ada tiga
macam, yaitu unta, sapi dan kambing.'

4. Golongan Penerima Zakat

Golongan yang berhak menerima zakat terdiri dari delapan golongan (ashnaf), yaitu:

a. Fakir, orang yang tidak memiliki harta untuk menunjang kehidupan dasarnya. Kefakiran
orang tersebut disebabkan ketidak mampuannya untuk mencari nafkah karena fisiknya
tidak mampu, seperti orang tua jompo dan cacat badan.
b. Miskin, orang yang tidak memiliki harta untuk kehidupan dasarnya, namun ia mampu
berusaha mencari nafkah, hanya penghasilannya tidak mencukupi bagi kehidupan
dasarnya untuk kehidupannya sendiri dan atau keluarganya.
c. Amil, orang yang ditunjuk oleh penguasa yang sah untuk mengurus zakat, baik
mengumpulkan, memelihara, membagi dan mendayagunakannya serta petugas lain yang
ada hubungannya dengan pengurusan zakat.
d. Muallaf, yaitu orang yang baru masuk Islam dan memerlukan masa pemantapan dalam
agama barunya itu dan untuk itu memerlukan dana.
e. Riqab adalah untuk mempertaruhkan budak, baik dengan membeli budak-budak untuk
kemudian dimerdekakan atau memberi dana untuk mempertaruhkan dirinya sendiri dari
skandal.
f. Gharim, orang yang dililit Hutang dan tidak dapat melepaskan dirinya dari jeratan hutang
kecuali dengan bantuan dari luar.
g. Sabilillah, segala keperluan untuk menegakkan agama Allah. Dalam waktu perang dapat
diartikan biaya pasukan dan perlengkapannya selama dalam peperangan. Sementara
dalam situasi yang bukan perang berarti segala usaha yang bertujuan untuk menegakkan
syiar agama.
h. ibnu Sabil, orang yang berada dalam perjalanan bukan untuk tujuan maksiat, yang
kehabisan biaya dalam perjalanannya dan tidak mampu meneruskan perjalanannya
kecuali dengan bantuan dari luar.

NILAI-NILAI ISLAM TENTANG ZAKAT, INFAQ DAN SHADAQAH

1. Keutamaan Zakat, Infaq dan Shadaqah

Setiap syari'at yang ditetapkan Allah untuk manusia tentu memiliki nilai-nilai kebajikan bagi
manusia itu sendiri. Begitu juga syari'at zakat, infaq dan shadaqah memiliki beberapa keutamaan,
di antaranya:

a. Termasuk ciri orang bertaqwa adalah menginfaqkan rizki yang diberikan Allah


b. Termasuk mukmin yang beruntung
c. Orang yang menunaikan zakat hartanya termasuk orang yang mendapatkan rahmat dari
Allah SWT
d. Orang yang menunaikan zakat hartanya, maka akan dihilangkan keburukannya
e. Harta yang disedekahkan akan berkembang dan dilipatgandakan oleh Allah SWT

2. Ancaman bagi orang yang Tidak Mengeluarkan ZIS

Selain Allah memberikan janji pahala bagi orang-orang yang mengeluarkan zakat hartanya,
Allah juga memberikan ancaman bagi orang-orang yang enggan membayar zakat atau
mengeluarkan hartanya dalam bentuk infaq dan shadaqah. Misalnya bagi orang yang memiliki
emas dan perak kemudian tidak mengeluarkan zakatnya maka Allah akan menyiksanya di
Neraka dengan siksaan yang pedih. Dalam sebuah hadits juga dijelaskan bahwa Allah swt
mengancam orang-orang yang menyimpan harta dan tidak mengeluarkan zakatnya dengan batu
panas yang dibakar di neraka Jahannam. Batu itu akan diletakkan di atas puting susu mereka
hingga tembus di bagian atas bahunya, dan diletakkan pula di bagian atas bahunya hingga
menembus puting susunya, sehingga mereka meronta sehebat-hebatnya. Selain itu, bagi orang
yang memiliki harta kemudian tidak mengeluarkan zakatnya maka kelak pada hari kiamat harta
itu akan dikalungkan di lehernya.

