Muhammadiyah
Oleh Shabran Hanif/201410050311093/Ilmu Pemerintahan B
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah SWT Kepada Rasulullah
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia
dimuka bumi ini. Pada dasarnya Islam memiliki sumber dalam tatanan beribadah maupun
berperilaku yaitu pada al – Qur’an dan al – Hadits.
Seperti yang kita ketahui bahwasannya Muhammadiyah adalah organisasi keislaman yang
didirikan Oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 yang bergerak dalam konteks al –
Qur’an dan al – Hadits. Dewasa ini kita tahu bahwa Muhammadiyah selalu berada dalam
keprecayaan diri yang tinggi sebagai gerakan Islam yang paling benar. Bahkan kondisi
seperti itu sudah menjadi kultur terhadap orang muhammadiyah, bahwasannya
Muhammadiyahlah yang paling benar.
Kesadaran terhadap Muhammadiyah sebagai kultur ini juga dapat dilihat dari kenyataan
bahwa sebagian besar orang Muhammadiyah menjadikannya sebagai ruang amal usaha atau
beramal saleh dan menggunakan Muhammadiyah sebagai media beramal. Tetapi ada satu hal
yang tak lazim yang terdapat di Muhammadiyah, yakni, Muhammadiyah sebagai rumah
intelektual. Cukup lama Muhammadiyah tenggelam dalam rasa kebenaran bahwa Islam versi
Muhammadiyah adalah Islam yang paling benar, ortodoks dan asli. Akibat ortodoksi dalam
kultural Muhammadiyah inilah, maka intellectual exercise menjadi tertutup. Di sisi lain,
sikap doktrinal juga telah menyebabkan terjadinya pembakuan atau formalisasi.1
Sementara itu, Kita tahu bahwa Muhammadiyah lahir pada zaman dimana masyarakat
masih bersifat tradisional, sehingga penanaman doktrin ala Muhammadiyah tersebut masih
mudah untuk dilakukan. Sedangkan zaman selalu berjalan cepat dan berkembang pesat. Hal
inilah yang menggerakkan generasi muda Muhammadiyah untuk menciptakan JIMM (
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Gerakan pemuda ini lahir lantaran kesadaran
akan perkembangan zaman, sehingga kaum pemuda Muhammadiyah ingin merubah
paradigma Muhammadiyah yang masih kaku menjadi Praksisme.
Mereka (JIMM) menempatkan “miskin” sebagai kategori sosial yang lahir dari
penindasan struktur kapitalisme maupun neo-liberalisme di era globalisasi yang tidak adil.
Sehingga dapat dimengerti, bahwa mereka menoleh hermeneutika, Ilmu – ilmu sosial, dan
teologi kritis untuk mencari bentuk penyadaran kolektif munculnya kekuatan baru politik
amal ma’ruf nahyi munkar, seperti doktrin pokok yang selama ini yang menjadi acuan
perjuangan gerakan Muhammadiyah.2
Saya ingin mengatakan bahwa nanti yang membedakan JIMM dengan Islam
Liberal adalah, manakala anak – anak muda ini menggunakan ilmu sosial dan
juga mempelajari tentang gerakan sosial, maka saya harapkan mereka
mempunyai corak yang lebih transformatif, jadi tidak hanya liberal dalam arti
kebebasan berfikir, tetapi liberalisme yang liberatif – dalam arti diikuti dengan
komitmen intelektual yang mengarah pada perubahan dan bagaimana
melakukan perubahan itu.3
Pertama tatkala banyak realitas baru yang berkembang dalam masyarakat, dan harus
dilakukan pembongkaran terhadap realitas tersebut, maka hermeneutika dapat dihadirkan
sebagai tool of analysis. Ini menarik karena seolah – olah kita melakukan dekonstruksi Al-
Qur’an dalam pengertian bahwa bagaimana agar al-Qur’an tidak menjadi klaim kebenaran,
tetapi al-Qur’an dapat dibuka dengan meaning reproduction, sehingga makna – makna zaman
baru kemudian bisa dikontrol dengan refleksi – refleksi Qur’ani. 4 Selain itu, dalam konteks
Muhammadiyah, hermeneutika diperlukan untuk merubah pendekatan skriptural yang selama
ini begitu kental. Hermeneutika, dalam kerangka ini harus difahami, yakni itu tadi sebagai
reproduction of new meanings. Reproduksi makna – makna baru ini pada gilirannya
diharapkan mampu mendekaktkan Muhammadiyah pada praksis sosial baru yang lebih
berwatak emansipatoris yang selama ini cenderung terabaikan. Terlebih jika pendekatan
hermeneutik sebagai tool of analysis untuk menemukan dan mereproduksi makna – makna
baru itu kemudian diikuti dengan pendekatan teori sosial, pandangan univocal terhadap
Muhammadiyahmaupun terhadap realitas sosial akan bisa dirubah. Pada gilrannya nanti,
kerangka teori sosial ini pula yang diharapkan akan mampu mengubah univokalisme dan
monolitas pandangan ini menjadi pandangan yang multivokal dan pluralistik.5
Kedua, Selama ini, para pemikir muslim masih banyak yang mengabaikan ilmu sosial.