TUJUAN DAN HIKMAH ZIS

Tujuan dari ZIS adalah supaya hart aitu tidak hanya beredar di kalangan orang kaya
semata. Adapun hikmah yang terkandung dalam kewajiban zakat itu di antaranya adalah untuk
membersihkan jiwa orang yang berzakat dari sifat sombong dan kikir serta membersihkan
hartanya dari bercampur baurnya dengan hak orang lain.

EMBRIO GERAKAN ZIS DALAM MUHAMMADIYAH

Sejarah telah membuktikan bahwa sejak awal berdirinya, Muhammadiyah memiliki


concern terhadap ketimpangan sosial (kemiskinan dan keterbelakangan). Hal ini tampak
bagaimana KH. Ahmad Dahlan memiliki perhatian yang lebih terhadap surat al- Ma'un. Konon
surat tersebut dikaji berulang-ulang oleh beliau di pengajiannya, sampai-sampai salah satu di
antara santrinya bertanya mengapa surat tersebut yang terus dikaji. Dalam rangka mengamalkan
surat al-Ma'un, KH. Ahmad Dahlan mengajak untuk mencari orang miskin di sekitar tempat
tinggal masing- masing. Jika menemukan orang miskin dan anak yatim agar dibawa pulang ke
rumah masing-masing, dimandikan dengan sabun dan diberi sikat gigi yang baik, diberi pakaian
seperti yang biasa mereka pakai, diberi makan dan minum serta tempat tidur yang layak. Dari
situlah embrio pengelolaan zakat mal dan zakat fitrah untuk dibagikan kepada fakir miskin. Lalu
atas prakarsa KH. Ahmad Dahlan didirikan penampungan fakir miskin, panti asuhan yatim piatu,
dan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah di Yogyakarta."

LAZISMU : WUJUD KONSISTENSI GERAKAN ZIS DALAM MUHAMMADIYAH

Konsistensi gerakan zakat, infaq dan shadaqah dalam Muhammadiyah masih nampak
sampai saat ini. Misalnya pada tahun 2002 didirikan lembaga zakat nasional yang diberi nama
LAZISMU. LAZISMU adalah lembaga nirlaba tingkat nasional yang berkhidmat dalam
pemberdayaan masyarakat melalui pendayagunaan secara produktif dana zakat, infaq, wakaf dan
dana kedermawanan lainnya baik dari perseorangan, lembaga, perusahaan dan instansi lainnya.
Berdirinya LAZISMU dimaksudkan sebagai institusi pengelola zakat dengan manajemen
modern yang dapat menghantarkan zakat menjadi bagian dari penyelesai masalah (problem
solver) kondisi kebangsaan yang terus berkembang. Program utama LAZISMU difokuskan pada
pendayagunaan produktif yang terdiri atas: Pertama, pemberdayaan ekonomi masyarakat (micro
economic empowerment), Kedua, pemberdayaan pertanian dan peternakan (agriculture and
livestock empowerment), Ketiga, pengembangan pendidikan (education development) (Lazismu.
org), ini tetap menjadi spirit dasar dari gerakan sosial saat ini. Keberpihakan Muhammadiyah
kepada arga mati yang tidak bisa ditawar-tawar dan komunal bagi segenap warga
Muhammadiyah. LAZISMU saat ini sudah tersebar hampir di tiap tingkat kepengurusan
Muhammadiyah seluruh Indonesia. Persoalannya tinggal bagaimana memberdayakan dana yang
dikumpulkan dari perolehan zakat, infaq dan shadaqah itu sehingga tepat guna dan tepat sasaran
BAB 12

MEMAHAMI GERAKAN PEDULI KEPADA MUSTAHIQ ZAKAT DALAM


MUHAMMADIYAH

Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid untuk
terkujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sebagai gerakan dakwah,
Muhammadiyah mengajak umat manusia memeluk agama Islam, Amar Makruf Nahi Mungkar
berdasarkan kepada Al Qur'an dan Sunnah yang sahihah sehingga hidup manusia selamat,
bahagia, dan sejahtera di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, seluruh warga dan pimpinan hingga
berbagai komponen yang terdapat di Muhammadiyah termasuk amal usaha dan orang-orang
yang berada di dalamnya, haruslah memahami Muhammadiyah serta mengaktualisasikan dalam
kehidupan nyata.

Muhammadiyah sebagai bagian dari bangsa ini menyadari bahwa kondisi seperti di atas
tidak bisa dikerjakan sendiri, tetapi harus mengajak semua elemen masyarakat, bekerjasama
dengan organisasi atau kelompok masyarakat lain yang mempunyai tujuan sama dalam
memberantas kemiskinan. Ajaran Al Ma'un yang secara praktis diteladankan KH Ahmad Dahlan
dengan gemar mengasihi dan menyantuni mustadi'afin adalah upaya penyelamatan moral bangsa.

MUSTAHIQ ZAKAT DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH

Allah telah menciptakan apa yang ada di langit dan apa yang Allah ada di bumi untuk
dinikmati dan diambil manfaatnya. Ada usaha (kasb) manusia untuk memperoleh manfaatnya.
Pada tingkat pertama, kasb manusia hanyalah mengumpulkan. Pada tingkat berikutnya,
memelihara, mengolah, melestarikan, dan mengelolanya. Kasb adalah upaya menambah nilai
sehingga melahirkan nilai tambah. Nilai tambah yang diperoleh seseorang sangat tergantung dari
kasb-nya masing-masing. Nilai tambah itu akan meningkat besarnya jika memakai perlengkapan
(alat produksi), menggunakan tenaga terlatih. Kasb manusia yang menggunakan teknologi
mutakhir akan menghasilkan nilai tambah yang lebih meningkat. Laju peningkatan pertambahan
nilai itu dapat dilihat dari dimensi waktu.
Dari sini semakin kelihatan bahwa kasb yang satu dapat menghasilkan nilai tambah yang
lebih besar dibanding dengan kasb yang lain. Kasb yang memakai peralatan mutakhir dengan
tenaga yang mahir akan menghasilkan nilai tambah yang lebih besar. Inilah yang kemudian
membedakan hasil perolehan antara seseorang yang bekerja seadanya dengan orang yang bekerja
secara professional.

1. Yatim dan Yatim Piatu

Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya yang laki dan belum
dewasa serta belum dapat mencari nafkah sendiri. Kalau sudah dewasa dia tidak dapat disebut
yatim. Yatim Piatu adalah anak yang ditinggal mati oleh ayah dan ibunya ketika masih kecil. Itu
merupakan musibah besar baginya dari pada anak yang ditinggal mati oleh ayah atau ibunya
saja. Karena keadaan berat seperti itulah maka Allah mewajibkan kepada keluarganya yang
paling dekat untuk mengurus sebaik-baiknya. Kalau sudah ada keluarga dekat yang
mengurusnya, maka keluarga dekatnya yang lain jatuh kewajibannya secara fiqih. Secara moral
dan spiritual hendaknya setiap orang harus merasa dan memberikan empati kepada anak-anak
yatim yang kehilangan kasih sayang dari orang tuanya untuk selama-lamanya dan dia kehilangan
orang tempat berteduh dari kebutuhan-kebutuhannya. Apabila tidak ada yang mengurusnya maka
seluruh masyarakat menanggung dosa kolektif dari keabaian masyarakat terhadap yatim/yatim
piatu. Di sinilah Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan dan sosial dapat mengambil peran
untuk terwujudnya amalan-amalan Islam dalam setiap keluarga dan masyarakat.

2. Fakir dan Miskin

Orang miskin di samping tidak mampu di bidang finansial, mereka juga tidak memiliki
pengetahuan dan akses. Para ulama banyak membicarakan tentang istilah fakir dengan miskin.
Sebagian ulama mengatakan bahwa fakir dan miskin itu sama saja, yaitu sama- sama tidak
mampu, tidak berkecukupan, melarat, sengsara. Tetapi sebagian yang lain mengatakan bahwa
fakir itu lebih melarat daripada miskin. Untuk lebih memperjelas, ada yang mencontohkan
bahwa kalau fakir itu pendapatan sehari-hari kurang dari separuh kebutuhannya. Sedangkan
miskin, pendapatannya kurang dari kebutuhannya, tetapi pendapatannya di atas 50%
kebutuhannya, namun masih kurang.