Karena itu, lahirnya tokoh – tokoh Islam seperti Fazlur Rahman, Arkoun dan Hasan Hanafi
yang menyerukan pemanfaatan dan pendekatan ilmu – ilmu sosial untuk memotret dan
menganalisis persoalan umat Islam, menjadi menarik untuk diketengahkan. Karena itu, dalam
banyak hal, JIMM memanfaatkan teoritik Antonio Gramsci yang membahas hegemoni, Paulo
Feire yang menekankan pada penyadaran kaum yang tertindas dan pentingnya membangun
prespektif teologi pembebasan. Konsep Hegemoni, akan mengarahkan mereka menjadi
ilmuwan artikulator, yang berangkat dari proses membangun advokasi dan menghidupkan
kesadaran kolektif yang baru sehingga menemukan konstruk intelektual baru yang terus
menerus responsif terhadap proses degradasi kemanusiaan sebagai musuh Islam. Seperti
bagaimana membuka atau memahami persoalan meluasnya kasus sosial seperti TKW, anak
jalanan dan sebagainya, yang merupakan bagian dari proses globalisasi. Disamping itu, kini
kita menyaksikan power dissemination yang menggurita kemana – mana. Power katanya
sekarang ada dimana – mana, dan orang – orang perlu mengadakan resistensi terhadap
hegemoni power itu. Oleh karena itu, sebuah pertanyaan yag perlu dilontarkan, apakah kita
perlu hanya sekedar anti-hegemony atau kita perlu membangun counter-hegemony.6
Ketiga, the new social movement. Proses berteologi yang selama ini hanya menganggap
teologi sebagai disiplin ilmu mestinya mulai dirubah menjadi teologi sebagai gerakan,
sehingga teologi merupakan kerja pedagogis kemanusiaan yang bisa berwatak pembebasan.
Globalisasi dalam konteks ini sangat penting untuk dibicarakan supaya kita mengenal the new
social movement lebih baik lagi. Ada empat hal dalam globalisasi yang memaksa kita
mengkaji ulang semua, terutama berkaitan dengan apakah kesadaran teologis kita
hubungannya dengan bentuk praktis the new social movement. Empat hal itu dapat merubah
tingkat kesadaran intelektual orang yang menjadi arus luar biasa sekarang ini, yaitu: capital
4
Ibid., hal. X.
5
Ibid., hal. X - XI.
6
Ibid., hal. XII.
on the move, media on the move, people on the move, dan gagasan – gagasan yang
revolusioner.7
Ketiga pilar tersebut yang menurut Moeslim Abdurrahman harus difahami oleh
Jaringan Intelektual Muda Mihammadiyah sebelum mereintelektualisasi Muhammadiyah.
Ketiga poin itu adalah: (1). Memaknai perkembangan zaman secara Qur’ani dengan melihat
realitas, (2). Merubah paradigma dari yang anti-hegemony menjadi counter-hegemony, (3).
Mengkaji makna perkembangan zaman (globalisasi).
Tantangan Modernitas
Modernitas memiliki arti yang menurut Mohammed Arkoun dalam buku “Islam dan
Modernitas (1998)” Yaitu, perkembangan zaman yang terjadi selepas masa Romawi lama
menuju ke masa periode masehi. Kaitan antara modernitas dengan Islam adalah pada masa
kejayaan umat Islam yang tidak terlepas dari modernitas itu sendiri. Yaitu, dari pengaruh
Yunani melalui gelombang Helenisme. Modernitas sendiri tentunya akan terus mengikuti
perkembangan zaman. Meminjam pernyataan Hodgson bahwasannya manusia sekarang ini
telah memasuki era mesin ( Technical Age ) yang mana tercipta setelah revolusi Perancis dan
Inggris. Revolusi Perancis dan Inggris sendiri merupakan faktor utama terciptanya
masyarakat global sampai dengan sekarang ini.
Pada era sekarang ini modernitas yang berupa modernisasi, westernisasi dan lain
sebagainya memang banyak dipandang negatif oleh sebagian orang. Namun, kita tidak bisa
menampik bahwasannya dari modernitas tersebut lahir teknologi – teknologi, ilmu
pengetahuan, pemikiran dan lain - lain yang bisa membantu umat manusia. Bahkan umat
islam pun bisa memanfaatkan ilmu pengetahuan serta modernitas yang ada untuk berjihat
dijalan Allah dalam arti menyebarkanluaskan islam.
Kebanyakan umat Islam sekarang ini berpendapat bahwa modernitas pemikiran, ilmu
pengetahuan, teknologi di Barat sejak abad ke-16 sebenarnya bertitik tolak dari zaman
keemasan ilmu pengetahuan Arab. Juga dikatakan bahwa revolusi sosialis serta benih – benih
demokrasi telah nyata, atau setidak – tidaknya telah tersirat dalam al – Qur’an, sirah Nabi,
dan tindakan para Sahabat. Munculnya sifat apologetis dan tuduhan – tuduhan itu semata –
mata karena faktor psikologis, yakni kompleks sebagai pihak yang kalah. Karena itu, salah
satu tantangan bangsa – bangsa Muslim dalam usaha mendorong modernisasi adalah
membebaskan diri dari suasana psikologis masa lalu yang serba traumatis, dan menggantinya
dengan kesanggupan untuk melihat keadaan secara obyektif, tanpa pertentangan dan
kesalahpahaman.8
Sementara tokoh lain yang juga pemikir islam dengan pemikiran yang sama dengan
Arkoun, Fazlur Rahman menyatakan dalam buku “Islam dan Tantangan Modernitas” bahwa :
9
Ibid., hal. 114.
Kaum Muslim harus belajar menelaah Barat dan gagasan – gagasannya secara
obyektif dalam rangka mendeterminasi bagaimana islam seharusnya bereaksi
terhadap berbagai tekanannya. Dalam aktifitas intelektual Barat yang cemerlang
dan kreatif itu terdapat hal yang baik maupun buruk sebagaimana dalam peradaban
apapun lainnya. . . . Demikian pula, banyak gagasan dan doktrin yang dielaborasi
dan didukung oleh kaum Muslim sendiri selama abad – abad pertengahan adalah
sangat berbahaya secara spiritual dan moral. Jika kaum Muslim tidak belajar
menelaah seluruh gagasan secara obyektif – termasuk gagasan – gagasan mereka
sendiri dan gagasan –gagasan Barat – maka tidak mungkin mereka dapat
menghadapi dunia modern secara berhasil; bahkan kelangsungan hidup mereka
sebagai Muslim – muslim pun akan sangat meragukan. Tetapi bila kaum Muslim
dapat mengembangkan prasyarat keyakinan-diri, tanpa mengalah kepada Barat
secara membabi buta atau menafikannya, maka tugas utama mereka yang paling
mendasar adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat untuk mempelajari
al-Qur’an guna mendapatkan petunjuk bagi masa depan mereka.10
Sementara pendapat dari Moeslim Abdurrahman sendiri adalah apa yang dibahas
dalam paper ini yaitu reintelektualisasi terhadapa Muhammadiyah dengan memahami konsep
ar-ruju’ ila al-Qur’an (Kembali ke al-Qur’an) dalam menafsir makna zaman. Dari
perbandingan antara pendapat tiga tokoh filsuf Islam tersebut dapat diketahui bahwa mereka
bertiga telah berfikir demikian jauh kedepan, sementara itu tidak sedikit pemikiran kaum
Muslim yang masih sangat terbatas.
Satu hal yang perlu diingat bahwa Islam itu bukan agama yang kaku, agama Islam itu
lahir karena gejala – gejala sosial yang timbul dalam kehidupan sosial manusia. Sehingga, kita
sebagai umat Muslim tidak boleh menampikkan kenyataan bahwa kita tengah hidup didalam
era modernitas dan kita harus bisa masuk kedalamnya bukan malah semakin menjauh. Karena
sesungguhnya masalah umat manusia sekarang ini lahir karena modernitas seperti
kapitalisme, sekulerisme, dan lain – lain dan kita harus bisa mengatasi masalah tersebut demi
kebaikan umat manusia.
KESIMPULAN
10
Fazlur Rahman, Islam dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1989), hal. 188.
DAFTAR PUSTAKA