3. Gharim
Pemahaman terhadap gharim dalam sebagian besar literatur tafsir atau fiqih dibatasi pada
orang yang punya hutang untuk keperluannya sendiri dan dana dari zakat diberikan untuk
membebaskannya dari hutang. Namun beberapa pendapat membedakannya dalam dua
kelompok, yaitu orang yang berhutang untuk keperluannya sendiri dan orang yang berhutang
untuk kepentingan orang lain. Aliran Syafi'iyyah menyatakan bahwa gharim meliputi: 1) hutang
karena mendamaikan dua orang yang bersengkata; 2) hutang untuk kepentingan pribadi; 3)
hutang karena menjamin orang lain (Al-Jaziri, 625-626).

4. Muallaf

Muallaf pada umumnya dipahami dengan orang yang baru masuk Islam. Namun, dilihat
dari sejarahnya, pada masa awal Islam, muallaf yang diberikan dana zakat dibagi kepada dua
kelompok: 1) orang kafir yang diharapkan dapat masuk Islam seperti Safwan bin Umayyah dan
yang dikhawatirkan menjahati orang Islam seperti Ibn Sufyan bin Harb; 2) orang Islam, terdiri
dari pemuka Muslim yang disegani oleh orang kafir, Muslim yang masih lemah imannya agar
dapat konsisten pada keimanannya, muslim yang berada di daerah musuh.

Menurut aliran Syafi'ayyah, muallaf adalah: 1) Muslim yang lemah imannya, agar
imannya menjadi kuat; 2) pemuka masyarakat yang masuk Islam, diharapkan dapat mengajak
kelompoknya masuk Islam; 3) muslim yang kuat imannya, yang dapat mengamankan dari
kejahatan orang kafir serta; 4) orang yang dapat menghambat tindakan jahat orang yang tidak
mau berzakat.

5. Amil

Muhammad Rasyid Rida mengemukakan maksud dari amil pada ayat adalah mereka
yang ditugaskan oleh pemerintah atau yang mewakilinya untuk melaksanakan pengumpulan
zakat, menyimpan atau memeliharanya, termasuk para pengelola, dan petugas adsministrasi.
Sementara Yusuf Qardhawi, memberikan batasan yang lebih rinci tentang amil yaitu semua
orang yang terlibat aktif dalam oraganisasi zakat, termasuk penanggungjawab, para pengumpul,
pembagi, bendaharawan, sekretaris, dan sebagainya. Dari kedua pengertian amil tersebut dapat
diketahui bahwa, amil bertugas mulai dari penentuan wajib zakat, penghitungan, dan
pemungutan zakat. Mereka juga bertugas mendistribusikan harta zakat tersebut kepada orang
yang berhak menerimanya. Namun, Ibn Rusyd memahami bahwa amil bukan hanya terbatas
pada amil zakat, tetapi termasuk juga para hakim dan orang yang termasuk dalam pengertian
mereka yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan umum umat Islam.

6. Riqab

Dalam sejarahnya, jauh sebelum Islam datang riqab terjadi karena sebab tawanan perang.
Oleh sebab itu, ada beberapa cara yang digunakan untuk membantu memerdekakan budak,
seperti sebagai saksi dari beberapa pelanggaran terhadap aturan Islam. Harta zakat pun
diperuntukkan bagi budak yang masuk Islam untuk mendapatkan hak kemerdekaannya sebagai
manusia merdeka.

7. Sabilillah

Sabilillah pada masa awal dipahami dengan jihad fi sabilillah, namun dalam
perkembangan-perkembangannya sabilillah tidak hanya terbatas pada jihad, akan tetapi
mencakup semua program dan kegiatan yang memberikan kemaslahatan pada umat Islam.
Dalam beberapa literatur secara eksplisit ditegaskan bahwa sabilillah tidak tetap hanya dipahami
jihad, karena katanya umum, jadi termasuk semuanya kegiatan yang bermuara pada kebaikan
seperti mendirikan benteng, memakmurkan masjid, termasuk mengurus mayat. Bahkan termasuk
di dalamnya para ilmuwan yang melakukan tugas untuk kepentingan umat Islam, meskipun
secara pribadi ia kaya.

8. Ibnu Sabil

Ibnu Sabil sebagai penerima zakat sering dipahami dengan orang yang kehabisan biaya di
perjalanan ke suatu tempat bukan untuk maksiat. Tujuan pemberian zakat untuk mengatasi
ketelantaran, meskipun di kampung halamannya ia termasuk mampu. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa Islam memberikan perhatian kepada orang yang terlantar. Penerima zakat pada
kelompok ini disebabkan oleh ketidakmampuan yang sementara. Jika orang terlantar sementara
saja dibantu dengan dana zakat, apalagi mereka yang benar-benar tidak mampu tentu saja
mendapatkan prioritas lebih.

MUHAMMADIYAH DAN KEMISKINAN


Sejak didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, mind-set Muhammadiyah adalah sebagai
gerakan pembaruan dengan ciri memadukan ortodoksi dan ortopraksi, Gerakan pembaruan
dengan kembali ke al- Quran dan Hadits yang dilambari pembacaan kritis dan teopraksis atas
surat al-Ma'un adalah upaya merespon realitas dan problema sosial yang kompleks. Karena itu,
pembacaan terhadap al-Quran dan hadits mutlak harus diikuti komitmen untuk melakukan
perubahan dan pembebasan terhadap masalah kemanusiaan demi mendukung terciptanya
masyarakat berkeadilan. Sebab, Islam adalah liberating force, kekuatan pembebas dari
penindasan dan ketertindasan. Melalui pendidikan, dari taman kanak-kanak hingga perguruan
tinggi, Muhammadiyah diakui atau tidak telah membantu dan mendukung pencerahan
masyarakat tanpa pandang bulu. Di bidang pendidikan, orang beragama lain boleh dan tidak
dilarang belajar di sekolah Muhammadiyah. Pendirian rumah sakit dan panti asuhan juga
merupakan kepedulian sekaligus sumbangannya bagi kepentingan umat.

Keberadaan Muhammadiyah tentu amat relevan jika disandingkan dengan realitas


kemanusiaan di negeri ini juga di negara-negara lainnya yang selalu menyajikan tontonan
memilukan. Kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup
menghiasi kehidupan keseharian. Orang-orang yang miskin, menderita, tertindas, terperas, dan
terpinggirkan kian hari kian bertambah. Peradaban manusia dipenuhi sosok manusia yang
miskin, lapar makan, dan lapar keadilan. Sejarah menunjukkan kemiskinan bukan sekedar fakta
kemiskinan. Kemiskinan tak bisa dilepaskan dari penindasan, perampasan hak, yang membuat
penderitaan, menorehkan kesedihan, keperihan, dan luka mendalam lahir batin.

KEBERPIHAKAN MUHAMMADIYAH TERHADAP KAUM MUSTADL’AFIN

Dalam realitas keseharian dapat disaksikan betapa banyak orang kaya Islam khusyuk
merata dahi di atas sajadah, sementara di sekitarnya banyak tubuh layu digerogoti penyakit dan
kekurangan gizi. Banyak orang rajin beribadah, padahal kemiskinan, kebodohan, penyakit,
kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup mendera saudara-saudaranya. Betapa mudahnya
jutaan bahkan miliaran uang dihabiskan untuk acara keagamaan, pada saat yang sama ribuan
anak tidak dapat melanjutkan sekolah, ribuan orang tua harus menanggung beban mencari sesuap
nasi, dan ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya
rumah sakit. Dalam konteks ini, Muhammadiyah dapat memainkan peran strategis, dengan
memberi sumbangsih nyata terhadap masyarakat. Muhammadiyah harus memberi perhatian
serius terhadap the new mustadl'afin karena sejak awal Kiai Dahlan sudah memantapkan
komitmen organisasi terhadap pembelaan masyarakat tertindas. Advokasi dan aksi praksis Kiai
Dahlan saat berdirinya gerakan mengupayakan keberpihakan kepada kaum lemah
dan terpinggirkan.

Anda mungkin juga menyukai